Analisis Ekologi–Ekonomi Pengelolaan Perikanan

advertisement
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Terumbu Karang
Terumbu karang merupakan ekosistem khas daerah tropis. Meskipun
terumbu karang ditemukan diseluruh perairan dunia, tetapi hanya di daerah tropis
terumbu karang dapat berkembang. Terumbu terbentuk dari endapan-endapan
masif terutama kalsium karbonat (CaCo3) yang dihasilkan organisme karang, alga
berkapur dan organisme-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat.
Ekosistem
terumbu
karang
mempunyai
produktivitas
organik
dan
keanekaragaman spesies penghuninya yang tinggi.
Terumbu karang merupakan ekosistem yang sangat produktif dengan
keanekaragaman jenis biota laut seperti: (1) beraneka ragam avertebrata: terutama
karang batu (stony coral), berbagai krustasea, siput dan kerang-kerangan serta
ekinodermata seperti bulu babi, anemon laut, teripang, bintang laut dan leli laut;
(2) beraneka ragam ikan : terutama 50 – 70% ikan karnivora oportunistik, 15%
ikan herbivora dan sisanya omnivora; (3) reptil seperti ular laut dan penyu laut;
(4) ganggang dan rumput laut seperti alga koralin, alga hijau berkapur dan lamun
(Bengen 2001).
Terumbu karang (Coral reef ) merupakan masyarakat organisme yang hidup
didasar perairan dan berupa bentukan batuan kapur (CaCO3) yang cukup kuat
menahan gaya gelombang laut. Sedangkan organisme-organisme yang dominan
hidup disini adalah binatang-binatang karang yang mempunyai kerangka kapur,
dan algae yang banyak diantaranya juga mengandung kapur. Berkaitan dengan
terumbu karang diatas dibedakan antara binatang karang atau karang (reef coral )
sebagai individu organisme atau komponen dari masyarakat dan terumbu karang
(coral reef ) sebagai suatu ekosistem (Sorokin 1993).
Terumbu karang (coral reef ) sebagai ekosistem dasar laut dengan
penghuni utama karang batu mempunyai arsitektur yang mengagumkan dan
dibentuk oleh ribuan hewan kecil yang disebut polip. Dalam bentuk sederhananya,
karang terdiri dari satu polip saja yang mempunyai bentuk tubuh seperti tabung
dengan mulut yang terletak di bagian atas dan dikelilingi oleh tentakel. Namun
pada kebanyakan spesies, satu individu polip karang akan berkembang menjadi
banyak individu yang disebut koloni (Sorokin 1993).
Berdasarkan kepada kemampuan memproduksi kapur maka karang
dibedakan menjadi dua kelompok yaitu karang hermatipik dan karang
ahermatipik. Karang hermatifik adalah karang yang dapat membentuk bangunan
karang yang dikenal menghasilkan terumbu dan penyebarannya hanya ditemukan
didaerah tropis. Karang ahermatipik tidak menghasilkan terumbu dan ini
merupakan kelompok yang tersebar luas diseluruh dunia. Perbedaan yang
mencolak antara kedua karang ini adalah bahwa di dalam jaringan karang
hermatik terdapat sel-sel tumbuhan yang bersimbiosis (hidup bersama) yang
dinamakan zooxanthellae, yaitu sejenis algae unisular (Dinoflagellata unisular),
seperti Gymnodinium microadriatum, yang terdapat di jaringan-jaringan polip
binatang karang dan melaksanakan fotosistesis.
Hasil samping dari aktivitas ini adalah endapan kalsium karbonat yang
struktur dan bentuk bangunannya khas. Ciri ini akhirnya digunakan untuk
menentukan jenis atau spesies binatang karang. Karang hermatipik mempunyai
sifat yang unik yaitu perpaduan antara sifat hewan dan tumbuhan sehingga arah
pertumbuhannya selalu bersifat fototeopik positif. Umumnya jenis karang ini
hidup di perairan pantai /laut yang cukup dangkal dimana penetrasi cahaya
matahari masih sampai ke dasar perairan tersebut. Disamping itu untuk hidup
binatang karang membutuhkan suhu air yang hangat berkisar antara 25-32 oC
(Nybakken 1986). Menurut (Veron 1995) terumbu karang merupakan endapan
massif (deposit) padat kalsium (CaCo 3) yang dihasilkan oleh karang dengan
sedikit tambahan dari alga berkapur (Calcareous algae) dan organisme organisme lain yang mensekresikan kalsium karbonat (CaCo 3).
Dalam proses pembentukan terumbu karang maka karang batu
(Scleractina) merupakan penyusun yang paling penting atau hewan karang
pembangun terumbu (reef-building corals). Karang batu termasuk ke dalam Kelas
Anthozoa yaitu anggota Filum Coelenterata yang hanya mempunyai stadium
polip. Kelas Anthozoa tersebut terdiri dari dua Subkelas yaitu Hexacorallia
(Zoantharia) dan Octocorallia, yang keduanya dibedakan secara asal-usul,
morfologi dan fisiologi. Hewan karang sebagai pembangun utama terumbu adalah
organisme laut yang efisien karena mampu tumbuh subur dalam lingkungan
sedikit nutrien (oligotrofik). Menurut Sumich (1992) dan Burke et al (2002)
sebagian besar spesies karang melakukan simbiosis dengan alga simbiotik yaitu
zooxanthellae yang hidup di dalam jaringannya. Dalam simbiosis, zooxanthellae
menghasilkan oksigen dan senyawa organik melalui fotosintesis yang akan
dimanfaatkan oleh karang, sedangkan karang menghasilkan komponen inorganik
berupa nitrat, fosfat dan karbon dioksida untuk keperluan hidup zooxanthellae.
Cahaya matahari memiliki peranan penting bagi proses pembentukan
terumbu karang (Nybakken 1986). Cahaya diperlukan bagi proses fotosintesis
alga simbotik (zooxanthellae). Kedalaman penetrasi sinar mempengaruhi
kedalaman pertumbuhan karang hermatipik. Kebutuhan oksigen untuk respirasi
fauna di suatu terumbu karang dapat diatasi dengan adanya alga simbiotik yang
disebut zooxanthellae. Oksigan tambahan tersebut dihasilkan dari proses
fotosintesis yaitu proses yang hanya berlangsung apabila ada cahaya matahari.
Intensitas dan kualitas cahaya yang dapat menembus air laut merupakan hal
penting untuk fotosintesis yaitu proses yang hanya berlangsung apabila ada
cahaya matahari. Intensitas dan kualitas cahaya yang dapat menembus air laut
merupakan hal yang penting untuk fotosintesis zooxanthellae yang selanjutnya
akan menentukan pula sebaran vertikal karang batu yang mengandungnya.
Semakin dalam laut semakin kurang intensitas cahaya yang dapat mencapainya,
berarti semakin kecil pula produksi oksigen oleh zooxanthellae (Soekarno et al.
1993).
Salinitas berpengaruh besar terhadap produktifitas terumbu karang.
Teumbu karang dapat hidup dengan baik pada kisaran salinitas 32 – 35 %o namun
terdapat juga terumbu karang yang dapat mentoleransi salinitas sampai dengan 42
%o (Nybakken 1992). Sedangkan Nontji (1987) mengemukakan bahwa toleransi
organisme karang terhadap salinitas berkisar antara 27–40 %o.
Pertumbuhan terumbu karang ke arah atas dibatasi oleh udara. Banyak
karang yang mati karena terlalu lama berada di udara terbuka, sehingga
pertumbuhan kearah atas terbatas hanya sampai tingkat air surut terendah.
Kekeringan terlalu lama akibat surut besar mengakibatkan kematian karang
Nybakken (1992). Pergerakan air laut atau arus diperlukan untuk kelangsungan
hidup terumbu karang, kebutuhan makanan dan oksigen maupun menghindarkan
karang dari timbunan endapan atau bahan pencemar lainnya. Pada siang hari
pasokan oksigen diperoleh dari hasil fotosintesis, sedangkan pada malam hari
sangat diperlukan arus kuat yang dapat memberikan oksigen cukup bagi fauna di
terumbu karang.
Selain itu kondisi substrat sangat berperan bagi pertumbuhan karang.
Substrak yang keras dan bersih diperlukan sebagai tempat melekatnya larva
planula, sehingga memungkinkan pembentukan koloni baru.
2.2. Ikan Karang
Banyak spesies ikan menunjukkan kesukaan terhadap habitat tertentu.
Menurut Robetson (1996) Komunitas ikan karang (kelimpahan dan struktur)
dipengaruhi oleh interaksi kompetisi diantara spesies tersebut.
Menurut Choat dan Bellwood (1991) interaksi ikan karang dengan terumbu
karang dapat dibagi menjadi tiga bentuk yaitu :
1.
Interaksi langsung sebagai tempat berlindung dari predator bagi ikan-ikan
muda
2.
Interaksi dalam mencari makan bagi ikan yang mengkonsumsi biota pengisi
habitat dasar, meliputi hubungan antara ikan karang dan biota yang hidup
pada karang dan alga
3.
Interaksi tidak langsung antara struktur terumbu karang dan kondisi hidrologi
serta sedimentasi dengan pola makan ikan pemakan plankton dan karnivor.
Keberadaan ikan karang di sekitar terumbu karang tergantung dari kondisi
terumbu karang itu sendiri. Prsentasi tutupan karang hidup yang tinggi tentunya
akan berdampak pada kelimpahan ikan-ikan karang. Dan sebaliknya, bila
presentasi tutupan karang buruk tentunya kelimpahana ikan karang akan sangat
berkurang. Berdasarkan peranannya Adrim (1993) dan English et al (1997)
membagi ikan-ikan karang atas tiga kelompok yaitu :
1. Ikan Target. Ikan yang merupakan target untuk penangkapan atau lebih dikenal
juga dengan ikan ekonomis penting atau ikan kosumsi seperti; Serranidae,
Lutjanidae, Kyphosidae, Lethrinidae, Acanthuridae, Mulidae, Siganidae
Labridae (Chelinus, Himigymnus, choerodon) dan Haemulidae.
2. Ikan Indikator. Sebagai ikan penentu untuk terumbu karang karena ikan ini erat
hubunganya dengan kesuburan terumbu karang yaitu ikan dari Famili
Chaetodontidae (kepe-kepe).
3. Ikan Lain (Mayor Famili). Ikan ini umumnya dalam jumlah banyak dan
dijadikan ikan hias air laut (Pomacentridae, Caesionidae, Scaridae,
Pomacanthidae, Labridae, Apogonidae dan lain-lain).
Berdasarkan periode aktif mencari makan, maka ikan karang terbagi atas :
1. Ikan Nokturnal (aktif ketika malam hari), contohnya pada ikan-ikan dari Suku
Holocentridae (Swanggi), Suku Apogoninade (Beseng), Suku Hamulidae,
Priacanthidae (Bigeyes), Muraenidae (Eels), Seranidae (Jewfish) dan
beberapa dari suku dari Mullidae (Goat fishes) dan lain-lain.
2. Ikan Diurnal (aktif ketika siang hari), contohnya pada ikan-ikan dari Suku
Labraidae (wrasses), Chaetodontidae (Butterfly fishes), Pomacentridae
(Damsel fishes), Scaridae (Parrot fishes), Acanthuridae (Surgeon fishes),
Bleniidae (Blennies), Balistidae (Trigger fishes), Pomaccanthidae (Angel
fishes),
Monacanthidae,
Ostracionthidae (Box fishes),
Etraodontidae,
Canthigasteridae dan beberapa dari Mullidae (Goat fishes)
3. Ikan Crepuscular (aktif diantara) contohnya pada ikan-ikan dari suku
Sphyraenidae (Baracudas), Serranidae (Groupers), Carangidae (Jacks),
Scorpaenidae (Lion fishes), Synodontidae (Lizard fishes), Carcharhinidae,
Lamnidae, Spyrnidae (Sharks) dan beberapa dari Muraenidae (Eels).
Menurut Aninomous (2005), jenis dan komposisi ikan karang pada daerah
rataan terumbu karang di perairan Pulau Liwutongkidi pada tiap stasiun bervariasi
antara 8 – 49 jenis dengan jumlah individu 128 – 1972 ekor untuk kedalaman 3
meter dan untuk kedalaman 10 meter jumlah jenis bervariasi antara 10 – 65 jenis
dengan jumlah individu antara 214 – 1817 ekor. Sedangkan pada daerah tubir
jenis ikan berkisar 10 – 25 jenis dan 29 – 52 jenis dengan jumlah individu perjenis
masing-masing berkisar 259 – 883 ekor dan 399 – 1076 ekor.
Jenis biota yang ditemukan pada terumbu karang sangat bervariasi, dan
sangat potensial dalam mendukung pengembangan ekowisata bahari. Beberapa
jenis biota yang banyak ditemukan diantaranya; crustace (lobster dan kepiting),
molusca, (kerang-kerangan, teripang), dan Echinodermata (bulu babi). Jenis ikan
karang yang banyak ditemukan diantaranya; Pterocaesio digrama (617 individu ),
Abodefduf vaigiensis (200 individu), Pterocaesio tesselata (148 individu),
Chroronis ambonensis (101 invidu), Apogon nigrofasciatus (96 individu),
Centropige ravissimus (92 individu), Chaetodon klenii (92 individu), Apogon
deoderleinii (76 individu), Centropige nox (63 individu), dan Apogon
novemfasciatus ( 48 individu) (Aninomous 2005).
2.3. Tipe Terumbu Karang
Menurut Nybakken (1986) terumbu karang dikelompokan menjadi tiga tipe
struktural umum yaitu :
1. Terumbu karang tepi (Fringing reef/shore reef )
2. Terumbu karang penghalang (Barrier reef)
3. Terumbu karang cincin (atol)
Diantara tiga struktur tersebut, terumbu karang yang paling umum
dijumpai di perairan Indonesia adalah terumbu karang tepi (Suharsono, 1998).
Penjelasan ketiga tipe terumbu karang sebagai berikut :
1. Terumbu karang tepi (fringing reef) ini berkembang di sepanjang pantai dan
mencapai kedalaman tidak lebih dari 40 m. Terumbu karang ini tumbuh keatas
atau kearah laut. Pertumbuhan terbaik biasanya terdapat dibagian yang cukup
arus. Sedangkan diantara pantai dan tepi luar terumbu, karang batu cenderung
mempunyai pertumbuhaan yang kurang baik bahkan banyak mati karena sering
mengalami kekeringan dan banyak endapan yang datang dari darat.
2. Terumbu karang tipe penghalang (barrief reef ) terletak di berbagai jarak
kejauhan dari pantai dan dipisahkan dari pantai tersebut oleh dasar laut yang
terlalu dalam untuk pertumbuhan karang batu (40-70 m). Umumnya
memanjang menyusuri pantai dan biasanya berputar-putar seakan – akan
merupakan penghalang bagi pendatang yang datang dari luar. Contohnya
adalah the greaat barier reef yang berderet disebelah timur laut Australia
dengan panjang 1.350 mil.
3. Terumbu karang cincin (atol) yang melingkari suatu goba (laggon). Kedalaman
goba didalam atol sekitar 45 m jarang sampai 100 m seperti terumbu karang
penghalang. Contohnya adalah atol di Pulau Taka Bone Rate di Sulawesi
Selatan.
2.4. Ancaman Terhadap Terumbu Karang
Berbagai usaha pemanfaatan sumberdaya laut telah dilakukan, tetapi masih
banyak pula usaha pemanfaatan yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku
Penyimpangan usaha pemanfaatan sumberdaya laut akan menimbulkan masalahmasalah bagi kelestarian sumberdaya alam yang ada. Beberapa masalah yang
terjadi di perairan pesisir disebabkan oleh berbagai aktivitas manusia, di antaranya
pemanfaatan ekosistem terumbu karang sebagai sumber pangan, sumber bahan
bangunan, komoditas perdagangan ikan hias sebagian besar di karenakan oleh
penggunaan bahan peledak, tablet potas dan sianida.
Permasalahan pengelolaan sumberdaya pesisir terutama pada ekosistem
terumbu karang yang disebabkan oleh (1) rendahnya pemahaman masyarakat
tentang nilai sumberdaya pesisir ini berakibat pada eksploitasi yang cenderung
dan kurang ramah lingkungan (2) perlindungan dan kelestarian laut hanya dapat
secara efektif dilaksanakan apabila ditunjang dengan kerangka hukum yang
memadai; (3) terlalu banyak pihak yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya
pesisir; (4) jumlah dan keragaman kepentingan masyarakat di wilayah pesisir
adalah tinggi; (5) pengambilan karang yang khas untuk dijual sebagai hiasan pada
akuarium; (6) keserakahan.
2.5. Kawasan Konservasi
Konservasi dalam pengertian adalah pemanfaatan sumberdaya alam
secara berkelanjutan. Konservasi juga dapat dipandang dari segi ekonomi dan
ekologi dimana konservasi dari segi ekonomi berarti mencoba mengalokasikan
sumberdaya alam untuk sekarang, sedangkan dari segi ekologi, konservasi
merupakan alokasi sumberdaya alam untuk sekarang dan masa yang akan datang.
Konservasi bukan saja untuk menjaga sumberdaya dan mempertahankan
keberadaan plasma nutfa, namun kawasan konservasi laut juga dapat memainkan
peran penting di dalam pengelolaan perikanan dan pariwisata. Dengan upaya
konservasi ini berarti tersedia juga sarana bagi pengembangan pemanfaatan,
pendidikan, pariwisata dan penelitian.
Kawasan konservasi menuntut adanya proses perencanaan dan tahapan
pengelolaan dari suatu kerangka pengelolaan kawasan konservasi. Pengelolaan
suatu sumberdaya alam haruslah mengacu pada strategi konservasi yaitu :
1. Melindungi terhadap sistem penyangga kehidupan, dengan menjamin
terpeliharanya
proses
ekologi
bagi
kelangsungan
hidup
biota
dan
ekosistemnya.
2. Pengawetan keanekaragaman sumber plasma nutfah yaitu menjamin
terpeliharanya sumber genetik dan ekosistemnya bagi kepentingan manusia.
3. Pelestarian di dalam pemanfaatan baik jenis maupun ekosistemnya yaitu
dengan mengendalikan cara-cara pemanfaatannya sehingga diharapkan dapat
dilakukan secara optimal dan berkelanjutan.
Dalam upaya penyelamatan dan pemeliharaan kekayaan sumberdaya laut
dimasa mendatang perlu diadakan suatu sistem pengelolaan disesuaikan dengan
kebutuhan dan kepentingan nasional dengan memperhatikan kategari yang telah
diperkenalkan oleh IUCN (International Union for Concervation Nature and
Natural Resources). Selanjutnya (Salm dan Clark 2000) mengemukakan enam
kategori manajemen kawasan konservasi yang dapat dikembangkan. Kategorikategori tersebut adalah :
1.
Kategori I adalah Kawasan Suaka Alam yang ditetapkan untuk pengelolaan
kehidupan liar (kategori Ib) sedangkan Cagar Alam untuk kepentingan ilmu
pengetahuan dimasukan kedalam kategori Ia.
2. Kategori II adalah Taman Nasional yang merupakan suatu kawasan lindung
yang dikelola terutama untuk perlindungan ekosistem atau rekreasi
3. Kategori III adalah Monumen Alam yang merupakan suatu kawasan lindung
yang dikelola terutama untuk melindungi daerah yang memiliki keadaan alam
khusus.
4. Kategori IV adalah Pengelolaan Daerah Habitat Suatu Jenis tertentu yang
merupakan suatu kawasan lindung yang dikelola terutama untuk perlindungan
ekosistem atau rekreasi
5. Kategori V adalah Perlindungan Landsekap Darat dan Perairan
adalah
pengelolaan daerah perlindungan terutama untuk kegiatan konservasi maupun
wisata.
6. Kategori VI adalah Pengelolaan Daerah Sumberdaya yang dilindungi
terutama untuk pemanfaatan sumberdaya alam yang secara berkelanjutan.
Zona perairan konservasi merupakan wilayah yang dijaga dan dilindungi
kelestariannya. Wilayah ini dinyatakan terlarang untuk eksploitasi dan eksplorasi
serta merupakan daerah penyangga. Pengelolaan zona dalam kawasan konservasi
didasarkan pada luasnya berbagai pemanfaatan sumberdaya kawasan.
Kawasan konservasi laut sering dianggap sebagai kawasan yang
diperuntukkan bagi konservasi keanekaragaman hayati. Namun kawasan
konservasi laut juga dapat memainkan peran penting di dalam pengelolaan
perikanan dan pariwisata.
Aktivitas didalam setiap zona ditentukan oleh tujuan kawasan konservasi
sebagaimana ditetapkan dalam rencana pengelolaan (Bengen 2001).
Secara
umum zona – zona di suatu kawasan konservasi dapat dikelompokan atas 3 (tiga)
zona yaitu :
1. Zona inti adalah zona yang memiliki nilai konservasi tinggi, juga sangat
rentan terhadap gangguan atau perubahan dan hanya dapat mentolerir sedikit
aktifitas manusia. Zona ini harus dikelola dengan tingkat perlindungan yang
tinggi, serta tidak dapat diijinkan adanya aktvitas eksploitasi.
2. Zona Penyangga merupakan zona yang bersifat terbuka, tetapi dikontrol dari
beberapa bentuk pemanfaatan masih dapat diijinkan. Penyangga disekeliling
zona perlindungan ditujukan untuk menjaga kawasan konservasi dari berbagai
aktivitas pemanfaatan yang dapat mengganggu, dan melindungi kawasan
konservasi dari pengaruh eksternal.
3. Zona Pemanfaatan adalah zona yang masih memiliki nilai konservasi tertentu,
tetapi dapat mentolerir berbagai tipe pemanfaatan oleh manusia, dan layak
bagi beragam kegiatan eksploitasi yang diijinkan dalam suatu kawasan
konservasi di pesisir dan laut.
Identifikasi dan pemilihan lokasi potensial untuk kawasan konservasi di
pesisir dan laut menuntuk penerapan kriteria. Penerapan kriteria ini sangat
membantu dan mengidentifikasi dan memilih lokasi perlindungan secara objektif.
2.6. Pemanfaatan Terumbu Karang
Luas terumbu karang di Indonesia diperkirakan sekitar 50.000 km 2 dan
mempunyai kaenekaragaman jenis dan produktivitas primer yang tinggi. Namun
dibalik potensi tersebut, aktivitas manusia dalam rangka pemanfaatan potensi
sumberdaya alam didaerah pantai, baik secara langsung maupun tidak langsung
sering merusak terumbu karang.
Menurut (Supriharyono
2000) beberapa
aktivitas pemanfaatan terumbu karang yaitu :
(1). Perikanan terumbu karang
Masalah
perikanan
merupakan
bagian
dari
ekosistem
bahkan
keanekaragaman karang dapat mencerminkan keanekaragaman jenis ikan.
Semakin beragam jenis terumbu karang akan semakin beraneka ragam pula jenis
ikan yang hidup di ekosistem tersebut. Oleh karena itu masalah perikanan tidak
bisa
diabaikan
pada
pengelolaan
ekosistem
terumbu
karang.
Dengan
meningkatnya jumlah penduduk saaat ini maka jumlah aktivitas penangkapan ikan
di ekosistem terumbu karang juga meningkat. Apabila hal ini dilakukan secara
intensif, maka kondisi ini memungkinkan terjadinya penurunan stock ikan di
ekosistem terumbu karang. Keadaan ini akan memakan waktu lama untuk bisa
pulih kembali.
Pengelolaan yang efektif harus didasarkan pada pengetahuan biologis
target spesies, sehingga teknik penangkapan yang tepat dapat ditentukan.
Pengelolaan terumbu karang ini cenderung lebih banyak ditekankan pada
pengambilan karang atau aktivitas manusia seperti pengeboman ikan karang, dan
yang lainnnya secara tidak langsung dapat merusak karang.
(2). Penangkapan Ikan Karang
Sumberdaya perikanan dapat berupa sumberdaya ikan, sumberdaya
lingkungan dan sumber daya
buatan manusia
yang digunakan untuk
memanfaatkan sumberdaya ikan. Pemanfaatan sumberdaya ikan oleh manusia
berhubungan erat dengan kondisi lingkungan tempat ikan tersebut tinggal. Adanya
interaksi antara sumberdaya ikan, lingkungan perairan
serta manusia sebagai
pengguna, maka diperlukan sebuah pengelolaan agar ketiga interaksi tersebut
dapat berjalan secara seimbang dalam sebuah ekosistem (Nikijuluw 2002).
Artinya pengelolaan sumberdaya ikan adalah penataan pemanfaatan sumberdaya
ikan, pengelolaan lingkungan dan pengelolaan manusia sebagai pengguna. Lebih
lanjut (Murdiyanto 2004) menyatakan bahwa dalam sebuah pengelolaan
sumberdaya perikanan pantai, para pengelola harus dibekali dengan pengetahuan
dan fasilitas yang memadai. Ketersedian data dan informasi yang akurat,
sumberdaya manusia yang handal, dana, serta kesadaran dan partisipasi
masyarakat adalah hal-hal yang dibutuhkan agar pengelolaan sumberdaya
perikanan dapat berhasil dengan baik
Manusia dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan ekonominya akan
melakukan kerja apa pun juga. Nelayan dalam upaya memenuhi permintaan pasar
akan ikan laut hias tentunya akan berusaha sekuatnya untuk memenuhi
permintaan tersebut. Namun kadangkala, nelayan lupa akan kaidah kelestarian
sumberdaya ikan sehingga pada saat menangkap ikan laut hias akan dilakukan
dengan berbagai upaya (dengan menggunakan jaring khusus) bahkan sampai
merusak terumbu karang sekalipun (dengan menggunakan bius potassium
sianida).
2.7. Nilai Ekonomi Ekosistem Terumbu Karang
Dari ancaman – ancaman terhadap terumbu karang saat ini hal yang sangat
mendesak yang perlu dilakukan adalah tindakan penilaian ekonomi terhadap
berbagai macam fungsi terumbu karang baik sebagai pensuplai barang dan jasa.
Penilaian bisa dianalogkan dari nilai perikanan atau nilai sebagai pelindung pantai
yang mempunyai nilai pasar. Dimana nilai bisa diturunkan berdasarkan pada
permintaan (demand), penawaran (supply), harga (price) dan biaya (Cost)
(Spurgeon 1992).
Selanjutnya Barton (1994) menjelaskan bahwa nilai ekonomi dari
ekosistem terumbu karang merupakan nilai dari seluruh instrument yang ada
padanya termasuk sumber makanan dan jasa ekologis. Nilai dari seluruh
instrumen yang terdapat pada ekosistem terumbu karang dapat dikuantifikasi
melalui metode valuasi ekonomi total (Total Economic Valuation/TEV).
Berdasarkan teori ekonomi neoklasik seperti consumer surplus dan willingness to
pay dapat didekati nilai ekosistem terumbu karang yang bersifat tiada nilai pasar
(non market value).
Menurut Fauzi (2004) valuasi ekonomi dapat didefinisikan sebagai upaya
untuk memberikan nilai kuantitatif terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh
sumberdaya alam (SDA) dan lingkungan baik atas nilai pasar (market value)
maupun nilai non pasar (non market value). Penilaian ekonomi sumberdaya
merupakan suatu alat ekonomi (economic tool) yang menggunakan teknik
penilaian tertentu untuk mengestimasi nilai uang dari barang dan jasa yang
diberikan oleh suatu sumberdaya alam. Tujuan dari penilaian ekonomi antara lain
digunakan untuk menunjukkan keterkaitan antara konservasi sumberdaya alam
dan pembangunan ekonomi, maka valuasi ekonomi dapat menjadi suatu peralatan
penting dalam peningkatan apresiasi dan kesadaran masyarakat terhadap
lingkungan itu sendiri.
Dijelaskan juga oleh Fauzi (2004) bahwa terdapat tiga ciri yang dimiliki
oleh sumberdaya yaitu:
1. Tidak dapat pulih kembali, tidak dapat diperbaharuinya apabila sudah
mengalami kepunahan. Jika sebagai asset tidak dapat dilestarikan, maka
kecenderungannya akan musnah.
2. Adanya ketidakpastian, misalnya terumbu karang rusak atau hilang. Akan ada
biaya potensial yang harus dikeluarkan apabila sumberdaya alam tersebut
mengalami kepunahan.
3. Sifatnya yang unik, jika sumberdaya mulai langka, maka nilai ekonominya
akan lebih besar karena didorong pertimbangan untuk melestarikannya.
Penilaian ekonomi sumberdaya merupakan suatu bentuk penilaian yang
komprehensif.
Dalam hal ini tidak saja nilai pasar (market value) dari barang tetapi juga
nilai jasa (nilai ekologis) yang dihasilkan oleh sumberdaya alam yang sering tidak
terkuantifikasi kedalam perhitungan menyeluruh sumberdaya alam.
Menurut Constanza dan Folke (1997) in Adrianto (2006) tujuan valuasi
ekonomi adalah menjamin tercapainya tujuan maksimisasi kesejahteraan individu
yang berkaitan dengan keberlanjutan ekologi dan keadilan distribusi. Selanjutnya
Constanza (2001) in
Adrianto (2005) menyatakan untuk tercapainya ke tiga
tujuan diatas, perlu adanya valuasi ekosistem berdasarkan tiga tujuan utama yaitu
efisiensi, keadilan, dan keberlanjutan .
Menurut Charles (1993) pembangunan perikanan berkelanjutan harus
mengadopsikan
konsep pembangunan perikanan yang mengandung beberapa
aspek yaitu :
1. Ecological sustainability (keberlanjutan ekologi). Dalam pengelolaan ekologi
secara berkelanjutan biomasa atau stok harus diperhatikan sehingga tidak
melewati daya dukung serta meningkatkan kapasitas dan kualitas dari
ekosistem menjadi perhatian utama.
2. Socioeconomic
pembangunan
sustainability
perikanan
(keberlanjutan
harus
sosio-ekonomi)
memperhatikan
keberlanjutan
adalah
dari
kesejahteraaan penduduk dan pengurangan kemiskinan. Dengan kata lain
mempertahankan atau mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih
tinggi.
3. Community
sustainability
merupakan
suatu
kerangka
keberlanjutan
kesejahteraan yang menyangkut komunitas masyarakat haruslah menjadi
perhatian pembangunan perikanan berkelanjutan.
4. Institutional
sustainability
(keberlanjutan
kelembagaan)
keberlanjutan
kelembagaan menyangkut pemeliharaan aspek finansial dan administrasi yang
sehat.
2.8. Nilai dan Fungsi Terumbu Karang
Strategi dunia mengenai konservasi terumbu karang diidentifikasikan
sebagai salah satu komponen utama yang sangat penting sebagai penunjang
berbagai macam kehidupan yang dibutuhkan produksi makanan, kesehatan dan
berbagai aspek dari kehidupan manusia dan juga dalam pembangunan yang
berkelanjutan. Menurut Dahuri et al (2001) beberapa nilai fungsi dari terumbu
karang antara lain:
1. Nilai ekologis, terumbu karang menjaga keseimbangan kehidupan biota laut
dan hubungan tibal balik antara bitao laut dengan faktor abiotik.
2.
Nilai ekonomis, sumberdaya ini dapat dikembangkan sebagai komoditi yang
mempunyai nilai ekonomi tinggi.
3.
Nilai estetika, terumbu karang membentuk panorama yang indah di
kedalaman laut yang dapat dimanfaatkan sebagai wisata bahari.
4.
Nilai biologis, yakni sebagai penghasil oksigen perairan dan pengatur
keseimbangan ekosistem perairan.
5.
Nilai edukasi, yakni sebagai obyek penelitia dan pendidikan.
Selain itu terumbu karang mempunyai fungsi yang penting antara lain:
1. Sebagai habitat sumberdaya ikan, dalam hal ini dikenal sebagai tempat
memijah, bertelur, mengasuh, mencari makan dan berlindung bagi biota laut.
2. Sebagai sumber benih alami bagi pengembangan budi daya perikanan.
3. Sebagai sumber berbagi makanan dan bahan baku subtansi aktif yang berguna
bagi dunia farmasi dan kedokteran.
4. Sebagai pelindung dari pantai dari gelombang laut sehingga pantai dapat
terhindar dari degrasi dan abrasi.
2.9.
Pendekatan Ekosistem untuk Pengelolaan Perikanan
Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu penting dilakukan mengingat
banyaknya kegiatan-kegiatan yang dapat diimplementasikan, sehingga perlu
dirumuskan suatu konsep penataan ruang (spatial plan) serta berbagai pilihan
objek pembangunan yang serasi. Dalam konteks ini maka keterpaduan
pengelolaan wilayah pesisir mengandung 5 dimensi dalam Integrated Coastal
and Ocean Management (ICOM)
yaitu (1) keterpaduan antar sektor; (2)
keterpaduan spasial; (3) keterpaduan pengelolaan berbasis pengetahuan; (4)
keterpaduan kelembagaan; dan (5) keterpaduan internasional. Keterpaduan secara
sektoral di wilayah pesisir berarti diperlukan adanya suatu kooordinasi tugas,
wewenang, dan tanggung jawab antar sektor atau instansi (horizontal
integration); dan antar tingkat pemerintahan dari mulai tingkat desa, kecamatan,
kabupaten, propinsi sampai pemerintah pusat (vertical integration). Sedangkan
keterpaduan sudut pandang keilmuan mensyaratkan bahwa dalam pengelolaan
wilayah
pesisir
hendaknya
dilaksanakan
atas
dasar
interdisiplin
ilmu
(interdisciplinary approaches), yang melibatkan bidang ilmu ekonomi, ekologi,
teknik, sosiologi, hukum, dan lainnya yang relevan. Hal ini wajar dilakukan
mengingat wilayah pesisir pada dasarnya terdiri dari sistem sosial dan sistem
alam yang terjalin secara kompleks dan dinamis (Cicin-Sain and Knecht 1998).
Di dalam proses pengelolaan dilakukan identifikasi dan analisis mengenai
berbagai isu pengelolaan atau pemanfaatan yang ada maupun yang diperkirakan
akan muncul dan kemudian menyusun serta melaksanakan kebijakan dan program
aksi untuk mengatasi isu yang berkembang. Proses pengelolaan kawasan pesisir
secara terpadu dan berkelanjutan ini paling kurang memiliki empat tahapan
utama : (1) penataan dan perencanaan, (2) formulasi, (3) implementasi, dan (4)
evaluasi (Cicin-Sain and Knecht 1998). Pada tahap perencanaan dilakukan
pengumpulan dan analisis data guna mengidentifikasi kendala dan permasalahan,
potensi dan peluang pembangunan dan tantangan. Atas dasar ini, kemudian
ditetapkan tujuan dan target pengelolaan atau pemanfaatan dan kebijakan serta
strategi dan pemilihan struktur implementasi untuk mencapai tujuan tersebut.
Pembangunan
meningkatkan taraf
yang
merupakan
suatu
proses
perubahan
untuk
hidup manusia tidak terlepas dari aktifitas pemanfaatan
sumberdaya alam di wilayah pesisir dan laut dapat menyebabkan terjadinya
perubahan-perubahan pada ekosistem pesisir dan lautn itu sendiri. Perubahanperubahan tersebut tentunya akan memberikan pengaruh pada mutu lingkungan
hidup. Makin tinggi laju pembangunan di wilayah pesisir dan laut, makin tinggi
pula tingkat pemnfaatan sumberdaya alamnya. Pemanfaatan dengan tidak
mempertimbangkan prinsip-prinsip ekologi dapat menurunkan mutu lingkungan
hidup dan berlanjut dengan terjadinya kerusakan ekosistem wilayah pesisir.
(Dahuri et al.
2001 ). Oleh karena itu dalam perencanaan pembangunan
berkelanjutan, perlu diperhatikan prinsip-prinsip ekologis yang berlaku untuk
mengurangi akibat negatif yang merugikan bagi kelangsungan pembangunan.
2.10.
Pengelolaan Berbasis Ekosistem
Pengelolaan berbasis ekosistem adalah merupakan suatu konsep
pengelolaan sumberdaya alam secara modern. Selanjutnya (Cornett 1994)
mendefinisikan pengelolaan ekosistem berbasis perikanan dalam paradigma
biofisik dan sosial sebagai indikator yang perlu diperhatikan dari sudut pandang
keindahan, kesehatan dan kehidupan ekosistem itu secara berkelanjutan. Terumbu
karang dilihat dari produktifitas, keanekaragaman biota dan estetikanya memiliki
potensi sumberdaya yang sangat besar. Sumberdaya ini dapat dimanfaatkan
sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat dengan memperhatikan keberlanjutannya
dan kelestariannya. Upaya pemanfaatan yang optimal perlu dilakukan agar dapat
menunjang pembangunan secara berkelanjutan, dan menjadi sumber pendapatan
bagi masyarakat.
Untuk mencapai tujuan-tujuan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir
secara terpadu dan berkelanjutan, maka perlu dirumuskan suatu pengelolaan
(strategic plan), mengintegrasikan setiap kepentingan dalam keseimbangan
(proporsionality) antar dimensi ekologis, dimensi sosial, antar sektoral, disiplin
ilmu dan segenap pelaku pembangunan (stakeholders). Agar potensi sumberdaya
alam ini dapat dimanfaatkan sepanjang masa dan berkelanjutan diperlukan upaya
pengelolaan yang memperhatikan aspek-aspek lingkungan dalam arti memperoleh
manfaat yang optimal secara ekonomi akan tetapi juga sesuai dengan daya dukung
dan kelestarian lingkungan. Sehingga dalam pengelolaan tidak
memanfaatkan akan tetapi juga memelihara dan melestarikannya.
hanya
Pengelolaan berbasis ekosistem di suatu kawasan, harus ada payung
hukum dalam melindungi lingkunagan, dan mempertahankan ekosistem agar
keanekaragaman sumberdaya hayati selalu terjaga dan dimanfaatkan secara
berkelanjutan dan lestari.
Berdasarkan pengelolaan ekosistem perikanan yang dikembangkan oleh
United Nations Environmental Programme (UNEP) dengan pendekatan
pengelolaan dalam pengembangan Ecosistem Based Management (EBM) perlu
mempertimbangkan hal-hal yang terkait dengan kondisi wilayah ekologi, sosial
dan ekonomi yaitu :
1. Integrasi kondisi ekologis, sosial-ekonomi dan tujuan pengelolaan perlu
melibatkan masyarakat sebagai komponen penting dari ekosistem.
2. Batasan pengelolaan perlu mempertimbangkan kondisi ekologi dan politik.
3. Pengelolaan adaptip perlu dilakukan untuk menghadapi perubahan dan ketidak
kepastian akibat dari proses alam dan sistem sosial.
4. Pemahaman tentang bagaimana proses dan ekosistem merespons gangguan
lingkungan.
5. Keberlanjutan pengelolaan ekosistem pesisir dan laut
Oleh sebab itu guna mencapai pemanfaatan secara berkelanjutan untuk
memenuhi kebutuhan manusia
terhadap sumberdaya alam dan jasa-jasa
lingkungan yang terdapat di wilayah pesisir dan lautan, maka diperlukan
pengelolaan sumberdaya berbasis ekosistem yang berpusat pada masyarakat dan
dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan dua aspek kebijakan, yaitu
aspek ekonomi dan ekologi. Hal ini dikenal dengan pengelolaan sumberdaya
pesisir terpadu berbasis masyarakat (Zamani dan Darmawan 2000). Di samping
itu juga diperlukan upaya peningkatan kesadaran dan pemahaman masyarakat
umumnya dan khususnya penduduk yang ada di wilayah pesisir terhadap
pentingnya sumberdaya alam dalam menunjang kehidupan saat ini dan generasi
mendatang.
2.11.
Model Pengelolaan Perikanan Berbasis Ekosistem
Wilayah pesisir merupakan kawasan yang memiliki karakteristik yang
unik dan kompleks. Kompleksitas ditunjukkan oleh keberadaan berbagai
pengguna dan berbagai entitas pengelola wilayah yang mempunyai kepentingan
dan cara pandang yang berbeda mengenai pemanfaatan dan pengelolaan
sumberdaya di wilayah pesisir.
Kabupaten/kota di Indonesia masing-masing memiliki karakteristik fisik
wilayah pesisir yang satu sama lain berbeda. Disamping itu masing-masing
kabupaten/kota juga memiliki perhatian yang berbeda di dalam pengelolaan
wilayah pesisir. Konsekuensi dari perbedaan perhatian tersebut menghasilkan
kebijakan dan instrumen kelembagaan
yang berbeda satua sama lain dalam
mengelola wilayah pesisirnya. Model pengelolaan wilayah pesisir untuk
kabupaten/kota di Indonesia, khususnya dengan keluarnya UU no 22 Tahun 1999
secara formal belum pernah dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah.
Sebagai konsekuensi dengan keluarnya kebijakan desentralisasi melalui
UU nomor 22 tahun 1999, pengelolaan wilayah pesisir menjadi kewenangan
pemerintah
kabupaten/kota. Model pengelolaan pesisir wilayah kabupaten
disusun berdasarkan karakteristik ekosistem wilayah pesisir dan diturunkan pada
instrumen kelembagaan yang ada di pemerintah daerah kabupaten. Dalam
penyusunan model diterapkan prinsip-prinsip pengelolaan perikanan berbasis
ekosistem sebagai sebuah ekosistem yang unik. Membangun sebuah model dalam
pengelolaan perikanan berbasis ekosistem diperlukan beberapa tahapan sehingga
hasilnya dapat dipercaya.
Tahapan suatu model dalam ekosistem wilayah pesisir untuk membangun
sebuah model Fauzi dan Anna (2008)
diperlukan beberapa tahapan sebagai
berikut :
1. Identifikasi masalah dibangun dari beberapa pertanyaan, menjadi sangat
penting untuk membangun suatu model
2. Membangun asumsi-asumsi, hal ini diperlukan untuk menyederhanakan suatu
model secara realitas yang kompleks. Oleh karena itu setiap penyederhanaan
memerlukan asumsi, sehingga ruang lingkup model berada dalam koridor
permasalahan yang akan dicari solusi dan jawabannya.
3. Membuat konstruksi dari model itu sendiri dapat dilakukan melalui diagram
alur atau persamaan-persaamaan matematis. Kontruksi model dapat digunakan
dengan komputer software maupun secara analitis.
4. Menentukan analisis yang tepat. Tahap ini adalah mencari solusi yang sesuai
untuk menjawab pertanyaan yang dibangun pada tahan identifikasi. Dalam
analisis pemodelan dilakukan dengan dua cara, pertama dengan melakukan
optimasi (apa yang seharusnya terjadi) kedua dengan melakukan simulasi (apa
yang akan terjadi).
5. Pengembangan model adalah melakukan interprestasi atas hasil yang dicapai
dalam tahap analisis.
6. Validasi adalah model yang valid tidak saja mengikuti kaidah-kaidah teoritis
yang sahih, namun juga memberikan interprestasi dari hasil yang diperoleh
mendekati kesesuaian dalam hal besaran uji-uji standar seperti statistik dan
prinsip-prinsip matematis.
Dalam konteks diatas, model perencanaan pengelolaan wilayah pesisir
adalah merupakan alat yang penting untuk mengetahui dinamika masyarakat
pesisir terkait dengan pola pemanfaatan dan apresiasi terhadap sumberdaya pesisir
dan laut. Selanjutnya Adrianto (2009) mengembangkan 6 (enam) tahapan
pengembangan siklus pengelolaan pesisir terpadu adalah sebagai berikut :
1. Tahap 1. Persiapan : adalah tahap awal untuk dilakukan pengembangan
pengelolaan pesisir terpadu meliputi : (i) menyusun mekanisme program; (ii)
mengidentifikasi lokal inisiator yaitu pihak yang melaksanakan program
pengelolaan
pesisir
terpadu;
(iii)
menyiapkan
rencana
kerja
bagi
pengembangan program pengelolaan pesisir terpadu; (iv) melaksanakan
pelatihan yang diperlukan bagi segenap stakeholder
yang terkait dengan
pengelolaan pesisir terpadu; (v) menyusun sistem monitoring dan evaluasi dan;
(vi) mempersiapkan penyusunan status pesisir (state of the coasts) yang akan
menjadi obyek pengelolaan terpadu.
2. Tahap 2. Inisiasi, pada tahap ini dibagi 5 jenis kegiatan yaitu : (1) menyusun
perencanaan sistem komunikasi dengan stakeholder yang bertujuan untuk
meningkatakan kesadaran stakeholder terhadap pentingnya pengelolaan pesisir
dan laut; (2) menyusun rencana partisipatif sistem dan menajemen informasi
terkait dengan inisiasi pengelolaan pesisir; (3) menyiapkan status pesisir (State
of the Coast) yaitu dokumen yang berisis status eksisting dari pesisir yang
menjadi obyek pengelolaan; (4) apabila memungkinkan menyusun kajian awal
tentang resiko lingkungan pesisir (Itial Risk Assessment; IRA) yang bermanfaat
untuk menentukan basis bagi prioritas penyelesaian masalahlingkungan pesisir
dan; (5) menyusun rencana pengelolaan pesisir (coastal strategy).
3. Tahap 3. Pengembangan (Development stage) dalam kegiatan ini ada beberapa
tahapan
penting yang dilihat adalah sebagai berikut : (i) mempersiapkan
rencana implementasi strategi pengelolaan pesisir; (ii) menyusun rencana
monitoring lingkungan; (iii) mengatur mekanisme kelembagaan yang terkait
dengan implementasi strategi pengelolaan yaitu meningkatkan komunikasi dan
koordinasi antar institusi; (iv) merancang mekanisme tata ruang di kawasan
pesisir; (v) menyusun rancangan sistem pembiayaan yang berkelanjutan
terhadap implementasi program dan; (vi) melanjutkan
dan meningkatkan
partisipasi masyarakat.
4. Tahap 4. Tahap
Adopsi ( Adoption Stage ) adalah adopsi dari
rencana
implementasi strategi pengelolaan pesisir (Coastal Starategy Implementation
Plan; CISP ). Dengan demikian proses adopsi tidak hanya
melibatkan
eksekutif dalam pemerintah, tatapi juga institusi legislatif karena hasil akhir
dari adopsi adalah peraturan daerah atau surat kepuusan eksekutif
yang
disahkan Bupati atau Gubernur tentang rencana implementasi strategi
pengelolaan pesisir.
5. Tahap 5. Tahap Implementasi ( Implementation Stage ) adalah imlementasi
dari segenap rencana yang sudah disusun hingga tahap adopsi. Hal ini
mencakup implementasi dari CISP dengan menggunakan sistem pembiayaan
yang sudah ditetapkan dan secara kontinyu melakukan proses monitoring
sesuai dengan tahapan setiap strategi yang telah dituangkan dalam rencana
implementasi strategi pengelolaan pesisir.
6. Tahap 6. Perbaikan dan Konsolidasi (Raffinement and Consolidation Stage)
tahap ini mencakup beberapa kegiatan penting mencakup (i) melakukan kajian
terhadap pencapaian hasil implementsi strategi, termasuk didalamnya output
dan outcome, relatif terhadap tujuan pengelolaan ; (ii) melakukan proses
update terhadap status pesisir (State of the Coast) ; (iii) Apabila diperlukan
melakukan perbaikan terhadap dokumen strategi pengeloaaan pesisir (coastal
starategy), termasuk Coastal Starategy Implementation
Plan (CSIP) ; (iv)
melakukan kajian terhadap hal-hal penting untuk siklus pengelolaan pesisir
berikutnya.
Dalam pandangan ecoligical economics, tujuan valuation tidak semata
terkait dengan maksimasi kesejahteraan individu atau perorangan, melainkan juga
terkait dengan tujuan keberlanjutan ecological dan keadilan distribusi.
Selanjutnya Constanza (2001) in Adrianto (2006) menyatakan bahwa valuation
berbasis pada kesejahteraan individu semata tidak menjamin tercapainya tujuan
ekologi dan keadilan tersebut. Dalam konteks ini, valuasi ecological economics
dapat di nilai dengan tiga tujuan dari penilaian itu sendiri, secara rinci dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Valuasi ekosistem berdasarkan tiga tujuan utama efisiensi, keadilan dan
berkelanjutan
Tingkat
Diskusi yang
Dasar
Diperlukan
Preferensi
Preferensi
Rendah
individu
Preverensi
Tinggi
komunitas
Preverensi
Medium
keseluruhan
sistem
Sumber : Constanza and Folk (1997) in Adrianto (2006)
Tujua/Dasar
Nilai
Efisiensi (Evalue)
Keadilan (Ffalue)
Keberlanjutan
(S-value)
Kelompok
Responden
Homo
Economicus
Homo
Communicus
Homo
Naturalis
Tingkat Input
Ilmiah yang
Diperlukan
Rendah
Menengah
Tinggi
Metode
Spesifik
Willingnes
s to pay
Veil of
ignorance
Modeling
Dari tabel dapat dilihat pandangan ecological-economics, nilai tidak hanya
dilihat dari tujuan maksimalisasi prefrensi individu, seperti yang dikemukakan
oleh pandangan neoklasik (E-value), melainkan ada nilai-nilai lain, yaitu keadilan
(F-value) yang berbasis pada nilai-nilai komunitas, bukan bukan individu. Dalam
konteks F-value ini, nilai sebua ekosistem ditentukan berdasarkan tujuan umum
yang biasanya dihasilkan dari sebuah konsensis atau kesepakatan antar anggota
komunitas (homo communicus) (Adrianto 2006). Selanjutnya dijelaskan oleh
Rawls (1971) in Adrianto (2006) metode evaluasi yang tepat untuk tujuan ini
adalah veil of ignorance, dimana responden memberikan penilain tanpa
memandang status dirinya dalam komunitas. Sementara S-value yang bertujuan
untuk unuk mempertahankan tingkat keberlanjutan ekosistem yang dititip
beratkan pada kehidupan manusia.
Secara empiris, valuasi ekosistem berbsis pada dua nilai terakhir (F-value
dan S-value) relatif masih sedikit di lakukan. Namun demikian, hal ini tidak
mengurangi semangat dari pandangan ecologocal economics bahwa perlu adanya
penyusunan format nilai ekosistem yang lebih komprehensif, tidak hanya berbasis
pada preferensi individu, seperti metode standar yang ada.
Download