63 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Teori

advertisement
63
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Teori
3.1.1. Perdagangan Luar Negeri sebagai Pendorong Pertumbuhan Ekonomi
Telah disampaikan pada bab sebelumnya, ahli ekonomi Klasik dan Neo
Klasik percaya bahwa perdagangan internasional merupakan pendorong positif
dan kuat terhadap pembangunan ekonomi. Alasan yang dikemukakan adalah
untuk meningkatkan pembangunan perlu dilakukan fokus pada kegiatan ekspor,
terutama produk sektor industri yang disebut sebagai export promotion.
Peningkatan ekspor membuka peluang bagi perolehan devisa yang sangat
dibutuhkan untuk mengimpor barang-barang konsumsi, bahan baku dan penolong
serta barang-barang kapital. Strategi ini dikenal dengan strategi kebijakan
substitution
import. Berdasarkan
teori
perdagangan,
dengan
melakukan
perdagangan internasional dapat menimbulkan transfer knowledge yang dapat
meningkatkan efisiensi dalam penggunaan input, sehingga akan mempercepat
pembangunan ekonomi (Hogendorn, 1996; Cyper and Dietz, 1997) dalam
Parningotan (2000).
Peranan perdagangan luar negeri terhadap pembangunan ekonomi telah
dilihat oleh ahli ekonomi pembangunan di mana mereka sepakat bahwa ekspor
dapat dijadikan mesin bagi pertumbuhan ekonomi. Alasan yang mendasari adalah:
(1) ekspor dapat menyebabkan penggunaan penuh sumber-sumber domestik
sesuai dengan keunggulan komparatif (comparative advantage), (2) ekspor dapat
memperluas pasar baik di dalam negeri maupun di luar negeri, (3) ekspor
merupakan sarana untuk mengadopsi idea atau pengetahuan dan teknologi baru,
64
(4) ekspor mendorong mengalirnya modal dari negara-negara maju ke negaranegara sedang berkembang, (5) ekspor merupakan salah satu cara efektif untuk
menghilangkan perilaku monopoli, dan (6) ekspor dapat menghasilkan devisa.
Dunn dan Mutti (2004) menjelaskan bahwa, sumberdaya sebuah negara
dapat mengalami pertumbuhan misalnya angkatan kerja meningkat karena
pertumbuhan penduduk, atau kapital stok fisik bertumbuh melalui net investasi.
Pertumbuhan faktor ini menyebabkan kurva kemungkinan produksi bergeser ke
kanan yang berarti kapasitas negara untuk berproduksi sedang naik. Pertumbuhan
yang terjadi ini kemudian akan berinteraksi dengan kondisi permintaan dalam
negeri dan luar negeri menentukan efek akhir pada output, termasuk kegiatan
perdagangan yaitu ekspor dan impor, dan term of trade.
Bilamana semua faktor produksi negara bertumbuh pada tingkat yang
sama dan semua industri mengalami constant return to scale dan teknologi tidak
mengalami perubahan, maka pertumbuhan kapasitas ini menyebabkan kurva
kemungkinan produksi bergeser ke kanan dalam proporsi yang sama dan disebut
sebagai pertumbuhan yang netral. Jika pada kondisi ini, term of trade negara tidak
mengalami perubahan dan elastisitas income of demand untuk kedua barang sama
dengan satu maka sebuah negara akan terus memproduksi kedua komoditi yang
diperdagangkan dalam proporsi yang sama sehingga baik impor makanan dan
ekspor pakaian negara tersebut akan meningkat sebanding dengan kenaikan output
atau pertumbuhan ekonomi. Namun, jika permintaan negara tersebut untuk
makanan (komoditi yang diimpor) meningkat lebih dari pada proporsi kenaikan
income, maka ekspor dan impor negara tersebut juga akan meningkat dengan
proporsi yang lebih besar dibanding proporsi kenaikan output, yang berarti
65
pertumbuhan bias kepada perdagangan. Sebaliknya jika elastisitas income untuk
makanan adalah inelastic maka pertumbuhan ekonomi dikatakan tidak
memberikan pengaruh yang kuat pada pertumbuhan perdagangan (Zhang, 2008;
Dunn dan Mutti, 2004).
Pertumbuhan ekonomi yang tercipta tidak selamanya memberikan dampak
menguntungkan bagi sebuah negara. Feenstra (2002) dan juga Dunn dan Mutti
(2004) menjelaskan kasus di mana pertumbuhan ekonomi yang terjadi tidak
memberikan keadaan better off bagi negara melainkan keadaan worse off. Hal ini
disebabkan karena terjadi penurunan dalam term of trade negara tersebut.
Pertumbuhan ekonomi yang terjadi mendorong adanya peningkatan ekspor yang
mana peningkatan ekspor mendorong penurunan dalam term of trade sehingga
penurunan harga ini menyebabkan penurunan dalam konsumsi yang menunjukkan
bahwa masyarakat mengalami worse off dibanding keadaan sebelumnya. Kondisi
ini disebut sebagai "pertumbuhan immiserizing" dan sering terjadi pada negaranegara berkembang yang mengekspor produk-produk primer dan mengimpor
produk-produk manufaktur dari negara-negara industri maju.
Hubungan positif antara ekspor dan produksi dalam negeri dapat juga
dijelaskan dengan kurva permintaan agregat (AD) dan kurva penawaran agregat
(AS) seperti yang dijelaskan pada Gambar 6 (Tambunan, 2001b). Gambar 6
menjelaskan bahwa, jika negara tidak melakukan perdagangan luar negeri, maka
barang dan jasa yang ditawarkan di dalam negeri seluruhnya merupakan produksi
dalam negeri. Dalam kondisi ekuilibrium, permintaan agregat sama dengan
penawaran agregat (AD dan AS berpotongan di titik E0, dengan harga P0 dan
kuantitas Q0). Apabila produksi dalam negeri meningkat, sehingga penawaran
66
meningkat ke AS1, sementara permintaan tetap pada AD0, maka terjadi kelebihan
penawaran Q0 - Q1 yang mengakibatkan harga turun ke P1. Keadaan yang sama
akan terjadi, jika penawaran agregat meningkat akibat impor, terutama barangbarang konsumsi.
Sebaliknya jika terdapat permintaan luar negeri, maka kelebihan produk di
pasar dalam negeri dapat diserap oleh pasar luar negeri. Karena ekspor adalah
bagian dari permintaan agregat sehingga kurva AD bergeser ke AD1. Terjadi
ekulibrium pada E1, di mana harga tetap tetapi output yang terjual meningkat.
Peningklatan output terjual berarti terjadi peningkatan perekonomian di dalam
negeri melalui peningkatan pertumbuhan output dari 0Q0 menjadi 0Q2
dibandingkan dengan kondisi output sebebelumnya yang dikenal dengan sebutan
vent for surplus.
P (Harga)
AD1
AS0
AD0
AS1
E2
P2
E0
P0
E1
P1
0
Q0
Q1
Q2
Q (Output)
Sumber : Tambunan (2001b)
Gambar 6. Analisis Pengaruh Positif Ekspor terhadap Pertumbuhan Output
Berbagai bukti empiris dijelaskan para peneliti tentang hubungan antara
pertumbuhan ekonomi dan perdagangan internasional. Parningotan (2000)
67
menjelaskan, bahwa dengan berbagai metode yang digunakan oleh para peneliti di
setiap negara untuk menguji hubungan antara perdagangan internasional dengan
pertumbuhan ekonomi, hasilnya dapat saja berbeda, yakni hasil analisis dapat saja
positif dan juga negatif. Teknik untuk mengidentifikasi peranan penting dari
pedagangan internasional adalah dengan memperhatikan keefektipan promosi
ekspor (outward – looking strategy) dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Strategi ini dilakukan dengan cara meningkatkan ekspor produk-produk
manufaktur, dan tetap mempertahankan ekspor komoditi primer. Bilamana jenis
dan jumlah komoditi ekspor dapat ditingkatkan berarti penurunan ekspor dalam
produk primer akan dapat diantisipasi. Hal ini menunjukkan adanya keuntungan
dinamis yang dapat dicapai di mana keuntungan tersebut akan mendorong
terciptanya inovasi yang dapat meningkatkan skala ekonomi (economies of scale)
yang akhirnya dapat meningkatkan pertumbuhan dan kinerja makroekonomi.
Sinha (1999) telah melakukan studi tentang trade balance (ekspor-impor)
untuk menggambarkan Export-Led Growth (ELG). Hasil yang diperoleh
menunjukkan bahwa promosi
ekspor memberikan kontribusi yang penting
terhadap pertumbuhan ekonomi. Balassa (1989) menemukan bahwa, dampak
perdagangan internasional khususnya yang didukung oleh strategi industrialisasi
yang berorientasi ekspor, akan mendorong penggunaan sumberdaya menjadi
semakin efisien, sedangkan untuk negara-negara yang
menerapkan strategi
industrialisasi yang berorientasi ke dalam, memiliki keterbatasan dalam
meningkatkan pertumbuhan ekspor (Tambunan, 2001).
Perluasan ekspor merupakan faktor kunci untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi dalam jangka panjang. Secara teoritis, berbagai argumentasi telah
68
dikemukakan untuk menjustifikasi hipotesis Export Led-Growth. Pada sisi
permintaan dapat dikatakan bahwa pencapaian pertumbuhan permintaan tidak
cukup dilakukan dalam pasar domestik saja yang sangat terbatas. Tetapi harus
dilakukan juga permintaan di pasar luar negeri atau ekspor, karena melalui pasar
ekspor, berarti penjualan komoditi hampir tidak terbatas, sehingga tidak
menimbulkan restriksi pada pertumbuhan ekonomi dari sisi permintaan. Dengan
demikian ekspor dapat menjadi penyangga pertumbuhan pendapatan sebagai
komponen dari permintaan agregatif (Agosin, et. al, 2010).
Dari perspektif penawaran, perluasan ekspor dapat meningkatkan
pertumbuhan ekonomi melalui kenaikan dalam total factor produktivity (TFP),
karena perluasan ekspor dapat meningkatkan spesialisasi sektor-sektor yang
memiliki keunggulan komparatif, dan menyebabkan realokasi sumberdaya dari
sektor tertentu ke sektor ekspor yang lebih produktif dan menjadi efisien.
Pertumbuhan ekspor dapat meningkatkan produktivitas melalui skala ekonomi
yang lebih besar (Helpman and Krugman, 1985).
Pertumbuhan ekspor dapat mempengaruhi TFP melalui efek yang dinamis
terhadap kemakmuran ekonomi. Pertumbuhan ekspor secara tidak langsung dapat
mempengaruhi jumlah devisa yang tersedia, yang dapat dipergunakan untuk
peningkatan impor barang-barang kapital (Riezman, et. al, 1996). Peningkatan
impor barang-barang kapital selanjutnya akan mendorong pertumbuhan output
dan ekspor melalui peningkatan produktivitas, dan kemudian pertumbuhan
ekonomi, dimana pengetahuan dan teknologi telah terkandung (embodied) dalam
alat-alat dan mesin (Chen dan Kee, 2005).
69
3.1.2. Keterkaitan Sektor Pertanian dengan Sektor Industri Manufaktur
Sektor pertanian merupakan sektor yang dapat menggerakkan atau
mendorong sektor industri. Negara Indonesia dengan sumberdaya utamanya
berasal dari sektor pertanian, baik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat,
kebutuhan industri, maupun untuk ekspor. Namun karena masih besarnya
sumberdaya impor, seperti bahan baku dan bahan penolong, sehingga manfaat
sumberdaya domestik menjadi tidak optimal, pada hal sudah tersedia di sektor
pertanian. Gillis, et.al (1992) berpendapat, pembangunan ekonomi yang dilakukan
oleh Indonesia melalui substitusi impor sejak 1970, ternyata telah gagal
memperkuat perekonomian domestik. Fasilitas subsidi dan proteksi, ternyata
justru menciptakan kesenjangan antara level industri di berbagai sektor. Persoalan
lain yang terjadi adalah lemahnya keterkaitan antara sektor pertanian dengan
sektor industri. Hal ini disebabkan oleh industri yang dibangun lebih banyak ke
arah penggunaaan komponen impor sehingga keterkaitan kedua sektor menjadi
sangat lemah.
Penerapan strategi substitusi impor maupun promosi ekspor di Indonesia
menurut Gillis, et.al (1992) memang telah memperlihatkan hasil pada
pertumbuhan ekonomi, namun pertumbuhan yang tercipta lebih ke arah ukuran
kuantitatif semata, tapi secara kualitatif kurang berhasil. Hal ini disebabkan oleh
strategi substitusi impor cenderung padat modal, sehingga proses industri yang
terjadi tidak terintegrasi dengan sektor-sektor lain, terutama dengan sektor
pertanian. Akibatnya terjadilah kesenjangan dalam banyak hal, seperti antara
ekspor dan impor, penggunaan input kapital dan tenaga kerja, pertumbuhan
70
industri dan pertanian, bahkan kesenjangan distribusi pendapatan (Vogel, 1994,
Krugman dan Obstfeld, 2000).
Dari pandangan tersebut dengan segala kekurangannya, maka muncul
strategi lain yang dikenal dengan strategi promosi ekspor yang berorientasi pada
upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi yang digerakkan oleh kekuatan ekspor
(expor-led growth). Strategi ini telah diadopsi oleh berbagai negara berkembang
dan secara empiris juga dapat menunjukkan hasil, misalnya terjadinya
pertumbuhan ekonomi, pengembangan industrialisasi, dan penyerapan tenaga
kerja. Walaupun demikian strategi ini mengandung permasalahan, karena
pertumbuhan ekonomi yang ingin dicapai harus dibarengi dengan hutang luar
negeri, peningkatan impor yang relatif cepat (Krugman dan Obstfeld, 2000).
Terlepas dari kelebihan dan kekurangan masing-masing strategi di atas,
yang jelas dari berbagai kekurangannya, meunculkan pemikiran baru untuk
sebagai strategi pembangunan dibidang ekonomi, yakni strategi pertumbuhan
seimbang antara sektor pertanian dan sektor industri (Singer, 1979). Tujuannya
adalah untuk mengembangkan sektor pertanian yang didukung oleh sektor
industri yang
menyediakan sarana dan prasarana pada sektor pertanian agar
produktivitas pertanian meningkat, dan pendapatan di sektor pertanian akan
meningkat
yag
pada
gilirannya
pendapatan
masyarakat
tersebut
akan
meningkatkan konsumsi produk industri. Dengan demikian terjadi saling sinergi
diantara kedua sektor tersebut (Vogel, 1994).
Keberadaan strategi yang diajukan oleh Singer (1979) di atas, menurut
Adelman (1984) cenderung padat modal dan kurang menyerap tenaga kerja di
kedua sektor tersebut. Oleh karena itu proses pembangunan hendaknya
71
dilaksanakan dengan menerapkan teknologi padat karya dengan sektor pertanian
sebagai fokus utama pembangunan, terutama pembangunan pada skala kecil dan
menengah, sebab kalau di fokuskan pada skala besar, yang terjadi adalah padat
kapital dan relatif kurang penggunaan tenaga kerja. Strategi ini tidak
menimbulkan konflik, karena proses pembangunan akan meningkatkan secara
bersamaan antara pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesempatan kerja secara
bersamaan, serta dapat memperbaiki distribusi pendapatan. Dengan demikian
akan tercipta distribusi pendapatan yang lebih baik dengan jumlah pekerja yang
cukup besar baik pada sektor pertanian maupun pada sektor industri manufaktur.
Peningkatan pendapatan yang terjadi akan meningkatkan konsumsi dan
investasi di kedua sektor tersebut. Di lain pihak keterkaitan pembangunan sektor
pertanian dan sektor industri akan terwujud apabila pembangunan industri dapat
memanfaatkan sumberdaya lokal terutama bahan baku yang disediakan oleh
sektor pertanian. Sehingga sektor pertanian dapat mendorong peningkatan pada
sektor industri manufaktur. Sebaliknya penigkatan pembangunan pada industri
manufaktur juga dapat menyediakan input teknologi dan peralatan yang dapat
meningkatkan produktivitas pertanian.
Dari uraian di atas dapat tergambar bahwa, secara teoritis antara sektor
pertanain dan sektor industri manufaktur memiliki keterkaitan yang sangat erat.
Namun demikian setiap strategi pembangunan ekonomi yang muncul akan
memiliki kekurangan akibat dari orientasi ke arah yang lebih maju di bidang
tertentu sehingga kontroversi selalu saja akan muncul dipermukaan.
72
3.1.3. Fungsi Produksi Agregat
Seperti telah disampaikan oleh ahli ekonomi Neo-Klasik diantaranya
Solow, bahwa pertumbuhan ekonomi sangat tergantung pada peningkatan
penggunaan faktor-faktor produksi dan kemajuan teknologi. Dari teori
pertumbuhan Neo-Klasik dapat diketahui bahwa dalam mempelajari pertumbuhan
ekonomi yang lebih penting adalah menekankan pada penyelidikan empiris untuk
menentukan berapa besar peranan dari faktor-faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan tersebut, dan bukan mementingkan faktor-faktor apa saja yang dapat
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.
Pengukuran pada sumber-sumber pertumbuhan ekonomi dilakukan oleh
Neo-Klasik dengan menggunakan pendekatan fungsi produksi agregatif yaitu
(Romer, 1996) :
Y = f (K, L, ....)
.............................................................................. (3.1)
Fungsi ini menunjukkan bahwa produksi nasional (Y) ditentukan oleh kapital
(K), tenaga kerja (L), dan faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhinya.
Bentuk fungsi produksi yang lain adalah fungsi produksi Cobb-Douglass, adalah
sebagai berikut.
Yt = At Kt Lt
……………….…............................................... (3.2)
Pengukuran tingkat pertumbuhan dilakukan dengan menggunakan logaritma dan
dideferensialkan terhadap waktu (t), memberikan hasil :
d log Yt d log At d log Kt d log Lt



dt
dt
dt
dt
.................................... (3.3)
Jika pertumbuhan ditulis dengan rate (r), maka persamaan (3.3 dapat ditunjukkan
sebagai :
r (Yt) = r (At) +  r (Kt) +  r (Lt) …........................................ (3.4)
73
Persamaan ini menggambarkan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi yang dapat
dicapai oleh suatu negara pada periode tertentu, tergantung pada tingkat
perkembangan teknologi, peranan kapital dalam menciptakan pendapatan nasional
dikalikan dengan pertumbuhan stok kapital ( r (Kt)) dan peranan tenaga kerja
dalam menciptakan pendapatan nasional dikalikan dengan tingkat pertumbuhan
tenaga kerja (
r (Lt)). Variabel r (At) menunjukkan kemajuan teknologi,
merupakan faktor yang mewakili semua faktor di luar faktor tenaga kerja dan stok
kapital dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi sehingga r (At) sering juga
disebut faktor residu.
Gambaran di atas menunjukkan bahwa teori pertumbuhan Neo-Klasik
menganggap seluruh faktor-faktor lain yang ikut menentukan pertumbuhan
ekonomi telah tercakup dalam faktor residu. Namun demikian perlu disadari
bahwa pertumbuhan adalah bersifat dinamis karena adanya perubahan faktorfaktor produksi, sehingga dengan mengelompokkan pengaruh lain di luar tenaga
kerja dan kapital ke dalam faktor residu nampaknya kurang menggambarkan
pengaruh dari faktor-faktor lain yang justru memiliki kontribusi lebih besar. Oleh
karena itu perlu mempertimbangkan masuknya faktor lain
ke dalam fungsi
produksi selain tenaga kerja dan kapital.
Berdasarkan teori produksi di atas, dalam kaitan dengan perdagangan luar
negeri dan bagaimana perdagangan turut mempengaruhi pertumbuhan ekonomi,
perlu ditambahkan variabel perdagangan luar negeri seperti ekspor dan impor ke
dalam fungsi produksi agregatif. Moshin dan Anam (2001) memperluas fungsi
produksi agregat dengan memasukkan faktor ekspor sebagai berikut :
Y = A*f (K, L, X, M)
............................................................................
(3.5)
74
Estimasi terhadap persamaan (3.5) akan memberikan peranan masing-masing
variabel terhadap pertumbuhan ekonomi. Ini dilakukan dengan menggunakan
diferensial total, sehingga fungsi tersebut menjadi :
dY=
Y
Y
Y
Y
dK 
dL 

 dA ….................................
K
L
X
M
(3.6)
Berdasarkan persamaan (3.6) laju pertumbuhan dapat diperoleh sebagai berikut :

Y 
Y K 
Y L  Y X 
Y M 
A 
K
L
X
M 
A ...... (3.7)
K Y
L Y
X Y
M Y
Y
Dengan asumsi pasar persaingan sempurna, maka r = MPK dan w = MPL, x = MPX
dan m = MPm (produk marginal ekspor dan impor) sehingga persamaan tersebut
dapat diformulasi kembali menjadi :

rK 
wL 
xX 
mM
K 
L
X
Y
Y
Y
Y
Y 

M  a
.......................... (3.8)
keterangan :
r
= Sewa rill,
w = Upah riil, dan
m = Nilai tukar riil.
Persamaan (3.8) dapat disederhanakan menjadi :





Y  K K L L X X M M  a
..................................… (3.9)
Persamaan di atas menunjukkan bahwa total pertumbuhan ekonomi bersumber
dari kontribusi pertumbuhan kapital plus kontribusi pertumbuhan tenaga kerja
plus kontribusi pertumbuhan perdagangan luar negeri plus output teknologi atau
residual. Modifikasi fungsi produksi agregatif dengan cara menambahkan
variabel-variabel tertentu, juga telah dilakukan oleh beberapa peneliti seperti
Yousif (1999), memodifikasi model fungsi produksi agregatif dengan cara
menambahkan dua variabel, yaitu ekspor riil dan nilai tukar riil, sehingga menjadi
75
lima variabel, yakni Y = f (X, ER, L, K). Sinha (1999), melakukan penelitian
dengan menambahkan variabel instabilitas ekspor yang diukur dengan deviasi
ekspor rata-rata lima tahun, yakni Y = f (K, L, Xi). Anyamele (2000)
menambahkan variabel ekspor dan pengeluaran pemerintah, sehingga menjadi
lima variabel, yaitu Q = f (A, K, L, X, G). Yusof et.al (2001) juga menggunakan
dasar fungsi produksi, sehingga jumlah variabel menjadi enam variabel, yaitu
pertumbuhan ekonomi, ekspor, impor barang-barang konsumsi, investasi,
angkatan kerja dan nilai tukar, sehingga model ekonominya GDP = f ( X, MC,
K, L, ER). Siliverstors dan Herzer (2005), dengan menambahkan variabel
eksport industri manufaktur (XIMt), ekspor pertambangan (XPt), impor barangbarang kapital (MCt), dan faktor eksogen (Ct) yang diformulasikan menjadi Yt =
f (Ct, Kt, Lt , XIMt, XPt, MCt).
Dari beberapa penelitian di atas dapat memberikan gambaran bahwa selain
kapital dan labor yang menentukan pertumbuhan ekonomi, juga ditambahkan
variabel-variabel lain yang berkaitan langsung dan tidak langsung ke dalam
model, yaitu variabel ekspor, impor, pengeluaran pemerintah, penanaman modal
asing, nilai tukar, hutang luar negeri, dan tabungan masyarakat. Berdasarkan
beberapa penelitian di atas, tampak bahwa dalam menganalisis keterkaitan
antara perdagangan luar negeri dengan pertumbuhan ekonomi, jika hubungan
tersebut hanya berbentuk bivariat dapat menghasilkan kesimpulan yang kurang
tepat. Hasil penelitian seperti ini telah dilakukan oleh Yousif (1999) di mana
hasilnya hanya dapat menunjukkan hubungan jangka pendek. Sedangkan
menurut Anyamele (2000) modifikasi fungsi produksi perlu dilakukan untuk
menganalisis fenemona yang bersifat makro.
76
Berdasarkan landasan teoritis yang dikemukakan di atas, maka perlu dilihat
sejauhmana peranan ekspor terhadap kinerja makroekonomi Indonesia. Kegiatan ekspor
Indonesia mencakup bidang atau sektor-sektor antara lain sektor pertanian,
pertambangan, dan industri. Penelitian ini lebih fokus melihat peranan ekspor sektor
pertanian dan industri terhadap kinerja makroekonomi. Oleh karena itu analisis lebih
diutamakan pada kedua sektor bersangkutan, dan kemudian dilanjutkan dengan melihat
lebih spesifik peranan sektor industri berbasis pertanian dan industri non-pertanian
terhadap kinerja makroekonomi.
Variabel kinerja makroekonomi Indonesia dalam penelitian ini mencakup PDB,
neraca perdagangan, inflasi dan nilai tukar. Pertumbuhan ekspor pertanian primer,
ekspor agroindustri, dan ekspor non-agroindustri memiliki hubungan yang kuat
mendorong
pertumbuhan
variabel-variabel
kinerja
makroekonomi.
Selanjutnya
pertumbuhan kinerja makroekonomi yang terjadi akan berdampak balik mendorong
pertumbuhan ekspor. Hubungan saling keterkaitan ini digambarkan dalam kerangka
pikir pada Gambar 7.
Pertumbuhan Ekonomi
Perdagangan Luar Negeri
Sektor Pertanian
Sektor Industri
Manufaktur
Gambar 7. Kerangka Pemikiran Teoritis Keterkaitan dan Efek antara Pertumbuhan
Ekonomi, Perdagangan Luar Negeri dan Sektor Pertanian dan Industri
77
3.2. Kerangka Model
3.2.1. Teori Vector Autoregression
Ahli ekonometrik pertama yang mengenalkan vector autoregression
(VAR) pertama kali adalah Sims (1980) sebagai metode alternatif yang dipercaya
lebih baik dibandingkan dengan model ekonometrik tradisional yang tergantung
pada ratusan variabel dalam sebuah model. Metode VAR dapat memberikan cara
estimasi untuk menjelaskan hubungan antar variabel ekonomi tanpa harus terlalu
banyak restriksi.
Munculnya metode VAR ini adalah sebagai jalan keluar atas permasalahan
kesulitan justifikasi untuk variabel endogen dan teori ekonomi melalui pendekatan
non-struktural. Penggunaan pendekatan struktural atas persamaan pemodelan
simultan,
biasanya
menerapkan
teori
ekonomi
dalam
upaya
untuk
mendeskripsikan hubungan antar variabel yang ingin di uji. Akan tetapi sering
ditemukan bahwa dalam teori makroekonomi khususnya, sulit untuk menentukan
variabel–varianbel yang posisinya sebagai endogen dan variabel eksogen atau
menentukan variabel dependen dan independen dalam suatu persamaan. Jalan
keluar untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan metode VAR.
Vector
autoregression
adalah
suatu
sistem
persamaan
yang
memperlihatkan setiap variabel sebagai fungsi linier dari konstanta dan nilai lag
variabel itu sendiri, serta nilai lag dari variabel-variabel lain yang masuk dalam
sistem persamaan. Jadi variabel penjelas dalam VAR meliputi nilai lag seluruh
variabel dependen dalam sistem persamaan dan dalam VAR tidak membedakan
antara variabel endogen dan eksogen. Model VAR memberikan cara menjelaskan
hubungan antar variabel-variabel ekonomi tanpa harus terlalu banyak restriksi.
78
Penentuan variabel dalam persamaan struktural VAR dapat dilakukan jika
memang diperlukan dan memang berdasarkan pada teori ekonomi yang relevan,
yaitu dengan melakukan impose restriksi.
Semenjak dikenalkannya metode VAR pada tahun 1980, metode ini telah
banyak diaplikasikan pada penelitian makroekonomi. Metode ini memungknkan
para peneliti untuk menganalisis hubungan kausalitas yang dinamis antar variabel
dalam suatu sistem, di antaranya penerapan infulse response function (IRF) dan
forecast error variance decomposition (FEVD). Secara garis besar paling tidak
terdapat empat hal yang ingin diperoleh dari pembentukan sebuah sistem
persamaan yaitu deskripsi data, peramalan, inferensi struktural, dan analisis
kebijakan. Metode VAR menyediakan alat analisis untuk keempat hal tersebut
melalui empat macam penggunaannya yaitu, (1) untuk mengetahui hubungan
sebab akibat antar variabel, dapat menggunakan alat analisis Granger Causality
Test, (2) untuk memperkirakan nilai saat ini dan masa depan berdasarkan
informasi masa lalu (forecasting), (3) untuk melacak respons saat ini dan masa
depan setiap variabel akibat dari perubahan atau shock suatu variabel tertentu,
dengan menggunakan alat uji IRF, dan (4), untuk melakukan prediksi terhadap
kontribusi relatif varian setiap variabel terhadap perubahan atau variabilitas suatu
variabel tertentu, dapat menggunakan alat uji FEDV.
Sebagai gambaran persamaan dalam metode VAR, dimisalkan pada kasus
bivariat variabel, adalah y periode sekarang (yt) yang dipengaruhi oleh waktu
sekarang dan waktu lampau oleh variabel xt dan realisasi waktu lampau yt ,
demikian pula terhadap variabel xt.
Persamaan simultan pada kasus kedua
variabel tersebut menurut Enders (1995) adalah sebagai berikut.
79
yt = b10 - b12 xt + c11yt-1 + c12 xt-1 +
yt
xt = b20 - b21 yt + c21yt-1 + c22 xt-1 +
xt
........................................................
(3.10)
......................................................... (3.11)
Dari kedua persamaan tersebut, diasumsikan bahwa (1) kedua variabel
adalah stasioner; (2)
yt
deviasi masing-masing
dan
y
xt
dan
bersifat white noise disturbances dengan standard
x;
(c)
yt
dan
xt
tidak saling berhubungan. Kedua
persamaan di atas memiliki panjang lag satu dan saling mempengaruhi, misalnya
xt mempengaruhi yt dapat dilihat dari koefisien - b12. Jika b12 tidak nol maka
xt
memiliki pengaruh tidak langsung pada yt, demikian juga sebaliknya terhadap
koefisien - b21. Jika b21 tidak sama dengan nol, maka
yt
memiliki pengaruh tidak
langsung terhadap xt.
Persamaan (3.10) dan (3.11) dapat ditulis dalam bentuk singkat (compact)
sebagai berikut :
BZt =
0
+
1Zt-1
+
t
.…………………………..…………….....… (3.12)
keterangan :
c 
 1 b12 
y 
b 
c
 
B
, Z t   t , 0   10 , 1   11 12 ,  t   yt  ....... (3.13)

b21 1 
 xt 
b20 
c 21 c 22 
 xt 
Jika sisi kanan persamaan (3.12) dibagi B (matrik), maka persamaan dapat juga
ditulis dengan :
Zt = A0 + A1Zt-1 + et, ..…………..……………………………........ (3.14)
keterangan :
A0 = B-1
0;
A1 = B-1
1;
dan et = B-1
t
Apabila simbol koefisien pada persamaan (3.10) dan (3.11) diganti dengan a,
maka persamaan tersebut dapat ditulis kembali :
80
yt = a10 + a11yt-1 + a12 xt-1 + e1t ..................................................................... (3.15)
xt = a20 + a21yt-1 + a22 xt-1 + e2t ...................................................................... (3.16)
Diketahui e1t = B-1 t, maka selanjutnya e1t dan e2t dapat dihitung sebagai berikut :
Karena
e1t = (
yt
– b12
xt )
/ (1 – b12b21) .………………………………....…. (3.17)
e2t = (
xt
– b21
yt )
/ (1 – b12b21) ………………………………...…... (3.18)
xt
dan
yt
adalah proses white noice, sehingga
xt
dan
yt
mengikuti e1t dan
e2t yang memiliki nilai rata-rata nol, variannya konstan, dan tidak saling
berhubungan. Covariance dari e1t dan e2t adalah sebagai berikut:
Ee1t e2t = E[(
yt
– b12
xt )
(
xt
– b21
yt )]
/ (1 - b12b21)2 ......…….....…. (3.19)
Pada umumnya persamaan (3.19) tidak akan nol, dan kedua shocks tersebut akan
berkorelasi. Jika variance/covariance dinyatakan dalam bentuk matrik, maka
dapat dinyatakan sebagai berikut:
 2  12 
∑=  1
...…………………….....…….……..………….
2


 21
2 
(3.20)
ketarangan :
Var(e1t) =  1 2 dan  12   21 = Cov(e1t, e2t)
Dari contoh kasus di atas dapat dikembangkan lebih lanjut ke kasus lebih dari dua
variabel, sehingga pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan vektor matriks.
Hal-hal lain yang perlu diperhatikan dalam analisis VAR adalah tentang
identifikasi dan penentuan panjang lag optimal.
Dalam hubungannya dengan identifikasi, metode VAR adalah sistem
persamaan under-identified, karena jumlah koefisien yang diestimasi menjadi
lebih banyak karena lag variabel dibandingkan dengan jumlah persamaan dalam
sistem. Ada dua cara untuk mengatasi persoalan tersebut. Pertama, dengan cara
81
mengubah persamaan struktural ke dalam persamaan reduce form dan
menemukan parameternya. Cara ini banyak dilakukan oleh peneliti, karena untuk
menjelaskan hubungan antar variabel ekonomi tidak harus tergantung pada
asumsi-asumsi atau restriksi. Kedua adalah dengan cara mengimpose restriksi
untuk meng-cover kembali koofisien-koefisien dalam bentuk struktural dari hasil
estimasi yang dibuat dalam reduce form, dan model tersebut dinamakan struktural
VAR. Struktural VAR (S-VAR) merupakan hubungan secara teoritis, juga
merupakan bentuk VAR yang terestriksi, dimana restriksinya adalah berdasarkan
hubungan teoritis yang kuat dari variabel-variabel yang digunakan dalam sistem,
dan S-VAR sering disebut VAR teoritis. Pengembangan struktural VAR adalah
tetap menggunakan basis model VAR biasa.
Untuk membangun model VAR, yang juga perlu diperhatikan adalah
penentuan jumlah atau panjang lag. Model VAR sering dikritisi karena demikian
mudahnya menambah parameter yang berasal dari panjangnya lag variabel itu
sendiri. Peningkatan jumlah parameter n menyebabkan berkurangnya derajat
kebebasan (degree of freedom) oleh karena itu sifat parsimony dalam menentukan
panjangnya lag variabel merupakan kriteria penting daam membangun model
VAR. Kendatipun menentukan panjang lag penting untuk hasil yang memuaskan,
namun secara teoritis tidak ada ketentuan dalam memilih panjang lag dalam VAR.
Walaupun demikian metode yang diusulkan oleh Sims (1980) banyak menjadi
pedoman dalam membangun model VAR, yaitu dengan uji Likelihood Ratio (LR)
yang dapat dinyatakan sebagai berikut:
LR = ( T – C) (log  0 - log 1 ) …..…………………….……… (3.21)
82
Dimana  0 dan 1 masing-masing adalah restriksi (dengan lag p0) dan
unrestricted (dengan lag p1 atau > p0) matrik covariance yang didapat dari
estimasi dengan OLS reduce form VAR. Variabel T adalah jumlah observasi dan
C adalah pembenaran bias sampel yang sama dengan jumlah variabel pada
masing-masing
persamaan
unrestricted
dalam
sistem.
Secara
asimtut
didistribusikan secara X2 dengan degree of freedom sama dengan jumlah restriksi
dalam sistem persamaan. Penggunaan uji statistik LR ini dimaksudkan untuk
mendapatkan ordo VAR optimal yang dimulai dari nilai X2 (nilai-p) terbesar
hinga diperoleh nilai yang signifikan. Dengan kata lain ordo VAR optimal yang
dipilih adalah pada saat sebelum nilai-p pertama kali tidak signifikan pada level of
signifikan
= 0.05.
Cara lain untuk mendapatkan panjang lag adalah dengan menggunakan
seleksi kriteria seperti Akaike Information Criterion (AIC), Schwartz Bayesian
Criterion (SBC), yang dapat dinyatakan dengan rumus sebagai berikut :
AIC = T log 
+ 2M ..................................................................... (3.22)
SBC = T log 
+ M log T …………………………….…….….… (3.23)
Dimana M adalah jumlah parameter dalam sistem persamaan VAR. Dari hasil
yang diperoleh dengan membandingkan nilai AIC dan SBC untuk masing-masing
lag, lalu memilih panjang lag pada nilai yang paling rendah pada adjusted
Likeliihood Ratio.
Untuk mengetahui penggunaan metode VAR, maka di bawah ini akan
dijelaskan prosedur atau tahapan yang harus dilakukan hingga diperoleh suatu
manfaat analisis mulai dari uji stasionaritas data hingga peramalan.
83
3.2.1.1. Pengertian Stasioner
Pengertian stasioner terkait erat dengan konsistensi pergerakan data time
series. Suatu data disebut stasioner jika nilai rata-rata dan variansnya konstan
sepanjang waktu, yang diikuti dengan covarians antar dua periode waktu yang
hanya tergantung pada jarak atau selang di antara keduanya (Gujarati, 2003).
Secara sederhana data akan bergerak stabil dan konvergen di sekitar nilai rataratanya dengan kisaran tertentu (deviasi yang kecil) tanpa pergerakan trend positif
atau negatif. Pemanfaatan data yang tidak stasioner ke dalam suatu persamaan
regresi dapat menghasilkan hasil regresi yang bias (spurious regression), dengan
perangkat nilai statistik seperti t-statistik, F-statistik, dan R2 menjadi tidak valid.
3.2.1.2.
Pengujian Stasioneritas
Uji stasioner diperlukan karena variabel makroekonomi pada umumnya
merupakan data time series yang bersifat non-stasioner. Data series biasanya
fluktuatif dan cenderung membentuk suatu trend dalam jangka panjang. Pengujian
stasioner ini dimaksudkan untuk memenuhi asumsi data runtun waktu agar
terdistribusi secara normal dan independen (normally and indepently distributed),
dimana secara rata-rata mempunyai varian yang tetap dan kovariannya adalah nol.
Tujuannya adalah agar dapat diperoleh hasil yang lebih baik atau dapat
meminimalisir kesalahan-kesalahan ekonometrik. Dengan kata lain uji stasioner
dilakukan agar mean-nya stabil dan random error-nya sama dengan nol, sehingga
model regresi yang dihasilkan memiliki kemampuan prediksi yang handal dan
tidak menjadi bias. Menurut Gujarati (2003) keadaan stasioner tersebut dapat
dirumuskan secara matematis seperti berikut :
84
Mean
= E (Yt) = 
Variance
= var (Yt) = E (Yt- )2 = 2
Covariance
= E[(Yt - ) ( Yt+1 -  )]
Beberapa literatur seperti Thomas (1997), Gujarati (2003), Verbeck
(2000), secara umum menyebutkan bahwa uji stasioner dapat dilakukan dengan
beberapa metode, misalnya dengan metode grafik, correlogram, dan akar unit. Uji
akar unit dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan Augmented Dickey-Fuller
(ADF), dan metode Phillips-Perron (PP).
Uji stasioner dengan metode grafik, memberikan gambaran bagaimana
pergerakkan data time series. Uji grafik ini lebih mengandalkan pengamatan
tentang grafik yang disajikan. Oleh karena itu dapat diduga bahwa melalui
pengamatan suatu data stasioner atau tidak sehingga mean, variance, maupun
autocovariances-nya tidak terlihat (Enders,1995).
Uji stasioner correlogram, dapat dilihat dari grafik yang dihasilkan dari
suatu perhitungan data lag variabel tertentu. Berdasarkan analisis correlogram
dapat diketahui data dari variabel tertentu stasioner atau tidak. Sebagaimana
disarankan oleh Gujarati (2003) maksimum panjang lag dalam pengujian
correlogram adalah sepertiga dari jumlah observasi.
Uji akar unit (unit root test) dengan menggunakan metode ADF dan
metode Phillips Perron (PP) menggunakan rumus sebagai berikut :
Yt = Yt-1 + t.
Persamaan ini menunjukkan bahwa t adalah error term yang memiliki mean
sama dengan nol, variansnya konstan (2) dan tidak berkorelasi dalam beda
waktu. Tapi jika Yt-1 bernilai satu, maka dapat dinyatakan bahwa Yt memilki akar
85
unit yang dalam ekonometrik disebut random walk yang dapat ditulis dalam
persamaan seperti berikut, Yt =  Yt-1 + t, dimana  = 1. Untuk melakukan
pengujian dengan ADF dapat menerapkan regresi dalam bentuk-bentuk :
 Yt = Yt-1 + t
 Yt = 1 + Yt-1 + t
 Yt = 1 + 1t + Yt-1 + t.
Dimana t adalah variabel waktu atau trend. Untuk setiap kasus hipotesis nol  = 0,
maka variabel tersebut mengandung unit root. Pengujian dengan Phillips Perron
menggunakan metode non parametrik. Pengujian regresi adalah merupakan proses
autoregresive atau AR (1) yang dapat dinyatakan dengan rumus:
yt =  + yt-1 + t
Untuk keperluan pengujian hipotesis terhadap ADF maupun PP, menggunakan
hipotesis nol yaitu H0 :  =1, dan hipotesis alternatif adalah Ha :  < 1.
Masalah yang muncul dalam pengujian ADF dan PP adalah penentuan lag
yang akan dimasukkan dalam model. Panjang lag sulit diperkirakan, sehingga
panjang lag menjadi jebakan (pitfall). Jika lag terlalu panjang akan mengurangi
kemampuan untuk menolak hipotesis nol. Hal ini karena lag yang semakin
panjang akan mengakibatkan bertambahnya parameter estimasi, dan akan
berkurangnya derajat kebebasan (degree of freedom). Sebaliknya jika lag-nya
terlalu pendek menjadi tidak mampu untuk mengungkap proses kesalahan aktual
(the actual error process), akibatnya standard error tidak dapat diestimasi. Oleh
karena itu untuk menentukan panjang lag, Enders (1995) menyarankan dengan
melihat t-test dan atau F-test dari ADF maupun PP yang dimulai dari lag yang
panjang kemudian terus menurun sampai diperoleh lag yang berbeda dengan nol.
86
3.2.1.3. Uji Kointegrasi
Uji
kointegrasi
dilakukan
untuk
mengetahui
bagaimana
kondisi
keterkaitan antara dua variabel atau lebih dalam suatu sistem persamaan. Dengan
kata lain uji kointegrasi dilakukan untuk mendeteksi stabilitas hubungan jangka
panjang baik pada kasus univariate maupun pada kasus multivarariate (Thomas,
1997). Sedangkan menurut Enders (1995) yang dimaksud dengan kointegrasi
adalah hubungan antar variabel bersifat kombinasi linier pada variabel non
stasioner, dan terjadi integrasi pada ordo yang sama. Untuk menguji suatu
persamaan kointegrasi dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain :
1.
Uji kointegrasi dengan model Engle-Granger (EG). Uji ini dilakukan dengan
melakukan regresi terhadap persamaan, kemudian residualnya di uji dengan
ADF. Jika uji akar unit terhadap residual signifikan, berarti variabel-variabel
dalam persamaan regresi telah terkointegrasi, yang berarti antara variabel
bebas dan variabel tak bebas memiliki hubungan jangka panjang.
2.
Uji kointegrasi dengan cointegrating regression Durbin-Watson (CRDW).
3.
Uji kointegrasi Johansen (Johansen cointegrating test).
3.2.1.4. Impulse Response dan Variance Decomposition
Sebagaimana telah disebutkan di atas, pendekatan VAR menyediakan
tools yang bermanfaat untuk menguji hubungan kausalitas yang dinamis antar
variabel di dalam sistem. Salah satu alat tersebut adalah analisis Impulse
Response Function (IRF). IRF menggambarkan arah dan ukuran pengaruh dari
suatu guncangan struktural pada masing-masing sistem variabel melalui jangka
waktu. Sebagai ilustrasi dapat dinyatakan dalam perumusan berikut :
Xt = Co Et + C1 Et-1+ C2 Et-2 + C3 Et-3 + C4 Et-4 + ........................ (3.24)
87
Kelompok variabel endogen merupakan elemen dari Ck yang akan dipengaruhi
oleh guncangan struktural pada variabel tertentu. Jadi dengan demikian
menggambarkan respon dari variabel-variabel struktural terhadap guncangan
variabel endogen lainnya dalam sistem persamaan.
Cara lain untuk menyelidiki hubungan timbal balik yang dinamis di antara
variabel struktural adalah dengan dekomposisi atau pemisahan ragam kesalahan
peramalan (forecast error variance decomposition). FEVD memberikan gambaran
tentang proporsi pergerakkan dalam suatu variabel sistem yang berkaitan dengan
masing-masing guncangan struktural. Sebagai gambaran rata-rata bergerak untuk
satu periode di masa datang sebagai berikut :
Xt+1 = Co Et+1 + C1 Et + C2 Et-1 + C3 Et-2 + C4 Et-3 + ..................... (3.25)
Ekspektasi dari Xt+1 yang bersyarat dan Et Xt+1 sebagai pengurang dari Xt+1,
kesalahan ramalan satu tahap ke depan dapat dihitung sebagai berikut:
Xt+1- EtXt+1 = Co Et+1
............................................................... (3.26)
Dengan cara yang sama, kesalahan ramalan untuk dua tahap dan tiga tahap ke
depan dapat dihitung, seperti di bawah ini.
Xt+2 - EtXt+2 = Co Et+2 + C1 Et+1 ............................................. (3.27)
Xt+3 - Etxt+3= Co Et+3 + C1 Et+2 + C2 Et+1 ................................ (3.28)
Secara umum kesalahan ramalan tahap ke-n ke depan dapat ditulis sebagai :
Xt+n - EtXt+n = Co Et+n + C1 Et+n-1 + C2 Et+n-2 + ...+ Cn-1 Et+1 ...... (3.29)
Secara sederhana misalnya Xt= [ X1t, X2t]' dan Et= [ E1t, E2t]. Kemudian,
kesalahan ramalan tahap ke-n X1t dapat ditulis sebagai berikut:
88
X1t+N- EtX1t+n = Co (1,1) E1t+n-1 + C1 (1,1) Elt+n -1 + C2 (1,1)
E1t+n-2 + ..... + Cn-1 (1,1) E1t+1 + Co (1,2)E1t+n + C1 (1,2) E2t+n-2 +
....+ Cn-1(1,2) E2t+1 …………………………………..................... (3.30)
Di mana Ck (i, j) menandakan unsur Ck. Kemudian, kesalahan ramalan pada
tahap ke-n ke depan dari variabel X1,
2
1n
1n
2
, dapat dinyatakan sebagai berikut:
= [ Co(1,1)2 + C1(1,1)2 + C2(1,1)2 + ...+ Cn-1(1,1)2]
+ [ Co(1,2)2 + C1(1,2)2 + C2(1,2)2 + ... + Cn-1(1,2)2] …....... (3.31)
Persamaan di atas menunjukkan bahwa ragam (variance) kesalahan peramalan X1
dapat dikomposisi / pemisahan ke dalam ragam yang disebabkan oleh (E1t) dan
(E2t). Secara relatif
2
1n
dalam kaitan dengan suatu goncangan (E1t) dan (E2t)
dapat diuraikan sebagai berikut:
Co(1,1)2 + C1(1,1)2+ C2(1,1)2+ …+ Cn-1 (1,1) 2] /
1n
[Co(1,2)2 + C1(1,2)2 + C2(1,2)2 +…+ Cn-1 ( 1, 2) 2] /
2
dan
2
1n .
............. (3.32)
3.2.2. Mekanisme Keterkaitan antar Variabel Penelitian
Secara operasional, analisis pengaruh ekspor pertanian dan ekspor industri
manufaktur terhadap kinerja makroekonomi dapat dilakukan dengan mengacu
kepada kerangka teori di atas dan kondisi riil perekonomian Indonesia yang ada
sekarang. Kinerja makroekonomi Indonesia dalam penelitian ini diukur melalui
variabel-variabel Produk Domestik Bruto, neraca perdagangan, inflasi, dan nilai
tukar rupiah terhadap dolar Amerika. Sedangkan variabel perdagangan luar negeri
yang dalam hal ini ekspor, mencakup ekspor pertanian dan ekspor industri yang
dibedakan atas ekspor non agroindustri dan ekspor agroindustri.
89
3.2.3. Model Umum VECM
Keterkaitan antara variabel ekspor dengan variabel kinerja makroekonomi
akan disesuaikan dengan tujuan penelitian, sehingga dibangun model ekonometrik
yang dispesifikasikan dengan model VECM. Spesifikasi model VECM secara
umum bentuk persamaannya menurut Sinha (1999) adalah sebagai berikut:
p 1
Z t 
 i  Z t  i   Z t  1   0   1 t   t
…………........... (3.33)
i 1
keterangan :

= ’ yaitu matrik parameter

= Matrik koefisien ECM
’
= Transpose vektor kointegrasi
p-1
= Ordo VECM yang berasal dari lag optimal VAR
Zt = Vektor first difference ( Zt – Z t-1)
o
= Vektor intersep
1
= Vektor koefisien regresi
Zt
= Variabel penelitian (PDB, BOT, IHK, ER, XPT, XAI, XNAI)
i
= Matrik koefisien regresi
t
= Vektor error term
t
= Waktu.
90
Download