11 BAB II TINJAUAN TEORITIS, KERANGKA PEMIKIRAN DAN

advertisement
11
BAB II
TINJAUAN TEORITIS, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1 Konsep Industri Kecil
2.1.1
Definisi Industri Kecil
Pengertian usaha kecil banyak didefinisikan oleh berbagai kalangan baik
para ahli maupun masyarakat, dan definisi yang mereka ungkapkan pun berbedabeda. Sampai saat ini batasan mengenai industri kecil masih berbeda-beda
tergantung pada fokus permasalahannya masing-masing.
Di Indonesia terdapat berbagai pengertian dan batasan mengenai industri
kecil, berikut ini pengertian industri kecil berdasarkan Undang-Undang No. 9
Tahun 1995 Bab 1 Pasal 1 yaitu: “Usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat
yang berskala kecil dan memenuhi kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan
tahunan serta kepemilikan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.”
Adapun kriteria usaha kecil menurut Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 Bab 3
Pasal 5 adalah sebagai berikut:
a.
Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200 juta, tidak termasuk
tanah dan bangunan tempat usaha.
b.
Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 1 milyar.
c.
Milik Warga Negara Indonesia.
d.
Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang
perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung
maupun tidak langsung dengan usaha menengah atau usaha besar.
12
e.
Berbentuk usaha orang per orang, badan usaha yang tidak berbadan
hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi.
Penggolongan industri dengan pendekatan besar kecilnya skala usaha
dilakukan oleh beberapa lembaga, dengan kriteria yang berbeda-beda. Biro Pusat
Statistik membedakan skala industri menjadi empat lapisan berdasarkan jumlah
tenaga kerja per unit usaha, yaitu: perusahaan yang mempunyai pekerja 100 orang
lebih termasuk industri besar, 20 sampai 9 orang termasuk industri sedang, 5
sampai 9 orang termasuk industri kecil, dan yang termasuk ke dalam industri
kerajinan rumah tangga mempunyai tenaga kerja kurang dari 5 orang. (Dumairy,
1997:232).
Sedangkan untuk keperluan pengembangan sektor industri sendiri
(industrialisasi) serta berkaitan dengan administrasi, Departemen Perindustrian
dan Perdagangan, industri di Indonesia digolong-golongkan berdasarkan
hubungan produksinya menjadi:
1. Industri hulu, yang terdiri atas:
a. Industri kimia,
b. Industri mesin, logam dasar dan elektronika.
2. Industri hilir, yang terdiri atas:
a. Aneka industri, dan
b. Industri kecil
(Dumairy, 1997:232)
Bank Indonesia, untuk keperluan kalangan perbankan menetapkan batasan
tersendiri mengenai besar kecilnya skala usaha perusahaan atau industri. Dasar
kriteria yang digunakan Bank Indonesia adalah besar kecilnya kekayaan (assets)
yang dimiliki. Klasifikasi berdasarkan penetapan pada tahun 1990 adalah:
1. Perusahaan besar: perusahaan yang memiliki asset (tidak termasuk nilai
tanah dan bangunan) ≥ Rp 600 juta.
13
2. Perusahaan kecil: perusahaan yang memiliki asset (tidak termasuk nilai
tanah dan bangunan) < Rp 600 juta.
(Dumairy, 1997:233)
Jadi dari beberapa definisi industri kecil yang telah disebutkan di atas
dapat disimpulkan bahwa industri kecil adalah suatu usaha yang didirikan sendiri
atau perorangan melalui proses produksi, dengan jumlah tenaga kerja kurang dari
50 orang, dan modal yang relatif kecil untuk mengolah barang setengah jadi
menjadi barang jadi yang memiliki nilai tambah guna mendapatkan keuntungan.
2.1.2 Karakteristik Industri Kecil
Usaha kecil sangat cocok sekali dikembangkan di Indonesia, karena
memiliki sifat padat karya. Usaha kecil ini dapat memperluas kesempatan kerja
dan pemerataan pembangunan juga dapat meningkatkan perekonomian.
Usaha kecil yang bersifat padat karya memiliki peran penting yang sangat
penting dalam penyerapan tenaga kerja dan sangat membantu masyarakat
ekonomi lemah untuk meningkatkan pendapatannya, khususnya masyarakat yang
berpenghasilan rendah. Oleh karena itu, pemerintah diharuskan menaruh perhatian
yang besar terhadap usaha kecil ini. Karena di samping sifatnya yang padat karya,
usaha kecil juga diharapkan dapat terus berkembang dan mampu bersaing merebut
pangsa pasar.
Pada umumnya perusahaan kecil memiliki ciri-ciri khusus tertentu yang
tidak terdapat pada industri besar, misalnya rumah pemilik perusahaan tidak
hanya sebagai tempat tinggal, tetapi sekaligus juga sebagai tempat usaha dan
tempat kerja. Mesin-mesin, peralatan, bahan baku, barang setengah jadi, dan
seluruh bahan lain untuk proses usaha, tertampung di rumah si pengusaha sendiri.
14
Dalam usaha seperti ini tidak hanya untuk diri pengusaha atau pemilik, tetapi
tempat itu telah tercipta suatu iklim kerja yang mengakar dan berlaku bagi seluruh
anggota keluarga. Selain itu perusahaan kecil juga memiliki ciri-ciri khusus
seperti manajemen, persyaratan modal, dan pengoperasian yang bersifat lokal.
Pada usaha kecil, manajer yang mengoperasikan perusahaan adalah pemilik,
majikan dan investor yang mengambil keputusannya secara mandiri, maka daerah
operasinya juga adalah lokal, majikan dan karyawan tinggal dalam satu daerah
yang sama, bahan baku lokal dan pemasarannya pun hanya pada lokasi atau
daerah tertentu. Beberapa usaha kecil juga menghasilkan produk untuk keperluan
ekspor dengan skala yang relatif kecil, relatif spesifik dan diversifikasi, dan pada
usaha kecil juga memiliki jumlah karyawan yang sedikit, secara keseluruhan
merupakan sektor yang mampu menyerap tenaga kerja lokal yang cukup besar dan
tersebar.
Pada saat ini tidak dapat dipungkiri bahwa asal usul hampir semua
pengusaha nasional yang tangguh saat ini telah membidangi usaha kecil-kecilan
yang sukses karena berbagai faktor kejelian, ketajaman menganalisis keadaan,
pandai mengikuti dan memanfaatkan situasi, tekun, hemat, pembinaan karyawan
yang terus-menerus, dan lain-lain.
Sedangkan menurut hasil studi lembaga manajemen Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia, menunjukan bahwa di Indonesia kriteria usaha kecil itu
sangat berbeda-beda, tergantung pada fokus permasalahan yang dituju dan
instansi yang berkaitan dengan sektor ini. Sedangkan di negara lain kriteria yang
ada akhirnya turut menentukan ciri usaha kecil, yang antara lain ditentukan oleh
15
karyawan yang dimiliki perusahaan yang bersangkutan. (Pandji Anoraga &
Sudantoko, 2002:45)
Secara umum sektor usaha kecil memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Sistem pembukuan yang relatif sederhana dan cenderung tidak
mengikuti kaidah administrasi pembukuan standar.
b. Margin usaha yang cenderung tipis mengingat persaingan yang sangat
tinggi.
c. Modal terbatas.
d. Pengalaman manajerial dalam mengelola perusahaan masih sangat
terbatas
e. Skala ekonomi yang terlalu kecil.
f. Kemampuan pemasaran dan negosiasi serta diversifikasi pasar sangat
terbatas.
g. Kemampuan untuk memperoleh sumber dana dari pasar modal rendah,
mengingat keterbatasan dalam sistem administrasinya. (Pandji
Anoraga & Sudantoko, 2002:225-226)
2.1.3 Kekuatan dan Kelemahan Industri Kecil
Dalam mengembangkan usahanya, usaha kecil memiliki kekuatan dan
kelemahan tersendiri. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Bachtiar Hasan
(2003 : 13) adalah terutama dalam beberapa hal berikut ini:
1. Persaingan dan kebijakan pemerintah, kebijakan pemerintah untuk
membatasi jumlah industri yang bisa masuk dalam jenis usaha tertentu,
memberikan peluang bagi industri kecil untuk lebih berkembang.
2. Kondisi ekonomi dan tingkah laku konsumen
Secara teoritis, keadaan ekonomi dimana daya beli konsumen menurun
akan mendorong konsumen beralih ke produk atau barang-barang
substitusi.
3. Perkembangan industri/perusahaan besar.
Kesempatan industri kecil dari perkembangan industri besar adalah
pengisian bagian-bagian produk atau komponen yang dihasilkan oleh
industri besar.
4. Perkembangan teknologi
Teknologi baru melahirkan kebutuhan baru dan jenis produk baru.
5. Semangat berusaha.
Semangat yang tinggi merupakan daya dorong terhadap inisiatif
terhadap munculnya ide baru.
16
6. Sangat padat karya, dan persediaan tenaga kerja di Indonesia masih
sangat banyak, mengikuti laju pertumbuhan penduduk, dan angkatan
kerja yang rata-rata pertahun masih sangat tinggi.
Adapun kelemahan industri kecil.
1. Industri kecil di Indonesia masih lebih banyak membuat produkproduk sederhana yang tidak terlalu membutuhkan pendidikan formal
yang tinggi, melainkan keahlian khusus yang dapat dimiliki warga
setempat lewat sumber-sumber informal (traditional skill)
2. Banyak industri kecil yang membuat produk-produk yang bernuansa
kultur seperti kerajinan, yang pada dasarnya merupakan keahlian
tersendiri dari masyarakat di masing-masing daerah.
3. Secara umum, kegiatan industri kecil di indonesia masih sangat
agricultural based, karena memang banyak komoditas-komoditas
pertanian yang dapat diolah dalam skala kecil.
4. Pengusaha-pengusaha kecil dan rumah tangga lebih banyak
menggantungkan diri pada uang sendiri, atau pinjaman dari sumber
informal, untuk modal kerja dan investasi mereka. ( Tulus Tambunan
2001:188-120)
Kelemahan industri kecil terutama dalam hal kemampuannya untuk
bersaing masih sangat lemah, tidak hanya di pasar domestik tetapi juga di pasar
ekspor. Masalah tersebut disebabkan karena keterbatasan dana, baik untuk modal
kerja maupun investasi, kesulitan dalam pemasaran, distribusi dan penyediaan
bahan baku dan input-input lainnya, keterbatasan sumber daya manusia
(pengusaha dan pekerja) dengan kualitas yang baik, pengetahuan/wawasan yang
minim mengenai bisnis, tidak adanya akses ke informasi, keterbatasan teknologi,
dan lainnya.
2.1.4 Fungsi dan Peran UKM
UKM (Usaha Kecil dan Menengah) memiliki peran yang sangat besar
terhadap perekonomian Nasional. Adapun fungsi dan peran UKM diantaranya
adalah sebagai penyedia barang dan jasa, penyerap tenaga kerja, pemerataan
pendapatan, nilai tambah bagi produk daerah, peningkatan taraf hidup. Melihat
17
perannya yang begitu besar maka pembinaan dan pengembangan industri kecil
bukan saja penting sebagai jalur ke arah pemerataan hasil-hasil pembangunan
tetapi juga sebagai unsur pokok dari seluruh struktur industri di Indonesia karena
dengan investasi yang kecil dapat berproduksi secara efektif dan dapat menyerap
banyak tenaga kerja.
2.2 Konsep Modal Kerja
2.2.1 Pengertian Modal Kerja
Untuk mendirikan atau menjalankan suatu usaha diperlukan sejumlah
modal (uang) dan tenaga (keahlian). Modal juga diperlukan untuk membiayai
operasi usaha pada saat bisnis tersebut dijalankan. Jenis biaya ini misalnya biaya
bahan baku, biaya tenaga kerja, dan biaya lainnya. Modal adalah salah satu faktor
produksi yang sangat penting bagi setiap usaha, baik skala kecil, menengah,
maupun besar.
Dalam banyak studi atau literatur sering disebut bahwa modal sering
menjadi faktor penghambat utama bagi perkembangan usaha atau pertumbuhan
output industri kecil dan industri rumah tangga, karena kelompok unit usaha ini
seperti yang juga dialami oleh banyak usaha kecil di sektor-sektor lainnya, sering
mengalami keterbatasan modal.
Perusahaan perlu melakukan pengelolaan modal kerja dengan baik.
Meskipun besar kecilnya modal kerja bukan merupakan ukuran utama dalam
menilai tingkat kontinuitas perusahaan, namun masalah pengelolaan modal kerja
merupakan hal yang paling dominan dalam suatu perusahaan.
18
Dalam penelitian ini penulis kemukakan beberapa pengertian modal kerja
dari beberapa ahli, diantaranya pendapat yang dikemukakan oleh Komarudin.
a. Modal dalam pengertian persediaan uang yang digunakan untuk
mendapatkan keuntungan dalam perdagangan.
b. Modal dengan maksud untuk menggambarkan persediaan berupa
barang-barang. (Komarrudin Ahmad, 1997:46)
Bambang Riyanto (1995: 57) memberikan beberapa konsep pengertian
modal kerja sebagai berikut:
1.
Konsep Kuantitatif
Modal kerja menurut konsep ini adalah keseluruhan dari jumlah aktiva
lancar. Modal kerja dalam pengertian ini sering disebut modal kerja
bruto (gross working capital)
2.
Konsep Kualitatif
Modal kerja menurut konsep ini adalah sebagian aktiva lancar yang
benar-benar dapat digunakan untuk membiayai operasinya perusahaan
tanpa mengganggu likuiditasnya, yaitu yang merupakan kelebihan
aktiva lancarnya. Modal kerja dalam pengertian ini sering disebut
modal kerja neto (net working capital)
3.
Konsep Fungsional
Modal kerja menurut konsep ini menitikberatkan fungsi dari dana
yang dimilki dalam rangka menghasilkan pendapatan (laba) dari usaha
pokok perusahaan
“Traditionally, working capital is defined as the firm’s total invesment in
current. Net working capital, on the other hand is the difference between the
firm’s current assets and its current liabilities”. (Arthur J. Keown, F Scoot Jr,
John D. Martin, J William Petty, 1996: 619) dikutip dari Yulianti (2003: 10)
Secara tradisional, modal kerja didefinisikan sebagai investasi perusahaan
dalam aktiva lancar (current asset). Aktiva lancar itu sendiri terdiri dari semua
aktiva/aset yang dapat dicairkan paling lama satu tahun, aktiva yang dapat
digolongkan sebagai aktiva lancar adalah uang tunai (cash), sekuritas yang mudah
19
diperjualbelikan (marketable securities), piutang dagang (account receivable),
dan persediaan barang (inventory).
Pendapat lain dikemukakan oleh Indriyo (1994: 27) dalam bukunya
Manajemen Keuangan, yaitu: “Modal kerja merupakan kekayaan atau aktiva yang
diperlukan oleh perusahaan untuk melakukan kegiatan sehari-hari dan yang selalu
berputar.”
Berdasarkan pendapat-pendapat yang telah dikemukakan tersebut dapat
diambil suatu kesimpulan bahwa modal kerja adalah investasi perusahaan dalam
aktiva lancar yang diperlukan oleh perusahaan untuk melaksanakan aktivitas
usahanya sehari-hari.
2.2.2
Jenis-jenis Modal Kerja
W.B Taylor (dikutip oleh Bambang Riyanto, dasar-dasar Manajemen
Keuangan 1995: 61) menggolongkan modal kerja dalam:
1. Modal Kerja Permanen (Permanen Working Capital), yaitu modal
kerja yang harus tetap ada pada perusahaan untuk dapat menjalankan
fungsinya, terdiri dari:
• Modal Kerja Primer (Primary Working Capital), yaitu jumlah
modal kerja minimum yang harus ada pada perusahaan untuk
menjamin kontinuitas perusahaan
• Modal Kerja Normal (Normal Working Capital), yaitu modal kerja
yang diperlukan untuk menyelenggarakan luas produksi yang
normal
2. Modal Kerja Variabel (Variable Working Capital), yaitu modal kerja
yang jumlahnya berubah-ubah terdiri dari:
• Modal Kerja Musiman (Seasonal Working Capital), yaitu modal
kerja yang jumlahnya berubah-ubah disebabkan fluktuasi musim
• Modal Kerja Siklis (Cyclical Working Capital), yaitu modal kerja
yang jumlahnya berubah-ubah disebabkan fluktusi konjungtur
• Modal Kerja Darurat (Emergency Working Capital), yaitu modal
kerja yang jumlahnya berubah-ubah karena adanya keadaan darurat
yang tidak diketahui sebelumnya (misalnya ada kerusuhan,
pemogokan buruh, inflasi, devaluasi)
20
Sedangkan menurut Van Horne dan John M. Wachowict, Jr (1995: 207)
dalam Yulianti (2003: 12) mengklasifikasikan modal kerja ke dalam:
• Permanent working capital, the amount of current required to meet a
firm’s long term needs. You might call this “bare bones” working
capital
• Temporary working capital, on the other hand, is the invesment in
current assets that varies with seasonal requirements
Modal kerja permanen adalah jumlah aktiva lancar yang dibutuhkan
perusahaan dalam waktu yang lama untuk kegiatan perusahaan sedangkan modal
kerja sementara adalah investasi dalam aktiva lancar yang bersifat musiman.
2.2.3
Unsur-unsur Modal Kerja
Modal kerja memiliki unsur-unsur yang membentuk modal kerja itu
sendiri. Unsur-unsur tersebut adalah utang lancar dan aktiva lancar. Mengenai
aktiva lancar, menurut Abdullah Shahab (1998: 52) yang dimaksud dengan aktiva
lancar adalah “Uang tunai yang ada diperusahaan maupun yang disimpan di bank,
aktiva yang diharapkan menjadi uang, dijual atau dikonsumsikan dalam jangka
waktu satu tahun atau dalam siklus akuntansi normal.”
Sedangkan menurut Zaki Badriwan (1997: 21) aktiva lancar adalah “Uang
kas dan aktiva-aktiva lain atau sumber-sumber yang diharapkan akan
direalisasikan menjadi uang kas atau dijual atau dikonsumsi selama siklus usaha
perusahaan yang normal atau dalam waktu satu tahun.”
Dari kedua pengertian diatas, penulis menyimpulkan bahwa aktiva lancar
adalah uang tunai dan aktiva lainnya yang mudah dicairkan menjadi uang tunai.
Di dalam neraca, aktiva lancar disajikan berdasarkan tingkat likuiditasnya,
yang termasuk dalam aktiva lancar adalah:
21
a. Kas atau uang tunai yang dapat digunakan untuk membiayai operasi
perusahaan, uang tunai yang dimiliki oleh perusahaan, tetapi sudah
ditentukan penggunaannya (misalnya uang kas yang disisihkan untuk
pelunasan utang obligasi, untuk pembelian aktiva tetap atau tujuan
lain) tidak dapat dimasukan dalam pos kas. Termasuk pengertian kas
adalah cek yang diterima dari para langganan dan simpanan
perusahaan di bank dalam bentuk giro atau demand deposit, yaitu
simpanan di bank (cash in bank) yang dapat diambil kembali setiap
saat diperlukan oleh perusahaan, cash in hand, yaitu simpanan yang
berada di perusahaan dan setara cash.
b. Investasi jangka pendek (surat-surat berharga atau marketable
securities) adalah investasi yang sifatnya sementara (jangka pendek)
dengan maksud untuk memanfaatkan uang kas yang untuk sementara
belum dibutuhkan dalam operasi. Syarat utama agar dapat dimasukan
dalam investasi jangka pendek adalah bahwa investasi itu harus
marketable artinya setiap perusahaan membutuhkan uang, investasi itu
dapat segera dijual dengan harga yang pasti. Yang termasuk dalam
investasi jangka pendek adalah (1) deposito di bank, (2) surat-surat
berharga yang berwujud saham, obligasi dan surat hipotik, sertifikat
bank dan lain-lain investasi yang mudah diperjualbelikan, investasi
jangka pendek ini disajikan dalam neraca sebesar harga perolehannya
atau harga pasar mana yang lebih rendah.
22
c. Piutang wesel, adalah tagihan perusahaan kepada pihak lain yang
dinyatakan dalam suatu wesel atau perjanjian yang diatur dalam
undang-undang, maka wesel ini lebih mempunyai kekuatan hukum dan
lebih menjamin pelunasannya, dan piutang wesel (notes receivable) ini
dapat diperjualbelikan atau didiskontokan.
d. Piutang dagang adalah tagihan kepada pihak lain (kepada kreditur atau
langganan) sebagai akibat adanya penjualan barang dagangan secara
kredit. Pada dasarnya piutang bisa timbul tidak hanya karena hal-hal
lain misalnya piutang kepada pegawai, piutang-piutang karena
penjualan aktiva tetap secara kredit, piutang karena adanya penjualan
saham secara angsuran atau adanya uang muka untuk pembelian atau
kontrak kerja lainnya. Piutang-piutang yang dimilki oleh suatu
perusahaan hanya disajikan dalam neraca secara informatif. Piutang
dagang dan piutang lain-lain biasanya disajikan dalam neraca sebesar
nilai realisasinya, yaitu nilai nominal piutang dikurangi cadangan
kerugian piutang.
e. Persediaan, untuk perusahaan perdagangan yang dimaksud dengan
persediaan adalah semua barang yang diperdagangkan yang sampai
tanggal neraca masih digunakan/belum laku dijual. Untuk perusahaan
manufakturing maka persediaan yang dimilki meliputi: (1) Persediaan
barang mentah, (2) Persediaan barang dalam proses, (3) Persediaan
barang jadi, dan (4) Persediaan bahan penolong/bahan pembantu.
23
f. Piutang penghasilan atau penghasilan yang masih harus diterima
adalah penghasilan yang sudah menjadi hak perusahaan karena
perusahaan telah memberikan jasa/prestasinya, tetapi belum diterima
pembayarannya, sehingga merupakan tagihan.
g. Persekot atau biaya yang dibayar dimuka adalah pengeluaran untuk
memperoleh jasa/prestasi dari pihak lain, tetapi pengeluaran itu belum
menjadi biaya atau jasa/prestasi pihak lain itu belum dinikmati oleh
perusahaan pada periode ini melainkan pada periode berikutnya.
2.2.4
Fungsi Modal Kerja
Modal Kerja pada hakikatnya merupakan jumlah yang terus menerus harus
ada dalam menopang usaha perusahaan yang menjembatani antara saat
pengeluaran untuk memperoleh bahan atau jasa, dengan waktu penerimaan
penjualan. Atau pengeluaran untuk memperoleh bahan atau jasa, dengan waktu
penerimaan penjualan. Atau pengeluaran yang bersifat bukan untuk harta tetap.
keterangan di atas misalkan perusahaan baru saja dimulai.
Menurut Komarruddin Ahmad (1997:6) bahwa modal kerja mempunyai
dua fungsi yaitu :
1. Menopang kegiatan produksi dan penjualan atau sebagai jembatan
saat pengeluaran pembelian persediaan dengan penjualan dan
penerimaan kembali hasil pembayaran.
2. Menutup dana atau pengeluaran tetap dan dana yang tidak
berhubungan secara langsung dengan produksi dan penjualan.
2.2.5 Faktor Yang Menentukan Jumlah Modal Kerja
Meskipun metode perhitungan modal kerja atau pengertian modal kerja
yang digunakan, namun ada hal-hal yang tetap sama, bahwa kebutuhan modal
24
atau komposisi modal kerja seperti yang diungkapkan oleh Komaruddin
Ahmad(1997:6) akan dipengaruhi oleh :
a. Besar kecilnya kegiatan usaha atau perusahaan (produksi dan
penjualan), dimana semakin besar kegiatan perusahaan semakin besar
modal kerja yang diperlukan, apabila hal lainnya tetap. Selain besar
kecilnya usaha, sifat perusahaan juga mempengaruhi besarnya modal
kerja.
b. Kebijaksanaan tentang penjualan (kredit atau tunai). Persediaan (dengan
EOQ = Economic Orde Quantity dan Safety Stock), dan saldo ke kas
minimal, pembelian bahan (tunai atau kredit).
c. Faktor Lain :
1. Faktor-Faktor Ekonomi
2. Peraturan pemerintah yang berkaitan dengan uang ketat atau kredit
ketat
3. Tingkat bunga yang berlaku
4. Peredaran uang
5. Tersedianya bahan-bahan di pasar
6. Kebijakan perusahaan
2.2.6 Perputaran Modal Kerja
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, salah satu fungsi modal kerja
adalah ”menutup” jarak antara saat dikeluarkan uang tunai (kas) untuk
membayar/membeli persediaan/ bahan baku dan biaya lainnya dengan saat
diterimanya hasil penjualan.
Jarak yang dimaksud disebut periode perputaran modal kerja (working
capital turnover priod) atau suatu kas diinvestasikan dalam komponen-komponen
modal kerja sampai kembali lagi menjadi kas. Semakin pendek periode tersebut
berarti semakin cepat perputarannya (turnover) atau makin tinggi tingkat
perputaran. Lamanya periode perputaran tergantung sifat atau kegiatan operasi
suatu perusahaan, lama atau cepatnya perputaran ini akan menentukan pula besar
atau kecilnya kebutuhan modal kerja. Dalam menentukan perputaran modal kerja
menurut Komaruddin Ahmad (1997:8), banyak metode yang digunakan, yaitu:
25
a.
Metode keterikatan dana (siklus = daur dana)
b.
Metode perputaran (turnover)
BAHAN MENTAH
KAS
PIUTANG
BARANG SETENGAH
JADI
BARANG JADI
Gambar 2.1 Siklus Usaha Industri
Sumber Komaruddin Ahmad (1997:8)
2.2.7
Sumber Modal Kerja
Kebutuhan modal kerja sebaiknya dibiayai dengan modal yang serendah-
rendahnya dan bila memungkinkan dibiayai oleh modal sendiri, tetapi karena
perusahaan ingin meningkatkan perputaran aktivitasnya maka seringkali
perusahaan harus mencari dana dari luar guna memenuhi kebutuhan modal
kerjanya.
Untuk memenuhi modal kerja yang berasal dari luar perusahaan maka
perusahaan perlu memperhatikan jangka waktunya, komposisi atas modal yang
ditanamkan dalam perusahaan dan unsur risiko serta kekuasaan atas modal kerja,
pada dasarnya sumber modal suatu perusahaan menurut Munawir (1995: 120)
terdiri atas:
1. Permanent Financing, sumber yang sifatnya permanen dipergunakan
untuk memodali modal kerja permanen agar kontinuitas perusahaan
dapat terjamin, untuk itu sumber yang paling utama adalah modal
sendiri dan jika mendapat kekurangan dapat ditambah dengan
pinjaman jangka panjang.
2. Current Financing, sumber-sumber yang bersifat lancar diperlukan
untuk memodali nodal kerja variabel. Sumber-sumber yang bersifat
26
lancar ini berasal dari luar perusahaan dalam bentuk pinjaman jangka
pendek, current financing ada dua macam:
a. Internal Source, yaitu sumber-sumber yang telah ada di dalam
perusahaan yang terdiri dari:
• Pendapatan khayal/penyusutan, dapat dipakai selama belum
dibelikan mesin baru
• Kewajiban-kewajiban yang belum tiba saat pembayarannya
antara lain dana pensiun dan pajak
b. External Source, yaitu sumber-sumber yang ada di luar perusahaan
antara lain kredit perdagangan, pinjaman bank dan sebagainya.
2.2.8
Peranan Modal Kerja
Tersedianya modal kerja yang digunakan dalam operasi perusahaan adalah
suatu keharusan. Modal kerja yang ada harus cukup jumlahnya agar mampu
membiayai pengeluaran atau operasi perusahaan sehari-hari. Peranan modal kerja
dalam suatu perusahaan menurut J. Suprianto (1988: 23):
1. sebagai alat untuk mengukur likuiditas perusahaan yaitu alat untuk
mengetahui kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajibankewajiban finansialnya yang harus segera dipenuhi
2. pengaturan modal kerja yang baik dapat membantu pimpinan
perusahaan dalam menyusun rencana-rencana perusahaan untuk waktuwaktu yang akan datang dengan lebih baik.
2.3 Konsep Tenaga Kerja
Salah satu faktor produksi yang amat penting dalam setiap proses
produksi, yaitu tenaga kerja. Seperti yang dikatakan oleh Hadi Prayitno (Iwan
Kartaman, 1998:26) bahwa “faktor manusia dan keahliannya sangat penting
peranannya dalam pelaksanaan kegiatan usaha”.
Tenaga kerja adalah sebagian dari penduduk yang berfungsi ikut serta
dalam proses produksi dan menghasilkan barang-barang dan jasa-jasa. Manusia
merupakan sumber daya utama, karena semua pembangunan ekonomi ini lahir
dari akal budi manusia.
27
Secara langsung tenaga kerja ini berpengaruh terhadap hasil produksi
sebuah perusahaan. Ace Partadiredja (1990:30) menyatakan bahwa :
Dalam perusahaan jika menggunakan banyak tenaga kerja, yang apabila
sedikit tenaga yang digunakan, sedikit pula hasil produksi yang dicapai,
makin banyak tenaga kerja yang digunakan makin banyak barang dan jasa
yang dapat dibuat sampai suatu batas tertentu.
Mulyadi (dalam Rahmawati, 2003:16) menjelaskan, bahwa “tenaga
kerja merupakan usaha fisik/mental yang dikeluarkan karyawan untuk
memperoleh produk”. Biaya tenaga kerja adalah harga yang dibebankan kepada
penggunaan tenaga kerja manusia. biaya ini dapat berupa upah, gaji, dan premi
lembur.
Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan sumber daya manusialah
yang mampu mengelola faktor-faktor produksi lainnya, dimana keduanya
mempunyai peranan dalam proses produksi boneka.
Dalam suatu perusahaan tenaga kerja memegang peranan penting dalam
proses produksi, yaitu menghasilkan barang dan jasa, dengan keahlian yang
dimiliki dapat meningkatkan produksi dan penjualan sehingga pendapatan
pengusaha meningkat yang berarti perusahaan dapat berkembang. Dijelaskan pula
oleh Gomes (1995:7), “sumber daya manusia yang terdidik, terampil, cakap,
berdisiplin, tekun, kreatif, idealis, mau bekerja keras, kuat fisik dan mental, setia
pada tujuan dan cita-cita organisasi akan sangat berpengaruh positif terhadap
keberhasilan dan kemajuan organisasi”. Dengan demikian jelas bahwa hanya
tenaga kerja yang mempunyai kompetensi yang dapat mendukung keberhasilan
usaha dalam mempertahankan daya hidupnya.
28
Dari aspek produksi, perencanaan tenaga kerja harus diatur sesuai dengan
penyebarluasan produksi di berbagai pasaran berdasarkan ekonomi produksi dan
kondisi perorangan. Efisiensi proses produksi sangat tergantung pada penggunaan
tenaga kerja, bahan-bahan, teknis produksi, dan penggunaan sumber-sumber
lainnya Bennet N.B Silalahi (1983:97)
Tenaga kerja tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan upah. Upah
ditentukan pada suatu ekonomi pasar. Dalam pasar tenaga kerja terjadi penawaran
dan permintaan tenaga kerja. Semakin tinggi permintaan tenaga kerja, upah akan
semakin tinggi, sedangkan jika penawarannya yang tinggi, maka upah akan
rendah.
Pada industri boneka yang berada di Kecamatan Margahayu ini
kebanyakan tenaga kerjanya adalah masyarakat yang berada di sekitar tempat
industri, jadi dengan adanya perusahaan ini mengakibatkan banyak tenaga kerja
yang terserap, karena sistem yang berlaku adalah kekeluargaan. Jadi masyarakat
sekitar boleh membawa saudara-saudaranya untuk bekerja di perusahaan, dan bila
salah satu tenaga kerja tidak hadir, kehadirannya bisa digantikan oleh orang lain.
Tetapi hal ini menjadi satu kekurangan bagi industri boneka di Sayati, karena
keterampilan dan kualitas tiap-tiap orang itu berbeda. Dikhawatirkan terjadi satu
penurunan hasil dalam produksi boneka, karena produktivitas tiap orang itu
berbeda. Sejalan dengan yang dikatakan oleh Bennet N. B. Silalahi (1983:112)
bahwa :
Tenaga kerja yang kurang bertanggung jawab sudah tentu tidak akan
mendatangkan hasil yang bernilai cukup. Sebaliknya, tenaga kerja yang
sanggup bekerja keras saja belum tentu pula dapat menccapai sasaran
kerja yang dikehendaki.
29
Dari uraian-uraian di atas dapat dilihat bahwa tenaga kerja yang
berkompetensi
akan
mendukung
keberhasilan
usaha
boneka
dalam
mempertahankan daya hidupnya.
2.4 Perilaku Kewirausahaan
2.4.1 Perilaku
Perilaku adalah suatu fungsi dari interaksi antara seorang individu dengan
lingkungannya (Miftah Thoha, 2005:33) berdasarkan pengertian tersebut,
perilaku tidak dapat dipisahkan dari individu itu sendiri dengan lingkungan tempat
individu itu berada. Perilaku akan selalu berhubungan dengan individu dan
lingkungannya.
Berbicara tentang perilaku berarti berbicara tentang individu dengan
lingkungannya. Selanjutnya dikemukakan bahwa ”satuan dasar dari setiap
perilaku adalah serangkaian aktivitas-aktivitas atau kegiatan-kegiatan.” Moekijat
pun mengatakan hal yang sama bahwa” satuan perilaku yang pokok adalah satuan
kegiatan.” Sesungguhnya semua perilaku merupakan rentetan kegiatan-kegiatan
(Moekijat,
dalam Ajat Munajat, 2007:19). Dengan kata lain, wujud dari
perilaku adalah rangkaian kegiatan.
Seorang dikatakan mempunyai respon perilaku apabila bertindak sesuai
dengan yang dikehendakinya atau akan memilih alternatif lain apabila hal yang
telah dipilih sebelumnya tidak sesuai dengan yang dikehendakinya.
Miftah Thoha (2005:36) mengemukakan lima faktor yang dapat
mempengaruhi seseorang terangsang untuk berperilaku, yaitu sebagai berikut:
30
a.
b.
c.
d.
e.
Kebutuhan
Kemampuan
Cara berfikir untuk menemukan pilihan perilaku
Pengalaman
Reaksi-reaksi afektif
2.4.2 Kewirausahaan
Istilah kewirausahaan berasal dari terjemahan “Entrepreunership” yang
diartikan sebagai “the backbone of economy” yaitu syaraf pusat perekonomian
atau sebagai “tailbone economy”, yaitu pengendali perekonomian suatu bangsa
(Suryana, 2003:10). Sedangkan secara epistimologis, kewirausahaan hakikatnya
adalah suatu kemampuan dalam berfikir kreatif dan berperilaku inovatif yang
dijadikan dasar, sumber daya, tenaga penggerak, tujuan, siasat, kiat dalam
menghadapi tantangan hidup .
Kewirausahaan merupakan suatu kemampuan dalam menciptakan nilai
tambah di pasar melalui proses pengelolaan sumber daya dengan cara-cara baru
dan berbeda , melalui:
1. Pengembangan teknologi baru
2. Penemuan pengetahuan ilmiah baru
3. Perbaikan produk barang dan jasa yang ada
4. Penemuan cara-cara baru untuk menghasilkan barang lebih banyak dengan
sumber daya yang lebih efisien. (Suryana, 2003:2)
Beberapa definisi lain mengenai kewirausahaan diantaranya:
a. Menurut
Suryana
(2003:10)
secara
epistimologi,
kewirausahaan
merupakan nilai yang diperlukan untuk memulai suatu usaha (star-up
31
phase) atau suatu proses dalam mengerjakan suatu yang baru (creative)
dan sesuatu yang berbeda (innovative).
b. Menurut
Hisrich-Peters
(1995)
dalam
Buchari
Alma
(2005:25),
kewirausahaan adalah proses menciptakan sesuatu yang lain dengan
menggunakan waktu dan kegiatan disertai modal dan resiko serta
menerima balas jasa dan kepuasan serta kebebasan pribadi.
c. Menurut Thomas W Zimmerer (1996) dalam Suryana (2003:10),
kewirausahaan merupakan “applying creativity and innovation to solve the
problems and to exploit opportunities that people face everyday”.
Kewirausahaan
adalah
penerapan
kreativitas
dan
inovasi
untuk
memecahkan masalah dan upaya untuk memanfaatkan peluang yang
dihadapi setiap hari.
Rumusan entrepreneur yang berkembang sekarang ini sebenarnya banyak
berasal dari konsep Schumpeter (1934) dalam Suryana (2003 : 45) yaitu:
Entrepreneur merupakan pengusaha yang melaksanakan kombinasikombinasi baru dalam bidang teknik dan komersial ke dalam bentuk
praktik. Inti dari fungsi pengusaha adalah pengenalan dan pelaksanaan
kemungkinan-kemungkinan baru dalam bidang perekonomian.
Kemungkinan-kemungkinan baru yang dimaksudkan Schumpeter adalah,
pertama, memperkenalkan produk baru atau kualitas baru suatu barang
yang belum dikenal oleh konsumen. Kedua, melakukan suatu metode
produksi baru, dari suatu penemuan ilmiah baru dan cara-cara baru untuk
menangani suatu produk agar menjadi lebih mendatangkan keuntungan.
Ketiga, membuka suatu pemasar baru yaitu pasar yang belum pernah ada
atau belum pernah dimasuki cabang industri yang bersangkutan. Keempat,
pembukaan suatu sumber dasar baru atau setengah jadi atau sumbersumber yang masih harus dikembangkan. Kelima, pelaksanaan organisasi
baru. (Yuyun Wirasasmita (1982) dalam Suryana, 2003:12).
32
Sedangkan keinovasian menurut Zimmerer diartikan sebagai :
Kemampuan untuk menerapkan kreativitas dalam rangka memecahkan
persoalan-persoalan dan peluang untuk mempertinggi dan meningkatkan
taraf hidup (innovation is the ability to apply creative solutions to those
problems and opportunities to enhance or to enrich peoples live)
(Suryana, 2003:10).
Kewirausahaan muncul apabila seorang individu berani mengembangkan
usaha-usaha dan ide-ide barunya yang mencakup semua fungsi, aktivitas dan
tindakan yang berhubungan dengan perolehan peluang dan penciptaan usaha.
Kewirausahaan bisa berkembang apabila diawali dengan adanya pencapaian locus
of control, toleransi, pengambilan resiko, nilai-nilai pribadi, pendidikan,
pengalaman, usia, komitmen dan ketidakpuasan, sedangkan faktor pemicu yang
berasal dari lingkungan adalah aktivitas, peluang, pesaing sumber daya dan
kebijakan pemerintah.
Faktor pemicu yang berasal dari lingkungan sosial meliputi asal keluarga,
orang tua, dan jaringan kelompok yang sangat menentukan kewirausahaan. Selain
itu kewirausahaan sangat tergantung pada kemampuan pribadi dan lingkungan.
Kewirausahaan juga merupakan proses dinamik untuk menciptakan
tambahan kemakmuran. Tambahan kemakmuran ini diciptakan oleh individu
wirausaha yang menanggung resiko, menghabiskan waktu dan menyediakan
berbagai produk barang dan jasa. Hal ini sesuai dengan pendapat Hisrich-Peters
yang menyatakan :
Kewirausahaan adalah proses menciptakan sesuatu yang beda dengan
menggunakan waktu dan usaha disertai modal dan resiko serta menerima
balas jasa dan kepuasan serta kebebasan pribadi (Entrepreneurship is the
process of creating something different with value by devoting the
necessary time and effort, assuming the companying financial, psychic,
33
and social risk, and receiving the resulting rewards of monetery and
personal satisfaction and independence) (Buchori Alma, 2005:25)
Joseph Schumpeter (Buchori Alma, 2005:20) menyatakan bahwa
“Entrepreneur as the person who destroys the existing economic order by
introducing new product and services, by creating new forms of organization, or
by exploiting new raw materials”, artinya wirausaha adalah orang yang
mendobrak sistem ekonomi yang ada dengan memperkenalkan barang dan jasa
baru, dengan menciptakan organisasi baru, atau mengolah bahan baku baru.
Menurut Geoffrey G. Meredith et al (2002:5) “Para wirausaha adalah
individu-individu yang berorientasi kepada tindakan, dan bermotivasi tinggi yang
mengambil risiko dalam mengejar tujuannya”.
Daftar berikut ini memberikan sebuah profil dari wirausaha :
Tabel 2.1
Ciri-Ciri Dan Sifat-Sifat Wirausaha
Ciri-ciri
Watak
Keyakinan, ketidak ketergantungan,
Percaya diri
Berorientasikan tugas dan hasil
Pengambilan risiko
Kepemimpinan
Keorisinilan
Berorientasi ke masa depan
Sumber Geoffrey G Meredith, (2002:5)
individualitas dan optimisme
Kebutuhan akan prestasi, berorientasi
laba, ketekunan dan ketabahan, tekad
kerja keras, mempunyai dorongan
kuat, energitic, dan inisiatif
Kemampuan mengambil risiko, suka
pada tantangan
Bertingkah laku sebagai pimpinan,
dapat bergaul dengan orang lain, serta
menanggapi saran-saran dan kritik
Inovatif dan kreatif, fleksibel, punya
banyak sumber, serba bisa, mengetahui
banyak.
Pandangan
jauh ke depan dan
perseptif.
34
Dari beberapa konsep kewirausahaan yang dikemukakan tersebut, ada
enam hakikat kewirausahaan yaitu :
1. Kewirausahaan adalah suatu nilai yang diwujudkan dalam perilaku yang
dijadikan dasar sumber daya, tenaga penggerak, tujuan, siasat, kiat,
proses dan hasil bisnis.
2. Kewirausahan adalah suatu kemampuan untuk menciptakan sesuatu
yang baru dan berbeda.
3. Kewirausahaan adalah suatu proses penerapan kreativitas dan
keinovasian dalam memecahkan persoalan dan menemukan peluang
untuk memperbaiki kehidupan (usaha).
4. Kewirausahaan adalah suatu nilai yang diperlukan untuk memulai suatu
usaha (start-up phase) dan perkembangan usaha (venture growth)
5. Kewirausahaan adalah usaha menciptakan nilai tambah dengan jalan
mengkombinasikan sumber-sumber melalui cara-cara baru dan berbeda
untuk memenangkan persaingan.
6. Kewirausahaan adalah mereka yang berani memutuskan untuk bersikap,
berfikir dan bertindak secara mandiri, mencari nafkah dan berkarier
dengan jalan berusaha di atas kemampuan sendiri, dengan cara yang
jujur dan adil, jauh dari sifat-sifat kecurangan. (Suryana, 2003:13)
Berdasarkan pendapat para ahli yang diuraikan diatas, terdapat ciri umum
yang selalu terdapat dalam diri seorang wirausaha, yaitu kemampuan mengubah
sesuatu menjadi lebih baik atau mampu menciptakan nilai tambah sesuatu dari
nilainya rendah menjadi sesuatu yang mempunyai nilai yang lebih tinggi dengan
cara yang lebih baik. Dengan demikian seorang wirausaha adalah seseorang yang
memiliki kemampuan dan sikap mandiri, kreatif dan ulet dan tahan banting,
inovatif, berpandangan jauh kedepan, berani mengambil risiko, bertanggung
jawab, berjiwa kepemimpinan dan mampu mencari peluang yang ada serta
mampu meraih peluang tersebut dengan mengoptimalkan sumber daya yang ada
serta mampu meraih peluang tersebut dengan mengoptimalkan sumber daya yang
ada untuk memberikan nilai tambah demi tercapainya tujuan.
35
2.4.3 Perilaku Kewirausahaan
Orang yang berperilaku kewirausahaan menurut Buchori Alma (2005:23)
yaitu orang yang menekankan pada jiwa, semangat, kemudian diaplikasikan
dalam segala aspek kehidupan.
Seperti yang diungkapkan oleh Thomas W. Zimmerer dalam (Suryana,
2006:19) bahwa kewirausahaan adalah proses penerapan kreativitas dan inovasi
untuk memecahkan masalah dan menggali peluang yang dihadapi setiap orang
dalam setiap hasil.
Menurut Buchori Alma (2005:30) dari pengamatan perilaku wirausaha
maka dapat dikemukakan tiga tipe wirausaha, yaitu:
1. Wirausaha yang memiliki inisiatif
2. Wirausaha yang mengorganisir mekanis sosial dan ekonomi untuk
menghasilkan sesuatu
3. Yang menerima risiko atau kegagalan.
Seperti yang diungkapkan oleh Scarborough dan Thomas W. Zimmerer
dalam (Suryana, 2006:24) mengemukakan delapan karakteristik kewirausahaan
sebagai berikut:
1. Desire for responsibility, yaitu memiliki rasa tanggung jawab atas usahausaha yang dilakukannya.
2. Preference for moderat risk, yaitu lebih memilih risiko yang moderat
artinya selalu menghindari risiko, baik yang terlalu rendah maupun terlalu
tinggi.
3. Confidence in their ability to success, yaitu memiliki kepecayaan diri
untuk memperoleh kekuasaan.
4. Desire for immediate feedback, yaitu selalu menghendaki umpan balik
dengan segera
5. High level of energi, yaitu memiliki semangat dan kerja keras untuk
mewujudkan keinginan demi masa depan
6. Future orientation, memiliki perspektif jauh ke depan.
7. Skill at organizing, memiliki keterampilan untuk menciptakan nilai
tambah
36
8. Value of achievement over money, yaitu lebih menghargai prestasi
daripada uang.
Sedangkan perilaku kewirausahaan meliputi:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
Menyelesaikan tugas hingga selesai
Tidak melakukan spekulasi, melainkan berdasarkan perhitungan yang
matang
Memanfaatkan peluang yang ada sebaik mungkin
Melakukan pengamatan secara nyata untuk memperoleh kejelasan
Menganalisis data kinerja waktu untuk memandu kegiatan
Menunjukan kepercayaan diri yang besar walaupun berada dalam situasi
yang berat
Melihat uang sebagai suatu sumber daya, bukan tujuan akhir
Mengelola berdasarkan perencanaan masa depan. Fundamental small
business
management dalam (Suryana, 2006:25)
Model proses kewirausahaan model proses perintisan dan pengembangan
kewirausahaan ini digambarkan oleh Bygrave dalam Buchori Alma (2005:7)
menjadi urutan langkah-langkah berikut ini:
Innovation
(Inovasi)
Triggering Event
(Pemicu)
Implementation
(Pelaksanaan)
Growth
(Pertumbuhan)
Gambar 2.2
Model Proses Kewirausahaan
37
1. Proses Inovasi
Beberapa faktor personal yang mendorong inovasi adalah keinginan
berprestasi, adanya sifat penasaran, keinginan menanggung risiko, faktor
pendidikan dan pengalaman. Sedangkan faktor environment mendorong inovasi
adalah adanya peluang, pengalaman dan kreativitas.
2. Proses Pemicu
Beberapa faktor personal yang mendorong triggering event artinya yang
memicu atau memaksa seseorang untuk terjun ke dunia bisnis adalah: adanya
ketidakpuasan terhadap pekerjaan yang sekarang, adanya PHK atau tidak ada
pekerjaan
lain,
dorongan
faktor
usia,
keberanian
menanggung
risiko,
komitmen/minat yang tinggi terhadap bisnis. Sedangkan faktor environment yang
mendorong jadi pemicu yaitu: adanya persaingan, adanya sumber-sumber yang
bisa dimanfaatkan, mengikuti latihan-latihan atau incubator bisnis, dan
kebijaksanaaan pemerintah.
3. Proses Pelaksanaan
Beberapa faktor personal yang mendorong pelaksanaan dari sebuah bisnis
adalah: adanya seorang wirausaha yang sudah siap mental secara total, adanya
manajer pelaksana sebagai tangan kanan, adanya komitmen yang tinggi terhadap
bisnis, dan adanya visi, pandangan jauh ke depan guna mencapai keberhasilan
4. Proses Pertumbuhan
Proses petumbuhan ini didorong oleh faktor organisasi antara lain : adanya
tim yang kompak, adanya strategi yang mantap, adanya struktur dan budaya
organisasi, adanya produk yang dibanggakan.
38
Wirausaha berperan mencari kombinasi-kombinasi baru yang merupakan
gabungan dari lima proses inovasi, yaitu menemukan pasar baru, pengenalan
barang-barang baru, metode produksi baru, sumber penyediaan bahan mentah
baru, serta organisasi industri baru. Wirausaha merupakan inovator yang dapat
menggunakan kemampuan untuk mencari kreasi-kreasi baru (Suryana, 2006:50)
Dalam perusahaan, perusahaan adalah seorang inisiator atau organisator
penting. Menurut Dusselman dalam (Suryana, 2006:50-51), seseorang yang
memiliki jiwa kewirausahaan ditandai oleh pola-pola tingkah laku sebagai berikut:
1. Inovasi, yaitu usaha untuk menciptakan, menemukan dan menerima
ide-ide baru.
2. Keberanian untuk menghadapi risiko, yaitu usaha untuk menimbang
dan menerima risiko dalam mengambil keputusan dalam menghadapi
ketidakpastian
3. Kemampuan manajerial, yaitu usaha yang dilakukan untuk
melaksanakan fungsi-fungsi manajemen, meliputi:
a. Perencanaan
b. Koordinasi
c. Menjaga kelancaran usaha
d. Mengawasi dan mengevaluasi usaha.
4. Kepemimpinan, yaitu usaha memotivasi, melaksanakan, dan
mengarahkan tujuan usaha.
Tabel 2.2
Karakteristik Wirausaha Yang Berhasil
Proaktif
1. Inisiatif
Melakukan sesuatu sebelum diminta atau terdesak
oleh keadaaan
2.Asertif/tegas
Menghadapi masalah secara langsung dengan
orang lain. Meminta orang lain mengerjakan apa
yang harus mereka kerjakan
Berorientasi prestasi
Melihat dan bertindak Menangkap peluang khusus untuk memulai bisnis
berdasarkan peluang
baru, mencari bantuan keuangan, lahan, ruang
kerja, dan bimbingan
Orientasi efisien
Mencari dan menemukan cara untuk mengerjakan
sesuatu dengan lebih cepat atau dengan lebih
sedikit biaya
39
Perhatian pada pekerjaan Keinginan untuk menghasilkan atau menjual
dengan mutu tinggi
produk atau jasa dengan mutu tinggi
Perencanaan yang sistimatis Mengarahkan pekerjaan yang besar menjadi tugas
atau sasaran-sasaran kecil. Mengantisifasi
hambatan dan menilai alternatif
Pemantauan
Mengembangkan atau menggunakan prosedur
untuk memastikan bahwa pekerjaan dapat
diselesaikan atau disesuaikan dengan standar mutu
yang ditetapkan
Komitmen pada orang lain
Komitmen
terhadap Melakukan pengorbanan pribadi atau bisnis yang
pekerjaan
luar biasa untuk menyelesaikan pekerjaan.
Menyingsingkan lengan baju bersama karyawan
dan
bekerja
ditempat
karyawan
untuk
menyelesaikan pekerjaan
Menyadari
pentingnya Melakukan tindakan agar tetap memiliki hubungan
dasar-dasar
hubungan dekat dengan pelanggan. Memandang hubungan
bisnis
pribadi sebagai sumber daya bisnis. Menempatkan
jasa baik jangka panjang di atas keuntungan
jangka pendek.
Sumber: Scarborough Dan Zimmerer Dalam (Ajat Munajat 2007:30)
David McClelland dalam (Suryana, 2006:51) mengemukakan enam ciri
perilaku kewirausahaan, yaitu:
a. Keterampilan mengambil keputusan dan risiko yang moderat, serta
bukan atas dasar kebetulan belaka
b. Energik, khususnya dalam berbagai bentuk kegiatan inovatif
c. Memiliki sikap tanggung jawab individual
d. Mengetahui hasil-hasil dari berbagai keputusan yang diambilnya,
dengan tolok ukur satuan uang sebagai indikator keberhasilan
e. Mampu mengantisipasi berbagai kemungkinan di masa mendatang
f. Memiliki
kemampuan
berorganisasi,
meliputi
kemampuan
kepemimpinan dan manajerial.
Menurut Bygrave dalam (Buchori Alma, 2005:54) selanjutnya dapat
digambarkan beberapa karakteristik dari kewirausahaan yang berhasil memiliki
sifat-sifat yang dikenal dengan istilah 10 D, yaitu:
1) Dream
: Seorang wirausaha mempunyai misi bagaimana
keinginannya terhadap masa depan pribadi dan bisnisnya dan yang paling
penting adalah dia mempunyai kemampuan untuk mewujudkan impiannya
tersebut
40
2) Decisiveness : Seorang wirausaha adalah orang yang tidak bekerja
lambat. Mereka membuat keputusan secara cepat dengan penuh
perhitungan
3) Doers
: Begitu seorang wirausaha membuat keputusan maka dia
langsung menindaklanjutinya
4) Determination : Seorang wirausaha melaksanakan kegiatannya dengan
penuh perhatian
5) Dedication
: Dedikasi seorang wirausaha terhadap bisnisnya sangat
tinggi.
6) Devotion
: Kegemaran atau kegila-gilaan, seorang wirausaha
mencintai pekerjaan dan produk yang dihasilkannya
7) Details
: Seorang wirausaha sangat memperhatikan faktor-faktor
kritis secara rinci
8) Destiny
: Seorang wirausaha bertanggung jawab terhadap nasib dan
tujuan yang hendak dicapainya
9) Dollars
: Wirausaha tidak sangat mengutamakan mencapai
kekayaan, uang bukan segalanya tetapi uang dianggap sebagai ukuran
kesuksesan bisnisnya.
10) Distribute
: Seorang wirausaha bersedia mendistribusikan kepemilikan
bisnisnya terhadap orang-orang kepercayaannya
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa untuk menjadi
wirausaha yang berhasil seseorang harus memiliki bekal pengetahuan dan
keterampilan kewirausahaan. Bekal pengetahuan yang terpenting adalah bekal
pengetahuan bidang usaha yang dimasuki dan lingkungan usaha, pengetahuan
tentang peran dan tanggung jawab, pengetahuan tentang kepribadian dan
kemampuan diri, serta pengetahuan tentang manajemen dan oganisasi bisnis.
Sedangkan keterampilan yang perlu dimiliki meliputi keterampilan konseptual
dalam mengatur strategi dan memperhitungkan risiko, kreatif dalam menciptakan
nilai tambah, memimpin dan mengelola, berkomunikasi dan berinteraksi, serta
keterampilan teknis bidang usaha.
41
2.5 Konsep Daya Hidup
Di era globalisasi sekarang ini, perkembangan dunia bisnis menjadi
semakin kompetitif, hal ini menuntut para pengusaha untuk bersungguh-sungguh
dalam mempertahankan usahanya yaitu dengan terus mengembangkan potensi
yang dimiliki baik potensi yang berasal dari dalam (intern) perusahaan maupun
potensi yang berasal dari luar (ekstern) perusahaan. Bertahan bukan berarti statis
tetapi mampu mempertahankan kelangsungannya.
Definisi daya hidup usaha menurut Suryana (1999:88) yaitu, “Daya hidup
adalah
kemampuan
atau
kekuatan
perusahaan
untuk
mempertahankan
kelangsungan usahanya“. Lebih lanjut Suryana (1999: 116) berpendapat bahwa
“daya hidup perusahaan adalah kekuatan perusahaan untuk bertahan hidup
berkesinambungan, indikatornya meliputi kemampulabaan dan lamanya operasi
perusahaan.“ Selain itu juga Pearce dan Robinson menyatakan bahwa
“Kelangsungan hidup (survival) dicapai melalui pertumbuhan (growth) dan
profitabilitas.” Sedangkan Marshall menyatakan bahwa ”siklus kehidupan
perusahaan perorangan berakhir tidak terlalu lama.” Hal ini terjadi karena menurut
Marshall para pengusaha masih belum mampu menghadapi perubahan kondisi
permintaan secara sekaligus, selain itu pula menurutnya suatu perusahaan akan
memerlukan waktu untuk mencapai efisiensi dan profitabilitas karena aktivitas
pemasarannya yang sulit berkembang. (Alfred W.S dan Douglas C.H,1999: 246)
Menurut Mulyamah Wigyadisastro (1988:70) yang dikutip oleh Arief
Abdul Rohman (2006:16), mengemukakan bahwa:
Keberhasilan suatu usaha dalam mempertahankan kelangsungan usahanya
dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal diantaranya
42
permodalan, produksi, tenaga kerja dan strategi pemasaran. Sedangkan
faktor eksternal antara lain persaingan, teknologi, lingkungan ekonomi,
kekuatan hukum dan politik, serta lingkungan sosial dan budaya.
Selain itu sebagai perbandingan, dikemukakan oleh Syamsuri SA (1986:37)
bahwa, ”daya hidup koperasi adalah daya atau kekuatan yang menyebabkan
koperasi mampu mempertahankan hidupnya dan mampu pula mengembangkan
diri secara wajar dalam sistem ekonomi yang bersifat bersaing (kompetitif)”.
Lebih lanjut dikemukakan oleh Syamsuri SA (1986:382-285), bahwa:
Hal-hal yang mendukung perkembangan Koperasi dan merupakan daya
hidupnya adalah daya internal (anggota, pengurus, dan skala usaha) dan
daya eksternal Koperasi yang benar dan merupakan manifestasi dari daya
hidupnya adalah adanya partisipasi anggota dalam Koperasi yang meliputi
partisipasi pengambilan keputusan, modal usaha dan pengawasan, dimana
partisipasi dipengaruhi oleh persepsi, pendidikan formal, mentalitas dan
pendidikan.
Beberapa konsep maupun teori yang dikemukakan oleh para ahli ekonomi
dan manajemen modern tentang cara meraih keberhasilan usaha kecil untuk
mempertahankan eksistensinya secara dinamis dalam Suryana (2003:90-92),
diantaranya yaitu:
1. Teori Persaingan Michael P. Porter (1980,1999) dirancang untuk menghadapi
tantangan eksternal khususnya persaingan. Dalam teori ini menyatakan bahwa
untuk menciptakan daya saing khusus, perusahaan harus menciptakan
keunggulan melalui strategi generik (generic strategy), yaitu strategi yang
menekankan pada keunggulan biaya rendah (low cost) differensiasi
(differentiation), dan fokus (focus). Dengan strategi ini, perusahaan akan
memiliki daya tahan (suistainbility) hidup secara berkesinambungan.
43
2. Teori Resource Based Strategy dari Mahoney dan Pandian (1992) menyatakan
bahwa agar perusahaan meraih keuntungan secara terus – menerus, yaitu
meraih semua pesaing di industri yang bersangkutan, maka perusahaan harus
mengutamakan kapabilitas internal yang superior, yang tidak transparan, sukar
ditiru atau dialihkan oleh pesaing dan memberi daya saing jangka panjang
(futuristic) yang kuat dan melebihi tuntutan masa kini di pasar dan dalam
situasi eksternal yang bergejolak, serta recession proof. Sumber daya
perusahaan yang bisa dikembangkan secara khusus menurut Pandian (1992)
adalah tanah, teknologi, tenaga kerja (kapabilitas dan pengetahuannya) modal
dan kebiasaan rutin.
3. Pendapat dari Burns (1990), menyarankan bahwa agar perusahaan kecil
berhasil take-off, maka harus ada usaha-usaha khusus yang diarahkan untuk
kelangsungan hidup, konsolidasi, pengendalian, perencanaan, dan harapan.
4. Teori The Design School dari Mintzberg (1990) mengemukakan bahwa
perusahaan harus mendesain strategi perusahaan yang ”fit” antara peluang dan
ancaman eksternal dengan kemampuan internal yang memadai yang didukung
dengan menumbuhkembangkan kapabilitas inti (core competency) yang
merupakan kompetensi khusus (distinctive competency) dari pengelolaan
sumber daya perusahaan. Kompetensi ini diciptakan melalui strategi generik
Porter (1980) dan didukung dengan nilai dan budaya perusahaan yang relevan.
5. Menurut D’Aveni (1987), perusahaan harus menekankan pada strategi
pengembangan kompetensi inti, yaitu pengetahuan dan keunikan untuk
menciptakan keunggulan. Keunggulan yang dapat dimiliki oleh perusahaan
44
menurutnya dapat diciptakan melalui ”The New 7-S’ strategy (The New 7S’s)”, yaitu:
(1) Superior stakeholder satisfaction, yaitu mengutamakan kepuasan pihak –
pihak yang berkepentingan terhadap perusahaan.
(2) Strategic sooth saying, yaitu merancang strategi yang membuat kejutan atau
yang mencengangkan.
(3) Position for speed, yaitu posisi untuk mengutamakan kecepatan.
(4) Position for surprise, yaitu posisi untuk membuat kejutan.
(5) Shifting the role of the game, yaitu strategi untuk mengadakan perubahan
atau pergeseran peran yang dimainkan.
(6) Signaling strategic intent, yaitu mengindikasikan tujuan dari strategi.
(7) Simultanous and sequential strategic thrusts, yaitu membuat rangkaian
penggerak atau pendorong strategi secara simultan dan berurutan.
6. Strategic intent menurut Gary Hamel (1994) adalah lebih menekankan pada
”sense of direction, sense of discovery, and sense of destiny” untuk meraih
persaingan melalui kapabilitas sumber daya yang ada. (Suryana, 2006: 123)
Berdasarkan pandangan para ahli di atas, jelaslah bahwa kelangsungan
hidup perusahaan, baik kecil maupun besar pada umumnya sangat bergantung
pada strategi manajemen perusahaan dalam memberdayakan sumber daya
internalnya dan eksternalnya.
45
2.6 Konsep Laba
2.6.1 Kemampulabaan
Kemampulabaan (profitabilitas) merupakan hasil bersih dari sejumlah
besar kebijakan dan keputusan yang dipilih oleh manajemen organisasi
(perusahaan). Rasio profitabilitas menunjukkan seberapa efektif perusahaan itu
dikelola. Menurut Iwan Purwanto (2007:178),“ Rasio yang digunakan untuk
menilai kemampulabaan ialah hasil pengembalian atas investasi yang didapatkan
dengan membagi laba bersih dengan total aktiva.“ Ditambahkan pula menurut
Suryana
(1999:170),
“Kemampulabaan
(profitabilitas)
dihitung
dengan
membandingkan antara keuntungan total per tahun dengan jumlah asset
perusahaan.“
Jadi untuk menghitung kemampulabaan dari perusahaan yaitu laba total
usaha dibagi aktiva total perusahaan. Aktiva total perusahaan yang dimaksud
adalah semua kekayaan yang dimiliki oleh perusahaan yang meliputi aktiva lancar
dan aktiva tetap. Aktiva lancar yaitu aktiva yang habis dalam satu kali berputar
dalam proses produksi, proses perputarannya adalah dalam jangka waktu yang
pendek, contohnya: kas, piutang , persediaan. Sedangkan aktiva tetap yaitu aktiva
yang tahan lama yang tidak habis dalam satu kali proses produksi atau yang secara
berangsur – angsur habis dalam proses produksi, contohnya: tanah, gedung.
Menurut Tri Kunawangsih P dan Antyo P (2006: 182), “Pada
prinsipnya, setiap pengusaha melakukan kegiatan produksi dengan tujuan untuk
memperoleh keuntungan”. Ada beberapa hal mengapa seorang produsen atau
pengusaha selalu berupaya memperoleh keuntungan yang maksimal, yaitu:
46
1. mempertahankan kelangsungan perusahaan, setiap pengusaha berupaya
untuk menciptakan efisiensi agar penghematan biaya dapat dilakukan dan
keuntungan maksimal akan dapat diraih karena dengan keuntungan
tersebut perusahaan dapat survive.
2. melakukan
ekspansi,
setiap
pengusaha
tentu
berharap
dapat
mengembangkan usahanya.
Laba merupakan salah satu indikator dari daya hidup usaha. Menurut
Samuelson (1999: 327), “Laba adalah selisih antara total hasil pendapatan (TR)
dengan total biayanya (TC).“ Laba maksimum akan dicapai apabila selisih positif
antara TR dan TC mencapai angka terbesar. Lebih lanjut, Ricardo berpendapat
bahwa keuntungan atau laba adalah residu, atau yang disimpan oleh kapitalis
setelah membayar upah pekerja mereka dan membayar sewa kepada pemilik
tanah. Steven Pressman (1999: 55)
Dalam kegiatan perusahaan, keuntungan atau laba ditentukan dengan cara
mengurangkan berbagai biaya yang dikeluarkan dari hasil penjualan yang
diperoleh. Biaya yang dikeluarkan meliputi pengeluaran untuk bahan mentah,
pembayaran upah, pembayaran bunga, sewa tanah, dan penghapusan. Apabila
hasil penjualan yang diperoleh dikurangi dengan biaya-biaya tersebut nilainya
adalah positif maka diperolehlah keuntungan. (Sadono Sukirno, 2002:391)
Selain itu, menurut Dominick Salvatore (2001: 15), laba sama dengan
penerimaan perusahaan dikurangi biaya eksplisit dan biaya implisit. Biaya
eksplisit adalah biaya yang benar-benar dikeluarkan dari kantong perusahaan
untuk membeli atau menyewa input yang dibutuhkan dalam produksi,
47
pengeluaran ini meliputi upah untuk menyewa tenaga kerja, bunga untuk modal
yang dipinjam, sewa tanah dan gedung, dan pengeluaran untuk bahan mentah.
Sedangkan biaya implisit mengacu kepada nilai input yang dimiliki dan
dipergunakan perusahaan untuk proses produksinya sendiri, biaya implisit
meliputi gaji pengusaha yang dapat diperoleh bila dia bekerja untuk orang lain
dalam kapasitas yang sama dan hasil yang dapat diperoleh perusahaan dari
menginvestasikan modal dan menyewakan lahan dan input lain milik perusahaan
ke perusahaan lain.
Adapun determinan dari laba menurut Samuelson (1999: 327) diantaranya yaitu:
1. Laba sebagai hasil pengembalian yang implisit
Sebagian besar dari laba usaha merupakan pendapatan bagi pemilik
perusahaan untuk tenaga yang mereka keluarkan dan modal yang mereka
tanamkan, yaitu untuk faktor-faktor produksi.
2. Laba sebagai imbalan atas resiko yang dipikul
Laba perusahaan merupakan komponen pendapatan nasional yang paling
labil, sehingga modal perusahaan harus mencakup premi resiko yang besar
agar dapat menarik investor. Ketidakpastian laba akan memperbesar laba
melalui imbalan untuk inovasi dan keberanian berusaha.
3. Laba sebagai pengembalian monopoli
Sebagian laba merupakan pengembalian terhadap kekuatan pasar atau
monopoli. Para pengecam laba tidak melihat laba sebagai uang sewa
implisit atau pengembalian untuk penanggungan resiko dalam pasar
kompetitif. Para pengumpul laba adalah seseorang yang cenderung
48
melakukan kelicikan perhitungan yang entah dengan cara bagaimana
mengeksploitir masyarakat lainnya. Perusahaan – perusahaan dalam
industri dapat memperoleh laba super normal dengan cara menaikkan
harga.
Adapun teori laba diantaranya :
1. Teori laba dalam menghadapi resiko (Risk-Bearing Theories of Profit)
Menurut teori ini, hasil di atas normal dibutuhkan oleh perusahaan untuk
masuk dan bertahan di beberapa bidang. (Dominick Salvatore, 2001:17)
2.
Teori laba karena gesekan ( Frictional Theory of Profit)
Teori ini menekankan bahwa laba timbul sebagai hasil gesekan atau
gangguan dari keseimbangan jangka panjang. Jadi, dalam jangka panjang,
pada
keseimbangan
persaingan
sempurna,
perusahaan
cenderung
menghasilkan laba normal saja (yang telah disesuaikan dengan resiko) atau
laba (ekonomi) nol dari investasinya. (Dominick Salvatore, 2001:17)
3. Teori Laba Ekonomis Friksional
Teori ini menyatakan bahwa goncangan yang terjadi dalam perekonomian
menyebabkan keadaan ketidakseimbangan pasar yang pada akhirnya
menyebabkan perusahaan hanya menerima laba normalnya saja. (Lincolin
Arsyad, 2000: 25)
4.
Teori Laba Ekonomis Monopolis
Teori ini menyatakan bahwa beberapa perusahaan karena faktor-faktor
seperti skala ekonomis, kebutuhan-kebutuhan modal, atau hak paten dapat
bertindak sebagai monopolis yang memungkinkan mereka untuk
49
mempertahankan laba di atas normal untuk jangka panjang. (Lincolin
Arsyad, 2000: 25)
5.
Teori Laba Inovasi
Teori laba inovasi mempostulatkan bahwa laba adalah ganjaran dari
pengenalan inovasi yang berhasil. Adalah suatu hal yang tak terelakkan
bila perusahan lain meniru inovasi tersebut, keuntungan dari inovator
berkurang dan akhirnya habis. (Dominick Salvatore, 2001:18)
6.
Teori Laba Ekonomis Kompensasi
Teori ini menyatakan bahwa tingkat penerimaan di atas normal merupakan
suatu imbalan bagi perusahaan yang berhasil memenuhi keinginan
konsumen, mempertahankan cara kerja yang efisien, dan seterusnya.
(Lincolin Arsyad, 2000: 26)
Konsep laba menurut Lincolin Arsyad (2000:25) dapat dibedakan
menjadi dua pengertian, yaitu :
1) Laba bisnis adalah sisa dari pendapatan dikurangi biaya eksplisit
(akuntansi). Laba tersebut menunjukan posisi jumlah kekayaan modal
yang tersedia setelah semua sumber daya yang digunakan dalam proses
produksi dibayar.
2) Laba ekonomis adalah laba sebagai kelebihan penerimaan dari biaya
yang dikeluarkan dalam kegiatan usaha. Namun demikian, bagi ekonom
kekayaan modal hanya dipandang sebagai sumberdaya yang harus
dibayar jika modal tersebut digunakan oleh suatu perusahaan. Oleh
karena itu, ekonom menganggap tingkat kembalian normal (normal rate
50
of return) dari kekayaan modal sebagai biaya dalam menjalankan usaha.
Tingkat kembalian normal ini merupakan tingkat kembalian modal
yang minimum yang diperlukan untuk memperoleh hasil dari
penggunaannya dalam suatu kegiatan tertentu (opportunity cost). Oleh
karena itu, laba bagi seorang ekonom adalah kelebihan dari laba bisnis
atas tingkat kembalian normal dari kekayaan modal yang di
investasikan oleh suatu perusahaan.
Dalam keseimbangan jangka panjang, laba ekonomis akan menjadi nol
jika semua perusahaan beroperasi dalam industri persaingan sempurna. Dengan
kata lain, semua perusahaan akan memperoleh tingkat laba bisnis yang hanya
mencerminkan tingkat kembalian normal dari investasi yang mereka tanamkan.
Namun demikian, diketahui bahwa tingkat laba yang diperoleh perusahaanperusahaan juga berbeda-beda. Tingkat laba berkisar dari yang paling rendah
sampai yang paling tinggi.
2.6.2 Laba Maksimum Dalam Pasar Persaingan Monopolistik
Pada hakikatnya pasar persaingan monopolistik berada diantara dua jenis
pasar yang ekstrim, yaitu berada diantara pasar persaingan sempurna dan pasar
monopoli. Oleh karena itu, sifat-sifatnya mengandung unsur pasar monopoli dan
pasar persaingan sempurna.
Model pasar persaingan monopolistik ini baru diperkenalkan untuk
pertama kalinya pada tahun 1930-an oleh ilmuwan Amerika Serikat bernama
Edward E. Chamberlin dan Joan Robinson. Model ini dirumuskan karena adanya
rasa ketidakpuasan terhadap model pasar persaingan sempurna yang anggapan
51
dasarnya kurang realistis (seperti anggapan jenis produk yang homogen). Model
persaingan monopolistik Chamberlin juga berdasarkan beberapa asumsi yang
memasukkan hampir semua unsur persaingan sempurna dan juga memasukkan
unsur dari monopoli, sehingga dapat disebut sebagai pasar yang mempunyai ciri
persaingan sempurna dan monopoli. Chamberlin menggunakan istilah tersebut
untuk menggambarkan pasar dengan banyak produsen menawarkan produk yang
bersubstitusi dekat tetapi tidak dianggap identik oleh konsumen.
Pasar persaingan monopolistik dapat didefinisikan sebagai suatu pasar di
mana terdapat banyak produsen yang menghasilkan barang yang berbeda corak
(differented products). (Sadono Sukirno, 2002:297)
Beberapa karakteristik dasar dari persaingan monopolistik dapat
dikemukakan sebagai berikut: (Sadono Sukirno, 2002:297)
1. Jumlah perusahaannya banyak (terdapat banyak penjual) dan pangsa pasar
dari masing-masing perusahaan itu relatif kecil terhadap pangsa pasar
total, sehingga tidak ada perusahaan yang mampu mempengaruhi pasar
persaingan monopolistik. Banyaknya penjual ternyata membuat mereka
berada dalam posisi persaingan
2. Produk yang dijual adalah serupa, namun tidak homogen murni. Dengan
demikian produk-produk yang ada di pasar merupakan produk diferensiasi
yang dapat dibedakan berdasarkan corak, bentuk, kemasan, penampilan,
model, kualitas, dan lain sebagainya
3. Tidak ada hambatan bagi perusahaan-perusahaan lain untuk memasuki
atau keluar dari pasar persaingan monopolistik
4. Perusahaan mempunyai sedikit kekuasaan mempengaruhi harga.
Kekuasaan mempengaruhi harga oleh perusahaan monopolistik bersumber
dari sifat barang yang dihasilkannya, yaitu yang bersifat berbeda corak
(differentiated product). Perbedaan ini menyebabkan para pembeli
memilih, yaitu lebih menyukai barang dari sesuatu perusahaan tertentu dan
kurang menyukai barang yang dihasilkan perusahaan lainnya. Maka
apabila suatu perusahaan menaikkan harga barangnya, ia masih dapat
menarik pembeli walaupun jumlah pembelinya tidak sebanyak sebelum
kenaikan harga. Sebaliknya, apabila perusahaan menurunkan harga,
tidaklah mudah untuk menjual semua barang yang diproduksikannya.
Banyak diantara konsumen di pasar masih tetap membeli barang yang
52
dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan lain, walaupun harganya sudah
menjadi relatif lebih mahal
5. Persaingan menetapkan promosi penjualan sangat mudah (aktif). Karena
sifat barangnya yang berbeda corak, maka pedagang melakukan
persaingan bukan harga (non price competition) dengan cara memperbaiki
mutu dan desain barang, melakukan iklan yang terus menerus,
memberikan syarat penjualan yang menarik
Kurva yang dimiliki oleh masing-masing produsen tidaklah horizontal
tetapi berslope negatif. Masing-masing produsen dengan demikian dapat
mengendalikan harga yang ditetapkannya. Jadi, produsen dalam pasar ini adalah
sebagai price searcher. Sadono Sukirno (2002:320) juga mengemukakan bahwa:
Kurva permintaan dari perusahaan ini memiliki slope negatif dan kurvanya
lebih elastis dari yang dihadapi monopoli, tetapi elastisitasnya tidak
sampai mencapai elastis sempurna yaitu kurva permintaan yang sejajar
sumbu datar yang merupakan kurva permintaan yang dihadapi suatu
perusahaan dalam persaingan sempurna.
Pada hakikatnya kurva permintaan atas barang produksi perusahaan
dalam persaingan monopolistik adalah bersifat menurun secara sedikit demi
sedikit (lebih mendatar dan bukan turun dengan curam). Kurva permintaan yang
seperti ini berarti apabila perusahaan menaikkan harga maka jumlah barang yang
dijualnya menjadi sangat berkurang, dan sebaliknya apabila perusahaan
menurunkan harga maka jumlah barang yang dijualnya menjadi sangat bertambah.
Namun, karena output perusahaan tersebut relatif kecil dibandingkan dengan
kuantitas output total yang dijual dalam pasar persaingan monopolistik, maka
diasumsikan bahwa keputusan manajerial yang berkaitan dengan output produksi
dan harga jual dilakukan secara bebas oleh masing-masing perusahaan.
Dalam
pasar
persaingan
monopolistik
akan
memaksimumkan
keuntungan (ditunjukkan pada titik PABC), apabila jumlah produksi adalah Q dan
53
pada tingkat produksi ini tingkat harga adalah P, dengan cara menentukan harga
jual dan output yang ditawarkan pada kondisi keseimbangan perusahaan dimana
MR=MC, seperti yang ditujukan pada gambar 2.1
MC
A
AC
P
C
B
D
MR
Q
Q Optimum
Gambar 2.3
Keseimbangan Perusahaan Persaingan Monopolistik Dalam Jangka Pendek
Sumber : Sadono Sukirno (2002: 301)
Keuntungan maksimum tercapai apabila jumlah produksi adalah Q dan
pada tingkat produksi ini tingkat harga adalah P. Segi empat PABC menunjukkan
jumlah keuntungan maksimum yang dinikmati perusahaan monopolistik.
Perusahaan yang memperoleh keuntungan positif karena harga yang tercipta (P)
berada di atas kurva biaya rata-ratanya (AC) sehingga menghasilkan keuntungan
per unit positif sebesar AB. Total penerimaan perusahaan sebesar OPAQ,
sedangkan total biayanya adalah OCBQ. Dengan demikian, keuntungan totalnya
adalah sebesar PABC.
54
2.7 Pengaruh Modal Kerja terhadap Daya Hidup Usaha
Modal merupakan sesuatu yang sangat penting dalam sebuah perusahaan
karena dengan adanya modal sebuah perusahaan dapat didirikan dan
dikembangkan. Modal yang diperlukan oleh para pengusaha tidak hanya yang
bersifat fisik seperti dalam bentuk uang, bahan baku, bangunan tetapi juga harus
memiliki modal non fisik seperti skill atau keterampilan berwirausaha. Modal
memiliki peranan dalam menentukan suatu keberhasilan usaha yaitu dapat
meningkatkan hasil produksi yang pada akhirnya dapat juga meningkatkan laba
yang akan diperoleh para pengusaha.
Pentingnya peran modal juga diungkapkan oleh M. Iqbal dan Krisni M
(2004:55), bahwa: “Adanya modal yang cukup, sangat penting bagi perusahaan,
karena memungkinkan bagi perusahaan untuk beroperasi secara ekonomis serta
terhindar dari krisis keuangan.”
Ditambahkan pula oleh Bambang Riyanto (1995: 61) yaitu:
Bahwa modal kerja sangat berpengaruh terhadap berjalannya operasi suatu
perusahaan sehingga modal kerja harus senantiasa tersedia dan terus –
menerus diperlukan bagi kelancaran usaha, dengan modal yang cukup
akan dapat dihasilkan produksi yang optimal dan apabila dilakukan
penambahan modal maka produksi akan meningkat lebih besar lagi.
Dari uraian di atas mengenai modal dapat disimpulkan bahwa, modal yang
besar akan meningkatkan hasil produksi yang akhirnya akan meningkatkan laba
usaha. Laba yang mengalami peningkatan akan menjadikan daya hidup usaha
semakin meningkat pula atau daya hidupnya menjadi lama.
55
2.8 Pengaruh Tenaga Kerja terhadap Daya Hidup Usaha
Salah satu faktor produksi yang amat penting dalam setiap proses
produksi, yaitu tenaga kerja. Seperti yang dikatakan oleh Hadi Prayitno (Iwan
Kartaman,1998:26) bahwa “faktor manusia dan keahliannya sangat penting
peranannya dalam pelaksanaan kegiatan usaha.”
Dalam suatu perusahaan tenaga kerja memegang peranan penting dalam
proses produksi, yaitu menghasilkan barang dan jasa, dengan keahlian yang
dimiliki dapat meningkatkan produksi dan penjualan sehingga pendapatan
pengusaha meningkat yang berarti perusahaan dapat berkembang. Dijelaskan pula
oleh Gomes (1995:7), “sumber daya manusia yang terdidik, terampil, cakap,
berdisiplin, tekun, kreatif, idealis, mau bekerja keras, kuat fisik dan mental, setia
pada tujuan dan cita-cita organisasi akan sangat berpengaruh positif terhadap
keberhasilan dan kemajuan organisasi”. Dengan demikian jelas bahwa hanya
tenaga kerja yang mempunyai kompetensi yang dapat mendukung keberhasilan
usaha dalam mempertahankan daya hidupnya.
2.9 Pengaruh Perilaku Kewirausahaan terhadap Daya Hidup Usaha
Perilaku kewirausahaan mempunyai kedudukan yang strategis dalam
upaya pencapaian tujuan dari pengusaha untuk meningkatkan laba, sebab apabila
perilaku kewirausahaan lemah maka tidak akan mencapai sasaran sebagaimana
yang diharapkan.
Apabila pengusaha mempunyai perilaku kewirausahaan yang tinggi, baik
itu dengan cara mengikuti pelatihan kewirausahaan, banyak membaca buku
56
seputar perdagangan dan menerima saran-saran orang lain maka orang tersebut
dapat mengembangkan usahanya agar jangan sampai jalan di tempat sehingga
laba yang diperoleh pun sejalan dengan pengembangan usahanya.
Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa perilaku kewirausahaan
memegang peranan penting bagi pengusaha dalam mengelola usahanya untuk
mencapai laba yang maksimal sebagai indikator dari daya hidup usaha.
2.10 Kerangka Pemikiran
Dalam
rangka
menumbuhkembangkan
atau
mempertahankan
keberlangsungan usaha, suatu usaha akan menghadapi banyak hambatan atau
kendala. Sehingga sangat diperlukan pengusaha yang mempunyai kemampuan
untuk mengatasi segala kendala tersebut. Perusahaan harus dapat melihat peluang
maupun ancaman yang dihadapi pada usahanya untuk kemudian membuat suatu
strategi yang dapat mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki perusahaan
tersebut sehingga perusahaan memiliki daya hidup usaha yang tinggi atau dapat
bertahan hidup lama.
Mengenai daya hidup, Suryana (1999:88) mengemukakan bahwa, “Daya
hidup adalah kemampuan atau kekuatan perusahaan untuk mempertahankan
kelangsungan usahanya.” Lebih lanjut Suryana (1999: 116) berpendapat bahwa
“daya hidup perusahaan adalah kekuatan perusahaan untuk bertahan hidup
berkesinambungan, indikatornya meliputi kemampulabaan dan lamanya operasi
perusahaan.” Selain itu juga Pearce dan Robinson menyatakan bahwa
“Kelangsungan hidup (survival) dicapai melalui pertumbuhan (growth) dan
57
profitabilitas.” Sedangkan Marshall menyatakan bahwa siklus kehidupan
perusahaan perorangan berakhir tidak terlalu lama. Hal ini terjadi karena menurut
Marshall para pengusaha masih belum mampu menghadapi perubahan kondisi
permintaan secara sekaligus, selain itu pula menurutnya suatu perusahaan akan
memerlukan waktu untuk mencapai efisiensi dan profitabilitas karena aktivitas
pemasarannya yang sulit berkembang. (Alfred W.S dan Douglas C.H, 1999:
246)
Dari uraian di atas mengenai daya hidup dapat diambil kesimpulan bahwa
daya hidup sebuah usaha dipengaruhi oleh kemampulabaan (profitabilitas) atau
kemampuan sebuah perusahaan dalam memperoleh keuntungan dari modal yang
dimilikinya serta lamanya perusahaan beroperasi (lamanya menjalankan usaha).
Kemampulabaan (profitabilitas) merupakan hasil bersih dari sejumlah
besar kebijakan dan keputusan yang dipilih oleh manajemen organisasi
(perusahaan). Rasio profitabilitas menunjukkan seberapa efektif perusahaan itu
dikelola. Menurut Iwan Purwanto (2007:178),” Rasio yang digunakan untuk
menilai kemampulabaan ialah hasil pengembalian atas investasi yang didapatkan
dengan membagi laba bersih dengan total aktiva.” Ditambahkan pula menurut
Suryana (1999: 170), “Kemampulabaan (profitabilitas) dihitung dengan
membandingkan antara keuntungan total per tahun dengan jumlah asset
perusahaan.”
Menurut Samuelson (1999 : 241) yang dialih bahasa Nur Rosyidiyah
dan Anna Elly (2003) mengemukakan bahwa :
Perkembangan dalam suatu usaha sangat berkaitan erat dengan
pendapatan yang diperolehnya, pendapatan itu ialah total uang yang
diterima atau terkumpul dalam satu periode. Pendapatan yang diterima
58
oleh pengusaha bukan sebagai harga dari pengusaha melainkan sebagai
sebab akibat dari pembentukan harga di berbagai pasar.
Salah satu indikator atau tolok ukur daya hidup dari suatu perusahaan
bergantung pada jumlah laba yang diterima oleh masing-masing usaha
tersebut.
Menurut Rahardja dan Manurung (2002 : 141) dalam teori ekonomi
mikro tujuan perusahaan adalah mencari laba atau profit (keuntungan). Secara
teoritis laba adalah kompensasi atas risiko yang ditanggung oleh perusahaan.
Makin besar risiko, laba yang diperoleh harus semakin besar.
Adapun definisi laba menurut Case dan Fair (2002:185), adalah:
Laba(࣊) = Penerimaan Total (TR) – Biaya Total (TC)
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa laba akan diperoleh
apabila selisih yang positif antara TR dan TC mencapai angka terbesar. Oleh
karena itu, nilai TR harus lebih besar daripada TC.
Untuk mendapatkan laba yang maksimum maka sebuah perusahaan
harus meningkatkan jumlah penerimaannya dan meminimalisir jumlah biaya
yang dikeluarkan dalam setiap proses produksinya. Untuk meningkatkan
jumlah penerimaan perusahaan harus melakukan beberapa cara diantaranya
dengan menambah jumlah faktor produksi yang dimiliki.
Menurut Case dan Fair bahwa “Total penerimaan adalah jumlah total
yang diterima oleh perusahaan dari penjualan produknya. Oleh karena itu,
total penerimaan sama dengan harga per unit (P) dikali dengan kuantitas
barang yang terjual (Q). Total penerimaan (TR) = Harga (P) x Kuantitas (Q).
59
Menurut Sadono Sukirno (2002: 192), hubungan jumlah output (Q)
dengan
sejumlah
input
yang
digunakan
dalam
proses
produksi
(X1,X2,X3,…,Xn) secara matematis dapat ditulis sebagai berikut :
Q = (X1,X2,X3,…,Xn)
Keterangan :
Q = Output/jumlah produksi
X = Input
Apabila input yang dipergunakan dalam proses produksi terdiri dari
modal (Capital), jumlah tenaga kerja (Labour), sumber daya alam
(Resources), dan teknologi (Tingkat teknologi, kewirausahaan). Secara
matematis fungsi produksi dapat diformulasikan sebagai berikut :
Q = f (K,L,R,T)
L = f (Skill,Entrepreneurship)
Keterangan :
Q = Ouput/jumlah produksi
K = Modal (Capital)
L = Jumlah tenaga kerja (Labour)
R = Sumber daya alam (Resources)
T = Teknologi (Technology)
Salah satu faktor produksi yang dimiliki yaitu modal yang dimiliki
karena dengan modal yang cukup besar jumlah barang yang diproduksi pun
akan meningkat dan jumlah laba yang diperoleh pun akan meningkat. Selain
60
itu jumlah penerimaan dapat ditentukan dari teknik produksi yang dilakukan
perusahaan, setiap rangkaian jumlah masukan (input) menentukan jumlah
keluaran (output) yang dapat diproduksi. Tenaga kerja merupakan sebuah
masukan (input) yang penting dalam sebuah proses produksi. Jumlah tenaga
kerja akan menentukan berapa banyak jumlah barang yang akan diproduksi.
Disamping itu tenaga kerja yang terampil akan menghasilkan lebih banyak
keluaran (output) dan hal ini akan menguntungkan bagi perusahaan.
Selain modal kerja dan tenaga kerja, perolehan laba yang maksimum
juga dapat dipengaruhi oleh perilaku kewirausahaan dari para pengusahanya.
Perilaku kewirausahaan yang tinggi akan membawa sebuah perusahaan dalam
mencapai laba yang maksimum. Seseorang dengan perilaku kewirausahaan
akan selalu mencari cara untuk mengembangkan usaha yang sedang
digelutinya dan mencapai apa yang menjadi tujuannya yaitu mendapatkan
laba.
Berdasarkan dari pengertian, teori dan uraian yang ada dapat
disimpulkan bahwa yang mempengaruhi pendapatan usaha atau laba adalah
permodalan, tenaga kerja, dan perilaku kewirausahaan
Modal memegang peranan yang sangat penting dalam keberlangsungan
suatu usaha, yaitu penting dalam meningkatkan kehidupan ekonomi, walaupun
pada dasarnya bukan modal saja yang penting tetapi modal memiliki andil yang
besar dalam menentukan keberhasilan dan dengan modal itulah dapat dihasilkan
pula benda-benda yang lebih banyak dan ekspansif, selain itu modal yang ditanam
itu akan mempunyai hubungan yang erat dengan besarnya tingkat laba.
61
Dengan adanya modal yang memadai, maka suatu usaha dapat dimulai dan
dengan modal pula dapat dihasilkan barang-barang yang mendatangkan laba.
Diungkapkan pula oleh Mulyamah Wigyadisastro (1998:9) bahwa “keterbatasan
modal terutama modal kerja akan menyebabkan perusahaan tidak mampu
menyediakan pembelian bahan baku secara tunai dan tidak pula mampu
memberikan kredit kepada para pembelinya yang justru itu merupakan salah satu
oleh Bambang Riyanto (1995:61) bahwa:
Modal kerja sangat berpengaruh terhadap berjalannya operasi suatu
perusahaan sehingga modal kerja harus senantiasa tersedia dan terus
menerus diperlukan bagi kelancaran usaha. Dengan modal yang cukup
akan dihasilkan produksi yang optimal dan apabila dilakukan penambahan
modal, maka produksi akan meningkat lebih besar lagi.
Rendahnya perputaran modal kerja yang disebabkan oleh terlalu kecilnya
modal kerja dari yang dibutuhkan mengindikasikan penggunaan modal kerja
tersebut tidak menguntungkan sehingga berdampak pada penurunan kemampuan
perusahaan dalam memperoleh laba.
Faktor tenaga kerja juga sangat berpengaruh terhadap daya hidup usaha.
Menurut Imam Chourmain (1994:95) yang dikutip Siti Masitoh (2003:11),
“tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang sangat menentukan
dalam kehidupan ekonomi yang berbentuk tenaga, pikiran dan keterampilan yang
ada dan mampu memperkaya manusia untuk kegiatan produktif.”
Dalam suatu perusahaan tenaga kerja memegang peranan penting dalam
proses produksi, yaitu menghasilkan barang dan jasa, dengan keahlian yang
dimiliki dapat meningkatkan produksi dan penjualan sehingga pendapatan
pengusaha meningkat yang berarti perusahaan dapat berkembang. Dijelaskan
62
pula oleh Gomes (1995:7), “sumber daya manusia yang terdidik, terampil, cakap,
berdisiplin, tekun, kreatif, idealis, mau bekerja keras, kuat fisik dan mental, setia
pada tujuan dan cita-cita organisasi akan sangat berpengaruh positif terhadap
keberhasilan dan kemajuan organisasi.” Dengan demikian jelas bahwa hanya
tenaga kerja yang mempunyai kompetensi yang dapat mendukung keberhasilan
usaha dalam mempertahankan daya hidupnya.
Faktor yang tidak kalah pentingnya dalam upaya peningkatan daya hidup
sebuah usaha adalah perilaku kewirausahaan. Karena tidak dapat disangkal lagi
bahwa kelangsungan hidup perusahaan tergantung pada ketahanan wirausaha
dalam meraih konsumen guna bersaing melalui strategi yang dimilikinya.
Menurut Meredith (2002:5), “Perilaku kewirausahaan adalah serangkaian
aktivitas yang dilakukan seseorang dalam melihat dan menilai kesempatan bisnis
dan mengumpulkan sumber daya, guna mengambil keuntungan dan mengambil
tindakan yang tepat guna memastikan sukses.” Sedangkan menurut Suryana
(2006: 14),” Kewirausahaan adalah kemampuan kreatif dan inovatif yang
dijadikan kiat, dasar, sumber daya, proses, dan perjuangan untuk menciptakan
nilai tambah barang dan jasa yang dilakukan dengan keberanian untuk
menghadapi resiko.”
Dengan adanya kreativitas dan inovatif yang dimiliki para pengusaha,
mereka akan mampu menciptakan produk yang memiliki keunggulan bersaing,
dengan begitu mereka akan memperoleh keuntungan dan daya hidup usaha dapat
dipertahankan. Ditambahkan pula oleh pendapatnya Zimmerer (1996) yang
dikutip dari Suryana (2006:48), mengemukakan bahwa,” .... Kreativitas tidak
63
hanya penting untuk menciptakan keunggulan kompetitif , akan tetapi juga sangat
penting bagi kelangsungan perusahaan.”
Agar para pengusaha mampu menghadapi segala resiko yang terjadi dalam
mengembangkan usahanya maka sangat diperlukan kemampuan atau sikap
kewirausahaan. Hal ini didukung pula oleh pendapatnya dari Cantillon yang
menyatakan bahwa “pengusaha adalah individu yang bersedia mengambil resiko.“
(Alfred W.S dan Douglas C.H, 1999: 345)
Dengan adanya kemampuan kewirausahaan yang tinggi, maka seorang
pengusaha bisa mengembangkan usaha yang dimilikinya dan akan mendapatkan
keuntungan yang lebih besar yang akhirnya mampu untuk mempertahankan
keberlangsungan usahanya.
Dari uraian diatas, dapat dibuat kerangka pemikiran sebagai berikut :
Modal Kerja
)
Tenaga Kerja
Perilaku Kewirausahaan
DAYA HIDUP USAHA
64
2.11 Hipotesis
1. Modal kerja, tenaga kerja, dan perilaku kewirausahaan berpengaruh positif
terhadap daya hidup usaha.
2. Modal kerja berpengaruh positif terhadap daya hidup usaha.
3. Tenaga kerja berpengaruh positif terhadap daya hidup usaha.
4. Perilaku kewirausahaan berpengaruh positif terhadap daya hidup usaha.
65
2.12 Penelitian Sebelumnya
No
Peneliti
Judul
Variabel
Hasil
1
Suryana (1999)
Pengaruh Latar
Belakang Profesional
dan Sistem Nilai Serta
Kemodernan
Kewirausahaan
Terhadap Daya Hidup
Perusahaan
Latar belakang
profesional,
sistem nilai,
serta
kemodernan
kewirausahaan
Daya hidup perusahaan
secara langsung dan
signifikan
dipengaruhi
oleh
latar
belakang
profesional dan sistem
nilai serta kemodernan
kewirausahaan
2
Arief Abdul
Rohman (2006)
Analisis Faktor Internal
dan Eksternal Yang
Mempengaruhi Daya
Hidup Usaha Pengrajin
Kayu Cipacing
Kabupaten Sumedang
Modal, tenaga
kerja, sikap
kewirausahaan,
persaingan, dan
kebijakan
pemerintah
Secara simultan, modal,
tenaga
kerja,
sikap
kewirausahaan,
persaingan, dan kebijakan
pemerintah berpengaruh
signifikan terhadap daya
hidup usaha. Sedangkan
secara parsial hanya
persaingan yang tidak
berpengaruh
terhadap
daya hidup usaha.
3
Anisa Kamilah
(2008)
Faktor – faktor Yang
Mempengaruhi Daya
Hidup Usaha
Modal kerja,
strategi
pemasaran, dan
perilaku
kewirausahaan
Secara simultan, semua
variabel
independen
berpengaruh
terhadap
daya
hidup
usaha.
Sedangkan secara parsial
hanya
perilaku
kewirausahaan yang tidak
berpengaruh
terhadap
daya hidup usaha.
4
Puji Ambarwati
(2008)
Faktor-faktor Yang
Mempengaruhi Daya
Hidup Usaha Industri
Sandal Karet Di Desa
Kebarepan Kecamatan
Plumbon Kabupaten
Cirebon
Modal, Perilaku
Kewirausahaan
dan persaingan
Secara simultan, bahwa
semua
variabel
independen berpengaruh
terhadap daya hidup
usaha. Sedangkan secara
parsial hanya perilaku
kewirausahaan yang tidak
berpengaruh
terhadap
daya hidup usaha.
Download