Amfoterisin B saja atau dengan flukonazol untuk pengobatan meningitis kriptokokus terkait HIV Oleh: Ronald Baker, PhD, hivandhepatitis.com, 19 Juni 2009 Pendahuluan Infeksi oportunistik (IO) terus menjadi penyebab penting penyakit dan kematian pada Odha di seluruh dunia. Penemuan ART telah mengurangi kejadian IO secara bermakna pada Odha yang memiliki akses pada ART. Sayang sekali, beberapa pasien di negara maju dan berkembang tidak memiliki akses pada perawatan tepat pada waktunya, sehingga mengalami penurunan sistem kekebalan yang membuat mereka berisiko tinggi terhadap pengembangan IO. Selain itu, beberapa pasien HIV yang diobati tidak memiliki tanggapan yang bertahan terhadap ART karena berbagai alasan, termasuk ketidakpatuhan, toksisitas obat, interaksi obat, atau virus yang resistan terhadap obat. Meningitis kriptokokus adalah infeksi jamur pada jaringan yang menutupi otak (mening), yang dapat membahayakan jiwa dan sulit diobati pada Odha. Pilihan pengobatannya terbatas, khususnya di negara miskin sumber daya, dan pengobatan baku dapat menyebabkan efek samping berat. Organ susunan saraf pusat (SSP) (otak dan saraf tulang belakang) ditutupi oleh tiga lapisan jaringan yang saling terhubung yang disebut mening. Terdiri dari pia mater (yang paling dekat dengan SSP), araknoid dan dura mater (yang paling jauh dari SSP). Mening juga mendukung pembuluh darah dan mengandung cairan batang otak (Cerebrospinal fluid/CSF). Semuanya itu adalah bagian yang terlibat dalam meningitis, yaitu peradangan mening, yang apabila berat dapat menjadi ensefalitis, yaitu peradangan otak. Pengobatan awal yang baku untuk kriptokokus meningitis termasuk dua pengobatan: AmB, diberikan secara infus selama dua minggu, dilanjutkan dengan flukonazol selama delapan minggu. Penelitian itu mengamati apakah pasien pulih secara lebih cepat dan memiliki efek samping yang lebih sedikit apabila mereka memakai kedua obat tersebut secara bersamaan selama dua minggu, dilanjutkan dengan flukonazol saja selama delapan minggu. Penelitian itu mendaftarkan 143 pasien HIV-positif dengan meningitis kriptokokus. Peserta ditindaklanjuti selama kurang lebih enam bulan sejak mereka dilibatkan. Dokumen ini diunduh dari situs web Yayasan Spiritia http://spiritia.or.id/ Amfoterisin B saja atau dengan flukonazol untuk pengobatan meningitis kriptokokus terkait HIV Takaran rejimen yang diuji selama 14 hari pertama adalah sebagai berikut: (1) 0,7mg/kg IV AmB (terapi baku); (2) 0,7mg/kg IV AmB plus flukonazol 400mg (kombinasi takaran rendah); (3) 0,7mg/kg IV AmB plus flukonazol 800mg (kombinasi takaran tinggi). Setelah dua minggu pertama, pasien hanya menerima flukonazol dengan takaran secara acak (400 mg atau 800mg per hari) selama 56 hari. Titik akhir kemanjuran primer adalah ketahanan hidup, stabilitas neurologi, dan hasil biakan-negatif pada CSF setelah 14 hari terapi. Titik akhir keamanan primer adalah jumlah kejadian toksisitas berat atau yang mengancam jiwa yang terkait dengan pengobatan. Hasil • Tidak ada perbedaan toksisitas terkait pengobatan pada ketiga kelompok. • Seperti diramalkan, toksisitas paling sering terkait dengan AmB, dan termasuk kelainan elektrolit, anemia, toksisitas ginjal, dan peristiwa terkait infus. • Setelah 14 hari, 41% pasien pada kelompok terapi baku, 27% pada kelompok kombinasi takaran rendah, dan 54% pada kelompok kombinasi takaran tinggi, menunjukkan keberhasilan. • Kecenderungan hasil yang lebih baik pada kelompok terapi kombinasi tampak pada hari ke-42 dan ke70. Para penulis penelitian menyimpulkan, “AmB plus flukonazol takaran 800mg selama 14 hari, dilanjutkan dengan flukonazol 800mg per hari selama 56 hari, dapat ditahan dengan baik dan manjur pada pasien HIV-positif dengan kriptokokus SSP. Hasilnya memiliki dampak pengobatan yang bermakna dan harus disahihkan pada uji coba secara acak fase III.” Komentar Berdasarkan data tersebut, dan karena flukonazol oral tersedia secara luas dan AmB infus relatif dapat tersedia dan terjangkau dengan baik, kami berpendapat bahwa sangat masuk akal untuk melanjutkan pengembangannya dengan uji coba secara pasti,” para penulis menulis. Mereka melanjutkan, “Kemungkinan dampak pengobatan terhadap kriptokokus mungkin bermakna, bukan hanya di negara berkembang, tetapi di daerah lain di mana flusitosin tersedia tetapi tingkat virus dalam darah tidak dapat dipantau secara mudah dan dalam keadaan di mana flusitosin sesungguhnya menjadi kontraindikasi.” “Ada data sementara yang memberi harapan dan berpotensi mempengaruhi secara bermakna pengobatan awal untuk kriptokokus meningitis terkait HIV,” mereka menyimpulkan. Dalam tajuk rencana yang menyertai artikel itu, Dr. Thomas Harrison dari St. George’s University of London menulis: “Konsistensi kecenderungan yang baik pada kombinasi takaran tinggi yang diamati dalam penelitian fase II, sehubungan dengan gabungan titik akhir dan yang penting, hubungannya dengan mortalitas, adalah menarik. Penelitian fase III di berbagai pusat sebagaimana yang didukung oleh penelitian ini dan diharapkan oleh para penulis – serta juga penelitian yang melibatkan pusat di Afrika yang memiliki beban penyakit yang luar biasa tinggi dan kasus dengan tingkat keparahan yang bermakna – dibutuhkan secara mendesak.” Ringkasan: Amphotericin B Alone or with Fluconazole (Diflucan) for Treatment of HIV-related Cryptococcal Meningitis Sumber: PG Pappas, P Chetchotisakd, RA Larsen, and others. A Phase II Randomized Trial of Amphotericin B Alone or Combined with Fluconazole in the Treatment of HIV-Associated Cryptococcal Meningitis. Clinical Infectious Diseases 48: 1775-1783. June 15, 2009. TS Harrison. Amphotericin B plus Fluconazole for HIV-associated Cryptococcal Meningitis (Editorial). Clinical Infectious Diseases 48:1784-1786. June 25, 2009. –2–