BAB 1 PENGANTAR A. Latar Belakang Masalah Islam merupakan salah satu agama yang ada di Indonesia. Islam tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dan Tuhan, tetapi juga hubungan antar manusia yang mencakup seluruh aspek kehidupan, seperti sosial, budaya, hukum, lingkungan dan teknologi. Islam telah menuntun dan mengatur agar umat manusia sejahtera dan bahagia secara lahir, bathin, dunia dan akhirat. Namun, pada kenyataannya saat ini banyak persoalan yang terkait dengan kehidupan beragama. Diantaranya, berbagai bentuk kekerasan yang mengatasnamakan agama. Gerakan-gerakan tersebut menggunakan agama sebagai landasan agar mudah masuk ke tengah masyarakat dan secara terstruktur mulai menyebarkan berbagai doktrin dengan tujuan yang lebih berorientasi pada kekuasaan politik. Gerakan keagamaan inilah yang kemudian bagi sebagian besar masyarakat Indonesia mengenalnya sebagai sebuah gerakan fundamentalisme. Ratnasari (2010) mengatakan istilah fundamentalisme muncul pertama kali di lingkungan agama Kristen, khususnya di Amerika Serikat yang biasanya anti kepada kaum modernis. Akan tetapi, di Indonesia istilah ini cenderung menjadi label bagi gerakan-gerakan Islam konservatif dan gerakan islam ini cenderung dipandang negatif oleh sebagian orang karena dianggap memiliki nilai-nilai keyakinan agama yang rigid (kaku). Keyakinan yang bersifat rigid 1 2 (kaku) tersebut dapat melahirnya sikap fundamental yang tinggi Liht, dkk (2011) menjelaskan bahwa individu dengan fundamentalisme yang tinggi akan cenderung memiliki penolakan terhadap apa yang dipersepsikan sebagai sesuatu yang sifatnya duniawi dan sementara. Mahmud (Ratnasari, 2010) menambahkan bahwa istilah fundamentalisme secara etimologi berasal dari kata “fundamen”, yang berarti dasar. Secara terminologi, berarti aliran pemikiran keagamaan yang cenderung menafsirkan teks-teks keagamaan secara rigid (kaku) dan literalis (tekstual). Wiviott (2007) dalam jurnalnya yang berjudul “the psychology of fundamentalism” menjelaskan ada beberapa faktor yang diduga dapat mempengaruhi munculnya fundamentalisme yaitu, perasaan kesepian, pola berpikir yang kontradiktif, konflik peran jenis, perasaan takut terhadap kematian, pola penafsiran literal dan ide-ide yang melahirkan sikap fundamentalisme. Banyak penelitian yang menemukan bahwa kelahiran gerakan-gerakan fundamentalisme ini dapat menimbulnya konflik antar kelompok lain sehingga fundamentalisme dipandang sebagai sebuah problem sosial. Timbulnya konflik antar kelompok cenderung dimulai dengan munculnya prasangka antar kelompok (Putra dan Wongkaren, 2009). Prasangka antar kelompok merupakan dampak dari sikap yang berlebihan dalam memandang diri dan kelompoknya serta memandang pihak lain (outgroup). Prasangka inilah yang kerapkali lahir dari karakter fundamentalisme agama dalam diri para penganut agama. Berdasarkan data dari United States International Affairs (Kusumowardhani dkk, 2013), konflik yang berawal dari prasangka agama dan mengatasnamakan agama sering terjadi di Indonesia 3 seperti kasus kerusuhan di Flores pada tahun 1995, konflik di Ketapang tahun 1999, dan berbagai daerah lainnya. Fundamentalisme agama secara perlahan juga mulai berkembang di kalangan mahasiswa. Hal ini sangat wajar mengingat secara kognitif, usia mahasiswa adalah waktu dimana individu mulai membangun nalar yang abstrak, termasuk di dalamnya soal agama. Pada kelompok mahasiswa, kebebasan berorganisasi yang lahir setelah reformasi tahun 1998 kemudian melahirkan berbagai macam organisasi dengan ragam idiologinya masing-masing. Termasuk juga di dalamnya kelompok organisasi yang menjadikan Islam sebagai idiologinya. Sebagai contoh bagi kelompok terakhir ini adalah organisasi islam perkaderan seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) MPO, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Gerakan-gerakan ini seringkali dipandang sebagai bagian dari sosialisasi pemahaman agama yang fundamentalistik. Karakteristik organisasi islam yang menerapkan proses kadernisasi berorientasi pada pembentukan identitas sosial. Menurut Ellemers & Ouwerkerk (Fadila, 2013) dalam teori identitas sosial, identitas sosial merupakan bagian dari konsep diri individu yang diperoleh dari keanggotaan individu dalam kelompok, nilai- nilai yang dimiliki individu dalam kelompok, dan ikatan emosional yang didapatkan individu dalam kelompok. Hoog & Tindale (Fadila, 2013) menjelaskan bahwa individu yang merasa dirinya anggota dari suatu kelompok tertentu akan berperilaku dan melakukan hal-hal yang sama dengan kelompoknya. Semua tindakan kelompok akan ikut dilakukan individu agar dianggap sebagai bagian kelompok, karena jika tidak 4 ikut melakukan dianggap bukan bagian dari kelompok. Keanggotaan individu dalam kelompok yang membuat individu lebih berani dalam melakukan berbagai hal (Fadila, 2013). Hal ini dapat disebabkan oleh kelekatan kelompok sosial yang tinggi kepada setiap anggotanya, sehingga mampu mengarahkan individu untuk memiliki pola sikap yang fundamentalistik. Selain itu, apabila terjadi sesuatu yang mengancam pada diri anggota kelompok, maka kelekatan individu terhadap kelompok akan meningkat dan perasaan tidak suka terhadap kelompok lain juga meningkat (Fadila, 2013). Mengacu pada konsepsi tersebut, fundamentalisme sebagai konstrak psikologi memiliki keterkaitan dengan konsep diri individu. Konsep diri dapat berasal dari gambaran individu tentang dirinya sekaligus refleksinya terhadap konsdisi sosial di sekitarnya. Definisi konsep diri sendiri adalah bagaimana suatu individu memandang dirinya sendiri (Calhoun dan Acocella,1990). Kusumowardhani, Fathurrohman dan Ahmad (2013) menambahkan konsep diri merupakan gambaran yang dimiliki seseorang tentang dirinya yang dibentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari interaksi dengan lingkungan. Baron dan Byrne (2004) memetakan komponen konsep diri individu ke dalam sebuah kontinum yang memiliki dua kutub yaitu konsep diri personal dan konsep diri sosial. Melalui proses perbandingan sosial (social comparison prosess), orang-orang yang memiliki kesamaan dikategorikan, dikategorisasikan dan diberi label sebagai bagian dalam kelompok (ingroup), sedangkan orang-orang yang berbeda dikategorikan sebagai kelompok luar (outgroup) Hoog & Abrahams (Fadila,2013). Sedangkan 5 pada level personal, konsep diri individu dibangun berdasarkan keunikankeunikan individual yang membedakannya dengan orang lain. Sedangkan pada level sosial, konsep diri individu dipandang sebagai bagian dari suatu kelompok yang diikuti. Berdasarkan uraian yang telah disampaikan, bisa diasumsikan bahwa individu dengan kecenderungan konsep diri yang mengarah pada sosial akan memiliki otoritas yang sifatnya eksternal. Kondisi ini diasumsikan relevan dengan konstrak fundamentalisme yang dicirikan dengan sumber otoritas eksternal. Oleh karenanya, penelitian ini berupaya mengevaluasi bagaimana keterkaitan antara bangunan konsep diri sosial dan fundamentalisme agama pada anggota organisasi yang berideologi agama. B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara konsep diri sosial dan fundamentalisme agama pada anggota organisasi kemahasiswaan yang beridiologi agama. C. 1. Manfaat Penelitian Manfaat Teoritis Secara teoritis diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat menambah wawasan serta pendalaman terhadap ilmu pengetahuan di bidang psikologi, khususnya bidang psikologi sosial mengenai keterkaitan antara konsep diri sosial dan fundamentalisme agama. 6 2. Manfaat Praktis Secara praktis peneliti ini diharapkan dapat digunakan untuk membantu setiap individu, khususnya pada mahasiswa organisasi islam yang memiliki permasalahan yang terkait dengan konsep diri sosial dan fundamentalisme agama. Dengan membaca penelitian ini, diharapkan subjek dapat memahami bagaimana konsep diri sosial dapat mengembangkan sikap fundamentalisme seorang individu. D. Keaslian Penelitian Penelitian terkait dengan fundamentalisme pernah dilakukan diantaranya adalah penelitian Wijdan (2005) dengan judul “Peta kebersamaan mahasiswa Universitas Islam Indonesia” dan Mora dan Mc Dermut (2011) dengan judul “Fundamentalism and how it relates to personaity, irrational thinking, and Defense mechanisms”. Wijdan (2005) dalam penelitiannya mengembangkan tentang keberagamaan mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII) dengan kategori humanis, liberal, fundamentalisme dan belum beridentitas dan penelitian Mora dan Mc Dermut (2011) mengkaitkan fundamentalisme dengan faktor-faktor kepribadian, berpikir irasional, neurotisme dan mekanisme pertahanan diri Penelitian Putra dan Wongkaren (2009) yang mengembangkan skala fundamentalisme menggunakan teori Altemeyer dan Hunsberger (1992), menghubungkan fundamentalisme dengan prasangka antar kelompok, sedangkan pada penelitian ini menghubungkan fundamentalisme dengan konsep diri sosial. 7 Adapun subjek pada penelitian Putra dan Wongkaren (2009) adalah 311 subjek beragama islam dengan rentang usia 14 sampai 32 tahun sedangkan penelitian ini menggunakan subjek dengan renta usia 18 sampai 24 tahun. Selanjutnya penelitian mengenai konsep diri pernah dilakukan oleh Respati, dkk (2006) dengan judul “Perbedaan konsep diri antara remaja akhir yang mempersepsikan pola asuh orang tua authoritarian, permissive dan authoritative. Teknik yang digunakan dalam penelitian adalah accidental sampling. Sedangkan pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner konsep diri dan persepsi pola asuh. Teori konsep diri yang digunakan oleh Respati, Yulianto, Widiana (2006) mengacu pada Fitts (1971). Penelitian selanjutnya tentang konsep diri, dilakukan oleh Widyawati (2009). Penelitian tersebut berfokus pada bagaimana pengaruh konsep diri terhadap motivasi belajar mahasiswa. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Widyawati (2009), penelitian ini juga menggunakan metode penelitian kuantitatif. Analisis data yang digunakan dalam penelitain Widyawati (2009) menggunakan skala likert, analisis deskriptif, uji validitas dan reliabilitas, regresi linier sederhana, uji f, uji t, dan analisis diskriminan. Dari beberapa penelitian yang dipaparkan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa penelitian ini memiliki: 1. Keaslian Teori Penelitian yang dilakukan oleh Mora dan Mc Dermut (2011) dan Putra dan Wongkaren (2009) menggunakan teori dari Altemeyer dan Hunsberger (1992) sehingga sama dengan penelitian yang dilakukan. Adapun teori konsep 8 diri sosial dalam peneliian ini menggunakan teori konsep diri dari (Stoner, 2007). 2. Keaslian Alat Ukur Skala penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala fundamentalisme Altemeyer dan Hunsberger (1992) alat ukur tersebut dgunakan juga oleh Putra dan Wongkaren (2009). Akan tetapi alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini dikonvergen dengan alat ukur fundamentalisme milik Lith, dkk (2011). Sedangkan skala konsep diri sosial pada penelitian ini menggunakan skala dari Stoner (2007) dan berbeda dengan penelitian yang sebelumnya dilakukan. 3. Keaslian Subjek Penelitian Pada penelitian ini, subjek yang dijadikan sebagai responden penelitian berbeda dari penelitian yang sudah ada sebelumnya. Subjek yang ikut serta dalam penelitian ini adalah mahasiswa organisasi islam berejenis kelamin lakilaki dan perempuan dengan rentang usia 18-24 tahun. Berdasarkan uraian di atas, penulis kemudian berkesimpulan bahwa skripsi yang berjudul Konsep Diri Sosial Dan Fundamentalisme Agama Pada Mahasiswa Organisasi Beridiologi Agama” ini penulis belum menemukan kajian yang sama persis dengan penelitian yang hendak dikaji. Karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian ini.