BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sejarah Manajemen Keuangan Seperti semua ilmu pengetahuan, ilmu manajemen keuangan juga memiliki pergeseran topik sejak ilmu tersebut pertama kali dikembangkan hingga saat ini. Menurut Brigham and Houston (2001), terdapat empat tahap perkembangan ilmu manajemen keuangan. Masing masing tahap tersebut dipengaruhi oleh iklim bisnis dan perkembangan dunia usaha saat itu. Adapun pembagian keempat tahap tersebut adalah sebagai berikut : Tahap pertama dimulai pada awal tahun 1900s saat pertama kali ilmu manajemen keuangan ini muncul. Pada saat itu, fokus utama dari ilmu manajemen keuangan adalah aspek legalitas dari proses merger perusahaan, pembentukkan perusahaan baru, serta penerbitan sejumlah instrumen keuangan perusahaan guna memperoleh dana segar dari pasar modal. Tahap kedua dimulai pada tahun 1930s ketika ekonomi dunia dan khususnya Amerika Serikat mengalami resesi yang cukup berat. Dan sesuai dengan kondisi saat itu, maka fokus dari ilmu manajemen keuangan adalah yang berhubungan dengan masalah kebangkrutan perusahaan, reorganisasi perusahaan serta pembentukkan regulasi pasar modal. Salah satu produknya adalah berdirinya badan Security of Exchange Committee (SEC) yang bertugas sebagai regulator dan pengawas pasar modal Amerika Serikat. 11 12 Tahap ketiga dimulai pada akhir tahun 1940s dan awal tahun 1950s. Yang menarik dari perkembangan ilmu manajemen keuangan pada tahap ini adalah mulai berubahnya sudut pandang ilmu manajemen keuangan, dari yang sebelumnya diambil dari sudut pandang manajemen internal perusahaan ke sudut pandang pihak luar atau stakeholder. Dan terakhir tahap keempat yang dimulai pada akhir tahun 1950s, merupakan kelanjutan atau pengembangan lebih mendalam dari tahap ketiga yang melihat sudut pandang ilmu manajemen keuangan dari sisi outsider. Pada tahap ini mulai dikembangkan pengertian memaksimalkan nilai pemegang saham, sebagai tujuan utama dari manajemen perusahaan, yang mana sudut pandang ini hingga saat ini masih berlaku. Sementara itu, Scott, Jr et al. (1999) meringkas semua perkembangan ilmu manajemen keuangan tersebut menjadi sebuah fungsi, dimana manajemen keuangan sebuah perusahaan seharusnya memfokuskan dirinya pada penciptaan kekayaan ekonomi bagi pemegang saham, serta berusaha agar penciptaan kekayaan ekonomi tersebut tidak berhenti. 2.2 Tujuan Perusahaan Seperti sejarah perkembangan ilmu manajemen yang mengalami perubahaan sepanjang masa, tujuan dari pendirian sebuah perusahaan juga mengalami perkembangan yang disesuaikan oleh tuntutan jaman. 13 Menurut Scott, Jr et al. (1999) ada dua tujuan utama pendirian dan pengoperasian sebuah perusahaan. Adapun kedua tujuan tersebut adalah : Pertama, memaksimalkan laba perusahaan. Namun demikian, Scott, Jr et al. (1999) berargumen bahwa tujuan memaksimalkan laba perusahaan ini sudah seharusnya ditinggalkan sebab ada beberapa kelemahan yang tercantum dalam metode pengukuran ini. Memaksimalkan laba perusahaan memang menekankan pada efisiensi sumber modal atau kapital. Namun demikian, memaksimalkan laba perusahaan tidak memperhitungkan kelangsungan hidup perusahaan. Dan dikhawatirkan, jika tujuan dari sebuah perusahaan hanyalah mengejar maksimalisasi laba, maka ada kemungkinan pihak manajemen hanya menekankan pada laba perusahaan jangka pendek, dan akibatnya mengorbankan kelangsungan hidup perusahaan dalam jangka panjang. Oleh sebab itu, Scott, Jr et al. (1999) mengusulkan tujuan lain dari perusahaan yaitu memaksimalkan kekayaan pemegang saham. Dengan menggunakan maksimalisasi kekayaan pemegang saham sebagai tujuan dari perusahaan, maka kelemahan dari tujuan sebelumnya dapat dihindari. Dan menurut Scott, Jr et al. (1999), indikator yang digunakan untuk menilai maksimalisasi kekayaan pemegang saham adalah harga pasar saham perusahaan tersebut. Jika harga pasar saham mengalami kenaikkan maka diasumsikan para investor menilai kekayaan pemegang saham mengalami peningkatan. Dan sebaliknya, jika para investor menilai kekayaan pemegang saham mengalami penurunan, maka 14 para investor akan menjual kepemilikkan sahamnya di perusahaan tersebut, sehingga harga pasar saham dari perusahaan itu akan mengalami penurunan. Namun demikian, Pierce II and Robinson Jr. (2000) sedikit memiliki pola pandang yang berbeda dengan Scott, Jr et al. (1999) mengenai tujuan dari perusahaan. Jika Scott, Jr et al. (1999) menganggap memaksimalkan laba perusahaan dan memaksimalkan kekayaan pemegang saham merupakan dua hal yang berbeda, justru Pierce II and Robinson Jr. (2000) menganggap kedua hal tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Pierce II and Robinson Jr. (2000) mengatakan bahwa tujuan dari perusahaan haruslah mengejar laba. Dan jika pengejaran laba ini dijadikan acuan utama sebuah perusahaan, maka otomatis nilai pasar saham perusahaan tersebut akan mengalami kenaikan. Dan sebaliknya, jika tingkat laba perusahaan tidak tercapai, maka nilai pasar sahamnya akan mengalami penurunan. 2.3 Alat Ukur Penilaian Kinerja Keuangan Perusahaan Untuk menilai kinerja keuangan sebuah perusahaan, terdapat beberapa alat ukur yang dapat digunakan, mulai dari tingkat penjualan, tingkat laba hingga beberapa rasio keuangan seperti rasio likuiditas, rasio profitabilitas hingga alat ukur berupa laba per lember saham (earning per share) Sehubungan dengan pembahasan tujuan dari sebuah perusahaan yaitu memaksimalkan tingkat laba dan kekayaan pemegang saham seperti yang telah 15 dibahas dalam sub bab sebelumnya, maka dalam penulisan tesis ini digunakan dua alat ukur kinerja keuangan, yaitu rasio profitabilitas dan earning per share. 2.3.1 Rasio Profitabilitas Pada dasarnya, Scott Jr. et al (1999) berpendapat bahwa rasio profitabilitas digunakan untuk menjawab pertanyaan bagaimana pihak manajemen menggunakan dan memanfaatkan aset yang dimilikinya untuk menghasilkan tingkat laba bagi pemegang saham perusahaan. Untuk melakukan pengukuran tingkat profitabilitas ini, ada beberapa rasio yang dapat digunakan. Berikut beberapa rasio tersebut yang digolongkan berdasarkan penulis buku manajemen keuangan. Menurut Brigham and Houston (2001), ada dua rasio yang dapat digunakan untuk melakukan pengukuran tingkat laba, yaitu Return on Total Assets (ROA) serta Return on Common Equity (ROE). Dan kedua rasio tersebut dapat dinotasikan sebagai berikut : Net Income Available to common stockholders ROA = ----------------------------------------------Total Assets Dan 16 Net Income Available to Common stockholders ROE = -----------------------------------------Common Equity Senada dengan Brigham dan Houston (1999), White et al. (1998) berpendapat rasio yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat profitabilitas sebuah perusahaan adalah Return on Assets (ROA) dan Return on Equity (ROE). Namun demikian, White et al. (1998) menggunakan pendekatan lain dalam nominator dan denominator yang digunakan sedikit berbeda dengan yang digunakan oleh Brigham dan Houston. Berikut notasi ROA dan ROE yang digunakan oleh White et al. (1998) : Net Income + After-Tax Interest Cost ROA = --------------------------------------------------------Average Total Assets Serta Pretax Income ROE = ---------------------------------Average Stockholder’s Equtiy Sementara itu, Reilly and Brown (2000) menggunakan sebuah metode pendekatan baru dalam melakukan pengukuran tingkat profitabilitas, yaitu dengan menggunakan rasio Return on Total Capital (ROC). 17 Adapun rasio tersebut dapat dinotasikan sebagai berikut : Net Income + Interest Expense ROC = -------------------------------------------------Average Total Capital 2.3.2 Earnings per Share (EPS) Menurut Weygant et. al. (1996) Earnings Per Share (EPS) merupakan laba bersih yang didapatkan oleh para pemegang saham. Dengan kata lain EPS ini menggambarkan total kekayaan yang dimiliki oleh para pemegang saham yang diwakili dalam per lembar sahamnya. Oleh sebab itu, sehubungan dengan tujuan perusahaan untuk memaksimalkan kekayaan pemegang saham seperti yang telah dibahas sebelumnya, maka EPS ini dapat dijadikan sebagai salah satu instrumen untuk mengukur kekayaan pemegang saham. Adapun notasi dari Earnings per Share ini adalah sebagai berikut : Net Income EPS = -----------------------------------------------Number of Common Shares Outstanding Sehubungan dengan penggunaan model EPS ini, Brigham and Houston (1999) berpendapat bahwa meski fokus utama perusahaan bukan memaksimalkan laba melainkan memaksimalkan kekayaan pemegang saham, namun model EPS ini sangat 18 tepat digunakan. Bahkan lebih jauh mereka menyatakan bahwa sesungguhnya ada korelasi sangat erat antara EPS, cash flow perusahaan dan harga pasar saham perusahaan tersebut. Oleh sebab itu, peningkatan EPS dapat diasosiasikan dengan peningkatan harga pasar saham perusahaan tersebut. Dan sebaliknya, penurunan EPS dapat menyebabkan turunnya harga pasar saham sebuah perusahaan. 2.4 Economic Value Added (EVA) Setelah beberapa tahun para manajemen dan investor menggunakan alat ukur EPS sebagai insturmen utama dalam menilai kinerja keuangan sebuah perusahaan, saat ini ada sebuah metode baru yang dikembangkan oleh konsultan Stern Stewart & Co. yang dinamakan Economic Value Added (EVA). Adapun ide pengembangan dari alat ukur baru ini adalah timbul dari kenyataan bahwa alat ukur EPS ternyata sudah tidak memadai lagi sebagai alat ukur kinerja keuangan sebuah perusahaan. Bahkan, dalam salah satu kertas kerjanya analis Stern Stewart & Co., G. Bennett Stewart, III menyatakan bahwa “… companies that manage for earning per shares (EPS) are asking for trouble.” (Bennett III, 2002, p. 1). Stewart III menambahkan bahwa “… their EPS mania drove management to over-invest capital in their business for inadequate returns, to over-leverage their balance sheet, and to use ‘over-the-top’ accounting.” (Bennet III, 2002, p. 1) 19 Salah satu studi kasus yang membuktikan ketidak mampuan EPS sebagai instrumen dalam menilai kinerja keuangan perusahaan adalah dalam kasus kepailitan perusahaan pertambangan terbesar di Amerika Serikat, yaitu Enron. Sejak tahun 1997 hingga tahun 2000 EPS Enron terus mengalami peningkatan sehingga seolah olah para investor dan pemegang saham memiliki pemahaman bahwa kinerja keuangan Enron sangat baik. Namun demikian, ternyata saat ini perusahaan tersebut telah mengalami kebangkrutan, sebab ternyata dengan menggunakan model EVA sesungguhnya nilai ekonomis perusahaan tersebut terus menurun hingga mengalami negatif. Hal ini dapat dilihat dari grafik berikut ini : Gambar 2.1 Perbandingan EPS vs EVA Enron Sumber : www.eva.com 20 2.4.1 Alasan Penggunaan EVA Sebagai Alat Ukur Kinerja Keuangan Perusahaan Seperti telah disinggung sedikit di atas, salah satu alasan dikembangkannya metode EVA adalah kegagalan EPS sebagai salah satu instrumen yang digunakan dalam menilai kinerja keuangan perusahaan. Dan hal ini sudah terbukti dalam kasus perusahaan Enron. Ada beberapa alasan utama mengapa dalam beberapa waktu ke depan EVA dapat digunakan atau dijadikan salah satu alat ukur utama dalam menilai kinerja keuangan sebuah perusahaan, sehingga dapat memaksimalkan kekayaan pemegang saham, yang merupakan tujuan utama sebuah perusahaan. Pertama, seperti yang dikatakan oleh Bennett III (2002), penggunaan EPS sebagai alat ukur kinerja keuangan perusahaan dapat menyesatkan. Bahkan, penggunaan EPS ini dapat menjerumuskan pihak manajemen untuk mengejar laba jangka pendek dengan melakukan penggelembungan pendapatan atau memanipulasi biaya. Selain itu, EPS juga mendorong pihak manajemen untuk melakukan investasi yang tidak menguntungkan para pemegang saham, dimana tingkat pengembalian yang diperoleh tidak sebanding dengan biaya modal yang diberikan. Kedua, Young and O’Byrne (2001) berpendapat bahwa pihak manajemen seharusnya menggunakan metode pengukuran EVA ini sebab metode ini menciptakan nilai bagi pemegang saham, dimana pengembalian atas modal investasi melebihi biaya modal. Oleh sebab itu, EVA merupakan sebuah alat ukur kinerja keuangan perusahaan, yang mengukur seluruh biaya modal yang digunakan, serta memberikan 21 indikasi tingkat pengembalian yang melebihi biaya modal tersebut. Selain itu, Young and O’Byrne (2001) juga menambahkan bahwa dengan menggunakan metode EVA ini maka pihak manajemen dapat melakukan penilaian atas pembentukkan kekayaan perusahaan yang meliputi biaya operasi dan biaya modal. Ketiga, menurut Kaplan and Atkinson (1998), metode penilaian kinerja keuangan perusahaan dengan menggunakan metode residual income seperti EVA telah mengatasi kegagalan dan keterbatasan penggunaan sejumlah rasio keuangan seperti ROI, ROE dan ROA. Keempat, Brigham and Houston menilai bahwa penggunaan metode EVA ini sangat sejalan dengan tujuan perusahaan untuk memaksimalkan kekayaan pemegang saham. Mereka mengatakan “… EVA provides a good measure of the extent to which the firm has added to shareholder value. Therefore, if managers focus on EVA, this will help to ensure that they operate in a manner that is consistent with maximizing shareholder wealth.” (Brigham & Houston, 1999, p. 59) Kelima, salah satu alasan paling jelas atas pertanyaan mengapa harus menggunakan metode EVA dibandingkan tingkat laba adalah seperti yang dikatakan oleh Eccles et. al. (2001), yaitu bahwa sebuah perusahaan bisa saja membukukan tingkat laba dari tahun ke tahun, namun menghancurkan kekayaan para pemegang saham. Hal ini dapat terjadi sebab tingkat laba akuntansi tidak merefleksikan biaya modal perusahaan. Dan terakhir, Kotler et. al. (2003) melihat dalam praktek sehari hari sejumlah perusahaan saat ini, ternyata telah terjadi pergeseran nilai, yang mana shareholder value telah menjadi fokus utama kegiatan operasional manajemen. Ia menyatakan 22 bahwa banyak perusahaan mulai meninggalkan indikator indikator tradisional seperti earning per share, return on investment, return on equity, dan return on assets. Sebagai gantinya, mereka mulai beralih indikator indikator value driver, seperti free cash flow, economic profit, dan residual income. Jadi dapat disimpulkan, penggunaan metode EVA ini dilakukan oleh sebab kegagalan metode analisis kinerja keuangan saat ini seperti EPS, ROI, ROA dan ROE. Dengan menggunakan metode EVA maka pihak manajemen dapat membandingkan tingkat pengembalian modal dengan biaya modal yang digunakan, sehingga dengan indikasi EVA positif maka berarti sebuah perusahaan telah meningkatkan kekayaan pemegang sahamnya, yang sejalan dengan tujuan sebuah perusahaan. 2.4.2 Pengertian EVA Untuk mencari definisi apa itu EVA sebenarnya tidaklah mudah, sebab tidak ada definisi pasti mengenai EVA itu sendiri. Menurut Stern Stewart & Co. (2002) yang merupakan pencetus EVA, pada dasarnya EVA merupakan suatu metode pengukuran tingkat laba, dimana yang dimaksud dengan laba di sini adalah laba secara ekonomis. Sedangkan menurut Young and O’Byrne (2001) EVA merupakan sebuah alat ukur yang mengukur biaya seluruh modal yang digunakan oleh perusahaan. Mungkin salah satu definisi EVA yang paling lengkap adalah seperti yang diungkapkan oleh Blocher et. al. dimana mereka mengatakan bahwa “… Economic 23 Value Added (EVA) is a business unit’s income after taxes and after deducting the cost of capital … EVA uses the firm’s cost of capital instead of a minimum rate of return. The cost of capital is usually obtained by calculating a weithted average of cost of the firm’s fund.” (Blocher et. al., 1999, p. 772-773) Dan terakhir, Arnold and Davies memberikan definisi EVA sebagai “… a variant of economic profit, which is the modern term for residual income.” (Arnold & Davies, 2000, p. 23) Jadi dapat disimpulkan bahwa EVA merupakan suatu metode pengukuran kinerja keuangan perusahaan berbasis residual income, yang membandingkan antara tingkat pengembalian modal dengan biaya modal perusahaan, sehingga dapat menggambarkan bagaimana pengaruh kinerja keuangan perusahaan terhadap kekayaan pemegang saham. Jika EVA positif, dapat dikatakan bahwa kekayaan pemegang saham telah mengalami peningkatkan. Dan sebaliknya, jika EVA sebuah perusahaan negatif, dapat dikatakan bahwa kekayaan para pemegang saham perusahaan tersebut telah terdepresiasi. 2.4.3 Perhitungan EVA Young and O’Byrne (2001) memberikan dua pendekatan dalam pengukuran EVA dimana pada pendekatan pertama menggunakan titik awal Net Operating Profit After Tax (NOPAT) dan pada pendekatan kedua menggunakan titik awal Return on Net Assets (RONA). 24 Kedua pendekatan tersebut dapat dinotasikan sebagai berikut : EVA = NOPAT – (Modal yg diinvestasikan x WACC) Atau EVA = (RONA – WACC) x modal yg diinvestasikan Sementara itu, Brigham and Houston (1999) melakukan pendekatan lain dalam melakukan penghitungan EVA, seperti yang dinotasikan di bawah ini : EVA = EBIT (1- corporate tax) – (Operating capital)(After-tax cost of capital) Dan terakhir, Hongren et. al. (1997) memberikan penjabaran mengenai komponen modal yang digunakan dalam perhitungan EVA sebagai berikut : EVA = After-tax operating income – (WACC x (Total Assets – Current Liabilities)) 2.5 Biaya Modal Salah satu komponen yang penting dalam melakukan perhitungan EVA adalah penentuan besarnya biaya modal sebuah perusahaan, dimana biaya modal ini nantinya akan dipersandingkan dengan tingkat pengembalian modalnya. 25 Menurut Brigham and Houston (2001), biaya modal sebuah perusahaan terdiri dari gabungan antara biaya hutang, biaya preferred stock, dan biaya common stock. Oleh sebab itu, dalam melakukan perhitungan biaya modal sebuah perusahaan, harus mencangkup ketiga komponen tersebut. Sedangkan menurut Young and O’Byrne, biaya modal sebuah perusahaan merupakan “… biaya kesempatan yang mencerminkan pengembalian yang diharapkan investor dari investasi lain dengan resiko serupa” (Young & O’Byrne, 2001, hal. 148) 2.5.1 Weighted Average Cost of Capital (WACC) Menurut Young and O’Byrne (2001), biaya modal sebuah perusahaan tidak hanya bergantung dari biaya hutang atau ekuitas saja, melainkan juga oleh komposisi dari komponen tersebut dalam neraca perusahaan Oleh sebab itu, salah satu model yang dapat digunakan untuk melakukan perhitungan biaya modal perusahaan yang mencangkup biaya hutang, biaya saham preferen, dan saham biasa, adalah model Weighted Average Cost of Capital (WACC). Hal ini disebabkan selain mencangkup komponen biaya hutang dan ekuitas, WACC juga memasukkan unsur persentasi masing masing komponen tersebut dalam perhitungan global biaya modal perusahaan. 26 Untuk itu, Brigham and Houston (1999) menotasikan WACC sebagai berikut : WACC = wd.kd(1-T) + wp.kp + ws.ks 2.5.2 Cost of Debt (kd) Menurut Brigham and Houston (2001), biaya hutang sebuah perusahaan dapat diukur dari tingkat suku bunga pinjaman bank rata rata yang diperoleh perusahaan tersebut, setelah diperhitungkan pengurangan pajak dari beban bunga atas hutang tersebut. Berikut notasi perhitungan biaya hutang perusahaan : After-tax cost of debt = kd(1-T) 2.5.3 Cost of Preferred Stock (kp) Komponen kedua yang harus diperhitungkan dalam menentukan biaya modal yang digunakan oleh perusahaan adalah biaya dari saham preferen yang dikeluarkan oleh perusahaan. 27 Menurut Reilly and Brown (2000), pada dasarnya biaya saham preferen merupakan pembagian dari deviden yang dibayarkan terhadap harga saham perusahaan tersebut. Dengan kata lain, biaya saham preferen dapat dinotasikan sebagai berikut : Dividend kp = ------------------------Stock Price 2.5.4 Cost of Common Stock (ks) Jika dalam menghitung biaya hutang dan saham preferen digunakan satu pendekatan, tidak demikian dalam melakukan perhitungan atas biaya saham biasa. Menurut Damodaran (1994) sedikitnya ada dua pendekatan dalam melakukan perhitungan biaya saham biasa, yaitu dengan pendekatan risk and return model serta dividend growth model. Pada dasarnya, Damodaran mendefinisikan biaya saham biasa sebagai “… the cost of equity is rate of return investors required on an equity investment in a firm. The risk and return models … need a riskless rate and a risk premium …” (Damodaran, 2001, p.187-188) Dalam pendekatan menggunakan risk and return model Damodaran mengusulkan penggunaan model the Capital Asset Pricing Model (CAPM) dimana model ini “… measures risk in terms of nondiversifiable variance and related expected returns to this risk measure.” (Damodaran, 1994, p. 20-21) 28 Adapun model CAPM ini dapat dinotasikan sebagai berikut : Cost of equity = Rf + Equity beta (E(Rm) – Rf) Sementara itu, dalam buku terdahulunya yang diterbitkan pada tahun 1994, Damodaran menggunakan pendekatan devidend growth model. Damodaran mengatakan bahwa “… this approach to estimate the cost of equity draws on a discounted cash-flow valuation model that can be used to value a firm in stable growth.” (Damodaran, 1994, p. 36). Adapun notasi dari pendekatan ini adalah sebagai berikut : DPS1 ke = ----------------- + g Po 2.6 Return on Net Assets (RONA) Komponen penting lainnya dalam perhitungan EVA setelah mengetahui biaya modal yang digunakan oleh perusahaan, adalah mengetahui tingkat pengembalian yang diharapkan oleh pemegang saham atas modal yang digunakan oleh perusahaan. Jika dalam menghitung biaya modal digunakan model the Weighted Average Cost of Capital (WACC), maka dalam menghitung tingkat pengembalian modal yang diharapkan digunakan model Return on Net Assets (RONA). 29 Menurut Young and O’Byrne (2001), RONA merupakan perbandingan antara laba bersih sesudah pajak perusahaan atas total aktiva bersih yang digunakan. Dengan kata lain, RONA ini dapat dinotasikan sebagai berikut : Net Operating Profit After Tax (NOPAT) RONA = ----------------------------------------------------------------Aktiva Bersih.