BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Antibiotik merupakan obat yang sangat penting untuk menanggulangi penyakit infeksi di dunia. Penggunaan antibiotik secara tidak tepat akan menyebabkan resiko penyakit lain yang tidak diinginkan pada pasien. Terlalu banyak menggunakan antibiotik dengan dosis yang tidak tepat dapat memicu resistensi bakteri terhadap antibiotik. Kasus resistensi bakteri ini salah satunya disebabkan karena adanya mutasi dan tansfer gen resisten antar bakteri. Transfer gen dilakukan secara horisontal oleh plasmid atau transposon dengan melakukan rekombinasi DNA asing pada suatu lokus kromosom atau bisa juga terjadi pada lokus kromosom yang berbeda. Hal ini menyebabkan perubahan pada nilai MIC dan ketidakstabilan antibiotik itu sendiri (Martinez & Baquero, 2000). Infeksi peyakit dapat disembuhkan dengan pemberian vaksin atau antibiotik. Pemberian material tersebut masing-masing mempunyai kelebihan dan kelemahan. Beberapa penyakit memang tidak bisa disembuhkan hanya dengan vaksin saja, karena vaksin hanya berfungsi untuk membentuk sistem kekebalan tubuh sedangkan antibiotik tetap menjadi obat yang penting karena dapat merusak komponen yang membawa infeksi penyakit tersebut (Kasanah et al., 2015). Penemuan antibiotik baru yang berkelanjutan sangat penting bukan hanya karena adanya kasus resistensi bakteri tetapi juga untuk terus melawan berkembangnya mikroorganisme yang menyebabkan munculnya patogen baru. Selain itu Spížek et al., (2010) juga menyebutkan penemuan antibiotik baru juga disebabkan adanya multidrugs resistance. Pada tahun 2004, ditemukan lebih dari 70% bakteri patogen resisten terhadap lebih dari satu antibiotik klinis yang digunakan (Katz et al., 2006). Kasus Multidrug Resistance Tuberculosis (MDRTB) pada tahun 2014 meningkat hingga mencapai 480.000 kasus dan 190.000 di antaranya meninggal dunia (WHO, 2015). Contoh lain adalah kasus munculnya strain baru bakteri gram positif Enterococcus yang resisten terhadap vankomisin disebut Vancomycin Resistant Enterococci (VRE). Strain VRE ini lebih parahnya lagi dapat mentransfer resistensi vankomisin untuk bakteri yang tidak berhubugan 1 seperti MRSA (methicillin resistant Staphylococcus aureus) dan strain ini berganti nama VRSA (vancomycin resistant Staphylococcus aureus). Selain itu, organisme VRE, seperti MRSA, biasanya tahan terhadap lebih dari satu antibiotik (Cetinkaya et al., 2000). Penemuan antibiotik baru sangat diperlukan karena beberapa antibiotik yang dirilis di pasar mempunyai limited shelf-life sehingga antibiotik tersebut menjadi tidak aktif pada rentang waktu tertentu. Selain itu tidak semua penyakit dapat diobati dengan antibiotik karena antibiotik bekerja spesifik terhadap bakteri tertentu, dan juga sampai saat ini belum ada antibiotik yang sangat efektif dalam mengobati penyakit (Kasanah & Hamman, 2004). Sementara itu, baru-baru ini ditemukan pendekatan terbaru dalam penemuan antibiotik menggunakan genom bakteri dan kombinatorial kimia tetapi belum banyak menghasilkan antibiotik yang layak digunakan secara klinis. Salah satu strategi untuk mengatasi beberapa masalah diatas adalah dengan skrining dan identifikasi senyawa bioaktif jenis baru dengan aktivitas spektrum yang lebih luas. Pengembangan teknologi antibiotik mencakup tiga strategi yaitu penemuan target baru, modifikasi struktur antibiotik yang sudah ada, dan identifikasi senyawa dari sumber terbarukan sebagai kandidat senyawa antibiotik yang baru (Kasanah & Hamman, 2004). Penemuan senyawa bioaktif kini mulai difokuskan pada ekosistem laut. Laut merupakan ekosistem yang unik dengan berbagai macam parameter lingkungan seperti salinitas yang tinggi, temperatur dan pH yang ekstrim, tekanan yang tinggi dan mimimnya ketersediaan nutrisi (Mander & Liu, 2010). Kondisi ekosistem yang demikian akan merangsang organisme laut untuk memproduksi senyawa metabolit yang unik sebagai bentuk pertahanan diri dari cekaman lingkungannya. Blunt et al., 2015 melaporkan sebanyak 24.662 senyawa bioakif berhasil diisolasi dari organisme laut dari tahun 1963-2015. Organisme laut penyedia senyawa bioaktif tersebut diantaranya sponge, karang lunak, alga, bakteri simbion dan invertebrata lainnya. Alga merah merupakan organisme laut penghasil senyawa halogen terbesar. Sebagian besar alga merah hidup sebagai inang bagi bakteri laut, salah satunya aktinobakteria. Baik alga merah maupun bakteri asosiasi keduanya menghasilkan metabolit sekunder. Pemanfaatan bakteri asosiasi dari biota laut sebagai sumber senyawa bioaktif lebih efisien jika 2 dibandingkan dengan inangnya. Siklus hidup yang singkat serta kemampuan untuk dapat dikulturkan secara in vitro merupakan faktor yang penting dalam pemanfaatan bakteri simbion tersebut untuk produksi senyawa bioaktif. Sebaliknya pemanfaatan biota laut sebagai produsen dapat mengakibatkan eksploitasi organisme tersebut secara terus-menerus, sehingga dapat menganggu keseimbangan ekosistem laut (Piel et al., 2004). Aktinobakteria merupakan bakteri Gram positif yang sering ditemukan sebagai simbion pada biota laut terutama alga merah. Sekitar 80% antibiotik yang telah ditemukan dihasilkan oleh aktinobakteria terutama Streptomyces dan Micromonospora (Sateesh et al., 2011). Beberapa metabolit sekunder yang dihasilkan oleh aktinobakteria laut antara lain abysomicin C, diazepinomicin, dan salinoporamide A (Lam, 2006). Disamping antibiotik, aktinobakteria juga mampu menghasilkan metabolit sekunder lain yaitu agen antitumor, immunosupresif, antifungi, neuritogenik, antikanker, anti malaria dan antiinflamasi (Ravikumar et al., 2011). Karena peran yang sangat penting inilah banyak penelitian mulai difokuskan untuk isolasi aktinobakteria dari laut. Salah satu cara seleksi aktinobakteria adalah melalui pendekatan genetik dengan mendeteksi gen target yang berperan dalam biosintesis senyawa bioaktif. Salah satu proses yang penting dalam biosintesis senyawa bioaktif yaitu halogenasi. Halogenasi melibatkan enzim terhalogenasi yang dalam pembentukannya dikode oleh beberapa gen salah satunya gen FADH2 dependent halogenase. Gen FADH2 dependent halogenase merupakan tayloring gene yang berfungsi menentukan aktivitas suatu senyawa bioaktif. Gen ini berhasil mengkode pembentukan senyawa organohalogen yang bermanfaat sebagai antibiotik seperti kloramfenikol, vankomisin, dan teikoplanin (Pee, 2003). Gen FADH2 dependent halogenase merupakan gen pengkode enzim yang mengkatalis pembentukan senyawa halogen pada alga merah sebagai inang bagi aktinobakteria. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi gen FADH2 dependent halogenase pada aktinobakteria dan menguji aktivitas antibakteri senyawa bioaktif yang dihasilkan oleh aktinobakteria yang berasosiasi dengan alga merah Gelidiella acerosa indigenous Gunungkidul Yogyakarta. 3 B. Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, maka pada penelitian ini dapat diperoleh permasalahan sebagai berikut : 1. Belum diketahui keberadaan dan jenis aktinobakteria yang berasosiasi dengan alga merah Gelidiella acerosa. 2. Belum diketahui keberadaan gen FADH2 dependent halogenase pada aktinobakteria yang berasosiasi dengan alga merah Gelidiella acerosa. 3. Belum diketahui aktivitas antibakteri dari metabolit sekunder yang dihasilkan oleh aktinobakteria. 4. Belum diketahui pohon filogenetik alga merah Gelidiella acerosa. C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengisolasi aktinobakteria yang berasosisasi dengan alga merah Gelidiella acerosa. 2. Mendeteksi keberadaan gen FADH2 dependent halogenase pada isolat aktinobakteria yang berasosiasi dengan alga merah Gelidiella acerosa. 3. Mengetahui aktivitas antibakteri dari metabolit sekunder yang dihasilkan oleh aktinobakteria. 4. Mengetahui konstruksi pohon filogenetik alga merah jenis Gelidiella acerosa. D. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini yaitu dapat memberikan informasi mengenai senyawa bioaktif yang dihasilkan oleh aktinobakteria yang berasosiasi dengan alga merah jenis Gelidiella acerosa dan senyawa tersebut memiliki prospek untuk diisolasi dan dimanfaatkan dalam bidang pengobatan. Selain itu, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam pencarian sumber alternatif antibiotik yang menjanjikan. 4