BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penanggulangan kemiskinan telah lama menjadi agenda dan prioritas pembangunan nasional. Berbagai kebijakan, strategi dan kegiatan penanggulangan kemiskinan yang bersifat langsung maupun yang bersifat tidak langsung telah dilaksanakan baik dalam skala nasional maupun lokal. Fakta menunjukkan bahwa pembangunan telah dilakukan, namun belum mampu menekan meningkatnya jumlah penduduk miskin di dunia, khususnya negara-negara berkembang. Selama ini kemiskinan lebih cenderung dikaitkan dengan dimensi ekonomi karena dimensi ini lebih mudah diamati, diukur, dan diperbandingkan. Menurut World Development Report (2008), selain dilihat dari dimensi pendapatan, kemiskinan juga perlu dilihat dari dimensi lain seperti dimensi sosial, dimensi kesehatan, dimensi pendidikan, dimensi akses terhadap air bersih, dan perumahan. Kemiskinan merupakan masalah kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, antara lain: tingkat pendapatan, pendidikan, akses tehadap barang dan jasa, lokasi geografis, gender dan kondisi lingkungan. Kemiskinan seperti yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 tidak hanya dipahami sebagai ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan memenuhi hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang 1 2 dalam menjalani hidupnya secara bermartabat. Hak-hak dasar yang diakui secara umum meliputi terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam, dan lingkungan hidup, dan rasa aman dari perlakuan atau ancaman kekerasan. Kemiskinan adalah suatu intergrated concept yang memiliki lima dimensi, yaitu: 1) kemiskinan (proper), 2) ketidakberdayaan (powerless), 3) kerentanan menghadapi situasi darurat (state of emergency), 4) ketergantungan (dependence), dan 5) keterasingan (isolation) baik secara geografis maupun sosiologis (Suryawati, 2005). Menurut BPS (2007), seseorang masuk dalam kriteria miskin jika pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan. BPS mendefenisikan kemiskinan dengan dua cara, yaitu ukuran pendapatan dan ukuran non pendapatan (Bappenas, 2009 : 1). Proses pembangunan memerlukan pendapatan nasional yang tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang cepat. Di banyak negara syarat utama bagi terciptanya penurunan kemiskinan yang tetap adalah pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi memang tidak cukup untuk mengentaskan kemiskinan. Biasanya pertumbuhan ekonomi merupakan sesuatu yang dibutuhkan walaupun pertumbuhan ekonomi yang bagus pun menjadi tidak akan berarti bagi penurunan masyarakat miskin jika tidak diiringi dengan pemerataan pendapatan (Wongdesmiwati, 2009). Pertumbuhan ekonomi merupakan indikator untuk melihat keberhasilan pembangunan dan merupakan syarat keharusan (necessary condition) bagi pengurangan tingkat kemiskinan. Adapun syarat 3 kecukupannya ialah bahwa pertumbuhan ekonomi tersebut efektif dalam mengurangi tingkat kemiskinan. Artinya, pertumbuhan tersebut hendaklah menyebar di setiap golongan pendapatan, termasuk di golongan penduduk miskin. Secara langsung, hal ini berarti pertumbuhan itu perlu dipastikan terjadi di sektor-sektor dimana penduduk miskin bekerja, yaitu sektor pertanian atau sektor yang padat karja. Adapun secara tidak langsung, diperlukan pemerintah yang yang cukup efektif mendistribusikan manfaat pertumbuhan yang mungkin didapatkan dari sektor modern seperti jasa yang padat modal (Siregar dan Wahyuniarti, 2008). Perusahaan akan memperoleh hasil yang lebih banyak dengan memperkerjakan tenaga kerja dengan produktivitas yang tinggi, sehingga perusahaan juga akan bersedia memberikan gaji yang lebih tinggi bagi yang bersangkutan. Di sektor informal seperti pertanian, peningkatan keterampilan dan keahlian tenaga kerja akan mampu meningkatkan hasil pertanian, karena tenaga kerja yang terampil mampu bekerja lebih efisien. Pada akhirnya seseorang yang memiliki produktivitas yang tinggi akan memperoleh kesejahteraan yang lebih baik, yang diperlihatkan melalui peningkatan pendapatan maupun konsumsinya. Rendahnya produktivitas kaum miskin dapat disebabkan oleh rendahnya akses mereka untuk memperoleh pendidikan (Sitepu dan Sinaga, 2004). Undang-Undang Dasar RI 1945 Pasal 31 ayat 2 menyebutkan bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya, dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem 4 Pendidikan Nasional mengamanatkan bahwa setiap warga negara yang berusia 7- 15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. Pasal 34 ayat 2 menyebutkan bahwa pemerintah pusat dan daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, sedangkan dalam ayat 3 menyebutkan bahwa wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat. Konsekuensinya, pemerintah pusat dan daerah wajib memberikan layanan pendidikan bagi seluruh peserta didik pada tingkat pendidikan dasar (SD dan SMP) serta satuan pendidikan lain yang sederajat, agar mampu melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Keterkaitan kemiskinan dan pendidikan sangat besar karena pendidikan memberikan kemampuan untuk berkembang lewat penguasaan ilmu dan keterampilan. Pendidikan juga menanamkan kesadaran akan pentingnya martabat manusia. Mendidik dan memberikan pengetahuan berarti menggapai masa depan. Hal tersebut harusnya menjadi semangat untuk terus melakukan upaya mencerdaskan bangsa (Suryawati, 2005). Tingkat kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada tahun 2012 ternyata tertinggi se-Jawa. Tingkat kemiskinan di wilayah ini bahkan jauh lebih tinggi dari DKI Jakarta, Banten dan Jawa Tengah (Republika, 2013). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Yogyakarta tahun 2012, tingkat kemiskinan di wilayah DIY pada akhir 2012 mencapai 15,88 persen. Jumlah ini memang menurun dari Maret 2012 yang mencapai 16,05 persen, namun jumlah itu tetap tertinggi se-Jawa. Penurunan tingkat kemiskinan 5 di DIY masih patut diapresiasi karena garis kemiskinan di DIY dalam tahuntahun terakhir mengalami kenaikan. Tabel 1.1 Jumlah Penduduk Miskin Menurut Kota/Desa di Provinsi D.I. Yogyakarta Number of Poor People by Urban/Rural in D.I. Yogyakarta Province Tahun 2002 – 2011 Tahun/Year (1) 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Jumlah Total (1.000) (2) 303,75 303,30 301,40 340,30 346,00 335,30 324,16 311,47 308,36 304,34 Kota/Urban % terhadap Penduduk Jumlah Provinsi Total from (1.000) Population of Province (3) (4) 16,17 331,91 16,44 333,50 15,96 314,80 16,02 285,50 17,85 302,70 15,63 298,20 14,99 292,12 14,25 274,31 13,98 268,94 13,16 256,55 Desa/Rural % terhadap Penduduk Provinsi from Population of Province (5) 25,96 24,48 23,65 24,23 27,64 25,03 24,32 22,60 21,95 21,82 Jumlah Jumlah Total (1.000) (6) 635,66 636,80 616,20 625,80 648,70 633,50 616,28 585,78 577,30 560,88 % terhadap Penduduk Provinsi from Population of Province (7) 20,14 19,86 19,14 18,95 19,15 18,99 18,32 17,23 16,83 16,08 Sumber : Susenas, Badan Pusat Statistik Provinsi D.I. Yogyakarta, 2012. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam periode 2005-2012 terjadi fenomena penurunan tingkat kemiskinan, tetapi rata-rata tingkat kemiskinannya dibandingkan provinsi-provinsi lain di pulau Jawa adalah yang paling tinggi. Belum meratanya hasil usaha pemerintah dalam mengatasi masalah kemiskinan di seluruh kabupaten/kota menjadi penyebabnya, padahal dampak kemiskinan sangat buruk terhadap perekonomian. Tingkat kemiskinan ini dapat terselesaikan dengan baik, diperlukan kebijakan yang tepat untuk dipilih, yaitu mengenai faktor-faktor mempengaruhi tingkat kemiskinan di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. 6 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian yang melatarbelakangi penelitian ini, maka dirumuskan berbagai permasalahan sebagai berikut : Bagaimanakah pengaruh pendidikan, jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi, dan tingkat pengangguran terhadap tingkat kemiskinan di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2005-2012? 1.3 Tujuan Penelitian Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh pendidikan, jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi, dan tingkat pengangguran terhadap tingkat kemiskinan di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2005-2012. 1.4 Manfaat Penelitian 1. Bagi mahasiswa Hasil penelitian ini dapat sebagai bahan latihan terhadap teori-teori yang didapat dibangku kuliah untuk dipuplikasikan dalam kenyataan. 2. Bagi Departemen Terkait Hasil penelitian ini dapat sebagai bahan referensi dalam penulisan serta sebagai bahan pertimbangan dan masukan dalam mengambil kebijakan yang berhubungan dengan kemiskinan. 7 1.5 Kerangka Pemikiran Adapun kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut : Pendidikan Jumlah Penduduk Tingkat Kemiskinan Pertumbuhan Ekonomi Tingkat Pengangguran Gambar 1.1 Skema Kerangka Pemikiran 1.6 Kajian Penelitian Terdahulu 1. Penelitian yang dilakukan oleh Budhi (2013), penelitian ini tentang faktorfaktor yang berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan di Bali. Penelitian dilakukan dengan teknik Analisis FEM data panel. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dampak pendidikan, jumlah penduduk, PDRB, share sector pertanian, dan share sector industry terhadap kemiskinan di Bali. Data yang digunakan adalah data panel dari tahun 2006-2009, serta data cross section sebanyak sembilan yang mewakili kabupaten/kota dengan pendekatan fixed effect model. Hasil penelitian ini 8 memberikan kesimpulan, yaitu : (1) persentase penduduk miskin yang menamatkan wajib belajar sembilan tahun tidak signifikan dalam menurunkan kemiskinan; (2) jumlah penduduk, PDRB, dan share sector pertanian berpengaruh positif signifikan terhadap tingkat kemiskinan; dan (3) share sector industri berpengaruh negatif signifikan terhadap tingkat kemiskinan. 2. Penelitian yang dilakukan oleh Merdekawati dan Budiantara (2013), penelitian ini tentang “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan di Kabupaten/Kota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta menggunakan regresi spline. Regresi spline yang dipilih adalah yang memiliki titik knot dengan nilai GCV minimum. Hasil pemodelan menunjukkan bahwa dengan regresi spline terbaik adalah regresi spline linier menggunakan tiga titik knot. Faktor yang berpengaruh signifikan pada kemiskinan adalah adalah laju pertumbuhan ekonomi, alokasi belanja daerah untuk bantuan sosial, persentase buta huruf, tingkat pengangguran terbuka, persentase gizi buruk balita, tingkat pendidikan kurang dari SMP, rumah tangga dengan akses air bersih, dan rumah tangga dengan kelayakan papan. Model regresi spline linier menghasilkan R2 sebesar 99,9 persen. Kebijakan yang diberikan oleh tiap daerah sebaiknya berbeda sesuai dengan hasil yang telah didapatkan karena pola data tiap wilayah pada masing-masing variabel prediktor berubah tiap interval knot.