11 BAB II TINJAUAN TEORITIS, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1 Konsep Industri Kecil 2.1.1 Definisi Industri Kecil Pengertian usaha kecil banyak didefinisikan oleh berbagai kalangan baik para ahli maupun masyarakat, dan definisi yang mereka ungkapkan pun berbedabeda. Sampai saat ini batasan mengenai industri kecil masih berbeda-beda tergantung pada fokus permasalahannya masing-masing. Di Indonesia terdapat berbagai pengertian dan batasan mengenai industri kecil, berikut ini pengertian industri kecil berdasarkan Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 Bab 1 Pasal 1 yaitu: “Usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan serta kepemilikan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.” Adapun kriteria usaha kecil menurut Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 Bab 3 Pasal 5 adalah sebagai berikut: a. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200 juta, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. b. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 1 milyar. c. Milik Warga Negara Indonesia. d. Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha menengah atau usaha besar. 12 e. Berbentuk usaha orang per orang, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi. Penggolongan industri dengan pendekatan besar kecilnya skala usaha dilakukan oleh beberapa lembaga, dengan kriteria yang berbeda-beda. Biro Pusat Statistik membedakan skala industri menjadi empat lapisan berdasarkan jumlah tenaga kerja per unit usaha, yaitu: perusahaan yang mempunyai pekerja 100 orang lebih termasuk industri besar, 20 sampai 9 orang termasuk industri sedang, 5 sampai 9 orang termasuk industri kecil, dan yang termasuk ke dalam industri kerajinan rumah tangga mempunyai tenaga kerja kurang dari 5 orang. (Dumairy, 1997:232). Sedangkan untuk keperluan pengembangan sektor industri sendiri (industrialisasi) serta berkaitan dengan administrasi, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, industri di Indonesia digolong-golongkan berdasarkan hubungan produksinya menjadi: 1. Industri hulu, yang terdiri atas: a. Industri kimia, b. Industri mesin, logam dasar dan elektronika. 2. Industri hilir, yang terdiri atas: a. Aneka industri, dan b. Industri kecil (Dumairy, 1997:232) Bank Indonesia, untuk keperluan kalangan perbankan menetapkan batasan tersendiri mengenai besar kecilnya skala usaha perusahaan atau industri. Dasar kriteria yang digunakan Bank Indonesia adalah besar kecilnya kekayaan (assets) yang dimiliki. Klasifikasi berdasarkan penetapan pada tahun 1990 adalah: 1. Perusahaan besar: perusahaan yang memiliki asset (tidak termasuk nilai tanah dan bangunan) ≥ Rp 600 juta. 13 2. Perusahaan kecil: perusahaan yang memiliki asset (tidak termasuk nilai tanah dan bangunan) < Rp 600 juta. (Dumairy, 1997:233) Jadi dari beberapa definisi industri kecil yang telah disebutkan di atas dapat disimpulkan bahwa industri kecil adalah suatu usaha yang didirikan sendiri atau perorangan melalui proses produksi, dengan jumlah tenaga kerja kurang dari 50 orang, dan modal yang relatif kecil untuk mengolah barang setengah jadi menjadi barang jadi yang memiliki nilai tambah guna mendapatkan keuntungan. 2.1.2 Karakteristik Industri Kecil Usaha kecil sangat cocok sekali dikembangkan di Indonesia, karena memiliki sifat padat karya. Usaha kecil ini dapat memperluas kesempatan kerja dan pemerataan pembangunan juga dapat meningkatkan perekonomian. Usaha kecil yang bersifat padat karya memiliki peran penting yang sangat penting dalam penyerapan tenaga kerja dan sangat membantu masyarakat ekonomi lemah untuk meningkatkan pendapatannya, khususnya masyarakat yang berpenghasilan rendah. Oleh karena itu, pemerintah diharuskan menaruh perhatian yang besar terhadap usaha kecil ini. Karena di samping sifatnya yang padat karya, usaha kecil juga diharapkan dapat terus berkembang dan mampu bersaing merebut pangsa pasar. Pada umumnya perusahaan kecil memiliki ciri-ciri khusus tertentu yang tidak terdapat pada industri besar, misalnya rumah pemilik perusahaan tidak hanya sebagai tempat tinggal, tetapi sekaligus juga sebagai tempat usaha dan tempat kerja. Mesin-mesin, peralatan, bahan baku, barang setengah jadi, dan seluruh bahan lain untuk proses usaha, tertampung di rumah si pengusaha sendiri. 14 Dalam usaha seperti ini tidak hanya untuk diri pengusaha atau pemilik, tetapi tempat itu telah tercipta suatu iklim kerja yang mengakar dan berlaku bagi seluruh anggota keluarga. Selain itu perusahaan kecil juga memiliki ciri-ciri khusus seperti manajemen, persyaratan modal, dan pengoperasian yang bersifat lokal. Pada usaha kecil, manajer yang mengoperasikan perusahaan adalah pemilik, majikan dan investor yang mengambil keputusannya secara mandiri, maka daerah operasinya juga adalah lokal, majikan dan karyawan tinggal dalam satu daerah yang sama, bahan baku lokal dan pemasarannya pun hanya pada lokasi atau daerah tertentu. Beberapa usaha kecil juga menghasilkan produk untuk keperluan ekspor dengan skala yang relatif kecil, relatif spesifik dan diversifikasi, dan pada usaha kecil juga memiliki jumlah karyawan yang sedikit, secara keseluruhan merupakan sektor yang mampu menyerap tenaga kerja lokal yang cukup besar dan tersebar. Pada saat ini tidak dapat dipungkiri bahwa asal usul hampir semua pengusaha nasional yang tangguh saat ini telah membidangi usaha kecil-kecilan yang sukses karena berbagai faktor kejelian, ketajaman menganalisis keadaan, pandai mengikuti dan memanfaatkan situasi, tekun, hemat, pembinaan karyawan yang terus-menerus, dan lain-lain. Sedangkan menurut hasil studi lembaga manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, menunjukan bahwa di Indonesia kriteria usaha kecil itu sangat berbeda-beda, tergantung pada fokus permasalahan yang dituju dan instansi yang berkaitan dengan sektor ini. Sedangkan di negara lain kriteria yang ada akhirnya turut menentukan ciri usaha kecil, yang antara lain ditentukan oleh 15 karyawan yang dimiliki perusahaan yang bersangkutan. (Pandji Anoraga & Sudantoko, 2002:45) Secara umum sektor usaha kecil memiliki karakteristik sebagai berikut: a. Sistem pembukuan yang relatif sederhana dan cenderung tidak mengikuti kaidah administrasi pembukuan standar. b. Margin usaha yang cenderung tipis mengingat persaingan yang sangat tinggi. c. Modal terbatas. d. Pengalaman manajerial dalam mengelola perusahaan masih sangat terbatas e. Skala ekonomi yang terlalu kecil. f. Kemampuan pemasaran dan negosiasi serta diversifikasi pasar sangat terbatas. g. Kemampuan untuk memperoleh sumber dana dari pasar modal rendah, mengingat keterbatasan dalam sistem administrasinya. (Pandji Anoraga & Sudantoko, 2002:225-226) 2.1.3 Kekuatan dan Kelemahan Industri Kecil Dalam mengembangkan usahanya, usaha kecil memiliki kekuatan dan kelemahan tersendiri. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Bachtiar Hasan (2003 : 13) adalah terutama dalam beberapa hal berikut ini: 1. Persaingan dan kebijakan pemerintah, kebijakan pemerintah untuk membatasi jumlah industri yang bisa masuk dalam jenis usaha tertentu, memberikan peluang bagi industri kecil untuk lebih berkembang. 2. Kondisi ekonomi dan tingkah laku konsumen Secara teoritis, keadaan ekonomi dimana daya beli konsumen menurun akan mendorong konsumen beralih ke produk atau barang-barang substitusi. 3. Perkembangan industri/perusahaan besar. Kesempatan industri kecil dari perkembangan industri besar adalah pengisian bagian-bagian produk atau komponen yang dihasilkan oleh industri besar. 4. Perkembangan teknologi Teknologi baru melahirkan kebutuhan baru dan jenis produk baru. 5. Semangat berusaha. Semangat yang tinggi merupakan daya dorong terhadap inisiatif terhadap munculnya ide baru. 16 6. Sangat padat karya, dan persediaan tenaga kerja di Indonesia masih sangat banyak, mengikuti laju pertumbuhan penduduk, dan angkatan kerja yang rata-rata pertahun masih sangat tinggi. Adapun kelemahan industri kecil. 1. Industri kecil di Indonesia masih lebih banyak membuat produkproduk sederhana yang tidak terlalu membutuhkan pendidikan formal yang tinggi, melainkan keahlian khusus yang dapat dimiliki warga setempat lewat sumber-sumber informal (traditional skill) 2. Banyak industri kecil yang membuat produk-produk yang bernuansa kultur seperti kerajinan, yang pada dasarnya merupakan keahlian tersendiri dari masyarakat di masing-masing daerah. 3. Secara umum, kegiatan industri kecil di indonesia masih sangat agricultural based, karena memang banyak komoditas-komoditas pertanian yang dapat diolah dalam skala kecil. 4. Pengusaha-pengusaha kecil dan rumah tangga lebih banyak menggantungkan diri pada uang sendiri, atau pinjaman dari sumber informal, untuk modal kerja dan investasi mereka. ( Tulus Tambunan 2001:188-120) Kelemahan industri kecil terutama dalam hal kemampuannya untuk bersaing masih sangat lemah, tidak hanya di pasar domestik tetapi juga di pasar ekspor. Masalah tersebut disebabkan karena keterbatasan dana, baik untuk modal kerja maupun investasi, kesulitan dalam pemasaran, distribusi dan penyediaan bahan baku dan input-input lainnya, keterbatasan sumber daya manusia (pengusaha dan pekerja) dengan kualitas yang baik, pengetahuan/wawasan yang minim mengenai bisnis, tidak adanya akses ke informasi, keterbatasan teknologi, dan lainnya. 2.1.4 Fungsi dan Peran UKM UKM (Usaha Kecil dan Menengah) memiliki peran yang sangat besar terhadap perekonomian Nasional. Adapun fungsi dan peran UKM diantaranya adalah sebagai penyedia barang dan jasa, penyerap tenaga kerja, pemerataan pendapatan, nilai tambah bagi produk daerah, peningkatan taraf hidup. Melihat 17 perannya yang begitu besar maka pembinaan dan pengembangan industri kecil bukan saja penting sebagai jalur ke arah pemerataan hasil-hasil pembangunan tetapi juga sebagai unsur pokok dari seluruh struktur industri di Indonesia karena dengan investasi yang kecil dapat berproduksi secara efektif dan dapat menyerap banyak tenaga kerja. 2.2 Konsep Modal Kerja 2.2.1 Pengertian Modal Kerja Untuk mendirikan atau menjalankan suatu usaha diperlukan sejumlah modal (uang) dan tenaga (keahlian). Modal juga diperlukan untuk membiayai operasi usaha pada saat bisnis tersebut dijalankan. Jenis biaya ini misalnya biaya bahan baku, biaya tenaga kerja, dan biaya lainnya. Modal adalah salah satu faktor produksi yang sangat penting bagi setiap usaha, baik skala kecil, menengah, maupun besar. Dalam banyak studi atau literatur sering disebut bahwa modal sering menjadi faktor penghambat utama bagi perkembangan usaha atau pertumbuhan output industri kecil dan industri rumah tangga, karena kelompok unit usaha ini seperti yang juga dialami oleh banyak usaha kecil di sektor-sektor lainnya, sering mengalami keterbatasan modal. Perusahaan perlu melakukan pengelolaan modal kerja dengan baik. Meskipun besar kecilnya modal kerja bukan merupakan ukuran utama dalam menilai tingkat kontinuitas perusahaan, namun masalah pengelolaan modal kerja merupakan hal yang paling dominan dalam suatu perusahaan. 18 Dalam penelitian ini penulis kemukakan beberapa pengertian modal kerja dari beberapa ahli, diantaranya pendapat yang dikemukakan oleh Komarudin. a. Modal dalam pengertian persediaan uang yang digunakan untuk mendapatkan keuntungan dalam perdagangan. b. Modal dengan maksud untuk menggambarkan persediaan berupa barang-barang. (Komarrudin Ahmad, 1997:46) Bambang Riyanto (1995: 57) memberikan beberapa konsep pengertian modal kerja sebagai berikut: 1. Konsep Kuantitatif Modal kerja menurut konsep ini adalah keseluruhan dari jumlah aktiva lancar. Modal kerja dalam pengertian ini sering disebut modal kerja bruto (gross working capital) 2. Konsep Kualitatif Modal kerja menurut konsep ini adalah sebagian aktiva lancar yang benar-benar dapat digunakan untuk membiayai operasinya perusahaan tanpa mengganggu likuiditasnya, yaitu yang merupakan kelebihan aktiva lancarnya. Modal kerja dalam pengertian ini sering disebut modal kerja neto (net working capital) 3. Konsep Fungsional Modal kerja menurut konsep ini menitikberatkan fungsi dari dana yang dimilki dalam rangka menghasilkan pendapatan (laba) dari usaha pokok perusahaan “Traditionally, working capital is defined as the firm’s total invesment in current. Net working capital, on the other hand is the difference between the firm’s current assets and its current liabilities”. (Arthur J. Keown, F Scoot Jr, John D. Martin, J William Petty, 1996: 619) dikutip dari Yulianti (2003: 10) Secara tradisional, modal kerja didefinisikan sebagai investasi perusahaan dalam aktiva lancar (current asset). Aktiva lancar itu sendiri terdiri dari semua aktiva/aset yang dapat dicairkan paling lama satu tahun, aktiva yang dapat digolongkan sebagai aktiva lancar adalah uang tunai (cash), sekuritas yang mudah 19 diperjualbelikan (marketable securities), piutang dagang (account receivable), dan persediaan barang (inventory). Pendapat lain dikemukakan oleh Indriyo (1994: 27) dalam bukunya Manajemen Keuangan, yaitu: “Modal kerja merupakan kekayaan atau aktiva yang diperlukan oleh perusahaan untuk melakukan kegiatan sehari-hari dan yang selalu berputar.” Berdasarkan pendapat-pendapat yang telah dikemukakan tersebut dapat diambil suatu kesimpulan bahwa modal kerja adalah investasi perusahaan dalam aktiva lancar yang diperlukan oleh perusahaan untuk melaksanakan aktivitas usahanya sehari-hari. 2.2.2 Jenis-jenis Modal Kerja W.B Taylor (dikutip oleh Bambang Riyanto, dasar-dasar Manajemen Keuangan 1995: 61) menggolongkan modal kerja dalam: 1. Modal Kerja Permanen (Permanen Working Capital), yaitu modal kerja yang harus tetap ada pada perusahaan untuk dapat menjalankan fungsinya, terdiri dari: • Modal Kerja Primer (Primary Working Capital), yaitu jumlah modal kerja minimum yang harus ada pada perusahaan untuk menjamin kontinuitas perusahaan • Modal Kerja Normal (Normal Working Capital), yaitu modal kerja yang diperlukan untuk menyelenggarakan luas produksi yang normal 2. Modal Kerja Variabel (Variable Working Capital), yaitu modal kerja yang jumlahnya berubah-ubah terdiri dari: • Modal Kerja Musiman (Seasonal Working Capital), yaitu modal kerja yang jumlahnya berubah-ubah disebabkan fluktuasi musim • Modal Kerja Siklis (Cyclical Working Capital), yaitu modal kerja yang jumlahnya berubah-ubah disebabkan fluktusi konjungtur • Modal Kerja Darurat (Emergency Working Capital), yaitu modal kerja yang jumlahnya berubah-ubah karena adanya keadaan darurat yang tidak diketahui sebelumnya (misalnya ada kerusuhan, pemogokan buruh, inflasi, devaluasi) 20 Sedangkan menurut Van Horne dan John M. Wachowict, Jr (1995: 207) dalam Yulianti (2003: 12) mengklasifikasikan modal kerja ke dalam: • Permanent working capital, the amount of current required to meet a firm’s long term needs. You might call this “bare bones” working capital • Temporary working capital, on the other hand, is the invesment in current assets that varies with seasonal requirements Modal kerja permanen adalah jumlah aktiva lancar yang dibutuhkan perusahaan dalam waktu yang lama untuk kegiatan perusahaan sedangkan modal kerja sementara adalah investasi dalam aktiva lancar yang bersifat musiman. 2.2.3 Unsur-unsur Modal Kerja Modal kerja memiliki unsur-unsur yang membentuk modal kerja itu sendiri. Unsur-unsur tersebut adalah utang lancar dan aktiva lancar. Mengenai aktiva lancar, menurut Abdullah Shahab (1998: 52) yang dimaksud dengan aktiva lancar adalah “Uang tunai yang ada diperusahaan maupun yang disimpan di bank, aktiva yang diharapkan menjadi uang, dijual atau dikonsumsikan dalam jangka waktu satu tahun atau dalam siklus akuntansi normal.” Sedangkan menurut Zaki Badriwan (1997: 21) aktiva lancar adalah “Uang kas dan aktiva-aktiva lain atau sumber-sumber yang diharapkan akan direalisasikan menjadi uang kas atau dijual atau dikonsumsi selama siklus usaha perusahaan yang normal atau dalam waktu satu tahun.” Dari kedua pengertian diatas, penulis menyimpulkan bahwa aktiva lancar adalah uang tunai dan aktiva lainnya yang mudah dicairkan menjadi uang tunai. Di dalam neraca, aktiva lancar disajikan berdasarkan tingkat likuiditasnya, yang termasuk dalam aktiva lancar adalah: 21 a. Kas atau uang tunai yang dapat digunakan untuk membiayai operasi perusahaan, uang tunai yang dimiliki oleh perusahaan, tetapi sudah ditentukan penggunaannya (misalnya uang kas yang disisihkan untuk pelunasan utang obligasi, untuk pembelian aktiva tetap atau tujuan lain) tidak dapat dimasukan dalam pos kas. Termasuk pengertian kas adalah cek yang diterima dari para langganan dan simpanan perusahaan di bank dalam bentuk giro atau demand deposit, yaitu simpanan di bank (cash in bank) yang dapat diambil kembali setiap saat diperlukan oleh perusahaan, cash in hand, yaitu simpanan yang berada di perusahaan dan setara cash. b. Investasi jangka pendek (surat-surat berharga atau marketable securities) adalah investasi yang sifatnya sementara (jangka pendek) dengan maksud untuk memanfaatkan uang kas yang untuk sementara belum dibutuhkan dalam operasi. Syarat utama agar dapat dimasukan dalam investasi jangka pendek adalah bahwa investasi itu harus marketable artinya setiap perusahaan membutuhkan uang, investasi itu dapat segera dijual dengan harga yang pasti. Yang termasuk dalam investasi jangka pendek adalah (1) deposito di bank, (2) surat-surat berharga yang berwujud saham, obligasi dan surat hipotik, sertifikat bank dan lain-lain investasi yang mudah diperjualbelikan, investasi jangka pendek ini disajikan dalam neraca sebesar harga perolehannya atau harga pasar mana yang lebih rendah. 22 c. Piutang wesel, adalah tagihan perusahaan kepada pihak lain yang dinyatakan dalam suatu wesel atau perjanjian yang diatur dalam undang-undang, maka wesel ini lebih mempunyai kekuatan hukum dan lebih menjamin pelunasannya, dan piutang wesel (notes receivable) ini dapat diperjualbelikan atau didiskontokan. d. Piutang dagang adalah tagihan kepada pihak lain (kepada kreditur atau langganan) sebagai akibat adanya penjualan barang dagangan secara kredit. Pada dasarnya piutang bisa timbul tidak hanya karena hal-hal lain misalnya piutang kepada pegawai, piutang-piutang karena penjualan aktiva tetap secara kredit, piutang karena adanya penjualan saham secara angsuran atau adanya uang muka untuk pembelian atau kontrak kerja lainnya. Piutang-piutang yang dimilki oleh suatu perusahaan hanya disajikan dalam neraca secara informatif. Piutang dagang dan piutang lain-lain biasanya disajikan dalam neraca sebesar nilai realisasinya, yaitu nilai nominal piutang dikurangi cadangan kerugian piutang. e. Persediaan, untuk perusahaan perdagangan yang dimaksud dengan persediaan adalah semua barang yang diperdagangkan yang sampai tanggal neraca masih digunakan/belum laku dijual. Untuk perusahaan manufakturing maka persediaan yang dimilki meliputi: (1) Persediaan barang mentah, (2) Persediaan barang dalam proses, (3) Persediaan barang jadi, dan (4) Persediaan bahan penolong/bahan pembantu. 23 f. Piutang penghasilan atau penghasilan yang masih harus diterima adalah penghasilan yang sudah menjadi hak perusahaan karena perusahaan telah memberikan jasa/prestasinya, tetapi belum diterima pembayarannya, sehingga merupakan tagihan. g. Persekot atau biaya yang dibayar dimuka adalah pengeluaran untuk memperoleh jasa/prestasi dari pihak lain, tetapi pengeluaran itu belum menjadi biaya atau jasa/prestasi pihak lain itu belum dinikmati oleh perusahaan pada periode ini melainkan pada periode berikutnya. 2.2.4 Fungsi Modal Kerja Modal Kerja pada hakikatnya merupakan jumlah yang terus menerus harus ada dalam menopang usaha perusahaan yang menjembatani antara saat pengeluaran untuk memperoleh bahan atau jasa, dengan waktu penerimaan penjualan. Atau pengeluaran untuk memperoleh bahan atau jasa, dengan waktu penerimaan penjualan. Atau pengeluaran yang bersifat bukan untuk harta tetap. keterangan di atas misalkan perusahaan baru saja dimulai. Menurut Komarruddin Ahmad (1997:6) bahwa modal kerja mempunyai dua fungsi yaitu : 1. Menopang kegiatan produksi dan penjualan atau sebagai jembatan saat pengeluaran pembelian persediaan dengan penjualan dan penerimaan kembali hasil pembayaran. 2. Menutup dana atau pengeluaran tetap dan dana yang tidak berhubungan secara langsung dengan produksi dan penjualan. 2.2.5 Faktor Yang Menentukan Jumlah Modal Kerja Meskipun metode perhitungan modal kerja atau pengertian modal kerja yang digunakan, namun ada hal-hal yang tetap sama, bahwa kebutuhan modal 24 atau komposisi modal kerja seperti yang diungkapkan oleh Komaruddin Ahmad(1997:6) akan dipengaruhi oleh : a. Besar kecilnya kegiatan usaha atau perusahaan (produksi dan penjualan), dimana semakin besar kegiatan perusahaan semakin besar modal kerja yang diperlukan, apabila hal lainnya tetap. Selain besar kecilnya usaha, sifat perusahaan juga mempengaruhi besarnya modal kerja. b. Kebijaksanaan tentang penjualan (kredit atau tunai). Persediaan (dengan EOQ = Economic Orde Quantity dan Safety Stock), dan saldo ke kas minimal, pembelian bahan (tunai atau kredit). c. Faktor Lain : 1. Faktor-Faktor Ekonomi 2. Peraturan pemerintah yang berkaitan dengan uang ketat atau kredit ketat 3. Tingkat bunga yang berlaku 4. Peredaran uang 5. Tersedianya bahan-bahan di pasar 6. Kebijakan perusahaan 2.2.6 Perputaran Modal Kerja Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, salah satu fungsi modal kerja adalah ”menutup” jarak antara saat dikeluarkan uang tunai (kas) untuk membayar/membeli persediaan/ bahan baku dan biaya lainnya dengan saat diterimanya hasil penjualan. Jarak yang dimaksud disebut periode perputaran modal kerja (working capital turnover priod) atau suatu kas diinvestasikan dalam komponen-komponen modal kerja sampai kembali lagi menjadi kas. Semakin pendek periode tersebut berarti semakin cepat perputarannya (turnover) atau makin tinggi tingkat perputaran. Lamanya periode perputaran tergantung sifat atau kegiatan operasi suatu perusahaan, lama atau cepatnya perputaran ini akan menentukan pula besar atau kecilnya kebutuhan modal kerja. Dalam menentukan perputaran modal kerja menurut Komaruddin Ahmad (1997:8), banyak metode yang digunakan, yaitu: 25 a. Metode keterikatan dana (siklus = daur dana) b. Metode perputaran (turnover) BAHAN MENTAH KAS PIUTANG BARANG SETENGAH JADI BARANG JADI Gambar 2.1 Siklus Usaha Industri Sumber Komaruddin Ahmad (1997:8) 2.2.7 Sumber Modal Kerja Kebutuhan modal kerja sebaiknya dibiayai dengan modal yang serendah- rendahnya dan bila memungkinkan dibiayai oleh modal sendiri, tetapi karena perusahaan ingin meningkatkan perputaran aktivitasnya maka seringkali perusahaan harus mencari dana dari luar guna memenuhi kebutuhan modal kerjanya. Untuk memenuhi modal kerja yang berasal dari luar perusahaan maka perusahaan perlu memperhatikan jangka waktunya, komposisi atas modal yang ditanamkan dalam perusahaan dan unsur risiko serta kekuasaan atas modal kerja, pada dasarnya sumber modal suatu perusahaan menurut Munawir (1995: 120) terdiri atas: 1. Permanent Financing, sumber yang sifatnya permanen dipergunakan untuk memodali modal kerja permanen agar kontinuitas perusahaan dapat terjamin, untuk itu sumber yang paling utama adalah modal sendiri dan jika mendapat kekurangan dapat ditambah dengan pinjaman jangka panjang. 2. Current Financing, sumber-sumber yang bersifat lancar diperlukan untuk memodali nodal kerja variabel. Sumber-sumber yang bersifat 26 lancar ini berasal dari luar perusahaan dalam bentuk pinjaman jangka pendek, current financing ada dua macam: a. Internal Source, yaitu sumber-sumber yang telah ada di dalam perusahaan yang terdiri dari: • Pendapatan khayal/penyusutan, dapat dipakai selama belum dibelikan mesin baru • Kewajiban-kewajiban yang belum tiba saat pembayarannya antara lain dana pensiun dan pajak b. External Source, yaitu sumber-sumber yang ada di luar perusahaan antara lain kredit perdagangan, pinjaman bank dan sebagainya. 2.2.8 Peranan Modal Kerja Tersedianya modal kerja yang digunakan dalam operasi perusahaan adalah suatu keharusan. Modal kerja yang ada harus cukup jumlahnya agar mampu membiayai pengeluaran atau operasi perusahaan sehari-hari. Peranan modal kerja dalam suatu perusahaan menurut J. Suprianto (1988: 23): 1. sebagai alat untuk mengukur likuiditas perusahaan yaitu alat untuk mengetahui kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajibankewajiban finansialnya yang harus segera dipenuhi 2. pengaturan modal kerja yang baik dapat membantu pimpinan perusahaan dalam menyusun rencana-rencana perusahaan untuk waktuwaktu yang akan datang dengan lebih baik. 2.3 Konsep Tenaga Kerja Salah satu faktor produksi yang amat penting dalam setiap proses produksi, yaitu tenaga kerja. Seperti yang dikatakan oleh Hadi Prayitno (Iwan Kartaman, 1998:26) bahwa “faktor manusia dan keahliannya sangat penting peranannya dalam pelaksanaan kegiatan usaha”. Tenaga kerja adalah sebagian dari penduduk yang berfungsi ikut serta dalam proses produksi dan menghasilkan barang-barang dan jasa-jasa. Manusia merupakan sumber daya utama, karena semua pembangunan ekonomi ini lahir dari akal budi manusia. 27 Secara langsung tenaga kerja ini berpengaruh terhadap hasil produksi sebuah perusahaan. Ace Partadiredja (1990:30) menyatakan bahwa : Dalam perusahaan jika menggunakan banyak tenaga kerja, yang apabila sedikit tenaga yang digunakan, sedikit pula hasil produksi yang dicapai, makin banyak tenaga kerja yang digunakan makin banyak barang dan jasa yang dapat dibuat sampai suatu batas tertentu. Mulyadi (dalam Rahmawati, 2003:16) menjelaskan, bahwa “tenaga kerja merupakan usaha fisik/mental yang dikeluarkan karyawan untuk memperoleh produk”. Biaya tenaga kerja adalah harga yang dibebankan kepada penggunaan tenaga kerja manusia. biaya ini dapat berupa upah, gaji, dan premi lembur. Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan sumber daya manusialah yang mampu mengelola faktor-faktor produksi lainnya, dimana keduanya mempunyai peranan dalam proses produksi boneka. Dalam suatu perusahaan tenaga kerja memegang peranan penting dalam proses produksi, yaitu menghasilkan barang dan jasa, dengan keahlian yang dimiliki dapat meningkatkan produksi dan penjualan sehingga pendapatan pengusaha meningkat yang berarti perusahaan dapat berkembang. Dijelaskan pula oleh Gomes (1995:7), “sumber daya manusia yang terdidik, terampil, cakap, berdisiplin, tekun, kreatif, idealis, mau bekerja keras, kuat fisik dan mental, setia pada tujuan dan cita-cita organisasi akan sangat berpengaruh positif terhadap keberhasilan dan kemajuan organisasi”. Dengan demikian jelas bahwa hanya tenaga kerja yang mempunyai kompetensi yang dapat mendukung keberhasilan usaha dalam mempertahankan daya hidupnya. 28 Dari aspek produksi, perencanaan tenaga kerja harus diatur sesuai dengan penyebarluasan produksi di berbagai pasaran berdasarkan ekonomi produksi dan kondisi perorangan. Efisiensi proses produksi sangat tergantung pada penggunaan tenaga kerja, bahan-bahan, teknis produksi, dan penggunaan sumber-sumber lainnya Bennet N.B Silalahi (1983:97) Tenaga kerja tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan upah. Upah ditentukan pada suatu ekonomi pasar. Dalam pasar tenaga kerja terjadi penawaran dan permintaan tenaga kerja. Semakin tinggi permintaan tenaga kerja, upah akan semakin tinggi, sedangkan jika penawarannya yang tinggi, maka upah akan rendah. Pada industri boneka yang berada di Kecamatan Margahayu ini kebanyakan tenaga kerjanya adalah masyarakat yang berada di sekitar tempat industri, jadi dengan adanya perusahaan ini mengakibatkan banyak tenaga kerja yang terserap, karena sistem yang berlaku adalah kekeluargaan. Jadi masyarakat sekitar boleh membawa saudara-saudaranya untuk bekerja di perusahaan, dan bila salah satu tenaga kerja tidak hadir, kehadirannya bisa digantikan oleh orang lain. Tetapi hal ini menjadi satu kekurangan bagi industri boneka di Sayati, karena keterampilan dan kualitas tiap-tiap orang itu berbeda. Dikhawatirkan terjadi satu penurunan hasil dalam produksi boneka, karena produktivitas tiap orang itu berbeda. Sejalan dengan yang dikatakan oleh Bennet N. B. Silalahi (1983:112) bahwa : Tenaga kerja yang kurang bertanggung jawab sudah tentu tidak akan mendatangkan hasil yang bernilai cukup. Sebaliknya, tenaga kerja yang sanggup bekerja keras saja belum tentu pula dapat menccapai sasaran kerja yang dikehendaki. 29 Dari uraian-uraian di atas dapat dilihat bahwa tenaga kerja yang berkompetensi akan mendukung keberhasilan usaha boneka dalam mempertahankan daya hidupnya. 2.4 Perilaku Kewirausahaan 2.4.1 Perilaku Perilaku adalah suatu fungsi dari interaksi antara seorang individu dengan lingkungannya (Miftah Thoha, 2005:33) berdasarkan pengertian tersebut, perilaku tidak dapat dipisahkan dari individu itu sendiri dengan lingkungan tempat individu itu berada. Perilaku akan selalu berhubungan dengan individu dan lingkungannya. Berbicara tentang perilaku berarti berbicara tentang individu dengan lingkungannya. Selanjutnya dikemukakan bahwa ”satuan dasar dari setiap perilaku adalah serangkaian aktivitas-aktivitas atau kegiatan-kegiatan.” Moekijat pun mengatakan hal yang sama bahwa” satuan perilaku yang pokok adalah satuan kegiatan.” Sesungguhnya semua perilaku merupakan rentetan kegiatan-kegiatan (Moekijat, dalam Ajat Munajat, 2007:19). Dengan kata lain, wujud dari perilaku adalah rangkaian kegiatan. Seorang dikatakan mempunyai respon perilaku apabila bertindak sesuai dengan yang dikehendakinya atau akan memilih alternatif lain apabila hal yang telah dipilih sebelumnya tidak sesuai dengan yang dikehendakinya. Miftah Thoha (2005:36) mengemukakan lima faktor yang dapat mempengaruhi seseorang terangsang untuk berperilaku, yaitu sebagai berikut: 30 a. b. c. d. e. Kebutuhan Kemampuan Cara berfikir untuk menemukan pilihan perilaku Pengalaman Reaksi-reaksi afektif 2.4.2 Kewirausahaan Istilah kewirausahaan berasal dari terjemahan “Entrepreunership” yang diartikan sebagai “the backbone of economy” yaitu syaraf pusat perekonomian atau sebagai “tailbone economy”, yaitu pengendali perekonomian suatu bangsa (Suryana, 2003:10). Sedangkan secara epistimologis, kewirausahaan hakikatnya adalah suatu kemampuan dalam berfikir kreatif dan berperilaku inovatif yang dijadikan dasar, sumber daya, tenaga penggerak, tujuan, siasat, kiat dalam menghadapi tantangan hidup . Kewirausahaan merupakan suatu kemampuan dalam menciptakan nilai tambah di pasar melalui proses pengelolaan sumber daya dengan cara-cara baru dan berbeda , melalui: 1. Pengembangan teknologi baru 2. Penemuan pengetahuan ilmiah baru 3. Perbaikan produk barang dan jasa yang ada 4. Penemuan cara-cara baru untuk menghasilkan barang lebih banyak dengan sumber daya yang lebih efisien. (Suryana, 2003:2) Beberapa definisi lain mengenai kewirausahaan diantaranya: a. Menurut Suryana (2003:10) secara epistimologi, kewirausahaan merupakan nilai yang diperlukan untuk memulai suatu usaha (star-up 31 phase) atau suatu proses dalam mengerjakan suatu yang baru (creative) dan sesuatu yang berbeda (innovative). b. Menurut Hisrich-Peters (1995) dalam Buchari Alma (2005:25), kewirausahaan adalah proses menciptakan sesuatu yang lain dengan menggunakan waktu dan kegiatan disertai modal dan resiko serta menerima balas jasa dan kepuasan serta kebebasan pribadi. c. Menurut Thomas W Zimmerer (1996) dalam Suryana (2003:10), kewirausahaan merupakan “applying creativity and innovation to solve the problems and to exploit opportunities that people face everyday”. Kewirausahaan adalah penerapan kreativitas dan inovasi untuk memecahkan masalah dan upaya untuk memanfaatkan peluang yang dihadapi setiap hari. Rumusan entrepreneur yang berkembang sekarang ini sebenarnya banyak berasal dari konsep Schumpeter (1934) dalam Suryana (2003 : 45) yaitu: Entrepreneur merupakan pengusaha yang melaksanakan kombinasikombinasi baru dalam bidang teknik dan komersial ke dalam bentuk praktik. Inti dari fungsi pengusaha adalah pengenalan dan pelaksanaan kemungkinan-kemungkinan baru dalam bidang perekonomian. Kemungkinan-kemungkinan baru yang dimaksudkan Schumpeter adalah, pertama, memperkenalkan produk baru atau kualitas baru suatu barang yang belum dikenal oleh konsumen. Kedua, melakukan suatu metode produksi baru, dari suatu penemuan ilmiah baru dan cara-cara baru untuk menangani suatu produk agar menjadi lebih mendatangkan keuntungan. Ketiga, membuka suatu pemasar baru yaitu pasar yang belum pernah ada atau belum pernah dimasuki cabang industri yang bersangkutan. Keempat, pembukaan suatu sumber dasar baru atau setengah jadi atau sumbersumber yang masih harus dikembangkan. Kelima, pelaksanaan organisasi baru. (Yuyun Wirasasmita (1982) dalam Suryana, 2003:12). 32 Sedangkan keinovasian menurut Zimmerer diartikan sebagai : Kemampuan untuk menerapkan kreativitas dalam rangka memecahkan persoalan-persoalan dan peluang untuk mempertinggi dan meningkatkan taraf hidup (innovation is the ability to apply creative solutions to those problems and opportunities to enhance or to enrich peoples live) (Suryana, 2003:10). Kewirausahaan muncul apabila seorang individu berani mengembangkan usaha-usaha dan ide-ide barunya yang mencakup semua fungsi, aktivitas dan tindakan yang berhubungan dengan perolehan peluang dan penciptaan usaha. Kewirausahaan bisa berkembang apabila diawali dengan adanya pencapaian locus of control, toleransi, pengambilan resiko, nilai-nilai pribadi, pendidikan, pengalaman, usia, komitmen dan ketidakpuasan, sedangkan faktor pemicu yang berasal dari lingkungan adalah aktivitas, peluang, pesaing sumber daya dan kebijakan pemerintah. Faktor pemicu yang berasal dari lingkungan sosial meliputi asal keluarga, orang tua, dan jaringan kelompok yang sangat menentukan kewirausahaan. Selain itu kewirausahaan sangat tergantung pada kemampuan pribadi dan lingkungan. Kewirausahaan juga merupakan proses dinamik untuk menciptakan tambahan kemakmuran. Tambahan kemakmuran ini diciptakan oleh individu wirausaha yang menanggung resiko, menghabiskan waktu dan menyediakan berbagai produk barang dan jasa. Hal ini sesuai dengan pendapat Hisrich-Peters yang menyatakan : Kewirausahaan adalah proses menciptakan sesuatu yang beda dengan menggunakan waktu dan usaha disertai modal dan resiko serta menerima balas jasa dan kepuasan serta kebebasan pribadi (Entrepreneurship is the process of creating something different with value by devoting the necessary time and effort, assuming the companying financial, psychic, 33 and social risk, and receiving the resulting rewards of monetery and personal satisfaction and independence) (Buchori Alma, 2005:25) Joseph Schumpeter (Buchori Alma, 2005:20) menyatakan bahwa “Entrepreneur as the person who destroys the existing economic order by introducing new product and services, by creating new forms of organization, or by exploiting new raw materials”, artinya wirausaha adalah orang yang mendobrak sistem ekonomi yang ada dengan memperkenalkan barang dan jasa baru, dengan menciptakan organisasi baru, atau mengolah bahan baku baru. Menurut Geoffrey G. Meredith et al (2002:5) “Para wirausaha adalah individu-individu yang berorientasi kepada tindakan, dan bermotivasi tinggi yang mengambil risiko dalam mengejar tujuannya”. Daftar berikut ini memberikan sebuah profil dari wirausaha : Tabel 2.1 Ciri-Ciri Dan Sifat-Sifat Wirausaha Ciri-ciri Watak Keyakinan, ketidak ketergantungan, Percaya diri Berorientasikan tugas dan hasil Pengambilan risiko Kepemimpinan Keorisinilan Berorientasi ke masa depan Sumber Geoffrey G Meredith, (2002:5) individualitas dan optimisme Kebutuhan akan prestasi, berorientasi laba, ketekunan dan ketabahan, tekad kerja keras, mempunyai dorongan kuat, energitic, dan inisiatif Kemampuan mengambil risiko, suka pada tantangan Bertingkah laku sebagai pimpinan, dapat bergaul dengan orang lain, serta menanggapi saran-saran dan kritik Inovatif dan kreatif, fleksibel, punya banyak sumber, serba bisa, mengetahui banyak. Pandangan jauh ke depan dan perseptif. 34 Dari beberapa konsep kewirausahaan yang dikemukakan tersebut, ada enam hakikat kewirausahaan yaitu : 1. Kewirausahaan adalah suatu nilai yang diwujudkan dalam perilaku yang dijadikan dasar sumber daya, tenaga penggerak, tujuan, siasat, kiat, proses dan hasil bisnis. 2. Kewirausahan adalah suatu kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda. 3. Kewirausahaan adalah suatu proses penerapan kreativitas dan keinovasian dalam memecahkan persoalan dan menemukan peluang untuk memperbaiki kehidupan (usaha). 4. Kewirausahaan adalah suatu nilai yang diperlukan untuk memulai suatu usaha (start-up phase) dan perkembangan usaha (venture growth) 5. Kewirausahaan adalah usaha menciptakan nilai tambah dengan jalan mengkombinasikan sumber-sumber melalui cara-cara baru dan berbeda untuk memenangkan persaingan. 6. Kewirausahaan adalah mereka yang berani memutuskan untuk bersikap, berfikir dan bertindak secara mandiri, mencari nafkah dan berkarier dengan jalan berusaha di atas kemampuan sendiri, dengan cara yang jujur dan adil, jauh dari sifat-sifat kecurangan. (Suryana, 2003:13) Berdasarkan pendapat para ahli yang diuraikan diatas, terdapat ciri umum yang selalu terdapat dalam diri seorang wirausaha, yaitu kemampuan mengubah sesuatu menjadi lebih baik atau mampu menciptakan nilai tambah sesuatu dari nilainya rendah menjadi sesuatu yang mempunyai nilai yang lebih tinggi dengan cara yang lebih baik. Dengan demikian seorang wirausaha adalah seseorang yang memiliki kemampuan dan sikap mandiri, kreatif dan ulet dan tahan banting, inovatif, berpandangan jauh kedepan, berani mengambil risiko, bertanggung jawab, berjiwa kepemimpinan dan mampu mencari peluang yang ada serta mampu meraih peluang tersebut dengan mengoptimalkan sumber daya yang ada serta mampu meraih peluang tersebut dengan mengoptimalkan sumber daya yang ada untuk memberikan nilai tambah demi tercapainya tujuan. 35 2.4.3 Perilaku Kewirausahaan Orang yang berperilaku kewirausahaan menurut Buchori Alma (2005:23) yaitu orang yang menekankan pada jiwa, semangat, kemudian diaplikasikan dalam segala aspek kehidupan. Seperti yang diungkapkan oleh Thomas W. Zimmerer dalam (Suryana, 2006:19) bahwa kewirausahaan adalah proses penerapan kreativitas dan inovasi untuk memecahkan masalah dan menggali peluang yang dihadapi setiap orang dalam setiap hasil. Menurut Buchori Alma (2005:30) dari pengamatan perilaku wirausaha maka dapat dikemukakan tiga tipe wirausaha, yaitu: 1. Wirausaha yang memiliki inisiatif 2. Wirausaha yang mengorganisir mekanis sosial dan ekonomi untuk menghasilkan sesuatu 3. Yang menerima risiko atau kegagalan. Seperti yang diungkapkan oleh Scarborough dan Thomas W. Zimmerer dalam (Suryana, 2006:24) mengemukakan delapan karakteristik kewirausahaan sebagai berikut: 1. Desire for responsibility, yaitu memiliki rasa tanggung jawab atas usahausaha yang dilakukannya. 2. Preference for moderat risk, yaitu lebih memilih risiko yang moderat artinya selalu menghindari risiko, baik yang terlalu rendah maupun terlalu tinggi. 3. Confidence in their ability to success, yaitu memiliki kepecayaan diri untuk memperoleh kekuasaan. 4. Desire for immediate feedback, yaitu selalu menghendaki umpan balik dengan segera 5. High level of energi, yaitu memiliki semangat dan kerja keras untuk mewujudkan keinginan demi masa depan 6. Future orientation, memiliki perspektif jauh ke depan. 7. Skill at organizing, memiliki keterampilan untuk menciptakan nilai tambah 36 8. Value of achievement over money, yaitu lebih menghargai prestasi daripada uang. Sedangkan perilaku kewirausahaan meliputi: a. b. c. d. e. f. g. h. Menyelesaikan tugas hingga selesai Tidak melakukan spekulasi, melainkan berdasarkan perhitungan yang matang Memanfaatkan peluang yang ada sebaik mungkin Melakukan pengamatan secara nyata untuk memperoleh kejelasan Menganalisis data kinerja waktu untuk memandu kegiatan Menunjukan kepercayaan diri yang besar walaupun berada dalam situasi yang berat Melihat uang sebagai suatu sumber daya, bukan tujuan akhir Mengelola berdasarkan perencanaan masa depan. Fundamental small business management dalam (Suryana, 2006:25) Model proses kewirausahaan model proses perintisan dan pengembangan kewirausahaan ini digambarkan oleh Bygrave dalam Buchori Alma (2005:7) menjadi urutan langkah-langkah berikut ini: Innovation (Inovasi) Triggering Event (Pemicu) Implementation (Pelaksanaan) Growth (Pertumbuhan) Gambar 2.2 Model Proses Kewirausahaan 37 1. Proses Inovasi Beberapa faktor personal yang mendorong inovasi adalah keinginan berprestasi, adanya sifat penasaran, keinginan menanggung risiko, faktor pendidikan dan pengalaman. Sedangkan faktor environment mendorong inovasi adalah adanya peluang, pengalaman dan kreativitas. 2. Proses Pemicu Beberapa faktor personal yang mendorong triggering event artinya yang memicu atau memaksa seseorang untuk terjun ke dunia bisnis adalah: adanya ketidakpuasan terhadap pekerjaan yang sekarang, adanya PHK atau tidak ada pekerjaan lain, dorongan faktor usia, keberanian menanggung risiko, komitmen/minat yang tinggi terhadap bisnis. Sedangkan faktor environment yang mendorong jadi pemicu yaitu: adanya persaingan, adanya sumber-sumber yang bisa dimanfaatkan, mengikuti latihan-latihan atau incubator bisnis, dan kebijaksanaaan pemerintah. 3. Proses Pelaksanaan Beberapa faktor personal yang mendorong pelaksanaan dari sebuah bisnis adalah: adanya seorang wirausaha yang sudah siap mental secara total, adanya manajer pelaksana sebagai tangan kanan, adanya komitmen yang tinggi terhadap bisnis, dan adanya visi, pandangan jauh ke depan guna mencapai keberhasilan 4. Proses Pertumbuhan Proses petumbuhan ini didorong oleh faktor organisasi antara lain : adanya tim yang kompak, adanya strategi yang mantap, adanya struktur dan budaya organisasi, adanya produk yang dibanggakan. 38 Wirausaha berperan mencari kombinasi-kombinasi baru yang merupakan gabungan dari lima proses inovasi, yaitu menemukan pasar baru, pengenalan barang-barang baru, metode produksi baru, sumber penyediaan bahan mentah baru, serta organisasi industri baru. Wirausaha merupakan inovator yang dapat menggunakan kemampuan untuk mencari kreasi-kreasi baru (Suryana, 2006:50) Dalam perusahaan, perusahaan adalah seorang inisiator atau organisator penting. Menurut Dusselman dalam (Suryana, 2006:50-51), seseorang yang memiliki jiwa kewirausahaan ditandai oleh pola-pola tingkah laku sebagai berikut: 1. Inovasi, yaitu usaha untuk menciptakan, menemukan dan menerima ide-ide baru. 2. Keberanian untuk menghadapi risiko, yaitu usaha untuk menimbang dan menerima risiko dalam mengambil keputusan dalam menghadapi ketidakpastian 3. Kemampuan manajerial, yaitu usaha yang dilakukan untuk melaksanakan fungsi-fungsi manajemen, meliputi: a. Perencanaan b. Koordinasi c. Menjaga kelancaran usaha d. Mengawasi dan mengevaluasi usaha. 4. Kepemimpinan, yaitu usaha memotivasi, melaksanakan, dan mengarahkan tujuan usaha. Tabel 2.2 Karakteristik Wirausaha Yang Berhasil Proaktif 1. Inisiatif Melakukan sesuatu sebelum diminta atau terdesak oleh keadaaan 2.Asertif/tegas Menghadapi masalah secara langsung dengan orang lain. Meminta orang lain mengerjakan apa yang harus mereka kerjakan Berorientasi prestasi Melihat dan bertindak Menangkap peluang khusus untuk memulai bisnis berdasarkan peluang baru, mencari bantuan keuangan, lahan, ruang kerja, dan bimbingan Orientasi efisien Mencari dan menemukan cara untuk mengerjakan sesuatu dengan lebih cepat atau dengan lebih sedikit biaya 39 Perhatian pada pekerjaan Keinginan untuk menghasilkan atau menjual dengan mutu tinggi produk atau jasa dengan mutu tinggi Perencanaan yang sistimatis Mengarahkan pekerjaan yang besar menjadi tugas atau sasaran-sasaran kecil. Mengantisifasi hambatan dan menilai alternatif Pemantauan Mengembangkan atau menggunakan prosedur untuk memastikan bahwa pekerjaan dapat diselesaikan atau disesuaikan dengan standar mutu yang ditetapkan Komitmen pada orang lain Komitmen terhadap Melakukan pengorbanan pribadi atau bisnis yang pekerjaan luar biasa untuk menyelesaikan pekerjaan. Menyingsingkan lengan baju bersama karyawan dan bekerja ditempat karyawan untuk menyelesaikan pekerjaan Menyadari pentingnya Melakukan tindakan agar tetap memiliki hubungan dasar-dasar hubungan dekat dengan pelanggan. Memandang hubungan bisnis pribadi sebagai sumber daya bisnis. Menempatkan jasa baik jangka panjang di atas keuntungan jangka pendek. Sumber: Scarborough Dan Zimmerer Dalam (Ajat Munajat 2007:30) David McClelland dalam (Suryana, 2006:51) mengemukakan enam ciri perilaku kewirausahaan, yaitu: a. Keterampilan mengambil keputusan dan risiko yang moderat, serta bukan atas dasar kebetulan belaka b. Energik, khususnya dalam berbagai bentuk kegiatan inovatif c. Memiliki sikap tanggung jawab individual d. Mengetahui hasil-hasil dari berbagai keputusan yang diambilnya, dengan tolok ukur satuan uang sebagai indikator keberhasilan e. Mampu mengantisipasi berbagai kemungkinan di masa mendatang f. Memiliki kemampuan berorganisasi, meliputi kemampuan kepemimpinan dan manajerial. Menurut Bygrave dalam (Buchori Alma, 2005:54) selanjutnya dapat digambarkan beberapa karakteristik dari kewirausahaan yang berhasil memiliki sifat-sifat yang dikenal dengan istilah 10 D, yaitu: 1) Dream : Seorang wirausaha mempunyai misi bagaimana keinginannya terhadap masa depan pribadi dan bisnisnya dan yang paling penting adalah dia mempunyai kemampuan untuk mewujudkan impiannya tersebut 40 2) Decisiveness : Seorang wirausaha adalah orang yang tidak bekerja lambat. Mereka membuat keputusan secara cepat dengan penuh perhitungan 3) Doers : Begitu seorang wirausaha membuat keputusan maka dia langsung menindaklanjutinya 4) Determination : Seorang wirausaha melaksanakan kegiatannya dengan penuh perhatian 5) Dedication : Dedikasi seorang wirausaha terhadap bisnisnya sangat tinggi. 6) Devotion : Kegemaran atau kegila-gilaan, seorang wirausaha mencintai pekerjaan dan produk yang dihasilkannya 7) Details : Seorang wirausaha sangat memperhatikan faktor-faktor kritis secara rinci 8) Destiny : Seorang wirausaha bertanggung jawab terhadap nasib dan tujuan yang hendak dicapainya 9) Dollars : Wirausaha tidak sangat mengutamakan mencapai kekayaan, uang bukan segalanya tetapi uang dianggap sebagai ukuran kesuksesan bisnisnya. 10) Distribute : Seorang wirausaha bersedia mendistribusikan kepemilikan bisnisnya terhadap orang-orang kepercayaannya Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa untuk menjadi wirausaha yang berhasil seseorang harus memiliki bekal pengetahuan dan keterampilan kewirausahaan. Bekal pengetahuan yang terpenting adalah bekal pengetahuan bidang usaha yang dimasuki dan lingkungan usaha, pengetahuan tentang peran dan tanggung jawab, pengetahuan tentang kepribadian dan kemampuan diri, serta pengetahuan tentang manajemen dan oganisasi bisnis. Sedangkan keterampilan yang perlu dimiliki meliputi keterampilan konseptual dalam mengatur strategi dan memperhitungkan risiko, kreatif dalam menciptakan nilai tambah, memimpin dan mengelola, berkomunikasi dan berinteraksi, serta keterampilan teknis bidang usaha. 41 2.5 Konsep Daya Hidup Di era globalisasi sekarang ini, perkembangan dunia bisnis menjadi semakin kompetitif, hal ini menuntut para pengusaha untuk bersungguh-sungguh dalam mempertahankan usahanya yaitu dengan terus mengembangkan potensi yang dimiliki baik potensi yang berasal dari dalam (intern) perusahaan maupun potensi yang berasal dari luar (ekstern) perusahaan. Bertahan bukan berarti statis tetapi mampu mempertahankan kelangsungannya. Definisi daya hidup usaha menurut Suryana (1999:88) yaitu, “Daya hidup adalah kemampuan atau kekuatan perusahaan untuk mempertahankan kelangsungan usahanya“. Lebih lanjut Suryana (1999: 116) berpendapat bahwa “daya hidup perusahaan adalah kekuatan perusahaan untuk bertahan hidup berkesinambungan, indikatornya meliputi kemampulabaan dan lamanya operasi perusahaan.“ Selain itu juga Pearce dan Robinson menyatakan bahwa “Kelangsungan hidup (survival) dicapai melalui pertumbuhan (growth) dan profitabilitas.” Sedangkan Marshall menyatakan bahwa ”siklus kehidupan perusahaan perorangan berakhir tidak terlalu lama.” Hal ini terjadi karena menurut Marshall para pengusaha masih belum mampu menghadapi perubahan kondisi permintaan secara sekaligus, selain itu pula menurutnya suatu perusahaan akan memerlukan waktu untuk mencapai efisiensi dan profitabilitas karena aktivitas pemasarannya yang sulit berkembang. (Alfred W.S dan Douglas C.H,1999: 246) Menurut Mulyamah Wigyadisastro (1988:70) yang dikutip oleh Arief Abdul Rohman (2006:16), mengemukakan bahwa: Keberhasilan suatu usaha dalam mempertahankan kelangsungan usahanya dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal diantaranya 42 permodalan, produksi, tenaga kerja dan strategi pemasaran. Sedangkan faktor eksternal antara lain persaingan, teknologi, lingkungan ekonomi, kekuatan hukum dan politik, serta lingkungan sosial dan budaya. Selain itu sebagai perbandingan, dikemukakan oleh Syamsuri SA (1986:37) bahwa, ”daya hidup koperasi adalah daya atau kekuatan yang menyebabkan koperasi mampu mempertahankan hidupnya dan mampu pula mengembangkan diri secara wajar dalam sistem ekonomi yang bersifat bersaing (kompetitif)”. Lebih lanjut dikemukakan oleh Syamsuri SA (1986:382-285), bahwa: Hal-hal yang mendukung perkembangan Koperasi dan merupakan daya hidupnya adalah daya internal (anggota, pengurus, dan skala usaha) dan daya eksternal Koperasi yang benar dan merupakan manifestasi dari daya hidupnya adalah adanya partisipasi anggota dalam Koperasi yang meliputi partisipasi pengambilan keputusan, modal usaha dan pengawasan, dimana partisipasi dipengaruhi oleh persepsi, pendidikan formal, mentalitas dan pendidikan. Beberapa konsep maupun teori yang dikemukakan oleh para ahli ekonomi dan manajemen modern tentang cara meraih keberhasilan usaha kecil untuk mempertahankan eksistensinya secara dinamis dalam Suryana (2003:90-92), diantaranya yaitu: 1. Teori Persaingan Michael P. Porter (1980,1999) dirancang untuk menghadapi tantangan eksternal khususnya persaingan. Dalam teori ini menyatakan bahwa untuk menciptakan daya saing khusus, perusahaan harus menciptakan keunggulan melalui strategi generik (generic strategy), yaitu strategi yang menekankan pada keunggulan biaya rendah (low cost) differensiasi (differentiation), dan fokus (focus). Dengan strategi ini, perusahaan akan memiliki daya tahan (suistainbility) hidup secara berkesinambungan. 43 2. Teori Resource Based Strategy dari Mahoney dan Pandian (1992) menyatakan bahwa agar perusahaan meraih keuntungan secara terus – menerus, yaitu meraih semua pesaing di industri yang bersangkutan, maka perusahaan harus mengutamakan kapabilitas internal yang superior, yang tidak transparan, sukar ditiru atau dialihkan oleh pesaing dan memberi daya saing jangka panjang (futuristic) yang kuat dan melebihi tuntutan masa kini di pasar dan dalam situasi eksternal yang bergejolak, serta recession proof. Sumber daya perusahaan yang bisa dikembangkan secara khusus menurut Pandian (1992) adalah tanah, teknologi, tenaga kerja (kapabilitas dan pengetahuannya) modal dan kebiasaan rutin. 3. Pendapat dari Burns (1990), menyarankan bahwa agar perusahaan kecil berhasil take-off, maka harus ada usaha-usaha khusus yang diarahkan untuk kelangsungan hidup, konsolidasi, pengendalian, perencanaan, dan harapan. 4. Teori The Design School dari Mintzberg (1990) mengemukakan bahwa perusahaan harus mendesain strategi perusahaan yang ”fit” antara peluang dan ancaman eksternal dengan kemampuan internal yang memadai yang didukung dengan menumbuhkembangkan kapabilitas inti (core competency) yang merupakan kompetensi khusus (distinctive competency) dari pengelolaan sumber daya perusahaan. Kompetensi ini diciptakan melalui strategi generik Porter (1980) dan didukung dengan nilai dan budaya perusahaan yang relevan. 5. Menurut D’Aveni (1987), perusahaan harus menekankan pada strategi pengembangan kompetensi inti, yaitu pengetahuan dan keunikan untuk menciptakan keunggulan. Keunggulan yang dapat dimiliki oleh perusahaan 44 menurutnya dapat diciptakan melalui ”The New 7-S’ strategy (The New 7S’s)”, yaitu: (1) Superior stakeholder satisfaction, yaitu mengutamakan kepuasan pihak – pihak yang berkepentingan terhadap perusahaan. (2) Strategic sooth saying, yaitu merancang strategi yang membuat kejutan atau yang mencengangkan. (3) Position for speed, yaitu posisi untuk mengutamakan kecepatan. (4) Position for surprise, yaitu posisi untuk membuat kejutan. (5) Shifting the role of the game, yaitu strategi untuk mengadakan perubahan atau pergeseran peran yang dimainkan. (6) Signaling strategic intent, yaitu mengindikasikan tujuan dari strategi. (7) Simultanous and sequential strategic thrusts, yaitu membuat rangkaian penggerak atau pendorong strategi secara simultan dan berurutan. 6. Strategic intent menurut Gary Hamel (1994) adalah lebih menekankan pada ”sense of direction, sense of discovery, and sense of destiny” untuk meraih persaingan melalui kapabilitas sumber daya yang ada. (Suryana, 2006: 123) Berdasarkan pandangan para ahli di atas, jelaslah bahwa kelangsungan hidup perusahaan, baik kecil maupun besar pada umumnya sangat bergantung pada strategi manajemen perusahaan dalam memberdayakan sumber daya internalnya dan eksternalnya. 45 2.6 Konsep Laba 2.6.1 Kemampulabaan Kemampulabaan (profitabilitas) merupakan hasil bersih dari sejumlah besar kebijakan dan keputusan yang dipilih oleh manajemen organisasi (perusahaan). Rasio profitabilitas menunjukkan seberapa efektif perusahaan itu dikelola. Menurut Iwan Purwanto (2007:178),“ Rasio yang digunakan untuk menilai kemampulabaan ialah hasil pengembalian atas investasi yang didapatkan dengan membagi laba bersih dengan total aktiva.“ Ditambahkan pula menurut Suryana (1999:170), “Kemampulabaan (profitabilitas) dihitung dengan membandingkan antara keuntungan total per tahun dengan jumlah asset perusahaan.“ Jadi untuk menghitung kemampulabaan dari perusahaan yaitu laba total usaha dibagi aktiva total perusahaan. Aktiva total perusahaan yang dimaksud adalah semua kekayaan yang dimiliki oleh perusahaan yang meliputi aktiva lancar dan aktiva tetap. Aktiva lancar yaitu aktiva yang habis dalam satu kali berputar dalam proses produksi, proses perputarannya adalah dalam jangka waktu yang pendek, contohnya: kas, piutang , persediaan. Sedangkan aktiva tetap yaitu aktiva yang tahan lama yang tidak habis dalam satu kali proses produksi atau yang secara berangsur – angsur habis dalam proses produksi, contohnya: tanah, gedung. Menurut Tri Kunawangsih P dan Antyo P (2006: 182), “Pada prinsipnya, setiap pengusaha melakukan kegiatan produksi dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan”. Ada beberapa hal mengapa seorang produsen atau pengusaha selalu berupaya memperoleh keuntungan yang maksimal, yaitu: 46 1. mempertahankan kelangsungan perusahaan, setiap pengusaha berupaya untuk menciptakan efisiensi agar penghematan biaya dapat dilakukan dan keuntungan maksimal akan dapat diraih karena dengan keuntungan tersebut perusahaan dapat survive. 2. melakukan ekspansi, setiap pengusaha tentu berharap dapat mengembangkan usahanya. Laba merupakan salah satu indikator dari daya hidup usaha. Menurut Samuelson (1999: 327), “Laba adalah selisih antara total hasil pendapatan (TR) dengan total biayanya (TC).“ Laba maksimum akan dicapai apabila selisih positif antara TR dan TC mencapai angka terbesar. Lebih lanjut, Ricardo berpendapat bahwa keuntungan atau laba adalah residu, atau yang disimpan oleh kapitalis setelah membayar upah pekerja mereka dan membayar sewa kepada pemilik tanah. Steven Pressman (1999: 55) Dalam kegiatan perusahaan, keuntungan atau laba ditentukan dengan cara mengurangkan berbagai biaya yang dikeluarkan dari hasil penjualan yang diperoleh. Biaya yang dikeluarkan meliputi pengeluaran untuk bahan mentah, pembayaran upah, pembayaran bunga, sewa tanah, dan penghapusan. Apabila hasil penjualan yang diperoleh dikurangi dengan biaya-biaya tersebut nilainya adalah positif maka diperolehlah keuntungan. (Sadono Sukirno, 2002:391) Selain itu, menurut Dominick Salvatore (2001: 15), laba sama dengan penerimaan perusahaan dikurangi biaya eksplisit dan biaya implisit. Biaya eksplisit adalah biaya yang benar-benar dikeluarkan dari kantong perusahaan untuk membeli atau menyewa input yang dibutuhkan dalam produksi, 47 pengeluaran ini meliputi upah untuk menyewa tenaga kerja, bunga untuk modal yang dipinjam, sewa tanah dan gedung, dan pengeluaran untuk bahan mentah. Sedangkan biaya implisit mengacu kepada nilai input yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk proses produksinya sendiri, biaya implisit meliputi gaji pengusaha yang dapat diperoleh bila dia bekerja untuk orang lain dalam kapasitas yang sama dan hasil yang dapat diperoleh perusahaan dari menginvestasikan modal dan menyewakan lahan dan input lain milik perusahaan ke perusahaan lain. Adapun determinan dari laba menurut Samuelson (1999: 327) diantaranya yaitu: 1. Laba sebagai hasil pengembalian yang implisit Sebagian besar dari laba usaha merupakan pendapatan bagi pemilik perusahaan untuk tenaga yang mereka keluarkan dan modal yang mereka tanamkan, yaitu untuk faktor-faktor produksi. 2. Laba sebagai imbalan atas resiko yang dipikul Laba perusahaan merupakan komponen pendapatan nasional yang paling labil, sehingga modal perusahaan harus mencakup premi resiko yang besar agar dapat menarik investor. Ketidakpastian laba akan memperbesar laba melalui imbalan untuk inovasi dan keberanian berusaha. 3. Laba sebagai pengembalian monopoli Sebagian laba merupakan pengembalian terhadap kekuatan pasar atau monopoli. Para pengecam laba tidak melihat laba sebagai uang sewa implisit atau pengembalian untuk penanggungan resiko dalam pasar kompetitif. Para pengumpul laba adalah seseorang yang cenderung 48 melakukan kelicikan perhitungan yang entah dengan cara bagaimana mengeksploitir masyarakat lainnya. Perusahaan – perusahaan dalam industri dapat memperoleh laba super normal dengan cara menaikkan harga. Adapun teori laba diantaranya : 1. Teori laba dalam menghadapi resiko (Risk-Bearing Theories of Profit) Menurut teori ini, hasil di atas normal dibutuhkan oleh perusahaan untuk masuk dan bertahan di beberapa bidang. (Dominick Salvatore, 2001:17) 2. Teori laba karena gesekan ( Frictional Theory of Profit) Teori ini menekankan bahwa laba timbul sebagai hasil gesekan atau gangguan dari keseimbangan jangka panjang. Jadi, dalam jangka panjang, pada keseimbangan persaingan sempurna, perusahaan cenderung menghasilkan laba normal saja (yang telah disesuaikan dengan resiko) atau laba (ekonomi) nol dari investasinya. (Dominick Salvatore, 2001:17) 3. Teori Laba Ekonomis Friksional Teori ini menyatakan bahwa goncangan yang terjadi dalam perekonomian menyebabkan keadaan ketidakseimbangan pasar yang pada akhirnya menyebabkan perusahaan hanya menerima laba normalnya saja. (Lincolin Arsyad, 2000: 25) 4. Teori Laba Ekonomis Monopolis Teori ini menyatakan bahwa beberapa perusahaan karena faktor-faktor seperti skala ekonomis, kebutuhan-kebutuhan modal, atau hak paten dapat bertindak sebagai monopolis yang memungkinkan mereka untuk 49 mempertahankan laba di atas normal untuk jangka panjang. (Lincolin Arsyad, 2000: 25) 5. Teori Laba Inovasi Teori laba inovasi mempostulatkan bahwa laba adalah ganjaran dari pengenalan inovasi yang berhasil. Adalah suatu hal yang tak terelakkan bila perusahan lain meniru inovasi tersebut, keuntungan dari inovator berkurang dan akhirnya habis. (Dominick Salvatore, 2001:18) 6. Teori Laba Ekonomis Kompensasi Teori ini menyatakan bahwa tingkat penerimaan di atas normal merupakan suatu imbalan bagi perusahaan yang berhasil memenuhi keinginan konsumen, mempertahankan cara kerja yang efisien, dan seterusnya. (Lincolin Arsyad, 2000: 26) Konsep laba menurut Lincolin Arsyad (2000:25) dapat dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu : 1) Laba bisnis adalah sisa dari pendapatan dikurangi biaya eksplisit (akuntansi). Laba tersebut menunjukan posisi jumlah kekayaan modal yang tersedia setelah semua sumber daya yang digunakan dalam proses produksi dibayar. 2) Laba ekonomis adalah laba sebagai kelebihan penerimaan dari biaya yang dikeluarkan dalam kegiatan usaha. Namun demikian, bagi ekonom kekayaan modal hanya dipandang sebagai sumberdaya yang harus dibayar jika modal tersebut digunakan oleh suatu perusahaan. Oleh karena itu, ekonom menganggap tingkat kembalian normal (normal rate 50 of return) dari kekayaan modal sebagai biaya dalam menjalankan usaha. Tingkat kembalian normal ini merupakan tingkat kembalian modal yang minimum yang diperlukan untuk memperoleh hasil dari penggunaannya dalam suatu kegiatan tertentu (opportunity cost). Oleh karena itu, laba bagi seorang ekonom adalah kelebihan dari laba bisnis atas tingkat kembalian normal dari kekayaan modal yang di investasikan oleh suatu perusahaan. Dalam keseimbangan jangka panjang, laba ekonomis akan menjadi nol jika semua perusahaan beroperasi dalam industri persaingan sempurna. Dengan kata lain, semua perusahaan akan memperoleh tingkat laba bisnis yang hanya mencerminkan tingkat kembalian normal dari investasi yang mereka tanamkan. Namun demikian, diketahui bahwa tingkat laba yang diperoleh perusahaanperusahaan juga berbeda-beda. Tingkat laba berkisar dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi. 2.6.2 Laba Maksimum Dalam Pasar Persaingan Monopolistik Pada hakikatnya pasar persaingan monopolistik berada diantara dua jenis pasar yang ekstrim, yaitu berada diantara pasar persaingan sempurna dan pasar monopoli. Oleh karena itu, sifat-sifatnya mengandung unsur pasar monopoli dan pasar persaingan sempurna. Model pasar persaingan monopolistik ini baru diperkenalkan untuk pertama kalinya pada tahun 1930-an oleh ilmuwan Amerika Serikat bernama Edward E. Chamberlin dan Joan Robinson. Model ini dirumuskan karena adanya rasa ketidakpuasan terhadap model pasar persaingan sempurna yang anggapan 51 dasarnya kurang realistis (seperti anggapan jenis produk yang homogen). Model persaingan monopolistik Chamberlin juga berdasarkan beberapa asumsi yang memasukkan hampir semua unsur persaingan sempurna dan juga memasukkan unsur dari monopoli, sehingga dapat disebut sebagai pasar yang mempunyai ciri persaingan sempurna dan monopoli. Chamberlin menggunakan istilah tersebut untuk menggambarkan pasar dengan banyak produsen menawarkan produk yang bersubstitusi dekat tetapi tidak dianggap identik oleh konsumen. Pasar persaingan monopolistik dapat didefinisikan sebagai suatu pasar di mana terdapat banyak produsen yang menghasilkan barang yang berbeda corak (differented products). (Sadono Sukirno, 2002:297) Beberapa karakteristik dasar dari persaingan monopolistik dapat dikemukakan sebagai berikut: (Sadono Sukirno, 2002:297) 1. Jumlah perusahaannya banyak (terdapat banyak penjual) dan pangsa pasar dari masing-masing perusahaan itu relatif kecil terhadap pangsa pasar total, sehingga tidak ada perusahaan yang mampu mempengaruhi pasar persaingan monopolistik. Banyaknya penjual ternyata membuat mereka berada dalam posisi persaingan 2. Produk yang dijual adalah serupa, namun tidak homogen murni. Dengan demikian produk-produk yang ada di pasar merupakan produk diferensiasi yang dapat dibedakan berdasarkan corak, bentuk, kemasan, penampilan, model, kualitas, dan lain sebagainya 3. Tidak ada hambatan bagi perusahaan-perusahaan lain untuk memasuki atau keluar dari pasar persaingan monopolistik 4. Perusahaan mempunyai sedikit kekuasaan mempengaruhi harga. Kekuasaan mempengaruhi harga oleh perusahaan monopolistik bersumber dari sifat barang yang dihasilkannya, yaitu yang bersifat berbeda corak (differentiated product). Perbedaan ini menyebabkan para pembeli memilih, yaitu lebih menyukai barang dari sesuatu perusahaan tertentu dan kurang menyukai barang yang dihasilkan perusahaan lainnya. Maka apabila suatu perusahaan menaikkan harga barangnya, ia masih dapat menarik pembeli walaupun jumlah pembelinya tidak sebanyak sebelum kenaikan harga. Sebaliknya, apabila perusahaan menurunkan harga, tidaklah mudah untuk menjual semua barang yang diproduksikannya. Banyak diantara konsumen di pasar masih tetap membeli barang yang 52 dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan lain, walaupun harganya sudah menjadi relatif lebih mahal 5. Persaingan menetapkan promosi penjualan sangat mudah (aktif). Karena sifat barangnya yang berbeda corak, maka pedagang melakukan persaingan bukan harga (non price competition) dengan cara memperbaiki mutu dan desain barang, melakukan iklan yang terus menerus, memberikan syarat penjualan yang menarik Kurva yang dimiliki oleh masing-masing produsen tidaklah horizontal tetapi berslope negatif. Masing-masing produsen dengan demikian dapat mengendalikan harga yang ditetapkannya. Jadi, produsen dalam pasar ini adalah sebagai price searcher. Sadono Sukirno (2002:320) juga mengemukakan bahwa: Kurva permintaan dari perusahaan ini memiliki slope negatif dan kurvanya lebih elastis dari yang dihadapi monopoli, tetapi elastisitasnya tidak sampai mencapai elastis sempurna yaitu kurva permintaan yang sejajar sumbu datar yang merupakan kurva permintaan yang dihadapi suatu perusahaan dalam persaingan sempurna. Pada hakikatnya kurva permintaan atas barang produksi perusahaan dalam persaingan monopolistik adalah bersifat menurun secara sedikit demi sedikit (lebih mendatar dan bukan turun dengan curam). Kurva permintaan yang seperti ini berarti apabila perusahaan menaikkan harga maka jumlah barang yang dijualnya menjadi sangat berkurang, dan sebaliknya apabila perusahaan menurunkan harga maka jumlah barang yang dijualnya menjadi sangat bertambah. Namun, karena output perusahaan tersebut relatif kecil dibandingkan dengan kuantitas output total yang dijual dalam pasar persaingan monopolistik, maka diasumsikan bahwa keputusan manajerial yang berkaitan dengan output produksi dan harga jual dilakukan secara bebas oleh masing-masing perusahaan. Dalam pasar persaingan monopolistik akan memaksimumkan keuntungan (ditunjukkan pada titik PABC), apabila jumlah produksi adalah Q dan 53 pada tingkat produksi ini tingkat harga adalah P, dengan cara menentukan harga jual dan output yang ditawarkan pada kondisi keseimbangan perusahaan dimana MR=MC, seperti yang ditujukan pada gambar 2.1 MC A AC P C B D MR Q Q Optimum Gambar 2.3 Keseimbangan Perusahaan Persaingan Monopolistik Dalam Jangka Pendek Sumber : Sadono Sukirno (2002: 301) Keuntungan maksimum tercapai apabila jumlah produksi adalah Q dan pada tingkat produksi ini tingkat harga adalah P. Segi empat PABC menunjukkan jumlah keuntungan maksimum yang dinikmati perusahaan monopolistik. Perusahaan yang memperoleh keuntungan positif karena harga yang tercipta (P) berada di atas kurva biaya rata-ratanya (AC) sehingga menghasilkan keuntungan per unit positif sebesar AB. Total penerimaan perusahaan sebesar OPAQ, sedangkan total biayanya adalah OCBQ. Dengan demikian, keuntungan totalnya adalah sebesar PABC. 54 2.7 Pengaruh Modal Kerja terhadap Daya Hidup Usaha Modal merupakan sesuatu yang sangat penting dalam sebuah perusahaan karena dengan adanya modal sebuah perusahaan dapat didirikan dan dikembangkan. Modal yang diperlukan oleh para pengusaha tidak hanya yang bersifat fisik seperti dalam bentuk uang, bahan baku, bangunan tetapi juga harus memiliki modal non fisik seperti skill atau keterampilan berwirausaha. Modal memiliki peranan dalam menentukan suatu keberhasilan usaha yaitu dapat meningkatkan hasil produksi yang pada akhirnya dapat juga meningkatkan laba yang akan diperoleh para pengusaha. Pentingnya peran modal juga diungkapkan oleh M. Iqbal dan Krisni M (2004:55), bahwa: “Adanya modal yang cukup, sangat penting bagi perusahaan, karena memungkinkan bagi perusahaan untuk beroperasi secara ekonomis serta terhindar dari krisis keuangan.” Ditambahkan pula oleh Bambang Riyanto (1995: 61) yaitu: Bahwa modal kerja sangat berpengaruh terhadap berjalannya operasi suatu perusahaan sehingga modal kerja harus senantiasa tersedia dan terus – menerus diperlukan bagi kelancaran usaha, dengan modal yang cukup akan dapat dihasilkan produksi yang optimal dan apabila dilakukan penambahan modal maka produksi akan meningkat lebih besar lagi. Dari uraian di atas mengenai modal dapat disimpulkan bahwa, modal yang besar akan meningkatkan hasil produksi yang akhirnya akan meningkatkan laba usaha. Laba yang mengalami peningkatan akan menjadikan daya hidup usaha semakin meningkat pula atau daya hidupnya menjadi lama. 55 2.8 Pengaruh Tenaga Kerja terhadap Daya Hidup Usaha Salah satu faktor produksi yang amat penting dalam setiap proses produksi, yaitu tenaga kerja. Seperti yang dikatakan oleh Hadi Prayitno (Iwan Kartaman,1998:26) bahwa “faktor manusia dan keahliannya sangat penting peranannya dalam pelaksanaan kegiatan usaha.” Dalam suatu perusahaan tenaga kerja memegang peranan penting dalam proses produksi, yaitu menghasilkan barang dan jasa, dengan keahlian yang dimiliki dapat meningkatkan produksi dan penjualan sehingga pendapatan pengusaha meningkat yang berarti perusahaan dapat berkembang. Dijelaskan pula oleh Gomes (1995:7), “sumber daya manusia yang terdidik, terampil, cakap, berdisiplin, tekun, kreatif, idealis, mau bekerja keras, kuat fisik dan mental, setia pada tujuan dan cita-cita organisasi akan sangat berpengaruh positif terhadap keberhasilan dan kemajuan organisasi”. Dengan demikian jelas bahwa hanya tenaga kerja yang mempunyai kompetensi yang dapat mendukung keberhasilan usaha dalam mempertahankan daya hidupnya. 2.9 Pengaruh Perilaku Kewirausahaan terhadap Daya Hidup Usaha Perilaku kewirausahaan mempunyai kedudukan yang strategis dalam upaya pencapaian tujuan dari pengusaha untuk meningkatkan laba, sebab apabila perilaku kewirausahaan lemah maka tidak akan mencapai sasaran sebagaimana yang diharapkan. Apabila pengusaha mempunyai perilaku kewirausahaan yang tinggi, baik itu dengan cara mengikuti pelatihan kewirausahaan, banyak membaca buku 56 seputar perdagangan dan menerima saran-saran orang lain maka orang tersebut dapat mengembangkan usahanya agar jangan sampai jalan di tempat sehingga laba yang diperoleh pun sejalan dengan pengembangan usahanya. Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa perilaku kewirausahaan memegang peranan penting bagi pengusaha dalam mengelola usahanya untuk mencapai laba yang maksimal sebagai indikator dari daya hidup usaha. 2.10 Kerangka Pemikiran Dalam rangka menumbuhkembangkan atau mempertahankan keberlangsungan usaha, suatu usaha akan menghadapi banyak hambatan atau kendala. Sehingga sangat diperlukan pengusaha yang mempunyai kemampuan untuk mengatasi segala kendala tersebut. Perusahaan harus dapat melihat peluang maupun ancaman yang dihadapi pada usahanya untuk kemudian membuat suatu strategi yang dapat mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki perusahaan tersebut sehingga perusahaan memiliki daya hidup usaha yang tinggi atau dapat bertahan hidup lama. Mengenai daya hidup, Suryana (1999:88) mengemukakan bahwa, “Daya hidup adalah kemampuan atau kekuatan perusahaan untuk mempertahankan kelangsungan usahanya.” Lebih lanjut Suryana (1999: 116) berpendapat bahwa “daya hidup perusahaan adalah kekuatan perusahaan untuk bertahan hidup berkesinambungan, indikatornya meliputi kemampulabaan dan lamanya operasi perusahaan.” Selain itu juga Pearce dan Robinson menyatakan bahwa “Kelangsungan hidup (survival) dicapai melalui pertumbuhan (growth) dan 57 profitabilitas.” Sedangkan Marshall menyatakan bahwa siklus kehidupan perusahaan perorangan berakhir tidak terlalu lama. Hal ini terjadi karena menurut Marshall para pengusaha masih belum mampu menghadapi perubahan kondisi permintaan secara sekaligus, selain itu pula menurutnya suatu perusahaan akan memerlukan waktu untuk mencapai efisiensi dan profitabilitas karena aktivitas pemasarannya yang sulit berkembang. (Alfred W.S dan Douglas C.H, 1999: 246) Dari uraian di atas mengenai daya hidup dapat diambil kesimpulan bahwa daya hidup sebuah usaha dipengaruhi oleh kemampulabaan (profitabilitas) atau kemampuan sebuah perusahaan dalam memperoleh keuntungan dari modal yang dimilikinya serta lamanya perusahaan beroperasi (lamanya menjalankan usaha). Kemampulabaan (profitabilitas) merupakan hasil bersih dari sejumlah besar kebijakan dan keputusan yang dipilih oleh manajemen organisasi (perusahaan). Rasio profitabilitas menunjukkan seberapa efektif perusahaan itu dikelola. Menurut Iwan Purwanto (2007:178),” Rasio yang digunakan untuk menilai kemampulabaan ialah hasil pengembalian atas investasi yang didapatkan dengan membagi laba bersih dengan total aktiva.” Ditambahkan pula menurut Suryana (1999: 170), “Kemampulabaan (profitabilitas) dihitung dengan membandingkan antara keuntungan total per tahun dengan jumlah asset perusahaan.” Menurut Samuelson (1999 : 241) yang dialih bahasa Nur Rosyidiyah dan Anna Elly (2003) mengemukakan bahwa : Perkembangan dalam suatu usaha sangat berkaitan erat dengan pendapatan yang diperolehnya, pendapatan itu ialah total uang yang diterima atau terkumpul dalam satu periode. Pendapatan yang diterima 58 oleh pengusaha bukan sebagai harga dari pengusaha melainkan sebagai sebab akibat dari pembentukan harga di berbagai pasar. Salah satu indikator atau tolok ukur daya hidup dari suatu perusahaan bergantung pada jumlah laba yang diterima oleh masing-masing usaha tersebut. Menurut Rahardja dan Manurung (2002 : 141) dalam teori ekonomi mikro tujuan perusahaan adalah mencari laba atau profit (keuntungan). Secara teoritis laba adalah kompensasi atas risiko yang ditanggung oleh perusahaan. Makin besar risiko, laba yang diperoleh harus semakin besar. Adapun definisi laba menurut Case dan Fair (2002:185), adalah: Laba(࣊) = Penerimaan Total (TR) – Biaya Total (TC) Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa laba akan diperoleh apabila selisih yang positif antara TR dan TC mencapai angka terbesar. Oleh karena itu, nilai TR harus lebih besar daripada TC. Untuk mendapatkan laba yang maksimum maka sebuah perusahaan harus meningkatkan jumlah penerimaannya dan meminimalisir jumlah biaya yang dikeluarkan dalam setiap proses produksinya. Untuk meningkatkan jumlah penerimaan perusahaan harus melakukan beberapa cara diantaranya dengan menambah jumlah faktor produksi yang dimiliki. Menurut Case dan Fair bahwa “Total penerimaan adalah jumlah total yang diterima oleh perusahaan dari penjualan produknya. Oleh karena itu, total penerimaan sama dengan harga per unit (P) dikali dengan kuantitas barang yang terjual (Q). Total penerimaan (TR) = Harga (P) x Kuantitas (Q). 59 Menurut Sadono Sukirno (2002: 192), hubungan jumlah output (Q) dengan sejumlah input yang digunakan dalam proses produksi (X1,X2,X3,…,Xn) secara matematis dapat ditulis sebagai berikut : Q = (X1,X2,X3,…,Xn) Keterangan : Q = Output/jumlah produksi X = Input Apabila input yang dipergunakan dalam proses produksi terdiri dari modal (Capital), jumlah tenaga kerja (Labour), sumber daya alam (Resources), dan teknologi (Tingkat teknologi, kewirausahaan). Secara matematis fungsi produksi dapat diformulasikan sebagai berikut : Q = f (K,L,R,T) L = f (Skill,Entrepreneurship) Keterangan : Q = Ouput/jumlah produksi K = Modal (Capital) L = Jumlah tenaga kerja (Labour) R = Sumber daya alam (Resources) T = Teknologi (Technology) Salah satu faktor produksi yang dimiliki yaitu modal yang dimiliki karena dengan modal yang cukup besar jumlah barang yang diproduksi pun akan meningkat dan jumlah laba yang diperoleh pun akan meningkat. Selain 60 itu jumlah penerimaan dapat ditentukan dari teknik produksi yang dilakukan perusahaan, setiap rangkaian jumlah masukan (input) menentukan jumlah keluaran (output) yang dapat diproduksi. Tenaga kerja merupakan sebuah masukan (input) yang penting dalam sebuah proses produksi. Jumlah tenaga kerja akan menentukan berapa banyak jumlah barang yang akan diproduksi. Disamping itu tenaga kerja yang terampil akan menghasilkan lebih banyak keluaran (output) dan hal ini akan menguntungkan bagi perusahaan. Selain modal kerja dan tenaga kerja, perolehan laba yang maksimum juga dapat dipengaruhi oleh perilaku kewirausahaan dari para pengusahanya. Perilaku kewirausahaan yang tinggi akan membawa sebuah perusahaan dalam mencapai laba yang maksimum. Seseorang dengan perilaku kewirausahaan akan selalu mencari cara untuk mengembangkan usaha yang sedang digelutinya dan mencapai apa yang menjadi tujuannya yaitu mendapatkan laba. Berdasarkan dari pengertian, teori dan uraian yang ada dapat disimpulkan bahwa yang mempengaruhi pendapatan usaha atau laba adalah permodalan, tenaga kerja, dan perilaku kewirausahaan Modal memegang peranan yang sangat penting dalam keberlangsungan suatu usaha, yaitu penting dalam meningkatkan kehidupan ekonomi, walaupun pada dasarnya bukan modal saja yang penting tetapi modal memiliki andil yang besar dalam menentukan keberhasilan dan dengan modal itulah dapat dihasilkan pula benda-benda yang lebih banyak dan ekspansif, selain itu modal yang ditanam itu akan mempunyai hubungan yang erat dengan besarnya tingkat laba. 61 Dengan adanya modal yang memadai, maka suatu usaha dapat dimulai dan dengan modal pula dapat dihasilkan barang-barang yang mendatangkan laba. Diungkapkan pula oleh Mulyamah Wigyadisastro (1998:9) bahwa “keterbatasan modal terutama modal kerja akan menyebabkan perusahaan tidak mampu menyediakan pembelian bahan baku secara tunai dan tidak pula mampu memberikan kredit kepada para pembelinya yang justru itu merupakan salah satu oleh Bambang Riyanto (1995:61) bahwa: Modal kerja sangat berpengaruh terhadap berjalannya operasi suatu perusahaan sehingga modal kerja harus senantiasa tersedia dan terus menerus diperlukan bagi kelancaran usaha. Dengan modal yang cukup akan dihasilkan produksi yang optimal dan apabila dilakukan penambahan modal, maka produksi akan meningkat lebih besar lagi. Rendahnya perputaran modal kerja yang disebabkan oleh terlalu kecilnya modal kerja dari yang dibutuhkan mengindikasikan penggunaan modal kerja tersebut tidak menguntungkan sehingga berdampak pada penurunan kemampuan perusahaan dalam memperoleh laba. Faktor tenaga kerja juga sangat berpengaruh terhadap daya hidup usaha. Menurut Imam Chourmain (1994:95) yang dikutip Siti Masitoh (2003:11), “tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang sangat menentukan dalam kehidupan ekonomi yang berbentuk tenaga, pikiran dan keterampilan yang ada dan mampu memperkaya manusia untuk kegiatan produktif.” Dalam suatu perusahaan tenaga kerja memegang peranan penting dalam proses produksi, yaitu menghasilkan barang dan jasa, dengan keahlian yang dimiliki dapat meningkatkan produksi dan penjualan sehingga pendapatan pengusaha meningkat yang berarti perusahaan dapat berkembang. Dijelaskan 62 pula oleh Gomes (1995:7), “sumber daya manusia yang terdidik, terampil, cakap, berdisiplin, tekun, kreatif, idealis, mau bekerja keras, kuat fisik dan mental, setia pada tujuan dan cita-cita organisasi akan sangat berpengaruh positif terhadap keberhasilan dan kemajuan organisasi.” Dengan demikian jelas bahwa hanya tenaga kerja yang mempunyai kompetensi yang dapat mendukung keberhasilan usaha dalam mempertahankan daya hidupnya. Faktor yang tidak kalah pentingnya dalam upaya peningkatan daya hidup sebuah usaha adalah perilaku kewirausahaan. Karena tidak dapat disangkal lagi bahwa kelangsungan hidup perusahaan tergantung pada ketahanan wirausaha dalam meraih konsumen guna bersaing melalui strategi yang dimilikinya. Menurut Meredith (2002:5), “Perilaku kewirausahaan adalah serangkaian aktivitas yang dilakukan seseorang dalam melihat dan menilai kesempatan bisnis dan mengumpulkan sumber daya, guna mengambil keuntungan dan mengambil tindakan yang tepat guna memastikan sukses.” Sedangkan menurut Suryana (2006: 14),” Kewirausahaan adalah kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan kiat, dasar, sumber daya, proses, dan perjuangan untuk menciptakan nilai tambah barang dan jasa yang dilakukan dengan keberanian untuk menghadapi resiko.” Dengan adanya kreativitas dan inovatif yang dimiliki para pengusaha, mereka akan mampu menciptakan produk yang memiliki keunggulan bersaing, dengan begitu mereka akan memperoleh keuntungan dan daya hidup usaha dapat dipertahankan. Ditambahkan pula oleh pendapatnya Zimmerer (1996) yang dikutip dari Suryana (2006:48), mengemukakan bahwa,” .... Kreativitas tidak 63 hanya penting untuk menciptakan keunggulan kompetitif , akan tetapi juga sangat penting bagi kelangsungan perusahaan.” Agar para pengusaha mampu menghadapi segala resiko yang terjadi dalam mengembangkan usahanya maka sangat diperlukan kemampuan atau sikap kewirausahaan. Hal ini didukung pula oleh pendapatnya dari Cantillon yang menyatakan bahwa “pengusaha adalah individu yang bersedia mengambil resiko.“ (Alfred W.S dan Douglas C.H, 1999: 345) Dengan adanya kemampuan kewirausahaan yang tinggi, maka seorang pengusaha bisa mengembangkan usaha yang dimilikinya dan akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar yang akhirnya mampu untuk mempertahankan keberlangsungan usahanya. Dari uraian diatas, dapat dibuat kerangka pemikiran sebagai berikut : Modal Kerja ) Tenaga Kerja Perilaku Kewirausahaan DAYA HIDUP USAHA 64 2.11 Hipotesis 1. Modal kerja, tenaga kerja, dan perilaku kewirausahaan berpengaruh positif terhadap daya hidup usaha. 2. Modal kerja berpengaruh positif terhadap daya hidup usaha. 3. Tenaga kerja berpengaruh positif terhadap daya hidup usaha. 4. Perilaku kewirausahaan berpengaruh positif terhadap daya hidup usaha. 65 2.12 Penelitian Sebelumnya No Peneliti Judul Variabel Hasil 1 Suryana (1999) Pengaruh Latar Belakang Profesional dan Sistem Nilai Serta Kemodernan Kewirausahaan Terhadap Daya Hidup Perusahaan Latar belakang profesional, sistem nilai, serta kemodernan kewirausahaan Daya hidup perusahaan secara langsung dan signifikan dipengaruhi oleh latar belakang profesional dan sistem nilai serta kemodernan kewirausahaan 2 Arief Abdul Rohman (2006) Analisis Faktor Internal dan Eksternal Yang Mempengaruhi Daya Hidup Usaha Pengrajin Kayu Cipacing Kabupaten Sumedang Modal, tenaga kerja, sikap kewirausahaan, persaingan, dan kebijakan pemerintah Secara simultan, modal, tenaga kerja, sikap kewirausahaan, persaingan, dan kebijakan pemerintah berpengaruh signifikan terhadap daya hidup usaha. Sedangkan secara parsial hanya persaingan yang tidak berpengaruh terhadap daya hidup usaha. 3 Anisa Kamilah (2008) Faktor – faktor Yang Mempengaruhi Daya Hidup Usaha Modal kerja, strategi pemasaran, dan perilaku kewirausahaan Secara simultan, semua variabel independen berpengaruh terhadap daya hidup usaha. Sedangkan secara parsial hanya perilaku kewirausahaan yang tidak berpengaruh terhadap daya hidup usaha. 4 Puji Ambarwati (2008) Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Daya Hidup Usaha Industri Sandal Karet Di Desa Kebarepan Kecamatan Plumbon Kabupaten Cirebon Modal, Perilaku Kewirausahaan dan persaingan Secara simultan, bahwa semua variabel independen berpengaruh terhadap daya hidup usaha. Sedangkan secara parsial hanya perilaku kewirausahaan yang tidak berpengaruh terhadap daya hidup usaha.