BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG Desa

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
I.
LATAR BELAKANG
Desa Rejoagung merupakan desa yang cukup besar dengan penduduk ± 700 KK yang terletak di
Kecamatan Semboro Kabupaten Jember-Jawa Timur. Desa ini didominasi hampir seluruhnya oleh
orang Kristen (GKJW), sehingga sering disebut sebagai desa Kristen. Jika dilihat dalam data sejarah
cikal bakal Rejoagung, ternyata Desa Rejoagung tidak memiliki penduduk asli, mereka berasal dari
daerah Kertorejo dan Bongsorejo, yaitu daerah Mojowarno1. Dari alasan inilah besar kumungkinan
W
D
GKJW Jemaat Rejoagung mewarisi paham yang dibawa oleh orang-orang Kristen dari daerah
Mojowarno. Hal ini tampak pada dokumen sejarah Desa Rejoagung yang nampaknya berlaku
hingga saat ini. Di dalam dokumen tersebut dijelaskan bahwa pada tahun 1913 diadakan
rapat/musyawarah untuk menyusun peraturan desa dan diputuskan peraturan secara mufakat untuk
K
U
diberlakukan dan dilestarikan bagi keturunan penduduk Desa Rejoagung yang berisi (1) Tanah Desa
Rejoagung hanya diperkenankan dijual kepada keluarga daerah (2) Orang di luar Agama Kristen
tidak boleh ikut membuka hutan Desa Rejoagung, kecuali mereka ikut menyesuaikan diri dengan
kebiasaan masyarakat Desa Rejoagung – dengan kata lain menjadi Kristen (3) Bilamana orang
sudah menetap selama 5 tahun maka hak tanah akan disahkan2. Aturan yang semacam inilah yang
@
juga merasuk pada kehidupan gereja. Hal ini sangat mungkin terjadi karena warga (yang di
dalamnya juga ada petinggi) desa Rejoagung juga menjadi warga dan petinggi gereja. Alasan ini
yang menjadi salah satu alasan besar Desa Rejoagung hingga saat ini menjadi masyarakat yang
homogen (hampir 100% orang Kristen GKJW)
Kemurnian dari desa Rejoagung yang sebagai desa Kristen ini yang menumbuhkan kesan tertutup
dari dunia luar, dan nampaknya bertolak belakang dengan apa yang menjadi tugas dari orang Kristen
yang sebagai gereja-gereja Allah di tengah dunia ini. Gereja yang seharusnya menjadi alat
1
Agus Basuki dkk.Catatan Dokumen Sejarah yang telah disalin pada tahun oleh 1995 dalam rangka HUT Desa
Rejoagung yang ke-82. Jika dilihat kembali dalam sejarah, daerah Mojowarno merupakan didikan dari Emde. Bersama
diketahui bahwa Emde dalam menenamkan kekristenan menggunakan sikap yang otoriter-menolak konteks. Tradisi
dan adat kejawaan dilucuti sepenuhnya, hingga keluar aturan yang sering disebut sebagai ‘dasa titah Emde’ (lih. Dewan
Pembinaan Teologi.Sayalah GKJW – Materi Katekisasi Sidi Gereja Kristen Jawi Wetan.(Malang:Greja Kristen Jawi
Wetan, 2007).p.19). Dasa titah ini nampaknya semakin mengikat dan membatasi mereka dengan konteksnya.
2
Agus Basuki dkk.Catatan Dokumen Sejarah yang telah disalin pada tahun oleh 1995 dalam rangka HUT Desa
Rejoagung yang ke-82
1
kemuliaan Allah supaya didengar dan dirasakan oleh semua orang, malah menjadi gereja yang
tertutup sampai membatasi orang di luar Kristen untuk masuk wilayah Rejoagung. Hal ini
menimbulkan bahwa gereja terkesan terperangkap dalam tembok dan pagar ghetto3.
Padahal jika kembali pada definisi gereja yang dilihat dari akar kata bahasa Yunani, disebut sebagai
ekklesia, (ek = keluar dan kaleo = memanggil), maka dapat diartikan bahwa gereja = memanggil
keluar. Kata “memanggil keluar” merupakan sebuah kata kerja yang tentunya memiliki subyek dan
obyek (siapa yang memanggil dan siapa yang dipanggil?). Allah sendiri nampaknya menjadi subyek
yang “memanggil keluar” dan obyek yang dipanggil adalah seluruh umat manusia yang mengaku
percaya kepadaNya. Sehingga pengertian dari eklesia dapat diartikan sebagai kumpulan orang
W
D
percaya yang dipanggil oleh Allah untuk melakukan visi dan misi Allah dalam praxis.4
Melihat fenomena yang dilihat dari GKJW Jemaat Rejoagung yang terkesan jatuh pada ghetto
dengan membandingkan definisi gereja yang seharusnya mampu untuk menjadi obyek Allah dalam
K
U
melakukan visi dan misi Allah dalam praxis, timbul kegelisahan awal, bagaimana sesungguhnya
mereka memaknai dirinya sebagai gereja? Berpijak dari fenomena di atas, saya menduga ada
persoalan yang perlu diperiksa lebih dalam dari pola dan gerak gereja yang memiliki tugas Allah.
Mungkin ada pandangan tertentu tentang gereja yang dihidupi sehingga fenomena gereja yang
tertutup merupakan fenomena yang biasa dan lumrah terjadi. Hipotesa awal ini memunculkan
kemungkinan penghayatan atau pemahaman yang kurang mendalam tentang makna gereja.
@
Pemahaman ini merupakan salah satu faktor penyebab mengapa gereja seakan nyaman dengan
kondisi yang tertutup dari dunia luar gereja. Dan kemungkinan ini menjadi penyebab gereja nyaman
dengan zonanya tanpa peduli dengan keberadaan di luar gereja dan persoalan inilah yang menjadi
keprihatinan saya dalam tulisan ini.
3
Keberadaan komunitas yang dalam kondisi termarginalkan yang dipengaruhi oleh banyak faktor. Ghetto sendiri dalam
bahasa ibrani guidecca secara harafiah diartikan “tembok Yahudi”, dalam sejarah, ghetto lahir dari anggapan
keberadaan bangsa Roma yang menganggap komunitas Yahudi lebih rendah sehingga menimbulkan jurang pemisah
yang kentara. Dan ghetto kembali lahir ketika masa NAZI yang lagi-lagi terkait dengan Yahudi dalam peristiwa
holocaust. Kehidupan dalam ghetto terkenal sangat menyedihkan karena kemelaratan dan kesengsaraan. Yewangoe
dalam kata pengantar buku, Tidak ada Ghetto-Gereja dalam Dunia, (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2009)
4
Praxis dalam hal ini dibedakan dari practice – Praxis adalah practice yang berorientasi pada sebuah transformasi yang
memperhatikan aspek budaya dan structural sehingga gereja yang ada menjadi sebuah gereja yang menyapa konteks
secara langsung. Johanes A. van der Ven,Introduction Ecclesiology in Context, (Cambridge:William B.Eerdmans
Publishing Company, 1996)p.xi
2
Melihat fenomena gereja yang terkesan jatuh pada ghetto ini, tampaknya akan menarik untuk
mempelajari sejauh mana gambar gereja dipahami di GKJW Jemaat Rejoagung, karena melalui
pemahaman ini gereja dapat menemukan esensinya sebagai gereja yang dipanggil oleh Allah dalam
melanksanakan misiNya (Missio Dei)
Persoalan ini jelas menjadi suatu permasalahan teologis yang penting dilihat dan diteliti dalam studi
empiris Pembangunan Jemaat, khususnya masalah eklesiologi. Jika mengacu pada konsep identitas,
bahwa Identitas (identity) mempengaruhi Integrasi (Integration), Identitas pun mempengaruhi
adanya kebijakan (policy) dan Kebijakan inilah yang menghasilkan bentuk management5.
Management yang terungkap dalam fenomena jemaat adalah kesan menutup diri ini nampaknya
W
D
dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan yang tertuang dalam peraturan desa (warga desa juga warga
gereja). Berangkat dari hal inilah akan coba dilihat gambar gereja seperti apakah yang dipegang
sebagai nilai dan identitas Jemaat Rejoagung dalam bergereja.
II.
K
U
POKOK PERMASALAHAN TEOLOGIS
Fenomena gereja yang terkesan jatuh pada ghetto (eksklusif) sehingga praxis gereja sebagai alat
pewarta Kerajaan Allah menjadi pudar dan terjadi batasan relasi dengan komunitas di luar gereja,
menurut saya ada persoalan teologis yang krusial untuk dibahas ketika dilihat dari sudut gambar
gereja. Gambar gereja adalah eklesiologi operatif dari suatu jemaat dalam menjawab konteksnya.
@
Jika kembali pada teori dalam buku van der Ven tentang teori Identitas yang membentuk integrasi
dan policy, maka jelas gambar gereja merupakan salah satu faktor yang memiliki peran penting
pada integrasi dan policy yang akan muncul. Identitas sendiri terkait pada hal pendirian atau prinsip,
visi dan misi dari gereja. Identitas tidak akan statis pada posisi yang sama, ia akan merumuskan
secara terus menerus, berubah bersama dengan konteks sosial dan sejarah demi gereja mencari apa
sebenarnya dirinya6, sedangkan Integrasi merupakan proses perjuangan nilai (Identitas) melalui visi
dan misi7. Di sini letak pentingnya integrasi yang selalu terkait erat dengan identitas. Dalam
permasalahan gereja yang terkesan tertutup yang akan dilihat dari sudut pandang gambar gereja
semakin menjadi relevan, karena ada keterkaitan yang jelas dalam hipotesa. Jika ada fenomena
5
Johanes A. van der Ven,Introduction Ecclesiology in Context, (Cambridge:William B.Eerdmans Publishing Company,
1996),p.79
6
Johanes A. van der Ven,Introduction Ecclesiology, p.152
7
Johanes A. van der Ven,Introduction Ecclesiology, p.329
3
gereja yang terkesan tertutup, besar kemungkinan gambar gerejanya adalah eksklusif karena nilainilai dari identitas yang diperjuangkan adalah nilai-nilai eksklusivitas.
Dalam menyikapi fenomena gereja yang terkesan tertutup, Yewangoe menyuguhkan buku yang
berjudul Tidak Ada Ghetto – Gereja di Dalam Dunia yang pada intinya gereja bukan berada untuk
inward looking, namun menjadi gereja yang memiliki fungsi untuk yang lain (church for the
others)8. Penggunaan kata others berlaku bagi seluruh golongan, tidak hanya untuk golongan
tertentu saja yang dalam hal ini adalah golongan orang Kristen. Konsep mengenai church for the
others merupakan telaah teologis yang berporos pada Kristus. Jika dilihat lebih dalam mengenai
church for the others, besar kemungkinan telah mengalami perjumpaan dengan Yesus, sehingga
W
D
gereja memiliki tujuan dalam melakukan karyanya yang berfokus pada Yesus – gereja tidak hanya
melanjutkan apa yang dilakukan Yesus, namun juga melakukan kembali apa yang telah
dilakukanNya.
K
U
Sehubungan dengan konsep church for the others yang dikemukakan oleh Yewangoe, secara tersirat
muncul empat gambar gereja. Pertama, Kenosis, sebuah teologi pengosongan diri yang mestinya
merupakan dasar gereja, sehingga gereja hadir bukan dengan keangkuhan dan kesombongannya,
namun dengan kerendahan hati9. Jika dilihat lebih dalam tentang konsep Kenosis ini ada sebuah
relasi mistik dengan Kristus yang telah terlebih dulu dialami. Hamer yang dikutip oleh Avery Dulles
S.J. menekankan bahwa, Gereja sebagai Tubuh Mistik Kristus adalah suatu persekutuan baik
@
batiniah maupun lahiriah, sebuah persekutuan rohani yang batiniah yang ditampilkan dan
diperagakan dalam persekutuan yang lahiriah10. Dalam konsep ini bukan dimaksudkan bahwa gereja
berdiri pada salah satu persukutuan saja (batiniah atau lahiriah). Namun merupakan suatu proses
dinamika. Gereja yang secara lahiriah melakukan persekutuan dalam dimensi horizontal yang
terlihat dari relasi antar manusia. Hal ini didasari dari dimensi vertikal yang merupakan kekhasan
gereja, karena adanya kehidupan Illahi yang terungkap dalam inkarnasi Yesus. Sebuah persekutuan
persaudaraan yang terlebih dulu diawali oleh persekutuan yang bersumber pada inkarnasi Yesus.
8
A.A. Yewangoe,Tidak Ada Ghetto – Gereja di dalam Dunia,(Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2011),p. 4
Konsep Kenosis sebelumnya juga telah disinggung oleh Yewangoe dalam buku yang pertama, Tidak ada penumpang
gelap – Warga Gereja Warga Bangsa dalam Triloginya Yewangoe. Konsep Kenosis disuguhkan Yewangoe dalam buku
ini terkait dengan Natal yang cenderung ber hura-hura, sehingga gereja kehilangan makna terdalam dari arti kelahiran
Yesus di tengah dunia ini. Dan pada buku Tidak ada Ghetto, Gereja diharapkan untuk memiliki kerendahan hati seperti
Yesus. A.A. Yewangoe,Tidak Ada Ghetto, p. 4
10
Alvery Dulles, Model-Model Gereja,(Flores:Nusa Indah, 1990),p. 47
9
4
Kedua, Representasi Yesus, gereja yang menjadi Manusia bagi orang lain11. Pemahaman tentang
gereja adalah gereja bagi yang lain sebagai penjabaran teladan Yesus yang menjadi Manusia bagi
orang lain, kental sekali dengan unsur relasi yang dibentuk antara gereja dengan yang lain
(golongan di luar maupun di dalam gereja). Gereja dalam hal ini harus menyadari bahwa dirinya
sebagai bagian dari masyarakat manusia, sehingga gereja harus berdialog dengan semua manusia.
Dulles yang mengikuti pandangan Bonhoeffer semakin menekankan tentang unsur relasi yang
menjadi salah satu pembentuk gambar gereja. Ia mengatakan bahwa Kristus adalah yang lain di
tengah kita dan di dalam ketuhananNya yang universal, Tuhan menjadi Tuhan bahkan bagi mereka
yang tidak beragama12. Dalam kemanusiaanNya, Kristus tidak lagi memandang siapa diriNya yang
W
D
menjadi fokus utama adalah relasi kesetaraan dengan manusia. Dari unsur relasi yang memunculkan
gambar gereja sebagai representasi Yesus ini, maka gereja harus melakukan tindakan Yesus agar
kesaksian gereja menjadi kesaksian yang benar-benar otentik – Gereja diharapkan kepekaan dan
kepeduliaan
terhadap
permasalahan
melatarbelakanginya.
kemanusiaan
tanpa
melihat
golongan
yang
K
U
Ketiga, Pewarta Kerajaan Allah, Gereja yang tetap pada esensinya sebagai alat Allah menyatakan
MisiNya13. Dalam hal ini gereja punya tujuan jelas dalam tugasnya sebagai gereja. Disadari dengan
jelas bahwa gereja mampu menjadi pewarta kerajaan Allah, setelah gereja mengalami persekutuan
mistik dengan Yesus dan juga menjalin relasi yang harmonis, baik dengan golongan di dalam gereja
@
maupun di luar gereja. John Fuellenbach dalam bukunya Church Community for the Kingdom,
semakin memperjelas tentang tujuan gereja untuk menjadi alat pewartaan Kerajaan Allah.
Fuellenbach menyebut ada tiga tugas yang diemban oleh gereja 14, pertama pewartaan dari kata dan
sakramen – gereja perlu mengungkapkan dalam kata dan tindakan, menghadirkan tindakan-tindakan
Yesus yang menandakan datangnya Kerajaan Allah. Kedua, gereja membentuk komunitaskomunitas yang menjadikan kerajaan Allah dapat dirasakan kehadirannya – komunitas yang
mungkin akan mengalami kekontrasan dengan dunia, komunitas yang mewartakan Kerajaan Allah
11
A.A. Yewangoe,Tidak Ada Ghetto – Gereja di dalam Dunia,(Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2011),p. 4
Alvery Dulles, Model-Model Gereja,(Flores:Nusa Indah, 1990),p. 89
13
A.A.Yewangoe, Tidak Ada Ghetto,p. 51-52 (bdk. Richard McBrien melihat bahwa Misi Allah yang diemban oleh gereja
adalah mewartakan Kerajaan Allah yang tertuang dalam sabda Allah di tengah dunia. Gereja tidak perlu merasa untuk
bertanggungjawab bila seorang tidak menerimanya sebagai Sabda Allah, namun yang menjadi fokus gereja adalah
mewartakan sabda Kerajaa tersebut dengan kerendahan hati dan kejujuran. Alvery Dulles, Model-Model
Gereja,(Flores:Nusa Indah, 1990),p.73)
14
Fuellenbach,Church.Community for the Kingdom,(New York:Orbis Book,2002)
12
5
sebagai tujuan tertinggi kehidupan manusia. Dan yang ketiga, komunitas yang juga terlibat dialog
dengan dunia (agama lain) yang juga menjadi sarana kehadiran Kerajaan Allah di dunia, sehingga
prinsip-prinsip dasar pada Kerajaan Allah, yaitu Keadilan, Kedamaian, Persaudaraan dapat terlihat
semakin nyata di tengah dunia.
Unsur yang terakhir adalah struktur. Berbicara masalah struktur kembali memang Yewangoe tidak
secara tegas berbicara masalah ini, namun pada bahasannya mengenai sidang sinode dan agenda
sosial, nampaknya erat sekali dengan masalah struktur15. Di sana dikatakan bahwa dalam cakupan
sinode memiliki peranan yang cukup kuat yang terwujud dalam tema sidang yang akan diusung
dalam tema gerak gereja. Hal ini menunjukkan bahwa struktur tidak dapat dilepaskan sebagai salah
W
D
satu faktor pembentuk gambar gereja. Jika struktur yang diperankan tidak berlaku secara holistik,
besar kemungkinan gambar gereja yang akan dihidupi juga akan berlaku sempit.
Dari empat gambar gereja yang ditangkap dari buku Yewangoe Tidak Ada Ghetto – Gereja di dalam
K
U
Dunia, setidaknya ada empat unsur yang saling berkaitan dalam membentuk gambar gereja – entah
unsur tersebut muncul secara tersirat maupun langsung secara tersurat. Unsur tersebut adalah (1)
persekutuan mistik, tanpa adanya persekutuan tersebut nampaknya sulit untuk menyebut gereja
sebagai gereja, karena gereja ada sebagai wujud kesaksian dengan Sang Illahi yang terungkap
dengan sebuah relasi. (2) relasi sosial, tanpa adanya relasi sosial besar kemungkinan gereja akan
dianggap hanya sebagai wacana yang berada di awang-awang, karena meskipun hakekat gereja tidak
@
berasal dari dunia, namun keberadaannya ada di dalam dunia. (3) tujuan, tanpa adanya tujuan dalam
gereja, gereja akan hanya menjadi seonggok komunitas yang tidak memiliki makna dalam
kehadirannnya. (4) tanpa adanya struktur yang jelas di gereja akan menjadi gereja yang semrawut
karena tidak ada pengatur kendali di dalamnya. Empat unsur ini diyakini menjadi faktor pembentuk
atau variabel dari sebuah gambar gereja terbentuk di dalam gereja.
Jika kembali pada konteks GKJW Jemaat Rejoagung yang keberadaan gerejanya terkesan jatuh pada
ghetto tentu juga memiliki model gambar gereja. Gambar gereja menjadi hal yang menarik dan
relevan untuk diteliti menggunakan empat unsur (tujuan, persekutuan mistik, relasi sosial, dan
struktur) sebagai unsur pembentuk identitas yang memunculkan policy ketertupan gereja.Oleh
karena itu, lebih lanjut untuk memahami permasalahan ini (gereja yang terkesan tertutup), saya ingin
melakukan pendekatan empiris guna melihat pemahaman gambar gereja yang hidup di GKJW
15
A.A. Yewangoe,Tidak Ada Ghetto – Gereja di dalam Dunia,(Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2011),p.147
6
Jemaat Rejoagung. Gambar gereja dipakai sebagai objek yang relevan untuk diteliti dalam fenomena
yang muncul karena dirasa konsep ini adalah konsep dasar yang sebagai nilai dan identitas untuk
melihat akar permasalahan yang terwujud dalam policy dan identitas tersebut diperjuangkan dalam
integrasi. Berpijak pada fenomena jemaat dan teori yang telah dipaparkan muncul beberapa
pertanyaan penelitian :
1. Bagaimana pemahaman konsepsi Gambar Gereja yang ada di GKJW Jemaat Rejoagung?
1.1.
Bagaimana pemahaman mengenai unsur persekutuan mistik yang dihayati oleh jemaat?
1.2. Bagaimana pemahaman mengenai unsur relasi sosial yang dihayati oleh jemaat?
W
D
1.3. Bagaimana pemahaman mengenai unsur tujuan gereja yang dikenali oleh jemaat?
1.4. Bagaimana pemahaman mengenai unsur struktur gereja yang dihayati oleh jemaat?
1.5. Sampai sejauh mana ketiganya berkorelasi dan membentuk gambar gereja di tengah jemaat
GKJW Rejoagung?
K
U
2. Bagaimana pemahaman pada konsepsi gambar gereja yang dikenali oleh jemaat ini direfleksikan
dalam konteks gereja yang tertutup?
3. Bagaimanakah strategi pembangunan jemaat yang mengontekstual16 untuk diwujudkan di GKJW
Jemaat Rejoagung setelah melihat gambar gereja dalam pandangan jemaat, agar gereja sungguh
@
menghidupi dirinya sebagai gereja?
III.
JUDUL SKRIPSI
Gambar Gereja dan Ghetto
[Studi Empiris Mengenai Gambar Gereja GKJW Jemaat Rejoagung yang Mengontekstual di
Tengah Jemaat Homogen yang ada dalam Konteks yang Heterogen]
Penjelasan Judul :
16
istilah mengontekstual dipinjam dari konsep yang diutarakan oleh Shoki Coe dalam tulisan E.Gerrit Singgih yang
membedakan istilah kontekstual, mengontekstual dan dikontekstualkan. E.Gerrit Singgih,Dari Israel ke
Asia,(Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2012),p.4
7
Gambar Gereja :
Sebuah kesan yang timbul dari keprihatinan yang datang dari
pengalaman, maka gambar gereja adalah salah satu identitas yang
diberikan kepada gereja karena kesan yang muncul dari ekspresi atau
pengungkapan gereja di tengah realita.
Ghetto :
Peristiwa pengasingan yang dikenakan pada etnis Yahudi karena
dianggap sebagai masyarakat yang tidak memiliki fungsi (masyarakat
kelas bawah). Ghetto dikenakan pada gereja karena banyaknya
fenomena gereja yang sengaja meng-ghetto-kan dirinya atau gereja
yang cenderung self oriented.
W
D
Penjelasan Sub Judul :
Studi Empiris Mengenai Gambar Gereja GKJW Jemaat Rejoagung yang Mengontekstual di
Tengah Jemaat Homogen yang ada dalam Konteks yang Heterogen :
K
U
Upaya untuk melihat makna gambar gereja yang dihidupi oleh GKJW Jemaat Rejoagung
yang tentunya gambar tersebut mengkontekstual dalam konteks yang homogen dalam hal
masyarakat yang murni Kristen (GKJW), namun di sisi lain mereka hidup dalam konteks
yang majemuk khususnya daerah Jawa Timur Kota Jember.
IV.
@
TUJUAN PENULISAN
(1) Menemukan gambar gereja yang dihayati oleh jemaat di GKJW Jemaat Rejoagung dalam
relasi yang terjalin di dalam maupun di luar tubuh gereja tersebut.
(2) Sumbangsih pemikiran dalam melihat konteks dan corak GKJW yang majemuk yang
terkait dengan makna gambar gereja – yang tentunya gambar tersebut mengontekstual
dengan keberadaan GKJW dalam suatu konteks tertentu.
V.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan penyusun dalam skripsi ini adalah metode kualitatif. Metode
dalam bentuk wawancara digunakan sebagai alat untuk memperoleh data dari jemaat yang juga
ditautkan dengan konsep-konsep (gambar gereja). Informan diambil berdasarkan besar pengaruh
dalam gereja. Misal, warga yang sangat besar berpengaruh pada GKJW Jemaat Rejoagung, majelis
jemaat yang dirasa memahami dan berpengaruh besar, dan pendeta (baik yang masih melayani
8
jemaat tersebut, maupun yang telah melayani jemaat tersebut. mengingat GKJW menggunakan
sistem mutasi pendeta dalam pelayananannya). Proses pengumpulan data akan dilakukan dengan
cara metode kualitatif. Metode yang menggunakan cara bertanya langsung (wawancara) dengan
acuan pertanyaan-pertanyaan penelitian, lantas hasil wawancara tersebut akan digambarkan sesuai
dengan pokok bahasan mengenai gambar gereja.
Penelitian ini akan menggunakan lingkaran empiris yang dikemukakan oleh van der Ven yang
memiliki 5 tahapan17. (1) Pengamatan dan pertanyaan teologis, fenomena yang muncul di GKJW
Jemaat Rejoagung dan digambarkan dalam latar belakang masalah dilihat sampai memunculkan
W
D
pertanyaan teologis. (2) Perumusan masalah dengan menggunakan kerangka teoritis (induksi),
melihat permasalahan teologis mengenai gambar gereja yang berpengaruh pada praxis dalam
konteks yang terkesan terperangkap dalam ghetto, maka kacamata kerangka teoritis yang akan
digunakan adalah konsep eklesiologi (gambar gereja). (3) Pengartikulasian konsep dalam
operasionalisasi (deduksi), menentukan variable-variabel yang berlandaskan kerangka teoritis.
K
U
Varibel-varibel ini sekaligus dijadikan sebagai alat untuk memeriksa dan meneliti mengenai
realita/praktek yang terjadi di jemaat. (4) Analisa empiris, langkah yang dilakukan ketika telah
melakukan penelitian dengan menggunakan variable yang telah ditentukan pada langkah deduksi.
(5) Evaluasi teologis, menjelaskan mengenai gambar gereja seperti apakah yang sesuai dengan
konteks jemaat dan sumbangsih pemikiran dari hasil penelitian pada jemaat.
VI.
@
SISTEMATIKA PENULISAN
Bab I
Pendahuluan
Pada bagian ini berisi latar belakang masalah, rumusan permasalahan dan pertanyaan dan
tujuan dari penulisan skripsi
Bab II
Penghayatan Gambar Gereja
Pada bagian ini akan dijelaskan teori tentang gambar gereja yang digunakan sebagai
landasan penelitian empiris. Dari konsep gambar gereja tersebut muncul empat unsur
pembentuk gambar gereja (relasi mistik, relasi sosial, tujuan gereja, dan struktur). Unsur
pembentuk inilah yang kemudian akan dijadikan alat untuk melihat gambar gereja yang
dihayati di GKJW Jemaat Rejoagung.
17
Lih. Johannes van der Ven, Practical Theology: An Empirical Approach, (Kampen : Pharos, 1993), p. 119 - dst
9
Bab III
Analisa Penghayatan Gambar Gereja yang Dihidupi di GKJW Jemaat
Rejoagung
Pada bagian ini akan dilihat bagaimana warga GKJW Jemaat Rejoagung menghayati gambar
gerejanya yang dilihat dari unsur-unsur pembentuk gambar gereja. Lalu hasil tersebut
dianalisa sehingga menemukan gambar gereja seperti apakah yang dihidupi dan dihayati oleh
jemaat Rejoagung sampai terkesan memunculkan fenomena gereja yang terkesan tertutup.
Bab IV
Diskusi dan Evaluasi Teologis
Pada bagian ini akan dijelaskan bagaimana hasil penelitian empiris pada bab III akan
W
D
didiskusikan dengan konsep awal pada bab II, sekaligus diilakukan tahap evaluasi teologis
Bab V
Sumbangsih Strategi Pembanguan Jemaat dan Penutup
Seluruh hasil dari proses penelitian dan pengkajian permasalahan gambar gereja ini akan
digunakan sebagai bahan refleksi etis terhadap realitas GKJW Jemaat Rejoagung dalam
K
U
menemukan gambar gereja yang mengkontekstual dan fungsional. Proses tersebut setidaknya
bermuara pada persoalan praktis tentang vitalisasi gereja dalam gambarnya sebagai alat
Allah di tengah dunia ini.
@
10
Download