bab viii kelembagaan makanan pokok non beras

advertisement
92
BAB VIII
KELEMBAGAAN MAKANAN POKOK NON BERAS
Kelembagaan menurut Uphoff (1993) dikutip Soekanto (2009) adalah
seperangkat norma dan perilaku yang bertahan dari waktu ke waktu dengan
memenuhi kebutuhan kolektif. Sebagian besar sosiolog berpendapat bahwa
kelembagaan merupakan suatu konsepsi dan bukan sesuatu yang kongkrit atau
dengan kata lain dapat dikatakan bahwa kelembagaan adalah suatu kompleks
peraturan-peraturan dan peranan-peranan sosial. Dengan demikian kelembagaan
memiliki aspek kultural dan struktural. Segi kultural berupa norma-norma dan
nilai sedangkan segi struktural berupa pelbagai peranan sosial. Keduanya saling
berhubungan erat satu sama lain. Menurut Koentjaraningrat (2009), kelembagaan
adalah sistem tingkah laku sosial yang bersifat resmi serta adat istiadat dan norma
yang mengatur tingkah laku dan seluruh perlengkapnnya guna memenuhi berbagai
kompleks kebutuhan manusia dalam masyarakat. Dalam bab ini akan dibahas
kelembagaan dalam bentuk pranata sosial yaitu sistem tata kelakuan yang
berpusat pada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan
khusus dalam kehidupan masyarakat, bukan dalam bentuk konkret atau asosiasi.
Kelembagaan makanan pokok non beras responden adalah seperangkat
norma dan perilaku responden yang berkaitan dengan konsumsi makanan pokok
non beras yaitu singkong, jagung, dan ubi. Seperti masyarakat Indonesia pada
umumnya, responden masih mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok. Selain
karena beras mudah didapatkan di warung maupun di pasar, mereka pun sudah
terbiasa mengkonsumsi beras sejak kecil sehingga sudah menjadi kebiasaan.
Sampai muncul pernyataan yang mengatakan bahwa “belum kenyang jika belum
makan nasi”. Pernyataan ini dipercaya oleh masyarakat karena memang nasi yang
paling mengenyangkan diantara singkong, jagung, dan ubi. Untuk itu, masyarakat
tetap mengkonsumsi nasi walaupun sedang tidak memiliki uang untuk
membelinya.
Makanan pokok non beras seperti singkong, jagung, dan ubi pada
responden masih dianggap sebagai makanan cemilan. Menurut keyakinan
masyarakat setempat makanan pokok bagi mereka adalah beras. Singkong,
93
jagung, dan ubi dikonsumsi oleh masyarakat dengan alasan keinginan dalam
dirinya sendiri untuk mengkonsumsi bahan makanan tersebut. Bagi sebagian
responden, mengkonsumsi singkong, jagung, dan ubi bukanlah hal yang luar
biasa. Responden masih terlihat mengkonsumsi ketiga bahan makanan tersebut
walaupun tidak setiap hari. Bagi sebagian responden yang bekerja sebagai petani,
ketiga bahan makanan tersebut biasanya dikonsumsi jika sedang istirahat bekerja
di sawah sebagai makanan tambahan. Sebelum mengkonsumsi nasi biasanya
petani mengkonsumsi ketiga bahan makanan pokok tersebut terutama singkong
untuk mengganjal perutnya. Namun, sebagian besar petani mengkonsumsi nasi
walaupun sedang istirahat di sawah. Salah satu alasannya karena nasi membuat
perut kenyang sedangkan singkong, jagung, dan ubi kurang mengenyangkan. Lain
halnya dengan masyarakat yang bukan petani. Mereka mengkonsumsi ketiga
bahan makanan tersebut jika sedang bersantai atau berkumpul dengan keluarga,
teman, dan tetangga.
Menurut responden di desa ini belum terdapat aturan yang baku mengenai
bahan makanan pokok non beras, khususnya singkong, jagung, dan ubi. Hal ini
disebabkan masyarakat dibebaskan dalam memilih makanan pokok untuk
dikonsumsi sehari-hari. Tidak adanya aturan yang baku juga terlihat oleh tidak
adanya kepercayaan dari nenek moyang yang dipercaya oleh masyarakat
mengenai bahan makanan pokok. Untuk itu, responden sama seperti masyarakat
Indonesia pada umumnya yang masih mengkonsumsi beras sebagai makanan
pokok. Bagi responden ini bukanlah suatu hal yang memalukan jika
mengkonsumsi singkong, jagung, dan ubi setiap hari walaupun hanya sebagai
makanan cemilan saja. Hal ini dibuktikan oleh pendapat sebagian responden yang
merasa kasihan dan iba jika melihat orang yang mengkonsumsi singkong, jagung,
dan ubi setiap hari tanpa lauk apapun sebagai makanan pokok mereka. Namun,
ada pula masyarakat yang mengatakan bahwa orang yang seperti itu menandakan
orang yang kurang mampu dalam hal ekonomi. Sebab mereka tidak mampu untuk
membeli beras. Tetapi, masyarakat tidak menjauhkan diri atau mencela terhadap
orang tersebut. Lain halnya dengan pandangan masyarakat yang mengatakan
bahwa sudah menjadi kebiasaan jika orang yang mengkonsumsi singkong, jagung,
94
maupun ubi dengan lauk tertentu dan dikonsumsi sebagai makanan pokok seharihari.
Untuk melihat kelembagaan bahan makanan pokok tersebut, dapat dilihat
dari perilaku konsumsinya yaitu tingkat konsumsi, frekuensi konsumsi, dan cara
penyajian. Berdasarkan pembahasan pada bab perilaku konsumsi, dapat diketahui
bahwa tingkat konsumsi responden masih rendah terhadap bahan makanan non
beras tersebut dan frekuensi konsumsinya pun masih jarang. Hal ini dapat dilihat
pada Tabel 17 yang menyatakan bahwa kurang dari 30 persen responden yang
tingkat konsumsi dan frekuensi konsumsinya tinggi terhadap bahan makanan non
beras. Untuk melihat frekuensi konsumsi responden masih jarang dapat dilihat
pada Tabel 10. Berdasarkan Tabel 10 hanya terdapat beberapa responden yang
mengkonsumsi setiap hari, itu pun tidak sebagai makanan pokok hanya sebagai
makanan cemilan maupun makanan tambahan saja. Selain itu, terdapat perbedaan
cara penyajian yang berbeda antara kedua responden. Pada Tabel 16 dapat
diketahui bahwa responden petani lebih sering menyajikan ubi untuk keluarga dan
tamu dengan cara direbus, sedangkan pada responden non petani penyajian ubi
untuk keluarga dan tamu dibedakan. Untuk keluarga disajikan dengan cara
direbus, namun untuk tamu disajikan dengan cara digoreng. Hal ini menunjukkan
bahwa responden non petani rasa gengsinya lebih besar dibandingkan responden
petani. Responden non petani merasa malu jika menyamakan cara penyajian ubi
untuk keluarga dan tamu, karena bagi sebagian responden non petani tamu harus
dihormati dan diistimewakan.
Faktor lain yang mempengaruhi perilaku konsumsi adalah budaya dan
faktor ketersediaan bahan pangan. Seperti yang telah diuraikan pada paragraf
sebelumnya, bahwa kelembagaan makanan pokok non beras dapat dilihat dari
perilaku konsumsi masyarakat tersebut. Oleh sebab itu, faktor budaya dan faktor
ketersediaan bahan pangan juga berpengaruh terhadap perilaku konsumsi. Faktor
budaya yang terdapat pada responden mempengaruhi perilaku konsumsi
masyarakat tersebut. Hal ini dapat dilihat berdasarkan anggapan masyarakat
setempat bahwa makanan pokok mereka adalah nasi. Hal tersebut sudah mendarah
daging di kalangan responden, sehingga nasi telah menjadi makanan pokok
responden. Faktor ketersediaan bahan pangan yang berhubungan dengan
95
lingkungan tempat responden tinggal masih memungkinkan untuk ditanami padi
karena lahannya subur, sehingga persediaan beras masih terjamin. Selain itu,
persediaan beras mudah untuk didapat dengan adanya program pemerintah
mengenai beras miskin (raskin), membuat konsumsi terhadap beras semakin
tinggi. Dengan tersedianya beras yang cukup, maka responden dengan sendirinya
akan memilih beras dibandingkan makanan lain. Sementara itu, ketersediaan
bahan pangan non beras juga mudah didapatkan oleh responden, sebab sebagian
besar petani di desa ini menanam singkong, jagung, dan ubi sebagai pangan non
beras di sawahnya. Namun, tingkat konsumsi responden terhadap ketiga bahan
pangan tersebut masih rendah. Bagi responden petani, jagung yang memiliki nilai
jual cukup tinggi membuat petani lebih memilih untuk menjualnya dibandingkan
dikonsumsi sendiri. Begitu pula dengan responden petani yang enggan
mengkonsumsi jagung karena jagung harganya cukup mahal dibandingkan
singkong dan ubi, selain itu jagung tidak dapat dibuat bermacam-macam makanan
seperti singkong dan ubi. Berdasarkan uraian tersebut seharusnya tingkat
konsumsi non beras pada petani lebih tinggi dibandingkan non petani, namun
pada kenyataannya tidak demikian. Responden non petanilah yang tingkat
konsumsi non berasnya lebih tinggi, karena responden non petani menganggap
ketiga bahan makanan tersebut sebagai makanan cemilan, sehingga lebih sering
dikonsumsi. Sementara itu, responden petani menganggap ketiga bahan makanan
tersebut sebagai makanan tambahan, sehingga dikonsumsi hanya pada saat
kekurangan beras.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan perilaku konsumsi makanan
pokok non beras seperti singkong, jagung, dan ubi belum melembaga dikalangan
responden. Hal ini disebabkan belum terdapat norma yang sudah terinternalisasi
mengenai ketiga bahan makanan tersebut sebagai makanan pokok. Oleh karena
itu, ketiganya masih dikonsumsi secara terbatas dalam jumlah maupun frekuensi
dikalangan masyarakat. Namun, dalam cara penyajian nampaknya sudah
mencapai norma kebiasaan pada rumah tangga non petani, yaitu menyajikan
secara berbeda untuk keluarga dan untuk tamu. Cara penyajian untuk keluarga
biasanya direbus saja, namun untuk tamu biasanya digoreng. Apabila
penyajiannya disamakan, maka akan menimbulkan rasa malu. Sebaliknya pada
96
rumah tangga petani cara penyajian untuk keluarga dan tamu tidak dibedakan,
yaitu cara penyajiannya hanya direbus saja. Artinya tidak ada norma yang
menyangkut cara mengkonsumsi ketiga bahan makanan tersebut.
Download