BAB I PENDAHULUAN

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Seorang dapat dinyatakan sebagai seorang jompo atau lanjut usia setelah yang
bersangkutan mencapai umur 55 tahun, tidak mempunyai atau tidak berdaya mencari nafkah
sendiri untuk keperluan hidupnya sehari-hari dan menerima nafkah dari orang lain. Lanjut
usia adalah suatu proses alami yang tidak dapat dihindari dari usia manusia sebagai makhluk
hidup yang terbatas oleh suatu putaran alam dengan batas usia 55 tahun / lebih.
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah suatu gangguan pada sistem peredaran
darah yang sering terdapat pada usia pertengahan atau lebih, yang ditandai dengan tekanan
darah lebih dari normal. Hipertensi menyebabkan perubahan pada pembuluh darah yang
mengakibatkan makin meningkatnya tekanan darah.
Dari banyak penelitian epidemiologi didapatkan bahwa dengan meningkatnya umur
hipertensi menjadi masalah pada lansia karena sering ditemukan pada lansia. Pada lansia
hipertensi menjadi faktor utama payah jantung dan penyakit jantung koroner. Lebih dari
separuh kematian di atas usia 60 tahun disebabkan oleh penyakit jantung dan
serebrovaskular. Secara nyata kematian akibat stroke dan morbiditas penyakit kardiovaskuler
menurun dengan pengobatan hipertensi
1.2
Tujuan
1.2.1
Mengetahui definisi dari hipertensi pada lansia
1.2.2
Dapat menjelaskan penyebab terjadinya hipertensi pada lansia.
1.2.3
Mampu menjelaskan patofisiologi hipertensi pada lansia
1.2.4
Mengetahui askep lansia dengan hipertensi
1.3
Manfaat
1.3.1
Memahami definisi dari hipertensi pada lansia
1.3.2
Memahami penyebab terjadinya hipertensi pada lansia.
1.3.3
Memahami patofisiologi hipertensi pada lansia
1.3.4
Memahami askep lansia dengan hipertensi
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian
Hipertensi merupakan gangguan kesehatan yang ditandai adanya tekanan sistolik
>140 mmHg dan tekanan diastolik >90 mmHg. Pada populasi lansia, hipertensi didefinisikan
sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg. (Smeltzer,2001).
Menurut WHO (1978), tekanan darah ≥160/95 mmHg dinyatakan sebagai hipertensi.
2.2
Klasifikasi
Klasifikasi hipertensi berdasarkan penyebabnya dapat dibedakan menjadi 2
golongan besar yaitu :
• Hipertensi essensial (hipertensi primer) yaitu hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya
• Hipertensi sekunder yaitu hipertensi yang di sebabkan oleh penyakit lain
Hipertensi pada usia lanjut dibedakan atas :
• Hipertensi dimana tekanan sistolik sama atau lebih besar dari 140 mmHg dan atau tekanan
diastolik sama atau lebih besar dari 90 mmHg.
• Hipertensi sistolik terisolasi dimana tekanan sistolik lebih besar dari 160 mmHg dan tekanan
diastolik lebih rendah dari 90 mmHg.
2.3
Etiologi
Hipertensi pada lansia dapat disebabkan oleh interaksi bermacam-macam faktor,
antara lain:
• Kelelahan
• Proses penuaan
• Keturunan
• Diet yang tidak seimbang
• Stress
• Sosial budaya
Penyebab hipertensi pada orang dengan lanjut usia adalah terjadinya perubahan–
perubahan pada :
• Elastisitas dinding aorta menurun
• Katub jantung menebal dan menjadi kaku
• Kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun sesudah berumur 20 tahun.
Kemampuan jantung memompa darah menurun menyebabkan menurunnya kontraksi dan
volumenya.
• Kehilangan elastisitas pembuluh darah. Hal ini terjadi karena kurangnya efektifitas pembuluh
darah perifer untuk oksigenasi
• Meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer
Meskipun hipertensi primer belum diketahui dengan pasti penyebabnya, data-data
penelitian telah menemukan beberapa faktor yang sering menyebabkan terjadinya hipertensi.
Faktor tersebut adalah sebagai berikut :
• Faktor keturunan
Menurut data dari statistik terbukti bahwa seseorang akan memiliki kemungkinan lebih besar
untuk mendapatkan hipertensi jika orang tuanya adalah penderita hipertensi
• Ciri perseorangan
Ciri perseorangan yang mempengaruhi timbulnya hipertensi adalah:
a. Umur (jika umur bertambah maka TD meningkat)
b. Jenis kelamin (laki-laki lebih tinggi dari perempuan)
c. Ras (ras kulit hitam lebih banyak dari kulit putih)
• Kebiasaan hidup
Kebiasaan hidup yang sering menyebabkan timbulnya hipertensi adalah :
a. Konsumsi garam yang tinggi (melebihi dari 30 gr)
b. Kegemukan atau makan berlebihan
c. Stress
d. Merokok
e. Minum alcohol
f. Minum obat-obatan (ephedrine, prednison, epineprin)
Sedangkan penyebab hipertensi sekunder adalah :
• Glomerulonefritis
• Pielonefritis
• Nekrosis tubular akut
• Tumor
• Vascular
• Aterosklerosis
• Hiperplasia
• Trombosis
• Aneurisma
• Emboli kolestrol
• Vaskulitis
• Kelainan endokrin
• DM
• Hipertiroidisme
• Hipotiroidisme
• Saraf
• Stroke
• Ensepalitis
• SGB
• Obat–obatan
• Kontrasepsi oral
• Kortikosteroid
2.4
Tanda dan gejala
Tanda dan gejala hipertensi pada lansia secara umum adalah :
• Sakit kepala
• Perdarahan hidung
• Vertigo
• Mual muntah
• Perubahan penglihatan
• Kesemutan pada kaki dan tangan
• Sesak nafas
• Kejang atau koma
• Nyeri dada
Tanda dan gejala pada hipertensi dibedakan menjadi :
• Tidak ada gejala
Tidak ada gejala yang spesifik yang dapat dihubungkan dengan peningkatan tekanan darah,
selain penentuan tekanan arteri oleh dokter yang memeriksa. Hal ini berarti hipertensi arterial
tidak akan pernah terdiagnosa jika tekanan arteri tidak terukur.
• Gejala yang lazim
Sering dikatakan bahwa gejala terlazim yang menyertai hipertensi meliputi nyeri kepala dan
kelelahan. Dalam kenyataannya ini merupakan gejala terlazim yang mengenai kebanyakan
pasien yang mencari pertolongan medis.
Menurut Rokhaeni ( 2001 ), manifestasi klinis beberapa pasien yang menderita
hipertensi yaitu : mengeluh sakit kepala, pusing, lemas, kelelahan, sesak nafas, gelisah, mual
muntah, epistaksis, kesadaran menurun.
2.5
Patofisiologi
http://suka2-bayu.blogspot.com/2011/11/pathway-hipertensi.html
2.6
Komplikasi
Akibat atau komplikasi dari penyakit hipertensi yang dapat terjadi pada lansia adalah
:
• gagal jantung
• gagal ginjal
• stroke (kerusakan otak)
• kelumpuhan.
2.7
Pemeriksaan Penunjang
• Hemoglobin / hematokrit
Untuk mengkaji hubungan dari sel–sel terhadap volume cairan (viskositas) dan dapat
mengindikasikan faktor–faktor resiko seperti hiperkoagulabilitas dan anemia
• BUN
Memberikan informasi tentang perfusi ginjal
• Glukosa
Hiperglikemi (diabetes mellitus adalah pencetus hipertensi) dapat diakibatkan oleh
peningkatan katekolamin (meningkatkan hipertensi)
• Kalium serum
Hipokalemia dapat megindikasikan adanya aldosteron utama (penyebab) atau menjadi efek
samping terapi diuretik.
• Kalsium serum
Peningkatan kadar kalsium serum dapat menyebabkan hipertensi
• Kolesterol dan trigliserid serum
Peningkatan kadar dapat mengindikasikan pencetus untuk adanya pembentukan plak
ateromatosa (efek kardiovaskuler)
• Pemeriksaan tiroid
Hipertiroidisme dapat menimbulkan vasokonstriksi dan hipertensi
• Kadar aldosteron urin/serum
Untuk mengkaji aldosteronisme primer (penyebab)
• Urinalisa
Darah, protein, glukosa mengisyaratkan disfungsi ginjal atau adanya diabetes.
• Asam urat
Hiperurisemia telah menjadi implikasi faktor resiko hipertensi
• Steroid urin
Kenaiakn dapat mengindikasikan hiperadrenalisme
• IVP
Dapat mengidentifikasi penyebab hieprtensiseperti penyakit parenkim ginjal, batu
ginjal/ureter.
• Foto dada
Menunjukkan obstruksi kalsifikasi pada area katub, perbesaran jantung
• CT scan
Untuk mengkaji tumor serebral, ensefalopati
• EKG
Dapat menunjukkan pembesaran jantung, pola regangan, gangguan konduksi, peninggian
gelombang P adalah salah satu tanda dini penyakit jantung hipertensi
2.8
Penatalaksanaan
• Pencegahan Primer
Faktor resiko hipertensi antara lain: tekanan darah diatas rata-rata, adanya hipertensi pada
anamnesis keluarga, ras (negro), tachycardi, obesitas dan konsumsi garam yang berlebihan
dianjurkan untuk:
1. Mengatur diet agar berat badan tetap ideal juga untuk menjaga agar tidak terjadi
hiperkolesterolemia, Diabetes Mellitus, dsb.
2. Dilarang merokok atau menghentikan merokok.
3. Merubah kebiasaan makan sehari-hari dengan konsumsi rendah garam.
4. Melakukan exercise untuk mengendalikan berat badan.
• Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder dikerjakan bila penderita telah diketahui menderita hipertensi berupa:
1. Pengelolaan secara menyeluruh bagi penderita baik dengan obat maupun dengan tindakantindakan seperti pada pencegahan primer.
2. Harus dijaga supaya tekanan darahnya tetap dapat terkontrol secara normal dan stabil
mungkin.
3. Faktor-faktor resiko penyakit jantung ischemik yang lain harus dikontrol.
4. Batasi aktivitas.
Pengelolaan hipertensi bertujuan untuk mencegah morbiditas dan mortalitas akibat
komplikasi kardiovaskuler yang berhubungan dengan pencapaian dan pemeliharaan tekanan
darah dibawah 140/90 mmHg.
Prinsip pengelolaan penyakit hipertensi meliputi :
• Terapi tanpa Obat
Terapi tanpa obat digunakan sebagai tindakan untuk hipertensi ringan dan sebagai tindakan
suportif pada hipertensi sedang dan berat. Terapi tanpa obat ini meliputi :
a. Diet
Diet yang dianjurkan untuk penderita hipertensi adalah :
1. Restriksi garam secara moderat dari 10 gr/hr menjadi 5 gr/hr
2. Diet rendah kolesterol dan rendah asam lemak jenuh
3. Penurunan berat badan
4. Penurunan asupan etanol
5. Menghentikan merokok
b. Latihan Fisik
Latihan fisik atau olah raga yang teratur dan terarah dianjurkan untuk penderita hipertensi.
Macam olah raganya yaitu isotonis dan dinamis seperti lari, jogging, bersepeda, berenang dan
lain-lain
Intensitas olah raga yang baik antara 60-80 % dari kapasitas aerobik atau 72-87 % dari denyut nadi
maksimal yang disebut zona latihan. Lamanya latihan berkisar antara 20 – 25 menit berada dalam
zona latihan Frekuensi latihan sebaiknya 3 x perminggu dan paling baik 5 x perminggu
c. Edukasi Psikologis
Pemberian edukasi psikologis untuk penderita hipertensi meliputi :
1. Tehnik Biofeedback
Biofeedback adalah suatu tehnik yang dipakai untuk menunjukkan pada subyek tanda-tanda
mengenai keadaan tubuh yang secara sadar oleh subyek dianggap tidak normal. Penerapan
biofeedback terutama dipakai untuk mengatasi gangguan somatik seperti nyeri kepala dan migrain,
juga untuk gangguan psikologis seperti kecemasan dan ketegangan.
2. Tehnik relaksasi
Relaksasi adalah suatu prosedur atau tehnik yang bertujuan untuk mengurangi ketegangan atau
kecemasan, dengan cara melatih penderita untuk dapat belajar membuat otot-otot dalam tubuh
menjadi rileks
d. Pendidikan Kesehatan (Penyuluhan)
Tujuan pendidikan kesehatan yaitu untuk meningkatkan pengetahuan pasien tentang penyakit
hipertensi dan pengelolaannya sehingga pasien dapat mempertahankan hidupnya dan mencegah
komplikasi lebih lanjut.
• Terapi dengan Obat
Tujuan pengobatan hipertensi tidak hanya menurunkan tekanan darah saja tetapi juga
mengurangi dan mencegah komplikasi akibat hipertensi agar penderita dapat bertambah kuat.
Pengobatan hipertensi umumnya perlu dilakukan seumur hidup penderita.
Pengobatan standar yang dianjurkan oleh Komite Dokter Ahli Hipertensi (JOINT NATIONAL
COMMITTEE ON DETECTION, EVALUATION AND TREATMENT OF HIGH BLOOD
PRESSURE, USA, 1988) menyimpulkan bahwa obat diuretika, penyekat beta, antagonis kalsium,
atau penghambat ACE dapat digunakan sebagai obat tunggal pertama dengan memperhatikan
keadaan penderita dan penyakit lain yang ada pada penderita.
Pengobatannya meliputi :
Step 1
Obat pilihan pertama : diuretika, beta blocker, Ca antagonis, ACE inhibitor
Step 2
Alternatif yang bisa diberikan :
a. Dosis obat pertama dinaikkan.
b. Diganti jenis lain dari obat pilihan pertama.
c. Ditambah obat ke –2 jenis lain, dapat berupa diuretika , beta blocker, Ca antagonis, Alpa
blocker, clonidin, reserphin, vasodilator
Step 3 :
Alternatif yang bisa ditempuh :
a. Obat ke-2 diganti
b. Ditambah obat ke-3 jenis lain
Step 4
Alternatif pemberian obatnya :
Ditambah obat ke-3 dan ke-4
Re-evaluasi dan konsultasi
Follow Up untuk mempertahankan terapi
Untuk mempertahankan terapi jangka panjang memerlukan interaksi dan komunikasi yang
baik antara pasien dan petugas kesehatan (perawat, dokter) dengan cara pemberian
pendidikan kesehatan.
2.9
Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
• Aktifitas/ istirahat
Gejala
Tanda
: Kelemahan, letih, nafas pendek, gaya hidup monoton
: Frekwensi jantung meningkat, perubahan irama jantung, takipnea
• Sirkulasi
Gejala
: Riwayat hipertensi, penyakit jantung koroner aterosklerosis.
Tanda
: Kenaikan tekanan darah, tachycardi, disrythmia, denyutan nadi jelas, bunyi jantung murmur,
distensi vena jugularis
• Integritas Ego
Gejala
: Riwayat perubahan kepribadian, ansietas, depresi, euphoria, marah, faktor stress multiple
(hubungan, keuangan, pekerjaan)
Tanda
: Letupan suasana hati, gelisah, penyempitan kontinue perhatian, tangisan yang meledak, otot
muka tegang (khususnya sekitar mata), peningkatan pola bicara
• Eliminasi
Gejala
: Gangguan ginjal saat ini atau yang lalu ( infeksi, obstruksi, riwayat penyakit ginjal ),
obstruksi.
• Makanan/ cairan
Gejala
: Makanan yang disukai (tinggi garam, tinggi lemak, tinggi kolesterol), mual, muntah,
perubahan berat badan (naik/ turun), riwayat penggunaan diuretik.
Tanda
: Berat badan normal atau obesitas, adanya oedem.
• Neurosensori
Gejala
: Keluhan pusing berdenyut, sakit kepala sub oksipital, gangguan penglihatan.
Tanda
: Status mental: orientasi, isi bicara, proses berpikir,memori, perubahan retina optik. Respon
motorik : penurunan kekuatan genggaman tangan.
• Nyeri/ ketidaknyamanan
Gejala
: Angina, nyeri hilang timbul pada tungkai, nyeri abdomen/ masssa.
• Pernafasan
Gejala
: Dyspnea yang berkaitan dengan aktifitas/ kerja, tacyhpnea, batuk dengan/ tanpa sputum,
riwayat merokok.
Tanda
: Bunyi nafas tambahan, cyanosis, distress respirasi/ penggunaan alat bantu pernafasan.
• Keamanan
Gejala
: Gangguan koordinasi, cara brejalan.
B. Pemeriksaan Diagnostik
• Hb: untuk mengkaji anemia, jumlah sel-sel terhadap volume cairan (viskositas).
• BUN: memberi informasi tentang fungsi ginjal.
• Glukosa: mengkaji hiperglikemi yang dapat diakibatkan oleh peningkatan kadar katekolamin
(meningkatkan hipertensi).
• Kalsium serum
• Kalium serum
• Kolesterol dan trygliserid
• Urin analisa
• Foto dada
• CT Scan
• EKG
C. Kemungkinan Diagosa Keperawatan
1.
Gangguan rasa nyaman nyeri (sakit kepala) b/d peningkatan tekanan vaskuler serebral.
2.
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake nutrisi inadekuat
3.
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum, ketidakseimbangan antara suplai
dan kebutuhan O2.
4.
Inefektif koping individu berhubungan dengan mekanisme koping tidak efektif, harapan yang
tidak terpenuhi, persepsi tidak realistic.
5.
Kurang pengetahuan mengenai kondisi penyakitnya berhubungan dengan kurangn
6.
Resiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan vasokontriksi pembuluh darah.
7.
Resiko tinggi terhadap cedera yang berhubungan dengan defisit lapang pandang, motorik
atau persepsi.
D. Intervensi
1.
Gangguan rasa nyaman nyeri (sakit kepala) b.d peningkatan tekanan vaskuler serebral
Tujuan :
Menghilangkan rasa nyeri
Kriteria hasil :
• Melaporkan ketidanyamanan hilang atau terkontrol.
• Mengikuti regimen farmakologi yang diresepkan.
Intervensi :
• Pertahankan tirah baring selama fase akut.
R/ Meminimalkan stimulasi dan meningkatkan relaksasi.
• Berikan tindakan nonfarmakologi untuk menghilangkan sakit kepala, misalnya kompres dingin
pada dahi, pijat punggung dan leher.
R/ Tindakan yang menurunkan tekanan vaskuler serebral, efektif dalam menghilangkan
sakit kepala dan komplikasinya.
• Hilangkan/minimalkan aktifitas vasokontraksi yang dapat meningkatkan sakit kepala,
misalnya batuk panjang, mengejan saat BAB.
R/ Aktifitas yang meningkatkan vasokontraksi menyebabkan sakit kepala pada adanya
peningkatan vaskuler serebral.
• Bantu pasien dalam ambulasi sesuai kebutuhan.
R/
Meminimalkan penggunaan oksigen dan aktivitas yang berlebihan yang memperberat
kondisi klien.
• Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat analgetik, anti ansietas, diazepam dll.
R/
2.
Analgetik menurunkan nyeri dan menurunkan rangsangan saraf simpatis.
G3 pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake nutrisi inadekuat
Tujuan :
kebutuhan nutrisi terpenuhi
Kriteria Hasil :
• Klien menunjukkan peningkatan berat badan
• Menunjukkan perilaku meningkatkan atau mempertahankan berat badan ideal
Intervensi
• Bicarakan pentingnya menurunkan masukan lemak, garam dan gula sesuai indikasi.
R/
Kesalahan kebiasaan makan menunjang terjadinya aterosklerosis, kelebihan masukan
garam memperbanyak volume cairan intra vaskuler dan dapat merusak ginjal yang lebih
memperburuk hipertensi.
• Kaji ulang masukan kalori harian dan pilihan diet.
R/
Mengidentifikasi kekuatan/kelemahan dalam program diit terakhir..
• Dorong klien untuk mempertahankan masukan makanan harian termasuk kapan dan dimana
makan dilakukan, lingkungan dan perasaan sekitar saat makanan dimakan.
R/
Memberikan data dasar tentang keadekuatan nutrisi yang dimakan dan kondisi emosi
saat makan, membantu untuk memfokuskan perhatian pada factor mana pasien telah/dapat
mengontrol perubahan.
• Intruksikan dan bantu memilih makanan yang tepat, hindari makanan dengan kejenuhan
lemak tinggi (mentega, keju, telur, es krim, daging dll) dan kolesterol (daging berlemak,
kuning telur, produk kalengan,jeroan).
R/
Menghindari makanan tinggi lemak jenuh dan kolesterol penting dalam mencegah
perkembangan aterogenesis.
• Kolaborasi dengan ahli gizi sesuai indikasi.
R/
3.
Memberikan konseling dan bantuan dengan memenuhi kebutuhan diet individual.
Intoleransi aktivitas b.d kelemahan umum, ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan
O2.
Tujuan :
tidak terjadi intoleransi aktivitas
Kriteria Hasil :
• Klien dapat berpartisipasi dalam aktivitas yang di inginkan atau diperlukan
• Melaporkan peningkatan dalam toleransi aktivitas yang dapat diukur.
Intervensi
• Kaji toleransi pasien terhadap aktivitas dengan menggunkan parameter : frekwensi nadi 20
x/menit diatas frekwensi istirahat, catat peningkatan TD, dipsnea, atau nyeri dada, kelelahan
berat dan kelemahan, berkeringat, pusing atau pingsan.
R/
Parameter menunjukan respon fisiologis pasien terhadap stress, aktivitas dan indikator
derajat pengaruh kelebihan kerja jantung.
• Kaji kesiapan untuk meningkatkan aktivitas contoh : penurunan kelemahan/kelelahan, TD
stabil, frekwensi nadi, peningkatan perhatian pada aktivitas dan perawatan diri.
R/
Stabilitas fisiologis pada istirahat penting untuk memajukan tingkat aktivitas
individual.
• Dorong memajukan aktivitas/toleransi perawatan diri.
R/
Konsumsi oksigen miokardia selama berbagai aktivitas dapat meningkatkan jumlah
oksigen yang ada. Kemajuan aktivitas bertahap mencegah peningkatan tiba-tiba pada kerja
jantung.
• Berikan bantuan sesuai kebutuhan dan anjurkan penggunaan kursi mandi, menyikat
gigi/rambut dengan duduk dan sebagainya.
R/
Teknik penghematan energi menurunkan penggunaan energi dan sehingga membantu
keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen.
• Dorong pasien untuk berpartisipasi dalam memilih periode aktivitas.
R/
4.
Jadwal meningkatkan toleransi terhadap kemajuan aktivitas dan mencegah kelemahan.
Inefektif koping individu b.d mekanisme koping tidak efektif, harapan yang tidak terpenuhi,
persepsi tidak realistik.
Tujuan :
klien menunjukkan tidak ada tanda-tanda inefektif koping
Kriteria Hasil :
• Mengidentifikasi perilaku koping efektif dan konsekuensinya
•
menyatakan kesadaran kemampuan koping / kekuatan pribadi
• mengidentifikasi potensial situasi stress dan mengambil langkah untuk menghindari dan
mengubahnya.
Intervensi
• Kaji keefektifan strategi koping dengan mengobservasi perilaku, Misalnya : kemampuan
menyatakan perasaan dan perhatian, keinginan berpartisipasi dalam rencana pengobatan.
R/
Mekanisme adaptif perlu untuk megubah pola hidup seorang, mengatasi hipertensi
kronik dan mengintegrasikan terapi yang diharuskan kedalam kehidupan sehari-hari.
• Catat laporan gangguan tidur, peningkatan keletihan, kerusakan konsentrasi, peka
rangsangan, penurunan toleransi sakit kepala, ketidak mampuan untuk
mengatasi/menyelesaikan masalah.
R/
Manifestasi mekanisme koping maladaptif mungkin merupakan indicator marah yang
ditekan dan diketahui telah menjadi penentu utama TD diastolic.
• Bantu klien untuk mengidentifikasi stressor spesifik dan kemungkinan strategi untuk
mengatasinya.
R/
Pengenalan terhadap stressor adalah langkah pertama dalam mengubah respon
seseorang terhadap stressor.
• Libatkan klien dalam perencanaan perwatan dan beri dorongan partisipasi maksimum dalam
rencana pengobatan.
R/
Keterlibatan memberikan klien perasaan kontrol diri yang berkelanjutan. Memperbaiki
keterampilan koping, dan dapat menigkatkan kerjasama dalam regiment teraupetik.
• Bantu klien untuk mengidentifikasi dan mulai merencanakan perubahan hidup yang perlu.
Bantu untuk menyesuaikan ketimbang membatalkan tujuan diri / keluarga.
R/
Perubahan yang perlu harus diprioritaskan secara realistic untuk menghindari rasa tidak
menentu dan tidak berdaya.
5.
Kurang pengetahuan mengenai kondisi penyakitnya berhubungan dengan kurangnya
informasi mengenai penyakitnya.
Tujuan :
Klien menunjukkan peningkatan pengetahuan mengenai penyakitnya
Kriteria hasil
• Menyatakan pemahaman tentang proses penyakit dan regiment pengobatan.
• Mengidentifikasi efek samping obat dan kemungkinan komplikasi yang perlu diperhatikan.
Mempertahankan TD dalam parameter normal.
Intervensi
• Kaji tingkat pemahaman klien tentang pengertian, penyebab, tanda dan gejala, pencegahan,
pengobatan, dan akibat lanjut.
R/
Mengidentifikasi tingkat pegetahuan tentang proses penyakit hipertensi dan
mempermudah dalam menentukan intervensi.
• Bantu klien dalam mengidentifikasi faktor-faktor resiko kardivaskuler yang dapat diubah,
misalnya : obesitas, diet tinggi lemak jenuh, dan kolesterol, pola hidup monoton, merokok,
pola hidup penuh stress dan minum alcohol (lebih dari 60 cc/hari dengan teratur).
R/
Faktor-faktor resiko ini telah menunjukan hubungan dalam menunjang hipertensi dan
penyakit kardiovaskuler serta ginjal.
• Kaji kesiapan dan hambatan dalam belajar termasuk orang terdekat.
R/
Kesalahan konsep dan menyangkal diagnosa karena perasaan sejahtera yang sudah
lama dinikmati mempengaruhi minimal klien/orang terdekat untuk mempelajari penyakit,
kemajuan dan prognosis. Bila klien tidak menerima realitas bahwa membutuhkan pengobatan
kontinyu, maka perubahan perilaku tidak akan dipertahankan.
• Jelaskan pada klien tentang proses penyakit hipertensi (pengertian,penyebab,tanda dan
gejala,pencegahan, pengobatan, dan akibat lanjut) melalui penkes.
R/
6.
Tujuan :
Meningkatkan pemahaman dan pengetahuan klien tentang proses penyakit hipertensi.
Resiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan vasokontriksi pembuluh darah.
Tidak terjadi penurunan curah jantung
Kriteria Hasil :
• Klien berpartisipasi dalam aktivitas yang menurunkan tekanan darah/beban kerja jantung
• Mempertahankan TD dalam rentang individu yang dapat diterima,
• Memperlihatkan norma dan frekwensi jantung stabil dalam rentang normal pasien.
Intervensi
• Observasi tekanan darah
R/
Perbandingan dari tekanan darah memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang
keterlibatan vaskuler.
• Catat keberadaan, kualitas denyutan sentral dan perifer
R/
Denyutan karotis, jugularis, radialis dan femoralis mungkin teramati saat palpasi.
Denyut pada tungkai mungkin menurun, mencerminkan efek dari vasokontriksi dan kongesti
vena.
• Auskultasi tonus jantung dan bunyi napas.
R/
S4 umum terdengar pada pasien hipertensi berat karena adanya hipertropi atrium,
perkembangan S3 menunjukan hipertropi ventrikel dan kerusakan fungsi, adanya krakels, mengi
dapat mengindikasikan kongesti paru sekunder terhadap terjadinya atau gagal jantung kronik.
• Amati warna kulit, kelembaban, suhu, dan masa pengisian kapiler.
R/
Adanya pucat, dingin, kulit lembab dan masa pengisian kapiler lambat mencerminkan
dekompensasi/penurunan curah jantung.
• Berikan lingkungan yang nyaman, tenang, kurangi aktivitas atau keributan ligkungan, batasi
jumlah pengunjung dan lamanya tinggal.
R/
Membantu untuk menurunkan rangsangan simpatis, meningkatkan relaksasi.
• Anjurkan teknik relaksasi, panduan imajinasi dan distraksi.
R/
Dapat menurunkan rangsangan yang menimbulkan stress, membuat efek tenang,
sehingga akan menurunkan tekanan darah.
• Kolaborasi dengan dokter dalam pembrian terapi anti hipertensi dan diuretik.
R/
Menurunkan tekanan darah.
7.
Resiko tinggi terhadap cedera yang berhubungan dengan defisit lapang pandang, motorik
atau persepsi.
Tujuan :
Tidak terjadi cidera
Kriteria hasil:
• Mengidentifikasi faktor yang meningkatkan resiko terhadap cedera.
• Memperagakan tindakan keamanan untuk mencegah cedera.
• Meminta bantuan bila diperlukan.
Intervensi:
• Lakukan tindakan untuk mengurangi bahaya lingkungan.
R/
Membantu menurunkan cedera.
• Bila penurunan sensitifitas taktil menjadi masalah ajarkan klien untuk melakukan:
o Kaji suhu air mandi dan bantalan pemanas sebelum digunakan.
o Kaji ekstremitas setiap hari terhadap cedera yang tak terdeteksi.
o Pertahankan kaki tetap hangat dan kering serta kulit dilemaskan dengan lotion emoltion.
R/
Kerusakan sensori pasca CVA dapat mempengaruhi persepsi klien terhadap suhu.
• Lakukan tindakan untuk mengurangi resiko yang berkenaan dengan pengunaan alat bantu.
R/
Penggunaan alat bantu yang tidak tepat atau tidak pas dapat meyebabkan regangan atau
jatuh.
• Anjurkan klien dan keluarga untuk memaksimalkan keamanan di rumah.
R/
Keamanan yang baik meminimalkan terjadinya cidera
E. Evaluasi
1. Apakah rasa nyeri pasien / sakit kepala berkurang ?
2. Apakah pasien sudah bisa beraktifitas sendiri / mandiri ?
3. Apakah pola nutrisi pasien seimbang atau normal ?
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
• Pada populasi lansia, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan
tekanan diastolik 90 mmHg
• Hipertensi pada usia lanjut dibedakan atas
o Hipertensi
o Hipertensi sistolik terisolasi
• Hipertensi pada lansia dapat disebabkan oleh interaksi bermacam-macam faktor
• Komplikasi hipertensi pada lansia adalah
o gagal jantung
o gagal ginjal
o stroke (kerusakan otak)
o kelumpuhan.
• Penatalaksanaan hipertensi pada lansia terdiri atas
o Pencegahan primer
o Pencegahan sekunder
3.2
Saran
Diharapkan perawat lebih mengerti tentang konsep hipertensi pada lansia dan
disarankan perawat lebih banyak lagi mencari informasi tentang hipertensipada lansia
sehingga bisa menambah wawasan yang lebih maksimal dan dapat melaksanakan asuhan
keperawatan pada lansia dengan baik dan benar
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan dibidang kesehatan yang didasari oleh
ilmu dan kiat keperawatan yang ditujukan kepada individu, keluarga guyuban dan masyarakat
baik yang sakit maupun yang sehat, sejak lahir sampai meninggal. Pelayanan berupa bantuan
diberikan karena kelemahan fisik, keterbatasan pengetahuan, dan kurang kemauan menuju
kepada kemampuan hidup mandiri memenuhi kebutuhan fisik sehari-hari (Lokakarya
keperawatan (1983) dalam Effendy, 1998).
Keperawatan di Indonesia saat ini masih dalam suatu proses profesionalisasi, yaitu
terjadinya suatu perubahan dan perkembangan karakteristik sesuai tuntunan secara global dan
lokal/otonomi. Untuk mewujudkannya maka perawat Indonesia harus mampu memberikan
asuhan keperawatan secara professional kepada klien dan berpartisipasi secara aktif dalam
pembangunan bangsa dan Negara Indonesia tercinta, sehingga manusia / masyarakat
(masyarakat umum dan masyarakat professional) mengenal dan mengakui eksistensi profesi
keperawatan (Nursalam, 2001).
Proses keperawatan adalah suatu metode dimana suatu konsep diterapkan dalam
praktek keperawatan. Hal ini biasa disebut sebagai suatu pendekatan Problem-Solving yang
memerlukan ilmu, teknik dan keterampilan interpersonal dan ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan klien/keluarga (Nursalam, 2001).
Tujuan proses keperawatan secara umum adalah untuk membuat suatu kerangka
konsep berdasarkan kebutuhan individu dari klien, keluarga dan masyarakat dapat terpenuhi.
Proses keperawatan juga ditujukan untuk memenuhi tujuan asuhan keperawatan yaitu untuk
mempertahankan keadaan kesehatan pasien yang optimal, dan jika pernyataan tersebut
berubah, untuk membuat suatu jumlah dan kualitas tindakan keperawatan terhadap
kondisinya guna kembali ke keadaan yang normal (Nursalam, 2001).
Konsep keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan kesehatan yang bersifat
professional dalam memenuhi kebutuhan dasar manusia (biologis, psikologis, sosial, dan
spiritual) yang dapat ditujukan pada individu, keluarga atau masyarakat dalam rentang sehat
sakit (Hidayat, AA, 2004).
Asuhan keperawatan merupakan faktor penting dalam survival pasien dan dalam
aspek-aspek pemeliharaan, rehabilitatif, dan preventif perawatan kesehatan. Untuk sampai
pada hal ini, profesi keperawatan telah meng-identifikasi proses pemecahan masalah yang
menggabungkan elemen yang paling di inginkan dari seni keperawatan dengan elemen yang
paling relevan dari sistem teori, dengan menggunakan metode ilmiah (Shore (1988) dalam
Doenges, 1999).
Kesehatan adalah kondisi dinamis manusia dalam rentang sehat sakit yang merupakan
hasil interaksi dengan lingkungan. Undang-undang NO. 23 tahun 1992 tentang kesehatan
membuat bahwa kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang
memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial ekonomi (Kusnanto, 2004).
Sehat merupakan keadaan seimbang bio-psiko-sosio-spiritual yang dinamis yang
memungkinkan individu untuk menyesuaikan diri sehingga dapat berfungsi secara optimal
guna memenuhi kebutuhan dasar melalui aktivitas hidup sehari-hari sesuai dengan tingkat
tumbuh kembangnya. Sehat sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum adalah hak dan
tanggung jawab setiap individu yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa
Indonesia seperti dimaksud dalam pembukaan UUD 1945, oleh karena itu harus
dipertahankan dan ditingkatkan melalui upaya promotif, preventif, dan rehabilitatif
(Kusnanto, 2004).
Cedera kepala merupakan salah satu masalah kesehatan yang merupakan penyebab
kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi
kecelakaan lalu lintas, disamping penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi
korban ke rumah sakit, penilaian dan tindakan awal dan di ruang gawat darurat sangat
menentukan penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya (Mansjoer, A, dkk, 2000).
Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologik yang serius diantara penyakit
neurologik dan merupakan proporsi epidemik sebagai hasil kecelakaan jalan raya.
Diperkirakan 100.000 orang meninggal setiap tahun akibat cedera kepala, dan lebih dari
700.000 mengalami cedera cukup berat yang memerlukan perawatan di rumah sakit
(Smeltzer & Bare, 2001).
Statistik Negara-negara yang sudah maju menunjukkan bahwa trauma
kepala mencakup 26% dari jumlah segala macam kecelakaan yang mengakibatkan seseorang
tidak bisa bekerja lebih dari satu hari sampai selama jangka panjang. Kurang lebih 33%
kecelakaan yang berakhir kematian menyangkut trauma kepala. Diluar medan peperangan
lebih dari 50% dari trauma kepala terjadi karena kecelakaan lalu lintas, selebihnya
dikarenakan pukulan atau jatuh. Orang-orang yang mati karena kecelakaan, 40% sampai 50%
meninggal sebelum mereka sampai di rumah sakit, dari mereka yang dimasukkan rumah sakit
dalam keadaan masih hidup 40% meninggal dalam satu hari dan 35% dalam satu minggu
perawatan, jika kita meneliti sebab dari kematian dan cacat yang menetap akibat trauma
kepala, maka 50% ternyata disebabkan oleh gangguan perdarahan sebagai yang terkait secara
tidak langsung pada trauma, komplikasi berupa perubahan tonus pembuluh darah serebral,
perubahan-perubahan yang menyangkut sistem kardiopulmonal yang bisa menimbulkan
gangguan pada tekanan darah, PO2 arterial atau keseimbangan asam basa (Mardjono &
Sidharta, 2004).
Menurut Narayan (1991) dalam Saanin (2007), diperkirakan lebih dari separuh
kematian karena cedera, cedera kepala berperan nyata atas autcome. Pada pasien dengan
cedera berganda, kepala adalah yang paling sering mengalami cedera, dan pada kecelakaan
lalu lintas yang fatal, otopsi memperlihatkan bahwa cedera otak ditemukan pada 75%
penderita untuk setiap kematian terhadap dua kasus dengan cacat tetap biasanya sekunder
terhadap cedera kepala.
Cedera kepala biasanya terjadi pada dewasa muda antara 15-44 tahun,
pada umumnya rata-rata adalah usia sekitar 30 tahun dan laki-laki 2 kali lebih sering
mengalaminya (Kalsbeek, 1980) dalam Saanin (2007).
Sedangkan menurut Miller (1978) dalam Saanin (2007), memperkirakan kecelakaan
kendaraan bermotor adalah penyebab yang paling sering terjadinya cedera kepala,
diperkirakan sekitar 49% dari kasus, biasanya dengan derajat cedera kepala yang lebih berat
dan lebih sering mengenai usia 15-24 tahun. Sedangkan jatuh lebih sering terjadi pada anakanak serta biasanya dalam derajat yang kurang berat. Pasien dengan kecelakaan kendaraan
bermotor biasanya disertai cedera berganda, dan lebih dari 50% penderita cedera berat
disertai oleh cedera sistematik berat.
Di Amerika Serikat, kejadian Head Injury (cedera kepala) setiap tahunnya
diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal dunia sebelum
tiba dirumah sakit. Sedangkan yang sampai rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera
kepala ringan (CKR), dan 10% termasuk dalam cedera kepala sedang (CKS),dan 10%
sisanya adalah digolongkan sebagai cedera kepala berat (CKB). Insiden cedera kepala
terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara 15-44 tahun. Kecelakaan lalu lintas
merupakan penyebab 48%-53% dari insiden cedera kepala, 20%-28% lainnya karena jatuh,
dan 3%-9% disebabkan oleh tindakan kekerasan, kegiatan olah raga dan rekreasi (Irwana,
2009).
Menurut Oman, KS, dkk (2008), prevalensi cedera kepala di Amerika Serikat ada 2
juta kasus yang terjadi setiap tahunnya, satu setengah juta merupakan cedera ringan yang
ditangani sebagai pasien rawat jalan, sedangkan 500.000 kasus mengalami cedera kepala
yang
cukup
parah
dan
memerlukan
perawatan
dirumah
sakit,
jumlah
tersebut
memprediksikan besarnya kemungkinan menghadapi pasien-pasien cedera kepala, cedera
kepala merupakan penyebab separuh dari seluruh kematian akibat kecelakaan kendaraan
bermotor, orang muda yang berusia 15-24 tahun, memiliki insiden cedera kepala yang paling
tertinggi, dan orang tua merupakan kelompok berikutnya yang mempunyai angka insiden
tertinggi, serta dengan bertambahnya populasi manula di Amerika Serikat, insiden tersebut
akan meningkat.
Sedangkan data epidemiologi di Indonesia belum ada, tetapi data dari salah satu
rumah sakit di Jakarta yaitu Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, diperikan untuk rawat inap,
terdapat 60%-70% dengan cedera kepala ringan (CKR), 15%-20% cedera kepala sedang
(CKS), dan sekitar 10% dengan cedera kepala berat (CKB), angka kematian tertinggi sekitar
35%-50% akibat cedera kepala berat (CKB), dan untuk cedera kepala sedang (CKS) 5%10%, sedangkan untuk cedera kepala ringan tidak ada yang meninggal (Irwana, 2009).
Menurut data yang didapat dari Medical Record Rumah Sakit Umum Daerah dr.
H.Yuliddin Away Tapaktuan, jumlah penderita cedera kepala (Head Injury) yang terhitung
dari bulan Januari sampai bulan Desember 2009 mencapai 934 kasus dari 1305 pasien
(71,57%) yang di rawat di Ruang Rawat Inap Bedah Rumah Sakit Umum Daerah dr. H.
Yuliddin Away Tapaktuan, sedangkan dari bulan Januari sampai bulan Maret 2010 mencapai
100 kasus cedera kepala (Head Injury) dari 339 pasien (29,49%) yang di rawat di Ruang
Rawat Inap Bedah Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan.
Cedera kepala merupakan salah satu masalah kesehatan yang merupakan penyebab
kematian dan kecacatan pada usia produktif dan juga sebagian besar karena terjadi
kecelakaan lalu lintas, yang membutuhkan pertolongan dan perawatan yang serius. Maka
berdasarkan insiden di atas maka penulis tertarik untuk melaksanakan study kasus dalam
bentuk penyusunan Karya Tulis Ilmiah dengan judul “Asuhan Keperawatan Pada An.I
Dengan Head Injury GCS 11 di Ruang Rawat Inap Bedah di Rumah Sakit Umum Daerah dr.
H.Yuliddin Away Tapaktuan".
B. BATASAN PENULISAN
Batasan penulisan Karya Tulis Ilmiah ini penulis membatasi ruang lingkup tentang
Asuhan Keperawatan Pada An. I, umur 14 tahun, jenis kelamin Perempuan, Agama Islam,
Alamat Gunong Pulo–Kota Fajar, di Ruang Rawat Inap Bedah Rumah Sakit Umum Daerah
dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan, selama 3 (tiga) hari rawatan dimulai tanggal 06 Juli 2010
s/d 08 Juli 2010.
Adapun diagnosa yang muncul pada kasus Head Injury (cedera kepala) menurut
Doenges (1999), yaitu :
1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah
oleh SOL (Hemoragik, Hematoma), edema serebral (respon lokal atau umum pada
cedera, perubahan metabolik, takar lajak obat / alkohol), penurunan tekanan darah
iskemik/hipoksia, (Hipovolemia, Disritmia jantung).
2. Resiko tinggi terhadap pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan
neuromuskular (cedera pada pusat pernafasan otak), kerusakan kognitif, obstruksi
trakeobronkial.
3. Perubahan persepsi sensorik berhubungan dengan transmisi integrasi (trauma atau
defisit neurologis).
4. Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan fisiologis konflik psikologis.
5. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi atau kognitif,
penurunan kekuatan/tahanan.
6. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit rusak,
prosedur invasif, penurunan kerja silia, statis cairan tubuh, kurang nutrisi, respon
inflamasi tertekan (penggunaan steroid), perubahan integritas sistem tertutup
(kebocoran CSS).
7. Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien (penurunaan tingkat
kesadaran), kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah, menelan, status
hipermetabolik.
8. Nyeri berhubungan dengan agen pencedera biologis, adanya proses infeksi /
inflamasi, cedera, toksin dalam sirkulasi.
9. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan transisi dan krisis situasional,
ketidakpastian tentang hasil / harapan.
10. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan
dengan kurang pemajanan, tidak mengenal informasi / sumber-sumber, kurang
mengingat / keterbatasan kognitif.
Sesuai dari hasil pengkajian langsung pada An. I pada tanggal 06 Juli 2010 sampai
dengan 08 Juli 2010 maka penulis menegakkan 3 (tiga) diagnosa keperawatan yang muncul
sesuai dengan kasus di lapangan pada An. I yaitu :
1. Nyeri berhubungan dengan cedera kepala.
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual muntah.
3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot.
C. TUJUAN PENULISAN
1. Tujuan Umum
Agar penulis mendapatkan wawasan dan menambah pengetahuan dan keterampilan
serta pengalaman nyata dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien An. I dengan
Head Injury GCS 11 Di Ruang Rawat Inap Bedah Rumah Sakit Umum Daerah dr. H.
Yuliddin Away Tapaktuan.
2. Tujuan Khusus
Setelah melakukan proses keperawatan penulis mampu :
a.
Melakukan pengkajian keperawatan pada pasien An. I dengan Head Injury GCS 11 di Ruang
Rawat Inap Bedah Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan.
b. Menganalisa data pasien An. I dengan Head Injury GCS 11 di Ruang
Rawat Inap Bedah Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan.
c.
Merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien An. I dengan Head Injury GCS 11 di Ruang
Rawat Inap Bedah Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan.
d. Menyusun rencana keperawatan pada pasien An. I dengan Head Injury GCS 11 di Ruang
Rawat Inap Bedah Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan.
e.
Melaksanakan implementasi keperawatan pada pasien An. I dengan Head Injury GCS 11 di
Ruang Rawat Inap Bedah Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan.
f.
Mendokumentasikan asuhan keperawatan pada pasien An. I dengan Head Injury GCS 11 di
Ruang Rawat Inap Bedah Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan.
D. METODE PENULISAN
Metode penulisan yang digunakan dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini adalah
metode deskriptif merupakan study kasus mengenai frekuensi dan distribusi suatu penyakit
pada manusia atau masyarakat. Menurut karakteristik orang yang menderita (person), tempat
kejadian (place) dan waktu terjadinya (time) penyakit (Candra,B, 2008).
Sedangkan menurut Notoadmodjo, S (2005), metode deskriptif adalah metode yang
dilakukan dengan tujuan utama untuk gambaran atau deskriptif tentang suatu keadaan secara
objektif. Metode penelitian dekriptif digunakan untuk memecahkan atau menjawab
permasalahan yang sedang dihadapi pada situasi sekarang penelitian ini dilakukan dengan
menempuh langkah-langkah pengumpulan data, klasifikasi, pengolahan / analisis data,
membuat kesimpulan dan laporan.
Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan pada An. I dengan Head Injury
GCS 11 di Ruang Rawat Inap Bedah Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Yuliddin Away
Tapaktuan adalah :
1. Study Kepustakaan
Dilakukan sebagai bahan referensi untuk mempelajari dan mendapatkan gambaran teoritis
mengenai Head Injury dengan cara penerapan asuhan keperawatan.
2. Study Kasus
Melakukan perawatan langsung terhadap kasus untuk mengetahui suatu masalah secara nyata
yang penulis laksanakan di Rumah Sakit di Ruang Rawat Inap Bedah Rumah Sakit Umum
Daerah dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan selama 3 (tiga) hari rawatan terhitung mulai
tangggal 06 Juli 2010 sampai dengan 08 Juli 2010 dengan teknik pendekatan berupa :
a.
Wawancara
Komunikasi secara langsung dengan pasien atau keluarga pasien untuk
mendapatkan data kesehatan pasien dan riwayat penyakitnya.
b. Observasi
Mengamati dan memantau secara langsung status perkembangan pasien dengan tujuan
untuk mendapatkan kebenaran data yang diperoleh dari pasien.
c.
Pemeriksaan fisik
Memeriksa keadaan fisik pasien dengan cara inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi.
d. Pemeriksaan penunjang
Meliputi pemeriksaan laboratorium dan rontgen.
e.
Study dokumentasi
Mempelajari status kesehatan dahulu dan sekarang serta mencatat catatan medis.
E. SISTEMATIKA PENULISAN
Guna memudahkan pembaca memahami tentang apa yang terkandung didalam Karya
Tulis Ilmiah ini, penulis mencantumkan sistematika penulisan antara lain :
BAB I
: Pendahuluan yang berisikan : latar belakang, batasan penulisan, tujuan penulisan (tujuan
umum dan tujuan khusus), metode penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB II
: Landasan Teoritis yang berisikan : konsep dasar teori medis yang terdiri dari pengertian,
klasifikasi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, komplikasi, pemeriksaan penunjang,
penatalaksanaan, dan prognosis. Konsep dasar asuhan keperawatan yang tediri dari
pengkajian , validasi data, diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi dan evaluasi.
BAB III
: Tinjauan kasus yang berisikan : tinjauan kasus yang terdiri dari pengkajian, analisa data,
diagnosa keperawatan, rencana asuhan keperawatan, dan catatan perkembangan.
BAB IV
:
Pembahasan yang berisikan : pengkajian, diagnosa kepe-rawatan, perencanaan,
implementasi, dan evaluasi.
BAB V
: Penutup berisikan tentang kesimpulan dan saran
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR LAMPIRAN
BIODATA PENULIS
BAB II
KONSEP DASAR TEORITIS
A. KONSEP DASAR
1. Pengertian
Cedera kepala adalah adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau
penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan (accelerasi decelerasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada
percepatan faktor dan penurunan percepatan, serta notasi yaitu pergerakan pada kepala
dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan (Mufti, 2009).
Menurut Irwana (2009), cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang
terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepala
gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau
permanen.
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang
tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung
pada kepala (Suriadi & Yuliani, 2001).
Cedera kepala merupakan suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital
ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar yang dapat
mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan
kognitif dan fungsi fisik (Brain Injury Assosiation Of Amerika, dalam Irwana (2009).
2. Klasifikasi
1. Klasifikasi berdasarkan Nilai Skala Glasgow (SKG)
Mansjoer, A, dkk (2000), mengklasifikasikan cedera kepala berdasar-kan nilai skala
glasgow (SKG).
a.
Ringan
1. GCS 14-15
2. Tidak ada kehilangan kesadaran
3. Nyeri kepala dan pusing
b. Sedang
1. GCS 9-13
2. Kontusio
3. Amnesia pasca trauma atau muntah
4. Battle, mata rabun, hemotimpanum, otorea, rinhorea CSS
5. Kejang.
c.
Berat
1. GCS 3-8
2. Koma
3. Fraktur depresi kranium
4. Penurunan derajat kesadaran
Sedangkan menurut Suriadi & Yuliani (2001), dalam Irwana (2009), klasifikasi
cedera kepala menurut SKG :
a.
Minor
1. SKG 13-15
2. Kehilangan kesadaran / amnesia tetapi kurang dari 30 menit
3. Tidak ada kontusio tengkorak
4. Tidak ada fraktur serebral
5. Tidak ada hematoma
b. Sedang
1. SKG 9-12
2. Kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam.
3. Dapat mengalami fraktur tengkorak
c.
Berat
1. SKG 3-8
2. Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 24 jam
3. Juga meliputi konkusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.
2. Klasifikasi berdasarkan morfologi
Mufti (2009), membagi klasifikasi cedera kepala menurut morfologinya terdiri dari :
a.
Trauma kepala terbuka
Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak masuk kedalam jaringan otak dan
melukai durameter, saraf otak, jaringan otak dan terdapat tanda dan gejala dari fraktur basis
trauma kepala terbuka yaitu :
1. Battle sign (warna biru dibelakang telinga di atas os mastoid)
2. Hemotimpanum (perdahan didaerah gendang telinga)
3. Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung)
4. Rinhorrhoe (liquor keluar dari hidung)
5. Othorrhoe (liquor keluar dari telinga)
b. Trauma kepala tertutup
1. Komosio
a.
Cedera kepala ringan
b. Disfungsi neurologis sementara dan dapat pulih kembali
c.
Hilang kesadaran sementara, kurang dari 10-20 menit
d. Tanpa kerusakan otak permanen
e.
Muncul gejala nyeri kepala, pusing, muntah
f.
Disorientasi sementara
g.
Tidak ada gejala sisa
2. Konkusio
a.
Ada memar otak
b. Perdarahan kecil lokal/difusi
c.
Perdarahan
Gejalanya :
a.
Gangguan kesadaran lebih lama
b. Kelainan neurologis positif, reflek patologik positif, lumpuh, konvulsiv
c.
Gejala TIK meningkat
d. Amnesia lebih nyata
3. Hematoma epidural
a.
Pedarahan antara tulang-tulang tengkorak dan durameter
b. Lokasi tersering temporal dan frontale
c.
Pecahnya pembuluh darah meningen dan sinus venosus
Gejalanya :
a.
Adanya desak ruang
b. Penurunan kesadaran ringan saat kejadian
c.
Penurunan kesadaran hebat
d. Koma
e.
Nyeri kepala hebat
f.
Reflek patologik positif
4. Hematoma subdural
a.
Perdarahan antara durameter dan arachnoid
b. Biasanya pecah vena, akut, subakut, dan kronis
1. Akut
a.
Gejala 24-48 jam
b. Sering berhubungan dengan cedera otak dan medula oblongata
c.
Tekanan intrakranial meningkat
d. Sakit kepala, mengantuk, reflek melambat, bingung, reflek pupil lambat
2. Subakut
a.
Berkembang 7-10 hari
b. Konkusio agak lambat
c.
Adanya gejala TIK meningkat
d. Kesadaran menurun
3. Kronis
a.
Ringan
b. Perdarahan kecil terkumpul dan meluas
c.
Sakit kepala
d. Lethargi
e.
Kacau mental, kejang
f.
Disfagia
5. Hematoma intrakranial
a.
Perdarahan intraserebral ± 25 cc atau lebih
b. Selalu diikuti oleh konkusio
Sedangkan menurut Price, S & Wilson, LM (2005), tipe trauma kepala tertutup yaitu
terdiri dari :
1. Hematoma epidural
Merupakan gejala sisa yang serius akibat cedera kepala dan menyebabkan angka mortalitas
50%, hematoma epidural paling sering terjadi di daerah parietotemporal akibat robekan arteri
meningen media dan pada umumnya berasal dari arteria.
Gejala dan tanda pada hematoma epidural yang tampak bervariasi yaitu :
a.
Periode tidak sadar dalam waktu pendek
b. Peningkatan tekanan intrakranial
2. Hematoma subdural
Hematoma subdural berasal dari vena yang pada umumnya timbul akibat ruptur vena
yang terjadi dalam ruangan subdural.
Hematoma subdural dipilih menjadi berbagai tipe dengan gejala dan prognosis yang
berbeda yaitu :
a.
Hematoma subdural akut
1. Menimbulkan gejala neurologik yang penting dan serius dalam 24-48 jam setelah cedera
2. Trauma otak berat serta mempunyai mortalitas yang tinggi
b. Hematoma subdural subakut
1.
Defisit neurologik bermakna dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 2 minggu
setelah cedera.
2. Perdarahan vena pada ruang subdural
3. Ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang bertahap.
4. Tingkat kesadaran menurun dalam secara bertahap dalam beberapa jam.
c.
Hematoma subdural kronik
1. Awitan gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, dan bahkan beberapa tahun setelah
cedera awal
2. Merobek salah satu vena yang melewati ruang subdural sehingga terjadi perdarahan lambat
kedalam ruang subdural
3.
Terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma sehingga terbentuk perbedaan tekanan
osmotik yang menyebabkan tertariknya cairan kedalam hematoma
4. Penderita mengeluh sakit kepala
5. Progresif dalam tingkat kesadaran termasuk apati, letargi, berkurangnya perhatian
6. Hemiparesis
Sedangkan menurut Mansjoer (2000), klasifikasi cedera kepala berdasarkan morfologi
terdiri dari yaitu :
1. Fraktur tengkorak
a.
Kranium : linear/stelatum : depresi/non depresi
b. Terbuka dan tertutup basis dengan/tanpa kebocoran cairan serebrospinalis (CSS)
2. Lesi intrakranial
a.
Fokal : epidural, subdural, intra serebral
b. Difus
: konkusio ringan, konkusio klasik, cedera aksonal difus
3. Etiologi
Adapun etiologi dari cedera kepala menurut Suriadi & Yuliani (2001), yaitu :
a.
Kecelakaan kenderaan bermotor atau sepeda dan mobil
b. Jatuh
c.
Kecelakaan saat olahraga
d. Anak dengan ketergantungan
e.
Cedera akibat kekerasan
Menurut Sjamsuhidajat, R & Jong, WD (2004), etiologi dari trauma kepala terdiri dari :
a.
Benda tajam
b. Benda tumpul
c.
Peluru
d. Kecelakaan lalu lintas
Sedangkan menurut Purwoko, S (2006), etiologi dari cedera kepala yaitu :
a.
Olah raga
b. Jatuh
c.
Kecelakaan kenderaan bermotor.
4. Patofisiologi
Menurut Mufti (2009), patofisiologi Head Injury adalah sebagai berikut :
Cedera kepala
TIK : oedem, hematoma
Respon biologi Hypoksemia
Kelainan metabolisme
Cedera otak primer
Cedera otak skunder
Konkusio serebri
Gangguan autoregulasi
Aliran darah keotak
Kerusakan sel otak
Rangsangan simpatis
Tekanan vasikuler
Sistemik dan TD
O2
Gangguam metabolisme
Asam laktat
Oedem otak
Tekanan pembuluh
Stress
Katekolamin
Sekresi asam lambung
mual, muntah
darah pulmonal
Tekanan hidrostatik Asupan nutrisi kurang
Kebocoran cairan kapiler
Gangguan perfusi
Oedem paru
Cardiac
output
jaringan serebral
Difusi O2 terhambat
Gangguan perfusi
jaringan
Gangguan
pola
nafas
Hipoksemia,
Hiperkapnea
5. Manifestasi Klinis
Menurut Suriadi & Yuliani (2001), manifestasi klinis cedera kepala adalah :
a.
Hilang kesadaran kurang (apatis) dari 30 menit atau lebih
b. Kebingungan
c.
Iritabel (perubahan fungsi)
d. Pucat
e.
Mual dan muntah
f.
Pusing kepala
g.
Terdapat hematoma
h.
Kecemasan
i.
Sukar untuk dibangunkan
j.
Bila fraktur kemungkinan adanya liquor yang keluar dari hidung dan telinga (otorhoe ) bila
fraktur tulang temporal.
Menurut Mufti (2009), manifestasi klinis dari cedera kepala yaitu :
a.
Sistem pernafasan
1. Chyne stokes
2. Hiperventilasi
3. Apnea
4. Edema paru
b. Sistem kardiovaskuler
1. Perubahan saraf otonom pada pada fungsi ventrikel
a.
Disritmia
b. Fibrilasi
c.
Takikardia
2. Terjadi kontraktilitas ventrikel
3. Curah jantung menurun
4. Meningkatkan tahanan ventrikel kiri
c.
Sistem metabolisme
1. Cenderung terjadi retensi Na, air, dan hilangnya sejumlah nitrogen
2. Stress fisiologis
d. Sistem gastrointestinal (GI)
1. Peningkatan asam lambung
2. Perdarahan lambung
3. Katekolamin meningkat
Menurut Smeltzer & Bare (2001), manifestasi klinis dari cedera kepala adalah :
1. Nyeri yang menetap atau setempat, biasanya menunjukkan adanya fraktur
2.
Menimbulkan hemoragi dari hidung, faring, atau telinga dan darah terlihat dibawah
konjungtiva
3. Memar otak
4. Battle diatas mastoid
5.
Fraktur dasar tengkorak biasanya di curigai ketika CSS keluar dari telinga (ottorea) dan
(rinorhoe) dari hidung
6. Laserasi
7. Kontusi otak
Sedangkan menurut Hoffman (1996), dalam Widyaningrum (2008), manifestasi klinis
dari cedera kepala adalah :
1. Tanda dan gejala fisik :
a.
Nyeri kepala
b. Nausea
2. Tanda dan gejala kognitif
a.
Gangguan memori
b. Gangguan perhatian dan berfikir kompleks
3. Tanda dan gejala emosional/kepribadian
a.
Kecemasan
b. Iritabilitas
4. Gambaran klinis secara umum :
a.
Pada kokusio segera terjadi kehilangan kesadaran
b. Pola pernafasan secara progresif menjadi abnormal
c.
Respon pupil mungkin lenyap
d. Nyeri kepala dapat muncul segera/bertahap sering dengan peningkatan tekanan intrakranial
e.
Dapat timbul mual muntah akibat peningkatan TIK
f.
Perubahan perilaku kognitif dan fisik pada berbicara dan gerakan motorik dapat timbul
segera atau secara lambat
6. Komplikasi
Menurut Engram, B (1998), komplikasi dari cedera kepala adalah :
a.
Meningkatnya tekanan intrakranial (TIK)
b. Perdarahan
c.
Kejang
d.
Pasien dengan fraktur tengkorak, khususnya pada dasarnya tengkorak beresiko terhadap
bocornya cairan serebrospinal (CSS) dari hidung (rinorea) dan dari telinga (otorea)
e.
Bocor CSS kemungkinan terjadi meningitis
7. Pemeriksaan penunjang
a.
CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikel dan perubahan jaringan otak
b. MRI (magnetig resonan imagin)
Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif
c.
Serebral angiography
Menunjukkan anomali sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan otak sekunder menjadi
udema, perdarahan dan trauma .
d. X-Ray
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan/edema),
fragmen tulang
e.
CSF, lumbal fungsi
Jika diduga perdarahan sub arachnoid
f.
Kadar elektrolit
Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intrakranial
(TIK)
g. Scree toxicologi
Untuk meneteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan kesadaran
h.
AGDA (analisa gas darah arteri)
Mendeteksi ventilasi atau masalah pernafasan (oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan
intrakranial (Mufti, 2009).
Sedangkan menurut Doenges (1999), pemeriksaan penunjang pada cedera kepala
yaitu terdiri dari :
a. Scan CT (Compuretied Tenografi Scaning)
b. MRI (Magnetig Resonan Imagin)
c.
Sinar X
d. BAER (Brain Auditori Evoked Respons) : menentukan fungsi korteks dan batang otak
e.
PET (Positron Emission Tomography) : menunjukkan perubahan metabolisme pada otak
f.
Fungsi lumbal, CSS
g.
GDA (gas darah arteri)
h.
Kadar antikonvulsan darah : mendeteksi tingkat terapi yang cukup efektif untuk mengatasi
kejang
8. Penatalaksanaan
Menurut Abdale (2007), penatalaksanaan pada cedera kepala dapat diberikan :
a.
Dexamethason/kalmethason
Sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai dengan berat
ringannya trauma.
b. Therapy hiperventilasi
Untuk mengurangi vasodilatasi
c.
Pemberian analgetika
d. Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20% atau glukosa 40% atau
gliserol 10%
e.
Antibiotika yang mengandung Barrier darah otak (penisilin) atau untuk infeksi anaerob
diberikan metronidazole
f.
Pada pasien trauma ringan bila mual muntah tidak dapat diberikan apapun kecuali hanya
cairan infus dekstrosa 5%, aminofusin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan),
2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
g.
Pembedahan
h.
Pada trauma berat, hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak cairan, dektosa 5% 8 jam
pertama, ringer dekstrose 8 jam kedua dan dektrose 5% 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya
apabila kesadaran rendah, makanan diberikan melalui nasogastrictube (2500-3000TKTP)
i.
Pemberian protein tergantung nilai urea nitrogen
Menurut Mansjoer, A, dkk (2000), penatalaksanaan yang akan dilakukan pada kasus
cedera kepala (Head Injury) adalah :
a.
Pedoman resusitasi dan penilaian awal
1. Menilai jalan nafas
a.
Bersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan
b. Lepaskan gigi palsu
c.
Pertahankan tulang servikal segaris dengan badan dengan memasang kolar servikal
d. Pasang guedel bila dapat ditolerir
e.
Jika cedera orofasial mengganggu jalan nafas maka pasien harus di intubasi.
2. Menilai pernafasan
a.
Tentukan pasien bernafas atau tidak
b. Jika tidak, berikan oksigen melalui masker
c.
Jika pasien bernafas spontan, sedikit dan atasi cedera dada berat seperti pneumothorak,
pneumothorak tensif, hemopneuthorak
d. Pasang oksimeter nadi jika tersedia dengan tujuan menjaga saturasi oksigen minimum 95%
e.
Jika nafas pasien tidak terlindung bahkan terancam atau memperoleh oksigen yang adekuat
(PaO2 > 95 mmHg dan PaCO2 < 40 mmHg serta saturasi O2 > 95%) atau muntah maka pasien
harus diintubasi serta diventilasi oleh anestesi.
3. Menilai sirkulasi
a.
Otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi
b. Hentikan semua perdarahan dengan menekan arterinya
c.
Perhatikan secara khusus adanya cedera intra abdomen atau
dada
d. Ukur dan catat frekuensi denyut jantung dan tekanan darah
e.
f.
Pasang alat pemantau dan EKG bila tersedia
Pasang jalur intravena yang besar, ambil darah vena untuk pemeriksaan darah perifer
lengkap, ureum, elektrolit, glukosa dan analisa gas darah arteri (AGDA)
g.
Berikan larutan koloid
4. Obat kejang
a.
Mula-mula diberikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan dan dapat diulangi sampai 3
kali bila masih kejang.
b.
Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin 15 mg/kg BB diberikan intravena secara
perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50 mg/menit.
5. Menilai tingkat keparahan
a.
Cedera kepala ringan (kelompok resiko rendah)
1. Skor skala koma glasgow 15 (sadar penuh, atentif, dan orientatif)
2. Tidak ada kehilangan kesadaran
3. Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang
4. Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
5. Pasien dapat menderita abrasi, laserasi dan hematoma kulit kepala
b. Cedera kepala sedang (kelompok resiko sedang)
1. Skor skala koma glasgow 9-14 (konfusi, letargi, atau stupor)
2. Konkusio
3. Amnesia pasca trauma
4. Muntah
5.
Tanda kemungkinan fraktur kranium (battle, mata rabun, hemotimpanum, otorea, atau
rinorea cairan CSS).
6. Kejang
c.
Cedera kepala berat (kelompok resiko berat)
1. Skor skala koma glasgow 3-8 (koma)
2. Penurunan derajat kesadaran secara progresif
3. Tanda neurologis fokal
4. Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium
b. Pedoman penatalaksanaan
1. Pada pasien dengan cedera kepala dan/leher, lakukan foto tulang belakang servikal (proyeksi
anterior posterior, lateral dan odontoid) kolar servikal baru dilepas setelah dipastikan bahwa
seluruh tulang servikal C1-C7.
2. Pada semua pasien cedera kepala sedang dan berat, lakukan prosedur berikut :
a.
Pasang jalur intravena dengan larutan salin normal (NaCl 0,9%) atau larutan ringer laktat :
cairan isotonis lebih efektif menggantikan volume intravaskuler dari pada cairan hipotonis,
dan larutan ini tidak menambah edema serebri.
b.
Lakukan pemeriksaan : hematokrit, periksa darah perifer lengkap, trombosit, kimia darah
(glukosa, ureum, dan kreatinin, masa protombin atau masa tromboplastin parsial, skrining
toksikologi dan kadar alkohol bila perlu.
3.
Pada pasien yang koma (skor GCS < 8) atau pasien dengan tanda-tanda herniasi, lakukan
tindakan berikut ini:
a.
Elevasi kepala 30o
b. Hiperventilasi : intubasi dan berikan ventilasi mandatorik intermiten dengan kecepatan 16-20
kali/menit dengan volume tidal 10-12 ml/kg, atur tekanan CO 2 sampai 28-32 mmHg,
hipokapnea harus dihindari sebab dapat menyebabkan vasokontriksi dan iskemia serebri.
c.
Berikan monitol 20% 1 gram/kg intravena dalam 20-30 menit. Dosis ulangan dapat diberikan
4-6 jam kemudian yaitu sebesar ¼ dosis semula setiap 6 jam sampai maksimal 48 jam
pertama
d. Pasang kateter foley
e.
Konsul bedah saraf bila terdapat indikasi operasi (hematoma epidural yang besar, hematoma
subdural, cedera kepala terbuka, dan fraktur impresi > 1 diploe)
9. Prognosis
Prognosis setelah cedera kepala sering mendapat perhatian besar, terutama pada
pasien dengan cedera berat, skor GCS waktu masuk rumah sakit memiliki nilai prognostik
yang besar : skor pasien 3-4 memiliki kemungkinan meninggal 85% atau tetap dalam kondisi
vegetatif. Sedangkan pada pasien dengan GCS 12 atau lebih kemungkinan meninggal atau
vegetatif hanya 5-10 %.
Sindrom pasca konkusio berhubungan dengan sindrom kronis nyeri kepala, keletihan,
pusing, ketidakmampuan berkonsentrasi, iritabilitas, dan perubahan kepribadian yang
berkembang pada banyak pasien setelah cedera kepala, sering kali bertumpang tindih dengan
gejala depresi (Mansjoer, A, dkk, 2000).
B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu proses
yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan
mengidentifikasi status kesehatan klien (Nursalam, 2001).
a.
Identitas Pasien
Identitas ini bertujuan untuk mengenal pasien dan mempermudah hubungan saling percaya antara perawat dan pasien, yang perlu ditanyakan yaitu : nama, umur,
jenis kelamin, pendidikan, suku/bangsa, agama, status perkawinan, tanggal masuk (Hidayat,
2006).
b. Riwayat Kesehatan
Riwayat kesehatan merupakan sumber data subjektif tentang status kesehatan pasien yang
memberikan gambaran tentang masalah kesehatan aktual maupun potensial. Riwayat
kesehatan merupakan penuntun pengkajian fisik yang berkaitan dengan informasi tentang
keadaan fisiologis, psikologis, budaya, dan psikososial, ini juga berkaitan dengan status
kesehatan pasien, dan faktor-faktor seperti gaya hidup, hubungan/pola dalam keluarga, dan
pengaruh budaya (Priharjo, R, 2006).
c.
Pemeriksaan Fisik
1. Inspeksi
Merupakan proses observasi dengan menggunakan mata. Inspeksi dilakukan untuk
mendeteksi tanda-tanda fisik yang berhubungan dengan status fisik. Mulai melakukan
inspeksi pada saat pertama kali bertemu dengan klien, amati secara cermat mengenai tingkah
laku dan keadaan tubuh pasien. Amatilah hal-hal yang umum kemudian hal-hal yang khusus.
Pengetahuan dan pengalaman sangat diperlukan dalam melakukan inspeksi (Priharjo, R,
2006).
2. Palpasi
Suatu teknik yang menggunakan indera peraba. Tangan dan jari-jari adalah suatu
instrument yang sensitive dan digunakan untuk mengumpulkan tentang temperatur, turgor,
bentuk, kelembaban, vibrasi, dan ukuran (Nursalam, 2001).
3. Perkusi
Suatu pemeriksaan dengan jalan mengetuk untuk membandingkan kiri kanan pada setiap
daerah permukaan tubuh dengan tujuan menghasilkan suara. Perkuasi bertujuan untuk
mengidentifikasi lokasi, ukuran, bentuk dan konsintensi jaringan. Perawat menggunakan
kedua tangannya sebagai alat untuk menghasilkan suara (Nursalam, 2001).
Selama perkusi perawat menggunakan tepukan yang cepat dan tajam dengan jari atau
tangan pada permukaan tubuh (biasanya dada atau abdomen) untuk menghasilkan suara,
mendapatkan (mendeteksi) nyeri tekan, atau untuk mengkaji refleks, melakukan perkusi
untuk mendapatkan suara bertujuan untuk membantu menentukan apakah organ tersebut
padat atau berisi cairan dan/atau gas (Morton, PG, 2003).
4. Auskultasi
Merupakan metode pengkajian yang menggunakan Stetoskop untuk memperjelas
pendengaran. Perawat menggunakan stetoskop untuk mendengarkan bunyi jantung, paruparu, bising usus, serta untuk mengukur tekanan darah dan denyut nadi (Priharjo, R, 2006).
2. Validasi Data
Validasi data merupakan upaya untuk memberikan justifikasi pada data yang
dikumpulkan dengan melakukan perbandingn data subjektif dan data objektif yang
didapatkan dari berbagai sumber dengan berdasarkan standar nilai normal, untuk diketahui
kemungkinan tambahan atau pengkajian ulang tentang data yang ada (Hidayat, AA, 2004).
Menurut Nursalam (2001), data subjektif adalah data yang didapatkan dari klien
sebagai suatu pendapat terhadap suatu situasi dan kejadian. Informasi tersebut tidak dapat
ditentukan oleh perawat secara independen tetapi melalui suatu interaksi atau komunikasi,
data subjektif sering didapatkan dari riwayat keperawatan termasuk persepsi klien, dan ide
tentang status kesehatannya. Sedangkan data objektif adalah data yang dapat diobservasi dan
di ukur, informasi tersebut dapat diperoleh selama pemeriksaan fisik.
Dasar data pengkajian pasien cedera kepala (Head Injury) menurut Doenges (1999),
tergantung pada tipe, lokasi, dan keparahan cedera dan mungkin dipersulit oleh cedera
tambahan pada organ-organ vital.
a.
Aktivitas/istirahat
Gejala
anda
: Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan.
: Perubahan kesadaran, letargi, hemipareses, Quadreplegia, ataksia cara berjalan tak tegap,
masalah dalam keseimbangan, cedera (trauma) ortopedi, kehi-langan tonus otot, otot spastik
b. Sirkulasi
ejala
:
Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan frekuensi jantung
(Bradikardia), takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia.
c.
Integritas Ego
ejala
: Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis)
anda
: Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi, dan impulsif.
d. Eliminasi
ejala
: Inkontinensia kandung kemih/usus atau mengalami gangguan fungsi
e.
Makanan / Cairan
Gejala
anda
: Mual, muntah, dan mengalami perubahan selera.
: Muntah (mungkin proyektif), gangguan menelan (batuk, air liur keluar, disfagia).
f.
Neurosensori
ejala
: Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus,
kehilangan pendengaran, tingling, baal pada ekstremitas, perubahan dalam penglihatan,
seperti ketajamannya,
diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, fotopobia, gangguan pengecepan/penciuman.
anda
ejala
anda
: Perubahan kesadaran sampai bisa koma, perubahan status mental (orentasi, kewaspadaan,
perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi tingkah laku/memori).
Perubahan pupil (respon terhadap cahaya dan simetri), deviasi pada mata, ketidakmampuan
mengikuti, kehilangan pengindraan, wajah tidak simetris, genggaman lemah, tidak seimbang,
refleks tendon dalam tidak ada dan lemah, apraksia, hemiparese, quadreplegia, postur
(dekortikasi, deserebrasi), kejang, sangat sensitive terhadap
sentuhan dan gerakan,
kehilangan sensasi sebagian tubuh, kesulitan dalam menentukan posisi tubuh.
g.
Nyeri / Kenyamanan
: Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang bebeda, biasanya lama.
: Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah tidak bisa
beristirahat, merintih
Pernafasan
ejala
: Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi) nafas berbunyi stridor, tersedak, ronchi, mengi positif, (kemungkinan karena
aspirasi).
Keamanan
ejala
anda
: Trauma baru / trauma karena kecelakaan
: Fraktur / dislokasi, gangguan penglihatan, kulit, laserasi, abrasi, perubahan warna, tanda
battle di belakang telinga (tanda adanya trauma) adanya aliran cairan (drainase) dari
telinga/hidung (CSS), gangguan kognitif, gangguan rentang gerak, tonus otot hilang,
kekuatan secara umum mengalami paralysis, demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh
nteraksi sosial
anda
: afasia sensorik atau motorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-ulang, disartria, anomia.
enyuluhan / pembelajaran
: Penggunaan alkohol / obat lain
ngan
: DRG menunjukkan rerata lama dirawat : 12 hari
pemulangan
: Membutuhkan bantuan pada perawatan diri, ambulasi, transportasi, menyiapkan makan,
belanja, perawatan, pengobatan, tugas-tugas rumah tangga, perubahan tata ruang atau
penempatan fasilitas lainnya di rumah.
3. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan adalah struktur dan proses, struktur diagnosa keperawatan
komponennya tergantung pada tipenya, aktual, resiko, kemungkinan, sehat atau sindrom
(Carpenito, LJ,1998).
Diagnosa keperawatan menurut Gordon (1976), dalam Nursalam, (2001), yaitu masalah
kesehatan aktual dan potensial dimana berdasarkan pendidikan dan pengalaman, dia mampu
dan mempunyai kewenangan untuk memberikan tindakan keperawatan.
Menurut Doenges (1999), diagnosa keperawatan yang timbul pada pasien cedera kepala
adalah :
a.
Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah oleh SOL
(Hemoragic, Hematoma), edema serebral (respon lokal atau umum pada cedera, perubahan
metabolik,
takar
lajak
obat/alkohol),
penurunan
tekanan
darah
iskemik/hipoksia,
(Hipovolemia, Disritmia jantung).
b.
Resiko tinggi terhadap pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan
neuromuskular
trakeobronkial.
(cedera pada pusat pernafasan otak), kerusa-kan kognitif, obstruksi
c.
Perubahan persepsi sensorik berhubungan dengan transmisi integrasi (trauma atau defisit
neurologis).
d. Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan fisiologis konflik psikologis.
e.
Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi atau kognitif, penurunan
kekuatan/tahanan.
f.
Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit rusak, prosedur
invasif, penurunan kerja silia, stastis cairan tubuh, kurang nutrisi, respon inflamasi tertekan
(penggunaan steroid), perubahan integritas sistem tertutup (kebocoran CSS).
g.
Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien (penurunaan tingkat kesadaran), kelemahan
otot yang diperlukan untuk mengunyah, menelan, status hipermetabolik.
h.
Nyeri berhubungan dengan agen pencedera biologis, adanya proses infeksi/inflamasi, cedera,
toksin dalam sirkulasi.
i.
Perubahan proses keluarga berhubungan dengan transisi dan krisis situasional,
ketidakpastian tentang hasil/harapan.
j.
Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan
kurang
pemajanan,
tidak
mengenal
informasi
/sumber-sumber,
kurang
mengingat/keterbatasan kognitif.
4. PERENCANAAN
Perencanaan keperawatan merupakan aktivitas berorientasi tujuan dan sistematik
dimana rancangan intervensi keperawatan dituangkan dalam rencana keperawatan (Basford,
& Slevin, 2006).
Menurut Doenges (1999), perencanaan keperawatan yang di lakukan pada pasien cedera
kepala (Head Injury) adalah :
dibuktikan
a.
Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah oleh SOL
(Hemoragik, Hematoma), edema serebral (respon lokal atau umum pada cedera, perubahan
metabolik, takar lajak obat / alkohol), penurunan tekanan darah iskemik/hipoksia,
(Hipovolemia, Disritmia jantung).
:
Perubahan tingkat kesadaran, kehilangan memori, respon motorik/sensorik, gelisah,
perubahan tanda vital.
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan :
Mempertahankan tingkat kesadaran biasa/perbaikan, kognitif dan
fungsi motorik/sensorik, mendemonstrasikan tanda vital stabil dan tak ada tanda-tanda
peningkatan TIK (tekanan intrakranial).
Intervensi
1. Tentukan faktor-faktor yang ber1.
hubungan dengan keadaan ter-tentu
atau
yang
menyebabkan
koma/penurunan perfusi jaringan
otak dan potensi peningkatan TIK.
2. Pantau dan catat status neu-rologis
2.
secara teratur dan ban-dingkan
dengan nilai standar (misalnya skala
koma Glasgow).
3.
Evaluasi kemampuan membuka
3.
mata seperti spontan (sadar penuh),
membuka jika di beri rangsangan
nyeri, atau tetap tertutup koma.
4. Kaji respon verbal, catat apakah
4.
pasien sadar, orientasi terhadap
orang, tempat dan waktu baik atau
malah bingung.
Rasional
Menentukan pilihan inter-vensi,
penurunan
tanda
/gejala
neurologis
atau
ke-gagalan
dalam pemilihan-nya setelah
serangan
awal
mungkin
menunjukan ba-hwa pasien itu
perlu di-pindahkan keperawatan
in-tensif untuk memantau tekanan TIK dan atau pembedahan.
Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan berman-faat
dalam
menentukan
lo-kasi,
perluasan dan per-kembangan
kerusakan SSP.
Menentukan tingkat kesa-daran
Mengukur kesesuaian da-lam
berbicara dan menu-njukan
tingkat
kesadaran.
Jika
kerusakan yang terjadi sangat
kecil pada korteks serebral,
pasien akan mu-ngkin bereaksi
dengan baik terhadap rangsangan
verbal yang diberikan tetapi juga
memperlihatkan seperti ngantuk
berat atau tidak kooperatif.
5. Normalnya, autoregulasi mempertahankan aliran da-rah
5. Pantau TD, catat adanya hiper-tensi otak yang konstan pada saaat ada
sistolik secara terus me-nerus dan fluktasi tekanan darah sistemik.
tekanan nadi yang semakin berat.
Kehilangan autoregulasi dapat
meng-ikuti
kerusakan
vaskularasi serebral lokal atau
me-nyebar (menyeluruh).
6. Perubahan pada ritme (pa-ling
sering bradikardia), dan disritmia
6. Frekuensi jantung, catat ada-nya dapat
timbul
yang
bradikardia, takikardia, atau bentuk mencerminkan
adanya
disritmia lainnya.
depresi/trauma pada batang otak
pada
pasien
yang
tidak
mempunyai kelainan jan-tung
lainnya.
7. Nafas yang tidak teratur dapat
menunjukkan lokasi adanya
7.
Pantau pernafasan, meliputi gangguan serebral/ peningkatan
iramanya, seperti adanya periode TIK dan me-merlukan intervensi
apnea setelah hiperventilasi yang yang lebih lanjut termasuk kedisebut pernafasan Cheyne-stokes. mungkinan nafas buatan.
8. Meningkatkan aliran balik vena
dari kepala, sehingga akan
8. Tinggikan kepala pasien 14-45 mengurangi kongesti atau edema
derajat sesuai dengan indikasi / yang atau
resiko
terjadinya
dapat ditoleransi.
peningkatan TIK.
9. Menurunkan hipoksemia, yang
mana
dapat
mening-katkan
9. Berikan oksigen tambahan sesuai vasodilatasi dan vo-lume daerah
indikasi.
serebral yang meningkatkan
TIK.
b.
Resiko tinggi terhadap pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan
neuromuskular (cedera pada pusat pernafasan otak), kerusakan kognitif.
Kemungkinan dibuktikan oleh :
Tidak dapat diterapkan adanya tanda-tanda yang membuat diagnosa
aktual
Hasil yang diharapkan / kriteria evaluasi pasien akan :
Mempertahankan pola pernafasan normal / efektif, bebas sianosis, dengan GDA dalam batas
normal.
Intervensi
Rasional
1. Pantau frekuensi irama, ke-dalaman
1. Perubahan dapat menanda-kan
pernafasan,
catat
tidak awitan komplikasi pul-monal
ketidakteraturan pernafasan.
(umumnya mengi-kuti cedera
otak) atau me-nandakan lokasi /
luasnya
keterlibatan
otak,
pernafa-san lambat, periode
apnea
dapat
menandakan
perlunya ventilasi mekanis.
2. Untuk memudahkan eks-pansi
2. Angkat kepala tempat tidur sesuai paru/ventilasi
paru
dan
aturannya, posisi miring sesuai menurunkan
adanya
keindikasi.
mungkinan lidah jatuh yang
menyumbat jalan nafas.
3. Mencegah dan menurun-kan
3. Anjurkan pasien untuk me-lakukan atelektasis.
nafas dalam yang efektif jika pasien
sadar.
4. Untuk mengidentifikasi adanya
4. Auskultasi suara nafas, perha-tikan masalah seperti ate-lektasis,
daerah hipoventilasi dan adanya kongesti, atau ob-struksi jalan
suara-suara tambahan ya-ng tidak nafas
yang
membahayakan
normal (seperti krekels, ronchi, oksigen
se-rebral
dan/atau
mengi).
menandakan terjadinya infeksi
paru (um-umnya komplikasi dari
ce-dera kepala).
5.
Dapat meningkatkan gangguan/komplikasi pernafa-san.
5. Pantau dari penggunaan obat-obatan
6. Menentukan kecukupan pedepresan pernafasan, se-perti sedatif. rnafasan, keseimbangan as-am
6. Pantau atau gambarkan AGDA, basa dan kebutuhan ak-an terapi.
tekanan oksimetri.
7. Memaksimalkan oksigen pada
darah arteri dan me-mbantu
dalam pencegahan hipoksia
7. Berikan oksigen
c.
Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan transmisi integrasi (trauma atau defisit
neurologis).
Kemungkinan dibuktikan oleh :
Disorientasi terhadap waktu, tempat, orang, perubahan respon terhadap rangsang,
inkoordinasi motorik, perubahan dalam postur, ketidak mampuan dalam memberitahu posisi
bagian tubuh, perubahan pola komunikasi, distorsi auditorius dan visual, konsentrasi buruk,
perubahan proses pikir/berpikir kacau, respon emosional berlebihan, perubahan dalam pola
prilaku.
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan :
Melakukan kembali/mempertahankan tingkat kesadaran biasanya dan fungsi persepsi,
mengakui perubahan dalam kemampuan adanya keterlibatan residu, mendemonstrasikan
perubahan perilaku/gaya hidup untuk mengkompensasi / defisit hasil.
Intervensi
Rasional
Evaluasi/pantau secara teratur
1. Fungsi serebral bagian atas
perubahan orientasi, kemampuan biasanya
terpengaruh
lebih
berbicara, alam perasaan / afektif, dahulu oleh adanya gang-guan
sensorik, dan proses pikir.
sirkulasi, oksigenasi, kerusakan
dapat terjadi saat trauma awal
atau kadang-kadang berkembang
sete-lahnya akibat dari pembengkakan atau perdarahan.
2. Informasi penting untuk ke2. Kaji kesadaran sensorik seperti amanan pasien, semua sis-tem
respon sentuhan, panas / dingin, sensorik dapat terpe-ngaruh
benda tajam / tumpul, dan kesa- dengan adanya per-ubahan yang
daran terhadap gerakan dan letak melibatkan pe-ningkatan atau
tubuh.
penurunan
sensitivitas
atau
kehilangan sensasi/kemampuan
untuk
menerima
berespons
secara sesuai pada suatu
stimulasi.
3. Respon individu mungkin
3. Observasi respon prilkau seperti berubah-rubah namun umurasa bermusuhan, menangis, afektif mnya seperti emosi yang labil,
yang tidak sesuai, agitasi, halusinasi. frustasi, apatis, dan muncul
tingkah laku im-pulsif selama
proses
pe-nyembuhan
dari
trauma ke-pala.
4. Pasien mungkin meng-ala-mi
4. Bicara dengan suara yang lembut keterbatasan
perhatian/
dan pelan, gunakan kalimat yang pemahaman selama fase akut
penek dan sederhana, dan per- dan penyembuhan dan tindakan
tahankan kontak mata.
ini dapat mem-bantu pasien
untuk
memun-culkan
komunikasi.
5. Pilihan masukan sensorik secara
1.
5. Berikan stimulasi yang berman-faat
verbal (berbincang-bincang dengan
pasien), penciuman (ter-hadap kopi
dan
minyak
tertentu),
taktil
(memegang tangan pasien dan
6.
sentuhan).
6. Berikan lingkungan terstruktur
termasuk terapi, aktivitas.
cermat
bermanfaat
untuk
menstimulasi
pasien
koma
dengan baik selama melatih
kembali fungsi kog-nitifnya
Meningkatkan konsistensi dan
keyakinan
yang
dapat
menurunkan
ansietas
yang
berhubungan
dengan
ketidaktahuan pasien tersebut.
7. Menguragi kelelahan, mencegah kejenuhan, membe-rikan
7. Buat jadwal istirahat yang ade- kesempatan untuk ti-dur.
kuat/periode tidur tanpa ada ga8. Memberikan perasaan nor-mal
ngguan.
tentang pola peruba-han waktu
dan pola tidur/ bangun.
8. Gunakan penerangan siang/ma-lam
hari.
d. Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan fisiologis, konflik psikologis.
Kemungkinan dibuktikan oleh :
Defisit/perubahan memori jarak jauh, saat ini, yang baru terjadi, pengalihan perhatian,
perubahan lapang/konsentrasi perhatian, disorientasi terhadap waktu, tempat, orang ,
lingkungan, kejadian, pemecahan masalah.
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan :
Mempertahankan/melakukan kembali orientasi mental dan realitas biasanya, mengenali
perubahan berpikir/perilaku, berpartisipasi dalam aturan terapeutik/penyerapan kognitif.
Intervensi
Rasional
1. Kaji tentang perhatian, kebing1. Rentang perhatian/kemam-puan
ungan dan catat tingkat anisetas untuk berkonsentrasi mungkin
pasien.
memendek secara tajam yang
menyebabkan dan merupakan
potensi ter-hadap terjadinya
ansietas yang mempengaruhi
proses pikir pasien.
2. Memberikan pasien pera-saan
2. Pertahankan bantuan yang kon- yang
stabil dan ma-mpu
sisten oleh staf atau keberadaan mengontrol situasi.
sebanyak mungkin.
3. Pasien mungkin tidak me3. Usahakan untuk menghadirkan nyadari adanya trauma se-cara
realitas secara konsisten dan jelas. total (amnesia) atau dari
Hindari pikiran-pikiran yang tidak perluasan trauma dan karena
masuk akal.
pada
kenyataan
ter-hadap
4.
5.
6.
7.
e.
terjadinya cedera pa-da dirinya.
4. Pemahaman bahwa peng-kajian
dilakukan secara ter-atur untuk
Jelaskan pentingnya pemeriksa-an mencegah/mem-batasi
neurologist secara berulang dan komplikasi
yang
mungkin
teratur.
terjadi.
5. Perhatian dan dukungan ya-ng
diberikan pada individu akan
Dengarkan dengan penuh per-hatian meningkatkan harga diri dan
semua hal yang diungka-pan pasien. mendorong
kesi-nambungan
usaha tersebut.
6. Meningkatkan terpelihara-nya
Anjurkan pada orang yang ter-dekat kontak dengan keadaan yang
untuk
memberikan
berita biasa
terjadi
yang
akan
baru/keadaan keluarga dan seba- meningkatkan orien-tasi realitas
gainya.
dan berpikir normal.
7. Bantuan tambahan mung-kin
bermanfaat dalam me-nyokong
Rujuk pada kelompok-kelompok upaya-upaya pe-mulihan.
penyokong seperti asosiasi cedera
kepala.
Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi atau kognitif, penurunan
kekuatan/tahanan.
Kemungkinan dibuktikan oleh :
Ketidakmampuan bergerak sesuai tujuan dalam lingkungan fisik, termasuk mobilitas di
tempat tidur, pemindahan, ambulasi, kerusakan koordinasi, keterbatasan rentang gerak,
penurunan kekuatan otot/ kontrol otot.
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan :
Melakukan kembali atau mempertahankan posisi fungsi optimal, dibuktikan tak ada
kontraktur, mendemonstrasikan teknik/perilaku yang memungkinkan dilakukan kembali
aktivitas, mempertahankan aktivitas, mempertahankan integritas kulit, kandung kemih dan
fungsi usus.
Intervensi
Rasional
1. Periksa kembali kemampuan dan
1. Mengidentifikasi kemung-kinan
keadaan secara fungsional pada kerusakan pada fung-sional dan
kerusakan yang terjadi.
mempengaruhi pilihan intervensi
yang akan dilakukan.
2. Pasien mampu mandiri (ni-lai
2. Kaji derajat immobilisasi pasien 0), atau memerlukan badengan menggunkan skala keter- ntuan/peralatan yang mini-mal
gantungan (0-4).
(nilai 1), memerlukan bantuan
sedang/dengan
pengawasan/diajarkan (nilai 2),
memerlukan bantuan/ peralatan
secara terus me-nerus dan alat
khusus (nilai 3), atau tergantung
secara total pada pemberi asuhan
(nilai 4).
3. Perubahan posisi yang ter-atur
menyebabkan
penye-baran
3. Ubah posisi pasien secara teratur terhadap berat badan yang
dan buat sedikit perubahan posisi mengakibatkan sirku-lasi pada
antara waktu perubahan posisi seluruh bagian tubuh.
tersebut.
4. Mempertahankan mobili-sasi
dan fungsi sendi dan posisi
normal
ekstremitas
dan
4. Berikan dan bantu untuk mela- menurunkan terjadinya vena
kukan latihan rentang gerak.
yang statis.
5. Proses penyembuhan yang
lambat sering kali menyer-tai
trauma kepala dan pe-mulihan
5. Instruksikan/bantu pasien dengan secara fisik meru-pakan bagian
program latihan dan penggunaan alat yang amat da-ri suatu program
mobilisasi.
pemulihan tersebut.
6. Sesaat setelah fase akut ce-dera
kepala dan jika pasien tidak
memiliki faktor kon-traindikasi
yang lain, pem-berian cairan
6. Berikan cairan dalam batas-batas memadai akan menurunkan
normal yang dapat ditoleransi oleh resiko terjadi-nya infeksi saluran
neurologis dan jantung.
kemih, dan berpengaruh cukup
ba-ik terhadap konsistensi fe-ces
yang normal dan turgor kulit
yang kembali normal.
7. Pasien seperti tersebut di-atas
mempunyai
resiko
berkembangnya trombosis ve-na
dalam (TVD) dan em-boli
pulmunal (EP) teruta-ma setelah
7. Periksa daerah yang mengalami trauma.
nyeri tekan, kemerahan, kulit ya-ng
hangat, otot yang tegang, dan
sumbatan vena pada kaki.
f.
Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit ruasak, prosedur
invasif, penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh, kurang nutrisi, respon inflamasi tertekan
(penggunaan steroid), perubahan integritas sistem tertutup (kebocoran CSS).
Kemungkinan dibuktikan oleh :
(Tidak ada diterapkan : adanya tanda-tanda dan gejala-gejala yang membuat diagnosa aktual).
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan :
Mempertahankan normotermia, bebas tanda-tanda infeksi, mencapai penyembuhan luka tepat
waktu bila ada.
Intervensi
Berikan
perawatan
aseptik,
1.
pertahankan teknik cuci tangan yang
baik.
2. Observasi daerah kulit yang me2.
ngalami kerusakan, (seperti luka,
garis jahitan), daerah yang terpasang alat invasi (terpasang infuse
dan sebagainya) catat karakteri-stik
dari draenase dan adanya inflamasi.
3. Pantau suhu tubuh secara teratur. 3.
1.
4.
4. Anjurkan untuk melakukan nafas
dalam, latihan pengeluaran sekret
paru secara terus menerus.
5.
5. Berikan perawatan perineal.
6.
6. Berikan antibiotik sesuai indikasi.
g.
Rasional
Cara pertama untuk menghindari
terjadinya
infeksi
nosokomial.
Deteksi dini perkembangan
infeksi memungkinkan un-tuk
melakukan tindakan de-ngan
segera dan pencega-han terhadap
komplikasi selanjutnya.
Dapat mengidentifikasi perkembagan sepsis yang se-lanjut
memerlukan
evaluasi
atau
tindakan dengan se-gera.
Peningkatan mobilisasi dan
pembersihan sekresi paru untuk
menurunkan resiko terjadinya
pneumonia, ate-lektasis.
Menurunkan kemungkinan
terjadinya pertumbuhan ba-kteri
atau infeksi yang me-rambah
naik.
Terapi profilaktik dapat digunakan pada pasien yang
mengalami trauma (perlu-kaan),
kebocoran
CSS
un-tuk
menurunkan terjadinya infeksi
nosokomial.
Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien (penurunaan tingkat kesadaran), kelemahan
otot yang diperlukan untuk mengunyah, menelan, status hipermetabolik.
Kemungkinan dibuktikan oleh :
(Tidak ada diterapkan : adanya tanda-tanda dan gejala-gejala yang membuat diagnosa aktual).
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan :
Mendemonstrasikan pemeliharaan/kemajuan peningkatan berat badan sesuai tujuan, tidak
mengalami tanda-tanda malnutrisi, dengan nilai laboratorium dalam rentang normal.
Intervensi
Rasional
1. Kaji kemampuan pasien untuk
1. Faktor ini menentukan pemengunyah, menelan, batuk, dan milihan terhadap jenis ma-kanan
mengatasi sekresi.
sehingga
pasien
ha-rus
terlindung dari aspirasi.
2. Auskultasi bising usus, catat adanya
2. Fungsi saluran pencernaan
penurunan/hilangnya atau suara biasanya tetap baik pada kasus
yang hiperaktif.
trauma kepala, jadi bising usus
membantu da-lam menentukan
respon un-tuk makan dan
berkemba-ngnya
komplikasi,
seperti paralitik ileus.
3. Mengevaluasi keefektifan atau
3. Timbang berat badan sesuai indi- kebutuhan mengubah pemberian
kasi.
nutrisi.
4. Menurunkan resiko terjadi-nya
4. Jaga keamanan saat memberikan aspirasi.
makan pada pasien, seperti tinggikan kepala tempat tidur selama
makan.
5. Meningkatkan proses pen5. Berikan makan dalam jumlah ke-cil cernaan dan tingkat tolera-nsi
dan dalam waktu sering de-ngan pasien terhadap nutrisi yang
teratur.
diberikan
dan
dapat
meningkatkan kerjasama pasien
saat makan.
6. Perdarahan subakut dan ak-ut
6. Kaji feces, cairan lambung, mun-tah dapat terjadi ulkus cushi-ng dan
darah dan sebagainya
perlu intervensi dan metode
alternative pemberi-an makan.
7. Merupakan sumber yang efektif
untuk
mengidentifi-kasi
7. Konsultasi dengan ahli gizi.
kebutuhan
kalori/
nu-trisi
tergantung pada usia, berat
badan, ukuran tubuh, keadaan
peyakit sekarang.
h.
Nyeri berhubungan dengan agen pencedera biologis, adanya proses infeksi/inflamasi, cedera,
toksin dalam sirkulasi.
Kemungkinan dibuktikan oleh :
Melaporkan sakit kepala, fotopobia, nyeri otot, sakit punggung, perilaku ditraksis, menangis,
gelisah memilih posisi yang khas, tegangan muskular, wajah menahan nyeri, pucat,
perubahan tanda-tanda vital.
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan :
Melaporkan nyeri hilang/terkontrol, menunjukkan postur rileks, dan mampu tidur/beristirahat
dengan tepat.
Intervensi
Rasional
1.Berikan lingkungan yang tenang
1. Menurunkan reaksi terha-dap
ruangan yang agak gelap sesuai stimulasi
dari
luar
atau
dengan indikasi.
sensitivitas pada cahaya dan
meningkatkan istirahat.
2.Tingkatkan tirah baring, bantulah
2. Menurunkan gerakan yang dapat
kebutuhan perawatan diri yang meningkatkan nyeri.
penting.
3.Letakkan kantong es pada kepala
3. Meningkatkan vasokontrik-si,
pakaian dingin diatas mata.
penumpukan resepsi sen-sorik
yang selanjutnya me-nurunkan
nyeri.
4.Dukung untuk menentukan posisi
4. Menurunkan iritasi meni-ngeal,
yang nyaman.
resultan ketidaknya-manan lebih
lanjut.
5.Berikan latihan rentang gerak ak5. Dapat membantu merelaktif/pasif secara tepat dan masase otot sasikan ketegangan otot ya-ng
daerah leher / bahu.
meningkatkan reduksi nyeri atau
ketidaknyamanan tersebut.
6. Berguna dalam pengawasan
6.Kaji tingkat skala nyeri catat lo-kasi, keefektifan
obat,
kemajuan
karakteristik.
penyembuhan.
7. Mungkin diperlukan untuk
7.Kolaborasi dalam pemberian ob-at- menghilangkan nyeri yang berat.
obatan sesuai indikasi (anal-getik).
i.
Perubahan proses keluarga berhubungan dengan transisi dan krisis situasional,
ketiadakpastian tentang hasil/harapan.
Kemungkinan dibuktikan oleh :
Kesulitan beradaptasi terhadap perubahan atau menghadapi pengalaman traumatik, keluarga
tidak memenuhi kebutuhan keluarganya, kesulitan menerima atau mendapatkan bantuan
dengan tepat.
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan :
Mulai mengekspresikan perasaan dengan bebas dan tepat, mengidentifikasi sumber-sumber
internal dan eksternal, untuk menghadapi situasi, mendorong dan memungkinkan anggota
yang cedera untuk maju kearah kemandirian.
j.
Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan
kurang
pemajanan,
tidak
mengenal
informasi/
sumber-sumber,
kurang
mengingat/keterbatasan kognitif.
Kemungkinan dibuktikan oleh :
Meminta informasi, pernyataan salah konsepsi, ketidakakuratan mengikuti instruksi.
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan :
Berpartisipasi dalam proses belajar, mengungkapkan pemahaman tentang kondisi, aturan
pengobatan, potensi komplikasi, memulai perubahan gaya hidup baru, keterlibatan dalam
program rehabilitasi, melakukan prosedur yang diperlukan dengan benar.
Intervensi
Rasional
1. Evaluasi kemampuan dan kesia-pan
1. Memungkinkan untuk meuntuk belajar dari pasien juga nyampaikan bahan yang dikeluarganya.
dasarkan atas kebutuhan se-cara
individual.
2. Berikan kembali informasi yang
2. Membantu dalam mencipta-kan
berhubungan dengan proses trau-ma harapan yang realistis, dan
dan pengaruh sesudahnya.
meningkatkan pemaha-man pada
keadaan
saat
ini
dan
kebutuhannya.
3. Diskusikan rencana untuk me3.
Berbagai tingkat bantuan
menuhi kebutuhan perawatan diri.
mungkin perlu direncana-kan
yang didasarkan atas kebutuhan
yang bersifat in-dividual.
4. Memberikan penguatan vi-sual
4. Berikan instruksi dalam bentuk dan rujukan setelah se-mbuh.
tulisan dan jadwal mengenai aktivitas, obat-obatan dan faktor pen5.
Mengenai
berkembangnya
ting lainnya.
masalah
memberikan
ke5. Identifikasi tanda/gejala adanya sempatan untuk mengeva-luasi
faktor resiko secara individual, dan intervensi lebih awal untuk
seperti kebocoran CSS yang lama, mencegah ter-jadinya komplikasi
kejang pasca trauma.
yang serius.
6. Diperlukan untuk membe-rikan
bantuan perawatan se-cara fisik,
penanganan gaya hidup baik
6. Identifikasi sumber-sumber yang secara
emosi-onal
maupun
berada dimasyarakat, seperti seke- secara finan-sial
lompok penyokong cedera kepala,
pelayanan sosial, fasilitas rehabilitasi, program pasien diluar rumah sakit.
5. IMPLEMENTASI
Pelaksanaan merupakan langkah keempat dalam proses keperawatan dengan
melaksanakan berbagai strategi keperawatan (tindakan keperawatan yang telah direncanakan
dalam rencana tindakan keperawatan (Hidayat, 2004).
Menurut Gaffar, LOJ, (1999), implementasi merupakan pelak-sanaan perencanaan
keperawatan oleh perawat dan klien. Hal-hal yang harus diperhatikan ketika melakukan
implementasi adalah intervensi dilaksanakan sesuai dengan rencana setelah dilakukan
validasi, penguasaan keterampilan interpersonal, intelektual, dan teknikal. Intervensi harus
dilakukan dengan cermat dan efisien pada situasi yang tepat, keamanan fisik dan psikologi
dilindungi dan dokumentasi keperawatan berupa pencatatan dan pelaporan.
6. EVALUASI
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang
menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan dan pelaksanaan sudah
berhasil dicapai (Nursalam, 2001).
Sedangkan menurut Hidayat, AA, (2001), evaluasi merupakan tahapan akhir dari
proses keperawatan. Evaluasi menyediakan nilai informasi mengenai pengaruh intervensi
yang telah direncanakan dan merupakan perbandingan dari hasil yang diamati dengan kriteria
hasil yang telah dibuat pada tahap perencanaan.
BAB III
TINJAUAN KASUS
Nama Mahasiswa
: Rafsan Jali
Ruangan
: Bedah
A. PENGKAJIAN
1. Biodata
a.
Identitas pasien
Nama
: An. I
Jenis kelamin
: Perempuan
Umur
: 14 Tahun
Status Perkawinan
: Belum kawin
Agama
: Islam
Pendidikan
: SD
Pekerjaan
: Siswi
: Gunong Pulo – Kota Fajar
Tanggal masuk
: 06 Juli 2010
No. Register
: 027343
Ruang/Kamar
: Bedah/RBW
ian/
: 06 Juli 2010/06 Juli 2010 s/d 08 Juli 2010
Diagnosa medis
: Head Injury GCS 11
b. Penanggung jawab
Nama
: Tn. I
Hubungan dengan pasien
Pekerjaan
: Ayah kandung
: Wiraswasta
: Gunong Pulo – Kota Fajar
2. Keluhan Utama
Pada saat dikaji pasien mengatakan nyeri diseluruh bagian kepala.
a.
Provokatif dan Paliatif
1. Apakah yang menyebabkan gejala / penyakit.
Pasien mengatakan penyebab gejala atau penyakit adalah akibat kecelakaan lalu lintas.
2. Hal-hal yang dapat mengurangi dan memperberat keadaan.
Pasien mengatakan hal yang dapat mengurangi gejala penyakitnya adalah dengan cara
istirahat dan diberi obat-obatan, sedangkan hal-hal yang dapat memperberat gejala
penyakitnya apabila banyak bergerak.
b. Qualitas dan Quantitas
1. Bagaimana gejala yang dirasakan.
Pasien mengatakan gejala yang dirasakan adalah nyeri tusuk didaerah kepala.
2. Apakah lebih parah dari sebelumnya.
Pasien mengatakan gejala yang dirasakan tidak parah dari sebelumnya.
c.
Regional / Area Radiasi
1. Dimana gejala yang dirasakan.
Pasien mengatakan gejala yang dirasakan dibagian kepala.
2. Apakah merambat kebagian lain.
Pasien mengatakan gejala yang dirasakan hampir keseluruh bagian kepala.
d. Skala
Skala nyeri 8
(berat)
0
6
7
8
9
1
2
10
Keterangan :
: Tidak nyeri
1-3
: Ringan
4-6
: Sedang
7-9
: Berat
10
: Sangat berat
0
e.
Timing
1. Jenis (tiba-tiba atau bertahap)
Pasien mengatakan nyeri yang dirasakan bertahap-tahap.
2.
Frekwensi
Pasien mengatakan frekwensi nyeri yang dirasakan sering.
3.
Durasi
Pasien mengatakan lama nyeri yang dirasakan selama ± 6 menit.
3. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
a.
Alasan masuk/dirawat.
3
4
5
Pasien mengatakan tidak pernah masuk dan dirawat di rumah sakit.
b. Penyakit yang pernah dialami
Pasien mengatakan penyakit yang pernah dialami hanya demam biasa.
c.
Pernah dirawat
Pasien mengatakan tidak pernah dirawat di rumah sakit.
d. Riwayat alergi
Pasien mengatakan tidak ada riwayat alergi.
e.
Status imunisasi
Ibu pasien mengatakan status imunisasinya tidak lengkap tapi ibu pasien tidak tahu status
imunisasi apa yang tidak lengkap.
4. Riwayat Kesehatan Keluarga
a.
Penyakit keturunan yang ada
Pasien mengatakan tidak ada penyakit keturunan dalam anggota keluarganya.
b. Anggota keluarga yang meninggal
Pasien mengatakan tidak ada anggota keluarga yang meninggal.
c.
Penyebab meninggal
Tidak ada.
d. Genogram
Keterangan :
: Laki-laki
: Perempuan
: Tinggal serumah
: Pasien
5. Riwayat Psikososial
a.
Bahasa yang digunakan
Pasien mengatakan bahasa yang digunakan adalah bahasa Aceh.
b. Persepsi pasien tentang penyakitnya
Pasien berharap cepat sembuh.
c.
y image
diri
Konsep diri
: Pasien tidak mengeluh dan menerima apa yang dideritanya.
: Pasien menginginkan cepat sembuh dan bisa beraktivitas seperti biasa .
a diri
: Pasien merasa di hargai oleh keluarganya.
n diri
: Pasien sebagai anak pertama dalam keluarganya.
onal identity
: Pasien berperan sebagai anak dan sebagai seorang siswi.
mosional
Pasien masih bisa mengontrol emosinya.
an saudara
Pasien mengatakan hubungan dengan saudara baik.
an orang lain
adangan
Pasien mengatakan hubungan dengan orang lain baik.
6. Pemeriksaan Fisik
a.
Tanda –tanda vital
Tekanan darah
: 110/70 mmhg
Pernafasan
: 24 x/i
Nadi
: 80 x/i
Suhu
: 36,80C
Berat badan
: 38 Kg
Tinggi badan
: 140cm
b. Keadaan umum
1. Kesan umum
: Sedang
2. Wajah
: Ekspresi datar
3. Bentuk badan
: Sedang
c.
Pemeriksaan kepala dan leher
1. Kepala dan rambut
Bentuk kepala
: Simetris
Keadaan ubun-ubun
: Menutup dan tidak ada benjolan
: Luka lecet dibagian frontal(± 1,5 cm) dan memar di bagian oksipitalis.
Keadaan kulit kepala
: Kurang bersih
Kelainan
: Tidak ada kelainan
Penyebaran rambut
: Merata
Warna
: Hitam
Kebersihan
: Kurang bersih
2. Mata
Inspeksi
Bentuk bola mata
Kelopak
Konjungtiva
: Sferis (Bulat)
: Tidak ada peradangan
: Anemis
Sklera
: Tidak ada ikterik
Kornea
: Tidak ada peradangan
Iris
: Tidak ada peradangan
Pupil kiri
: Isokor, berespon (+) terhadap cahaya
Pupil kanan
: Isokor, berespon (+) terhadap cahaya
Lensa
: Normal
: Pasien bisa membaca buku dengan jarak 30 cm
Kelainan
Penggunaan alat bantu
: Tidak ada kelainan
: Tidak menggunakan alat bantu
3. Hidung dan Sinus
Inspeksi
Ingus
: Tidak ada
Perdarahan
: Tidak ada
Penyumbatan
: Tidak ada
Palpasi
Septum nasal
: Tidak ada nyeri tekan
4. Telinga
: Midline
garan
a jugularis
Inspeksi
Daun telinga
: Simetris
Membran timpani
: Tidak dikaji
Kebersihan
: Bersih
Kelainan / peradangan
: Tidak ada kelaianan
: Pasien bisa mendengar suara perawat
5. Mulut dan Farink
Inspeksi
Bibir
: Bengkak
Gusi
: Bengkak
: Tidak lengkap/patah 2 gigi seri
: Kotor (masih tedapat sisa-sisa darah kering)
Tonsil
: Tidak ada peradangan
Membran mukosa
: Kering
6. Leher
Posisi trakhea
: Medial.
Pembesaran thyroid
: Tidak ada pembesaran
: Tidak ada distensi vena jugularis.
d. Pemeriksaan thoraks
1. Pemeriksaan dada
Inspeksi
Bentuk
: Simetris
Retraksi
: Tidak ditemukan
Kulit
: Lembab
Payudara
: Simetris
Fraktur
: Tidak ada
Lain-lain
: Tidak ada
2. Paru-paru
Inspeksi
Kiri : Simetris
Kanan : Simetris
Palapasi
Kiri : Tidak ada nyeri tekan
Kanan : Tidak ada nyeri tekan
Perkusi
Kiri : Resonan
Kanan : Resonan
Auskultasi
Kiri : Vesikuler
Kanan : Vesikuler
3. Jantung
Inspeksi
: Normal
alpasi
: Tidak ada nyeri tekan
erkusi
: Redup
Auskultasi
e.
: Reguler
Abdomen
Inspeksi
Bentuk
: Simetris
Retraksi
: Ada
Simetris
: Simetris
Kultur permukaan
: Datar
Penonjolan
Auskultasi
: Tidak ada penonjolan
Bising usus
: 10x/menit
Lain-lain
: Tidak ada suara tambahan
Perkusi
: Timpani
Palpasi
f.
Hepar
: Tidak ada nyeri tekan
Ginjal
: Tidak ada nyeri tekan
Limpa
: Tidak ada nyeri tekan
Kandung kemih
: Tidak ada nyeri tekan
Anus dan Rektum
: Tidak dikaji
: Tidak dikaji
g.
Alat kelamin
: Tidak dikaji
: Tidak dikaji
h.
Muskuloskeletal
1) Tulang
Inspeksi
Susunan tulang
: Normal
Deformitas
: Tidak ada
Pembengkakan
: Tidak ada
Palpasi
Edema
: Tidak ada edema
Nyeri tekan
: Tidak ada nyeri tekan
2) Persendian
Inspeksi
Kaku
erak
: Terdapat
: Terbatas
Palpasi
Nyeri tekan
: Tidak ada nyeri tekan
Bengkak
: Tidak ada
Krepitasi
: Tidak ada
3) Otot
Inspeksi
Otot
Ukuran
: Normal
Kontraktur
: Tidak ada
Kontraksi
: Ada
: Tangan kanan : 5
Tangan kanan : 5
h.
Kaki kanan
:4
Kaki kanan
:4
Neurologi
1. Kesadaran
: Somnolen
2. Tingkat kesadaran
: GCS 11 (E : 3
V: 4
M: 4)
akan
: Pasien tidak mampu bergerak (beraktivitas)
i
: Pasien mampu merasakan rabaan dan mendengar
emecahan masalah :
Pasien tidak mampu beradaptasi dan tidak mampu merawat diri
7. Pola Kebiasaan Sehari-hari
a.
Pola nutrisi
Sebelum perawatan
Frekwensi makan : 3x sehari
Jenis makanan
: MB
Mual dan muntah : Tidak ada
Makanan disukai : Bakso
Dalam perawatan
Frekwensi Makan : Tidak Bisa
makan
Jenis Makanan
: M1
Mual dan Muntah : Terdapat Mual
dan muntah
Makanan Disukai : Selama rawatan
pasien tidak
menyukai jenis
makanan
b. Pola eliminasi
c.
Sebelum perawatan
Frekwensi BAB : 2x sehari
Warna
:
Kuning
kecoklatan
Kelainan
: Tidak ada
Frekwensi BAK : ± 5x sehari
Warna
: Kuning, jernih
Pola istirahat dan tidur
Sebelum perawatan
Waktu tidur
: Jam
21.30
s/d
06.00
Wib
Durasi
: ± 8 jam
Kebiasaan pengantar tidur : Tidak
ada
Masalah tidur : Tidak ada
Dalam perawatan
Frekwensi BAB : Belum ada
Warna
:Kelainan
:Frekwensi BAK : Belum BAK
Warna
:-
Dalam perawatan
Waktu tidur
: Jam 23.30 s/d
05.00 Wib
Durasi
: ± 5 jam
Kebiasaan pengantar
tidur
: Tidak ada
Masalah tidur
: Sering terbangun
.
d. Personal hygiene
Sebelum perawatan
Frekwensi mandi : 2x sehari
Gosok gigi
: 3x sehari
Memotong kuku : 1x seminggu
e.
Dalam perawatan
Frekwensi mandi : Pasien belum
mandi
Gosok gigi
: Tidak ada
Memotong kuku : Tidak ada
Pola aktivitas
Sebelum perawatan
Dalam perawatan
Pasien adalah seorang pelajar dan Pasien tidak bisa beraktivitas,
sering membantu orangtua di rumah aktivitas pasien dibantu oleh perawat
dan keluarga
8. Hasil Pemeriksaan Lab
A. Hasil Lab
Keterangan : tidak ada pemeriksaan laboratorium
B. Pemeriksaan penunjang lain : fotho rontgen kepala
9. Pengobatan / Therapy
Nama obat
Cefotaxime
Citicolin
Ranitidine
Dosis/cara
1amp/12 jam IV
1amp/8 jam IV
1amp/8 jam IV
Ketorolac
IVFD RL 500 cc
1amp/8 jam IV
20 gtt/i IV
Fungsi
Antibiotik
Vasodilator
Menetralkan asam
bung (anti emetik)
Anti nyeri
Cairan tubuh
B. ANALISA DATA
No
Data
1 Data subjektif :
1. Pasien mengatakan nyeri di
seluruh bagian kepala
2. Pasien mengatakan kepala terasa
pusing
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Data objektif :
Wajah pasien meringis
Pasien gelisah
Tanda-tanda vital :
TD : 110/70 mmHg
RR : 24x/i
Puls : 80x/i
Temp : 36,80C
Luka lecet dibagian frontal 1,5
cm dan memar dibagian oksipital
Bibir bengkak dan patah 2 gigi
seri
skala nyeri 8 (berat)
Etiologi
Cedera kepala
Kerusakan sel otak
Gangguan autoregulasi
Aliran darah ke otak
O2 menurun
Oedema otak
Skala nyeri 8, gelisah,
wajah meringis
Masalah
Nyeri
lam-
2
Data subjektif :
1. Pasien mengatakan mual dan
muntah
2.
Pasien mengatakan susah
menelan
Nyeri
Cedera kepala
Kerusakan sel otak
Perubahan nutrisi kurang da-ri
kebutuhan tubuh
Data objektif :
Katekolamin
1. Pasien tidak mau memakan diit
Sekresi
asam lambung
yang disediakan
2. Pasien susah menelan
3. Pasien muntah 3 x
Mual muntah
Asupan nutrisi kurang
3
Data subjektif :
1. Pasien mengatakan
susah digerakkan
2.
Pasien mengatakan
bergerak
Perubahan nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh
KLL
Kerusakan
kakinya
mobilitas fisik
susah
Luka lecet di lutut
bagian kanan
Data objektif :
Penurunan kekuatan
1. Pasien terbaring ditempat tidur
otot
2. Keterbatasan rentang gerak
3. Kekuatan otot
Pasien terbaring di tempat
Tangan kanan : 5
tidur, rentang gerak
Tangan kiri
:5
terbatas
Kaki kanan
:4
Kaki kiri
:4
Keadaan umum sedang
Luka lecet di lutut bagian kanan
Kerusakan mobilitas fisik
C. DIAGNOSA KEPERWATAN
1. Nyeri berhubungan dengan cedera kepala ditandai dengan : pasien mengatakan nyeri
di seluruh bagian kepala, pasien mengatakan kepala terasa pusing, wajah pasien
meringis, pasien gelisah, tanda-tanda vital : TD : 110/70 mmHg, RR : 24x/i, Puls :
80x/i, Temp : 36,80C, luka lecet dibagian frontal 1,5 cm dan memar dibagian
oksipital, bibir bengkak dan patah 2 gigi seri, skala nyeri 8 (berat).
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual dan muntah
ditandai dengan : pasien mengatakan mual dan muntah, pasien mengatakan susah
menelan, pasien tidak mau memakan diit yang disediakan, pasien susah menelan,
pasien muntah 3 x.
3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot ditandai
dengan : pasien mengatakan kakinya susah digerakkan, pasien mengatakan susah
bergerak, pasien terbaring ditempat tidur, keterbatasan rentang gerak, kekuatan otot :
tangan kanan 5, tangan kiri 5, kaki kanan 4, kaki kiri 4, keadaan umum sedang, luka
lecet di lutut bagian kanan.
D. CATATAN PERKEMBANGAN
No
1
Hari/
No
JAM
Implementasi
tanggal Dx
Selasa/
1
11.00 WIB Mengkaji keluhan nyeri
06 Juli
Skala nyeri 8 (berat)
2010
Nyeri dibagian kepala
11.10WIB
Mengkaji tanda-tanda vital
TD : 110/70 mmHg
RR : 24x/i
Puls : 80x/i
11.30WIB Temp : 36,80C
Evaluasi
Pukul 15.00 WIB
S:
Pasien mengatakan masih
nyeri dibagian kepala
dengan skala nyeri 8
(berat)
Pasien
mengatakan
kepalanya masih pu-sing
O:
Wajah pasien meringis
Memberikan obat sesuai Skala nyeri 8 (berat)
indikasi
Pasien masih gelisah
Injeksi Ranitidine 1amp/8jam Tanda-tanda vital
Injeksi cefotaxime
TD : 100/70 mmHg
500ml/12jam
RR : 22x/i
Injeksi citicolin 1amp/8jam
Puls : 80x/i
Injeksi ketorolak 1amp/8jam
Temp : 36,80C
Masih terdapat luka lecet
13.00WIB Mengatur posisi pasien miringdan memar
kiri (sim kiri)
Bibir masih bengkak
14.30WIB
2
Selasa
06 Juli
2010
2
11.20WIB1.
11.25WIB
11.25WIB2.
11.25WIB3.
11.27WIB
4.
12.30WIB
5.
6.
3
Selasa/
06 Juli
2010
3
11.00WIB
11.00WIB
A:
Menganjurkan pasien un-tukMasalah nyeri belum terberistirahat (tidur di siang hari) atasi
P:
Intervensi dilanjutkan
Kaji keluhan nyeri
Kaji TTV
Berikan obat sesuai
indikasi
Atur posisi pasien
senyaman mungkin
Anjurkan pasien untuk
beristirahat
Lakukan perawatan luka
Menanyakan jenis makananPukul 15.00 WIB
yang disukai pasien.
S:
Pasien mengatakan masih
Memberikan diit MI padamual dan mun-tah
pasien.
Pasien mengatakan masih
Mengatur posisi semifowlersusah untuk menelan
saat makan.
O:
Makanan yang diberikan
Menganjurkan pasien untuktidak bisa dihabiskan
makan semua diit.
Makanan hanya dimakan 2
(dua) sendok
Memberikan minum pasien.
Pasien muntah sudah 3
kali
Pasien masih susah
Mencatat frekuensi muntah :
menelan
Muntah sudah 3 kali.
A:
Masalah perubahan nu-trisi
kurang dari kebu-tuhan
tubuh belum tera-tasi
P:
Intervensi dilanjutkan
Awasi pemasukan diit dan
berikan ma-kanan sedikit
dalam waktu sering
Atur posisi pasien yang
nyaman selama makan
Catat frekuensi mun-tah
Bantu pemenuhan nutrisi
pasien
Berikan makanan selingan
Mengobservasi daerah ya-ngPukul 15.00 WIB
terkena cedera, luka lecet dilututS :
bagian kanan.
Pasien mengatakan
kakinya masih susah
Mengkaji respon pasiendigerakan
11.10WIB
11.15WIB
11.15WIB
4
Rabu/
1
7 Juli 2010
08.00WIB
08.15WIB
09.30WIB
09.30WIB
10.45WIB
11.30WIB
terhadap aktivitas dan ke- Pasien mengatakan masih
lemahan.
susah untuk bergerak
Kekuatan otot :
O:
Tangan kanan : 5
Pasien terbaring dite-mpat
Tangan kiri : 5
tidur
Kaki kanan
:4
Rentang gerak pasien
Kaki kiri
:4
masih terbatas
Mengkaji pernafasan dan nadi Kekuatan otot :
RR : 24 x/i
Tangan kanan : 5
Puls : 80 x/i
Tangan kiri : 5
Kaki kanan : 4
Menganjurkan pasien un-tuk Kaki kiri
:4
beristirahat bila terasa lelah
TTV
RR : 22x/i
Mengubah posisi pasien dariPuls :80x/i
terlentang ke posisi sim kiri
Keadaan umum seda-ng
Luka lecet dilutut ba-gian
kanan
A:
Masalah kerusakan
mobilitas fisik belum
teratasi
P : Intervensi dilanjutkan
Observasi daerah ya-ng
terkena cedera
Kaji respon pasien
terhadap aktivitas dan
kelemahan
Anjurkan pasien un-tuk
meningkatkan ti-rah baring
Atur posisi pasien senyaman mungkin
Anjurkan pasien un-tuk
beristirahat
Mengkaji keluhan nyeri
Pukul 15.00 WIB
Skala nyeri 8 (berat)
S:
Nyeri dibagian kepala
Pasien mengatakan masih
nyeri dengan skala nyeri 6
Mengkaji tanda-tanda vital
(sedang)
TD : 100/70 mmHg
Pasien
mengatakan
RR : 24x/i
kepalanya masih pu-sing
Puls : 82x/i
tetapi
sudah
se-dikit
0
Temp : 36,5 C
berkurang
O:
Membersihkan luka dengan Wajah pasien masih
cairan NaCl
meringis dan gelisah
Skala nyeri 6 (sedang)
Mengobati luka dengan Tanda-tanda vital
betadine
TD : 110/80 mmHg
RR : 24x/i
12.00WIB
5
Rabu/ Juli 2
2010
10.00WIB
11.30WIB
11.30WIB
11.30WIB
11.30WIB
12.30WIB
Mengatur posisi pasien miringPuls : 80x/i
kiri (sim kiri)
Temp : 36,50C
Masih terdapat luka lecet
Memberikan obat sesuaidan memar
indikasi
Bibir masih bengkak
Injeksi cefotaxime
A:
500ml/12jam
Masalah nyeri teratasi
sebagian
Menganjurkan pasien un-tukP :
beristirahat (tidur disi-ang hari) Intervensi dilanjutkan
Kaji keluhan nyeri
Kaji TTV
Berikan obat sesuai
indikasi
Atur posisi pasien
senyaman mungkin
Anjurkan pasien untuk
beristirahat
Lakukan perawatan luka
Memberikan makan seli-ngan Pukul 14.00 WIB
Teh hangat dan roti
S:
Pasien mengatakan masih
Memberikan diit MI padamual dan mun-tah tetapi
pasien
sudah se-dikit berkurang
Pasien mengatakan sudah
Mengatur posisi semifow-lerbisa untuk me-nelan
saat makan
O:
Makanan yang diberikan
Menganjurkan pasien un-tuktidak bisa dihabiskan
makan semua diit
Makanan hanya dimakan
¼ dari porsi yang
Memberikan minum pasi-en
disediakan
Pasien masih muntah
Mencatat frekuensi mun-tah
dengan frekuensi 1 kali
Muntah sudah 1 kali
Pasien sudah bisa
menelan
A:
Masalah perubahan nu-trisi
kurang dari kebu-tuhan
tubuh teratasi sebagian
P:
Intervensi dilanjutkan
Awasi pemasukan diit
Atur posisi pasien yang
nyaman selama makan
Catat frekuensi mun-tah
Bantu pemenuhan nu-trisi
pasien
Berikan makanan selingan
6
Rabu/
3
7 Juli 2010
08.00WIB
08.00WIB
08.15WIB
10.30WIB
11.15WIB
12.00WIB
7
Kamis/
1
8 Juli 2010
08.00WIB
Mengobservasi daerah ya-ng Pukul 15.00 WIB
terkena cedera, luka lecet dilututS :
bagian kanan
Pasien mengatakan
kakinya sudah bisa
Mengkaji respon pasiendigerakan
terhadap
aktivitas
dan Pasien mengatakan sudah
kelemahan
bisa miring kiri dan kanan
Kekuatan otot :
walaupun masih dibantu
Tangan kanan : 5
O:
Tangan kiri : 5
Pasien terbaring dite-mpat
Kaki kanan : 4
tidur
Kaki kiri
:5
Rentang gerak pasien
masih terbatas
Mengkaji pernafasan dan nadi Kekuatan otot :
RR : 24 x/i
Tangan kanan : 5
Puls : 82x/i
Tangan kiri : 5
Kaki kanan : 4
Menganjurkan pasein untuk Kaki kiri
:5
beristirahat bila terasa lelah
TTV
RR : 24x/i
Mengubah posisi pasien posisiPuls :82x/i
sim kiri
Keadaan umum seda-ng
Masih terdapat luka lecet
Menganjurkan pasien un-tukdilutut bagian kanan
beristirahat
A:
Tidur siang hari
Masalah kerusakan
mobilitas fisik teratasi
sebagian
Mengkaji keluhan nyeri
Skala nyeri 6 (sedang)
Nyeri dibagian kepala
08.10WIB
Mengkaji tanda-tanda vital
TD : 110/70 mmHg
RR : 22x/i
Puls : 82x/i
P:
Intervensi dilanjutkan
Observasi daerah ya-ng
terkena cedera
Kaji respon pasien
terhadap aktivitas dan
kelemahan
Anjurkan pasien un-tuk
meningkatkan ti-rah baring
Atur posisi pasien senyaman mungkin
Anjurkan pasien un-tuk
beristirahat
Pukul 14.00 WIB
S:
Pasien mengatakan masih
nyeri dengan skala nyeri 4
(sedang)
Pasien mengatakan pusing
dikepalanya
sudah
berkurang
09.30WIB Temp : 36,50C
09.30WIB
10.00WIB
11.30WIB
12.30WIB
8
Kamis/
2
8 Juli 2010
10.00WIB
11.30WIB
11.30WIB
11.30WIB
11.30WIB
12.30WIB
O:
Wajah pasien masih
Membersihkan luka deng-anmeringis tetapi sesekali
cairan NaCl
sudah mulai relaks
Skala nyeri 4(sedang)
Mengobati luka dengan be- Tanda-tanda vital
tadine
TD : 110/80 mmHg
RR : 22x/i
Mengatur posisi pasienPuls : 82x/i
semifowler
Temp : 36,50C
Masih terdapat luka lecet
Memberikan obat sesuaidan memar
indikasi
Bibir masih bengkak tetapi
Injeksi cefotaxime
sudah berkura-ng
500ml/12jam
A:
Masalah nyeri teratasi
Menganjurkan pasien un-tuksebagian
beristirahat
P:
Intervensi dilanjutkan oleh
perawat ruangan
Kaji keluhan nyeri
Kaji TTV
Berikan obat sesuai
indikasi
Atur posisi pasien
senyaman mungkin
Lakukan perawatan luka
Memberikan makan seli-nganPukul 14.00 WIB
berupa roti tawar kepada pasien S :
Pasien mengatakan mual
Memberikan diit MI padadan muntah ti-dak ada lagi
pasien
Pasien mengatakan sudah
menelan dan sudah ada
Mengatur posisi semifow-lernafsu makan
saat makan
O:
Makanan yang diberikan
Menganjurkan pasien un-tuktidak dihabiskan
makan semua diit
Makanan hanya dimakan
¼ dari porsi yang
Memberikan minum pasi-en
disediakan
Pasien sudah bisa
Mencatat frekuensi mun-tah
menelan
Tidak ada lagi muntah
A:
Masalah perubahan nu-trisi
kurang dari kebu-tuhan
tubuh teratasi sebagian
P:
Intervensi dilanjutkan oleh
perawat ruangan
Awasi pemasukan diit
9
Kamis/
3
8 Juli 2010
08.30WIB
08.30WIB
09.00WIB
10.00WIB
12.30 WIB
Bantu pemenuhan nu-trisi
pasien
Kolaborasi dengan ahli
gizi dalam pem-berian diit
Mengobservasi daerah ya-ngPukul 14.00 WIB
terkena cedera, luka lecet dilututS :
bagian kanan
Pasien mengatakan
kakinya sudah bisa untuk
Mengkaji respon pasiendigerakan
terhadap
aktivitas
dan Pasien mengatakan sudah
kelemahan :
bisa miring kiri dan kanan
Kekuatan otot :
O:
Tangan kanan : 5
Pasien terbaring dite-mpat
Tangan kiri : 5
tidur
Kaki kanan : 4
Pasien sudah bisa miring
Kaki kiri
:5
kiri dan kanan
Kekuatan otot
Menganjurkan pasein un-tuk Tangan kanan : 5
beristirahat bila terasa lelah
Tangan kiri : 5
Kaki kanan : 4
Mengubah posisi semifow-ler
Kaki kiri
:5
Keadaan umum seda-ng
Menganjurkan pasien un-tuk Luka lecet masih ada
beristirahat
tetapi sudah berkura-ng
A:
Masalah kerusakan
mobilitas fisik teratasi
sebagian
P:
Intervensi dilanjutkan oleh
perawat ruangan
Kaji respon pasien
terhadap aktivitas dan
kelemahan
Anjurkan pasien un-tuk
meningkatkan ti-rah baring
Atur posisi pasien senyaman mungkin
BAB IV
PEMBAHASAN
Dalam Bab ini penulis akan membahas lebih rinci tentang data dasar pengkajian pada
landasan teoritis dalam Bab II dengan hasil pengkajian kasus yang telah diuraikan dalam Bab
III. Pembahasan dilakukan dengan membandingkan antara uraian pada landasan teoritis dan
tinjauan kasus yang ditemukan dilapangan. Berdasarkan landasan teoritis dan tinjauan pada
kasus pada pasien dengan Cedera Kepala (Head Injury) tidak jauh berbeda, tetapi apabila kita
bahas satu persatu secara terperinci dalam sistematis maka akan terlihat beberapa masalah
yang berbeda antara landasan teoritis dengan hasil yang ditemukan dilahan praktik.
Untuk mendapatkan pembahasan yang sistematis maka penulis akan membahas
dengan proses keperawatan, yaitu pengkajian, diagnosa keperawatan, rencana keperawatan,
implementasi dan evaluasi.
A. PENGKAJIAN
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu proses
yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan
mengidentifikasi status kesehatan klien (Nursalam, 2001).
Menurut Doenges (1999), pengkajian secara teoritis didapatkan data-data sebagai
berikut antara lain pengkajian aktivitas / istirahat :gejala merasa lemah, lelah, kaku, hilang
keseimbangan. Tanda perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, quadreplegia, ataksia cara
berjalan tak tegap, masalah dalam keseimbangan, cedera (trauma) ortopaedi, kehilang tonus
otot, otot spastik. Pengkajian sirkulasi : adanya gejala perubahan tekanan darah atau normal
(hipertensi), perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi bradikardia,
disritmia). Pengkajian integritas ego : gejala perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang
atau dramastis). Tanda cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi dan
impulsif. Pengkajian eliminasi : gejala inkontinensia kandung kemih / usus atau mengalami
gangguan fungsi. Pengkajian makanan / cairan : gejala mual, muntah, dan mengalami
perubahan selera. Tanda muntah (mungkin proyektif), gangguan menelan (batuk, air liur
keluar, disfagia). Pengkajian neurosensori : gejala kehilangan kesadaran sementara, anemia
seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinnitus, kehilangan pendengaran, tingling, baal pada
ekstremitas, perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamanannya, diplopia, kehilangan
sebagian lapang pandang, fotopobia. Tanda perubahan kesadaran bisa sampai koma,
perubahan status mental (orentasi, kewaspadaan , perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah,
pengaruh emosi / tingkah laku dan memori), perubahan pupil (respon terhadap cahaya,
simetris), deviasi pada mata, ketidakmampuan mengikuti, kehilangan penginderaan, seperti
pengecapan, penciuman, pendengaran, wajah tidak simetris, genggaman lemah, tidak
seimbang, refleks tendon dalam tidak ada atau lemah, apraksia, hemiparese, quadreplegia,
postur (dekortikasi, deserebrasi), kejang, sangat sensitif terhadap sentuhan dan gerakan,
kehilangan sensasi sebagian tubuh, kesulitan dalam menentukan posisi tubuh. Pengkajian
nyeri / kenyamanan : gejala sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya
lama. Tanda wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah,
tidak bisa beristirahat, merintih. Pengkajian pernafasan : tanda perubahan pola nafas (apnea
diselingi oleh hiperventilasi), nafas berbunyi, stridor, tersedak, ronki, mengi positif
(kemungkinan karena aspirasi). Pengkajian keamanan : gejala trauma baru / trauma karena
kecelakaan. Tanda fraktur / dislokasi, gangguan penglihatan, kulit laserasi, abrasi, perubahan
warna, seperti “Racoon Eye” Tanda battle disekitar telinga (merupakan tanda adanya
trauma), adanya aliran cairan (draenase) dari telinga / hidung (CCS), gangguan kognitif,
gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum mengalami paralysis,
demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh. Pengkajian interaksi sosial : tanda afasia
motorik atau sensori, bicara tanpa arti, bicara berulang-ulang, disartria, dan anomia.
Sedangkan dari hasil pengkajian kasus penulis mendapatkan data-data sebagai berikut
yaitu nyeri dibagian kepala, kepala pusing, wajah meringis, gelisah, memar, trauma (luka
lecet), mual, muntah, perubahan nafsu makan, kesulitan menelan, sukar untuk berbicara,
lemah, penurunan kekuatan, ganguan rentang gerak, kehilangan kesadaran.
Adapun persamaan antara pengkajian yang ditemukan pada data dasar pengkajian
secara teoritis dan ditemukan pula pada tinjauan kasus yaitu nyeri dibagian kepala, kepala
pusing, wajah meringai, gelisah, memar, trauma, mual, muntah, perubahan selera / susah
menelan, sukar untuk berbicara, lemah, penurunan kekuatan, gangguan rentang gerak,
kehilangan kesadaran.
Kesenjangan atau perbedaan antara landasan teoritis dengan tinjauan kasus yaitu pada
pengkajian sirkulasi ditemukan adanya perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi),
sedangkan pada tinjauan kasus tidak ditemukan karena pada saat dilakukan pengkajian pasien
tidak ada riwayat hipertensi. Dan pada pengkajian pernafasan pada landasan teoritis
ditemukan adanya perubahan pola nafas (apnea diselingi oleh hiperventilasi), nafas berbunyi,
stridor, tersedak, ronki, mengi positif (kemungkinan karena aspirasi). Sedangkan pada
tinjauan kasus tidak ditemukan adanya perubahan pola nafas pasien, nafas tidak berbunyi,
ronki, mengi dan tidak tersedak.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan adalah struktur dan proses, struktur diagnosa keperawatan
komponennya tergantung pada tipenya, aktual, resiko, kemungkinan, sehat atau sindrom
(Carpenito, LJ, 1998).
Adapun diagnosa keperawatan yang timbul dalam landasan teoritis Menurut Doenges
(1999), adalah :
1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah oleh SOL
(Hemoragic, Hematoma), edema serebral (respon lokal atau umum pada cedera, perubahan
metabolik,
takar
lajak
obat/alkohol),
penurunan
tekanan
darah
iskemik/hipoksia,
(Hipovolemia, Disritmia jantung).
2.
Resiko tinggi terhadap pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan
neuromuskular
(cedera pada pusat pernafasan otak), kerusakan kognitif, obstruksi
trakeobronkial.
3.
Perubahan persepsi sensorik berhubungan dengan transmisi integrasi (trauma atau defisit
neurologis).
4. Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan fisiologis konflik psikologis.
5. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi atau kognitif, penurunan
kekuatan/tahanan.
6.
Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit rusak, prosedur
invasif, penurunan kerja silia, stastis cairan tubuh, kurang nutrisi, respon inflamasi tertekan
(penggunaan steroid), perubahan integritas sistem tertutup (kebocoran CSS).
7. Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien (penurunaan tingkat kesadaran), kelemahan
otot yang diperlukan untuk mengunyah, menelan, status hipermetabolik.
8. Nyeri berhubungan dengan agen pencedera biologis, adanya proses infeksi/inflamasi, cedera,
toksin dalam sirkulasi.
9. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan transisi dan krisis situasional, ketidakpastian
tentang hasil/harapan.
10. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan
kurang
pemajanan,
tidak
mengingat/keterbatasan kognitif.
mengenal
informasi
/sumber-sumber,
kurang
Sedangkan diagnosa yang penulis temukan pada tinjauan kasus adalah :
1. Nyeri berhubungan dengan cedera kepala
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual muntah
3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot
Adapun persamaan antara diagnosa keperawatan yang muncul pada tinjauan kasus yaitu
: nyeri berhubungan dengan cedera kepala hal ini disebabkan oleh karena pasien pada saat
dikaji mengeluh nyeri, wajah meringis, pusing, skala nyeri 8. Pada diagnosa perubahan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual muntah hal ini disebabkan
oleh pasien mengalami mual, muntah dan kesulitan menelan. Pada diagnosa ketiga,
kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot hal ini yang
menyebabkan terjadinya kerusakan mobilitas fisik yaitu dikarenakan pasien mengalami
kecelakaan lalulintas, luka lecet dilutut bagian kanan, dan keterbatasan rentang gerak,
penurunan kekuatan otot, pasien terbaring ditempat tidur.
Pada diagnosa pertama nyeri berhubungan dengan cedera kepala hal ini disebabkan oleh
karena terjadinya kerusakan sel otak, sehingga terjadinya gangguan autoregulasi dan
mengakibatkan aliran darah ke otak menurun dan O2 akan menurun sehingga akan
menimbulkan nyeri kepala.
Sedangkan perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh hal ini disebabkan oleh
karena terjadinya stress yang mengakibatkan meningkatnya kadar katekolamin sehingga
terjadi peningkatan sekresi asam lambung yang mengakibatkan mual muntah.
Pada diagnosa kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot
disebabkan oleh karena terjadinya kecelakaan lalu lintas dan luka lecet dilutut bagian kanan
sehingga terjadinya penurunan kekuatan otot sehingga rentang gerak pasien terbatas (Mufti,
2009).
Perbedaan atau kesenjangan antara diagnosa keperawatan yang muncul pada tinjauan
kasus dan landasan teoritis adalah pada landasan teoritis diagnosa keperawatan yang muncul
sebanyak 10 diagnosa keperawatan, sedangkan pada tinjauan kasus penulis hanya
mencantumkan 3 diagnosa keperawatan saja, hal ini disebabkan karena berdasarkan data
subjektif dan data objektif yang didapatkan dari hasil pengkajian sesuai dengan prioritas
masalah yang penulis jumpai pada An. I dengan Head Injury GCS 11. Sedangkan untuk 7
diagnosa keperawatan lainnya tidak ditemukan data subjektif dan data objektif yang
mendukung penegakkan diagnosa-diagnosa tersebut.
C. PERENCANAAN
Perencanaan keperawatan merupakan aktivitas berorientasi tujuan dan sistematik
dimana rancangan intervensi keperawatan dituangkan dalam rencana keperawatan (Basford
& Slevin, 2006).
Dalam perencanaan ini penulis akan membahas rencana asuhan keperawatan yang
sesuai dengan tiga diagnosa yang ditemukan pada tinjauan kasus. Diagnosa pertama yaitu
nyeri berhubungan dengan cedera kepala. Menurut Doenges (1999), pada landasan teoritis
yang diintervensikan adalah berikan lingkungan yang tenang, ruangan yang agak gelap
sesuai dengan indikasi, tingkatkan tirah baring, bantulah kebutuhan perawatan diri yang
penting, letakkan kantong es pada kepala pakaian dingin diatas mata, dukung untuk
menentukan posisi yang nyaman, berikan latihan rentang gerak aktif/pasif secara tepat dan
masase otot daerah leher / bahu, kaji tingkat skala nyeri catat lokasi, karakteristik, kolaborasi
dalam pemberian obat-obatan sesuai indikasi.
Pada tinjauan kasus yang diintervensikan antara lain kaji keluhan nyeri, kaji tanda-tanda
vital, berikan obat sesuai indikasi, atur posisi pasien, anjurkan pasien untuk beristirahat, dari
intervensi landasan teoritis dan intervensi pada tinjauan kasus terdapat beberapa kesenjangan
diantaranya pada landasan teoritis berikan lingkungan yang tenang, ruangan agak gelap
sesuai indikasi tidak mungkin direncanakan pada tinjauan kasus karena ruangan rawatan An.
I dirawat adalah ruangan dalam bentuk bangsal, maka intervensi memberi lingkungan yang
tenang dan ruangan agak gelap tidak mungkin dilakukan.
Diagnosa kedua yaitu perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan mual muntah. Pada landasan teoritis intervensi yang berhubungan dengan masalah
diatas meliputi kaji kemampuan pasien untuk mengunyah, menelan, batuk, dan mengatasi
sekresi, auskultasi bising usus, catat adanya penurunan / hilangnya atau suara yang hiperaktif,
timbang berat badan sesuai indikasi, jaga keamanan saat memberikan makan pada pasien,
berikan makanan dalam jumlah kecil dan dalam waktu sering dengan teratur, kaji feces,
cairan lambung dan konsultasi dengan ahli gizi. Sedangkan intervensi pada tinjauan kasus
meliputi awasi pemasukan diit, memberikan makanan selingan pada pasien, anjurkan pasien
untuk makan semua diit, atur posisi pasien selama makan, catat frekuensi muntah, intervensi
yang ada pada landasan teoritis tetapi tidak diuraikan dalam tinjauan kasus yaitu auskultasi
bising usus, catat adanya penurunan / hilangnya atau suara hiperaktif, karena menurut penulis
apabila pasien tidak mengkonsumsi makanan maka bising usus akan lambat jadi tidak perlu
diintervensikan. Begitu juga dengan timbang berat badan sesuai indikasi juga tidak di
intervensikan pada tinjauan kasus karena An. I dengan Head Injury GCS 11 tidak mampu
untuk berdiri, oleh karena itu tidak mungkin melakukan timbang berat badan. Konsultasi
dengan ahli gizi juga tidak di intervensikan pada tinjauan kasus karena menurut penulis
intervensi diatas biasanya dilakukan oleh perawat ruangan, maka penulis tidak
mencantumkan dalam tinjauan kasus.
Diagnosa ketiga kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan
otot. Pada landasan teoritis intervensinya meliputi periksa kembali kemampuan dan keadaan
secara fungsional pada kerusakan yang terjadi, kaji derajat imoblisasi dengan menggunakan
skala ketergantungan (0-4), ubah posisi pasien secara teratur dan buat sedikit perubahan
posisi antara waktu perubahan posisi tersebut, berikan dan bantu untuk melakukan latihan
rentang gerak, berikan cairan dalam batas yang dapat ditoleransi oleh neurologi dan jantung,
dan periksa adanya daerah yang mengalami nyeri tekan, kemerahan, kulit yang hangat, otot
yang tegang, intervensi yang ada pada landasan teoritis yang didapat pada tinjauan kasus
sehingga pada diagnosa yang ketiga tidak ditemukan kesenjangan antara landasan teoritis
dengan tinjauan kasus.
D. PELAKSANAAN
Pelaksanaan merupakan langkah keempat dalam proses keperawatan dengan
melaksanakan berbagai strategi keperawatan (tindakan keperawatan) yang telah direncanakan
dalam rencana tindakan keperawatan (Hidayat, AA, 2004).
Pada diagnosa pertama implementasi yang dilakukan antara lain meliputi mengkaji
keluhan nyeri dan lokasi bertujuan agar nyeri dapat terkontrol dan mencapai intensitas skala
nyeri 1-3 (ringan), selama tiga hari rawatan skala nyeri 8 (berat), pada hari rawatan pertama
dan berkurang pada hari rawatan kedua dengan skala 6 (sedang), dan pada hari rawatan
ketiga dengan skala nyeri 4 (sedang). Implementasi kedua dari diagnosa pertama yaitu
mengkaji tanda-tanda vital bertujuan untuk memantau apabila terjadi perubahan tanda-tanda
vital, selama tiga hari rawatan diukur tanda-tanda vital pasien pada hari rawatan pertama
dengan tekanan tekanan darah 110/70 mmHg, RR 24 x/I, puls 80 x/i, temp 36,8 0C, dan pada
hari rawatan kedua tekanan darah 100/70 mmHg, RR 24 x/I, puls 82 x/i, temp 36,5 0C, serta
pada hari rawatan ketiga dengan tekanan darah 110/70 mmHg, RR 22 x/I, puls 82 x/i, temp
36,50C. Implementasi yang ketiga dari diagnosa pertama yaitu memberikan obat sesuai
indikasi, dan impementasi keempat dan kelima dari diagnosa pertama dengan mengatur posisi
pasien miring kiri dan menganjurkan pasien untuk beristirahat.
Pada diagnosa kedua implementasi yang dilakukan adalah menanyakan jenis makanan
yang disukai pasien, dan memberikan diit MI pada pasien bertujuan untuk memenuhi kembali
kebutuhan nutrisi pasien. Selama tiga hari rawatan pasien hanya menghabiskan hanya 2 (dua)
sendok pada hari rawatan pertama, dan hari rawatan kedua pasien hanya menghabiskan ¼
porsi dari porsi yang disediakan dan hari rawatan ketiga pasien menghabiskan ½ porsi juga
dari porsi yang disediakan, sedangkan implementasi selanjutnya dilakukan mengatur posisi
semifowler selama makan, menyuruh pasien untuk menghabiskan semua diit, dan mencatat
frekuensi muntah yang bertujuan untuk membantu kemampuan otot menelan dan kemampuan
cerna. Selama rawatan tiga hari didapati pasien muntah 3 (tiga) kali pada hari rawatan
pertama, pada hari rawatan kedua pasien muntah satu kali, sedangkan pada hari rawatan
ketiga pasien tidak mengalami muntah lagi.
Pada diagnosa ketiga implementasi yang dilakukan adalah mengobservasi daerah yang
terkena cedera, luka lecet dilutut, mengkaji respon pasien terhadap aktivitas dan kelemahan,
menganjurkan pasien untuk beristirahat, dengan tujuan untuk meningkatkan istirahat dan
penyediaan energi untuk penyembuhan. Selama rawatan 3 (tiga) hari dari pertama sampai
ketiga pasien masih berbaring di tempat tidur, dan mengatur posisi pasien sim kiri, selama
tiga hari rawatan pasien belum mampu bergerak dan miring kiri dan kanan. Pada hari rawatan
kedua pasien sudah mampu miring kiri dan kanan walaupun masih dibantu, sedangkan pada
hari rawatan ketiga pasien sudah bisa miring kiri dan kanan serta sudah bisa bergerak.
E. EVALUASI
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang
menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan dan pelaksanaan sudah
berhasil dicapai (Nursalam, 2001).
Dalam evaluasi yang akan dibahas meliputi tiga diagnosa diantaranya nyeri
berhubungan dengan cedera kepala, perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan mual muntah, kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan
kekuatan otot.
Diagnosa pertama nyeri berhubungan dengan cedera kepala, pada hari rawatan pertama
masalah belum teratasi, namun pada hari rawatan kedua masalah nyeri sudah teratasi
sebagian, pada hari rawatan ketiga masalah nyeri juga teratasi sebagian dan intervensi
dilanjutkan oleh peraqat ruangan. Pada diagnosa kedua perubahan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual muntah, pada hari rawatan pertama evaluasi
masalah nyeri belum teratasi, dan hari rawatan kedua dan ketiga masalah nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh teratasi sebagian dan intervensi dilanjutkan oleh perawat ruangan. Begitu
juga dengan diagnosa ketiga yaitu kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan
kekuatan otot pada hari rawatan pertama masalah belum teratasi, dan pada hari rawatan kedua
dan ketiga masalah kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot
sudah teratasi sebagian sehingga pada hari rawatan ketiga intervensi dilanjutkan oleh perawat
ruangan.
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1.
Cedera kepala (Head Injury) suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang
tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung
pada kepala (Suriadi & Yuliani, 2001).
2.
Dari hasil pengkajian yang penulis lakukan didapatkan data pasien nama An. I, umur 14
tahun, status perkawinan belum kawin, agama islam, pekerjaan siswi, alamat Gunong Pulo
Kota fajar, tanggal masuk 06 Juli 2010, No. Register 027343, dengan diagnosa medis Cedera
Kepala (Head Injury) GCS 11.
3. Dari hasil analisa data didapatkan anamnese yaitu pasien mengatakan nyeri diseluruh bagian
kepala, kepala terasa pusing, wajah pasien meringis, dan gelisah, tanda-tanda vital : TD :
110/70 mmHg, RR : 24x/i, Puls : 80x/i, Temp : 36,80C, luka lecet dibagian frontal dan memar
dibagian oksipital, luka lecet dilutut bagian kanan, bibir bengkak dan patah 2 gigi seri, pasien
mengatakan mual, muntah, susah untuk menelan, diit yang disediakan tidak dimakan, dan
pasien mengatakan kakinya susah untuk digerakkan, pasien terbaring ditempat tidur, rentang
gerak terbatas, kekuatan otot : tangan kanan 5, tangan kiri 5, kaki kanan 4, kaki kiri 4. serta
keadaan umum sedang.
4. Adapun diagnosa keperawatan yang muncul pada An. I dengan Head Injury GCS 11, penulis
merumuskan dan memprioritaskan sesuai kondisi pasien adalah nyeri berhubungan dengan
cedera kepala, perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual,
muntah, serta kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot.
5.
Rancana keperawatan pada An. I untuk mengatasi nyeri adalah berikan lingkungan yang
tenang, tingkatkan tirah baring, dukung untuk menemukan posisi yang nyaman, berikan
latihan rentang gerak, kaji tingkat skala nyeri serta kolaborasi dalam pemberian obat-obatan
sesuai indikasi. Untuk mengatasi masalah perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
dengan rencana keperawatan kaji kemampuan pasien untuk mengunyah, menelan, auskultasi
bising usus, timbang berat badan jaga keamanan saat makan, berikan makan dalam jumlah
sedikit dalam waktu sering, dan konsultasi dengan ahli gizi. Untuk mengatasi masalah
kerusakan mobilitas fisik dengan rencana keperawatannya adalah periksa kembali
kemampuan pasien secara fungsional pada kerusakan yang terjadi, kaji derajat imobilisasi
pasien, ubah posisi pasien secara teratur, berikan / bantu untuk melakukan rentang gerak,
berikan cairan dalam batas normal dan periksa daerah yang mengalami nyeri tekan.
6.
Tindakan keperawatan yang diberikan pada An. I untuk mengatasi masalah nyeri adalah
mengkaji keluhan nyeri (skala nyeri 8, nyeri dibagian kepala), mengkaji tanda-tanda vital
TD : 110/70 mmHg, RR : 24 x/i, puls : 80 x/i, temp : 36,8 0C, memberikan obat sesuai
indikasi injeksi ranitidine 1amp / 8 jam, cefotaxime 500ml / 12 jam, citicolin 1amp / 8 jam,
ketorolac 1 amp / 8 jam, mengatur posisi pasien miring kiri (sim kiri), menganjurkan pasien
untuk beristirahat (tidur disiang hari), masalah nyeri teratasi sebagian. Untuk mengatasi
masalah perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh tindakan keperawatan yang diberikan
yaitu menanyakan jenis makanan yang disukai pasien, memberikan diit MI pada pasien,
memberikan makanan selingan roti dan teh, menganjurkan pasien untuk menghabiskan
semua diit, mangatur posisi pasien semifowler selama makan, mencatat frekuensi muntah,
masalah perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh teratasi sebagian. Dan masalah
kerusakan mobilitas fisik tindakan keperawatannya yang telah diberikan adalah mengkaji
respon pasien terhadap aktivitas dan kelemahan, mengkaji tanda-tanda vital RR 24 x/i, puls
80 x/i, menganjurkan pasien untuk beristirahat bila pasien terasa lelah, mengatur posisi pasien
sim kiri, masalah kerusakan mobilitas fisik teratasi sebagian.
7. Setelah dilakukan evaluasi secara keseluruhan diagnosa pertama, kedua dan ketiga masalah
keperawatan hari pertama evaluasi dari ketiga diagnosa adalah diagnosa pertama, kedua dan
ketiga belum teratasi, selanjutnya pada hari kedua ketiga diagnosa dievaluasi dengan hasil
masalah teratasi sebagian. Demikian halnya dengan hasil masalah teratasi sebagian, karena
pasien memerlukan rawatan yang intensif lebih lanjut maka intervensi selanjutnya dilakukan
oleh perawat ruangan.
8.
Mendokumentasikan Asuhan Keperawatan sangat diperlukan setiap melakukan tindakan
keperawatan, hal ini menunujkkan sistem kerja perawatan yang secara sistematis berdasarkan
bukti dan keakuratan data yang diperoleh selama pelaksanaan keperawatan, semua tindakan
keperawatan di dokumentasikan di status pasien setelah dilakukan asuhan keperawatan
selama 3 (tiga) hari rawatan.
B. SARAN-SARAN
1.
Diharapkan kepada pasien dan keluarga setelah diberikan asuhan keperawatan agar dapat
menjaga kesehatan dan perilaku hidup sehat untuk meningkatkan derajat kesehatan
kedepannya serta agar pasien lebih mengerti tentang sakit yang dideritanya yaitu Head Injury
GCS 11.
2.
Diharapkan kepada pembaca dengan adanya Karya Tulis Ilmiah agar dapat mengambil
manfaat dari penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini demi untuk meningkatkan mutu pelayanan
kesehatan selanjutnya.
3.
Diharapkan kepada Instansi Akademi Keperawatan agar meningkatkan mutu pendidikan,
sehingga menghasilkan perawat yang professional yang mempunyai kemampuan dan
keterampilan dalam melakukan Asuhan Keperawatan pada pasien.
4.
Diharapkan kepada lahan praktik Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Yuliddin Away
Tapaktuan agar meningkatkan mutu pelayanan kesehatan sesuai dengan standar prosedur
keperawatan terutama pada pasien Head Injury GCS 11.
DAFTAR PUSTAKA
Basford, L & Slevin, O. (2006) Teori Dan Praktik Keperawatan Pendekatan
Pasien. Jakarta : EGC
Integral Pada Asuhan
Carpenito, LJ. (1998). Diagnosa Keperawatan Aplikasi Pada Praktik Klinis. Edisi 6. Jakarta : EGC
Chandra, B. (2008). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : EGC
Doenges, ME. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta : EGC
Effendy, N. (1998). Dasar-dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat. Edisi 2 Jakarta : EGC
Engram, B. (1998). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Vol 3. Jakarta : EGC
Gaffar, LOJ. (1999). Pengantar Keperawatan Profesional. Jakarta : EGC
Hidayat, AA. (2004). Pengantar Dokumentasi Proses Keperawatan. Jakarta : EGC
Hidayat, AA. (2001). Pengantar Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika
Hidayat, AA. (2006). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia – Aplikasi Konsep & Proses
Keperawatan. Buku 1. Jakarta : Salemba Medika
Kusnanto. (2004). Pengantar Profesi & Praktik Keperawatan Profesional. Jakarta : EGC
Mansjoer, A. dkk. (2000). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius
Mardjono, M & Sidharta, P. (2004). Neurologi Klinis Dasar. Cetakan 10. Jakarta : Dian Rakyat
Morton, PG. (2003). Panduan Pemeriksaan Kesehatan dengan Dokumentasi SOAPIE. Edisi 2.
Jakarta : EGC
Notoatmodjo, S. (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka cipta.
Nursalam. (2001). Proses & Dokumentasi Keperawatan Konsep & Praktik. Jakarta : Salemba Medika
Oman, KS, dkk. (2008). Panduan Belajar Keperawatan Emergensi. Jakarta : EGC
Price, SA & Wilson, LM. (2005). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 6. vol 2 .
Jakarta : EGC
Priharjo, R. (2006). Pengkajian Fisik Keperawatan. Edisi 2. Jakarta : EGC
Purwoko, S. (2006). Pertolongan Pertama & RJP Pada Anak. Edisi 4. Jakarta : Arcan
Sjamsuhidajat, R & Jong, WD. (2004). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : EGC
Smeltzer, SC & Bare, BG. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Edisi
8. Vol 3. Jakarta : EGC
Suriadi & Yuliani. (2001). Asuhan Keperawatan Pada Anak. Edisi 1. Jakarta : Fajar Interpratama
Abdale. (2007). Trauma Kepala. (http://www.webcache.googleusercontenabdale. com.htm. diakses
pada tanggal 09 Juli 2010 jam 10.45 wib)
Irwana, O. (2009). Cedera Kepala/Head Injury. (http://yayanakyar. wordpress.com. htm. diakses pada
tanggal 09 Juli 2010 jam 11.00 wib)
Mufti, A. (2009). Cedera Kepala. (http://moveamura.files.wordpress.com.pdf. diakses pada tanggal 07
Juli 2010)
Saanin, S. (2007). Cedera Otak Traumatika. (http://syaiful saanin.wordpress. com.htm. diakses pada
tanggal 09 Juli 2010 jam 10.30 wib)
Widyaningrum, D. (2008). Askep Pada Trauma Kapitis. (http://yenibeth. wordpress. com.htm. diakses
pada tanggal 15 Juli 2010 jam 11.30)
Download