BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Seorang dapat dinyatakan sebagai seorang jompo atau lanjut usia setelah yang bersangkutan mencapai umur 55 tahun, tidak mempunyai atau tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk keperluan hidupnya sehari-hari dan menerima nafkah dari orang lain. Lanjut usia adalah suatu proses alami yang tidak dapat dihindari dari usia manusia sebagai makhluk hidup yang terbatas oleh suatu putaran alam dengan batas usia 55 tahun / lebih. Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah suatu gangguan pada sistem peredaran darah yang sering terdapat pada usia pertengahan atau lebih, yang ditandai dengan tekanan darah lebih dari normal. Hipertensi menyebabkan perubahan pada pembuluh darah yang mengakibatkan makin meningkatnya tekanan darah. Dari banyak penelitian epidemiologi didapatkan bahwa dengan meningkatnya umur hipertensi menjadi masalah pada lansia karena sering ditemukan pada lansia. Pada lansia hipertensi menjadi faktor utama payah jantung dan penyakit jantung koroner. Lebih dari separuh kematian di atas usia 60 tahun disebabkan oleh penyakit jantung dan serebrovaskular. Secara nyata kematian akibat stroke dan morbiditas penyakit kardiovaskuler menurun dengan pengobatan hipertensi 1.2 Tujuan 1.2.1 Mengetahui definisi dari hipertensi pada lansia 1.2.2 Dapat menjelaskan penyebab terjadinya hipertensi pada lansia. 1.2.3 Mampu menjelaskan patofisiologi hipertensi pada lansia 1.2.4 Mengetahui askep lansia dengan hipertensi 1.3 Manfaat 1.3.1 Memahami definisi dari hipertensi pada lansia 1.3.2 Memahami penyebab terjadinya hipertensi pada lansia. 1.3.3 Memahami patofisiologi hipertensi pada lansia 1.3.4 Memahami askep lansia dengan hipertensi BAB II PEMBAHASAN 2.1 Pengertian Hipertensi merupakan gangguan kesehatan yang ditandai adanya tekanan sistolik >140 mmHg dan tekanan diastolik >90 mmHg. Pada populasi lansia, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg. (Smeltzer,2001). Menurut WHO (1978), tekanan darah ≥160/95 mmHg dinyatakan sebagai hipertensi. 2.2 Klasifikasi Klasifikasi hipertensi berdasarkan penyebabnya dapat dibedakan menjadi 2 golongan besar yaitu : • Hipertensi essensial (hipertensi primer) yaitu hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya • Hipertensi sekunder yaitu hipertensi yang di sebabkan oleh penyakit lain Hipertensi pada usia lanjut dibedakan atas : • Hipertensi dimana tekanan sistolik sama atau lebih besar dari 140 mmHg dan atau tekanan diastolik sama atau lebih besar dari 90 mmHg. • Hipertensi sistolik terisolasi dimana tekanan sistolik lebih besar dari 160 mmHg dan tekanan diastolik lebih rendah dari 90 mmHg. 2.3 Etiologi Hipertensi pada lansia dapat disebabkan oleh interaksi bermacam-macam faktor, antara lain: • Kelelahan • Proses penuaan • Keturunan • Diet yang tidak seimbang • Stress • Sosial budaya Penyebab hipertensi pada orang dengan lanjut usia adalah terjadinya perubahan– perubahan pada : • Elastisitas dinding aorta menurun • Katub jantung menebal dan menjadi kaku • Kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun sesudah berumur 20 tahun. Kemampuan jantung memompa darah menurun menyebabkan menurunnya kontraksi dan volumenya. • Kehilangan elastisitas pembuluh darah. Hal ini terjadi karena kurangnya efektifitas pembuluh darah perifer untuk oksigenasi • Meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer Meskipun hipertensi primer belum diketahui dengan pasti penyebabnya, data-data penelitian telah menemukan beberapa faktor yang sering menyebabkan terjadinya hipertensi. Faktor tersebut adalah sebagai berikut : • Faktor keturunan Menurut data dari statistik terbukti bahwa seseorang akan memiliki kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan hipertensi jika orang tuanya adalah penderita hipertensi • Ciri perseorangan Ciri perseorangan yang mempengaruhi timbulnya hipertensi adalah: a. Umur (jika umur bertambah maka TD meningkat) b. Jenis kelamin (laki-laki lebih tinggi dari perempuan) c. Ras (ras kulit hitam lebih banyak dari kulit putih) • Kebiasaan hidup Kebiasaan hidup yang sering menyebabkan timbulnya hipertensi adalah : a. Konsumsi garam yang tinggi (melebihi dari 30 gr) b. Kegemukan atau makan berlebihan c. Stress d. Merokok e. Minum alcohol f. Minum obat-obatan (ephedrine, prednison, epineprin) Sedangkan penyebab hipertensi sekunder adalah : • Glomerulonefritis • Pielonefritis • Nekrosis tubular akut • Tumor • Vascular • Aterosklerosis • Hiperplasia • Trombosis • Aneurisma • Emboli kolestrol • Vaskulitis • Kelainan endokrin • DM • Hipertiroidisme • Hipotiroidisme • Saraf • Stroke • Ensepalitis • SGB • Obat–obatan • Kontrasepsi oral • Kortikosteroid 2.4 Tanda dan gejala Tanda dan gejala hipertensi pada lansia secara umum adalah : • Sakit kepala • Perdarahan hidung • Vertigo • Mual muntah • Perubahan penglihatan • Kesemutan pada kaki dan tangan • Sesak nafas • Kejang atau koma • Nyeri dada Tanda dan gejala pada hipertensi dibedakan menjadi : • Tidak ada gejala Tidak ada gejala yang spesifik yang dapat dihubungkan dengan peningkatan tekanan darah, selain penentuan tekanan arteri oleh dokter yang memeriksa. Hal ini berarti hipertensi arterial tidak akan pernah terdiagnosa jika tekanan arteri tidak terukur. • Gejala yang lazim Sering dikatakan bahwa gejala terlazim yang menyertai hipertensi meliputi nyeri kepala dan kelelahan. Dalam kenyataannya ini merupakan gejala terlazim yang mengenai kebanyakan pasien yang mencari pertolongan medis. Menurut Rokhaeni ( 2001 ), manifestasi klinis beberapa pasien yang menderita hipertensi yaitu : mengeluh sakit kepala, pusing, lemas, kelelahan, sesak nafas, gelisah, mual muntah, epistaksis, kesadaran menurun. 2.5 Patofisiologi http://suka2-bayu.blogspot.com/2011/11/pathway-hipertensi.html 2.6 Komplikasi Akibat atau komplikasi dari penyakit hipertensi yang dapat terjadi pada lansia adalah : • gagal jantung • gagal ginjal • stroke (kerusakan otak) • kelumpuhan. 2.7 Pemeriksaan Penunjang • Hemoglobin / hematokrit Untuk mengkaji hubungan dari sel–sel terhadap volume cairan (viskositas) dan dapat mengindikasikan faktor–faktor resiko seperti hiperkoagulabilitas dan anemia • BUN Memberikan informasi tentang perfusi ginjal • Glukosa Hiperglikemi (diabetes mellitus adalah pencetus hipertensi) dapat diakibatkan oleh peningkatan katekolamin (meningkatkan hipertensi) • Kalium serum Hipokalemia dapat megindikasikan adanya aldosteron utama (penyebab) atau menjadi efek samping terapi diuretik. • Kalsium serum Peningkatan kadar kalsium serum dapat menyebabkan hipertensi • Kolesterol dan trigliserid serum Peningkatan kadar dapat mengindikasikan pencetus untuk adanya pembentukan plak ateromatosa (efek kardiovaskuler) • Pemeriksaan tiroid Hipertiroidisme dapat menimbulkan vasokonstriksi dan hipertensi • Kadar aldosteron urin/serum Untuk mengkaji aldosteronisme primer (penyebab) • Urinalisa Darah, protein, glukosa mengisyaratkan disfungsi ginjal atau adanya diabetes. • Asam urat Hiperurisemia telah menjadi implikasi faktor resiko hipertensi • Steroid urin Kenaiakn dapat mengindikasikan hiperadrenalisme • IVP Dapat mengidentifikasi penyebab hieprtensiseperti penyakit parenkim ginjal, batu ginjal/ureter. • Foto dada Menunjukkan obstruksi kalsifikasi pada area katub, perbesaran jantung • CT scan Untuk mengkaji tumor serebral, ensefalopati • EKG Dapat menunjukkan pembesaran jantung, pola regangan, gangguan konduksi, peninggian gelombang P adalah salah satu tanda dini penyakit jantung hipertensi 2.8 Penatalaksanaan • Pencegahan Primer Faktor resiko hipertensi antara lain: tekanan darah diatas rata-rata, adanya hipertensi pada anamnesis keluarga, ras (negro), tachycardi, obesitas dan konsumsi garam yang berlebihan dianjurkan untuk: 1. Mengatur diet agar berat badan tetap ideal juga untuk menjaga agar tidak terjadi hiperkolesterolemia, Diabetes Mellitus, dsb. 2. Dilarang merokok atau menghentikan merokok. 3. Merubah kebiasaan makan sehari-hari dengan konsumsi rendah garam. 4. Melakukan exercise untuk mengendalikan berat badan. • Pencegahan sekunder Pencegahan sekunder dikerjakan bila penderita telah diketahui menderita hipertensi berupa: 1. Pengelolaan secara menyeluruh bagi penderita baik dengan obat maupun dengan tindakantindakan seperti pada pencegahan primer. 2. Harus dijaga supaya tekanan darahnya tetap dapat terkontrol secara normal dan stabil mungkin. 3. Faktor-faktor resiko penyakit jantung ischemik yang lain harus dikontrol. 4. Batasi aktivitas. Pengelolaan hipertensi bertujuan untuk mencegah morbiditas dan mortalitas akibat komplikasi kardiovaskuler yang berhubungan dengan pencapaian dan pemeliharaan tekanan darah dibawah 140/90 mmHg. Prinsip pengelolaan penyakit hipertensi meliputi : • Terapi tanpa Obat Terapi tanpa obat digunakan sebagai tindakan untuk hipertensi ringan dan sebagai tindakan suportif pada hipertensi sedang dan berat. Terapi tanpa obat ini meliputi : a. Diet Diet yang dianjurkan untuk penderita hipertensi adalah : 1. Restriksi garam secara moderat dari 10 gr/hr menjadi 5 gr/hr 2. Diet rendah kolesterol dan rendah asam lemak jenuh 3. Penurunan berat badan 4. Penurunan asupan etanol 5. Menghentikan merokok b. Latihan Fisik Latihan fisik atau olah raga yang teratur dan terarah dianjurkan untuk penderita hipertensi. Macam olah raganya yaitu isotonis dan dinamis seperti lari, jogging, bersepeda, berenang dan lain-lain Intensitas olah raga yang baik antara 60-80 % dari kapasitas aerobik atau 72-87 % dari denyut nadi maksimal yang disebut zona latihan. Lamanya latihan berkisar antara 20 – 25 menit berada dalam zona latihan Frekuensi latihan sebaiknya 3 x perminggu dan paling baik 5 x perminggu c. Edukasi Psikologis Pemberian edukasi psikologis untuk penderita hipertensi meliputi : 1. Tehnik Biofeedback Biofeedback adalah suatu tehnik yang dipakai untuk menunjukkan pada subyek tanda-tanda mengenai keadaan tubuh yang secara sadar oleh subyek dianggap tidak normal. Penerapan biofeedback terutama dipakai untuk mengatasi gangguan somatik seperti nyeri kepala dan migrain, juga untuk gangguan psikologis seperti kecemasan dan ketegangan. 2. Tehnik relaksasi Relaksasi adalah suatu prosedur atau tehnik yang bertujuan untuk mengurangi ketegangan atau kecemasan, dengan cara melatih penderita untuk dapat belajar membuat otot-otot dalam tubuh menjadi rileks d. Pendidikan Kesehatan (Penyuluhan) Tujuan pendidikan kesehatan yaitu untuk meningkatkan pengetahuan pasien tentang penyakit hipertensi dan pengelolaannya sehingga pasien dapat mempertahankan hidupnya dan mencegah komplikasi lebih lanjut. • Terapi dengan Obat Tujuan pengobatan hipertensi tidak hanya menurunkan tekanan darah saja tetapi juga mengurangi dan mencegah komplikasi akibat hipertensi agar penderita dapat bertambah kuat. Pengobatan hipertensi umumnya perlu dilakukan seumur hidup penderita. Pengobatan standar yang dianjurkan oleh Komite Dokter Ahli Hipertensi (JOINT NATIONAL COMMITTEE ON DETECTION, EVALUATION AND TREATMENT OF HIGH BLOOD PRESSURE, USA, 1988) menyimpulkan bahwa obat diuretika, penyekat beta, antagonis kalsium, atau penghambat ACE dapat digunakan sebagai obat tunggal pertama dengan memperhatikan keadaan penderita dan penyakit lain yang ada pada penderita. Pengobatannya meliputi : Step 1 Obat pilihan pertama : diuretika, beta blocker, Ca antagonis, ACE inhibitor Step 2 Alternatif yang bisa diberikan : a. Dosis obat pertama dinaikkan. b. Diganti jenis lain dari obat pilihan pertama. c. Ditambah obat ke –2 jenis lain, dapat berupa diuretika , beta blocker, Ca antagonis, Alpa blocker, clonidin, reserphin, vasodilator Step 3 : Alternatif yang bisa ditempuh : a. Obat ke-2 diganti b. Ditambah obat ke-3 jenis lain Step 4 Alternatif pemberian obatnya : Ditambah obat ke-3 dan ke-4 Re-evaluasi dan konsultasi Follow Up untuk mempertahankan terapi Untuk mempertahankan terapi jangka panjang memerlukan interaksi dan komunikasi yang baik antara pasien dan petugas kesehatan (perawat, dokter) dengan cara pemberian pendidikan kesehatan. 2.9 Asuhan Keperawatan A. Pengkajian • Aktifitas/ istirahat Gejala Tanda : Kelemahan, letih, nafas pendek, gaya hidup monoton : Frekwensi jantung meningkat, perubahan irama jantung, takipnea • Sirkulasi Gejala : Riwayat hipertensi, penyakit jantung koroner aterosklerosis. Tanda : Kenaikan tekanan darah, tachycardi, disrythmia, denyutan nadi jelas, bunyi jantung murmur, distensi vena jugularis • Integritas Ego Gejala : Riwayat perubahan kepribadian, ansietas, depresi, euphoria, marah, faktor stress multiple (hubungan, keuangan, pekerjaan) Tanda : Letupan suasana hati, gelisah, penyempitan kontinue perhatian, tangisan yang meledak, otot muka tegang (khususnya sekitar mata), peningkatan pola bicara • Eliminasi Gejala : Gangguan ginjal saat ini atau yang lalu ( infeksi, obstruksi, riwayat penyakit ginjal ), obstruksi. • Makanan/ cairan Gejala : Makanan yang disukai (tinggi garam, tinggi lemak, tinggi kolesterol), mual, muntah, perubahan berat badan (naik/ turun), riwayat penggunaan diuretik. Tanda : Berat badan normal atau obesitas, adanya oedem. • Neurosensori Gejala : Keluhan pusing berdenyut, sakit kepala sub oksipital, gangguan penglihatan. Tanda : Status mental: orientasi, isi bicara, proses berpikir,memori, perubahan retina optik. Respon motorik : penurunan kekuatan genggaman tangan. • Nyeri/ ketidaknyamanan Gejala : Angina, nyeri hilang timbul pada tungkai, nyeri abdomen/ masssa. • Pernafasan Gejala : Dyspnea yang berkaitan dengan aktifitas/ kerja, tacyhpnea, batuk dengan/ tanpa sputum, riwayat merokok. Tanda : Bunyi nafas tambahan, cyanosis, distress respirasi/ penggunaan alat bantu pernafasan. • Keamanan Gejala : Gangguan koordinasi, cara brejalan. B. Pemeriksaan Diagnostik • Hb: untuk mengkaji anemia, jumlah sel-sel terhadap volume cairan (viskositas). • BUN: memberi informasi tentang fungsi ginjal. • Glukosa: mengkaji hiperglikemi yang dapat diakibatkan oleh peningkatan kadar katekolamin (meningkatkan hipertensi). • Kalsium serum • Kalium serum • Kolesterol dan trygliserid • Urin analisa • Foto dada • CT Scan • EKG C. Kemungkinan Diagosa Keperawatan 1. Gangguan rasa nyaman nyeri (sakit kepala) b/d peningkatan tekanan vaskuler serebral. 2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake nutrisi inadekuat 3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum, ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan O2. 4. Inefektif koping individu berhubungan dengan mekanisme koping tidak efektif, harapan yang tidak terpenuhi, persepsi tidak realistic. 5. Kurang pengetahuan mengenai kondisi penyakitnya berhubungan dengan kurangn 6. Resiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan vasokontriksi pembuluh darah. 7. Resiko tinggi terhadap cedera yang berhubungan dengan defisit lapang pandang, motorik atau persepsi. D. Intervensi 1. Gangguan rasa nyaman nyeri (sakit kepala) b.d peningkatan tekanan vaskuler serebral Tujuan : Menghilangkan rasa nyeri Kriteria hasil : • Melaporkan ketidanyamanan hilang atau terkontrol. • Mengikuti regimen farmakologi yang diresepkan. Intervensi : • Pertahankan tirah baring selama fase akut. R/ Meminimalkan stimulasi dan meningkatkan relaksasi. • Berikan tindakan nonfarmakologi untuk menghilangkan sakit kepala, misalnya kompres dingin pada dahi, pijat punggung dan leher. R/ Tindakan yang menurunkan tekanan vaskuler serebral, efektif dalam menghilangkan sakit kepala dan komplikasinya. • Hilangkan/minimalkan aktifitas vasokontraksi yang dapat meningkatkan sakit kepala, misalnya batuk panjang, mengejan saat BAB. R/ Aktifitas yang meningkatkan vasokontraksi menyebabkan sakit kepala pada adanya peningkatan vaskuler serebral. • Bantu pasien dalam ambulasi sesuai kebutuhan. R/ Meminimalkan penggunaan oksigen dan aktivitas yang berlebihan yang memperberat kondisi klien. • Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat analgetik, anti ansietas, diazepam dll. R/ 2. Analgetik menurunkan nyeri dan menurunkan rangsangan saraf simpatis. G3 pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake nutrisi inadekuat Tujuan : kebutuhan nutrisi terpenuhi Kriteria Hasil : • Klien menunjukkan peningkatan berat badan • Menunjukkan perilaku meningkatkan atau mempertahankan berat badan ideal Intervensi • Bicarakan pentingnya menurunkan masukan lemak, garam dan gula sesuai indikasi. R/ Kesalahan kebiasaan makan menunjang terjadinya aterosklerosis, kelebihan masukan garam memperbanyak volume cairan intra vaskuler dan dapat merusak ginjal yang lebih memperburuk hipertensi. • Kaji ulang masukan kalori harian dan pilihan diet. R/ Mengidentifikasi kekuatan/kelemahan dalam program diit terakhir.. • Dorong klien untuk mempertahankan masukan makanan harian termasuk kapan dan dimana makan dilakukan, lingkungan dan perasaan sekitar saat makanan dimakan. R/ Memberikan data dasar tentang keadekuatan nutrisi yang dimakan dan kondisi emosi saat makan, membantu untuk memfokuskan perhatian pada factor mana pasien telah/dapat mengontrol perubahan. • Intruksikan dan bantu memilih makanan yang tepat, hindari makanan dengan kejenuhan lemak tinggi (mentega, keju, telur, es krim, daging dll) dan kolesterol (daging berlemak, kuning telur, produk kalengan,jeroan). R/ Menghindari makanan tinggi lemak jenuh dan kolesterol penting dalam mencegah perkembangan aterogenesis. • Kolaborasi dengan ahli gizi sesuai indikasi. R/ 3. Memberikan konseling dan bantuan dengan memenuhi kebutuhan diet individual. Intoleransi aktivitas b.d kelemahan umum, ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan O2. Tujuan : tidak terjadi intoleransi aktivitas Kriteria Hasil : • Klien dapat berpartisipasi dalam aktivitas yang di inginkan atau diperlukan • Melaporkan peningkatan dalam toleransi aktivitas yang dapat diukur. Intervensi • Kaji toleransi pasien terhadap aktivitas dengan menggunkan parameter : frekwensi nadi 20 x/menit diatas frekwensi istirahat, catat peningkatan TD, dipsnea, atau nyeri dada, kelelahan berat dan kelemahan, berkeringat, pusing atau pingsan. R/ Parameter menunjukan respon fisiologis pasien terhadap stress, aktivitas dan indikator derajat pengaruh kelebihan kerja jantung. • Kaji kesiapan untuk meningkatkan aktivitas contoh : penurunan kelemahan/kelelahan, TD stabil, frekwensi nadi, peningkatan perhatian pada aktivitas dan perawatan diri. R/ Stabilitas fisiologis pada istirahat penting untuk memajukan tingkat aktivitas individual. • Dorong memajukan aktivitas/toleransi perawatan diri. R/ Konsumsi oksigen miokardia selama berbagai aktivitas dapat meningkatkan jumlah oksigen yang ada. Kemajuan aktivitas bertahap mencegah peningkatan tiba-tiba pada kerja jantung. • Berikan bantuan sesuai kebutuhan dan anjurkan penggunaan kursi mandi, menyikat gigi/rambut dengan duduk dan sebagainya. R/ Teknik penghematan energi menurunkan penggunaan energi dan sehingga membantu keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen. • Dorong pasien untuk berpartisipasi dalam memilih periode aktivitas. R/ 4. Jadwal meningkatkan toleransi terhadap kemajuan aktivitas dan mencegah kelemahan. Inefektif koping individu b.d mekanisme koping tidak efektif, harapan yang tidak terpenuhi, persepsi tidak realistik. Tujuan : klien menunjukkan tidak ada tanda-tanda inefektif koping Kriteria Hasil : • Mengidentifikasi perilaku koping efektif dan konsekuensinya • menyatakan kesadaran kemampuan koping / kekuatan pribadi • mengidentifikasi potensial situasi stress dan mengambil langkah untuk menghindari dan mengubahnya. Intervensi • Kaji keefektifan strategi koping dengan mengobservasi perilaku, Misalnya : kemampuan menyatakan perasaan dan perhatian, keinginan berpartisipasi dalam rencana pengobatan. R/ Mekanisme adaptif perlu untuk megubah pola hidup seorang, mengatasi hipertensi kronik dan mengintegrasikan terapi yang diharuskan kedalam kehidupan sehari-hari. • Catat laporan gangguan tidur, peningkatan keletihan, kerusakan konsentrasi, peka rangsangan, penurunan toleransi sakit kepala, ketidak mampuan untuk mengatasi/menyelesaikan masalah. R/ Manifestasi mekanisme koping maladaptif mungkin merupakan indicator marah yang ditekan dan diketahui telah menjadi penentu utama TD diastolic. • Bantu klien untuk mengidentifikasi stressor spesifik dan kemungkinan strategi untuk mengatasinya. R/ Pengenalan terhadap stressor adalah langkah pertama dalam mengubah respon seseorang terhadap stressor. • Libatkan klien dalam perencanaan perwatan dan beri dorongan partisipasi maksimum dalam rencana pengobatan. R/ Keterlibatan memberikan klien perasaan kontrol diri yang berkelanjutan. Memperbaiki keterampilan koping, dan dapat menigkatkan kerjasama dalam regiment teraupetik. • Bantu klien untuk mengidentifikasi dan mulai merencanakan perubahan hidup yang perlu. Bantu untuk menyesuaikan ketimbang membatalkan tujuan diri / keluarga. R/ Perubahan yang perlu harus diprioritaskan secara realistic untuk menghindari rasa tidak menentu dan tidak berdaya. 5. Kurang pengetahuan mengenai kondisi penyakitnya berhubungan dengan kurangnya informasi mengenai penyakitnya. Tujuan : Klien menunjukkan peningkatan pengetahuan mengenai penyakitnya Kriteria hasil • Menyatakan pemahaman tentang proses penyakit dan regiment pengobatan. • Mengidentifikasi efek samping obat dan kemungkinan komplikasi yang perlu diperhatikan. Mempertahankan TD dalam parameter normal. Intervensi • Kaji tingkat pemahaman klien tentang pengertian, penyebab, tanda dan gejala, pencegahan, pengobatan, dan akibat lanjut. R/ Mengidentifikasi tingkat pegetahuan tentang proses penyakit hipertensi dan mempermudah dalam menentukan intervensi. • Bantu klien dalam mengidentifikasi faktor-faktor resiko kardivaskuler yang dapat diubah, misalnya : obesitas, diet tinggi lemak jenuh, dan kolesterol, pola hidup monoton, merokok, pola hidup penuh stress dan minum alcohol (lebih dari 60 cc/hari dengan teratur). R/ Faktor-faktor resiko ini telah menunjukan hubungan dalam menunjang hipertensi dan penyakit kardiovaskuler serta ginjal. • Kaji kesiapan dan hambatan dalam belajar termasuk orang terdekat. R/ Kesalahan konsep dan menyangkal diagnosa karena perasaan sejahtera yang sudah lama dinikmati mempengaruhi minimal klien/orang terdekat untuk mempelajari penyakit, kemajuan dan prognosis. Bila klien tidak menerima realitas bahwa membutuhkan pengobatan kontinyu, maka perubahan perilaku tidak akan dipertahankan. • Jelaskan pada klien tentang proses penyakit hipertensi (pengertian,penyebab,tanda dan gejala,pencegahan, pengobatan, dan akibat lanjut) melalui penkes. R/ 6. Tujuan : Meningkatkan pemahaman dan pengetahuan klien tentang proses penyakit hipertensi. Resiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan vasokontriksi pembuluh darah. Tidak terjadi penurunan curah jantung Kriteria Hasil : • Klien berpartisipasi dalam aktivitas yang menurunkan tekanan darah/beban kerja jantung • Mempertahankan TD dalam rentang individu yang dapat diterima, • Memperlihatkan norma dan frekwensi jantung stabil dalam rentang normal pasien. Intervensi • Observasi tekanan darah R/ Perbandingan dari tekanan darah memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang keterlibatan vaskuler. • Catat keberadaan, kualitas denyutan sentral dan perifer R/ Denyutan karotis, jugularis, radialis dan femoralis mungkin teramati saat palpasi. Denyut pada tungkai mungkin menurun, mencerminkan efek dari vasokontriksi dan kongesti vena. • Auskultasi tonus jantung dan bunyi napas. R/ S4 umum terdengar pada pasien hipertensi berat karena adanya hipertropi atrium, perkembangan S3 menunjukan hipertropi ventrikel dan kerusakan fungsi, adanya krakels, mengi dapat mengindikasikan kongesti paru sekunder terhadap terjadinya atau gagal jantung kronik. • Amati warna kulit, kelembaban, suhu, dan masa pengisian kapiler. R/ Adanya pucat, dingin, kulit lembab dan masa pengisian kapiler lambat mencerminkan dekompensasi/penurunan curah jantung. • Berikan lingkungan yang nyaman, tenang, kurangi aktivitas atau keributan ligkungan, batasi jumlah pengunjung dan lamanya tinggal. R/ Membantu untuk menurunkan rangsangan simpatis, meningkatkan relaksasi. • Anjurkan teknik relaksasi, panduan imajinasi dan distraksi. R/ Dapat menurunkan rangsangan yang menimbulkan stress, membuat efek tenang, sehingga akan menurunkan tekanan darah. • Kolaborasi dengan dokter dalam pembrian terapi anti hipertensi dan diuretik. R/ Menurunkan tekanan darah. 7. Resiko tinggi terhadap cedera yang berhubungan dengan defisit lapang pandang, motorik atau persepsi. Tujuan : Tidak terjadi cidera Kriteria hasil: • Mengidentifikasi faktor yang meningkatkan resiko terhadap cedera. • Memperagakan tindakan keamanan untuk mencegah cedera. • Meminta bantuan bila diperlukan. Intervensi: • Lakukan tindakan untuk mengurangi bahaya lingkungan. R/ Membantu menurunkan cedera. • Bila penurunan sensitifitas taktil menjadi masalah ajarkan klien untuk melakukan: o Kaji suhu air mandi dan bantalan pemanas sebelum digunakan. o Kaji ekstremitas setiap hari terhadap cedera yang tak terdeteksi. o Pertahankan kaki tetap hangat dan kering serta kulit dilemaskan dengan lotion emoltion. R/ Kerusakan sensori pasca CVA dapat mempengaruhi persepsi klien terhadap suhu. • Lakukan tindakan untuk mengurangi resiko yang berkenaan dengan pengunaan alat bantu. R/ Penggunaan alat bantu yang tidak tepat atau tidak pas dapat meyebabkan regangan atau jatuh. • Anjurkan klien dan keluarga untuk memaksimalkan keamanan di rumah. R/ Keamanan yang baik meminimalkan terjadinya cidera E. Evaluasi 1. Apakah rasa nyeri pasien / sakit kepala berkurang ? 2. Apakah pasien sudah bisa beraktifitas sendiri / mandiri ? 3. Apakah pola nutrisi pasien seimbang atau normal ? BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan • Pada populasi lansia, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg • Hipertensi pada usia lanjut dibedakan atas o Hipertensi o Hipertensi sistolik terisolasi • Hipertensi pada lansia dapat disebabkan oleh interaksi bermacam-macam faktor • Komplikasi hipertensi pada lansia adalah o gagal jantung o gagal ginjal o stroke (kerusakan otak) o kelumpuhan. • Penatalaksanaan hipertensi pada lansia terdiri atas o Pencegahan primer o Pencegahan sekunder 3.2 Saran Diharapkan perawat lebih mengerti tentang konsep hipertensi pada lansia dan disarankan perawat lebih banyak lagi mencari informasi tentang hipertensipada lansia sehingga bisa menambah wawasan yang lebih maksimal dan dapat melaksanakan asuhan keperawatan pada lansia dengan baik dan benar BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan dibidang kesehatan yang didasari oleh ilmu dan kiat keperawatan yang ditujukan kepada individu, keluarga guyuban dan masyarakat baik yang sakit maupun yang sehat, sejak lahir sampai meninggal. Pelayanan berupa bantuan diberikan karena kelemahan fisik, keterbatasan pengetahuan, dan kurang kemauan menuju kepada kemampuan hidup mandiri memenuhi kebutuhan fisik sehari-hari (Lokakarya keperawatan (1983) dalam Effendy, 1998). Keperawatan di Indonesia saat ini masih dalam suatu proses profesionalisasi, yaitu terjadinya suatu perubahan dan perkembangan karakteristik sesuai tuntunan secara global dan lokal/otonomi. Untuk mewujudkannya maka perawat Indonesia harus mampu memberikan asuhan keperawatan secara professional kepada klien dan berpartisipasi secara aktif dalam pembangunan bangsa dan Negara Indonesia tercinta, sehingga manusia / masyarakat (masyarakat umum dan masyarakat professional) mengenal dan mengakui eksistensi profesi keperawatan (Nursalam, 2001). Proses keperawatan adalah suatu metode dimana suatu konsep diterapkan dalam praktek keperawatan. Hal ini biasa disebut sebagai suatu pendekatan Problem-Solving yang memerlukan ilmu, teknik dan keterampilan interpersonal dan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan klien/keluarga (Nursalam, 2001). Tujuan proses keperawatan secara umum adalah untuk membuat suatu kerangka konsep berdasarkan kebutuhan individu dari klien, keluarga dan masyarakat dapat terpenuhi. Proses keperawatan juga ditujukan untuk memenuhi tujuan asuhan keperawatan yaitu untuk mempertahankan keadaan kesehatan pasien yang optimal, dan jika pernyataan tersebut berubah, untuk membuat suatu jumlah dan kualitas tindakan keperawatan terhadap kondisinya guna kembali ke keadaan yang normal (Nursalam, 2001). Konsep keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan kesehatan yang bersifat professional dalam memenuhi kebutuhan dasar manusia (biologis, psikologis, sosial, dan spiritual) yang dapat ditujukan pada individu, keluarga atau masyarakat dalam rentang sehat sakit (Hidayat, AA, 2004). Asuhan keperawatan merupakan faktor penting dalam survival pasien dan dalam aspek-aspek pemeliharaan, rehabilitatif, dan preventif perawatan kesehatan. Untuk sampai pada hal ini, profesi keperawatan telah meng-identifikasi proses pemecahan masalah yang menggabungkan elemen yang paling di inginkan dari seni keperawatan dengan elemen yang paling relevan dari sistem teori, dengan menggunakan metode ilmiah (Shore (1988) dalam Doenges, 1999). Kesehatan adalah kondisi dinamis manusia dalam rentang sehat sakit yang merupakan hasil interaksi dengan lingkungan. Undang-undang NO. 23 tahun 1992 tentang kesehatan membuat bahwa kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial ekonomi (Kusnanto, 2004). Sehat merupakan keadaan seimbang bio-psiko-sosio-spiritual yang dinamis yang memungkinkan individu untuk menyesuaikan diri sehingga dapat berfungsi secara optimal guna memenuhi kebutuhan dasar melalui aktivitas hidup sehari-hari sesuai dengan tingkat tumbuh kembangnya. Sehat sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum adalah hak dan tanggung jawab setiap individu yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia seperti dimaksud dalam pembukaan UUD 1945, oleh karena itu harus dipertahankan dan ditingkatkan melalui upaya promotif, preventif, dan rehabilitatif (Kusnanto, 2004). Cedera kepala merupakan salah satu masalah kesehatan yang merupakan penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi kecelakaan lalu lintas, disamping penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi korban ke rumah sakit, penilaian dan tindakan awal dan di ruang gawat darurat sangat menentukan penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya (Mansjoer, A, dkk, 2000). Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologik yang serius diantara penyakit neurologik dan merupakan proporsi epidemik sebagai hasil kecelakaan jalan raya. Diperkirakan 100.000 orang meninggal setiap tahun akibat cedera kepala, dan lebih dari 700.000 mengalami cedera cukup berat yang memerlukan perawatan di rumah sakit (Smeltzer & Bare, 2001). Statistik Negara-negara yang sudah maju menunjukkan bahwa trauma kepala mencakup 26% dari jumlah segala macam kecelakaan yang mengakibatkan seseorang tidak bisa bekerja lebih dari satu hari sampai selama jangka panjang. Kurang lebih 33% kecelakaan yang berakhir kematian menyangkut trauma kepala. Diluar medan peperangan lebih dari 50% dari trauma kepala terjadi karena kecelakaan lalu lintas, selebihnya dikarenakan pukulan atau jatuh. Orang-orang yang mati karena kecelakaan, 40% sampai 50% meninggal sebelum mereka sampai di rumah sakit, dari mereka yang dimasukkan rumah sakit dalam keadaan masih hidup 40% meninggal dalam satu hari dan 35% dalam satu minggu perawatan, jika kita meneliti sebab dari kematian dan cacat yang menetap akibat trauma kepala, maka 50% ternyata disebabkan oleh gangguan perdarahan sebagai yang terkait secara tidak langsung pada trauma, komplikasi berupa perubahan tonus pembuluh darah serebral, perubahan-perubahan yang menyangkut sistem kardiopulmonal yang bisa menimbulkan gangguan pada tekanan darah, PO2 arterial atau keseimbangan asam basa (Mardjono & Sidharta, 2004). Menurut Narayan (1991) dalam Saanin (2007), diperkirakan lebih dari separuh kematian karena cedera, cedera kepala berperan nyata atas autcome. Pada pasien dengan cedera berganda, kepala adalah yang paling sering mengalami cedera, dan pada kecelakaan lalu lintas yang fatal, otopsi memperlihatkan bahwa cedera otak ditemukan pada 75% penderita untuk setiap kematian terhadap dua kasus dengan cacat tetap biasanya sekunder terhadap cedera kepala. Cedera kepala biasanya terjadi pada dewasa muda antara 15-44 tahun, pada umumnya rata-rata adalah usia sekitar 30 tahun dan laki-laki 2 kali lebih sering mengalaminya (Kalsbeek, 1980) dalam Saanin (2007). Sedangkan menurut Miller (1978) dalam Saanin (2007), memperkirakan kecelakaan kendaraan bermotor adalah penyebab yang paling sering terjadinya cedera kepala, diperkirakan sekitar 49% dari kasus, biasanya dengan derajat cedera kepala yang lebih berat dan lebih sering mengenai usia 15-24 tahun. Sedangkan jatuh lebih sering terjadi pada anakanak serta biasanya dalam derajat yang kurang berat. Pasien dengan kecelakaan kendaraan bermotor biasanya disertai cedera berganda, dan lebih dari 50% penderita cedera berat disertai oleh cedera sistematik berat. Di Amerika Serikat, kejadian Head Injury (cedera kepala) setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal dunia sebelum tiba dirumah sakit. Sedangkan yang sampai rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), dan 10% termasuk dalam cedera kepala sedang (CKS),dan 10% sisanya adalah digolongkan sebagai cedera kepala berat (CKB). Insiden cedera kepala terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara 15-44 tahun. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48%-53% dari insiden cedera kepala, 20%-28% lainnya karena jatuh, dan 3%-9% disebabkan oleh tindakan kekerasan, kegiatan olah raga dan rekreasi (Irwana, 2009). Menurut Oman, KS, dkk (2008), prevalensi cedera kepala di Amerika Serikat ada 2 juta kasus yang terjadi setiap tahunnya, satu setengah juta merupakan cedera ringan yang ditangani sebagai pasien rawat jalan, sedangkan 500.000 kasus mengalami cedera kepala yang cukup parah dan memerlukan perawatan dirumah sakit, jumlah tersebut memprediksikan besarnya kemungkinan menghadapi pasien-pasien cedera kepala, cedera kepala merupakan penyebab separuh dari seluruh kematian akibat kecelakaan kendaraan bermotor, orang muda yang berusia 15-24 tahun, memiliki insiden cedera kepala yang paling tertinggi, dan orang tua merupakan kelompok berikutnya yang mempunyai angka insiden tertinggi, serta dengan bertambahnya populasi manula di Amerika Serikat, insiden tersebut akan meningkat. Sedangkan data epidemiologi di Indonesia belum ada, tetapi data dari salah satu rumah sakit di Jakarta yaitu Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, diperikan untuk rawat inap, terdapat 60%-70% dengan cedera kepala ringan (CKR), 15%-20% cedera kepala sedang (CKS), dan sekitar 10% dengan cedera kepala berat (CKB), angka kematian tertinggi sekitar 35%-50% akibat cedera kepala berat (CKB), dan untuk cedera kepala sedang (CKS) 5%10%, sedangkan untuk cedera kepala ringan tidak ada yang meninggal (Irwana, 2009). Menurut data yang didapat dari Medical Record Rumah Sakit Umum Daerah dr. H.Yuliddin Away Tapaktuan, jumlah penderita cedera kepala (Head Injury) yang terhitung dari bulan Januari sampai bulan Desember 2009 mencapai 934 kasus dari 1305 pasien (71,57%) yang di rawat di Ruang Rawat Inap Bedah Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan, sedangkan dari bulan Januari sampai bulan Maret 2010 mencapai 100 kasus cedera kepala (Head Injury) dari 339 pasien (29,49%) yang di rawat di Ruang Rawat Inap Bedah Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan. Cedera kepala merupakan salah satu masalah kesehatan yang merupakan penyebab kematian dan kecacatan pada usia produktif dan juga sebagian besar karena terjadi kecelakaan lalu lintas, yang membutuhkan pertolongan dan perawatan yang serius. Maka berdasarkan insiden di atas maka penulis tertarik untuk melaksanakan study kasus dalam bentuk penyusunan Karya Tulis Ilmiah dengan judul “Asuhan Keperawatan Pada An.I Dengan Head Injury GCS 11 di Ruang Rawat Inap Bedah di Rumah Sakit Umum Daerah dr. H.Yuliddin Away Tapaktuan". B. BATASAN PENULISAN Batasan penulisan Karya Tulis Ilmiah ini penulis membatasi ruang lingkup tentang Asuhan Keperawatan Pada An. I, umur 14 tahun, jenis kelamin Perempuan, Agama Islam, Alamat Gunong Pulo–Kota Fajar, di Ruang Rawat Inap Bedah Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan, selama 3 (tiga) hari rawatan dimulai tanggal 06 Juli 2010 s/d 08 Juli 2010. Adapun diagnosa yang muncul pada kasus Head Injury (cedera kepala) menurut Doenges (1999), yaitu : 1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah oleh SOL (Hemoragik, Hematoma), edema serebral (respon lokal atau umum pada cedera, perubahan metabolik, takar lajak obat / alkohol), penurunan tekanan darah iskemik/hipoksia, (Hipovolemia, Disritmia jantung). 2. Resiko tinggi terhadap pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neuromuskular (cedera pada pusat pernafasan otak), kerusakan kognitif, obstruksi trakeobronkial. 3. Perubahan persepsi sensorik berhubungan dengan transmisi integrasi (trauma atau defisit neurologis). 4. Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan fisiologis konflik psikologis. 5. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi atau kognitif, penurunan kekuatan/tahanan. 6. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif, penurunan kerja silia, statis cairan tubuh, kurang nutrisi, respon inflamasi tertekan (penggunaan steroid), perubahan integritas sistem tertutup (kebocoran CSS). 7. Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien (penurunaan tingkat kesadaran), kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah, menelan, status hipermetabolik. 8. Nyeri berhubungan dengan agen pencedera biologis, adanya proses infeksi / inflamasi, cedera, toksin dalam sirkulasi. 9. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan transisi dan krisis situasional, ketidakpastian tentang hasil / harapan. 10. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang pemajanan, tidak mengenal informasi / sumber-sumber, kurang mengingat / keterbatasan kognitif. Sesuai dari hasil pengkajian langsung pada An. I pada tanggal 06 Juli 2010 sampai dengan 08 Juli 2010 maka penulis menegakkan 3 (tiga) diagnosa keperawatan yang muncul sesuai dengan kasus di lapangan pada An. I yaitu : 1. Nyeri berhubungan dengan cedera kepala. 2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual muntah. 3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot. C. TUJUAN PENULISAN 1. Tujuan Umum Agar penulis mendapatkan wawasan dan menambah pengetahuan dan keterampilan serta pengalaman nyata dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien An. I dengan Head Injury GCS 11 Di Ruang Rawat Inap Bedah Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan. 2. Tujuan Khusus Setelah melakukan proses keperawatan penulis mampu : a. Melakukan pengkajian keperawatan pada pasien An. I dengan Head Injury GCS 11 di Ruang Rawat Inap Bedah Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan. b. Menganalisa data pasien An. I dengan Head Injury GCS 11 di Ruang Rawat Inap Bedah Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan. c. Merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien An. I dengan Head Injury GCS 11 di Ruang Rawat Inap Bedah Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan. d. Menyusun rencana keperawatan pada pasien An. I dengan Head Injury GCS 11 di Ruang Rawat Inap Bedah Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan. e. Melaksanakan implementasi keperawatan pada pasien An. I dengan Head Injury GCS 11 di Ruang Rawat Inap Bedah Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan. f. Mendokumentasikan asuhan keperawatan pada pasien An. I dengan Head Injury GCS 11 di Ruang Rawat Inap Bedah Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan. D. METODE PENULISAN Metode penulisan yang digunakan dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini adalah metode deskriptif merupakan study kasus mengenai frekuensi dan distribusi suatu penyakit pada manusia atau masyarakat. Menurut karakteristik orang yang menderita (person), tempat kejadian (place) dan waktu terjadinya (time) penyakit (Candra,B, 2008). Sedangkan menurut Notoadmodjo, S (2005), metode deskriptif adalah metode yang dilakukan dengan tujuan utama untuk gambaran atau deskriptif tentang suatu keadaan secara objektif. Metode penelitian dekriptif digunakan untuk memecahkan atau menjawab permasalahan yang sedang dihadapi pada situasi sekarang penelitian ini dilakukan dengan menempuh langkah-langkah pengumpulan data, klasifikasi, pengolahan / analisis data, membuat kesimpulan dan laporan. Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan pada An. I dengan Head Injury GCS 11 di Ruang Rawat Inap Bedah Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan adalah : 1. Study Kepustakaan Dilakukan sebagai bahan referensi untuk mempelajari dan mendapatkan gambaran teoritis mengenai Head Injury dengan cara penerapan asuhan keperawatan. 2. Study Kasus Melakukan perawatan langsung terhadap kasus untuk mengetahui suatu masalah secara nyata yang penulis laksanakan di Rumah Sakit di Ruang Rawat Inap Bedah Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan selama 3 (tiga) hari rawatan terhitung mulai tangggal 06 Juli 2010 sampai dengan 08 Juli 2010 dengan teknik pendekatan berupa : a. Wawancara Komunikasi secara langsung dengan pasien atau keluarga pasien untuk mendapatkan data kesehatan pasien dan riwayat penyakitnya. b. Observasi Mengamati dan memantau secara langsung status perkembangan pasien dengan tujuan untuk mendapatkan kebenaran data yang diperoleh dari pasien. c. Pemeriksaan fisik Memeriksa keadaan fisik pasien dengan cara inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi. d. Pemeriksaan penunjang Meliputi pemeriksaan laboratorium dan rontgen. e. Study dokumentasi Mempelajari status kesehatan dahulu dan sekarang serta mencatat catatan medis. E. SISTEMATIKA PENULISAN Guna memudahkan pembaca memahami tentang apa yang terkandung didalam Karya Tulis Ilmiah ini, penulis mencantumkan sistematika penulisan antara lain : BAB I : Pendahuluan yang berisikan : latar belakang, batasan penulisan, tujuan penulisan (tujuan umum dan tujuan khusus), metode penulisan, dan sistematika penulisan. BAB II : Landasan Teoritis yang berisikan : konsep dasar teori medis yang terdiri dari pengertian, klasifikasi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, komplikasi, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan, dan prognosis. Konsep dasar asuhan keperawatan yang tediri dari pengkajian , validasi data, diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi dan evaluasi. BAB III : Tinjauan kasus yang berisikan : tinjauan kasus yang terdiri dari pengkajian, analisa data, diagnosa keperawatan, rencana asuhan keperawatan, dan catatan perkembangan. BAB IV : Pembahasan yang berisikan : pengkajian, diagnosa kepe-rawatan, perencanaan, implementasi, dan evaluasi. BAB V : Penutup berisikan tentang kesimpulan dan saran DAFTAR PUSTAKA DAFTAR LAMPIRAN BIODATA PENULIS BAB II KONSEP DASAR TEORITIS A. KONSEP DASAR 1. Pengertian Cedera kepala adalah adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan (accelerasi decelerasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan faktor dan penurunan percepatan, serta notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan (Mufti, 2009). Menurut Irwana (2009), cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepala gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanen. Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala (Suriadi & Yuliani, 2001). Cedera kepala merupakan suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Brain Injury Assosiation Of Amerika, dalam Irwana (2009). 2. Klasifikasi 1. Klasifikasi berdasarkan Nilai Skala Glasgow (SKG) Mansjoer, A, dkk (2000), mengklasifikasikan cedera kepala berdasar-kan nilai skala glasgow (SKG). a. Ringan 1. GCS 14-15 2. Tidak ada kehilangan kesadaran 3. Nyeri kepala dan pusing b. Sedang 1. GCS 9-13 2. Kontusio 3. Amnesia pasca trauma atau muntah 4. Battle, mata rabun, hemotimpanum, otorea, rinhorea CSS 5. Kejang. c. Berat 1. GCS 3-8 2. Koma 3. Fraktur depresi kranium 4. Penurunan derajat kesadaran Sedangkan menurut Suriadi & Yuliani (2001), dalam Irwana (2009), klasifikasi cedera kepala menurut SKG : a. Minor 1. SKG 13-15 2. Kehilangan kesadaran / amnesia tetapi kurang dari 30 menit 3. Tidak ada kontusio tengkorak 4. Tidak ada fraktur serebral 5. Tidak ada hematoma b. Sedang 1. SKG 9-12 2. Kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam. 3. Dapat mengalami fraktur tengkorak c. Berat 1. SKG 3-8 2. Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 24 jam 3. Juga meliputi konkusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial. 2. Klasifikasi berdasarkan morfologi Mufti (2009), membagi klasifikasi cedera kepala menurut morfologinya terdiri dari : a. Trauma kepala terbuka Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak masuk kedalam jaringan otak dan melukai durameter, saraf otak, jaringan otak dan terdapat tanda dan gejala dari fraktur basis trauma kepala terbuka yaitu : 1. Battle sign (warna biru dibelakang telinga di atas os mastoid) 2. Hemotimpanum (perdahan didaerah gendang telinga) 3. Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung) 4. Rinhorrhoe (liquor keluar dari hidung) 5. Othorrhoe (liquor keluar dari telinga) b. Trauma kepala tertutup 1. Komosio a. Cedera kepala ringan b. Disfungsi neurologis sementara dan dapat pulih kembali c. Hilang kesadaran sementara, kurang dari 10-20 menit d. Tanpa kerusakan otak permanen e. Muncul gejala nyeri kepala, pusing, muntah f. Disorientasi sementara g. Tidak ada gejala sisa 2. Konkusio a. Ada memar otak b. Perdarahan kecil lokal/difusi c. Perdarahan Gejalanya : a. Gangguan kesadaran lebih lama b. Kelainan neurologis positif, reflek patologik positif, lumpuh, konvulsiv c. Gejala TIK meningkat d. Amnesia lebih nyata 3. Hematoma epidural a. Pedarahan antara tulang-tulang tengkorak dan durameter b. Lokasi tersering temporal dan frontale c. Pecahnya pembuluh darah meningen dan sinus venosus Gejalanya : a. Adanya desak ruang b. Penurunan kesadaran ringan saat kejadian c. Penurunan kesadaran hebat d. Koma e. Nyeri kepala hebat f. Reflek patologik positif 4. Hematoma subdural a. Perdarahan antara durameter dan arachnoid b. Biasanya pecah vena, akut, subakut, dan kronis 1. Akut a. Gejala 24-48 jam b. Sering berhubungan dengan cedera otak dan medula oblongata c. Tekanan intrakranial meningkat d. Sakit kepala, mengantuk, reflek melambat, bingung, reflek pupil lambat 2. Subakut a. Berkembang 7-10 hari b. Konkusio agak lambat c. Adanya gejala TIK meningkat d. Kesadaran menurun 3. Kronis a. Ringan b. Perdarahan kecil terkumpul dan meluas c. Sakit kepala d. Lethargi e. Kacau mental, kejang f. Disfagia 5. Hematoma intrakranial a. Perdarahan intraserebral ± 25 cc atau lebih b. Selalu diikuti oleh konkusio Sedangkan menurut Price, S & Wilson, LM (2005), tipe trauma kepala tertutup yaitu terdiri dari : 1. Hematoma epidural Merupakan gejala sisa yang serius akibat cedera kepala dan menyebabkan angka mortalitas 50%, hematoma epidural paling sering terjadi di daerah parietotemporal akibat robekan arteri meningen media dan pada umumnya berasal dari arteria. Gejala dan tanda pada hematoma epidural yang tampak bervariasi yaitu : a. Periode tidak sadar dalam waktu pendek b. Peningkatan tekanan intrakranial 2. Hematoma subdural Hematoma subdural berasal dari vena yang pada umumnya timbul akibat ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdural. Hematoma subdural dipilih menjadi berbagai tipe dengan gejala dan prognosis yang berbeda yaitu : a. Hematoma subdural akut 1. Menimbulkan gejala neurologik yang penting dan serius dalam 24-48 jam setelah cedera 2. Trauma otak berat serta mempunyai mortalitas yang tinggi b. Hematoma subdural subakut 1. Defisit neurologik bermakna dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. 2. Perdarahan vena pada ruang subdural 3. Ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang bertahap. 4. Tingkat kesadaran menurun dalam secara bertahap dalam beberapa jam. c. Hematoma subdural kronik 1. Awitan gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, dan bahkan beberapa tahun setelah cedera awal 2. Merobek salah satu vena yang melewati ruang subdural sehingga terjadi perdarahan lambat kedalam ruang subdural 3. Terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma sehingga terbentuk perbedaan tekanan osmotik yang menyebabkan tertariknya cairan kedalam hematoma 4. Penderita mengeluh sakit kepala 5. Progresif dalam tingkat kesadaran termasuk apati, letargi, berkurangnya perhatian 6. Hemiparesis Sedangkan menurut Mansjoer (2000), klasifikasi cedera kepala berdasarkan morfologi terdiri dari yaitu : 1. Fraktur tengkorak a. Kranium : linear/stelatum : depresi/non depresi b. Terbuka dan tertutup basis dengan/tanpa kebocoran cairan serebrospinalis (CSS) 2. Lesi intrakranial a. Fokal : epidural, subdural, intra serebral b. Difus : konkusio ringan, konkusio klasik, cedera aksonal difus 3. Etiologi Adapun etiologi dari cedera kepala menurut Suriadi & Yuliani (2001), yaitu : a. Kecelakaan kenderaan bermotor atau sepeda dan mobil b. Jatuh c. Kecelakaan saat olahraga d. Anak dengan ketergantungan e. Cedera akibat kekerasan Menurut Sjamsuhidajat, R & Jong, WD (2004), etiologi dari trauma kepala terdiri dari : a. Benda tajam b. Benda tumpul c. Peluru d. Kecelakaan lalu lintas Sedangkan menurut Purwoko, S (2006), etiologi dari cedera kepala yaitu : a. Olah raga b. Jatuh c. Kecelakaan kenderaan bermotor. 4. Patofisiologi Menurut Mufti (2009), patofisiologi Head Injury adalah sebagai berikut : Cedera kepala TIK : oedem, hematoma Respon biologi Hypoksemia Kelainan metabolisme Cedera otak primer Cedera otak skunder Konkusio serebri Gangguan autoregulasi Aliran darah keotak Kerusakan sel otak Rangsangan simpatis Tekanan vasikuler Sistemik dan TD O2 Gangguam metabolisme Asam laktat Oedem otak Tekanan pembuluh Stress Katekolamin Sekresi asam lambung mual, muntah darah pulmonal Tekanan hidrostatik Asupan nutrisi kurang Kebocoran cairan kapiler Gangguan perfusi Oedem paru Cardiac output jaringan serebral Difusi O2 terhambat Gangguan perfusi jaringan Gangguan pola nafas Hipoksemia, Hiperkapnea 5. Manifestasi Klinis Menurut Suriadi & Yuliani (2001), manifestasi klinis cedera kepala adalah : a. Hilang kesadaran kurang (apatis) dari 30 menit atau lebih b. Kebingungan c. Iritabel (perubahan fungsi) d. Pucat e. Mual dan muntah f. Pusing kepala g. Terdapat hematoma h. Kecemasan i. Sukar untuk dibangunkan j. Bila fraktur kemungkinan adanya liquor yang keluar dari hidung dan telinga (otorhoe ) bila fraktur tulang temporal. Menurut Mufti (2009), manifestasi klinis dari cedera kepala yaitu : a. Sistem pernafasan 1. Chyne stokes 2. Hiperventilasi 3. Apnea 4. Edema paru b. Sistem kardiovaskuler 1. Perubahan saraf otonom pada pada fungsi ventrikel a. Disritmia b. Fibrilasi c. Takikardia 2. Terjadi kontraktilitas ventrikel 3. Curah jantung menurun 4. Meningkatkan tahanan ventrikel kiri c. Sistem metabolisme 1. Cenderung terjadi retensi Na, air, dan hilangnya sejumlah nitrogen 2. Stress fisiologis d. Sistem gastrointestinal (GI) 1. Peningkatan asam lambung 2. Perdarahan lambung 3. Katekolamin meningkat Menurut Smeltzer & Bare (2001), manifestasi klinis dari cedera kepala adalah : 1. Nyeri yang menetap atau setempat, biasanya menunjukkan adanya fraktur 2. Menimbulkan hemoragi dari hidung, faring, atau telinga dan darah terlihat dibawah konjungtiva 3. Memar otak 4. Battle diatas mastoid 5. Fraktur dasar tengkorak biasanya di curigai ketika CSS keluar dari telinga (ottorea) dan (rinorhoe) dari hidung 6. Laserasi 7. Kontusi otak Sedangkan menurut Hoffman (1996), dalam Widyaningrum (2008), manifestasi klinis dari cedera kepala adalah : 1. Tanda dan gejala fisik : a. Nyeri kepala b. Nausea 2. Tanda dan gejala kognitif a. Gangguan memori b. Gangguan perhatian dan berfikir kompleks 3. Tanda dan gejala emosional/kepribadian a. Kecemasan b. Iritabilitas 4. Gambaran klinis secara umum : a. Pada kokusio segera terjadi kehilangan kesadaran b. Pola pernafasan secara progresif menjadi abnormal c. Respon pupil mungkin lenyap d. Nyeri kepala dapat muncul segera/bertahap sering dengan peningkatan tekanan intrakranial e. Dapat timbul mual muntah akibat peningkatan TIK f. Perubahan perilaku kognitif dan fisik pada berbicara dan gerakan motorik dapat timbul segera atau secara lambat 6. Komplikasi Menurut Engram, B (1998), komplikasi dari cedera kepala adalah : a. Meningkatnya tekanan intrakranial (TIK) b. Perdarahan c. Kejang d. Pasien dengan fraktur tengkorak, khususnya pada dasarnya tengkorak beresiko terhadap bocornya cairan serebrospinal (CSS) dari hidung (rinorea) dan dari telinga (otorea) e. Bocor CSS kemungkinan terjadi meningitis 7. Pemeriksaan penunjang a. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikel dan perubahan jaringan otak b. MRI (magnetig resonan imagin) Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif c. Serebral angiography Menunjukkan anomali sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma . d. X-Ray Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan/edema), fragmen tulang e. CSF, lumbal fungsi Jika diduga perdarahan sub arachnoid f. Kadar elektrolit Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intrakranial (TIK) g. Scree toxicologi Untuk meneteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan kesadaran h. AGDA (analisa gas darah arteri) Mendeteksi ventilasi atau masalah pernafasan (oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial (Mufti, 2009). Sedangkan menurut Doenges (1999), pemeriksaan penunjang pada cedera kepala yaitu terdiri dari : a. Scan CT (Compuretied Tenografi Scaning) b. MRI (Magnetig Resonan Imagin) c. Sinar X d. BAER (Brain Auditori Evoked Respons) : menentukan fungsi korteks dan batang otak e. PET (Positron Emission Tomography) : menunjukkan perubahan metabolisme pada otak f. Fungsi lumbal, CSS g. GDA (gas darah arteri) h. Kadar antikonvulsan darah : mendeteksi tingkat terapi yang cukup efektif untuk mengatasi kejang 8. Penatalaksanaan Menurut Abdale (2007), penatalaksanaan pada cedera kepala dapat diberikan : a. Dexamethason/kalmethason Sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma. b. Therapy hiperventilasi Untuk mengurangi vasodilatasi c. Pemberian analgetika d. Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20% atau glukosa 40% atau gliserol 10% e. Antibiotika yang mengandung Barrier darah otak (penisilin) atau untuk infeksi anaerob diberikan metronidazole f. Pada pasien trauma ringan bila mual muntah tidak dapat diberikan apapun kecuali hanya cairan infus dekstrosa 5%, aminofusin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak. g. Pembedahan h. Pada trauma berat, hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak cairan, dektosa 5% 8 jam pertama, ringer dekstrose 8 jam kedua dan dektrose 5% 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya apabila kesadaran rendah, makanan diberikan melalui nasogastrictube (2500-3000TKTP) i. Pemberian protein tergantung nilai urea nitrogen Menurut Mansjoer, A, dkk (2000), penatalaksanaan yang akan dilakukan pada kasus cedera kepala (Head Injury) adalah : a. Pedoman resusitasi dan penilaian awal 1. Menilai jalan nafas a. Bersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan b. Lepaskan gigi palsu c. Pertahankan tulang servikal segaris dengan badan dengan memasang kolar servikal d. Pasang guedel bila dapat ditolerir e. Jika cedera orofasial mengganggu jalan nafas maka pasien harus di intubasi. 2. Menilai pernafasan a. Tentukan pasien bernafas atau tidak b. Jika tidak, berikan oksigen melalui masker c. Jika pasien bernafas spontan, sedikit dan atasi cedera dada berat seperti pneumothorak, pneumothorak tensif, hemopneuthorak d. Pasang oksimeter nadi jika tersedia dengan tujuan menjaga saturasi oksigen minimum 95% e. Jika nafas pasien tidak terlindung bahkan terancam atau memperoleh oksigen yang adekuat (PaO2 > 95 mmHg dan PaCO2 < 40 mmHg serta saturasi O2 > 95%) atau muntah maka pasien harus diintubasi serta diventilasi oleh anestesi. 3. Menilai sirkulasi a. Otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi b. Hentikan semua perdarahan dengan menekan arterinya c. Perhatikan secara khusus adanya cedera intra abdomen atau dada d. Ukur dan catat frekuensi denyut jantung dan tekanan darah e. f. Pasang alat pemantau dan EKG bila tersedia Pasang jalur intravena yang besar, ambil darah vena untuk pemeriksaan darah perifer lengkap, ureum, elektrolit, glukosa dan analisa gas darah arteri (AGDA) g. Berikan larutan koloid 4. Obat kejang a. Mula-mula diberikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan dan dapat diulangi sampai 3 kali bila masih kejang. b. Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin 15 mg/kg BB diberikan intravena secara perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50 mg/menit. 5. Menilai tingkat keparahan a. Cedera kepala ringan (kelompok resiko rendah) 1. Skor skala koma glasgow 15 (sadar penuh, atentif, dan orientatif) 2. Tidak ada kehilangan kesadaran 3. Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang 4. Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing 5. Pasien dapat menderita abrasi, laserasi dan hematoma kulit kepala b. Cedera kepala sedang (kelompok resiko sedang) 1. Skor skala koma glasgow 9-14 (konfusi, letargi, atau stupor) 2. Konkusio 3. Amnesia pasca trauma 4. Muntah 5. Tanda kemungkinan fraktur kranium (battle, mata rabun, hemotimpanum, otorea, atau rinorea cairan CSS). 6. Kejang c. Cedera kepala berat (kelompok resiko berat) 1. Skor skala koma glasgow 3-8 (koma) 2. Penurunan derajat kesadaran secara progresif 3. Tanda neurologis fokal 4. Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium b. Pedoman penatalaksanaan 1. Pada pasien dengan cedera kepala dan/leher, lakukan foto tulang belakang servikal (proyeksi anterior posterior, lateral dan odontoid) kolar servikal baru dilepas setelah dipastikan bahwa seluruh tulang servikal C1-C7. 2. Pada semua pasien cedera kepala sedang dan berat, lakukan prosedur berikut : a. Pasang jalur intravena dengan larutan salin normal (NaCl 0,9%) atau larutan ringer laktat : cairan isotonis lebih efektif menggantikan volume intravaskuler dari pada cairan hipotonis, dan larutan ini tidak menambah edema serebri. b. Lakukan pemeriksaan : hematokrit, periksa darah perifer lengkap, trombosit, kimia darah (glukosa, ureum, dan kreatinin, masa protombin atau masa tromboplastin parsial, skrining toksikologi dan kadar alkohol bila perlu. 3. Pada pasien yang koma (skor GCS < 8) atau pasien dengan tanda-tanda herniasi, lakukan tindakan berikut ini: a. Elevasi kepala 30o b. Hiperventilasi : intubasi dan berikan ventilasi mandatorik intermiten dengan kecepatan 16-20 kali/menit dengan volume tidal 10-12 ml/kg, atur tekanan CO 2 sampai 28-32 mmHg, hipokapnea harus dihindari sebab dapat menyebabkan vasokontriksi dan iskemia serebri. c. Berikan monitol 20% 1 gram/kg intravena dalam 20-30 menit. Dosis ulangan dapat diberikan 4-6 jam kemudian yaitu sebesar ¼ dosis semula setiap 6 jam sampai maksimal 48 jam pertama d. Pasang kateter foley e. Konsul bedah saraf bila terdapat indikasi operasi (hematoma epidural yang besar, hematoma subdural, cedera kepala terbuka, dan fraktur impresi > 1 diploe) 9. Prognosis Prognosis setelah cedera kepala sering mendapat perhatian besar, terutama pada pasien dengan cedera berat, skor GCS waktu masuk rumah sakit memiliki nilai prognostik yang besar : skor pasien 3-4 memiliki kemungkinan meninggal 85% atau tetap dalam kondisi vegetatif. Sedangkan pada pasien dengan GCS 12 atau lebih kemungkinan meninggal atau vegetatif hanya 5-10 %. Sindrom pasca konkusio berhubungan dengan sindrom kronis nyeri kepala, keletihan, pusing, ketidakmampuan berkonsentrasi, iritabilitas, dan perubahan kepribadian yang berkembang pada banyak pasien setelah cedera kepala, sering kali bertumpang tindih dengan gejala depresi (Mansjoer, A, dkk, 2000). B. ASUHAN KEPERAWATAN 1. Pengkajian Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien (Nursalam, 2001). a. Identitas Pasien Identitas ini bertujuan untuk mengenal pasien dan mempermudah hubungan saling percaya antara perawat dan pasien, yang perlu ditanyakan yaitu : nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, suku/bangsa, agama, status perkawinan, tanggal masuk (Hidayat, 2006). b. Riwayat Kesehatan Riwayat kesehatan merupakan sumber data subjektif tentang status kesehatan pasien yang memberikan gambaran tentang masalah kesehatan aktual maupun potensial. Riwayat kesehatan merupakan penuntun pengkajian fisik yang berkaitan dengan informasi tentang keadaan fisiologis, psikologis, budaya, dan psikososial, ini juga berkaitan dengan status kesehatan pasien, dan faktor-faktor seperti gaya hidup, hubungan/pola dalam keluarga, dan pengaruh budaya (Priharjo, R, 2006). c. Pemeriksaan Fisik 1. Inspeksi Merupakan proses observasi dengan menggunakan mata. Inspeksi dilakukan untuk mendeteksi tanda-tanda fisik yang berhubungan dengan status fisik. Mulai melakukan inspeksi pada saat pertama kali bertemu dengan klien, amati secara cermat mengenai tingkah laku dan keadaan tubuh pasien. Amatilah hal-hal yang umum kemudian hal-hal yang khusus. Pengetahuan dan pengalaman sangat diperlukan dalam melakukan inspeksi (Priharjo, R, 2006). 2. Palpasi Suatu teknik yang menggunakan indera peraba. Tangan dan jari-jari adalah suatu instrument yang sensitive dan digunakan untuk mengumpulkan tentang temperatur, turgor, bentuk, kelembaban, vibrasi, dan ukuran (Nursalam, 2001). 3. Perkusi Suatu pemeriksaan dengan jalan mengetuk untuk membandingkan kiri kanan pada setiap daerah permukaan tubuh dengan tujuan menghasilkan suara. Perkuasi bertujuan untuk mengidentifikasi lokasi, ukuran, bentuk dan konsintensi jaringan. Perawat menggunakan kedua tangannya sebagai alat untuk menghasilkan suara (Nursalam, 2001). Selama perkusi perawat menggunakan tepukan yang cepat dan tajam dengan jari atau tangan pada permukaan tubuh (biasanya dada atau abdomen) untuk menghasilkan suara, mendapatkan (mendeteksi) nyeri tekan, atau untuk mengkaji refleks, melakukan perkusi untuk mendapatkan suara bertujuan untuk membantu menentukan apakah organ tersebut padat atau berisi cairan dan/atau gas (Morton, PG, 2003). 4. Auskultasi Merupakan metode pengkajian yang menggunakan Stetoskop untuk memperjelas pendengaran. Perawat menggunakan stetoskop untuk mendengarkan bunyi jantung, paruparu, bising usus, serta untuk mengukur tekanan darah dan denyut nadi (Priharjo, R, 2006). 2. Validasi Data Validasi data merupakan upaya untuk memberikan justifikasi pada data yang dikumpulkan dengan melakukan perbandingn data subjektif dan data objektif yang didapatkan dari berbagai sumber dengan berdasarkan standar nilai normal, untuk diketahui kemungkinan tambahan atau pengkajian ulang tentang data yang ada (Hidayat, AA, 2004). Menurut Nursalam (2001), data subjektif adalah data yang didapatkan dari klien sebagai suatu pendapat terhadap suatu situasi dan kejadian. Informasi tersebut tidak dapat ditentukan oleh perawat secara independen tetapi melalui suatu interaksi atau komunikasi, data subjektif sering didapatkan dari riwayat keperawatan termasuk persepsi klien, dan ide tentang status kesehatannya. Sedangkan data objektif adalah data yang dapat diobservasi dan di ukur, informasi tersebut dapat diperoleh selama pemeriksaan fisik. Dasar data pengkajian pasien cedera kepala (Head Injury) menurut Doenges (1999), tergantung pada tipe, lokasi, dan keparahan cedera dan mungkin dipersulit oleh cedera tambahan pada organ-organ vital. a. Aktivitas/istirahat Gejala anda : Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan. : Perubahan kesadaran, letargi, hemipareses, Quadreplegia, ataksia cara berjalan tak tegap, masalah dalam keseimbangan, cedera (trauma) ortopedi, kehi-langan tonus otot, otot spastik b. Sirkulasi ejala : Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan frekuensi jantung (Bradikardia), takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia. c. Integritas Ego ejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis) anda : Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi, dan impulsif. d. Eliminasi ejala : Inkontinensia kandung kemih/usus atau mengalami gangguan fungsi e. Makanan / Cairan Gejala anda : Mual, muntah, dan mengalami perubahan selera. : Muntah (mungkin proyektif), gangguan menelan (batuk, air liur keluar, disfagia). f. Neurosensori ejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, tingling, baal pada ekstremitas, perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, fotopobia, gangguan pengecepan/penciuman. anda ejala anda : Perubahan kesadaran sampai bisa koma, perubahan status mental (orentasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi tingkah laku/memori). Perubahan pupil (respon terhadap cahaya dan simetri), deviasi pada mata, ketidakmampuan mengikuti, kehilangan pengindraan, wajah tidak simetris, genggaman lemah, tidak seimbang, refleks tendon dalam tidak ada dan lemah, apraksia, hemiparese, quadreplegia, postur (dekortikasi, deserebrasi), kejang, sangat sensitive terhadap sentuhan dan gerakan, kehilangan sensasi sebagian tubuh, kesulitan dalam menentukan posisi tubuh. g. Nyeri / Kenyamanan : Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang bebeda, biasanya lama. : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah tidak bisa beristirahat, merintih Pernafasan ejala : Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi) nafas berbunyi stridor, tersedak, ronchi, mengi positif, (kemungkinan karena aspirasi). Keamanan ejala anda : Trauma baru / trauma karena kecelakaan : Fraktur / dislokasi, gangguan penglihatan, kulit, laserasi, abrasi, perubahan warna, tanda battle di belakang telinga (tanda adanya trauma) adanya aliran cairan (drainase) dari telinga/hidung (CSS), gangguan kognitif, gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum mengalami paralysis, demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh nteraksi sosial anda : afasia sensorik atau motorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-ulang, disartria, anomia. enyuluhan / pembelajaran : Penggunaan alkohol / obat lain ngan : DRG menunjukkan rerata lama dirawat : 12 hari pemulangan : Membutuhkan bantuan pada perawatan diri, ambulasi, transportasi, menyiapkan makan, belanja, perawatan, pengobatan, tugas-tugas rumah tangga, perubahan tata ruang atau penempatan fasilitas lainnya di rumah. 3. DIAGNOSA KEPERAWATAN Diagnosa keperawatan adalah struktur dan proses, struktur diagnosa keperawatan komponennya tergantung pada tipenya, aktual, resiko, kemungkinan, sehat atau sindrom (Carpenito, LJ,1998). Diagnosa keperawatan menurut Gordon (1976), dalam Nursalam, (2001), yaitu masalah kesehatan aktual dan potensial dimana berdasarkan pendidikan dan pengalaman, dia mampu dan mempunyai kewenangan untuk memberikan tindakan keperawatan. Menurut Doenges (1999), diagnosa keperawatan yang timbul pada pasien cedera kepala adalah : a. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah oleh SOL (Hemoragic, Hematoma), edema serebral (respon lokal atau umum pada cedera, perubahan metabolik, takar lajak obat/alkohol), penurunan tekanan darah iskemik/hipoksia, (Hipovolemia, Disritmia jantung). b. Resiko tinggi terhadap pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neuromuskular trakeobronkial. (cedera pada pusat pernafasan otak), kerusa-kan kognitif, obstruksi c. Perubahan persepsi sensorik berhubungan dengan transmisi integrasi (trauma atau defisit neurologis). d. Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan fisiologis konflik psikologis. e. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi atau kognitif, penurunan kekuatan/tahanan. f. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif, penurunan kerja silia, stastis cairan tubuh, kurang nutrisi, respon inflamasi tertekan (penggunaan steroid), perubahan integritas sistem tertutup (kebocoran CSS). g. Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien (penurunaan tingkat kesadaran), kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah, menelan, status hipermetabolik. h. Nyeri berhubungan dengan agen pencedera biologis, adanya proses infeksi/inflamasi, cedera, toksin dalam sirkulasi. i. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan transisi dan krisis situasional, ketidakpastian tentang hasil/harapan. j. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang pemajanan, tidak mengenal informasi /sumber-sumber, kurang mengingat/keterbatasan kognitif. 4. PERENCANAAN Perencanaan keperawatan merupakan aktivitas berorientasi tujuan dan sistematik dimana rancangan intervensi keperawatan dituangkan dalam rencana keperawatan (Basford, & Slevin, 2006). Menurut Doenges (1999), perencanaan keperawatan yang di lakukan pada pasien cedera kepala (Head Injury) adalah : dibuktikan a. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah oleh SOL (Hemoragik, Hematoma), edema serebral (respon lokal atau umum pada cedera, perubahan metabolik, takar lajak obat / alkohol), penurunan tekanan darah iskemik/hipoksia, (Hipovolemia, Disritmia jantung). : Perubahan tingkat kesadaran, kehilangan memori, respon motorik/sensorik, gelisah, perubahan tanda vital. Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan : Mempertahankan tingkat kesadaran biasa/perbaikan, kognitif dan fungsi motorik/sensorik, mendemonstrasikan tanda vital stabil dan tak ada tanda-tanda peningkatan TIK (tekanan intrakranial). Intervensi 1. Tentukan faktor-faktor yang ber1. hubungan dengan keadaan ter-tentu atau yang menyebabkan koma/penurunan perfusi jaringan otak dan potensi peningkatan TIK. 2. Pantau dan catat status neu-rologis 2. secara teratur dan ban-dingkan dengan nilai standar (misalnya skala koma Glasgow). 3. Evaluasi kemampuan membuka 3. mata seperti spontan (sadar penuh), membuka jika di beri rangsangan nyeri, atau tetap tertutup koma. 4. Kaji respon verbal, catat apakah 4. pasien sadar, orientasi terhadap orang, tempat dan waktu baik atau malah bingung. Rasional Menentukan pilihan inter-vensi, penurunan tanda /gejala neurologis atau ke-gagalan dalam pemilihan-nya setelah serangan awal mungkin menunjukan ba-hwa pasien itu perlu di-pindahkan keperawatan in-tensif untuk memantau tekanan TIK dan atau pembedahan. Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan berman-faat dalam menentukan lo-kasi, perluasan dan per-kembangan kerusakan SSP. Menentukan tingkat kesa-daran Mengukur kesesuaian da-lam berbicara dan menu-njukan tingkat kesadaran. Jika kerusakan yang terjadi sangat kecil pada korteks serebral, pasien akan mu-ngkin bereaksi dengan baik terhadap rangsangan verbal yang diberikan tetapi juga memperlihatkan seperti ngantuk berat atau tidak kooperatif. 5. Normalnya, autoregulasi mempertahankan aliran da-rah 5. Pantau TD, catat adanya hiper-tensi otak yang konstan pada saaat ada sistolik secara terus me-nerus dan fluktasi tekanan darah sistemik. tekanan nadi yang semakin berat. Kehilangan autoregulasi dapat meng-ikuti kerusakan vaskularasi serebral lokal atau me-nyebar (menyeluruh). 6. Perubahan pada ritme (pa-ling sering bradikardia), dan disritmia 6. Frekuensi jantung, catat ada-nya dapat timbul yang bradikardia, takikardia, atau bentuk mencerminkan adanya disritmia lainnya. depresi/trauma pada batang otak pada pasien yang tidak mempunyai kelainan jan-tung lainnya. 7. Nafas yang tidak teratur dapat menunjukkan lokasi adanya 7. Pantau pernafasan, meliputi gangguan serebral/ peningkatan iramanya, seperti adanya periode TIK dan me-merlukan intervensi apnea setelah hiperventilasi yang yang lebih lanjut termasuk kedisebut pernafasan Cheyne-stokes. mungkinan nafas buatan. 8. Meningkatkan aliran balik vena dari kepala, sehingga akan 8. Tinggikan kepala pasien 14-45 mengurangi kongesti atau edema derajat sesuai dengan indikasi / yang atau resiko terjadinya dapat ditoleransi. peningkatan TIK. 9. Menurunkan hipoksemia, yang mana dapat mening-katkan 9. Berikan oksigen tambahan sesuai vasodilatasi dan vo-lume daerah indikasi. serebral yang meningkatkan TIK. b. Resiko tinggi terhadap pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neuromuskular (cedera pada pusat pernafasan otak), kerusakan kognitif. Kemungkinan dibuktikan oleh : Tidak dapat diterapkan adanya tanda-tanda yang membuat diagnosa aktual Hasil yang diharapkan / kriteria evaluasi pasien akan : Mempertahankan pola pernafasan normal / efektif, bebas sianosis, dengan GDA dalam batas normal. Intervensi Rasional 1. Pantau frekuensi irama, ke-dalaman 1. Perubahan dapat menanda-kan pernafasan, catat tidak awitan komplikasi pul-monal ketidakteraturan pernafasan. (umumnya mengi-kuti cedera otak) atau me-nandakan lokasi / luasnya keterlibatan otak, pernafa-san lambat, periode apnea dapat menandakan perlunya ventilasi mekanis. 2. Untuk memudahkan eks-pansi 2. Angkat kepala tempat tidur sesuai paru/ventilasi paru dan aturannya, posisi miring sesuai menurunkan adanya keindikasi. mungkinan lidah jatuh yang menyumbat jalan nafas. 3. Mencegah dan menurun-kan 3. Anjurkan pasien untuk me-lakukan atelektasis. nafas dalam yang efektif jika pasien sadar. 4. Untuk mengidentifikasi adanya 4. Auskultasi suara nafas, perha-tikan masalah seperti ate-lektasis, daerah hipoventilasi dan adanya kongesti, atau ob-struksi jalan suara-suara tambahan ya-ng tidak nafas yang membahayakan normal (seperti krekels, ronchi, oksigen se-rebral dan/atau mengi). menandakan terjadinya infeksi paru (um-umnya komplikasi dari ce-dera kepala). 5. Dapat meningkatkan gangguan/komplikasi pernafa-san. 5. Pantau dari penggunaan obat-obatan 6. Menentukan kecukupan pedepresan pernafasan, se-perti sedatif. rnafasan, keseimbangan as-am 6. Pantau atau gambarkan AGDA, basa dan kebutuhan ak-an terapi. tekanan oksimetri. 7. Memaksimalkan oksigen pada darah arteri dan me-mbantu dalam pencegahan hipoksia 7. Berikan oksigen c. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan transmisi integrasi (trauma atau defisit neurologis). Kemungkinan dibuktikan oleh : Disorientasi terhadap waktu, tempat, orang, perubahan respon terhadap rangsang, inkoordinasi motorik, perubahan dalam postur, ketidak mampuan dalam memberitahu posisi bagian tubuh, perubahan pola komunikasi, distorsi auditorius dan visual, konsentrasi buruk, perubahan proses pikir/berpikir kacau, respon emosional berlebihan, perubahan dalam pola prilaku. Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan : Melakukan kembali/mempertahankan tingkat kesadaran biasanya dan fungsi persepsi, mengakui perubahan dalam kemampuan adanya keterlibatan residu, mendemonstrasikan perubahan perilaku/gaya hidup untuk mengkompensasi / defisit hasil. Intervensi Rasional Evaluasi/pantau secara teratur 1. Fungsi serebral bagian atas perubahan orientasi, kemampuan biasanya terpengaruh lebih berbicara, alam perasaan / afektif, dahulu oleh adanya gang-guan sensorik, dan proses pikir. sirkulasi, oksigenasi, kerusakan dapat terjadi saat trauma awal atau kadang-kadang berkembang sete-lahnya akibat dari pembengkakan atau perdarahan. 2. Informasi penting untuk ke2. Kaji kesadaran sensorik seperti amanan pasien, semua sis-tem respon sentuhan, panas / dingin, sensorik dapat terpe-ngaruh benda tajam / tumpul, dan kesa- dengan adanya per-ubahan yang daran terhadap gerakan dan letak melibatkan pe-ningkatan atau tubuh. penurunan sensitivitas atau kehilangan sensasi/kemampuan untuk menerima berespons secara sesuai pada suatu stimulasi. 3. Respon individu mungkin 3. Observasi respon prilkau seperti berubah-rubah namun umurasa bermusuhan, menangis, afektif mnya seperti emosi yang labil, yang tidak sesuai, agitasi, halusinasi. frustasi, apatis, dan muncul tingkah laku im-pulsif selama proses pe-nyembuhan dari trauma ke-pala. 4. Pasien mungkin meng-ala-mi 4. Bicara dengan suara yang lembut keterbatasan perhatian/ dan pelan, gunakan kalimat yang pemahaman selama fase akut penek dan sederhana, dan per- dan penyembuhan dan tindakan tahankan kontak mata. ini dapat mem-bantu pasien untuk memun-culkan komunikasi. 5. Pilihan masukan sensorik secara 1. 5. Berikan stimulasi yang berman-faat verbal (berbincang-bincang dengan pasien), penciuman (ter-hadap kopi dan minyak tertentu), taktil (memegang tangan pasien dan 6. sentuhan). 6. Berikan lingkungan terstruktur termasuk terapi, aktivitas. cermat bermanfaat untuk menstimulasi pasien koma dengan baik selama melatih kembali fungsi kog-nitifnya Meningkatkan konsistensi dan keyakinan yang dapat menurunkan ansietas yang berhubungan dengan ketidaktahuan pasien tersebut. 7. Menguragi kelelahan, mencegah kejenuhan, membe-rikan 7. Buat jadwal istirahat yang ade- kesempatan untuk ti-dur. kuat/periode tidur tanpa ada ga8. Memberikan perasaan nor-mal ngguan. tentang pola peruba-han waktu dan pola tidur/ bangun. 8. Gunakan penerangan siang/ma-lam hari. d. Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan fisiologis, konflik psikologis. Kemungkinan dibuktikan oleh : Defisit/perubahan memori jarak jauh, saat ini, yang baru terjadi, pengalihan perhatian, perubahan lapang/konsentrasi perhatian, disorientasi terhadap waktu, tempat, orang , lingkungan, kejadian, pemecahan masalah. Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan : Mempertahankan/melakukan kembali orientasi mental dan realitas biasanya, mengenali perubahan berpikir/perilaku, berpartisipasi dalam aturan terapeutik/penyerapan kognitif. Intervensi Rasional 1. Kaji tentang perhatian, kebing1. Rentang perhatian/kemam-puan ungan dan catat tingkat anisetas untuk berkonsentrasi mungkin pasien. memendek secara tajam yang menyebabkan dan merupakan potensi ter-hadap terjadinya ansietas yang mempengaruhi proses pikir pasien. 2. Memberikan pasien pera-saan 2. Pertahankan bantuan yang kon- yang stabil dan ma-mpu sisten oleh staf atau keberadaan mengontrol situasi. sebanyak mungkin. 3. Pasien mungkin tidak me3. Usahakan untuk menghadirkan nyadari adanya trauma se-cara realitas secara konsisten dan jelas. total (amnesia) atau dari Hindari pikiran-pikiran yang tidak perluasan trauma dan karena masuk akal. pada kenyataan ter-hadap 4. 5. 6. 7. e. terjadinya cedera pa-da dirinya. 4. Pemahaman bahwa peng-kajian dilakukan secara ter-atur untuk Jelaskan pentingnya pemeriksa-an mencegah/mem-batasi neurologist secara berulang dan komplikasi yang mungkin teratur. terjadi. 5. Perhatian dan dukungan ya-ng diberikan pada individu akan Dengarkan dengan penuh per-hatian meningkatkan harga diri dan semua hal yang diungka-pan pasien. mendorong kesi-nambungan usaha tersebut. 6. Meningkatkan terpelihara-nya Anjurkan pada orang yang ter-dekat kontak dengan keadaan yang untuk memberikan berita biasa terjadi yang akan baru/keadaan keluarga dan seba- meningkatkan orien-tasi realitas gainya. dan berpikir normal. 7. Bantuan tambahan mung-kin bermanfaat dalam me-nyokong Rujuk pada kelompok-kelompok upaya-upaya pe-mulihan. penyokong seperti asosiasi cedera kepala. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi atau kognitif, penurunan kekuatan/tahanan. Kemungkinan dibuktikan oleh : Ketidakmampuan bergerak sesuai tujuan dalam lingkungan fisik, termasuk mobilitas di tempat tidur, pemindahan, ambulasi, kerusakan koordinasi, keterbatasan rentang gerak, penurunan kekuatan otot/ kontrol otot. Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan : Melakukan kembali atau mempertahankan posisi fungsi optimal, dibuktikan tak ada kontraktur, mendemonstrasikan teknik/perilaku yang memungkinkan dilakukan kembali aktivitas, mempertahankan aktivitas, mempertahankan integritas kulit, kandung kemih dan fungsi usus. Intervensi Rasional 1. Periksa kembali kemampuan dan 1. Mengidentifikasi kemung-kinan keadaan secara fungsional pada kerusakan pada fung-sional dan kerusakan yang terjadi. mempengaruhi pilihan intervensi yang akan dilakukan. 2. Pasien mampu mandiri (ni-lai 2. Kaji derajat immobilisasi pasien 0), atau memerlukan badengan menggunkan skala keter- ntuan/peralatan yang mini-mal gantungan (0-4). (nilai 1), memerlukan bantuan sedang/dengan pengawasan/diajarkan (nilai 2), memerlukan bantuan/ peralatan secara terus me-nerus dan alat khusus (nilai 3), atau tergantung secara total pada pemberi asuhan (nilai 4). 3. Perubahan posisi yang ter-atur menyebabkan penye-baran 3. Ubah posisi pasien secara teratur terhadap berat badan yang dan buat sedikit perubahan posisi mengakibatkan sirku-lasi pada antara waktu perubahan posisi seluruh bagian tubuh. tersebut. 4. Mempertahankan mobili-sasi dan fungsi sendi dan posisi normal ekstremitas dan 4. Berikan dan bantu untuk mela- menurunkan terjadinya vena kukan latihan rentang gerak. yang statis. 5. Proses penyembuhan yang lambat sering kali menyer-tai trauma kepala dan pe-mulihan 5. Instruksikan/bantu pasien dengan secara fisik meru-pakan bagian program latihan dan penggunaan alat yang amat da-ri suatu program mobilisasi. pemulihan tersebut. 6. Sesaat setelah fase akut ce-dera kepala dan jika pasien tidak memiliki faktor kon-traindikasi yang lain, pem-berian cairan 6. Berikan cairan dalam batas-batas memadai akan menurunkan normal yang dapat ditoleransi oleh resiko terjadi-nya infeksi saluran neurologis dan jantung. kemih, dan berpengaruh cukup ba-ik terhadap konsistensi fe-ces yang normal dan turgor kulit yang kembali normal. 7. Pasien seperti tersebut di-atas mempunyai resiko berkembangnya trombosis ve-na dalam (TVD) dan em-boli pulmunal (EP) teruta-ma setelah 7. Periksa daerah yang mengalami trauma. nyeri tekan, kemerahan, kulit ya-ng hangat, otot yang tegang, dan sumbatan vena pada kaki. f. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit ruasak, prosedur invasif, penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh, kurang nutrisi, respon inflamasi tertekan (penggunaan steroid), perubahan integritas sistem tertutup (kebocoran CSS). Kemungkinan dibuktikan oleh : (Tidak ada diterapkan : adanya tanda-tanda dan gejala-gejala yang membuat diagnosa aktual). Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan : Mempertahankan normotermia, bebas tanda-tanda infeksi, mencapai penyembuhan luka tepat waktu bila ada. Intervensi Berikan perawatan aseptik, 1. pertahankan teknik cuci tangan yang baik. 2. Observasi daerah kulit yang me2. ngalami kerusakan, (seperti luka, garis jahitan), daerah yang terpasang alat invasi (terpasang infuse dan sebagainya) catat karakteri-stik dari draenase dan adanya inflamasi. 3. Pantau suhu tubuh secara teratur. 3. 1. 4. 4. Anjurkan untuk melakukan nafas dalam, latihan pengeluaran sekret paru secara terus menerus. 5. 5. Berikan perawatan perineal. 6. 6. Berikan antibiotik sesuai indikasi. g. Rasional Cara pertama untuk menghindari terjadinya infeksi nosokomial. Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan un-tuk melakukan tindakan de-ngan segera dan pencega-han terhadap komplikasi selanjutnya. Dapat mengidentifikasi perkembagan sepsis yang se-lanjut memerlukan evaluasi atau tindakan dengan se-gera. Peningkatan mobilisasi dan pembersihan sekresi paru untuk menurunkan resiko terjadinya pneumonia, ate-lektasis. Menurunkan kemungkinan terjadinya pertumbuhan ba-kteri atau infeksi yang me-rambah naik. Terapi profilaktik dapat digunakan pada pasien yang mengalami trauma (perlu-kaan), kebocoran CSS un-tuk menurunkan terjadinya infeksi nosokomial. Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien (penurunaan tingkat kesadaran), kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah, menelan, status hipermetabolik. Kemungkinan dibuktikan oleh : (Tidak ada diterapkan : adanya tanda-tanda dan gejala-gejala yang membuat diagnosa aktual). Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan : Mendemonstrasikan pemeliharaan/kemajuan peningkatan berat badan sesuai tujuan, tidak mengalami tanda-tanda malnutrisi, dengan nilai laboratorium dalam rentang normal. Intervensi Rasional 1. Kaji kemampuan pasien untuk 1. Faktor ini menentukan pemengunyah, menelan, batuk, dan milihan terhadap jenis ma-kanan mengatasi sekresi. sehingga pasien ha-rus terlindung dari aspirasi. 2. Auskultasi bising usus, catat adanya 2. Fungsi saluran pencernaan penurunan/hilangnya atau suara biasanya tetap baik pada kasus yang hiperaktif. trauma kepala, jadi bising usus membantu da-lam menentukan respon un-tuk makan dan berkemba-ngnya komplikasi, seperti paralitik ileus. 3. Mengevaluasi keefektifan atau 3. Timbang berat badan sesuai indi- kebutuhan mengubah pemberian kasi. nutrisi. 4. Menurunkan resiko terjadi-nya 4. Jaga keamanan saat memberikan aspirasi. makan pada pasien, seperti tinggikan kepala tempat tidur selama makan. 5. Meningkatkan proses pen5. Berikan makan dalam jumlah ke-cil cernaan dan tingkat tolera-nsi dan dalam waktu sering de-ngan pasien terhadap nutrisi yang teratur. diberikan dan dapat meningkatkan kerjasama pasien saat makan. 6. Perdarahan subakut dan ak-ut 6. Kaji feces, cairan lambung, mun-tah dapat terjadi ulkus cushi-ng dan darah dan sebagainya perlu intervensi dan metode alternative pemberi-an makan. 7. Merupakan sumber yang efektif untuk mengidentifi-kasi 7. Konsultasi dengan ahli gizi. kebutuhan kalori/ nu-trisi tergantung pada usia, berat badan, ukuran tubuh, keadaan peyakit sekarang. h. Nyeri berhubungan dengan agen pencedera biologis, adanya proses infeksi/inflamasi, cedera, toksin dalam sirkulasi. Kemungkinan dibuktikan oleh : Melaporkan sakit kepala, fotopobia, nyeri otot, sakit punggung, perilaku ditraksis, menangis, gelisah memilih posisi yang khas, tegangan muskular, wajah menahan nyeri, pucat, perubahan tanda-tanda vital. Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan : Melaporkan nyeri hilang/terkontrol, menunjukkan postur rileks, dan mampu tidur/beristirahat dengan tepat. Intervensi Rasional 1.Berikan lingkungan yang tenang 1. Menurunkan reaksi terha-dap ruangan yang agak gelap sesuai stimulasi dari luar atau dengan indikasi. sensitivitas pada cahaya dan meningkatkan istirahat. 2.Tingkatkan tirah baring, bantulah 2. Menurunkan gerakan yang dapat kebutuhan perawatan diri yang meningkatkan nyeri. penting. 3.Letakkan kantong es pada kepala 3. Meningkatkan vasokontrik-si, pakaian dingin diatas mata. penumpukan resepsi sen-sorik yang selanjutnya me-nurunkan nyeri. 4.Dukung untuk menentukan posisi 4. Menurunkan iritasi meni-ngeal, yang nyaman. resultan ketidaknya-manan lebih lanjut. 5.Berikan latihan rentang gerak ak5. Dapat membantu merelaktif/pasif secara tepat dan masase otot sasikan ketegangan otot ya-ng daerah leher / bahu. meningkatkan reduksi nyeri atau ketidaknyamanan tersebut. 6. Berguna dalam pengawasan 6.Kaji tingkat skala nyeri catat lo-kasi, keefektifan obat, kemajuan karakteristik. penyembuhan. 7. Mungkin diperlukan untuk 7.Kolaborasi dalam pemberian ob-at- menghilangkan nyeri yang berat. obatan sesuai indikasi (anal-getik). i. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan transisi dan krisis situasional, ketiadakpastian tentang hasil/harapan. Kemungkinan dibuktikan oleh : Kesulitan beradaptasi terhadap perubahan atau menghadapi pengalaman traumatik, keluarga tidak memenuhi kebutuhan keluarganya, kesulitan menerima atau mendapatkan bantuan dengan tepat. Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan : Mulai mengekspresikan perasaan dengan bebas dan tepat, mengidentifikasi sumber-sumber internal dan eksternal, untuk menghadapi situasi, mendorong dan memungkinkan anggota yang cedera untuk maju kearah kemandirian. j. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang pemajanan, tidak mengenal informasi/ sumber-sumber, kurang mengingat/keterbatasan kognitif. Kemungkinan dibuktikan oleh : Meminta informasi, pernyataan salah konsepsi, ketidakakuratan mengikuti instruksi. Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan : Berpartisipasi dalam proses belajar, mengungkapkan pemahaman tentang kondisi, aturan pengobatan, potensi komplikasi, memulai perubahan gaya hidup baru, keterlibatan dalam program rehabilitasi, melakukan prosedur yang diperlukan dengan benar. Intervensi Rasional 1. Evaluasi kemampuan dan kesia-pan 1. Memungkinkan untuk meuntuk belajar dari pasien juga nyampaikan bahan yang dikeluarganya. dasarkan atas kebutuhan se-cara individual. 2. Berikan kembali informasi yang 2. Membantu dalam mencipta-kan berhubungan dengan proses trau-ma harapan yang realistis, dan dan pengaruh sesudahnya. meningkatkan pemaha-man pada keadaan saat ini dan kebutuhannya. 3. Diskusikan rencana untuk me3. Berbagai tingkat bantuan menuhi kebutuhan perawatan diri. mungkin perlu direncana-kan yang didasarkan atas kebutuhan yang bersifat in-dividual. 4. Memberikan penguatan vi-sual 4. Berikan instruksi dalam bentuk dan rujukan setelah se-mbuh. tulisan dan jadwal mengenai aktivitas, obat-obatan dan faktor pen5. Mengenai berkembangnya ting lainnya. masalah memberikan ke5. Identifikasi tanda/gejala adanya sempatan untuk mengeva-luasi faktor resiko secara individual, dan intervensi lebih awal untuk seperti kebocoran CSS yang lama, mencegah ter-jadinya komplikasi kejang pasca trauma. yang serius. 6. Diperlukan untuk membe-rikan bantuan perawatan se-cara fisik, penanganan gaya hidup baik 6. Identifikasi sumber-sumber yang secara emosi-onal maupun berada dimasyarakat, seperti seke- secara finan-sial lompok penyokong cedera kepala, pelayanan sosial, fasilitas rehabilitasi, program pasien diluar rumah sakit. 5. IMPLEMENTASI Pelaksanaan merupakan langkah keempat dalam proses keperawatan dengan melaksanakan berbagai strategi keperawatan (tindakan keperawatan yang telah direncanakan dalam rencana tindakan keperawatan (Hidayat, 2004). Menurut Gaffar, LOJ, (1999), implementasi merupakan pelak-sanaan perencanaan keperawatan oleh perawat dan klien. Hal-hal yang harus diperhatikan ketika melakukan implementasi adalah intervensi dilaksanakan sesuai dengan rencana setelah dilakukan validasi, penguasaan keterampilan interpersonal, intelektual, dan teknikal. Intervensi harus dilakukan dengan cermat dan efisien pada situasi yang tepat, keamanan fisik dan psikologi dilindungi dan dokumentasi keperawatan berupa pencatatan dan pelaporan. 6. EVALUASI Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan dan pelaksanaan sudah berhasil dicapai (Nursalam, 2001). Sedangkan menurut Hidayat, AA, (2001), evaluasi merupakan tahapan akhir dari proses keperawatan. Evaluasi menyediakan nilai informasi mengenai pengaruh intervensi yang telah direncanakan dan merupakan perbandingan dari hasil yang diamati dengan kriteria hasil yang telah dibuat pada tahap perencanaan. BAB III TINJAUAN KASUS Nama Mahasiswa : Rafsan Jali Ruangan : Bedah A. PENGKAJIAN 1. Biodata a. Identitas pasien Nama : An. I Jenis kelamin : Perempuan Umur : 14 Tahun Status Perkawinan : Belum kawin Agama : Islam Pendidikan : SD Pekerjaan : Siswi : Gunong Pulo – Kota Fajar Tanggal masuk : 06 Juli 2010 No. Register : 027343 Ruang/Kamar : Bedah/RBW ian/ : 06 Juli 2010/06 Juli 2010 s/d 08 Juli 2010 Diagnosa medis : Head Injury GCS 11 b. Penanggung jawab Nama : Tn. I Hubungan dengan pasien Pekerjaan : Ayah kandung : Wiraswasta : Gunong Pulo – Kota Fajar 2. Keluhan Utama Pada saat dikaji pasien mengatakan nyeri diseluruh bagian kepala. a. Provokatif dan Paliatif 1. Apakah yang menyebabkan gejala / penyakit. Pasien mengatakan penyebab gejala atau penyakit adalah akibat kecelakaan lalu lintas. 2. Hal-hal yang dapat mengurangi dan memperberat keadaan. Pasien mengatakan hal yang dapat mengurangi gejala penyakitnya adalah dengan cara istirahat dan diberi obat-obatan, sedangkan hal-hal yang dapat memperberat gejala penyakitnya apabila banyak bergerak. b. Qualitas dan Quantitas 1. Bagaimana gejala yang dirasakan. Pasien mengatakan gejala yang dirasakan adalah nyeri tusuk didaerah kepala. 2. Apakah lebih parah dari sebelumnya. Pasien mengatakan gejala yang dirasakan tidak parah dari sebelumnya. c. Regional / Area Radiasi 1. Dimana gejala yang dirasakan. Pasien mengatakan gejala yang dirasakan dibagian kepala. 2. Apakah merambat kebagian lain. Pasien mengatakan gejala yang dirasakan hampir keseluruh bagian kepala. d. Skala Skala nyeri 8 (berat) 0 6 7 8 9 1 2 10 Keterangan : : Tidak nyeri 1-3 : Ringan 4-6 : Sedang 7-9 : Berat 10 : Sangat berat 0 e. Timing 1. Jenis (tiba-tiba atau bertahap) Pasien mengatakan nyeri yang dirasakan bertahap-tahap. 2. Frekwensi Pasien mengatakan frekwensi nyeri yang dirasakan sering. 3. Durasi Pasien mengatakan lama nyeri yang dirasakan selama ± 6 menit. 3. Riwayat Kesehatan Masa Lalu a. Alasan masuk/dirawat. 3 4 5 Pasien mengatakan tidak pernah masuk dan dirawat di rumah sakit. b. Penyakit yang pernah dialami Pasien mengatakan penyakit yang pernah dialami hanya demam biasa. c. Pernah dirawat Pasien mengatakan tidak pernah dirawat di rumah sakit. d. Riwayat alergi Pasien mengatakan tidak ada riwayat alergi. e. Status imunisasi Ibu pasien mengatakan status imunisasinya tidak lengkap tapi ibu pasien tidak tahu status imunisasi apa yang tidak lengkap. 4. Riwayat Kesehatan Keluarga a. Penyakit keturunan yang ada Pasien mengatakan tidak ada penyakit keturunan dalam anggota keluarganya. b. Anggota keluarga yang meninggal Pasien mengatakan tidak ada anggota keluarga yang meninggal. c. Penyebab meninggal Tidak ada. d. Genogram Keterangan : : Laki-laki : Perempuan : Tinggal serumah : Pasien 5. Riwayat Psikososial a. Bahasa yang digunakan Pasien mengatakan bahasa yang digunakan adalah bahasa Aceh. b. Persepsi pasien tentang penyakitnya Pasien berharap cepat sembuh. c. y image diri Konsep diri : Pasien tidak mengeluh dan menerima apa yang dideritanya. : Pasien menginginkan cepat sembuh dan bisa beraktivitas seperti biasa . a diri : Pasien merasa di hargai oleh keluarganya. n diri : Pasien sebagai anak pertama dalam keluarganya. onal identity : Pasien berperan sebagai anak dan sebagai seorang siswi. mosional Pasien masih bisa mengontrol emosinya. an saudara Pasien mengatakan hubungan dengan saudara baik. an orang lain adangan Pasien mengatakan hubungan dengan orang lain baik. 6. Pemeriksaan Fisik a. Tanda –tanda vital Tekanan darah : 110/70 mmhg Pernafasan : 24 x/i Nadi : 80 x/i Suhu : 36,80C Berat badan : 38 Kg Tinggi badan : 140cm b. Keadaan umum 1. Kesan umum : Sedang 2. Wajah : Ekspresi datar 3. Bentuk badan : Sedang c. Pemeriksaan kepala dan leher 1. Kepala dan rambut Bentuk kepala : Simetris Keadaan ubun-ubun : Menutup dan tidak ada benjolan : Luka lecet dibagian frontal(± 1,5 cm) dan memar di bagian oksipitalis. Keadaan kulit kepala : Kurang bersih Kelainan : Tidak ada kelainan Penyebaran rambut : Merata Warna : Hitam Kebersihan : Kurang bersih 2. Mata Inspeksi Bentuk bola mata Kelopak Konjungtiva : Sferis (Bulat) : Tidak ada peradangan : Anemis Sklera : Tidak ada ikterik Kornea : Tidak ada peradangan Iris : Tidak ada peradangan Pupil kiri : Isokor, berespon (+) terhadap cahaya Pupil kanan : Isokor, berespon (+) terhadap cahaya Lensa : Normal : Pasien bisa membaca buku dengan jarak 30 cm Kelainan Penggunaan alat bantu : Tidak ada kelainan : Tidak menggunakan alat bantu 3. Hidung dan Sinus Inspeksi Ingus : Tidak ada Perdarahan : Tidak ada Penyumbatan : Tidak ada Palpasi Septum nasal : Tidak ada nyeri tekan 4. Telinga : Midline garan a jugularis Inspeksi Daun telinga : Simetris Membran timpani : Tidak dikaji Kebersihan : Bersih Kelainan / peradangan : Tidak ada kelaianan : Pasien bisa mendengar suara perawat 5. Mulut dan Farink Inspeksi Bibir : Bengkak Gusi : Bengkak : Tidak lengkap/patah 2 gigi seri : Kotor (masih tedapat sisa-sisa darah kering) Tonsil : Tidak ada peradangan Membran mukosa : Kering 6. Leher Posisi trakhea : Medial. Pembesaran thyroid : Tidak ada pembesaran : Tidak ada distensi vena jugularis. d. Pemeriksaan thoraks 1. Pemeriksaan dada Inspeksi Bentuk : Simetris Retraksi : Tidak ditemukan Kulit : Lembab Payudara : Simetris Fraktur : Tidak ada Lain-lain : Tidak ada 2. Paru-paru Inspeksi Kiri : Simetris Kanan : Simetris Palapasi Kiri : Tidak ada nyeri tekan Kanan : Tidak ada nyeri tekan Perkusi Kiri : Resonan Kanan : Resonan Auskultasi Kiri : Vesikuler Kanan : Vesikuler 3. Jantung Inspeksi : Normal alpasi : Tidak ada nyeri tekan erkusi : Redup Auskultasi e. : Reguler Abdomen Inspeksi Bentuk : Simetris Retraksi : Ada Simetris : Simetris Kultur permukaan : Datar Penonjolan Auskultasi : Tidak ada penonjolan Bising usus : 10x/menit Lain-lain : Tidak ada suara tambahan Perkusi : Timpani Palpasi f. Hepar : Tidak ada nyeri tekan Ginjal : Tidak ada nyeri tekan Limpa : Tidak ada nyeri tekan Kandung kemih : Tidak ada nyeri tekan Anus dan Rektum : Tidak dikaji : Tidak dikaji g. Alat kelamin : Tidak dikaji : Tidak dikaji h. Muskuloskeletal 1) Tulang Inspeksi Susunan tulang : Normal Deformitas : Tidak ada Pembengkakan : Tidak ada Palpasi Edema : Tidak ada edema Nyeri tekan : Tidak ada nyeri tekan 2) Persendian Inspeksi Kaku erak : Terdapat : Terbatas Palpasi Nyeri tekan : Tidak ada nyeri tekan Bengkak : Tidak ada Krepitasi : Tidak ada 3) Otot Inspeksi Otot Ukuran : Normal Kontraktur : Tidak ada Kontraksi : Ada : Tangan kanan : 5 Tangan kanan : 5 h. Kaki kanan :4 Kaki kanan :4 Neurologi 1. Kesadaran : Somnolen 2. Tingkat kesadaran : GCS 11 (E : 3 V: 4 M: 4) akan : Pasien tidak mampu bergerak (beraktivitas) i : Pasien mampu merasakan rabaan dan mendengar emecahan masalah : Pasien tidak mampu beradaptasi dan tidak mampu merawat diri 7. Pola Kebiasaan Sehari-hari a. Pola nutrisi Sebelum perawatan Frekwensi makan : 3x sehari Jenis makanan : MB Mual dan muntah : Tidak ada Makanan disukai : Bakso Dalam perawatan Frekwensi Makan : Tidak Bisa makan Jenis Makanan : M1 Mual dan Muntah : Terdapat Mual dan muntah Makanan Disukai : Selama rawatan pasien tidak menyukai jenis makanan b. Pola eliminasi c. Sebelum perawatan Frekwensi BAB : 2x sehari Warna : Kuning kecoklatan Kelainan : Tidak ada Frekwensi BAK : ± 5x sehari Warna : Kuning, jernih Pola istirahat dan tidur Sebelum perawatan Waktu tidur : Jam 21.30 s/d 06.00 Wib Durasi : ± 8 jam Kebiasaan pengantar tidur : Tidak ada Masalah tidur : Tidak ada Dalam perawatan Frekwensi BAB : Belum ada Warna :Kelainan :Frekwensi BAK : Belum BAK Warna :- Dalam perawatan Waktu tidur : Jam 23.30 s/d 05.00 Wib Durasi : ± 5 jam Kebiasaan pengantar tidur : Tidak ada Masalah tidur : Sering terbangun . d. Personal hygiene Sebelum perawatan Frekwensi mandi : 2x sehari Gosok gigi : 3x sehari Memotong kuku : 1x seminggu e. Dalam perawatan Frekwensi mandi : Pasien belum mandi Gosok gigi : Tidak ada Memotong kuku : Tidak ada Pola aktivitas Sebelum perawatan Dalam perawatan Pasien adalah seorang pelajar dan Pasien tidak bisa beraktivitas, sering membantu orangtua di rumah aktivitas pasien dibantu oleh perawat dan keluarga 8. Hasil Pemeriksaan Lab A. Hasil Lab Keterangan : tidak ada pemeriksaan laboratorium B. Pemeriksaan penunjang lain : fotho rontgen kepala 9. Pengobatan / Therapy Nama obat Cefotaxime Citicolin Ranitidine Dosis/cara 1amp/12 jam IV 1amp/8 jam IV 1amp/8 jam IV Ketorolac IVFD RL 500 cc 1amp/8 jam IV 20 gtt/i IV Fungsi Antibiotik Vasodilator Menetralkan asam bung (anti emetik) Anti nyeri Cairan tubuh B. ANALISA DATA No Data 1 Data subjektif : 1. Pasien mengatakan nyeri di seluruh bagian kepala 2. Pasien mengatakan kepala terasa pusing 1. 2. 3. 4. 5. 6. Data objektif : Wajah pasien meringis Pasien gelisah Tanda-tanda vital : TD : 110/70 mmHg RR : 24x/i Puls : 80x/i Temp : 36,80C Luka lecet dibagian frontal 1,5 cm dan memar dibagian oksipital Bibir bengkak dan patah 2 gigi seri skala nyeri 8 (berat) Etiologi Cedera kepala Kerusakan sel otak Gangguan autoregulasi Aliran darah ke otak O2 menurun Oedema otak Skala nyeri 8, gelisah, wajah meringis Masalah Nyeri lam- 2 Data subjektif : 1. Pasien mengatakan mual dan muntah 2. Pasien mengatakan susah menelan Nyeri Cedera kepala Kerusakan sel otak Perubahan nutrisi kurang da-ri kebutuhan tubuh Data objektif : Katekolamin 1. Pasien tidak mau memakan diit Sekresi asam lambung yang disediakan 2. Pasien susah menelan 3. Pasien muntah 3 x Mual muntah Asupan nutrisi kurang 3 Data subjektif : 1. Pasien mengatakan susah digerakkan 2. Pasien mengatakan bergerak Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh KLL Kerusakan kakinya mobilitas fisik susah Luka lecet di lutut bagian kanan Data objektif : Penurunan kekuatan 1. Pasien terbaring ditempat tidur otot 2. Keterbatasan rentang gerak 3. Kekuatan otot Pasien terbaring di tempat Tangan kanan : 5 tidur, rentang gerak Tangan kiri :5 terbatas Kaki kanan :4 Kaki kiri :4 Keadaan umum sedang Luka lecet di lutut bagian kanan Kerusakan mobilitas fisik C. DIAGNOSA KEPERWATAN 1. Nyeri berhubungan dengan cedera kepala ditandai dengan : pasien mengatakan nyeri di seluruh bagian kepala, pasien mengatakan kepala terasa pusing, wajah pasien meringis, pasien gelisah, tanda-tanda vital : TD : 110/70 mmHg, RR : 24x/i, Puls : 80x/i, Temp : 36,80C, luka lecet dibagian frontal 1,5 cm dan memar dibagian oksipital, bibir bengkak dan patah 2 gigi seri, skala nyeri 8 (berat). 2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual dan muntah ditandai dengan : pasien mengatakan mual dan muntah, pasien mengatakan susah menelan, pasien tidak mau memakan diit yang disediakan, pasien susah menelan, pasien muntah 3 x. 3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot ditandai dengan : pasien mengatakan kakinya susah digerakkan, pasien mengatakan susah bergerak, pasien terbaring ditempat tidur, keterbatasan rentang gerak, kekuatan otot : tangan kanan 5, tangan kiri 5, kaki kanan 4, kaki kiri 4, keadaan umum sedang, luka lecet di lutut bagian kanan. D. CATATAN PERKEMBANGAN No 1 Hari/ No JAM Implementasi tanggal Dx Selasa/ 1 11.00 WIB Mengkaji keluhan nyeri 06 Juli Skala nyeri 8 (berat) 2010 Nyeri dibagian kepala 11.10WIB Mengkaji tanda-tanda vital TD : 110/70 mmHg RR : 24x/i Puls : 80x/i 11.30WIB Temp : 36,80C Evaluasi Pukul 15.00 WIB S: Pasien mengatakan masih nyeri dibagian kepala dengan skala nyeri 8 (berat) Pasien mengatakan kepalanya masih pu-sing O: Wajah pasien meringis Memberikan obat sesuai Skala nyeri 8 (berat) indikasi Pasien masih gelisah Injeksi Ranitidine 1amp/8jam Tanda-tanda vital Injeksi cefotaxime TD : 100/70 mmHg 500ml/12jam RR : 22x/i Injeksi citicolin 1amp/8jam Puls : 80x/i Injeksi ketorolak 1amp/8jam Temp : 36,80C Masih terdapat luka lecet 13.00WIB Mengatur posisi pasien miringdan memar kiri (sim kiri) Bibir masih bengkak 14.30WIB 2 Selasa 06 Juli 2010 2 11.20WIB1. 11.25WIB 11.25WIB2. 11.25WIB3. 11.27WIB 4. 12.30WIB 5. 6. 3 Selasa/ 06 Juli 2010 3 11.00WIB 11.00WIB A: Menganjurkan pasien un-tukMasalah nyeri belum terberistirahat (tidur di siang hari) atasi P: Intervensi dilanjutkan Kaji keluhan nyeri Kaji TTV Berikan obat sesuai indikasi Atur posisi pasien senyaman mungkin Anjurkan pasien untuk beristirahat Lakukan perawatan luka Menanyakan jenis makananPukul 15.00 WIB yang disukai pasien. S: Pasien mengatakan masih Memberikan diit MI padamual dan mun-tah pasien. Pasien mengatakan masih Mengatur posisi semifowlersusah untuk menelan saat makan. O: Makanan yang diberikan Menganjurkan pasien untuktidak bisa dihabiskan makan semua diit. Makanan hanya dimakan 2 (dua) sendok Memberikan minum pasien. Pasien muntah sudah 3 kali Pasien masih susah Mencatat frekuensi muntah : menelan Muntah sudah 3 kali. A: Masalah perubahan nu-trisi kurang dari kebu-tuhan tubuh belum tera-tasi P: Intervensi dilanjutkan Awasi pemasukan diit dan berikan ma-kanan sedikit dalam waktu sering Atur posisi pasien yang nyaman selama makan Catat frekuensi mun-tah Bantu pemenuhan nutrisi pasien Berikan makanan selingan Mengobservasi daerah ya-ngPukul 15.00 WIB terkena cedera, luka lecet dilututS : bagian kanan. Pasien mengatakan kakinya masih susah Mengkaji respon pasiendigerakan 11.10WIB 11.15WIB 11.15WIB 4 Rabu/ 1 7 Juli 2010 08.00WIB 08.15WIB 09.30WIB 09.30WIB 10.45WIB 11.30WIB terhadap aktivitas dan ke- Pasien mengatakan masih lemahan. susah untuk bergerak Kekuatan otot : O: Tangan kanan : 5 Pasien terbaring dite-mpat Tangan kiri : 5 tidur Kaki kanan :4 Rentang gerak pasien Kaki kiri :4 masih terbatas Mengkaji pernafasan dan nadi Kekuatan otot : RR : 24 x/i Tangan kanan : 5 Puls : 80 x/i Tangan kiri : 5 Kaki kanan : 4 Menganjurkan pasien un-tuk Kaki kiri :4 beristirahat bila terasa lelah TTV RR : 22x/i Mengubah posisi pasien dariPuls :80x/i terlentang ke posisi sim kiri Keadaan umum seda-ng Luka lecet dilutut ba-gian kanan A: Masalah kerusakan mobilitas fisik belum teratasi P : Intervensi dilanjutkan Observasi daerah ya-ng terkena cedera Kaji respon pasien terhadap aktivitas dan kelemahan Anjurkan pasien un-tuk meningkatkan ti-rah baring Atur posisi pasien senyaman mungkin Anjurkan pasien un-tuk beristirahat Mengkaji keluhan nyeri Pukul 15.00 WIB Skala nyeri 8 (berat) S: Nyeri dibagian kepala Pasien mengatakan masih nyeri dengan skala nyeri 6 Mengkaji tanda-tanda vital (sedang) TD : 100/70 mmHg Pasien mengatakan RR : 24x/i kepalanya masih pu-sing Puls : 82x/i tetapi sudah se-dikit 0 Temp : 36,5 C berkurang O: Membersihkan luka dengan Wajah pasien masih cairan NaCl meringis dan gelisah Skala nyeri 6 (sedang) Mengobati luka dengan Tanda-tanda vital betadine TD : 110/80 mmHg RR : 24x/i 12.00WIB 5 Rabu/ Juli 2 2010 10.00WIB 11.30WIB 11.30WIB 11.30WIB 11.30WIB 12.30WIB Mengatur posisi pasien miringPuls : 80x/i kiri (sim kiri) Temp : 36,50C Masih terdapat luka lecet Memberikan obat sesuaidan memar indikasi Bibir masih bengkak Injeksi cefotaxime A: 500ml/12jam Masalah nyeri teratasi sebagian Menganjurkan pasien un-tukP : beristirahat (tidur disi-ang hari) Intervensi dilanjutkan Kaji keluhan nyeri Kaji TTV Berikan obat sesuai indikasi Atur posisi pasien senyaman mungkin Anjurkan pasien untuk beristirahat Lakukan perawatan luka Memberikan makan seli-ngan Pukul 14.00 WIB Teh hangat dan roti S: Pasien mengatakan masih Memberikan diit MI padamual dan mun-tah tetapi pasien sudah se-dikit berkurang Pasien mengatakan sudah Mengatur posisi semifow-lerbisa untuk me-nelan saat makan O: Makanan yang diberikan Menganjurkan pasien un-tuktidak bisa dihabiskan makan semua diit Makanan hanya dimakan ¼ dari porsi yang Memberikan minum pasi-en disediakan Pasien masih muntah Mencatat frekuensi mun-tah dengan frekuensi 1 kali Muntah sudah 1 kali Pasien sudah bisa menelan A: Masalah perubahan nu-trisi kurang dari kebu-tuhan tubuh teratasi sebagian P: Intervensi dilanjutkan Awasi pemasukan diit Atur posisi pasien yang nyaman selama makan Catat frekuensi mun-tah Bantu pemenuhan nu-trisi pasien Berikan makanan selingan 6 Rabu/ 3 7 Juli 2010 08.00WIB 08.00WIB 08.15WIB 10.30WIB 11.15WIB 12.00WIB 7 Kamis/ 1 8 Juli 2010 08.00WIB Mengobservasi daerah ya-ng Pukul 15.00 WIB terkena cedera, luka lecet dilututS : bagian kanan Pasien mengatakan kakinya sudah bisa Mengkaji respon pasiendigerakan terhadap aktivitas dan Pasien mengatakan sudah kelemahan bisa miring kiri dan kanan Kekuatan otot : walaupun masih dibantu Tangan kanan : 5 O: Tangan kiri : 5 Pasien terbaring dite-mpat Kaki kanan : 4 tidur Kaki kiri :5 Rentang gerak pasien masih terbatas Mengkaji pernafasan dan nadi Kekuatan otot : RR : 24 x/i Tangan kanan : 5 Puls : 82x/i Tangan kiri : 5 Kaki kanan : 4 Menganjurkan pasein untuk Kaki kiri :5 beristirahat bila terasa lelah TTV RR : 24x/i Mengubah posisi pasien posisiPuls :82x/i sim kiri Keadaan umum seda-ng Masih terdapat luka lecet Menganjurkan pasien un-tukdilutut bagian kanan beristirahat A: Tidur siang hari Masalah kerusakan mobilitas fisik teratasi sebagian Mengkaji keluhan nyeri Skala nyeri 6 (sedang) Nyeri dibagian kepala 08.10WIB Mengkaji tanda-tanda vital TD : 110/70 mmHg RR : 22x/i Puls : 82x/i P: Intervensi dilanjutkan Observasi daerah ya-ng terkena cedera Kaji respon pasien terhadap aktivitas dan kelemahan Anjurkan pasien un-tuk meningkatkan ti-rah baring Atur posisi pasien senyaman mungkin Anjurkan pasien un-tuk beristirahat Pukul 14.00 WIB S: Pasien mengatakan masih nyeri dengan skala nyeri 4 (sedang) Pasien mengatakan pusing dikepalanya sudah berkurang 09.30WIB Temp : 36,50C 09.30WIB 10.00WIB 11.30WIB 12.30WIB 8 Kamis/ 2 8 Juli 2010 10.00WIB 11.30WIB 11.30WIB 11.30WIB 11.30WIB 12.30WIB O: Wajah pasien masih Membersihkan luka deng-anmeringis tetapi sesekali cairan NaCl sudah mulai relaks Skala nyeri 4(sedang) Mengobati luka dengan be- Tanda-tanda vital tadine TD : 110/80 mmHg RR : 22x/i Mengatur posisi pasienPuls : 82x/i semifowler Temp : 36,50C Masih terdapat luka lecet Memberikan obat sesuaidan memar indikasi Bibir masih bengkak tetapi Injeksi cefotaxime sudah berkura-ng 500ml/12jam A: Masalah nyeri teratasi Menganjurkan pasien un-tuksebagian beristirahat P: Intervensi dilanjutkan oleh perawat ruangan Kaji keluhan nyeri Kaji TTV Berikan obat sesuai indikasi Atur posisi pasien senyaman mungkin Lakukan perawatan luka Memberikan makan seli-nganPukul 14.00 WIB berupa roti tawar kepada pasien S : Pasien mengatakan mual Memberikan diit MI padadan muntah ti-dak ada lagi pasien Pasien mengatakan sudah menelan dan sudah ada Mengatur posisi semifow-lernafsu makan saat makan O: Makanan yang diberikan Menganjurkan pasien un-tuktidak dihabiskan makan semua diit Makanan hanya dimakan ¼ dari porsi yang Memberikan minum pasi-en disediakan Pasien sudah bisa Mencatat frekuensi mun-tah menelan Tidak ada lagi muntah A: Masalah perubahan nu-trisi kurang dari kebu-tuhan tubuh teratasi sebagian P: Intervensi dilanjutkan oleh perawat ruangan Awasi pemasukan diit 9 Kamis/ 3 8 Juli 2010 08.30WIB 08.30WIB 09.00WIB 10.00WIB 12.30 WIB Bantu pemenuhan nu-trisi pasien Kolaborasi dengan ahli gizi dalam pem-berian diit Mengobservasi daerah ya-ngPukul 14.00 WIB terkena cedera, luka lecet dilututS : bagian kanan Pasien mengatakan kakinya sudah bisa untuk Mengkaji respon pasiendigerakan terhadap aktivitas dan Pasien mengatakan sudah kelemahan : bisa miring kiri dan kanan Kekuatan otot : O: Tangan kanan : 5 Pasien terbaring dite-mpat Tangan kiri : 5 tidur Kaki kanan : 4 Pasien sudah bisa miring Kaki kiri :5 kiri dan kanan Kekuatan otot Menganjurkan pasein un-tuk Tangan kanan : 5 beristirahat bila terasa lelah Tangan kiri : 5 Kaki kanan : 4 Mengubah posisi semifow-ler Kaki kiri :5 Keadaan umum seda-ng Menganjurkan pasien un-tuk Luka lecet masih ada beristirahat tetapi sudah berkura-ng A: Masalah kerusakan mobilitas fisik teratasi sebagian P: Intervensi dilanjutkan oleh perawat ruangan Kaji respon pasien terhadap aktivitas dan kelemahan Anjurkan pasien un-tuk meningkatkan ti-rah baring Atur posisi pasien senyaman mungkin BAB IV PEMBAHASAN Dalam Bab ini penulis akan membahas lebih rinci tentang data dasar pengkajian pada landasan teoritis dalam Bab II dengan hasil pengkajian kasus yang telah diuraikan dalam Bab III. Pembahasan dilakukan dengan membandingkan antara uraian pada landasan teoritis dan tinjauan kasus yang ditemukan dilapangan. Berdasarkan landasan teoritis dan tinjauan pada kasus pada pasien dengan Cedera Kepala (Head Injury) tidak jauh berbeda, tetapi apabila kita bahas satu persatu secara terperinci dalam sistematis maka akan terlihat beberapa masalah yang berbeda antara landasan teoritis dengan hasil yang ditemukan dilahan praktik. Untuk mendapatkan pembahasan yang sistematis maka penulis akan membahas dengan proses keperawatan, yaitu pengkajian, diagnosa keperawatan, rencana keperawatan, implementasi dan evaluasi. A. PENGKAJIAN Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien (Nursalam, 2001). Menurut Doenges (1999), pengkajian secara teoritis didapatkan data-data sebagai berikut antara lain pengkajian aktivitas / istirahat :gejala merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan. Tanda perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, quadreplegia, ataksia cara berjalan tak tegap, masalah dalam keseimbangan, cedera (trauma) ortopaedi, kehilang tonus otot, otot spastik. Pengkajian sirkulasi : adanya gejala perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi bradikardia, disritmia). Pengkajian integritas ego : gejala perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramastis). Tanda cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi dan impulsif. Pengkajian eliminasi : gejala inkontinensia kandung kemih / usus atau mengalami gangguan fungsi. Pengkajian makanan / cairan : gejala mual, muntah, dan mengalami perubahan selera. Tanda muntah (mungkin proyektif), gangguan menelan (batuk, air liur keluar, disfagia). Pengkajian neurosensori : gejala kehilangan kesadaran sementara, anemia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinnitus, kehilangan pendengaran, tingling, baal pada ekstremitas, perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamanannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, fotopobia. Tanda perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan status mental (orentasi, kewaspadaan , perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi / tingkah laku dan memori), perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetris), deviasi pada mata, ketidakmampuan mengikuti, kehilangan penginderaan, seperti pengecapan, penciuman, pendengaran, wajah tidak simetris, genggaman lemah, tidak seimbang, refleks tendon dalam tidak ada atau lemah, apraksia, hemiparese, quadreplegia, postur (dekortikasi, deserebrasi), kejang, sangat sensitif terhadap sentuhan dan gerakan, kehilangan sensasi sebagian tubuh, kesulitan dalam menentukan posisi tubuh. Pengkajian nyeri / kenyamanan : gejala sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama. Tanda wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah, tidak bisa beristirahat, merintih. Pengkajian pernafasan : tanda perubahan pola nafas (apnea diselingi oleh hiperventilasi), nafas berbunyi, stridor, tersedak, ronki, mengi positif (kemungkinan karena aspirasi). Pengkajian keamanan : gejala trauma baru / trauma karena kecelakaan. Tanda fraktur / dislokasi, gangguan penglihatan, kulit laserasi, abrasi, perubahan warna, seperti “Racoon Eye” Tanda battle disekitar telinga (merupakan tanda adanya trauma), adanya aliran cairan (draenase) dari telinga / hidung (CCS), gangguan kognitif, gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum mengalami paralysis, demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh. Pengkajian interaksi sosial : tanda afasia motorik atau sensori, bicara tanpa arti, bicara berulang-ulang, disartria, dan anomia. Sedangkan dari hasil pengkajian kasus penulis mendapatkan data-data sebagai berikut yaitu nyeri dibagian kepala, kepala pusing, wajah meringis, gelisah, memar, trauma (luka lecet), mual, muntah, perubahan nafsu makan, kesulitan menelan, sukar untuk berbicara, lemah, penurunan kekuatan, ganguan rentang gerak, kehilangan kesadaran. Adapun persamaan antara pengkajian yang ditemukan pada data dasar pengkajian secara teoritis dan ditemukan pula pada tinjauan kasus yaitu nyeri dibagian kepala, kepala pusing, wajah meringai, gelisah, memar, trauma, mual, muntah, perubahan selera / susah menelan, sukar untuk berbicara, lemah, penurunan kekuatan, gangguan rentang gerak, kehilangan kesadaran. Kesenjangan atau perbedaan antara landasan teoritis dengan tinjauan kasus yaitu pada pengkajian sirkulasi ditemukan adanya perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), sedangkan pada tinjauan kasus tidak ditemukan karena pada saat dilakukan pengkajian pasien tidak ada riwayat hipertensi. Dan pada pengkajian pernafasan pada landasan teoritis ditemukan adanya perubahan pola nafas (apnea diselingi oleh hiperventilasi), nafas berbunyi, stridor, tersedak, ronki, mengi positif (kemungkinan karena aspirasi). Sedangkan pada tinjauan kasus tidak ditemukan adanya perubahan pola nafas pasien, nafas tidak berbunyi, ronki, mengi dan tidak tersedak. B. DIAGNOSA KEPERAWATAN Diagnosa keperawatan adalah struktur dan proses, struktur diagnosa keperawatan komponennya tergantung pada tipenya, aktual, resiko, kemungkinan, sehat atau sindrom (Carpenito, LJ, 1998). Adapun diagnosa keperawatan yang timbul dalam landasan teoritis Menurut Doenges (1999), adalah : 1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah oleh SOL (Hemoragic, Hematoma), edema serebral (respon lokal atau umum pada cedera, perubahan metabolik, takar lajak obat/alkohol), penurunan tekanan darah iskemik/hipoksia, (Hipovolemia, Disritmia jantung). 2. Resiko tinggi terhadap pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neuromuskular (cedera pada pusat pernafasan otak), kerusakan kognitif, obstruksi trakeobronkial. 3. Perubahan persepsi sensorik berhubungan dengan transmisi integrasi (trauma atau defisit neurologis). 4. Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan fisiologis konflik psikologis. 5. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi atau kognitif, penurunan kekuatan/tahanan. 6. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif, penurunan kerja silia, stastis cairan tubuh, kurang nutrisi, respon inflamasi tertekan (penggunaan steroid), perubahan integritas sistem tertutup (kebocoran CSS). 7. Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien (penurunaan tingkat kesadaran), kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah, menelan, status hipermetabolik. 8. Nyeri berhubungan dengan agen pencedera biologis, adanya proses infeksi/inflamasi, cedera, toksin dalam sirkulasi. 9. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan transisi dan krisis situasional, ketidakpastian tentang hasil/harapan. 10. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang pemajanan, tidak mengingat/keterbatasan kognitif. mengenal informasi /sumber-sumber, kurang Sedangkan diagnosa yang penulis temukan pada tinjauan kasus adalah : 1. Nyeri berhubungan dengan cedera kepala 2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual muntah 3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot Adapun persamaan antara diagnosa keperawatan yang muncul pada tinjauan kasus yaitu : nyeri berhubungan dengan cedera kepala hal ini disebabkan oleh karena pasien pada saat dikaji mengeluh nyeri, wajah meringis, pusing, skala nyeri 8. Pada diagnosa perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual muntah hal ini disebabkan oleh pasien mengalami mual, muntah dan kesulitan menelan. Pada diagnosa ketiga, kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot hal ini yang menyebabkan terjadinya kerusakan mobilitas fisik yaitu dikarenakan pasien mengalami kecelakaan lalulintas, luka lecet dilutut bagian kanan, dan keterbatasan rentang gerak, penurunan kekuatan otot, pasien terbaring ditempat tidur. Pada diagnosa pertama nyeri berhubungan dengan cedera kepala hal ini disebabkan oleh karena terjadinya kerusakan sel otak, sehingga terjadinya gangguan autoregulasi dan mengakibatkan aliran darah ke otak menurun dan O2 akan menurun sehingga akan menimbulkan nyeri kepala. Sedangkan perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh hal ini disebabkan oleh karena terjadinya stress yang mengakibatkan meningkatnya kadar katekolamin sehingga terjadi peningkatan sekresi asam lambung yang mengakibatkan mual muntah. Pada diagnosa kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot disebabkan oleh karena terjadinya kecelakaan lalu lintas dan luka lecet dilutut bagian kanan sehingga terjadinya penurunan kekuatan otot sehingga rentang gerak pasien terbatas (Mufti, 2009). Perbedaan atau kesenjangan antara diagnosa keperawatan yang muncul pada tinjauan kasus dan landasan teoritis adalah pada landasan teoritis diagnosa keperawatan yang muncul sebanyak 10 diagnosa keperawatan, sedangkan pada tinjauan kasus penulis hanya mencantumkan 3 diagnosa keperawatan saja, hal ini disebabkan karena berdasarkan data subjektif dan data objektif yang didapatkan dari hasil pengkajian sesuai dengan prioritas masalah yang penulis jumpai pada An. I dengan Head Injury GCS 11. Sedangkan untuk 7 diagnosa keperawatan lainnya tidak ditemukan data subjektif dan data objektif yang mendukung penegakkan diagnosa-diagnosa tersebut. C. PERENCANAAN Perencanaan keperawatan merupakan aktivitas berorientasi tujuan dan sistematik dimana rancangan intervensi keperawatan dituangkan dalam rencana keperawatan (Basford & Slevin, 2006). Dalam perencanaan ini penulis akan membahas rencana asuhan keperawatan yang sesuai dengan tiga diagnosa yang ditemukan pada tinjauan kasus. Diagnosa pertama yaitu nyeri berhubungan dengan cedera kepala. Menurut Doenges (1999), pada landasan teoritis yang diintervensikan adalah berikan lingkungan yang tenang, ruangan yang agak gelap sesuai dengan indikasi, tingkatkan tirah baring, bantulah kebutuhan perawatan diri yang penting, letakkan kantong es pada kepala pakaian dingin diatas mata, dukung untuk menentukan posisi yang nyaman, berikan latihan rentang gerak aktif/pasif secara tepat dan masase otot daerah leher / bahu, kaji tingkat skala nyeri catat lokasi, karakteristik, kolaborasi dalam pemberian obat-obatan sesuai indikasi. Pada tinjauan kasus yang diintervensikan antara lain kaji keluhan nyeri, kaji tanda-tanda vital, berikan obat sesuai indikasi, atur posisi pasien, anjurkan pasien untuk beristirahat, dari intervensi landasan teoritis dan intervensi pada tinjauan kasus terdapat beberapa kesenjangan diantaranya pada landasan teoritis berikan lingkungan yang tenang, ruangan agak gelap sesuai indikasi tidak mungkin direncanakan pada tinjauan kasus karena ruangan rawatan An. I dirawat adalah ruangan dalam bentuk bangsal, maka intervensi memberi lingkungan yang tenang dan ruangan agak gelap tidak mungkin dilakukan. Diagnosa kedua yaitu perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual muntah. Pada landasan teoritis intervensi yang berhubungan dengan masalah diatas meliputi kaji kemampuan pasien untuk mengunyah, menelan, batuk, dan mengatasi sekresi, auskultasi bising usus, catat adanya penurunan / hilangnya atau suara yang hiperaktif, timbang berat badan sesuai indikasi, jaga keamanan saat memberikan makan pada pasien, berikan makanan dalam jumlah kecil dan dalam waktu sering dengan teratur, kaji feces, cairan lambung dan konsultasi dengan ahli gizi. Sedangkan intervensi pada tinjauan kasus meliputi awasi pemasukan diit, memberikan makanan selingan pada pasien, anjurkan pasien untuk makan semua diit, atur posisi pasien selama makan, catat frekuensi muntah, intervensi yang ada pada landasan teoritis tetapi tidak diuraikan dalam tinjauan kasus yaitu auskultasi bising usus, catat adanya penurunan / hilangnya atau suara hiperaktif, karena menurut penulis apabila pasien tidak mengkonsumsi makanan maka bising usus akan lambat jadi tidak perlu diintervensikan. Begitu juga dengan timbang berat badan sesuai indikasi juga tidak di intervensikan pada tinjauan kasus karena An. I dengan Head Injury GCS 11 tidak mampu untuk berdiri, oleh karena itu tidak mungkin melakukan timbang berat badan. Konsultasi dengan ahli gizi juga tidak di intervensikan pada tinjauan kasus karena menurut penulis intervensi diatas biasanya dilakukan oleh perawat ruangan, maka penulis tidak mencantumkan dalam tinjauan kasus. Diagnosa ketiga kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot. Pada landasan teoritis intervensinya meliputi periksa kembali kemampuan dan keadaan secara fungsional pada kerusakan yang terjadi, kaji derajat imoblisasi dengan menggunakan skala ketergantungan (0-4), ubah posisi pasien secara teratur dan buat sedikit perubahan posisi antara waktu perubahan posisi tersebut, berikan dan bantu untuk melakukan latihan rentang gerak, berikan cairan dalam batas yang dapat ditoleransi oleh neurologi dan jantung, dan periksa adanya daerah yang mengalami nyeri tekan, kemerahan, kulit yang hangat, otot yang tegang, intervensi yang ada pada landasan teoritis yang didapat pada tinjauan kasus sehingga pada diagnosa yang ketiga tidak ditemukan kesenjangan antara landasan teoritis dengan tinjauan kasus. D. PELAKSANAAN Pelaksanaan merupakan langkah keempat dalam proses keperawatan dengan melaksanakan berbagai strategi keperawatan (tindakan keperawatan) yang telah direncanakan dalam rencana tindakan keperawatan (Hidayat, AA, 2004). Pada diagnosa pertama implementasi yang dilakukan antara lain meliputi mengkaji keluhan nyeri dan lokasi bertujuan agar nyeri dapat terkontrol dan mencapai intensitas skala nyeri 1-3 (ringan), selama tiga hari rawatan skala nyeri 8 (berat), pada hari rawatan pertama dan berkurang pada hari rawatan kedua dengan skala 6 (sedang), dan pada hari rawatan ketiga dengan skala nyeri 4 (sedang). Implementasi kedua dari diagnosa pertama yaitu mengkaji tanda-tanda vital bertujuan untuk memantau apabila terjadi perubahan tanda-tanda vital, selama tiga hari rawatan diukur tanda-tanda vital pasien pada hari rawatan pertama dengan tekanan tekanan darah 110/70 mmHg, RR 24 x/I, puls 80 x/i, temp 36,8 0C, dan pada hari rawatan kedua tekanan darah 100/70 mmHg, RR 24 x/I, puls 82 x/i, temp 36,5 0C, serta pada hari rawatan ketiga dengan tekanan darah 110/70 mmHg, RR 22 x/I, puls 82 x/i, temp 36,50C. Implementasi yang ketiga dari diagnosa pertama yaitu memberikan obat sesuai indikasi, dan impementasi keempat dan kelima dari diagnosa pertama dengan mengatur posisi pasien miring kiri dan menganjurkan pasien untuk beristirahat. Pada diagnosa kedua implementasi yang dilakukan adalah menanyakan jenis makanan yang disukai pasien, dan memberikan diit MI pada pasien bertujuan untuk memenuhi kembali kebutuhan nutrisi pasien. Selama tiga hari rawatan pasien hanya menghabiskan hanya 2 (dua) sendok pada hari rawatan pertama, dan hari rawatan kedua pasien hanya menghabiskan ¼ porsi dari porsi yang disediakan dan hari rawatan ketiga pasien menghabiskan ½ porsi juga dari porsi yang disediakan, sedangkan implementasi selanjutnya dilakukan mengatur posisi semifowler selama makan, menyuruh pasien untuk menghabiskan semua diit, dan mencatat frekuensi muntah yang bertujuan untuk membantu kemampuan otot menelan dan kemampuan cerna. Selama rawatan tiga hari didapati pasien muntah 3 (tiga) kali pada hari rawatan pertama, pada hari rawatan kedua pasien muntah satu kali, sedangkan pada hari rawatan ketiga pasien tidak mengalami muntah lagi. Pada diagnosa ketiga implementasi yang dilakukan adalah mengobservasi daerah yang terkena cedera, luka lecet dilutut, mengkaji respon pasien terhadap aktivitas dan kelemahan, menganjurkan pasien untuk beristirahat, dengan tujuan untuk meningkatkan istirahat dan penyediaan energi untuk penyembuhan. Selama rawatan 3 (tiga) hari dari pertama sampai ketiga pasien masih berbaring di tempat tidur, dan mengatur posisi pasien sim kiri, selama tiga hari rawatan pasien belum mampu bergerak dan miring kiri dan kanan. Pada hari rawatan kedua pasien sudah mampu miring kiri dan kanan walaupun masih dibantu, sedangkan pada hari rawatan ketiga pasien sudah bisa miring kiri dan kanan serta sudah bisa bergerak. E. EVALUASI Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan dan pelaksanaan sudah berhasil dicapai (Nursalam, 2001). Dalam evaluasi yang akan dibahas meliputi tiga diagnosa diantaranya nyeri berhubungan dengan cedera kepala, perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual muntah, kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot. Diagnosa pertama nyeri berhubungan dengan cedera kepala, pada hari rawatan pertama masalah belum teratasi, namun pada hari rawatan kedua masalah nyeri sudah teratasi sebagian, pada hari rawatan ketiga masalah nyeri juga teratasi sebagian dan intervensi dilanjutkan oleh peraqat ruangan. Pada diagnosa kedua perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual muntah, pada hari rawatan pertama evaluasi masalah nyeri belum teratasi, dan hari rawatan kedua dan ketiga masalah nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh teratasi sebagian dan intervensi dilanjutkan oleh perawat ruangan. Begitu juga dengan diagnosa ketiga yaitu kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot pada hari rawatan pertama masalah belum teratasi, dan pada hari rawatan kedua dan ketiga masalah kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot sudah teratasi sebagian sehingga pada hari rawatan ketiga intervensi dilanjutkan oleh perawat ruangan. BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN 1. Cedera kepala (Head Injury) suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala (Suriadi & Yuliani, 2001). 2. Dari hasil pengkajian yang penulis lakukan didapatkan data pasien nama An. I, umur 14 tahun, status perkawinan belum kawin, agama islam, pekerjaan siswi, alamat Gunong Pulo Kota fajar, tanggal masuk 06 Juli 2010, No. Register 027343, dengan diagnosa medis Cedera Kepala (Head Injury) GCS 11. 3. Dari hasil analisa data didapatkan anamnese yaitu pasien mengatakan nyeri diseluruh bagian kepala, kepala terasa pusing, wajah pasien meringis, dan gelisah, tanda-tanda vital : TD : 110/70 mmHg, RR : 24x/i, Puls : 80x/i, Temp : 36,80C, luka lecet dibagian frontal dan memar dibagian oksipital, luka lecet dilutut bagian kanan, bibir bengkak dan patah 2 gigi seri, pasien mengatakan mual, muntah, susah untuk menelan, diit yang disediakan tidak dimakan, dan pasien mengatakan kakinya susah untuk digerakkan, pasien terbaring ditempat tidur, rentang gerak terbatas, kekuatan otot : tangan kanan 5, tangan kiri 5, kaki kanan 4, kaki kiri 4. serta keadaan umum sedang. 4. Adapun diagnosa keperawatan yang muncul pada An. I dengan Head Injury GCS 11, penulis merumuskan dan memprioritaskan sesuai kondisi pasien adalah nyeri berhubungan dengan cedera kepala, perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual, muntah, serta kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot. 5. Rancana keperawatan pada An. I untuk mengatasi nyeri adalah berikan lingkungan yang tenang, tingkatkan tirah baring, dukung untuk menemukan posisi yang nyaman, berikan latihan rentang gerak, kaji tingkat skala nyeri serta kolaborasi dalam pemberian obat-obatan sesuai indikasi. Untuk mengatasi masalah perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh dengan rencana keperawatan kaji kemampuan pasien untuk mengunyah, menelan, auskultasi bising usus, timbang berat badan jaga keamanan saat makan, berikan makan dalam jumlah sedikit dalam waktu sering, dan konsultasi dengan ahli gizi. Untuk mengatasi masalah kerusakan mobilitas fisik dengan rencana keperawatannya adalah periksa kembali kemampuan pasien secara fungsional pada kerusakan yang terjadi, kaji derajat imobilisasi pasien, ubah posisi pasien secara teratur, berikan / bantu untuk melakukan rentang gerak, berikan cairan dalam batas normal dan periksa daerah yang mengalami nyeri tekan. 6. Tindakan keperawatan yang diberikan pada An. I untuk mengatasi masalah nyeri adalah mengkaji keluhan nyeri (skala nyeri 8, nyeri dibagian kepala), mengkaji tanda-tanda vital TD : 110/70 mmHg, RR : 24 x/i, puls : 80 x/i, temp : 36,8 0C, memberikan obat sesuai indikasi injeksi ranitidine 1amp / 8 jam, cefotaxime 500ml / 12 jam, citicolin 1amp / 8 jam, ketorolac 1 amp / 8 jam, mengatur posisi pasien miring kiri (sim kiri), menganjurkan pasien untuk beristirahat (tidur disiang hari), masalah nyeri teratasi sebagian. Untuk mengatasi masalah perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh tindakan keperawatan yang diberikan yaitu menanyakan jenis makanan yang disukai pasien, memberikan diit MI pada pasien, memberikan makanan selingan roti dan teh, menganjurkan pasien untuk menghabiskan semua diit, mangatur posisi pasien semifowler selama makan, mencatat frekuensi muntah, masalah perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh teratasi sebagian. Dan masalah kerusakan mobilitas fisik tindakan keperawatannya yang telah diberikan adalah mengkaji respon pasien terhadap aktivitas dan kelemahan, mengkaji tanda-tanda vital RR 24 x/i, puls 80 x/i, menganjurkan pasien untuk beristirahat bila pasien terasa lelah, mengatur posisi pasien sim kiri, masalah kerusakan mobilitas fisik teratasi sebagian. 7. Setelah dilakukan evaluasi secara keseluruhan diagnosa pertama, kedua dan ketiga masalah keperawatan hari pertama evaluasi dari ketiga diagnosa adalah diagnosa pertama, kedua dan ketiga belum teratasi, selanjutnya pada hari kedua ketiga diagnosa dievaluasi dengan hasil masalah teratasi sebagian. Demikian halnya dengan hasil masalah teratasi sebagian, karena pasien memerlukan rawatan yang intensif lebih lanjut maka intervensi selanjutnya dilakukan oleh perawat ruangan. 8. Mendokumentasikan Asuhan Keperawatan sangat diperlukan setiap melakukan tindakan keperawatan, hal ini menunujkkan sistem kerja perawatan yang secara sistematis berdasarkan bukti dan keakuratan data yang diperoleh selama pelaksanaan keperawatan, semua tindakan keperawatan di dokumentasikan di status pasien setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 (tiga) hari rawatan. B. SARAN-SARAN 1. Diharapkan kepada pasien dan keluarga setelah diberikan asuhan keperawatan agar dapat menjaga kesehatan dan perilaku hidup sehat untuk meningkatkan derajat kesehatan kedepannya serta agar pasien lebih mengerti tentang sakit yang dideritanya yaitu Head Injury GCS 11. 2. Diharapkan kepada pembaca dengan adanya Karya Tulis Ilmiah agar dapat mengambil manfaat dari penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini demi untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan selanjutnya. 3. Diharapkan kepada Instansi Akademi Keperawatan agar meningkatkan mutu pendidikan, sehingga menghasilkan perawat yang professional yang mempunyai kemampuan dan keterampilan dalam melakukan Asuhan Keperawatan pada pasien. 4. Diharapkan kepada lahan praktik Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan agar meningkatkan mutu pelayanan kesehatan sesuai dengan standar prosedur keperawatan terutama pada pasien Head Injury GCS 11. DAFTAR PUSTAKA Basford, L & Slevin, O. (2006) Teori Dan Praktik Keperawatan Pendekatan Pasien. Jakarta : EGC Integral Pada Asuhan Carpenito, LJ. (1998). Diagnosa Keperawatan Aplikasi Pada Praktik Klinis. Edisi 6. Jakarta : EGC Chandra, B. (2008). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : EGC Doenges, ME. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta : EGC Effendy, N. (1998). Dasar-dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat. Edisi 2 Jakarta : EGC Engram, B. (1998). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Vol 3. Jakarta : EGC Gaffar, LOJ. (1999). Pengantar Keperawatan Profesional. Jakarta : EGC Hidayat, AA. (2004). Pengantar Dokumentasi Proses Keperawatan. Jakarta : EGC Hidayat, AA. (2001). Pengantar Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika Hidayat, AA. (2006). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia – Aplikasi Konsep & Proses Keperawatan. Buku 1. Jakarta : Salemba Medika Kusnanto. (2004). Pengantar Profesi & Praktik Keperawatan Profesional. Jakarta : EGC Mansjoer, A. dkk. (2000). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius Mardjono, M & Sidharta, P. (2004). Neurologi Klinis Dasar. Cetakan 10. Jakarta : Dian Rakyat Morton, PG. (2003). Panduan Pemeriksaan Kesehatan dengan Dokumentasi SOAPIE. Edisi 2. Jakarta : EGC Notoatmodjo, S. (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka cipta. Nursalam. (2001). Proses & Dokumentasi Keperawatan Konsep & Praktik. Jakarta : Salemba Medika Oman, KS, dkk. (2008). Panduan Belajar Keperawatan Emergensi. Jakarta : EGC Price, SA & Wilson, LM. (2005). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 6. vol 2 . Jakarta : EGC Priharjo, R. (2006). Pengkajian Fisik Keperawatan. Edisi 2. Jakarta : EGC Purwoko, S. (2006). Pertolongan Pertama & RJP Pada Anak. Edisi 4. Jakarta : Arcan Sjamsuhidajat, R & Jong, WD. (2004). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : EGC Smeltzer, SC & Bare, BG. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8. Vol 3. Jakarta : EGC Suriadi & Yuliani. (2001). Asuhan Keperawatan Pada Anak. Edisi 1. Jakarta : Fajar Interpratama Abdale. (2007). Trauma Kepala. (http://www.webcache.googleusercontenabdale. com.htm. diakses pada tanggal 09 Juli 2010 jam 10.45 wib) Irwana, O. (2009). Cedera Kepala/Head Injury. (http://yayanakyar. wordpress.com. htm. diakses pada tanggal 09 Juli 2010 jam 11.00 wib) Mufti, A. (2009). Cedera Kepala. (http://moveamura.files.wordpress.com.pdf. diakses pada tanggal 07 Juli 2010) Saanin, S. (2007). Cedera Otak Traumatika. (http://syaiful saanin.wordpress. com.htm. diakses pada tanggal 09 Juli 2010 jam 10.30 wib) Widyaningrum, D. (2008). Askep Pada Trauma Kapitis. (http://yenibeth. wordpress. com.htm. diakses pada tanggal 15 Juli 2010 jam 11.30)