27-AN-B.APBN-VIII-2013 SAL dan Overfinancing APBN

advertisement
Mandatory Spending, SAL dan
Kelebihan Pembiayaan (overfinancing) APBN
Pendahuluan
Dalam penyusunan APBN, pemerintah menjalankan tiga fungsi utama kebijakan fiskal, yaitu fungsi
alokasi, fungsi distribusi, dan fungsi stabilisasi. Dalam menjalankan fungsinya tersebut maka APBN
yang disusun oleh pemerintah haruslah sehat dan berkesinambungan. Tiga indikator APBN yang
sehat dan berkesinambungan adalah: defisit yang harus terkendali menuju seimbang atau bahkan
surplus, keseimbangan primer terjaga positif, rasio utang yang cenderung menurun.
Pengelolaan anggaran APBN yang sehat, di samping harus memberikan prioritas pembangunan
bagi tercapainya kemakmuran rakyat, di sisi lain perlu memberikan ruang atau fleksibilitas bagi
pemerintah dalam menjalankan fungsi stabilitasi untuk mengantisipasi fluktuasi kondisi
perekonomian nasional dan global. Fleksibilitas anggaran sangat dipengaruhi oleh adanya anggaran
yang dimandatkan (mandatory spending) dan alokasi belanja mengikat (non mandatory spending).
Di sisi lain, APBN juga kerap kali diwarnai dengan minimnya realisasi penyerapan anggaran belanja
Kementerian/Lembaga. Pola penumpukan penyerapan belanja pada akhir tahun masih menjadi
siklus tahunan realisasi APBN. Minimnya penyerapan belanja Negara, yang juga diikuti dengan tidak
tercapainya target pendapatan Negara, telah berdampak pada tidak terpenuhinya target defisit
yang telah ditetapkan dalam APBN. Penarikan pinjaman dalam dan luar negeri yang tidak
sepenuhnya dapat terserap dalam belanja Negara menyebabkan adanya overfinancing dalam
APBN. Kondisi ini tercermin dari besarnya akumulasi SAL pada akhir tahun, yang kemudian
digunakan kembali melalui mekanisme APBN Perubahan setiap tahunnya.
I.
RUANG FISCAL APBN
Fleksibilitas pemerintah yang dimiliki pemerintah untuk membiayai prioritas pembangunan ini
sering disebut dengan ruang fiscal (fiscal space) APBN. Semakin tinggi ruang fiscal yang
tersedia, semakin besar keleluasaan yang dimiliki pemerintah untuk membiayai prioritas
pembangunan lainnya.
Ruang fiscal yang dimiliki pemerintah tergantung pada besar kecilnya kewajiban yang harus
dipenuhi pemerintah berdasarkan konstitusi dan perundang-undangan (mandatory spending)
dan besarnya alokasi belanja mengikat (non mandatory spending) seperti belanja pegawai,
belanja (transfer) daerah, pembayaran bunga utang, dan subsidi.
•
1
Mandatory Spending
Mandatory spending adalah pengeluaran negara pada program dan kegiatan tertentu yang
harus dialokasikan oleh Pemerintah karena telah dimandatkan oleh ketentuan peraturan
perundangan yang berlaku. Mandatory spending dalam tata kelola keuangan pemerintah
meliputi hal-hal berikut ini:1
Nota Keuangan APBN 2013
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI | 34
1. Alokasi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN/APBD sesuai amanat UUD 1945
pasal 31 ayat (4);
2. Alokasi anggaran Dana Alokasi Umum (DAU) minimal 26% dari penerimaan dalam negeri
neto sesuai dengan ketentuan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;
3. Alokasi anggaran Dana Bagi Hasil (DBH) dengan perhitungan yang telah ditentukan
sesuai dengan ketentuan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;
4. Alokasi anggaran kesehatan sebesar 5% dari APBN sesuai dengan ketentuan UU No.36
Tahun 2009 tentang Kesehatan;
5. Alokasi anggaran untuk otonomi khusus sesuai dengan Undang-undang Otonomi Khusus
Provinsi Aceh dan Papua masing-masing sebesar 2% dari DAU nasional.
Meningkatnya mandatory spending sebagai konsekuensi dari ketentuan peraturan
perundangan yang berlaku telah menimbulkan ruang gerak fiskal (fiscal space) menjadi
semakin terbatas. Selain itu, mandatory spending juga menyebabkan APBN sebagai
stabilisator perekonomian menjadi kurang fleksibel untk mengantisipasi guncangan
ekonomi dunia. Perkembangan mandatory spending tahun 2007-2012 :
Sumber : Nota Keuangan APBN 2013
•
Non Mandatory Spending (artificial mandatory)
Non-mandatory adalah anggaran yang tidak merupakan kewajiban, baik dari UUD 1945
maupun UU lainnya. Anggaran ini ada yang bersifat wajib/mengikat (non-discretionary
spending) yaitu belanja pegawai, belanja (transfer) daerah, pembayaran bunga utang, dan
subsidi.
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI | 35
Bila kita cermati perkembangan belanja wajib (non-discretionary spending) sebagai indikasi
adanya rijiditas fiskal dalam periode 2000 – 2012, trendnya terus meningkat dengan
pertumbuhan sekitar 16,75% rata-rata per tahun, yaitu dari Rp175,5 triliun dalam tahun
2000 menjadi Rp1.125,0 triliun dalam tahun 2012. Dengan tingkat pertumbuhan yang
cukup tinggi tersebut, belanja wajib ini telah menyerap rata-rata sekitar 76,71% dari total
belanja setiap tahun atau sekitar 14,0% dari PDB.2
Alokasi belanja wajib terbesar dalam periode tersebut diperuntukkan bagi belanja
(transfer) daerah yaitu rata-rata sekitar 29,9% dari total belanja per tahun. Kemudian
diikuti dengan belanja subsidi (20,3%), pembayaran bunga utang (14,1%), dan belanja
pegawai (12,4%).
Implikasi yang pasti muncul akibat adanya rijiditas fiskal yang semakin besar adalah
semakin sempitnya ruang fiskal (fiscal space) bagi pemerintah. Ruang gerak fiskal (fiscal
space) adalah ruang gerak atau keleluasaan pemerintah dalam mengalokasikan dana untuk
investasi dan pembangunan yang meliputi belanja barang, belanja modal, belanja sosial
setelah dikurangi dana cadangan bencana, dan belanja hibah (bersifat diskresi/tidak
mengikat). Secara teknis dihitung dari total pengeluaran dikurangi dengan belanja
mengikat (belanja pegawai, pembayaran bunga utang, subsidi, dan transfer ke daerah).
Dalam Nota Keuangan APBN 2013, Fiscal Space adalah ruang gerak Pemerintah
mengalokasikan dana untuk investasi dan pembangunan, yaitu 60 persen belanja barang,
belanja modal, belanja sosial setelah dikurangi dana cadangan bencana sebesar Rp4,0
triliun, dan belanja hibah (bersifat diskresi/tidak mengikat).
Termasuk pula dalam non-mandatory spending ini (atau juga disebut sebagai artificial
mandatory) adalah penyertaan modal negara dalam penyertaan modal pemerintah pada
lembaga-lembaga internasional, serta kebijakan fiskal implisit seperti insentif perpajakan
untuk mendorong pengembangan investasi dan ekspor. Perkembangan komposisi belanja
mengikat dan tidak mengikat :
Sumber : Nota Keuangan APBN 2013
2
Warta Fiskal, Edisi I – 2013, Kementerian Keuangan, hal 3.
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI | 36
II. SAL DALAM APBN
SAL merupakan sumber utama pembiayaan non utang APBN yang berasal dari dalam negeri, di
samping yang bersumber dari penerimaan cicilan pengembalian penerusan pinjaman,
Rekening Pembangunan Hutan (RPH), dan rekening Pemerintah lainnya. Penggunaan
pembiayaan nonutang yang berasal dari perbankan dalam negeri untuk membiayai APBN
selama periode 2007–2012 cenderung berfluktuasi setiap tahunnya, terutama dipengaruhi
oleh besar kecilnya SAL. Sejak tahun 2009 – 2013 secara rata-rata SAL telah menyumbang
93% pembiayaan APBN yang bersumber dari non-utang.
Seiring dengan meningkatnya defisit dalam APBN Perubahan, sebagai akibat dari perubahan
asumsi makroekonomi, pemanfaatan dana SAL menjadi salah satu sumber pembiayaan
anggaran yang mengalami peningkatan signifikan dalam APBN Perubahan dibandingkan alokasi
awalnya dalam APBN sebelum dilakukan perubahan. Di samping untuk membiayai peningkatan
defisit akibat perubahan asumsi makroekonomi tahun berjalan, SAL juga digunakan untuk
mengantisipasi dampak dari perubahan ekonomi global.
Grafik 1 : Perkembangan SAL dan Defisit APBN
Sumber : Nota Keuangan APBN, diolah
III. OVERFINANCING APBN
Perkembangan nilai SAL berfluktuasi dari tahun ke tahun. Peningkatan secara signifikan jumlah
SAL terjadi pada tahun 2008. Nilai SAL akhir tahun meningkat signifikan dibanding saldo awal
SAL pada tahun 2008. APBN pada tahun 2008 menikmati keseimbangan primer yang tinggi
yaitu sebesar Rp84.308,5 miliar. Keseimbangan primer adalah selisih pendapatan Negara dan hibah
dengan belanja Negara setelah dikurangi pembayaran bunga utang. Ini merupakan indikator
kemampuan APBN dalam membayar beban utangnya. Hal lain yang menjadi penyebab adalah realisasi
defisit APBN tahun 2008 yang jauh dari target APBNP TA 2008. Defisit APBNP TA 2008 ditetapkan
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI | 37
sebesar minus Rp94,50 triliun (-2,1% PDB) sedangkan realisasinya sebesar minus Rp4,10 triliun atau 0,10% dari PDB. Kelebihan pembiayaan inilah yang kemudian terakumulasi dalam SILPA akhir tahun
yang menambah jumlah SAL pada akhir tahun. Data SAL selengkapnya dapat dilihat pada table di bawah
ini.
Tabel 1. Saldo Anggaran Lebih (SAL) TA 2010 - 2012 (dalam miliar rupiah)
Sumber : LKPP, diolah
Meskipun penggunaan SAL termasuk dalam pos pembiayaan non utang, namun SAL
sesungguhnya merupakan akumulasi dari sisa lebih (kurang) pembiayaan anggaran
(SiLPA/SiKPA) dalam bentuk utang. Pembiayaan utang APBN ini sebagian besar berasal dari
pembiayaan Dalam Negeri (penerbitan SBN) dan penarikan utang luar negeri. Sehingga dapat
dikatakan bahwa, meskipun SAL merupakan salah satu pembiayaan non utang, namun
sumbernya berasal dari pembiayaan utang dalam dan luar negeri. Hal ini disebabkan adanya
overfinancing dari utang yang digunakan untuk membiayai deficit APBN. Sejak tahun 2008,
APBN mengalami kelebihan pembiayaan sebagaimana tabel di bawah ini. Kelebihan
pembiayaan ini bukan disebabkan oleh surplus dari penerimaan negara dibandingkan dengan
belanja negara, namun karena overfinancing pembiayaan negara.
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI | 38
Grafik 2. Realisasi Defisit dan Kelebihan Pembiayaan APBN Tahun 2008-2012
200.00
150.00
100.00
50.00
0.00
(50.00)
(100.00)
(150.00)
(200.00)
2008
2009
2010
2011
2012
Defisit
(4.10)
(88.60)
(46.80)
(84.40)
(153.30)
Pembiayaan
80.00
112.60
91.60
130.90
175.15
80
24.00
44.70
46.50
21.86
Kelebihan Pembiayaan
Kemampuan Kementerian/Lembaga dalam menyerap anggaran juga berdampak bagi overfinancing
APBN. Berdasarkan laporan Tim Evaluasi dan Pengawasan Penyerapan Anggaran Triwulan II tahun
2012, daya serap Kementrian/Lembaga rata-rata sebesar 31,98% dari target sebesar 50%. Dalam LKPP
tahun 2012, dari total belanja Negara sebesar Rp1.069,53 triliun hanya mampu terealisasi
sebesar Rp1.010,55 triliun (atau sebesar 94,5%) dengan demikian total anggaran K/L yang tidak
terserap adalah sebesar Rp58,97 triliun. Hal ini mengindikasikan adanya peluang untuk
melakukan penajaman prioritas belanja sehingga meningkatkan kinerja APBN.
Sumber : Laporan Tim Evaluasi dan Pengawasan Penyerapan Anggaran Triwulan II tahun 2012
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI | 39
IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Semakin kecilnya ruang fiscal yang dimiliki pemerintah dalam APBN tahun berjalan secara
kontras dihadapkan dengan realitas kinerja APBN pada akhir tahun yaitu kecilnya penyerapan
belanja K/L dan adanya overfinancing APBN sebagai akibat dari tidak terealisasinya target
defisit yang ditetapkan.
Peningkatan ruang fiskal APBN tidak saja dapat ditempuh melalui peningkatan pendapatan
Negara dari pajak dan PNBP dan melakukan penajaman prioritas belanja
kementerian/lembaga, tetapi juga dapat dilakukan melalui :
a. Menghindari terciptanya mandatory spending baru untuk sektor/bidang lainnya.
Pengkotakan-kotakkan APBN dinilai akan mempersempit ruang gerak pemerintah dalam
menghadapi semakin tingginya daya saing perekonomian global.
b. Audit kinerja terhadap mandatory spending yang sudah ada yang mencakup dampak atas
pemenuhan program yang telah ditetapkan. Meningkatnya alokasi anggaran yang berjalan
seiring dengan meningkatnya pagu APBN haruslah diikuti dengan peningkatan output dan
outcome sektor yang bersangkutan. Tidak menutup kemungkinan untuk mengurangi
persentase yang dimandatkan, apabila dinilai output dan outcome sudah tercapai dengan
baik, sehingga alokasi anggaran dapat dialihkan ke sector prioritas lainnya.
c. Pembiayaan dari utang sebaiknya diarahkan untuk belanja infrastruktur atau sektor-sektor
yang mampu menyerap lapangan kerja, sehingga dapat memberikan multiplier effect yang
besar bagi perekonomian.
d. Kewajiban pemerintah untuk memenuhi belanja yang sifatnya mengikat juga harus dibatasi
dengan tidak membentuk lembaga baru yang akan menambah anggaran belanja
pemerintah pusat.
Meskipun SAL merupakan salah satu pos dalam pembiayaan non utang, namun sumber SAL
juga berasal dari utang yang disebabkan oleh adanya overfinancing pembiayaan APBN.
Meskipun pemerintah telah mengurangi porsi penarikan pinjaman utang luar negeri, namun
trend pembiayaan utang yang berasal dari dalam negeri (penerbitan) SBN telah mengalami
peningkatan cukup signifikan. Dalam tiga tahun terakhir, realisasi penerbitan SBN telah
meningkat sebesar 57% dari Rp91.102,6 miliar (2010) menjadi Rp159.704,3 miliar. SAL yang
bersumber dari non utang dapat dilakukan dengan meningkatkan penerimaan negara dari
sektor pajak dan non pajak dan disisi lain melakukan optimalisasi belanja negara.
Realisasi defisit APBN yang lebih rendah dari target yang ditetapkan pada beberapa tahun
terakhir, menuntut adanya pola baru jadwal penarikan pinjaman dengan tetap menjaga cash
flow APBN. Dengan demikian, overfinancing APBN tidak lagi terjadi dengan mempertimbangkan
besarnya biaya pinjaman yang harus ditanggung APBN.
-o0o-
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI | 40
Download