BAB II URAIAN TEORITIS 2.1 Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan

advertisement
BAB II
URAIAN TEORITIS
2.1 Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi adalah proses dimana terjadi kenaikan produk nasional bruto riil
atau pendapatan nasional riil. Jadi perekonomian dikatakan tumbuh atau berkembang bila terjadi
pertumbuhan output riil. Definisi pertumbuhan ekonomi yang lain adalah bahwa pertumbuhan
ekonomi terjadi bila ada kenaikan output perkapita. Pertumbuhan ekonomi menggambarkan
kenaikan taraf hidup diukur dengan output riil per orang (Boediono, 1981:2).
Suatu perekonomian dapat dikatakan mengalami pertumbuhan ekonomi jika jumlah
barang dan jasa meningkat. Jumlah barang dan jasa dalam perekonomian suatu negara dapat
diartikan sebagai nilai dari Produk Domestik Bruto (PDB). Nilai PDB ini digunakan dalam
mengukur persentase pertumbuhan ekonomi Suatu negara.
Perubahan nilai PDB akan menunjukkan perubahan jumlah kuantitas barang dan jasa
yang dihasilkan selama periode tertentu. Selain PDB, dalam suatu negara juga dikenal ukuran
PNB (Produk Nasional Bruto ) serta Pendapatan Nasional (National Income).
Defenisi PDB yaitu seluruh nilai tambah yang dihasilkan oleh berbagai sektor atau
lapangan usaha yang melakukan kegiatan usahanya di suatu domestik atau agregat.
Salah satu kegunaan penting dari data-data pendapatan Nasional adalah untuk
menentukan tingkat pertumbuhan ekonomi yang dicapai suatu negara dari tahun ke tahun. Dalam
penghitungan pendapatan nasional berdasarkan pada harga-harga yang berlaku pada tahun
tersebut.Apabila menggunakan harga berlaku ,maka nilai pendapatan nasional menunjukkan
kecenderungan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Perubahan tersebut dikarenakan
oleh pertambahan barang dan jasa dalam perekonomian serta adanya kenaikan-kenaikan harga
Universitas Sumatera Utara
yang berlaku dari waktu ke waktu. Pendapatan nasional berdasarkan harga tetap yakni
perhitungan pendapatan nasional dengan menggunakan harga yang berlaku pada satu tahun
(tahun dasar) yang seterusnya digunakan untuk menilai barang dan jasa yang dihasilkan pada
tahun-tahun beriutnya. Nilai pendapatan nasional yang diperoleh secara harga tetap ini
dinamakan pendapatan nasional riil.
Perhitungan pertumbuhan ekonomi biasanya menggunakan data PDB triwulan dan
tahunan. Adapun konsep perhitungan pertumbuhan ekonomi dalam satu periode (Rahardja
2000:178), yaitu:
%
Di mana :
Gt
= Pertumbuhan ekonomi periode t (triwulan atau tahunan)
PDBRt
= Produk Domestik Bruto Riil periode t (berdasarkan harga konstan )
PDBRt-1 = PDBR satu periode sebelumnya
Jika interval waktu lebih dari satu periode maka perhitungan pertumbuhan ekonomi dapat
dilakukan dengan menggunakan persamaan eksponensial :
PDBRt = PDBRo (1+r
Dimana :
PDBRt = PDBR periode t
PDBRo = PDBR periode 0
r
= Tingkat pertumbuhan
Universitas Sumatera Utara
t
= Jarak periode
Perhitungan PDB dibagi menjadi dua bentuk,yaitu :
a) PDB menurut harga berlaku
Dimana PDB faktor inflasi yang masih terkandung di dalamnya.
b) PDB menurut harga konstan
Dimana PDB dengan meniadakan faktor inflasi.Artinya pengaruh perubahanharga
telah dihilangkan.
Menurut Bodiono (1981), Teori pertumbuhan ekonomi merupakan sebagai penjelasan
mengenai faktor-faktor apa yang menentukan kenaikan output per kapita dalam jangka
panjang,dan penjelasan mengenai bagaimana faktor-faktor tersebut berinteraksi satu sama
lain,sehingga terjadi proses pertumbuhan.Jadi,teori pertumbuhan ekonomi tidak lain adalah suatu
“caritera” (yang logis) mengenai bagaimana proses pertumbuhan terjadi.
1. Teori Pertumbuhan Ekonomi Klasik
Teori ini dikembangkan oleh Abramovitz dan Solow yang mengemukakan bahwa
pertumbuhan ekonomi tergantung pada perkembangan faktor-faktor produksi. Teori ini pada
hakekatnya menyatakan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi tergantung pada faktor-faktor
berikut, yakni :

Pertambahan modal dan produktifitas marginal

Pertambahan tenaga kerja dan produktifitas tenaga kerja margina

Perkembangan tekhnologi
Pandangan ini dinyatakan dalam persamaan :
Universitas Sumatera Utara
G = m.∂K + b. ∂L + ∂T
Dimana : g adalah tingkat pertumbuhan ekonomi,∂K adalah pertambahan barang modal, ∂L
adlah tingkat pertambahan tenaga kerja,∂T dalah tingkat pertambahan tekhnologi, m adalah
produktifitas modal tenaga kerja, b adalah produktifitas marginal tenaga kerja. Teori
pertumbuhan ekonomi klasik di pelopori oleh beebrapa tokoh yaitu, Adam Smith, David
Ricardo, dan Arthur Lewis.
2
Teori Pertumbuhan Ekonomi Neo Klasik
Pada bagian ini akan dijabarkan teori pertumbuhan yang diakui oleh ekonomikawan modern,
atau lebih dikenal dengan teori pertumbuhan neo klasik. Kita akan melihat tahapan demi tahapan
atas penjelasan terhadap teori pertumbuhan ekonomi tersebut. Teori ini juga merupakan teori
yang mendasari penelitian ini yaitu teori Harrod-Domar dan Sollow-Swan yang membahas
tentang bagaimana capital, output, dan tekhnologi dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.
Untuk lebih jelasnya maka teori-teori tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
 TEORI HARROD-DOMAR
Teori Harrod – Domar adalah perkembangan langsung dari teori makro Keynes jangka
pendek menjadi suatu teori makro jangka panjang. Aspek utama yang dikembangkan dari teori
Keynes adalah aspek yang menyangkut peranan investasi (I) dalam jangka panjang. Dalam teori
Keynes, pengeluaran investasi (I) mempengaruhi permintaan agregat (Z) tetapi tidak
mempengaruhi penawaran agregat (S). Harrod-Domar melihat pengaruh investasi dalam
perspektif waktu yang lebih panjang. Menurut kedua ekonom ini, pengeluaran investasi (I) tidak
hanya mempunyai pengaruh (lewat proses multiplier) terhadap permintaan agregat (Z), tetapi
juga terhadap penawaran agregat (S) melalui pengaruhnya terhadap kapasitas produksi. Dalam
perspektif waktu yang lebih panjang ini, I menambah stok kapital (misalnya, pabrik-pabrik,
Universitas Sumatera Utara
jalan-jalan dan sebagainya). Jadi I ∆K,
= dimana K adalah stok kapital dalam masyarakat. Ini
berarti pula peningkatan kapasitas produksi masyarakat, dan selanjutnya berarti bergesernya
kurva S ke kanan ( Boediono, 1981:7-47).
 TEORI SOLLOW – SWAN
Robert Sollow dari MIT da Treovor Swan dari Australian National University secara sendirisendiri mengembangkan model pertumbuhan ekonomi yang sekarang sering disebut dengan
namanya Harrod – Domar, model Solow-Swan memusatkan perhatiannya pada bagaimana
pertumbuhan penduduk, akumulasi kapital, kemajuan teknologi dan output saling berinteraksi
dalam proses pertumbuhan ekonomi.
Walaupun kerangka umum dari model Sollo-Swan mirip dengan model Harrod-Domar, tetapi
model Sollow-Swan (dari satu segi) lebih “luwes” karena :
a. Menghindari masalah “ketidakstabilan” yang merupakan ciri warranted rate of growth
dalam model Harrod-Domar,
b. Bisa lebih luwes digunakan untuk menjelaskan masalah-masalah distribusi pendapatan.
Keluwesan ini terutama disebabkan oleh karena Sollow dan Swan menggunakan bentuk
fungsi yang lebih mudah dimanipulasi secara aljabar. Dalam model Harrod-Domar, output dan
kapital serta tenaga kerja masing-masing dihubungkan oleh suatu “fungsi produksi” dengan
koefisien yang tidak bisa berubah, yaitu QP = hK dan Qn = nN. Dalam model neo-klasik dari
Sollow dan Swan dipergunakan suatu fungsi produksi yang lebih umum, yang bisa menampung
berbagai kemungkinanan subtitusi antara kapital (K) dan tenaga kerja (L) . Bentuk fungsi
produksi ini adalah :
Universitas Sumatera Utara
Q = F ( K,L )
Yang memungkinkan berbagai kombinasi penggunaan K dan L untuk mendapatkan suatu
tin gkat output. Funfsi produksi semacam ini (yang sering dijumpai dalam teori ekonomi mikro)
disebut fungsi produksi Neo-Klasik. Dengan menggunakan fungsi semacam nilah maka Sollow
dan Swan bisa menghindari masalh “ketidakstabilan” dan mengambil kesimpulan-kesimpulan
baru mengenai distribusi pendapatan dalam proses pertumbuhan (seperti halnya kaum klasik).
Dengan digunakannya funsi produksi Neo Klasik tersebut, ada satu konsekuensi lain
yang penting. Konsekuensi ini adalah bahwa seluruh faktor yang tersedia, baik berupa K maupun
berupa L akan selalu terpakai atau digunakan secara penuh dalam proses produksi. Ini
disebabkan karena dengan fungsi produksi Neo Klasik tersebut, berapapun K dan L yang tersedia
akan bisa dikombinasikan untuk proses produksi, sehingga tidak lagi ada kemungkinan
“kelebihan” atau “kekurangan” faktor produksi seperti dalam model misalnya, Harrod-Domar
atau Lewis. Posisi full employment ini membedakan model Neo klasik dengan model Keynesian
(Harod-Domar) maupun model klasik. Jadi jelas bahwa penggunaan fungsi produksi Neo Klasik
sehingga selalu terdapat fullemployment merupakan ciri utama yang membedakan model ini
dengan model-model pertumbuhan lain.
2.2 Krisis Moneter
Krisis moneter yang melanda Indonesia sejak awal juli 1997 selama kurun waktu setahun
telah berubah menjadi krisis ekonomi yakni melumpuhnya kegiatan ekonomi karena semakin
banyak perusahaan yang tutup dan meningkatnya jumlah pekerja yang menganggur. Memang
krisis ini tidak seluruhnya disebabkan karena terjadinya krisis moneter saja, karena sebagian
diperberat oleh berbagai musibah nasional yang datang secara bertubi-tubi di tengah kesulitan
ekonomi seperti kegagalan panen padi di banyak tempat karena musim kering yang panjang dan
Universitas Sumatera Utara
terparah sepanjang 50 tahun terakhir, hama, kebakaran hutan secara besar-besaran di Kalimantan
dan peristiwa kerusuhan yang melanda banyak kota pada pertengahan Mei 1998 lalu dan
kelanjuannya.
Krisis moneter ini terjadi, meskipun fundamental ekonomi Indonesia di masa lalu
dipandang cukup kuat yang tercermin dari pertumbuhan yang cukup tinggi, laju inflasi
terkendali, tingkat pengangguran relatif rendah, neraca pembayaran secara keseluruhan masih
surplus meskipun defisit neraca berjalan cenderung membesar namun jumlahnya masih
terkendali, cadangan devisa masih cukup besar, realisasi anggaran pemerintah masih
menunjukkan sedikit surplus. Namun di balik ini terdapat beberapa kelemahan struktural seperti
peraturan perdagangan domestik yang kaku dan berlarut-larut, monopoli impor yang
menyebabkan kegiatan ekonomi tidak efisien dan kompetitif. Pada saat yang bersamaan
kurangnya transparansi dan kurangnya data menimbulkan ketidakpastian sehingga masuk dana
luar negeri dalam jumlah besar melalui sistem perbankan yang lemah. Sektor swasta banyak
meminjam dana luar negeri yang sebagian besar tidak di hedge. Dengan terjadinya krisis
moneter, terjadi juga krisis kepercayaan. Namun semua kelemahan ini masih mempu ditampung
oleh perekonomian nasional.
Sebagian konsekuensi dari krisis moneter ini, Bank Indonesia pada tanggal 14 Agustus
1997 terpaksa membebaskan nilai tukar terhadap valuta asing, Khususnya dollar AS, dan
membiarkannya berfluktuasi secara bebas (free floating) menggantikan sistem managed floating
yang dianut pemerintah sejak devaliasi oktober 1978. Dengan demikian Bank Indonesia tidak
lagi melakukan intervensi di pasar valuta asing untuk menopang nilai tukar rupiah, sehinggan
nilai tukar ditentukan oleh kekuatan pasar semata. Nilai tukar rupiah kemudian merosot dengan
Universitas Sumatera Utara
cepat dan tajam dari rata-rata Rp 2.450 per dollar AS juni 1997 menjadi Rp 13.513 akhir
januari1998, namun kemudian menguat kembali menjadi sekitar Rp 8.000 awal Mei 1999.
2.2.1 Krisis Moneter dan Faktor-Faktor Penyebabnya
Penyebab dari krisis ini bukanlah fundamental Indonesia yang selama ini lemah, tetapi
terutama karena utang swasta luar negeri yang telah mencapai jumlah yang besar. Yang jebol
bukanlah sektor rupiah dalam negeri, melakukan sektor luar negeri, khususnya nilai tukar dollar
AS yang mengalami overshooting yang sangat jauh dari nilai nyatanya. Krisis yang
berkepanjangan ini adalah krisis merosotnya nilai tukar rupiah yang sangat tajam, akibat dari
serbuan yang mendadak dan secara bertubi-tubi terhadap dollar AS (spekulasi) dan jatuh
temponya utang swasta luar negeri dalam jumlah besar.Seandainya tidak ada serbuan terhadap
dollar AS ini, meskipun terdapat banyak distorsi pada tingkat ekonomi mikro, ekonomi
Indonesia tidak akan mengalami krisis. Dengan kata lain,walaupun distorsi pada tingkat ekonomi
mikro ini diperbaiki, tetapi bila tetap ada gempuran terhadap mata uang rupiah, maka krisis akan
terjadi juga, karena cadangan devisa yang tidak ada dan todak cukup kuat untuk menahan
gempuran ini. Krisis ini diperparah lagi dengan akumulasi dari berbagai faktor penyebab lainnya
yang datangnya saling bersusulan.Analisis faktor-faktor penyebab ini penting, karena
penembuhannya tentunya tergantung dari ketepatan diagnosa (Kristanto Wibisono, 1998).
Anwar Nasution melihat besarnya defisit neraca berjalan dan utang luar negeri, ditambah
dengan lemahnya sistem perbankan nasional sebagai akar dari terjadinya krisis finansial. Bank
Dunia melihat adanya empat sebab utama yang bersama-sama membuat krisis menuju ke arah
kebangkrutan. Yang pertama adalah akumulasi utang swasta luar negeri yang cepat dari tahun
1992 hingga Juli 1997, sehingga 95% dari total kenaikan utang luar negeri berasal dari sektor
swasta ini, dan jatuh tempo rata-ratanya hanyalah 18 bulan. Bahkan selama empat tahun terakhir
Universitas Sumatera Utara
utang luar negeri pemerintah jumlahnya menurun. Sebab yang kedua adalah kelemahan spada
sistem perbankan. Ketiga adalah masalah governance, termasuk kemampuan pemerintah
menangani dan mengatasi krisis, yang kemudian menjelma menjadi krisis kepercayaan dan
keengganan donor untuk menawarkan bantuan finansial dengan cepat. Yang keempat adalah
ketidakpastian poltik menghadapi pemilu yang lalu dan pertanyaan mengenai kesehatan Presiden
Soeharto pada waktu itu.
Penyebab utama dari terjadinya krisis yang berkepanjangan ini adalah merosotnya nilai
tukar rupiah terhadap dollar AS yang sangat tajam, meskipun ini bukan faktor satu-satnya, tetapi
ada banyak faktor lainnya yang berbeda menuru sisi pandang masing-masing pengamat. Berikut
ini diberikan rangkuman dari berbagai faktor tersebut menurut urutan kejadiannya :
1) Dianutnya sistem devisa yang terlalu bebas tanpa adanya pengawasan yang memadai,
memungkinkan arus modal dan valas dapat mengalir keluar-masuk secara bebas
berapapun jumlahnya. Kondisi di atas dimungkinkan, karena Indonesia menganut
rezim devisa bebas dengan rupiah yang konvertibel,sehingga membuka peluang yang
sebesar-besarnya untuk orang bermain di pasar valas. Masyarakat bebas membuka
rekening valas di dalam negeri atau di luar negeri. Valas diperdagangkan di dalam
negeri, sementara rupiah juga bebas diperdagangkan di pusat-pusat keuangan di luar
negeri.
2) Tingkat deoresiasi rupiah yang relatif rendah, berkisar antara 2.4% hingga 5.8%
antara tahun 1988 hinggan 1996, yang berada di bawah nilai tukar nyatanya,
menyebabkan nilai rupiah secara komulatif sangat overvalued. Ditambah dengan
kenaikan pendapatan penduduk dalam nilai US dollar yang naiknya relatif lebih cepat
dari kenaikan pendapatan nyata dalam Rupiah, dan dan produk dalam negeri yang
Universitas Sumatera Utara
semakin lama semakin kalah bersaing dengan produk dalam negeri relatif mahal,
sehingga masyarakat memilih barang impor yang kualitasnya lebih baik. Akibatnya
produksi dalam negeri tidak berkembang, ekspor menjadi kurang kompetitif dan
impor meningkat. Niali rupiah yang sangat overvalued ini sangat rentan terhadap
serangan dan permainan spekulan, karena tidak mencerminkan nilai tukar yang nyata.
3) Akar dari segala permasalahan adalah utang luar negeri swasta jangka pendek dan
menengah sehingga nilai tukar rupiah mendapat tekanan berat karena tidak
tersedianya devisa yang cukup untuk membayar utang yang jatuh tempo beserta
bunganya, ditambah sistem perbankan nasional yang lemah. Akumulasi utang swasta
luar negeri yang sejak awal tahun 1990-an telah mencapai jumlah yang sangat besar,
bahkan sudah jauh melampaui utang resmi pemerintah yang beberapa tahun terakhir
malah sedikit berkurang (outstanding official debt). Ada tiga pihak yang bersalah
yaitu pemerintah, kreditur da debitur. Kesalahan pmerintah adalah, karena memberi
signal yang salah kepada pelaku ekonomi dengan membuat nilai rupiah teru-menerus
overvalued dan suku bunga rupiah yang tinggi, sehingga pinjaman dalam rupiah
mjenjadi relati mahal dan pinjaman dalam mata uang asing menjadi relatif lebih
murah. Sebalikya, tingkat bungan di dalam negeri dibiarkan tinggi untuk menahan
pelarian dana ke luar negeri dan agar masyaraka mau mendepositokan dananya dalam
rupiah. Pada awal Mei 1998 besarnya utang luar negeri swasta dari 1.800 perusahaan
diperkirakan berkisar antara US$ 64 milyar, sementara utang pemeritah US$ 53.5
milyar. Sebagian besar dari pinjaman luar negeri swasta ini tidak di hedge.Sebagian
orang Indonesia malah bisa hidup mewah dengan menikmati selisih biaya bunga
antara dalam negeri dan luar negeri, misalnya bank-bank. Maka beban pembayaran
Universitas Sumatera Utara
utang luar negeri beserta bunganya menjadi tambah besar yang dibarengi oleh kinerja
ekspor yang melemah. Ditambah lagi dengan kemerosotan nilai tukar rupiah yang
tajam yang membuat utang dalam nilai rupiah membengkak dan menyulitkan
pembayaran kembalinya.
4) Permainan yang dilakukan oleh spekulan asing yang dikenal sebagai hedge funds
tidak mungkin dapat dibendung dengan melepas cadangan devisa yang dimiliki
Indonesia pada saat itu, karena praktek margin trading, yang memungkinkan dengan
modal relatif kecil bermain dalam jumlah besar. Dewasa ini mata uang sendiri sudah
menjadi komoditi perdagangan, lepas dari sektor riil. Para spekulan ini juga
meminjam dari sistem perbankan unyuk sektor riil. Para spekulan ini juga meminjam
dari sistem perbankan untuk memperbesar pertaruhan mereka. Itu sebabnya mengapa
Bank Indonesia memutuskan untuk tidak intervensi di pasar valas karena tidak akan
ada gunanya. Meskipun paa awalnya spekulan asing ikut berperan, tetapi mereka
tidak bisa disalahkan sepenuhnya atas pecahnya krisis moneter ini. Sebagian dari
mereka ini justru sekarang menderita kerugian, karena mereka membeli ripiah dalam
jumlah cukup besar ketika kurs masih di bawah Rp 4.000 per dollar AS dengan
pengharapan ini adalah kurs tertinggi dan rupiah akan balik menguat, dan pada saat
itu mereka akan menukarkan kembali rupiah dengan dollar AS. Namun pemicu
adalah krisis moneter kiriman yang berawal dari Thailand antara Maret sampai Juni
1997, yang diserang terlebih dahulu oleh spekulan dan kemudian menyebar ke negara
Asia lainnya termasuk Indonesia Krisis Moneter yang terjadi sudah saling kaitmengkait di kawasan Asia Timur dan tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya.
Universitas Sumatera Utara
5) Kebijakan fiskal dan moneter tidak konsisten dalam suatu sistem nilai tukar dengan
pita batas intervensi. Sistem ini menyebabkan apresiasi nyata dari nilai tukar rupiah
dan mengundang tindakan spekulasi ketika sistem batas intervensi ini dihapus pada
tanggal 14 Agustus 1997. Terkesan tidak adanya kebijakan pemerintah yang jelas dan
terperinci tentang bagaimana mengatasi krisis dan keadaan ini masih berlangsung
hingga saat ini. Ketidakmampuan pemerintah menangani krisis menimbulkan krisis
kepercayaan dan mengurangi kesediaan investor asing untuk memberi bantuan
finansial dengan cepat.
6) Defisit neraca berjalan yang semakin membesar yang disebabkan karena laju
peningkatan impor barang dan jasa lebih besar dari ekspor dan melonjaknya
pembayaran bunga pinjaman. Sebab utama adalah nilai tukar rupiah yang sangat
overvalued,yang membuat harga barang-barang impor menjadi relatif murah
dibandingkan dengan produk dalam negeri.
7) IMF tidak membantu sepenuh hati dan terus menunda penguncuran dana bantuan
yang dijanjikannya dengan alasan pemerintah tidak melaksanakan 50 butir
kesepakatan dengan baik. Negara-negara sahabat yang menjanjikan akan membantu
Indonesia juga menunda menguncurkan bantuannya menunggu sinal dari IMF,
padahal keadaan perekonomian Indonesia makin lama makin tambah terpuruk. Brunei
Darusalam yang menjanjikan US$ 1 milyar baru akan mencairkan dananya sebagai
yang terakhir setelah semua pihak lain yang berjanji akan membantu telah
mencairkan dananya dan telah habis terpakai. IMF sendiri dinilai banyak pihak telah
gagal menerapkan program reformasinya di Indonesia dan malah telah mempertajam
dan memperpanjang krisis.
Universitas Sumatera Utara
8) Terjadi krisis kepercayaan dan kepanikan yang menyebabkan masyarakat luas
menyerbu membeli dollar AS agar nilai kekayaan tidak merosot dan malah bisa
menarik keuntungan dari merosotnya nilai tukar rupiah. Terjadilah snowball effect,
dimana serbuan terhadap dollar AS makin lama makin besar. Orang-orang kaya
Indonesia, baik pejabat pribumi dan etnis Cina, sudah sejak tahun lalu bersiap-siap
menyelamatkan harta kekayaannya ke luar negeri mengantisipasi ketidakstabilan
politik dalam negeri. Sejak awal Desember 1997 hingga Mei 1998 telah terjadi
pelarian modal besar-besaran ke luar negeri karena ketidakstabilan politik seperti isu
sakitnya Presiden dan Pemilu. Kerusuhan besar-basaran peda pertengahan Mei yang
lalu yang ditujukan terhadap etnis Cina telah menggoyahkan kepercayaan masyarakat
ini akan keamanan harta, jiwa dan martabat mereka. Padahal mereka menguasai
sebagian besar modal dan kegiatan ekonomi Indonesia dengan akibat mereka
membawa keluar harta kekayaan mereka dan untuk sementara tidak melakukan
investasi baru.
Dalam menghadapi tekanan depresiatif yang kuat pada kurs rupiah sejak bulan Juli 1997,
beberapa kebijakan bank sentral telah digulirkan seperti pelebaran kisaran intervensi dan
pengetatan likuiditas perbankan dengan menaikkan tingkat diskonto SBI. Dengan semakin
meningkatnya tekanan kepada kurs rupiah, pada pertengahan Agustus 1997, telah diambil
kebijakan penentuan kurs berdasar pada sistem mengambang bebas.
Seiring dengan kebijaksanaan moneter yang ketat yang diarahkan untuk mengurangi
tekanan permintaan terhadap devisa, ditempuh kebijaksanaan fiskal yang juga bersifa kontraktif.
Sejumlah proyek-proyek pembangunan untuk TA 1997/98 dijadwalkan kembali pelaksanaanya.
Di samping itu juga dilakukan penghematan terhadap pengeluaran yang bersifat non fisik.
Universitas Sumatera Utara
Perlakuan khusus berupa bantuan keuangan dan fasilitas kredi untuk industri strategis tertentu
juga ditiadakan. Namun nilai tukar rupiah terus merosot, demikian pula dengan kondisi keuangan
dan perekonomian.
Untuk mengatasi masalah tersebut, pada akhir Oktober 1997, disusun kebijaksanaan dan
program penyehatan ekonomi dan keuangan, yang didukung oleh Dana Moneter Internasional
(IMF), Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB) dan negara-negara sahabat. Program ini
meliputi penyehatan sektor keuangan dan stabilitas moneter termasuk kurs mata uang.
Penyehatan sektor/lembaga keuangan mencakup perbankan, lembaga pembiyaan, asuransi, dana
pensiun dan lembaga-lembaga di pasar modal.
Program reformasi dan restrukturisasi ekonomi dan keuangan diperkuat lagi pada
pertengahan Januari 1998, dan dibentuk Dewan Pemantapan Ketahanan Ekonomi dan Keuangan
(DPK-EKU) guna mengendalikan dan mengawasi pelaksanaan program tersebut. Pada bulan
Januari pula, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dibentuk untuk memperbaiki
kepercayaan terhadap perbankan nasional.
Dengan terjadinya krisis politik pada bulan Mei 1998 dan meluasnya krisis ekonomi,
Memorandum tambahan tersebut disempurnakan pada bulan Juni 1998. Untuk memperkuat
pengendalian moneter, sistem penentuan suku bunga SBI diubah dari penentuan secara
administratif menjadi sistem lelang mulai bulan Juli 1998.
Di bidang keuangan negara, sebagai akibat situasi perekonomian yang terus memburuk
tersebut, pemerintah bersama-sama DPR pada bulan Juni 1998 melakukan revisi APBN
1998/1999 yang disesuaikan dengan perkembangan terakhir. Di tengah situasi perekonomian
yang semakin memburuk, revisi APBN ini dititik beratkan pada pemanfaatan anggaran negara
Universitas Sumatera Utara
untuk memperkuat jaring pengaman sosial (social safety net), memperbesar enyerapan tenaga
kerfja dan meningkatkan produksi pangan.
2.3 Utang Luar Negeri (Foreign Debt)
Utang luar negeri merupakan bantuan luar negeri (loan) yang diberikan oleh pemerintah
negara-negara maju atau badan-badan internasional yang khusus dibentuk untuk memberikan
pinjaman semacam itu dengan kewajiban untuk membayar kembali dan membayar bunga
pinjaman tersebut (Zulkarnain, 1996 : 19).
Adapun bentuk-bentuk bantuan luar negeri dapat dibedakan atas :
1. Pinjaman dengan syarat pengembalian
a. Hadiah/Grant: yaitu bantuan luar negeri yang tidak bersyarat pengembalian atau
pelunasannya kembali.
b. Pinjaman Lunak : yaitu pinjaman dengan syarat yang sangat ringan, dimana
jangka waktu pengembaliannya antara 20 tahun sampai dengan 30 tahun dan
tingkat bunga antara 0 sampai dengan 4,5 persen per tahun.
c. Pinjaman/Kredit Ekspor : yaitu kredit yang diberikan oleh negara pengekspor
dengan
jaminan
tertentu
untuk
meningkatkan
ekspor.
Jangka
waktu
pembayarannya adalah 7 tahun sampai dengan 15 tahun da tingkat bunga antara 4
persen sampai dengan 8,5 persen per tahun.
d. Kredit Komersial : yaitu kredit yang dipinjamkan oleh bank dengan tingkat bunga
dan lain-lain sesuai perkembangan pasar internasional.
Universitas Sumatera Utara
2. Pinjaman/Kredit Bilateral/Multilateral
a. Pinjaman/Kredit Bilateral: misalnya bantuan/kredit yang diperoleh dari negara
CGI.
b. Pinjaman/Kredit Multilateral: misalnya bantuan/kreditndari peserta IBRD, IDA,
UNDP,
ADB,
bantuan/kredit
dan
lain-lain.
Jangka waktu
bilateral/multilateral
adalah
dan syarat
berdasarkan
pengembalian
perjanjian
antara
pemerintah Indonesia dengan pihak-pihak yang memberikan bantuan/kredit.
3. Pinjaman/Bantuan menurut kategori ekonomi, barang/jasa
a. Bantuan program: yaitu berupa pangan, misalnya dalam rangka PL 480 atau
dalam bentuk devisa kredit.
b. Bantuan Proyek: yaitu bentuan yang diperoleh untuk pembiyaan dan pengadaan
barang/jasa pada proyek-proyek pembangunan.
c. Bantuan Tekhnik: yaitu berupa pengiriman tenaga ahli dari luar negeri atau tenaatenaga Indonesia yang dilatih di luar negeri.
Sumber-sumber pinjaman luar negeri yang diterima pemerintah Indonesia dalam setiap
tahun anggaran yang berupa pinjaman bersumber dari:
1. Pinjaman Multilateral
Pinjaman multilateral sebagian besar diberikan dalam satu paket pinjaman
yang telah ditentukan, artinya satu naskah perjanjian luar negeri antara
pemerintah dengan lembaga keuangan internasional untuk membina beberapa
pembangunan proyek pinjaman multilateral ini kebanyakan diperoleh dari
Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (BPD), Bank Pembangunan Islam
(IDB), dan beberapa lembaga keuangan regional dan internasional.
Universitas Sumatera Utara
2. Pinjaman Bilateral
Pinjaman bilateral adalah pinjaman yang berasal dari pemerintah negara –
negara yang tergabung dalam negara anggota Consultative Group On
Indonesia (CGI) sebagai lembaga yang menggantikan kedudukan IGGI.
Pinjaman bilateral ini diberikan kepada pemerintah Indonesia yang bersumber
dari:
a. Pinjaman Lunak, yaitu suatu pinjaman yang diberikan berdasarkan hasil
sidang CGI.
b. Pinjaman dalam bentuk Kredit Ekspor (Eksport Kredit) yaitu pinjaman
yang diberikan oleh negara-negara pengekspor dengan jaminan tertentu
dari pemerintah negara-negara tersebut untuk meningkatkan ekspornya.
c. Pinjaman dalam bentuk Kredit Komersial, yaitu kredit yang diberikan oleh
bank-bank luar negeri dengan persyaratan sesuaib dengan perkembangan
pasar internasional, misalnya LIBOR (London Interbank Offered Rate)
dan SIBOR (Singapore Interbank Offered Rate) untuk masing-masing
jenis mata uang yang dipinjam.
d. Pinjaman dalam bentuk installment Sale Financing, yaitu pinjaman yang
diberikan oleh perusahaan-perusahaan leasing suatu negara tertentu untuk
membiayai kontrak-kontrak antara pemerintah dengan suplier luar negeri,
karena kontrak-kontrak pembangunan tersebut tidak dapat dibiayai dari
fasilitas kredit ekspor.
e. Pinjaman obligasi, yaitu pinjaman yang dilakukan pemerintah dengan
mengeluarkan surat tanda berhutang dari peminjam (borrower) dengan
Universitas Sumatera Utara
tingkat bunga tetap, yang pembayaran bunganya dilaksanakan secara
teratur dan pengembalian pinjaman (hutang pokok) pada jangka waktu
yang telah ditetapkan. Dalam melakukan pinjaman melalui obligasi
dikenal 2 (dua) jenis obligasi yang dapat diterbitkan/dikeluarkan dalam
pasar modal, yaitu :
1. Public issues (Penerbitan Obligasi Umum)
Penerbitan obligasi dilaksanakan melalui sekelompok bank-bank yang
menjamin (underwriter) dan menjual obligasi tersebut kepada
masyarakat di bursa (stock exchange).
2. Private Placement
Penerbitan obligasi secara private placement bersifat terbatas, tidak
diumumkan kepada masyarakat. Dalam hal ini suatu penjualan
obligasi dilaksanakan oleh emiten (issuer) kepada sejumlah bank dan
investor institusional (perusahaan-perusahaan asuransi dan dana-dana
pensiun) dengan bantuan sejumlah bank dan investor institusional
(perusahaan-perusahaan asuransi dan dana-dana pensiun) dengan
bantuan sejumlah penjamin emini (underwriter) yang terbatas.
f. Pinjaman dalam bentuk Stearling Acceptance Facility, yaitu suatu
pinjaman yang penarikannya dengan Bill of Exchange.Sistem pinjaman ini
terdapat di Inggris sejak abad ke-17. Pada tahap permulaan sistem ini
digunakan ini digunakan untuk memperoleh kredit jangka pendek
berdasarkan transaksi perdagangan yang dilakukan. Bill of Change ini
Universitas Sumatera Utara
dapat diperjualbelikan di pasar stearling acceptance, dengan demikian
dapat diperoleh dana sebelum Bill of Exchange jatuh tempo.
2.3.1 Latar Belakang Timbulnya Utang Luar Negeri
Dari perspektif negara donor setidaknya ada dua hal penting yang dianggap memotivasi
dan melandasi bantuan luar negeri ke negara-negara debitor. Kedua hal tersebut adalah motivasi
politik (political motivation) dan motivasi ekonomi (economi motivation), dimana keduanya
mempunyai keterkaitan yang sangat erat yang satu dengan yang lainnya (Basri, 2003 : 101).
Motivasi pertama inilah yang kemudian menjadi acuan bagi AS untuk menguncurkan
dana bantuan dalam merekonstruksi kembali perekonomian Eropa Barat setelah hancur saat PD
II, dan program ini dikenal dengan nama Marshall Plan (Todaro,1985 : 89). Kesimpulan kita
cukup sederhana, yaitu bahwa bantuan luar negeri pertama-tama harus dilihat sebagai tanga
panjang kepentingan negara-negara donor. Motivasinya condong berbeda tergantung situasi
nasional, dan bukan semata-mata dikaitkan dengan kebutuhan negara penerima yang secara
potesial berbeda-beda antara negara yang satu dengan negara yang lainnya.
Sedangkan motivasi ekonomi sebagai landasan kedua yang digunakan dalam
memberikan bantuan, setidak-tidaknya tercermin dari 4 argumen penting :
•
Argumen pertama didasari oleh two gap model dimana negara-negara penerima bantuan
khususnya negara-negara berkembang mengalami kekurangan dalam mengakumulasi
tabungan domestik sehingga tabungan-tabungan yang ada tidak mampu memenuhi
kebutuhan akan tingkat investasi yang dibutuhkan dalam proses memicu pertumbuhan
ekonomi. Dan pada sisi lain adalah kekurangan yang dialami oleh negara-negara yang
bersangkutan dalam memenuhi nilai tukar asing (foreign exchange) untuk membiayai
Universitas Sumatera Utara
kebutuhan impor. Dengan demikian untuk menutupi kedua kekurangan tersebut maka
andalannya adalah bantuan luar negeri.
•
Kedua adalah memfasilitasi dan mempercepat proses pembangunan dengan cara
meningkatkan pertambahan tabungan domestik sebagai akibat dari pertumbuhan yang
lebih tinggi (growth and saving). Karena tinggunya pertumbuhan di negara-negara
berkembang akan turut meningkatlkan atau berkorelasi positif terhadap kenaikan
keuntungan yang bisa dinikmati di negara-negara maju.
•
Ketiga adalah technical assistance, yang merupakan pendamping dari bantuan keuangan
yang bentuknya adalah transfer sumber daya manusia tingkat tinggi kepada negaranegara penerima bantuan. Hali ini harus dilakukan untuk menjamin bajhwa aliran dana
yang masuk dapat digunakan dengan sangat efisien dalam proses memicu kenaikan
pertum buhan ekonomi.
•
Keempat adalah absorptive capacity, yakni dalam bentuk apa dana tersebut akan
digunakan. Terlepas dari faktor-faktor yang dikemukakan di atas ada satu hal lagi yang
perlu diingay bahwa faktor pendorong da faktor penarik (push and pull factor) adala dua
kata yang menentukan terjadinya perpindahan modal ke negara-negara berkembang.
Faktor-faktor ini tentu saja perpaduan antar motif ekonomi dan politik yang menjadi
pertimbangan utama bagi investor yang rasional.
Sebagai negara berkembang yang tetap konsisten dalam mempergunakan utang luar negeri
dalam politik pembangunannya, Indonesia untuk masa mendatang masih tergantung pada
komponen ini. Seberapa besar ketergantungannya tentu banyak faktor yang mempengaruhinya.
Apapun argumennya, untuk saat ini mengalirnya dana dari luar negeri merupakan kebutuhan
yang sangat penting bagi Indinesia untuk menginjeksi dana pembangunannya.
Universitas Sumatera Utara
Di era globalisasi dam dengan tingkat persaingan yang begitu besar, di samping pemerintah,
pihak swasta juga memerlukan dana, akan mengakibatkan perburuan pinjaman yang bersyarat
lunak akan meningkat dan tentunya akan semakin sulit diperoleh. Melihat kondisi ini,
diperkirakan akan terjadi peningkatan dalam pinjaman komersial seiring dengan meningkatnya
peran pohak swasta dan langkahnya pinjaman resmi yang bersyarat nlunak. Oleh karena itu,
tidaklah heran untuk masa perspektif utang luar negeri Indonesia dicirikan pada meningkatnya
pinjaman yang bersifat komersial.
Banyak pihak yang mengkhwatirkan kondisi pinjaman luar negeri pemerintah maupun
pinjaman swata cukup beralasan. Angka statistik pinjaman luar negeri Indonesia, baik
pemerintah maupun swasta memang masih menunjukkan tingginya kewajiban Indonesia dalam
membayar kembali pokok dan bunga pinjaman luar negeri. Beberapa indikator dalam mengukur
beban utang, seperti :
•
Debt service Ratio (DSR) yang merupakan perbandingan antara kewajiban membayar
untang dan cicilan untang luar negeri dengan devisa hasil ekspor. Ambang batas aman
angka DSR lazimnya menurut para ahli ekonomi adalah 20%. Lebih dari itu, utang sudah
dianggap mengundang cukup banyak kerawanan.
•
Debt to Export Ratio yang merupakan rasio utang terhadap ekspor. Bank dunia
menetapkan bahwa suatu negara dikategorikan sebagai negara pengutang berat, jika
negara yang bersangkutan memiliki Debt to Export Ratio yang lebih besar dari 220%
•
Debt to GDP Ratio yang merupakan rasio utang terhadap PDB. Rasio utang terhadap
PDB dapat dilihat sebagai kriteria mengecek kesehatan keuangan suatu negara, dimana
rasio di atas 50% menunjukka bahwa pinjaman luar negeri Indonesia membenahi lebih
dari 50% Pendapatan Nasional (Basri, 2003:201)
Universitas Sumatera Utara
Pinjaman luar negeri tersebut tidak semua diberikan dalam bentuk rupiah atau tepatnya mata
uang asing tertentu tetapi dalam bentuk bantuan proyek dan bantuan program. Bantuan proyek
diberikan dalam bentuk pinjaman berupa peralatan-peralatan, barang-barang ataupun jasa
(konsultan asing), sedangkan bantuan program diberikan dalam bentuk bantuan tunai.
2.3.2. Teori Utang Luar Negeri
Meskipun demikian perannan dana bantuan luar negeri dan modal asing terhadap
kemajuan, pertumbuan dan pembangunan ekonomi negera berkembang telah lama menjadi
perdebatan hangat diantara kelompok-kelompok perdagangan dunia. Sekelompok ekonom pada
tahun 1950-an dan 1960-an berpendapat dan meyakini bahwa bantuan luar negeri mempunyai
dampak yang positif terhadap pembangunan ekonomi suatu negera tanpa menimbulkan
gangguan pada masa sesudahnya bagi negara-negara debitor tersebut. Pengalaman keberhasilan
pembangunan kembali perekonomian negara-negara Eropa Barat melalui Marshal Plan seperti
telah disinggung, menjadi dasar kelompok tersebut menganjurkannya diterapkan dinegara-negara
berkembang. Asumsi yang mereka gunakan dalam proses penganjurannya adalah bantuan luar
negeri akan menambah sumber-sumber produktif tanpa menimbulkan dampak substitusi
terhadap hubunga domesti, dan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap alokasi dan efisiensi
sumber daya terutama tingkat efisiensi dalam penggunaan modal.
Pengalaman seperti yang diuraikan di atas juga mengilhami teoriyang dikembangkan oleh
Sir Roy Harrod (Inggris) dan kemudian dikenal dengan teori Harrod-Domar. Teori yang
berbicara tentang penggunaan bantuan luar negeri dalam pembiayaan pembangunan selanjutnya
dikembangkan oleh beberapa ekonom seperti Hollis Chenery, Alan Strout, dan lain-lain pada
tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an. Pemikiran mereka seperti yang diungkapkan oleh
Chenery dan Carter (1973) dapat dikelompokkan ke dalam empat pemikiran mendasar.
Universitas Sumatera Utara
Pertama, sumber dana eksternal (modal asing) dapat dimanfaatkan oleh negara sedang
berkembang sebagai suatu dasar yang signifikan untuk memacu kenaikan investasi serta
pertumbuhan ekonomi. Kedua, untuk menjaga dan mempertahankan tingkat pertumbuhan yang
lebih tinggi diperlukan perubahan dan perombakan yang subtansial dalam struktur produksi dan
perdagangan. Ketiga, modal asing dapat berperan penting mobilisasi sumber dana dan
transformasi struktural. Keempat, kebutuhan akan modal sing akan menjadi menurun setelah
perubahan struktural terjadi.
Pemikiran di atas sedemikian kuatnya mempengaruhi proses perencanaan pembangunan di
negara-negara sedang berkembang yang semata-mata hanya mengandalkan upaya proses
pembangunannya pada sumber-sumber daya domestik. Malahan porsi bantuan luar negeri tidak
lagi diperlakukan sebagai faktor pelengkap (complementary factor), tapi telah menjadi sumber
utama dalam pembiyaan pembangunan (Basri, 2003:104).
Pertimbangan suatu negara atau perusahaan melakukan pinjaman luar negeri dipengaruhi
oleh beberapa hal, yang dapat dikategorikan dalam 2 faktor pendorong masuknya dana ke dalam
negeri (push factors) dan faktor internal yang menarik dana masuk (pull factors).
Yang merupakan push faktor antara lain adalah :
a. Perbedaan tingkat suku bunga US (Dollar Amerika Serikat dan negara-negara maju) pada
pertengahan tahun 1990-an menyebabkan gap suku bunga dengan negara emerging
market semkain besar sehingga mendorong para investor luar negeri mengalihkan
investasi mereka dari negara-negara maju ke emerging countries. Tingkat suku bunga US
(antara lain 3 month treasury bill) mengalami penurunan drastis dari 9% pada tahun
1989 dan mencapai titik terendah pada tahun 1992-1994 pada kisaran 2-3 %. Pada akhir
tahun 1997 misalnya, suku bunga kredi bank domestik masih berada dalam kisaran rata-
Universitas Sumatera Utara
rata 15-19 % sedangkan suku bunga pinjaman bank internasional mencapai rata-rata 5%.
Dengan perbedaan yang sangat besar ini, meskipun sesudah ditambahkan dengan country
risk premium Indonesia yang cukup tinggi dan biaya lindung nilai, meminjam dari bank
di luar negeri masih dirasakan menguntungkan perusahaan Indonesia.
b. Capital market yang terintegrasi
Semakin terintegrasinya capital market dunia memberikan kemudahan apa akses pasar
serta keleluasaan untuk memegang dan bertransaksi untuk memegang mata uang asing.
Perekonomian tanpa batas, baik melalui perdagangan maupun melalui modus lainnya
mendorong pergerakan modal secara lebih leluasa ke berbagai negara. Hal ini didukung
pula dengan terbentuknya lembaga-lembaga keuangan internasional seperti WTO, IMF,
dan World Bank. Dua hal tersebut mendukung perkembangan terms of trade dan siklus
bisnis internasional yang menjadi pemicu mengalirnya modal ke negara-negara emerging
markets.
c. Kelebihan likuiditas di pasar internasional
Kreditur luar negeri yang pada masa itu berada dalam kondisi kelebihan likuiditas
memberikan penilaian yang berlebihan terhadap kinerja fundamental perekonomian dan
kemampuan mengembalikan pinjaman luar negeri Indonesia. Perilaku yang menunjukkan
keyakinan terhadap kemampuan Indonesia tersebut berakibat pada meningkatnya
keberanian dalam mengambil resiko yang berdampak meningkatnya jumlah pinjaman
luar negeri swasta Indonesia.
d. Variasi produk financing
Bervariasi produk pembiayaan yang disediakan oleh perbankan dan pasar modal luar
negeri mampu menawarkan fasilitas kredit yang lebh menarik. Kuatnya dukungan
Universitas Sumatera Utara
finansial perbankan di luar negeri memungkinkan mereka memberikan kredit dalam
jangka waktu yang lebih panjang. Hal ini tidak dapat dilakukan oleh kebanyakan bank
domestik yang pendek. Dengan struktur jangka waktu sumber dana perbankan domestik
yang pendek, maka sulit bagi mereka untuk memenuhi kebutuhan dana jangka menengah
dan panjang dari berbagai perusahaan di dalam negeri.
e. Keterbatasan kemampuan bank untuk menyediakan kredit berjangka menengah penjang
sebabkan oleh masing sangat rendahnya sumber dana perbankan Indonesia yang
berjangka panjang. Angka pada akhir 2007 menunjukkan bahwa sebagian besar atau
sumber dana perbankan berjangka waktu satu (1) bulan. Hanya 0,6% sumber dana bank
yang berjangka waktu antara 1-2 tahun. Dengan struktur pendanaan ini, kemampuan
perbankan domestik dalam memberikan kredit dalam jangka panjang menjadi sangat
terbatas. Akibatnya, industri perbankan lebih banyak memfokukan penyaluran dananya
ke kredit konsumsi dengan jumlah yang relatif kecil.
f. Persyaratan dan prosedur pinjaman yang mudah
Salah satu hambatan swasta meminjam dari bank domestikadalah persyaratan yang
dipandang berbelit-belit. Masalah agunan, misalnya, hingga saat ini masih menjadi syarat
utama bagi pengusaha untuk mndapatkan pinjaman bank domestik. Terlalu beratnya
persyaratan kredit dari perbankan domestik ini juga disebabkan karena adanya informasi
yang asimetris. Kelemahan ini akhirnya direfleksikan pada keengganan perbankan
domestik untuk membiayai banyak proyek perusahaan yang sesungguhnya sangat
potensial.
g. Kompentensi dan reputasi bank asing di luar negeri
Universitas Sumatera Utara
Bank asing di luar negeri sering dinilai lebih kompeten dan memiliki reputasi yang lebih
baik sehingga lebih dipercaya oleh pelaku bisnis Indonesia. Disamping itu, dengan
jaringan yang luas internasional dan penguasaan teknologi yang lebih baik, bank-bank
internasional dapat memenuhi kebutuhan para debitur lebih yang berorientasi ekspor.
2.3.3 Beban Cicilan dan Bunga Utang terhadap Perekonomian serta Peranan Pinjaman
Luar Negeri Terhadap Pembiyaan Pembangunan
Beban pembayaran cicilan dan bunga utang pemerintah berdampak pada beban APBN
yang semakin berat dan arus modal keluar semakin deras menurun, diimbangi peningkatan laju
ekspor. Lebih jauh lagi, investasi pemerintah (belanja pembangunan) semakin tertekan karena
alokasi dana untuk membayar cicilan utang dan bunganya.Beban cicilan dan bunga utang
pemerintah yang semakin besar menggeser alokasi dana-dana untuk pengeluaran pos lain. Secara
tidak langsung, masyarakat terkena dampaknya dengan berkurangnya proporsi pengeluaran
untuk pos-spos yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat ( Faisal H.Basri, 2002:254).
Krisis yang terjadi sejak 1997 telah menyebabkan beban APBN dalam utang publik
mencapai lebih dari 110 persen terhadap PDB. Beban utang politik ini separuhnya adalah utang
dalam negeri (obligasi) yang nilainya mencapai RP 650 triliun untuk perbaikan sektor
perbankan, serta utang luar negeri yang jumlahnya mencapai US$ 75 milyar ( Mulyani, 2001,
dalam Eddy Suandi Hamid, 2001:154).
Walaupun perekonomian nasional terus menanggung beban pembayaran bunga dan
cicilan utang masa lalu itu, pada saat yang sama pemerintah juga terus membuat utang-utang
baru. Pemerintah terus meminjam dana dari luar negeri untuk menutupi defisit anggaran
belanjanya (APBN). Pinjaman pemerintah tersebut bukan hanya untuk membiayai pengeluaran
pembangunan, bahkan pernah digunakan untuk menutupi defisit pengeluaran rutinnya.
Universitas Sumatera Utara
Pemerintah telah pula mengikatkan diri dengan IMF untuk mengatasi krisis yang terjadi dengan
meminjam secara bertahap senilai US$ 43 milliar, disamping terus meminjam dari CGI dengan
angka berkisar US$ 5 milyar per tahun. Sektor swasta yang sebelumnya secara tidak terkontrol
utang luar negerinya, dan sangat terpuruk akibat krisis tersebut, telah pula mulai lagi “mendapat
kepercayaan” dari luar negeri, dan kembali memuat komitmen dengan mitra bisnisnya di luar.
Masuknya arus utang luar negeri di tengah utang lama belum mampu di bayar, dan juga
terus dinegosiasikan untuk menjadwalkan kembali (reschedulling) kontrak yang sudah dibuat
sebelumnya, menjadi sesuatu hal yang tak terelakkan. Dari sisi pemerintah, dana segar berupa
valuta asing dari luar negeri tersebut bukan saja sangat penting untuk menutup defisit fiskal yang
terjadi dalam APBN-nya, melainkan juga untuk mencegah terus merosotnya nilai mata uang
rupiah terhadap mata uang lainnya. Sementar itu, sektor swasta membutuhkan dana tersebut
untuk dapat mempertahankan aktivitasnyam, baik itu meneruskan investasi yang sudah terlanjur
dilakukan atau untuk menjaga pasarnya yang sudah dikuasainya. Dengan kata lain, di tengah
krisis ekonomi dan usaha untuk krisis ini, Indonesia semakin terjerat dalam jebakan utang (debt
trap). Hal ini bisa menimbulkan persoalan yang sama dalam jangka panjang, yaitu ekonomi
mengalami krisis kembali, karena pada saat jatuh tempo nantinya semua kewajiban tersebut tetap
harus dibayar. Oleh karena itu, walaupun Indonesia sangat membutuhkan valuta asing tersebut,
manajemen utang harus sudah di desain dengan melihat kemampuan membayar jangka panjang.
Jika Investasi dari luar negeri ini benar-benar terarah pada sektor prodktif dan dapat
menghasilkan devisa pada masa yang akan datang, maka masalah pembayaran utang tersebut
akan dapat diatasi. Namun jika kita mengulangi kesalahan pada masa yang lalu, maka sejarah
akan kembali terulang. Sebab, baik dari sisi manajemen utang luar negeri pemerintah maupun
Universitas Sumatera Utara
swasta pada masa lalu sangat potensial melahirkan ketidakmampuan untuk membayar kembali
kewajiban utangnya.
Pembangunan ekonomi pada dasarnya diartikan sebagai suatu proses di mana Produk
Domestik Bruto (PDB) riil maupun pendapat riil per kapita meningkat dalam jangka waktu
tertentu secara terus-menerus melalui kenaikan produktivitas per kapita (D. Salvatore dan E.T.
Dowling, 1997). Sasaran yang berupa kenaikan tingkat produksi riil (pendapatan per kapita)
tersebut merupakan tujuan utama yang perlu dicapai dengan menyediakan dan mengerahkan
sumber-sumber produksi untuk itu. Dalam hubungan ini dapat dikemukakan bahwa pertumbuhan
ekonomi yang dinyatakan dengan peningkatan output dan pendapatan riil per kapita itu bukanlah
satu-satunya sasaran kebijakan pembangunan di negara-negara berkembang.
Namun demikian kebijakan pembangunan ekonomi dalam upaya menaikkan tingkat
pertumbuhan output itu merupakan bagian utama dari rencana pembangunan pda kebanyakan
negara berkembang. Hal ini disebabkan karena: (1) pertumbuhan ekonomi dipandang sebagai
suatu syarat yang sangat diperlukan untuk perbaikan dalam kesejahteraan masyarakat, dan (2)
pertumbuhan ekonomi dipandang sebagai prasyarat untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan
lainnya, seperti: penyediaan dan perluasan kesempatan kerja, redisribusi pendapatan dan
kekayaan dalam masyarakat, serta penyediaan fasilitas atau sarana sosial di bidang-bidang
perumahan, pendidikan, kesehatan, dan fasilitas sosial lainnya.
Pertumbuhan ekonomi membutuhkan penyediaan atas pengalokasian sumber-sumber
produksi untuk ditujukan pada proses produksi barang-barang modal yang tidak dipakai untuk
konsumsi langsung, tetapi akan digunakan untuk proses produksi selanjutnya guna menghasilkan
barang dan jasa. Dengan demikian perlu tersedia modal atau dana pembiyaan untuk
pembangunan nasional yang pada dasarnya berasal dari: (1) sumber dana modal dari dalam
Universitas Sumatera Utara
negeri dan (2) sumber daya modal dari luar negeri. Sumber modal dari dalam negeri adalah
berupa tabungan yang diciptakan dan dihimpun dengan cara mengehmat atau menekan konsumsi
sekarang, baik sektor pemerintah maupun sektor swasta dan masyarakat. Sedangkan sumber
modal dari luar negeri adalah berupa hibah (grant), bantuan atau pinjaman luar negeri dan
penanaman modal asing.
Untuk memperkirakan berapa besarnya kebutuhan modal atau dana yang diperlukan
guna meningkatkan target pertumbuhan ekonomi tertentu, maka penyusunan rencana
pembangunan sering kali mendasarkannya pada konsep Harrold-Domar tentang incremental
capital output ratio atau ICOR. Dalam hubungan ini dipakai rumus k = s/g, di mana k = ICOR, s
= saving ratio (S/Y) dan g = target pertumbuhan ekonomi∆Y/Y).
(
Dan rumus dasar ini dapat
diubah menjadi g = s/k. Untuk memperoleh laju pertumbuhan pendapatan riil per kapita adalah d
= s/k-r. Dengan menggunakan rumus ini dapat ditentukan atau diperkirakan secara makro berapa
besarnya kebutuhan tabungan (saving) dan modal yang perlu diakumulasi untuk mencapai target
pertumbuhan ekonomi tertentu baik secara nasional total maupun secara rata-rata per kapita.
Karena bantuan luar negri itu diberikan dengan disertai pemberian konsesi (concessional)
berupa tungkat bunga yang lebih rendah daripada bunga psar (bunga komersial), maka pada
umumnya pinjaman itu disebut sebagai bantuan luar negeri. Jadi bantuan luar negeri itu
mengandung unsur hibah (grant element), di mana nilai hibah dari bantuan grant yang tidak
mengikat adalah sebesar harga nominalnya (face value), sedangkan nilai hibah dari pinjaman
adalah selisih nilai nominal semula dari pinjaman dengan nilai diskonto sekarang dari
pembayaran pinjaman sebagai presentase dari nilai nominal semula. Dalam hubungan ini dapat
dikemukakan bahwa unsur hiba suatu bantuan akan semakin besar bilamana tingkat bunga
Universitas Sumatera Utara
bantuan itu semakin rendah serta masa tenggang waktu ataupun jangka waktu pelunasannya
kembali lebih lama (Kamaluddin, 1998).
2.4. Kerangka Konseptual Penelitian dan Hipotesis
Pada penlisan skripsi ini, penulis menjelaskan variabel- variabel yang saling
mempengaruhi dalam bentuk gambar kerangka konseptual dan variabel – variabel lain yang
mempengaruhi variabel-variabel lain yang saling mempengaruhi tersebut.
Dimana gambar terlihat adanya hubungan satu arah antara utang luar negeri dan
pertumbuhan ekonomi.
PERTUMBUHAN
EKONOMI
(Y)
UTANG LUAR
NEGERI
(x)
2.4.1 Hipotesis Penelitian
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap permasalahan yang menjadi objek
penelitian, yang kebenarannya masih perlu dibuktikan atau diuji secara empiris. Berdasarkan
permasalahan, maka hipotesis penelitiannya adalah sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
Download