II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembelajaran Konstruktivisme Teori-teori baru dalam psikologi pendidikan dikelompokkan dalam teori pem-belajaran konstruktivis (constructivist theories of learning). Teori konstruktivis ini menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya, apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai. Sedangkan bagi siswa, agar benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, berusaha lebih bekerja keras dengan ide-ide. Teori ini berkembang dari kerja Piaget, Vygotsky, teori-teori pemrosesan informasi, dan teori psikologi kognitif yang lain, seperti teori Bruner (Slavin dalam Atika, 2002). Konstruktivisme merupakan landasan berpikir pendekatan kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata . Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan kepada siswa. Siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan dibenak mereka sendiri. Esensi dari teori konstruktivis adalah ide bahwa siswa harus menemukan dan mentrans-formasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan apabila dikehendaki, informasi itu menjadi milik sendiri (Trianto dalam Atika, 2011). Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi, akomodasi dan ekuilibrasi. Asimilasi ialah pe-maduan data baru dengan struktur kognitif yang ada. Akomodasi ialah penye-suaian struktur terhadap situasi baru, dan equilibrasi ialah penyesuaian kembali yang telah dilakukan antara asimilasi dan akomodasi (Bell, 1994). Prespektif kognitif-konstruktivis, yang menjadi landasan Pembelajaran Problem Solving, banyak meminjam pendapat Piaget (1954,1963). Prespektif ini mengatakan bahwa pelajar dengan umur berapapun terlibat secara aktif dalam proses men-dapatkan informasi dan mengonstruksikan pengetahuannya sendiri. Pengetahuan tidak statis, tetapi berevolusi dan berubah secara konstan selama pelajar mengon-struksikan pengalaman-pengalaman baru yang memaksa mereka untuk mendasar-kan diri pada dan memodifikasi pengetahuan sebelumnya. Keyakinan Piaget ini berbeda dengan keyakinan Vygotsky dalam beberapa hal penting. Bila Piaget memfokuskan pada tahap-tahap perkembangan intelektual yang dilalui anak terlepas dari konteks sosial atau kulturalnya, Vygotsky menekankan pentingnya aspek sosial belajar. Vygotsky percaya bahwa interaksi sosial dengan orang lain memacu pengonstruksian ide-ide baru dan meningkatkan perkembangan intelektual pelajar. Salah satu ide kunci yang berasal dari minat Vygotsky pada aspek sosial pembelajaran adalah konsepnya tentang zone of proximal development. Menurut Vygotsky, pelajar memiliki dua tingkat perkembangan yang berbeda yakni tingkat perkembangan aktual dan tingkat perkembangan potensial. Tingkat perkembangan aktual, menentukan fungsi intelektual individu saat ini dan ke-mampuannya untuk mempelajari sendiri hal-hal tertentu. Individu juga memiliki tingkat perkembangan potensial, yang oleh Vygotsky didefinisikan sebagai tingkat yang dapat difungsikan atau dicapai oleh individu dengan bantuan orang lain, misalnya guru, orang tua, atau teman sebayanya yang lebih maju. Zona yang terletak diantara kedua tingkat perkembangan inilah yang disebutnya sebagai zone of proximal development (Arends dalam Septiana, 2011). B. Model Problem Solving Salah satu pembelajaran konstruktivisme adalah pembelajaran yang menggunakan model problem solving. Model problem solving adalah model pembelajaran yang menuntut siswa belajar untuk memecahkan masalah baik secara individu maupun kelompok. Oleh karena itu dalam pembelajaran siswa harus aktif agar dapat memecahkan masalah yang diberikan oleh guru. Problem solving adalah suatu langkah pembelajaran yang dilaksanakan dengan cara siswa mencari kebenaran pengetahuan dan informasi tentang konsep, hukum, prinsip, kaidah, dan sejenis-nya, mengadakan percobaan, bertanya secara tepat serta mencari jawaban masalah berdasarkan pemahaman konsep, prinsip dan kaidah yang telah dipelajari. Masalah pada hakikatnya merupakan bagian dalam kehidupan manusia. Masalah yang sederhana dapat dijawab melalui proses berpikir yang sederhana, sedangkan masalah yang rumit memerlukan langkah-langkah pemecahan yang rumit pula. Masalah pada hakikatnya adalah suatu pertanyaan yang mengandung jawaban. Suatu pertanyaan mempunyai peluang tertentu untuk dijawab dengan tepat, bila pertanyaan itu dirumuskan dengan baik dan sistematis. Ini berarti, pemecahan suatu masalah menuntut kemampuan tertentu pada diri individu yang hendak memecahkan masalah tersebut (Rofiana, 2005). Pemecahan masalah adalah suatu proses mental dan intelektual dalam menemukan suatu masalah dan memecahkannya berdasarkan data dan informasi yang akurat, sehingga dapat diambil kesimpulan yang tepat dan cermat. Proses pemecahan masalah memberikan kesempatan peserta didik berperan aktif dalam mempelajari, mencari, dan menemukan sendiri informasi untuk diolah menjadi konsep, prinsip, teori, atau kesimpulan. Dengan kata lain, pemecahan masalah menuntut kemampuan memproses informasi untuk membuat keputusan tertentu (Hidayati, 2006). Langkah-langkah model problem solving (Depdiknas, 2008) yaitu meliputi : 1. 2. 3. 4. 5. Ada masalah yang jelas untuk dipecahkan. Masalah ini harus tumbuh dari siswa sesuai dengan taraf kemampuannya. Mencari data atau keterangan yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah tersebut. Misalnya, dengan jalan membaca buku-buku, meneliti, bertanya dan lainlain. Menetapkan jawaban sementara dari masalah tersebut. Dugaan jawaban ini tentu saja didasarkan kepada data yang telah diperoleh, pada langkah kedua di atas. Menguji kebenaran jawaban sementara tersebut. Dalam langkah ini siswa harus berusaha memecahkan masalah sehingga betul-betul yakin bahwa jawaban tersebut itu betul - betul cocok. Apakah sesuai dengan jawaban sementara atau sama sekali tidak sesuai. Untuk menguji kebenaran jawaban ini tentu saja diperlukan kegiatan lainnya seperti demonstrasi, tugas, diskusi, dan lain-lain. Menarik kesimpulan. Artinya siswa harus sampai kepada kesimpulan terakhir tentang jawaban dari masalah tadi. Kelebihan dan kekurangan model problem solving menurut Dzamarah dan Zain (2002) adalah sebagai berikut: 1. Kelebihan model problem solving a. Dapat membuat pendidikan di sekolah menjadi lebih relevan dengan kehidupan. b. Proses belajar mengajar melalui pemecahan masalah dapat membiasakan para siswa menghadapi dan memecahkan masalah secara terampil. c. Merangsang pengembangan kemampuan berfikir siswa secara kreatif dan menyeluruh, karena dalam proses belajarnya, siswa banyak melakukan mental dengan menyoroti permasalahan dari berbagai segi dalam rangka mencari pemecahannya. 2. Kekurangan model problem solving a. Menentukan suatu masalah yang tingkat kesulitannya sesuai dengan ting-kat berfikir siswa, tingkat sekolah dan kelasnya serta pengetahuan dan pe-ngalaman yang telah dimiliki siswa, sangat memerlukan kemampuan dan keterampilan guru b. Proses belajar mengajar dengan menggunakan metode ini sering memerlu-kan waktu yang cukup banyak dan sering terpaksa mengambil waktu pel-ajaran lain c. mengubah kebiasaan siswa belajar dengan mendengarkan dan menerima informasi dari guru menjadi belajar dengan banyak berfikir memecahkan permasalah sendiri atau kelompok, yang kadang-kadang memerlukan berbagai sumber belajar, merupakan kesulitan tersendiri bagi siswa. C. Keterampilan Berpikir Kritis Menurut kamus Webster’s dalam Atika (2011) menyatakan, “Kritis” (critical) adalah “Menerapkan atau mempraktikan penilaian yang teliti dan obyektif” sehingga “berpikir kritis” dapat diartikan sebagai berpikir yang membutuhkan kecermatan dalam membuat keputusan. Pengertian yang lain diberikan oleh Suryanti dalam Atika (2011) yaitu: berpikir kritis merupakan proses yang bertujuan untuk membuat keputusan yang masuk akal mengenai apa yang kita percayai dan apa yang kita kerjakan. Berpikir kritis merupakan salah satu tahapan berpikir tingkat tinggi. Sugiarto dalam Atika (2011) mengkategorikan proses berpikir kompleks atau berpikir tingkat tinggi ke dalam empat kelompok yang meliputi pemecahan masalah (problem solving), pengambilan keputusan (decision making), berpikir kritis (critical thinking), dan berpikir kreatif (creative thinking). Berpikir kritis diperlukan dalam kehidupan karena dalam kehidupan di masyarakat, manusia selalu dihadapkan pada permasalahan yang memerlukan pemecahan. Untuk memecahkan suatu permasalahan tertentu diperlukan data-data agar dapat dibuat keputusan yang logis, dan untuk membuat suatu keputusan yang tepat, diperlukan kemampuan kritis yang baik. Ennis (1985) menyatakan bahwa : Berpikir kritis merupakan suatu proses berpikir secara beralasan dan reflektif dengan menekankan pembuatan keputusan, sebagai apa yang harus dipercaya atau dilakukan. Berpikir kritis adalah kemampuan memberi alasan secara terorganisasi dan meng-evaluasi kualitas suatu alasan secara sistematis. Ennis dalam Costa (1985), me-nyebutkan ada lima aspek berpikir kritis, yaitu a) memberi penjelasan dasar (klarifikasi), b) membangun keterampilan dasar, c) menyimpulkan, d) memberi penjelasan lanjut, dan e) mengatur strategi dan taktik. Menurut R. Swartz dan D. N. Perkins, berpikir kritis berarti 1) bertujuan untuk mencapai penilaian yang kritis terhadap apa yang akan diterima dan dilakukan dengan alasan yang logis, 2) memakai standar penilian sebagai hasil dari berpikir kritis dalam membuat keputusan, 3) menerapkan berbagai strategi yang tersusun dan memberikan alasan untuk menentukan dan menerapkan standar tersebut, dan 4) mencari dan menghimpun informasi yang dapat dipercaya untuk dipakai sebagai bukti yang dapat mendukung suatu penilaian. Menurut Ennis (1989) terdapat 12 indikator keterampilan berpikir kritis (KBKr) yang dikelompokkan dalam lima kelompok keterampilan berpikir. Kelima kelom-pok keterampilan tersebut adalah: memberikan penjelasan sederhana (elementary clarification), membangun keterampilan dasar (basic support), menyimpulkan (interfence), membuat penjelasan lebih lanjut (advance clarification), serta stra-tegi dan taktik (strategy and tactics. Tabel 1. Keterampilan Berpikir Kritis Menurut Ennis No Kelompok Indikator Memfokuskan pertanyaan 1 Memberikan penjelasan sederhana 2 Membangun keterampilan dasar Sub Indikator a. Mengidentifikasi atau merumuskan pertanyaan b. Mengidentifikasi atau merumuskan kriteria untuk mempertimbangkan kemungkinan jawaban c. Menjaga kondisi berpikir a. Mengidentifikasi kesimpulan b. Mengidentifikasi kalimatkalimat pertanyaan c. Mengidentifikasi kalimatkalimat bukan bukan Menganalisis pertanyaan argumen d. Mengidentifikasi dan menangani ketidaktepatan e. Melihat struktur dari suatu argumen f. Membuat ringkasan a. Menyebutkan contoh Bertanya dan b. Mengapa? Apa ide menjawab utamamu? Apa yang anda pertanyaan maksud..? Apa yang membuat perbedaan....? a. Mempertimbangkan keahlian Mempertimbangkan b. Mempertimbangkan apakah sumber kemenarikan konflik dapat dipercaya c. Mempertimbangkan atau tidak kesesuaian sumber No Kelompok Lanjutan tabel 1 Indikator Sub Indikator d. Mempertimbangkan reputasi e. Mempertimbangkan penggunaan prosedur yang tepat f. Mempertimbangkan resiko untuk reputasi g. Kemampuan untuk memberikan alasan h. Kebiasaan berhati-hati. a. Melibatkan sedikit dugaan b. Menggunakan waktu yang singkat antara observasi dan laporan. c. Melaporkan hasil observasi Mengobservasi dan d. Merekam hasil observasi mempertimbangkan e. Menggunakan bukti-bukti laporan observasi yang benar f. Menggunakan akses yang baik g. Menggunakan teknologi h. Mempertanggungjawaban hasil observasi. a. Siklus logika-Euler Mendeduksi dan b. Mengkondisikan logika mempertimbangkan c. Menginterpretasikan hasil deduksi pernyataan Menginduksi dan mempertimbangkan hasil induksi 3 Menyimpulkan Membuat dan menentukan hasil pertimbangan 4 Memberikan penjelasan lanjut Mendefinisikan istilah dan mempertimbangkan suatu definisi a. Mengemukakan hal yang umum b. Mengemukakan kesimpulan dan hipotesis a. Membuat dan menentukan hasil pertimbangan sesuai latar belakang fakta-fakta b. Membuat dan menentukan hasil pertimbangan berdasarkan akibat c. Menerapkan konsep yang dapat diterima d. Membuat dan menentukan hasil pertimbangan keseimbangan masalah. a. Membuat bentuk definisi(sinonim, klasifikasi, rentang ekivalen, rasional, contoh, bukan contoh) b. Strategi membuat definisi c. Membuat isi definisi. Lanjutan tabel 1 No Kelompok Indikator Sub Indikator a. Penjelasan bukan pernyataan b. Mengkonstruksi argumen Mengidentifikasi asumsi-asumsi Menentukan suatu tindakan 5 Mengatur strategi dan taktik Berinteraksi denganorang lain a. Mengungkap masalah b. Memilih kriteria untuk mempertimbangkan solusi yang mungkin c. Merumuskan solusi alternatif d. Menentukan tindakan sementara e. Mengulang kembali f. Mengamati penerapannya a. Menggunakan argumen b. Menggunakan strategi logika c. Menggunakan strategi retorika d. Menunjukkan posisi, orasi, atau tulisan Dari kedua belas indikator keterampilan berfikir kritis menurut Ennis, yang akan dikembangkan adalah indikator membuat deduksi dan mempertimbangkan hasil deduksi yang difokuskan pada keterampilan menyatakan negasi serta indikator membuat induksi dan mempertimbangkan hasil induksi yang berfokus pada keterampilan menyatakan hubungan sebab akibat seperti digambarkan pada tabel 2 di bawah ini. Tabel 2. Indikator yang dikembangkan Kelompok Indikator Mendeduksi dan mempertimbangkan hasil deduksi Kesimpulan Menginduksi dan mempertimbangkan hasil induksi D. Kerangka Pemikiran Sub indikator Menginterpretasikan pernyataan : 1. Menyatakan negasi Mengemukakan kesimpulan dan hipotesis: 1. Menyatakan hubungan sebab akibat Berdasarkan tinjauan pustaka yang dikemukakan sebelumnya bahwa pada tahap pertama model pembelajaran problem solving, siswa diorientasikan pada masalah. Pada tahap tersebut, diharapkan siswa akan terstimulus untuk mendefinisikan masalah yang mereka hadapi. Pada tahap kedua yakni mencari data atau keterangan yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah, siswa akan mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang masalah yang sedang dihadapi. Kemudian, pada tahap ketiga yakni menetapkan jawaban sementara dari permasalahan yang diberikan. Pada tahap keempat yakni menguji kebenaran dari jawaban sementara, siswa akan terpacu untuk melakukan eksperimen dalam rangka untuk memecahkan masalah berdasarkan fakta dalam eksperimen tersebut. Pada tahap kelima yakni menarik kesimpulan, ketika siswa telah mendapatkan kesimpulan dari permasalahan, diharapkan siswa dapat menyatakan hubungan sebab akibat dari pengujian hipotesis dengan hasil pengamatan yang di dapat dan dapat membuat suatu negasi dari pernyataan hubungan sebab akibat tersebut. Pada akhirnya, berdasarkan uraian dan langkah-langkah di atas, diharapkan model pembelajaran problem solving dapat meningkatkan keterampilan menyatakan hubungan sebab akibat dan keterampilan menyatakan negasi siswa. E. Anggapan Dasar Anggapan dasar dalam penelitian ini adalah: 1. Siswa kelas XI IPA1 semester genap SMA Negeri 1 Batanghari TP 2011-2012 memeiliki kemampuan dasar yang sama. 2. Faktor - faktor lain yang dapat mempengaruhi peningkatan keterampilan menyatakan hubungan sebab akibat dan Keterampilan menyatakan negasi materi kelarutan dan hasil kali kelarutan siswa kelas XI semester genap SMA Negeri 1 Batanghari TP 2011-2012 pada kelas XI IPA1 diusahakan sekecil mungkin sehingga dapat diabaikan. b. Perbedaan skor pretes dan postes pada keterampilan menyatakan hubungan sebab akibat dan negasi siswa pada materi kelarutan dan hasil kali kelarutan semata-mata terjadi karena adanya perlakuan yang diberikan dalam proses pembelajaran. F. Hipotesis Umum Hipotesis umum dalam penelitian ini adalah: Pembelajaran Problem Solving pada materi kelarutan dan hasil kali kelarutan efektif dalam meningkatkan keterampilan menyatakan hubungan sebab akibat dan negasi.