Mandatory Spending, SAL dan Kelebihan Pembiayaan (overfinancing) APBN Pendahuluan Dalam penyusunan APBN, pemerintah menjalankan tiga fungsi utama kebijakan fiskal, yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi, dan fungsi stabilisasi. Dalam menjalankan fungsinya tersebut maka APBN yang disusun oleh pemerintah haruslah sehat dan berkesinambungan. Tiga indikator APBN yang sehat dan berkesinambungan adalah: defisit yang harus terkendali menuju seimbang atau bahkan surplus, keseimbangan primer terjaga positif, rasio utang yang cenderung menurun. Pengelolaan anggaran APBN yang sehat, di samping harus memberikan prioritas pembangunan bagi tercapainya kemakmuran rakyat, di sisi lain perlu memberikan ruang atau fleksibilitas bagi pemerintah dalam menjalankan fungsi stabilitasi untuk mengantisipasi fluktuasi kondisi perekonomian nasional dan global. Fleksibilitas anggaran sangat dipengaruhi oleh adanya anggaran yang dimandatkan (mandatory spending) dan alokasi belanja mengikat (non mandatory spending). Di sisi lain, APBN juga kerap kali diwarnai dengan minimnya realisasi penyerapan anggaran belanja Kementerian/Lembaga. Pola penumpukan penyerapan belanja pada akhir tahun masih menjadi siklus tahunan realisasi APBN. Minimnya penyerapan belanja Negara, yang juga diikuti dengan tidak tercapainya target pendapatan Negara, telah berdampak pada tidak terpenuhinya target defisit yang telah ditetapkan dalam APBN. Penarikan pinjaman dalam dan luar negeri yang tidak sepenuhnya dapat terserap dalam belanja Negara menyebabkan adanya overfinancing dalam APBN. Kondisi ini tercermin dari besarnya akumulasi SAL pada akhir tahun, yang kemudian digunakan kembali melalui mekanisme APBN Perubahan setiap tahunnya. I. RUANG FISCAL APBN Fleksibilitas pemerintah yang dimiliki pemerintah untuk membiayai prioritas pembangunan ini sering disebut dengan ruang fiscal (fiscal space) APBN. Semakin tinggi ruang fiscal yang tersedia, semakin besar keleluasaan yang dimiliki pemerintah untuk membiayai prioritas pembangunan lainnya. Ruang fiscal yang dimiliki pemerintah tergantung pada besar kecilnya kewajiban yang harus dipenuhi pemerintah berdasarkan konstitusi dan perundang-undangan (mandatory spending) dan besarnya alokasi belanja mengikat (non mandatory spending) seperti belanja pegawai, belanja (transfer) daerah, pembayaran bunga utang, dan subsidi. • 1 Mandatory Spending Mandatory spending adalah pengeluaran negara pada program dan kegiatan tertentu yang harus dialokasikan oleh Pemerintah karena telah dimandatkan oleh ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. Mandatory spending dalam tata kelola keuangan pemerintah meliputi hal-hal berikut ini:1 Nota Keuangan APBN 2013 Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI | 34 1. Alokasi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN/APBD sesuai amanat UUD 1945 pasal 31 ayat (4); 2. Alokasi anggaran Dana Alokasi Umum (DAU) minimal 26% dari penerimaan dalam negeri neto sesuai dengan ketentuan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; 3. Alokasi anggaran Dana Bagi Hasil (DBH) dengan perhitungan yang telah ditentukan sesuai dengan ketentuan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; 4. Alokasi anggaran kesehatan sebesar 5% dari APBN sesuai dengan ketentuan UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan; 5. Alokasi anggaran untuk otonomi khusus sesuai dengan Undang-undang Otonomi Khusus Provinsi Aceh dan Papua masing-masing sebesar 2% dari DAU nasional. Meningkatnya mandatory spending sebagai konsekuensi dari ketentuan peraturan perundangan yang berlaku telah menimbulkan ruang gerak fiskal (fiscal space) menjadi semakin terbatas. Selain itu, mandatory spending juga menyebabkan APBN sebagai stabilisator perekonomian menjadi kurang fleksibel untk mengantisipasi guncangan ekonomi dunia. Perkembangan mandatory spending tahun 2007-2012 : Sumber : Nota Keuangan APBN 2013 • Non Mandatory Spending (artificial mandatory) Non-mandatory adalah anggaran yang tidak merupakan kewajiban, baik dari UUD 1945 maupun UU lainnya. Anggaran ini ada yang bersifat wajib/mengikat (non-discretionary spending) yaitu belanja pegawai, belanja (transfer) daerah, pembayaran bunga utang, dan subsidi. Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI | 35 Bila kita cermati perkembangan belanja wajib (non-discretionary spending) sebagai indikasi adanya rijiditas fiskal dalam periode 2000 – 2012, trendnya terus meningkat dengan pertumbuhan sekitar 16,75% rata-rata per tahun, yaitu dari Rp175,5 triliun dalam tahun 2000 menjadi Rp1.125,0 triliun dalam tahun 2012. Dengan tingkat pertumbuhan yang cukup tinggi tersebut, belanja wajib ini telah menyerap rata-rata sekitar 76,71% dari total belanja setiap tahun atau sekitar 14,0% dari PDB.2 Alokasi belanja wajib terbesar dalam periode tersebut diperuntukkan bagi belanja (transfer) daerah yaitu rata-rata sekitar 29,9% dari total belanja per tahun. Kemudian diikuti dengan belanja subsidi (20,3%), pembayaran bunga utang (14,1%), dan belanja pegawai (12,4%). Implikasi yang pasti muncul akibat adanya rijiditas fiskal yang semakin besar adalah semakin sempitnya ruang fiskal (fiscal space) bagi pemerintah. Ruang gerak fiskal (fiscal space) adalah ruang gerak atau keleluasaan pemerintah dalam mengalokasikan dana untuk investasi dan pembangunan yang meliputi belanja barang, belanja modal, belanja sosial setelah dikurangi dana cadangan bencana, dan belanja hibah (bersifat diskresi/tidak mengikat). Secara teknis dihitung dari total pengeluaran dikurangi dengan belanja mengikat (belanja pegawai, pembayaran bunga utang, subsidi, dan transfer ke daerah). Dalam Nota Keuangan APBN 2013, Fiscal Space adalah ruang gerak Pemerintah mengalokasikan dana untuk investasi dan pembangunan, yaitu 60 persen belanja barang, belanja modal, belanja sosial setelah dikurangi dana cadangan bencana sebesar Rp4,0 triliun, dan belanja hibah (bersifat diskresi/tidak mengikat). Termasuk pula dalam non-mandatory spending ini (atau juga disebut sebagai artificial mandatory) adalah penyertaan modal negara dalam penyertaan modal pemerintah pada lembaga-lembaga internasional, serta kebijakan fiskal implisit seperti insentif perpajakan untuk mendorong pengembangan investasi dan ekspor. Perkembangan komposisi belanja mengikat dan tidak mengikat : Sumber : Nota Keuangan APBN 2013 2 Warta Fiskal, Edisi I – 2013, Kementerian Keuangan, hal 3. Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI | 36 II. SAL DALAM APBN SAL merupakan sumber utama pembiayaan non utang APBN yang berasal dari dalam negeri, di samping yang bersumber dari penerimaan cicilan pengembalian penerusan pinjaman, Rekening Pembangunan Hutan (RPH), dan rekening Pemerintah lainnya. Penggunaan pembiayaan nonutang yang berasal dari perbankan dalam negeri untuk membiayai APBN selama periode 2007–2012 cenderung berfluktuasi setiap tahunnya, terutama dipengaruhi oleh besar kecilnya SAL. Sejak tahun 2009 – 2013 secara rata-rata SAL telah menyumbang 93% pembiayaan APBN yang bersumber dari non-utang. Seiring dengan meningkatnya defisit dalam APBN Perubahan, sebagai akibat dari perubahan asumsi makroekonomi, pemanfaatan dana SAL menjadi salah satu sumber pembiayaan anggaran yang mengalami peningkatan signifikan dalam APBN Perubahan dibandingkan alokasi awalnya dalam APBN sebelum dilakukan perubahan. Di samping untuk membiayai peningkatan defisit akibat perubahan asumsi makroekonomi tahun berjalan, SAL juga digunakan untuk mengantisipasi dampak dari perubahan ekonomi global. Grafik 1 : Perkembangan SAL dan Defisit APBN Sumber : Nota Keuangan APBN, diolah III. OVERFINANCING APBN Perkembangan nilai SAL berfluktuasi dari tahun ke tahun. Peningkatan secara signifikan jumlah SAL terjadi pada tahun 2008. Nilai SAL akhir tahun meningkat signifikan dibanding saldo awal SAL pada tahun 2008. APBN pada tahun 2008 menikmati keseimbangan primer yang tinggi yaitu sebesar Rp84.308,5 miliar. Keseimbangan primer adalah selisih pendapatan Negara dan hibah dengan belanja Negara setelah dikurangi pembayaran bunga utang. Ini merupakan indikator kemampuan APBN dalam membayar beban utangnya. Hal lain yang menjadi penyebab adalah realisasi defisit APBN tahun 2008 yang jauh dari target APBNP TA 2008. Defisit APBNP TA 2008 ditetapkan Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI | 37 sebesar minus Rp94,50 triliun (-2,1% PDB) sedangkan realisasinya sebesar minus Rp4,10 triliun atau 0,10% dari PDB. Kelebihan pembiayaan inilah yang kemudian terakumulasi dalam SILPA akhir tahun yang menambah jumlah SAL pada akhir tahun. Data SAL selengkapnya dapat dilihat pada table di bawah ini. Tabel 1. Saldo Anggaran Lebih (SAL) TA 2010 - 2012 (dalam miliar rupiah) Sumber : LKPP, diolah Meskipun penggunaan SAL termasuk dalam pos pembiayaan non utang, namun SAL sesungguhnya merupakan akumulasi dari sisa lebih (kurang) pembiayaan anggaran (SiLPA/SiKPA) dalam bentuk utang. Pembiayaan utang APBN ini sebagian besar berasal dari pembiayaan Dalam Negeri (penerbitan SBN) dan penarikan utang luar negeri. Sehingga dapat dikatakan bahwa, meskipun SAL merupakan salah satu pembiayaan non utang, namun sumbernya berasal dari pembiayaan utang dalam dan luar negeri. Hal ini disebabkan adanya overfinancing dari utang yang digunakan untuk membiayai deficit APBN. Sejak tahun 2008, APBN mengalami kelebihan pembiayaan sebagaimana tabel di bawah ini. Kelebihan pembiayaan ini bukan disebabkan oleh surplus dari penerimaan negara dibandingkan dengan belanja negara, namun karena overfinancing pembiayaan negara. Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI | 38 Grafik 2. Realisasi Defisit dan Kelebihan Pembiayaan APBN Tahun 2008-2012 200.00 150.00 100.00 50.00 0.00 (50.00) (100.00) (150.00) (200.00) 2008 2009 2010 2011 2012 Defisit (4.10) (88.60) (46.80) (84.40) (153.30) Pembiayaan 80.00 112.60 91.60 130.90 175.15 80 24.00 44.70 46.50 21.86 Kelebihan Pembiayaan Kemampuan Kementerian/Lembaga dalam menyerap anggaran juga berdampak bagi overfinancing APBN. Berdasarkan laporan Tim Evaluasi dan Pengawasan Penyerapan Anggaran Triwulan II tahun 2012, daya serap Kementrian/Lembaga rata-rata sebesar 31,98% dari target sebesar 50%. Dalam LKPP tahun 2012, dari total belanja Negara sebesar Rp1.069,53 triliun hanya mampu terealisasi sebesar Rp1.010,55 triliun (atau sebesar 94,5%) dengan demikian total anggaran K/L yang tidak terserap adalah sebesar Rp58,97 triliun. Hal ini mengindikasikan adanya peluang untuk melakukan penajaman prioritas belanja sehingga meningkatkan kinerja APBN. Sumber : Laporan Tim Evaluasi dan Pengawasan Penyerapan Anggaran Triwulan II tahun 2012 Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI | 39 IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Semakin kecilnya ruang fiscal yang dimiliki pemerintah dalam APBN tahun berjalan secara kontras dihadapkan dengan realitas kinerja APBN pada akhir tahun yaitu kecilnya penyerapan belanja K/L dan adanya overfinancing APBN sebagai akibat dari tidak terealisasinya target defisit yang ditetapkan. Peningkatan ruang fiskal APBN tidak saja dapat ditempuh melalui peningkatan pendapatan Negara dari pajak dan PNBP dan melakukan penajaman prioritas belanja kementerian/lembaga, tetapi juga dapat dilakukan melalui : a. Menghindari terciptanya mandatory spending baru untuk sektor/bidang lainnya. Pengkotakan-kotakkan APBN dinilai akan mempersempit ruang gerak pemerintah dalam menghadapi semakin tingginya daya saing perekonomian global. b. Audit kinerja terhadap mandatory spending yang sudah ada yang mencakup dampak atas pemenuhan program yang telah ditetapkan. Meningkatnya alokasi anggaran yang berjalan seiring dengan meningkatnya pagu APBN haruslah diikuti dengan peningkatan output dan outcome sektor yang bersangkutan. Tidak menutup kemungkinan untuk mengurangi persentase yang dimandatkan, apabila dinilai output dan outcome sudah tercapai dengan baik, sehingga alokasi anggaran dapat dialihkan ke sector prioritas lainnya. c. Pembiayaan dari utang sebaiknya diarahkan untuk belanja infrastruktur atau sektor-sektor yang mampu menyerap lapangan kerja, sehingga dapat memberikan multiplier effect yang besar bagi perekonomian. d. Kewajiban pemerintah untuk memenuhi belanja yang sifatnya mengikat juga harus dibatasi dengan tidak membentuk lembaga baru yang akan menambah anggaran belanja pemerintah pusat. Meskipun SAL merupakan salah satu pos dalam pembiayaan non utang, namun sumber SAL juga berasal dari utang yang disebabkan oleh adanya overfinancing pembiayaan APBN. Meskipun pemerintah telah mengurangi porsi penarikan pinjaman utang luar negeri, namun trend pembiayaan utang yang berasal dari dalam negeri (penerbitan) SBN telah mengalami peningkatan cukup signifikan. Dalam tiga tahun terakhir, realisasi penerbitan SBN telah meningkat sebesar 57% dari Rp91.102,6 miliar (2010) menjadi Rp159.704,3 miliar. SAL yang bersumber dari non utang dapat dilakukan dengan meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak dan non pajak dan disisi lain melakukan optimalisasi belanja negara. Realisasi defisit APBN yang lebih rendah dari target yang ditetapkan pada beberapa tahun terakhir, menuntut adanya pola baru jadwal penarikan pinjaman dengan tetap menjaga cash flow APBN. Dengan demikian, overfinancing APBN tidak lagi terjadi dengan mempertimbangkan besarnya biaya pinjaman yang harus ditanggung APBN. -o0o- Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI | 40