TENTIR MODUL GASTROINTESTINAL KULIAH 7 (part.2), 8, 11, 16

advertisement
TENTIR MODUL
GASTROINTESTINAL
KULIAH 7 (part.2), 8, 11, 16
Peringatan!!! Tentir bukanlah satu-satunya sumber
bacaan. Tentir dapat saja salah. Hal-hal yang
mencurigakan harap dicrosscheck dengan kuliah
maupun textbook.
Core Team:
Bila, Aghis, Arif, Fira, Felix, Nichi, Venita,
Devi, Elita, Andy, Fitri
Selamat Belajar !!!
^^ 2007 SUKSES ^^
KULIAH PARASIT PART 2
Protozoa Penyebab Penyakit Gastrointestinal
OLEH: PROF.DR. SALEHA SUNGKAR
o
Entamoeba histolytica (subphylum: sarcodina)
o Morfologi:
Dalam daur hidupnya, E. histolytica mempunyai 2 stadium: trofozoit
dan kista. Tropozoit berukuran 10-60 mikron (kalo’ sel darah merah
sekitar 7 mikron), mempunyai inti entameba yang terdapat di
endoplasma, ektoplasma bening homogen terdapat di bagian tepi sel,
pseudopodium (kaki semu) besar dan lebar seperti daun,
pergerakannya cepat dan menuju suatu arah (linier), endoplasma
berbutir halus (biasanya mengandung bakteri atau sisa makanan). Bila
ditemukan sel darah merah pd tropozoit, disebut erythrophagocytosis,
yang merupakan ciri khas infeksi parasit ini.
Kistanya berukuran 10-20 mikron, bentuknya bulat atau lonjong, punya
inti entameba.
o Disease Amoebiasis, Amoebic dysentri, Amoebic liver abses.
Manusia merupakan satu-satunya hospes parasit ini.
o Epidemiologi Amebiasis terdapat di seluruh dunia (kosmopolit),
terutama di daerah tropik dan daerah beriklim sedang.
o Bentuk infektif stadium kista matang. Kista dapat hidup lama
dalam air (10-14 hari). Kista juga tahan terhadap klor yang terdapat
pada aor ledeng. Kista akan mati pada suhu 50 0C atau dalam keadaan
kering.
o Life cycle:
♣
o
usus halus, dicernakan ekskistasi keluarlah stadium tropozoit yang
masuk ke lumen usus besar. Stadium kista dibentuk dari stadium
tropozoit yang berada di lumen usus besar. Stadium tropozoit dapat
ditemukan pada tinja yang konsistensinya lembek atau cair,
sedangkan stadium kista biasanya ditemukan pada tinja padat (karena
kista tidak patogen; hanya merupakan stadium yang infektif)
Patogenesis
Stadium tropozoit dapat bersifat patogen dan menginvasi usus besar
ikut aliran darah nyebar ke hati, paru, otak, kulit, dan vagina
merusak jaringan tersebut (sesuai dgn namanya: “histo-lytica” =
Amebiasis intestinal: nyeri perut dan diare dengan tinja berlendir
o
atau berdarah, tidak nafsu makan BB turun. Kalau kronik
(menahun), diarenya diselingi sembelit dan ada rasa tidak enak di
perut.
♣ Amebiasis ekstraintestinal: ada abses hati (paling sering), demam,
batuk, dan nyeri perut kuadran kanan atas.
Diagnosis pemeriksaan mikroskopis, pemeriksaan serologi untuk
mendeteksi antibodi, deteksi antigen, PCR.
Pengobatan
♣
Obat yang bekerja pada lumen usus:
o
•
Paromomisin (humatin): dosis 25-35 mg/kgbb/hari selama 7 hari
•
Diloksanaid furoat (furamid, entamizol): dosis 3 kali 500 mg perhari
selama 10 hari.
Iodoquinol (iodoksin): dosis 3 kali 650 mg/ hari selama 20 hari.
•
♣
o
Bila kista matang tertelan kista masuk lambung dalam keadaan utuh
(dinding kista tahan thd asam lambung) masuk ke lumen terminal
menghancurkan jaringan). Predileksi utamanya di daerah apendiks
atau sekum.
Gejala klinis
Obat yang bekerja pada jaringan:
•
Emetin hidroklorida
•
Metronidazole: dosis 3x750 mg/ jari selama 7-10 hari.
Pencegahan dengan kebersihan perorangan (cuci tangan) dan
kebersihan lingkungan (masak air minum sampai mendidih, mencuci
sayur dan buah dengan bersih, menutup makanan yang dihidangkan,
buang sampah di tempat tertutup, serta tidak menggunakan tinja
manusia sebagai pupuk).
Giardia lamblia (subphylum: mastigospora)
o Disease: giardiasis
o
o
Epidemiologi kosmopolit; prevalensinya makin tinggi pada sanitasi
yang buruk. G. lamblia lebih sering ditemukan pada anak daripada
dewasa, terutama anak berumur 6-10 tahun. Pada orang dewasa,
giardiasis ditemukan pada orang yang bepergian (traveler’s diarrhea).
Di daerah endemis, infeksi lebih sering ditemukan pada bayi.
Life cycle:
Parasit ini juga memiliki 2 stadium: kista dan tropozoit. G. lamblia
hidup di lumen usus kecil, yaitu duodenum, bagian proksimal jejenum,
serta kadang-kadang di saluran dan kandung empedu. Bila kista
B. coli adalah protozoa terbesar pada manusia. Ia hidup di selaput
lendir usus besar, terutama di sekum. Ia memiliki 2 stadium selama
hidupnya: vegetatif (tropozoit) dan kista. Stadium vegetatif merupakan
stadium yang berfungsi untuk berkembang biak dengan cara belah
pasang transversal. Stadium kista hanya berfungsi untuk bertahan dan
matang tertelan ekskistasi di duodenum sitoplasmanya membelah
o
o
o
dan flagel tumbuh dari aksonema terbentuk 2 tropozoit. Dengan
pergerakan flagel yang cepat, tropozoit berada di antara vili usus dan
bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Dengan batil isapnya, si
tropozoit akan melekatkan diri pada epitel usus. Kalo’ jumlahnya
banyak sekali, tropozoit dapat menutupi permukaan usus halus.
Tropozoit yang tidak melekat pada mukosa usus akan mengikuti
gerakan peristaltik menuju usus besar. Nah, selama perjalanan itulah
terjadi enkitasi (pembentukan kista). Tinja padat berisi kista,
sedangkan tinja cair atau lunak biasanya berisi tropozoit.
Gejala Klinis: sangat bervariasi, tergantung dari jumlah kista yang
tertelan, lamanya infeksi, serta faktor hospes dan parasitnya sendiri.
Gejala akut dimulai dengan rasa tidak enak di perut yang diikuti mual
dan kehilangan nafsu makan. Bisa juga disertai demam ringan.
Kemudian diikuti diare yang berbau busuk. Pada tinja jarang
ditemukan lendir dan darah. Gejala akut berlangsung 3-4 hari dan bisa
sembuh spontan. Pada fase subakut atau kronik: diare hilang timbul
selama 2 thn atau lebih, penderita merasa lemah, sakit kepala dan
sakit otot, malabsorpsi dan penurunan BB, serta gangguan
pertumbuhan (pd anak).
Diagnosis: dianjurkan pemeriksaan tinja selama 3 hari berturut-turut
atau 2 hari sekali selama 10 hari, karena kista dan tropozoit
dikeluarkan secara periodik. Pada infeksi ringan, dapat dilakukan
pemeriksaan cairan yg berasal dari duodeno-jejunal junction untuk
mencari tropozoit. Bila masih tidak ditemukan, dapat dilakukan biopsi
usus. Pemeriksaan yang lain adalah dengan deteksi antigen.
Pengobatan
♣
♣
♣
♣
Tinidazol dosis tunggal (2 gr pada dewasa; 30-35 mg pada
anak)
Metronidazol
Kuinakrin, pilihan untuk ibu hamil (ES lebih berat dari
metronidazol)
Furozolidon berbentuk cairan; untuk bayi dan anak
Balantidium coli (ciliate protozoa)
o Disease: balantidiosis atau disentri balantidium
o Life cycle
merupakan bentuk infektif. Bila kista tertelan ekskistasi di usus
halus
stadium
vegetatif,
yang
segera
berkembangbiak
dan
membentuk koloni kedua stadium keluar bersama feses kista
o
o
o
o
o
tertelan infeksi dst.
Epidemiologi: hospesnya adalah babi, tikus, dan beberapa spesies
kera tropik. Sayangnya, kadang2 parasit ini juga ditemukan pada
manusia. Parasit ini ditemukan di seluruh dunia yang beriklim
subtropik dan tropik, tetapi frekuensinya rendah.
Patogenesis: tropozoit dapat menginvasi mukosa usus besar dan
menyebabkan ulserasi. Ia juga mensekresikan enzim hialuronidase,
yang mendegradasi jaringan usus dan memudahkan penetrasi ke
mukosa usus membentuk abses kecil abses pecah ulkus yang
menggaung.
Gejala Klinis: dapat asimptomatik atau simptomatik (diare kronik,
disentri, mual, kolitis, nyeri perut, penurunan berat badan, serta
ulserasi sampai perforasi usus).
Diagnosis: menemukan tropozoit dalam tinja encer atau melalui
sigmoidoskopi atau kolonoskopi. Kista juga dapat ditemukan dalam
tinja.
Pengobatan: tetrasiklin, metronidazol.
Blastocystis hominis
o Disease: blastocystosis
o Epidemiologi: terutama ditemukan di daerah tropik.
o Morfologi dan Life cycle
B. hominis mempunyai 4 bentuk: vakuolar, granular, ameboid, dan
bentuk kista.
Bentuk alveolar paling sering ditemukan pada tinja atau biakan. Di
tengah ada struktur mirip vakuol yang tampak transparan dan refraktil.
Vakuol disebut benda sentral, yang dikelilingi oleh sitoplasma perifer
yang mengandung nukleus, mitokondria, dan badan Golgi. Inti 1-4..
o
o
o
o
Bentuk granular sel berisi granula. Stadium ini dibentuk dari
stadium vakuolar. Fungsinya belum diketahui.
Bentuk Ameboid bentuk tidak teratur dan banyak ditemukan dalam
tinja atau biakan. Mirip leukosit.
Bentuk kista polimorfik, tapi kebanyakan oval atau sirkular, dengan
atau tanpa lapisan membran. Mengandung mitokondria dan inti.
B. hominis berkembang biak secara aseksual dengan 4 macam
pembelahan: belah pasang, plasmotomi, skizogoni, dan
endodiogeni. Pada manusia biasanya terjadi belah pasang. Bentuk
ameba berkembang dengan plasmotomi, yaitu terpotongnya satu atau
lebih dari satu bagian (progeni dari tonjolan2 sel). Progeni
mengandung satu atau lebih nukleus, tapi tidak memiliki benda
sentral.
Benda sentral adalah organel di mana terjadi skizogoni. Sel induk atau
skizon berisi progeni sampai sampai sel pecah dan progeni menyebar
ke sekitarnya. Makin besar jumlah progeninya, makin kecil ukurannya.
Endodiogeni lebih jarang dan menghasilkan 2 progeni yang besar di
dalam badan sentral.
Bentuk kista adalah bentuk yang paling tahan terhadap pengaruh
lingkungan di luar hospes dan mungkin merupakan satu2nya bentuk
infektif.
Patogenesis: masih kontroversial, antara patogen atau hanya
komensal.
Gejala Klinis: diare, flatulensi, anoreksia, BB turun, muntah, mual,
konstipasi, dll. Infeksinya juga dihubungkan dengan kolitis ulserosa,
ileitis terminal, dan enteritis.
Diagnosis: menemukan parasit tsb pada tinja dengan pemeriksaan
langsung. Biasanya ditemukan bentuk vakuolar.
Pengobatan: pengobatan dianjurkan hanya bila ditemukan B. hominis
pada tinja dan disertai gejala. Obatnya adalah metronidazol iodoquinol,
atau furazolidon.
Crytosporidium parvum (Phylum apicomplexa)
o Disease: cryptosporidiosis
o Epidemiologi: ditemukan di seluruh dunia, infeksi pada laki-laki lebih
tinggi. Hewan maupun manusia dapat menjadi sumber infeksi.
Merupakan salah satu penyebab traveler’s diarrhea.
o Life cycle
Parasit ini termasuk Coccidia yang mirip Isospora dan Toxoplasma. Bila
ookista matang tertelan ekskistasi di traktus GI atas sporozoit
keluar dari ookista dan masuk ke sel epitel usus pada bagian apeks,
tetapi tidak di dalam sitoplasma (disebut meront) parasit
berkembang biak secara aseksual (merogoni) dan menghasilkan
merozoit yang memasuki sel lain merozoit membentuk mikro dan
makrogametosit berkembang menjadi mikro dan makrogamet
pembuahan terbentuk ookista lagi, yang mengadung 4 sporozoit.
o
o
o
•
o
o
o
Ada 2 macam ookista: yang berdinding tipis dan mengeluarkan
sporozoit di dalam usus, dan yang berdinding tebal (dikeluarkan
melalui tinja). Masa prepaten, yaitu waktu antara infeksi dan
pengeluaran ookista berkisar 5-21 hari.
Patogenesis:
traktus
intestinal
merupakan
tempat
utama
kriptosporoidosis. Tempat lain yaitu paru, telinga bagian tengah,
saluran empedu, pankreas, dan lambung. Infeksi ekstraintestinal lebih
sering mengenai saluran empedu dan dapat menyebabkan calculus
biliary disease.
Gejala Klinis: diare, anoreksia, BB turun, kehilangan cairan dalam
jumlah besar. Pada pasien aids, manifestasi klinisnya adalah: diare
seperti kolera, diare kronis, diare intermiten, diare transient.
Diagnosis: menemukan ookista dalam tinja, deteksi antigen ELISA,
biopsi, dan PCR
o Pengobatan: perbaikan sistem imun dengan active antiretroviral
therapy (HAART). Jika HAART tidak memungkinkan, digunakan
beberapa antibiotik: paramomisin, azitromisin, nitazoksanid,
spiramisin.
Cylclospora cayetanesis (Phylum: apicomplexa)
Disease: Cyclosporiasis
Epidemiologi: infeksi dapat terjadi pada semua umur, penyebab
traveler’s diarrhea.
Life cycle
Ookista yang belum matang dikeluarkan bersama tinja terjadi sporulasi
dalam satu sampai beberapa minggu pada suhu tinggi dan lembab
oookista matang (berisi dua sporokista yang masing2 mengandung 2
sporozoit). Parasit ini terdapat intrasitoplasmik dan perkembangan
o
o
o
terjadi dalam vakuol pada enterosit yeyenum. Infeksi terjadi dengan
menelan ookista matang.
Gejala Klinis: konstipasi, diare (bukan keluhan utama), anoreksia, BB
turun, kembung, sering flatus, nyri ulu hati, mual, muntah, nyeri, otot,
demam ringan, lelah. Sering ditemukan diare yang bergantian dengan
konstipasi
Diagnosis: ditegakkan dengan menemukan ookista dalam tinja, bisa
juga dengan PCR.
Pengobatan: trimetoprim + sulfametoksazol. Obat lainnya:
metronidazol, tinidazol, dan siprofloksasin.
Isospora belli
o Disease: Isosporiasis
o Epidemiologi: penularan terjadi melalui makanan dan air yang
terkontaminasi dengan ookista atau sporokista. Infeksinya lebih sering
ditemukan pada penderita Aids.
o Morfologi dan Life cycle
Hanya diketahui stadium ookista yang bentuknya bujur memanjang.
Ookista menjadi matang dalam 1-5 hari. Sporokista menghasilkan 4
sporozoit yang bentuknya memanjang dan mempunyai satu inti.
Infeksi terjadi jika menalan ookista atau sporokista matang. Sporozoit
masuk ke dalam usus dan berkembang biak secara endodiogeni
membentuk 2 merozoit sel anak. Beberapa sporozoit atau merozoit
akan keluar usus dan masuk ke jaringan ekstraintestinal membentuk
stadium kista yang dormant. Kelenjar limfe mesenterik adalah yang
paling sering terkena.
o Gejala Klinis: diare, steatore, sakit kepala, demam, malaise, nyeri
abdomen, muntah, dehidrasi, BB turun.
o Diagnosis: dengan menemukan ookista dalam tinja, aspirasi
duodenum, duodenal string test, dan biopsi usus halus.
o Pengobatan: kombinasi trimetoprim dan sulfametoksazol, kombinasi
pirimetamin dan sulfonamid, pirimetamin, roksitromisin (untuk pasien
aids).
Microsporidium
o Disease: Microsporidiasis
o Daur hidup
o
o
o
Microsporidia adalah parasit obligat intraseluler yang mempunyai 2
fase perkembangan: skizogoni (merogoni) dan fase sporogoni. Infeksi
dimulai dengan masuknya spora ke dalam sel hospes. Tempat
utamanya adalah sel epitel traktus GI dan traktus respiratorius. Setelah
terjadi penonjolan polar filamen dan pengeluaran isi spora ke dalam sel
hospes, ia akan membelah diri melalui proses merogoni yang diikuti
diferensiasi menjadi spora (sporogoni). Sporoplasma akan berkembang
biak menjadi meron. Membran sel meron menebal, kemudian
berdiferensiasi membentuk sporon. Sporon membelah dan membentuk
sporoblas, kemudian menghasilkan spora matang. Spora yang
dikeluarkan dapat menginfeksi sel lain atau ke lingkungan melalui
tinja, urin, atau sekresi saluran napas.
Gejala Klinis: pada infeksi intestinal, frekuensi BAB sekitar 1-20 kali
per hari dengan konsistensi cair. Bila infeksi pada kandung empedu
dapat disertai nyeri abdomen, muntah, dan demam.
Diagnosis: pemeriksaan mikroskopis, metode molekuler, dan uji
serologi.
Pengobatan: albendazol, fumagilin, dan talidomid.
Summary:
Parasit usus  gejala usus
• Anak, diare, cengeng, malnutrisi, sakitan: askariasis
• Anemi: cacing tambang
• Prolapsus rekti: Trichuris trichiura
• Diare lendir darah: E. histolytica
• Anak gatal di anus: Oxyuris
• Diare bau busuk: Giardia
• Danau lindu, lembah napu: Schistosoma
• STH: pirantel, oksantel, piperazin, mebendazol,
prazikuantel
• Trichuris: mebendazol, albendazole
• Taenia, Schistosoma: prazikuantel
Infeksi oportunis
Aids, diare berat, dehidrasi:
- I. belli
- C. parvum
- C. cayetanensis
- B. hominis
albendazol,
- Microsporidia
Cara infeksi
• Menelan telur, kista, ookista
• Larva filariform menembus kulit
- Cacing tambang, strongyloides
• Makan sistiserkus
- taenia
• Makan metaserkaria
- Fasciolopsis buski
• Serkaria menembus kulit
- skistosoma
Epidemiologi
• Pencemaran tanah dengan telur: STH
• Pencemaran air dengan telur: Schistosoma
• Pencemaran air dengan kista: G.lamblia
• Berhubungan dengan babi: T. solium, B.coli
• Berhubungan dengan sapi: T.saginata
• Berhubungan dengan keong
- Schistosoma
• Berhubungan dengan tumbuhan air:
- Fasciolopsis buski
K-8: MIKROBIOLOGI
OLEH: DR. ANIS K.
Infeksi saluran cerna yang sering terjadi:
• Gastroenteritis: Sebuah sindrom yang timbul akibat gangguan dari
saluran cerna. Bisa nyeri, begah, diare dll.
• Diare
•
Disentri: diare berdarah + mukus
•
Enterokolitis: menandakan adanya proses inflamasi saja, tidak
mengarah ke gejala
Untuk terjadi suatu penyakit, terdapat beberapa faktor yang
menunjang, yaitu faktor host, agent, dan environment.
•
Faktor Pejamu (Host)  yang mempengaruhi kerentanan terhadap
penyakit
- Tiap orang memiliki kerentanan yang berbeda-beda terdapat penyakit
- Manusia sebagai spesies juga memiliki kerentanan terhadap agen
tertentu, contohnya Salmonella typhi hanya menyerang manusia, dan
bukan binatang
- Genetik seseorang juga berpengaruh
- Usia merupakan faktor penting. Anak-anak dan orang lanjut usia lebih
rentan terhadap infeksi saluran cerna dibandingkan usia produktif.
- Kebersihan pribadi juga sangat penting. Orang yang gaya hidupnya
tidak bersih akan rentan.
- Sistem imun seseorang sangat menentukan kemungkinan terjadinya
infeksi. Sistem tubuh manusia dalam keadaan baik akan membunuh
kuman yang masuk sehingga tidak terjadi penyakit.
- Asam lambung dan pelindung fisik lainnya  pH normal biasanya <4,
pada pengguna antasid (penetralisir asam) biasanya pH naik, sehingga
lebih rentan terhadap infeksi
- Makanan yang masuk bertemu saliva yang sudah punya lisozim dan
IgA yang menghancurkan mikroba  makanan masuk ke esofagus di
lambung ada asam lambung yang pH nya rendah  sebagian besar
bakteri sudah mati kalau ada yang masuk ke usus bisa bikin sakit
- Namun, di semua permukaan mukosa terdapat flora normal yang bisa
mencegah pertumbuhan bakteri patogen. Jumlah bakteri flora normal
ini (bakteri anaerob) sangat tinggi dalam feses. Flora normal terbanyak
adalah E.coli
Faktor Mikroba  faktor-faktor virulensi
1. Toksin
- Ada banyak mikroba yang dapat menyebabkan penyakit di saluran
cerna
- Bakteri tersebut akan mengeluarkan toksin, bisa eksotoksin dan
endotoksin. Pada saluran cerna, kebanyakan bakteri mengeluarkan
eksotoksin, yang dapat menyebabkan infeksi menjadi lebih buruk
dan menyebabkan penyakit
- Ada juga bakteri yang mengeluarkan toksin jenis lain, yaitu
Clostridium botulinum yang mengeluarkan neurotoksin.
Neurotoksin yang dikeluarkan oleh bakteri tersebut akan memasuki
saluran cerna, namun tidak menyebabkan gejala pada saluran
cerna. Neurotoksin akan masuk ke peredaran sistemik dan
menyebabkan kerusakan saraf
2. Attachment
Dengan adanya kemampuan ini, bakteri akan mampu melekat ke
tubuh
3. Invasiveness
Merupakan kemampuan bakteri untuk bisa masuk ke sel epitel. Tidak
semua bakteri pathogen pada traktus gi memiliki kemampuan invasi.
4. Faktor-faktor virulensi lainnya (motilitas, kemotaksis, produksi
musinase)  menunjang dan meningkatkan kemampuan hidup
mikroba
Faktor Environment
 merupakan faktor lain yang menunjang infeksi, seperti lingkungan,
kebersihan, dll
Perjalanan penyakit traktus GI: ada makanan yang terkontaminasi 
ditelan  bisa terlokalisir dalam saluran cerna atau sistemik. Jika gejala
terlokalisir, akan terjadi mual, muntah, atau diare. Jika gejala sistemik,
gejala yang ditimbulkan juga bersifat sistemik dengan demam sebagai
gejala utama. Contoh infeksi traktus GI yang dapat menyebabkan gejala
sistemik adalah Salmonella typhi.
Bakteri yang menyebabkan penyakit di traktus GI memiliki faktor virulensi
yang merusak saluran verna. Toksinnya dapat merubah sistem di sel
saluran cerna.
INFEKSI DI LAMBUNG
- Infeksi pada lambung yang utama adalah ulkus peptikum atau
gastritis. Banyak sekali penyebabnya, NAMUN salah satunya adalah
infeksi Helicobacter pylori.
- H. pylori merupakan bakteri gram negatif spiral, dapat bergerak.
Bakteri ini dapat berkolonisasi di traktus GI. Terdapat bakteri
helicobacter lain yang juga dapat menyebabkan penyakit di lambung,
seperti H. cinaedi, H. fenneliae. Namun yang paling sering adalah H.
pylori
- H. pylori sebenarnya merupakan mikroba yang sangat sensitif
terhadap asam lambung. Tapi dia punya urease yang menetralisir
asam lambung yang ada di sekitar dia. Kalau berhasil, dia –mencapai
dasar lambung attach sampai di dasar gastric pit yang tidak
-
dipengaruhi oleh asam lambung  selanjutnya akan terhindar dari
asam lambung.
Bakteri ini juga menghasilkan superoksida dismutase dan katalase
(umum dihasikan mikroba lain)  memproteksi dirinya dari fagositosis.
Pemeriksaan mikrobiologi sangat sulit untuk menemukan H. pylori
karena letaknya yang di lambung. Bakteri ini sulit ditemukan di feses.
Pemeriksaan yang bisa memastikan infeksi H. pylori pada pasien
adalah endoskopi lalu biopsi. Namun metode ini invasif
Metode yang tidak invasif adalah serologi atau dengan deteksi antigen
pada feses. Tentunya sensitivfitas dan spesifisitas yang jauh di bawah
biopsi. Namun, tes antigen merupakan metode yang cukup menolong
kalau tidak ada endoskopi.
Diare
- Untuk melakukan diagnosis diare, anamnesis merupakan tahap yang
sangat penting
- Dari anamnesis, dokter dapat mengetahui keparahan, frekuensi,
berapa banyak feses diare, apakah diarenya air atau hanya ampas
yang sedikit, dan bagaimana respon diare terhadap terapi
sebelumnya. Selain itu, anamnesis dapat memberikan info apakan
adanya demam, tenesmus (nyeri pada anus karena feses yang kadar
asamnya tinggi), serta Riwayat bepergian atau makan makanan
tertentu sebelum terjadinya diare ini
- Riwayat memakan seafood merupakan suatu penanda adanya infeksi
vibrio cholera, spesies vibrio menginfeksi melalui seafood.
- Penggunaan antibiotik dalam satu bulan terakhir  pada pengguna
antibiotik jangka panjang dapat terjadi perubahan flora pada saluran
cerna patogen tumbuh dengan baik  dapat menyebabkan diare
- Penurunan berat badan
- Jika diare sudah berlangsung selama 1 atau 2 bulan terakhir, lihat
adanya kemungkinan HIV/AIDS.
- Lama diare dapat menjadi arah pemikiran penyebab. Jika diare baru
sebentar  kemungkinan virus
- Curigai kemungkinan parasit jika disertai kekurangan gizi!
- SETELAH ANAMNESIS, pemeriksaan leukosit pada feses dapat
memisahkan diare menjadi diare inflamasi atau non-inflamasi kalau
kurang dari 5 kemungkinan.
E.COLI
Merupakan flora normal di tubuh kita, tapi saat ini sudah cukup banyak
E. coli yang menjadi patogen. Diperkirakan E. coli mendapatkan faktor
virulensinya dari bakteri lain. Kebanyakan faktor virulensi E.coli mirip
dengan bakteri lain.
- Enteropathogenic E. coli (EPEC)  berevolusi  Enterohemorragic E.
coli atau EHEC (tadinya EPEC yang mendapatkan faktor virulensi yang
lebih banyak lagi)
- EHEC bukan hanya ada di manusia, ada di sapi jadi flora normal 
feses sapi mengkontaminasi susu atau daging  wabah bahkan di USA
Bahayanya: EHEC memiliki beberapa faktor virulensi. Hemorrhagic dapat
membuat perdarahan di kolon. EHEC juga menghasilkan ferotoksin 1 dan
2 yang akan masuk ke dalam darah yang reseptornya ada di dalam ginjal,
yaitu reseptor GB3  DAPAT menyebabkan HUS (hemolytic-uremic
syndrome). Pada fase ini pasien tidak dapat tertolong.
- ETEC (Enterotoxin E. coli) paling banyak menyebabkan diare pada bayi
dan balita. ETEC mendapatkan virulensinya dari Vibrio cholerae.
- EIEC (Enteroinvasive E. coli) mendapat virulensinya dari Shigella.
Toksinnya mirip dengan toksin shigella  mampu menginvasi (masuk
ke dalam) sel  terjadi inflammatory diarrhea (diare campur darah dan
mukus)
- Uropathogenic E. coli dapat menyebabkan infeksi saluran kemih
-
-
Vibrio Cholerae
- Sangat sedikit penderitanya sekarang. Menyebabkan diare dengan
feses seperti air cucian beras. Sekali keluar bisa dua liter! 
menyebabkan dehidrasi.
- Bentuk fesesnya benar-benar hanya seperti air.
- Sebenarnya juga tidak tahan terhadap asam lambung.
- Terdapat bermacam-macam Vibrio, ada yang serovar 01 dan non 01.
- Vibrio parahemolitikus – snagat berhubungan dengan seafood. Dulu
banyak orang jepang yang kena karena memakan ikan mentah
VIRUS
- Yang paling penting adalah ROTAVIRUS
- Lebih dari 50% diare anak di bawah 2 tahun terkena
-
Pada bayi di bawah 6 bulan, IgG dan IgM masih didapat dari ibu. Sejak
usia 6 bulan hingga ke 2 tahun turun ( merupakan masa-masa yang
rentan). Baru pas 2 tahun sistem imun anak naik lagi.
Inkubasi rotavirus berlangsung selama 1 hingga 2 hari
Sebenarnya self limiting  tangani cairannya, biasanya 7 hari sembuh
jika intake baik.
Dalam 7 hari, dengan mekanisme yang belum jelas, akan sembuh.
Deteksinya yang bisa dilakukan adalah pemeriksaan antigen (serologi)
pada feses.
Antibiotic-Associated Diarrhea
- Terjadi gangguan pada flora normal perut. Bisa disebabkan berbagai
bakteri
- Colstridium difficile, sebenarnya flora normal begitu punya
kesempatan terinisiasi utnuk menghasilkan toksin (sito- dan
enterotoksin)
- Colitis pseudomembranosa, dulu merupakan penyakit nosokomial.
Ada lapisan yang sebenarnya adalah sel darah putih. Dokter biasanya
tahu dari kondisi feses dan langsung dikasih metronidazole.
- Pemeriksaan sulit secara mikrobiologi karena disangka flora normal 
karena itu perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan toksin.
- Gram positif anaerob
FOOD BORNE DISEASE DAN FOOD POISONING
Food-borne disease harus dibedakan dari food poisoning. Yang satu
infeksi, yang satu keracunan. Tapi arti sebenarnya ada perbedaan. Pada
food-borne disease ada kolonisasi bakteri yang dilanjutkan dengan
attachment. Namun, pada food poisoning tidak ada kolonisasi. Penyebab
food poisoning bukan hanya mikroba, namun bisa karena toksin, dan lainlain. Biasanya food poisoning yang terjaid karena mikroba disebabkan oleh
Clostridium botulinum dan Staphylococcus aureus.
BOTULISME
BAKTERI C.botulinum merupakan bakteri anaerob. Karena sifatnya ini,
biasanya botulisme disebabkan karena memakan makanan kalengan yang
terinfeksi oleh bakteri tersebut. Spora C.botulinum mengkontaminasi
makanan kaleng  menghasilkan banyak gas dan membuat kaleng
mengembung.
Masalahnya, kalau gas dihasilkan belum berlebih, belum ketahuan adanya
kontaminasi ini
Makanan kaleng terinfeksi—dihangatkan  spora berubah menjadi bentuk
vegetative yang menghasilkan toksin  toksin masuk ke saluran cerna 
masuk ke saraf  menghambat asetilkolin di neuromuscular junction 
paralisis dari atas ke bawah, dimulai dari mata  bahaya jika kena otot
pernafasan  pasien akhirnya harus pake ventilator
Fenomena yang sering terjadi adalah anak-anak sering terkena botulisme
akibat konsumsi madu. Oleh karena itu, di Amerika Serikat anak-anak di
bawah satu tahun belum boleh mengonsumsi madu.
Staphylococcus
Dapat menyebabkan keracunan karena menghasilkan superantigen dan
enterotoksin. Biasanya enterotoksin labil terhadap panas, tapi yang
dihasilkan ini dapat bertahan hingga 100 derajat selama tiga puluh menit.
Kenyataannya, makanan yang kita masak jarang sekali mencapai suhu
tersebut atau dimasak selama itu.
 Gejala utama yang ditimbulkan adalah muntah.
(Bacillus aureus juga menyebabkan muntah.)
Bacillus cereus: (gw lupa apa nama depannya)  ada tipe emetik (disertai
muntah) dan tipe diare. Tipe emetik lebih mengarah ke food poisoning,
sangat berhubungan dengan konsumsi nasi goreng. karena nasi goreng
biasanya menggunakan nasi kemarin yang sudah terkena spora.
Kelainan pada Hati – Hepatitis
• Penularan fekal-oral  hepatitis A dan E
•
Infeksi parenteral  hepatitis C
•
Satu-satunya virus tipe DNA  hepatitis B
•
Penularan lewat darah, tapi terutama lewat hubungan seksual 
hepatitis B
Penularan hepatitis D selalu bersama hepatitis B, entah didahului oleh
hepatitis B kronik (superinfeksi) atau terinfeksi secara bersamaan
(koinfeksi)  dapat diperiksa menggunakan tes serologis
•
Interpretasi Tes Serologis HBV (lihat tabel di slide)
Interpretasi Tes Serologis HAV, HCV, HDV
•
Anti-HAV IgM-positive  infeksi akut HAV
•
Anti-HAV IgG-positive  pernah terinfeksi HAV
•
Anti-HCV-positive  pernah atau sedang terinfeksi HCV
•
Anti-HDV-positive, HBsAg-positive  infeksi HDV
•
Anti-HDV-positive, anti-HBc IgM-positive  koinfeksi HDV dan HBV
•
Anti-HDV-positive, anti-HBc IgM-negative  superinfeksi HDV pada
infeksi HBV kronik
Gangguan empedu  bisa cholangitis, cholecystitis  karena penekanan
oleh tumor atau striktur (pada pasien yang terlalu lama makan lewat jalan
parenteral sehingga terjadi konstriksi saluran empedu). Penyebabnya
biasanya flora normal saluran cerna.
k-11: PENERAPAN EPIDEMIOLOGI
PADA PENYAKIT GASTRO INTESTINAL DAN HATI
oleh: dr. joedo prihartono
EPIDEMIOLOGI
Jika ditinjau dari asal kata ( Bahasa Yunani ) Epidemiologi berarti
Ilmu yang mempelajari tentang penduduk { EPI = pada/tentang ; DEMOS
= penduduk ; LOGOS = ilmu }. Sedangkan dalam pengertian modern pada
saat ini EPIDEMIOLOGI adalah :
“ Ilmu yang mempelajari tentang Frekuensi dan Distribusi
(Penyebaran)
masalah
kesehatan
pada
sekelompok
orang/masyarakat serta Determinannya (Faktor – faktor yang
Mempengaruhinya).
Dari definisi tersebut di atas, dapat dilihat bahwa dalam pengertian
epidemiologi terdapat 3 hal Pokok yaitu :
1. Frekuensi masalah kesehatan
Frekwensi yang dimaksudkan disini menunjuk pada besarnya
masalah kesehatan yang terdapat pada sekelompok manusia/masyarakat.
Untuk dapat mengetahui frekuensi suatu masalah kesehatan dengan
tepat, ada 2 hal yang harus dilakukan yaitu :
a. Menemukan masalah kesehatan yang dimaksud.
b. Melakukan pengukuran atas masalah kesehatan yang ditemukan
tersebut.
What, who, where, when  epidemiologi deskriptif
2. Distribusi ( Penyebaran ) masalah kesehatan.
Yang dimaksud dengan Penyebaran / Distribusi masalah kesehatan
disini adalah menunjuk kepada pengelompokan masalah kesehatan
menurut suatu keadaan tertentu. Keadaan tertentu yang dimaksudkan
dalam epidemiologi adalah :
a. Menurut Ciri – ciri Manusia ( MAN )
b. Menurut Tempat ( PLACE )
c. Menurut Waktu ( TIME )
UKURAN EPIDEMIOLOGI
PENDEKATAN ABSOLUT
Sering menyesatkan
PENDEKATAN RELATIF
Lebih bersifat obyektif dan dipakai dalam studi epidemiologi
3. Determinan ( Faktor – faktor yang mempengaruhi )
Yang dimaksud disini adalah menunjuk kepada faktor penyebab
dari suatu penyakit /masalah kesehatan baik yang menjelaskan Frekuensi,
penyebaran ataupun yang menerangkan penyebab munculnya masalah
kesehatan itu sendiri. Dalam hal ini ada 3 langkah yang lazim dilakukan
yaitu :
a. Merumuskan Hipotesa tentang penyebab yang dimaksud.
b. Melakukan pengujian terhadap rumusan Hipotesa yang telah disusun.
c. Menarik kesimpulan.
4 ( Empat ) Tujuan Epidemiologi adalah :
1. Mendeskripsikan Distribusi, kecenderungan dan riwayat alamiah suatu
penyakit atau keadaan kesehatan populasi
2. Menjelaskan etiologi penyakit
3. Meramalkan kejadian penyakit
4. Mengendalikan distribusi penyakit dan masalah kesehatan populasi.
PERTANYAAN EPIDEMIOLOGI
WHAT
Frekuensi penyakit besar/kecil
WHO
Sebaran pejamu (kelompok mana yang menderita penyakit ini)
WHERE
Sebaran geografis (apakah timbul di daerah pedesaan
atau perkotaan)
WHEN Siklus waktu (misal: diare sering muncul pada musim hujan)
WHY
Faktor determinan (mengapa ada orang yang terkena ada yang
tidak)
HOW
Mekanisme perkembangan
Why, how  epidemiologi analitik
Contoh Soal:
Kota “A” penduduk 2 juta dengan 200 pasien diabetes melitus, sedangkan
kota “B” penduduk 10 juta dengan 300 pasien kanker hati.

Secara absolut  Kota B lebih buruk tingkat kesehatannya, karena
300>200

Secara relatif  Kota B lebih baik tingkat kesehatannya (dilihat
proporsinya)
ANGKA INSIDENSI
Adalah gambaran tentang frekuensi penderita baru suatu penyakit
yang ditemukan pada suatu waktu tertentu di satu kelompok masyarakat.
Untuk dapat menghitung angka insidensi suatu penyakit, sebelumnya
harus diketahui terlebih dahulu tentang :
- Data tentang jumlah penderita baru
- Jumlah penduduk yang mungkin terkena penyakit baru( Population
at Risk )
Secara umum angka insiden ini dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu :
a. Incidence Rate
Yaitu Jumlah penderita baru suatu penyakit yang ditemukan pada
suatu jangka waktu tertentu(umumnya 1 tahun) dibandingkan dengan
jumlah penduduk yang mungkin terkena penyakit baru tersebut pada
pertengahan jangka waktu yang bersangkutan.
b. Attack Rate
Yaitu Jumlah penderita baru suatu penyakit yang ditemukan pada
suatu saat dibandingkan dengan jumlah penduduk yang mungkin terkena
penyakit tersebut pada saat yang sama.
c. Secondary Attack Rate
Yaitu jumlah penderita baru suatu penyakit yang terjangkit pada
serangan kedua dibandingkan dengan jumlah penduduk dikurangi
orang/penduduk yang pernah terkena penyakit pada serangan pertama.
Angka
Insidensi =
Angka Insidensi:
• Menurut periode waktu (harus kasus yang baru)
• Penyebut  populasi yang rentan (populasi yang tidak berhubungan
HARUS dieksklusikan) Contoh, jika ingin mengetahui Angka Insidensi
Kasus penyakit prostat, maka KAUM WANITA harus dieksklusikan
karena tidak ada Kelenjar Prostat pada wanita, sehingga tidak mungkin
wanita menderita penyakit prostat.
• Menggambarkan tingkat risiko
• Untuk evaluasi program pencegahan
Penetapan sebuah kejadian sebagai kasus baru cukup rumit. Jika kasus
tersebut merupakan kasus penyakit menahun, maka agar tidak
mengacaukan statistik, disepakati waktu kasus itu ialah pada saat
WAKTU DIAGNOSIS PASTI. Contoh: seseorang telah menderita sebuah
penyakit, misalnya kanker hati, pada waktu 5 tahun yang lalu, dan
ternyata baru terdiagnosis kanker
sekarang lewat pemeriksaan
histopatologi, maka periode waktu kasus ialah SAAT SEKARANG, bukan
pada saat 5 tahun yang lalu
ANGKA PREVALENSI
Adalah gambaran tentang frekuensi penderita lama dan baru yang
ditemukan pada suatu jangka waktu tertentu di sekelompok masyarakat
tertentu. Pada perhitungan angka prevalensi, digunakan jumlah seluruh
penduduk tanpa memperhitungkan orang/penduduk yang Kebal atau
Penduduk dengan Risiko (Population at Risk).
Angka
Prevalensi =
Angka prevalensi
 Untuk evaluasi program pengobatan
PERIOD PREVALENCE
Jumlah penderita lama dan baru suatu penyakit yang ditemukan
pada suatu jangka waktu tertentu dibagi dengan jumlah penduduk pada
pertengahan jangka waktu yang bersangkutan. Nilai Periode Prevalen
Rate hanya digunakan untuk penyakit yang sulit diketahui saat
munculnya, misalnya pada penyakit Kanker dan Kelainan Jiwa. Dapat
dimanfaatkan untuk mengetahui Mutu pelayanan kesehatan yang
diselenggarakan
Period
Prevalence =
Period Prevalence
 Tak dapat menentukan kondisi sesaat
 Gabungan prevalens dan insidens
HUBUNGAN NILAI INSIDENSI DAN
PREVALENSI
• P = Prevalensi
• I = Insidensi
• D = Lamanya Sakit
Rumus
hubungan
insidensi
dan
prevalensi hanya berlaku jika dipenuhi
2
syarat, yaitu :
a) Nilai insidensi dalam waktu yang cukup lama bersifat konstan : Tidak
menunjukkan perubahan yang mencolok
b) Lama berlangsungnya suatu penyakit bersifat stabil : Tidak
menunjukkan perubahan yang terlalu mencolok
RASIO DAN PROPORSI
RASIO
 Perbandingan secara umum
 Tak ada kaitan pembilang dan penyebut
 A/B
PROPORSI
 Pembilang merupakan bagian dari penyebut
 A/(A+B)
FREKUENSI POPULASI
 Merupakan estimasi sebuah interval yang berdasarkan teori inferens
•
 Batas kepercayaan 95%
π = P +/- Za √ PQ/n
•
KLASIFIKASI PENYAKIT
 Dilakukan karena kita membutuhkan standar perhitungan yang sama
untuk perbandingan penyakit antar wilayah
 Perbandingan ini dipakai di seluruh Negara dan dibuat oleh WHO
 ICD = International Classification of Diseases
 Kriteria etiologi  berdasarkan mikroorganisme penyebab
 Kriteria manifestasi  berdasarkan gejala; kriteria ini penting untuk
menentukan upaya pencegahan
Berikut merupakan hubungan antar kriteria yang berkaitan:
Dari
tabel
tersebut
diketahui bahwa pada:
Pemulihan psikosomatis :
ada
gejala,
namun
kuman tidak ditemukan
Fase subklinis : kuman
ditemukan, namun gejala
belum tampak
Distribusi Penyakit:
1. Bukan bersifat random. Penyakit bukan karena nasib
2. Selidikilah pengaruh faktor determinan, baik intrinsik maupun
ekstrinsik
Intrinsik = Genetik ; Ekstrinsik = Paparan
3. Menggunakan Pertanyaan Who Where, When
Di dalam epidemiologi biasanya timbul pertanyaan yang perlu
direnungkan yakni :
Siapa (who), siapakah yang menjadi sasaran penyebaran penyakit itu
atau orang yang terkena penyakit.
Di mana (where), di mana penyebaran atau terjadinya penyakit.
Kapan (when), kapan penyebaran atau terjadinya penyakit tersebut.
Faktor-faktor yang berkaitan dengan suatu penyakit:
•
•
•
•
Umur  anak-anak dan orang tua (lansia) lebih rentan terkena
penyakit
Jenis kelamin  penyakit tertentu memiliki kecenderungan pada
gender tertentu, misal kanker paru lebih sering pada pria
Sosial ekonomi  masyarakat dengan kondisi ekonomi yang rendah,
lebih rentan terkena penyakit
Pendidikan  pendidikan menentukan persepsi seseorang terhadap
penyakit
Agama  berhubungan dengan kebiasaan/pemahaman umat agama
tertentu, misal: orang Islam dilarang makan babi, oleh karena itu
jarang terkena taeniasis
Suku bangsa
1. Peranan umur  penyakit tertentu dialami oleh kelas usia tertentu
ANAK-ANAK
MANULA
• Leukemia
- Diabetes Melitus
•
Campak
- Jantung Koroner
•
Pertusis
- Osteoporosis
• Difteria
2. Jenis kelamin
LAKI-LAKI
• Hemofili
- Kanker Nasofaring
PEREMPUAN
- Diabetes
•
Hipertensi
- Anemia
•
Stress
- Gondok
• Kecelakaan Lalu Lintas
3. Peranan Geografis
PERKOTAAN
• Obesitas
•
Depresi
•
Polusi udara
• Kecelakaan Lalu Lintas
4. Peranan Musim
KEMARAU
• Batuk
- Kecelakaan Rumah Tangga
PEDESAAAN
- Leptospirosis
- Brucelosis
- Alergi pollen
- Zoonosis lain
PENGHUJAN
- Diare
•
Pharingitis
- Influenza
•
DHF
- Tipus
•
Malaria
• Method of difference
- Disentri
• Method of concomitant of variation
TRANSISI EPIDEMIOLOGI (Liat di slide23 EPIDEMIOLOGI)
- Penyakit degeneratif makin sering ditemukan karena meningkatnya
usia harapan hidup seiring berkembangnya zaman
• Method of analogy
Studi Prospektif
• Megikuti subyek untuk meneliti peristiwa yang belum terjadi
(Lihat slide Epidemiologi slide 24) Hubungan kausal sering terjadi
melibatkan hubungan:
1. Hubungan temporal
2. Hubungan dosis
•
•
Studi ini membandingkan angka insidens pada kelompok terpapar
dengan angka insidens pada kelompok tak terpapar
Ukuran risiko relatif (RR)
Studi
Langkah kausatif yang dapat diterapkan:
Retrospektif
• Mengevalusi peristiwa yang sudah berlangsung
LINGKARAN EPIDEMIOLOGI
KAUSATIF
merupakan
JAWABAN
SEMENTARA, mencakup aspek:
• Komponen populasi
• Komponen sebab
• Komponen akibat
• Komponen hubungan dosis
• Komponen hubungan temporal
Dalam menyusun sebuah hipotesa, dapat menggunakan metode berikut:
• Method of agreement
Tak dapat mengukur insidens
•
Tak dapat mengukur nilai RR
•
Ganti ukuran odds ratio (OR)
FAKTOR PENYEBAB
RR (OR) < 0,3
0,3 < RR < 0,5
0,5 < RR < 1,0
Koinsidensi menunjukkan hubungan antar penyakit yang terjadi
bersamaan
HIPOTESA
•
Pencegah nyata
Pencegah lemah
Bukan pencegah
SYARAT PENULARAN
• Agen biologis yang patogen
•
•
Transmisi pembawa agen (melalui media/vehikulum tertentu, bisa lewat
air, udara)
Host yang rentan
•
Pintu masuk (port of entry)
•
Pintu keluar (port of exit)
•
Reservoir
(lingkungan,
lain)
RANTAI PENULARAN
2. Specific protection
• Penyediaan air bersih
•
Memasak air minum
•
Pengawasan kualitas makanan
•
Cuci tangan dengan sabun
• Imunisasi hepatitis B
* Health promotion dan Specific protection merupakan tahap
pencegahan primer
PRINSIP
PENCEGAHAN
3. Early diagnostics and prompt treatment
Dibahas mengenai Early Diagnostic khususnya pada kelainan
degenerative
• Pemeriksaan laboratorium hati rutin
•
PROGRAM
PENCEGAHAN
 Agent  menemukan etiologi danmenentukan terapi
Endoskopi gastrointestinal
• Pemeriksaan radiologis rutin
4. Disability limitation
• Pemberian cairan oralit
 Host  pencegahan dengan imunisasi
•
Pemberian intra venous fluid drips
 Ports
•
Pemberian antibiotika

•
Pengaturan diet hepatik
Penyuluhan untuk mengubah
Transmisi perilaku
 Reservoir
menjaga kesehatan dan kebersihan lingkungan
TAHAP PENCEGAHAN
•
Health promotion
•
Specific protection
•
Early diagnostics and prompt treatment
•
Disability limitation
•
Rehabilitation
1. Health promotion
• Pola hidup bersih dan sehat
•
Intake gizi seimbang
•
Olahraga secara teratur
•
Tidak merokok
•
Tidak minum minuman keras
•
Menghindari penyalahgunaan obat
• Pemberian suplement penguat hati
5. Rehabilitation (Khusus bagi kelainan Degeneratif)
• Artificial anus
•
Reseksi kanker colon
•
Skleroterapi endoskopik
• Transplantasi hati
*Ketiga tahap di atas(3,4,5)
sekunder
merupakan tahap pencegahan
K-16: PENYAKIT DAN KELAINAN GI PADA ANAK
OLEH: PROF. DR. AGUS FIRMANSYAH, SP.A
Pertama-pertama yang harus dapat kita bedakan adalah gejala/tampilan
klinis dengan penyakit.
Sebagai contoh:
1. Diare adalah gejala/tampilan klinis sementara penyakit (yang
mendasarinya) adalah shigellosis
2. Nyeri abdomen berulang (reccurent) adalah gejala sementara
penyakitnya adalah intoleransi laktosa
Daftar problem Gastrointestinal:
• Diare (diarrhea)
•
Konstipasi (constipation)
•
Muntah (emesis/vomiting)
•
Nyeri abdomen (abdominal pain)
•
Perdarahan GI (GI bleeding)
•
Intoleransi Laktosa (Lactose Intolerance)
Diare
Diare adalah penyebab mortalitas dan morbiditas pediatrik di
seluruh dunia. Kematian akibat diare langka di negara industri, tetapi
umum ditemukan di negara berkembang. Diare akut menjadi masalah
yang besar apabila terjadi dengan malnutrisi atau pada ketiadaan
penanganan medis. Di Amerika Utara (Amerika dan Kanada), mayoritas
diare akut disebabkan oleh virus dan bersifat self-limited sehingga tidak
membutuhkan tes diagnostik atau penanganan tertentu. Agen bakteri
cenderung menyebabkan sakit yang lebih parah dan umumnya terjadi
pada daerah dengan sanitasi umum yang buruk. Gastroenteritis akibat
bakteri perlu dicurigai bila terjadi disentri/dysentery (tinja berdarah
bermukus disertai demam) dan kapapun gejala berat timbul. Infeksi dapat
didiagnosis melalui kultur tinja atau assay untuk patogen spesifik. Diare
kronik berlangsung lebih dari 2 minggu dan memiliki kemungkinan
etiologi yang banyak, termasuk kausa yang sulit didiagnosis (baik kondisi
serius maupun jinak/benign)
Orangtua seringkali menggunakan kata diare untuk menjelaskan
BAB yang konsistensinya cair, BAB yang sangat sering, atau BAB yang
bervolume besar. Konstipasi dengan overflow incontinence dapat disalahlabelkan sebagai diare. Definisi yang lebih tepat adalah volum cairan BAB
harian yang berlebihan (>10mL tinja/kgBB/ hari). Ketika mendiagnosis
anak dengan diare, dokter harus menanyakan tentang tekstur tinja,
volum, dan frekuensi BAB. BAB cair yang membanjiri popok beberapa kali
dalam sehari dapat menjadi petunjuk jelas adanya diare.
Diare dapat diklasifikasi berdasarkan etiologi maupun mekanisme
fisiologik (osmotik maupun sekretorik) yang mendasarinya. Agen etiologik
yang dapat berperan diantaranya adalah virus, bakteri dan toksin bakteri,
bahan kimia, parasit, malabsorbsi, dan inflamasi (untuk lebih jelasnya
lihat tabel 126-8)
Diare sekretorik terjadi bila mukosa intestinal secara langsung
mensekresi cairan dan elektrolit ke tinja. Sekresi ini dapat merupakan
hasil dari inflamasi (seperti pada Crohn’s disease atau ulcerative colitis)
atau rangsangan kimia. Kolera adalah diare sekretorik yang dirangsang
oleh enterotoksin Vibrio cholerae. Toksin ini menyebabkan peningkatan
kadar cAMP di dalam enterosit, sehingga terjadi sekresi pada lumen usus
halus. Sekresi juga dirangsang oleh mediator inflamasi dan berbagai
hormon, seperti vasoactive intestinal peptide yang disekresi oleh tumor
neuroendokrin (neuroblastoma).
Diare osmotik terjadi setelah malabsorbsi senyawa yang
dimakan, yang “menarik” air kedalam lumen usus. Contoh klasik dari diare
osmotik adalah intoleransi laktosa. Ketika produk susu ditelan tanpa
adanya aktivitas laktase yang memadai pada brush border usus halus,
malabsorbsi laktosa yang tidak tercerna menciptakan efek osmostik.
Diare osmotik juga dapat terjadi karena maldigesti, seperti pada
insuffisiensi pankreas, atau malabsorbsi yang diakibatkan cedera
intestinal. Beberapa laxative yang tidak dapat diserap, seperti
polyethylene glycol dan magnesium hidroksida juga dapat menyebabkan
diare osmotik. Hasil akhirnya adalah larutan yang aktif secara osmotik
dengan kandungan air berlebihan. Fermentasi beberapa zat yang tidak
dapat diabsorbsi secara baik sering dapat terjadi di kolon, menghasilkan
produksi gas, kram, dan tinja bersifat asam.
Etiologi tersering dari mencret pada awal masa kanak-kanak adalah
diare kronik non-spesifik/ toddler’s diarrhea. Karakteristik kondisi ini
adalah BAB berair yang sering pada kondisi pertumbuhan normal dan
peningkatan berat badan dan dapat disebabkan oleh asupan jus buah
berlebih (yang mengandung karbohidrat yang tidak dapat dicerna). Diare
membaik bila asupan minuman anak diganti atau dikurangi.
Karakteristik diare
Tinja normal bersifat isosmotic/iso-osmotic  memiliki osmolaritas sama
dengan cairan tubuh. Tinja bersifat isosmotik karena terdapat pertukaran
air yang relatif bebas sepanjang mukosa usus. Osmoles yang ada pada
tinja adalah campuran dari elektrolit dan larutan osmotik-aktif lainnya.
Untuk menentukan diare bersifat osmotik atau sekretorik, dilakukan
perhitungan osmotic gap:
Formula untuk osmotic gap mengasumsikan bahwa tinja bersifat isosmotik
(dengan osmolaritas sekitar 290 mOsm/L). Kandungan natrium dan kalium
diukur, ditambahkan, dan dikalikan 2 untuk menyesuaikan dengan
anionnya. Hasil ini kemudian dikurangi dari 290. Diare sekretorik adalah
diare dengan osmotic gap kurang dari 50, karena kebanyakan dari zat
yang terlarut adalah elektrolit. Angka yang lebih dari 50 menunjukkan
diare osmotik dan mengindikasikan zat selain elektrolit yang berperan
pada osmolaritas tinja.
Table 126-8. Differential Diagnosis of
Diarrhea
Infant
Child
Acute
Comm Gastroenteritis*
Gastroenteritis*
on
Systemic infection
Food poisoning
Antibiotic associated
Systemic infection
Gastroenteritis*
Food poisoning
Antibiotic
associated
Overfeeding
Rare
Antibiotic
associated
disaccharidase Toxic ingestion
Adolescent
Primary
Hyperthyroidism
deficiency
Hirschsprung toxic colitis
Adrenogenital syndrome
Chronic
Comm Postinfectious secondary Postinfectious
Irritable
bowel
on
lactase deficiency
secondary lactase syndrome
deficiency
Cow's milk/soy protein
Inflammatory
intolerance
bowel disease
Chronic
nonspecific Irritable
bowel Lactose
diarrhea
of
infancy syndrome
intolerance
(toddler's diarrhea)
Celiac disease
Giardiasis
Celiac disease
Cystic fibrosis
AIDS enteropathy
Rare
Primary immune defects
Familial villous atrophy
Secretory tumors
Congenital chloridorrhea
Acrodermatitis
enteropathica
Lymphangiectasia
Abetalipoproteinemia
Eosinophilic
gastroenteritis
Short bowel syndrome
Intractable
diarrhea
syndrome
Autoimmune enteropathy
Factitious
Lactose intolerance Laxative
abuse
(anorexia
nervosa)
Giardiasis
Inflammatory
AIDS enteropathy
bowel disease
AIDS enteropathy
Acquired immune Secretory tumors
defects
Secretory tumor
Primary
bowel
tumor
Pseudo-obstruction
Factitious
*Gastroenteritis includes viral (rotavirus, norovirus, astrovirus)
and bacterial (Salmonella, Shigella, E. coli, C. difficile, Yersinia,
Campylobacter, other) agents.
Cara lain untuk membedakan antara diare osmotik dan sekretorik adalah
dengan menghentikan asupan makanan dan mengamati. Observasi
ini hanya dapat dilakukan pada pasien yang telah masuk rumah sakit
dan menerima cairan intravena untuk mencegah dehidrasi. Jika diare
berhenti sepenuhnya ketika pasien tidak menerima makanan apapun
melalui mulut (NPO) maka pasien memiliki diare osmotik. Seorang anak
dengan kolera, diare yang murni sekretorik, akan tetap memiliki
pengeluaran tinja yang masif. Seorang anak dengan enteritis viral dapat
saja menurunkan volum studi.
Dari kedua cara mengklasifikasi diare tersebut, tidak ada yang dapat
bekerja secara lengkap karena mayoritas sakit diare adalah gabungan
dari komponen osmotik dan sekretorik. Enteritis viral merusak lining
usus, menyebabkan malabsorbsi dan diare osmotik. Inflamasinya
mengakibatkan pelepasan mediator yang menyebabkan sekresi
berlebihan. Seorang anak dengan enteritis viral pada saat NPO mungkin
akan turun volum BABnya, tetapi komponen sekretorik diarenya tidak
akan berhenti hingga inflamasi telah berakhir
Riwayat harus meliputi onset diare, jumlah & karakteristik tinja,
estimasi volum tinja, kehadiran gejala lain seperti darah pada tinja,
demam, dan kehilangan berat badan. Perjalanan baru harus dicatat,
faktor diet harus diinvestigasi, dan catatan obat yang pernah digunakan
harus didapatkan. Faktor yang terlihat dapat memperparah atau
memperbaiki keadaan diare harus ditentukan. Pemeriksaan fisik harus
lengkap, dengan fokus pada pemeriksaan abdomen: adakah distensi,
tenderness? Apakah bising usus hiperaktif? Apakah terdapat darah pada
tinja saat rectal touche? Apakah tonus m. sphincter ani adekuat?
Pemeriksaan laboratorium harus meliputi kultur tinja dan hitung
darah lengkap bila ada kecurigaan enteritis bakterial. Pemeriksaan
tambahan untuk tinja dipesan dengan disesuaikan dengan keadaan klinis
pasien. Jika diare terjadi setelah pemberian antibiotik, maka assay toksin
Clostridium difficile harus dilakukan. Jika terjadi stetorrhea, kandungan
lemak tinja harus dicek. Tes untuk diagnosis spesifik seperti tes antibodi
untuk celiac disease atau colonoscopy untuk kecurigaan ulcerative
colitis. Sebuah percobaan restriksi/penghentian laktosa untuk beberapa
hari berguna untuk mengeksklusi intoleransi laktosa.
Manajemen diare dilakukan dengan melakukan rehidrasi (bisa dalam
bentuk oral maupun parenteral), pemberian bantuan nutrisi, obatobatan, dan edukasi orangtua terhadap diare dan penyakit yang
mungkin mendasarinya.
Konstipasi dan Encopresis
Konstipasi adalah masalah yang umum terjadi pada masa anak-anak.
Orangtua memiliki deskripsi yang berbeda terhadap konstipasi. Mereka
dapat saja mengacu pada mengejan berat pada saat defekasi,
konsistensi tinja yang keras, ukuran tinja yang besar, penurunan
frekuensi, atau kombinasi dari yang telah disebutkan. Konstipasi
didefinisikan sebagai BAB kurang dari sama dengan 2 kali tiap minggu
atau passase/lewatnya tinja yang keras dan berbentuk seperti pelet
setidaknya selama 2 minggu. Anak dapat mengalami gejala mengejan
untuk periode yang lama dan menangis, diikuti dengan passase tinja
lembut. Pola defekasi yang sulit ini disebut infantile dyschezia dan hanya
timbul pada 3 bulan pertama kehidupan. Pola lain yang terjadi adalah
functional fecal retention, penghentian tinja secara volunter dengan
postur retentif (berdiri atau duduk dengan kaki diselonjorkan dan kaku
atau disilang) dan passase jarang dari tinja dengan diameter besar,
kadang sakit. Anak dengan functional fecal retention sering mengalami
fecal soiling karena adanya banjir kandungan kolon yang berlebihan
Diagnosis diferensial dicantumkan pada tabel 126-9 dibawah. Anak kecil
lebih rentan terhadap habit constipation/functional fecal retention,
dimana anak tidak mengindahkan keinginan untuk defekasi dan
memperlambat passase tinja. Habit constipation seringkali terjadi selama
latihan untuk menggunakan toilet, ketika anak mungkin tidak
menggunakan popok tetapi tetap tidak mau duduk di atas toilet. Tinja
yang tertahan menjadi keras dan besar seiring waktu. Pada saat anak
akhirnya melakukan BAB, BAB menjadi besar, keras, dan menyakitkan.
Hal ini membuat anak lebih takut untuk melakukan defekasi, menahan
BAB secara volunter, dan mempertahankan keadaan konstipasi. Motilitas
kolon umumnya memaksa maju tinja yang cair disekitar tinja yang
tertahan. Hal ini menyebabkan cairan pada celana dalam ketika tekanan
di dalam melebihi tekanan sphincter, sehingga menyebabkan
encopresis.
Penyakit Hirschsprung memiliki karakteristik penundaan passase
meconium pada anak baru lahir, distensi abdominal, emesis, demam,
dan BAB berbau khas. Kondisi ini diakibatkan kegagalan dari sel ganglion
untuk bermigrasi pada usus bagian distal, menyebabkan spasme dan
obstruksi fungsional pada bagian yang aganglionik. Hanya sekitar 6%
anak dengan penyakit Hirschsprung melakukan passsase meconium
dalam 24 jam pertamanya. Pada anak normal, persentasenya adalah
95%. Mayoritas anak penderita secara cepat menjadi sakit karena
enterocolitis atau obstruksi. Ketika mengevaluasi anak dengan 3 tahun
dengan ketakutan defekasi, tinja besar, dan tanpa riwayat konstipasi
neonatal, penyakit Hirschsprung bukanlah etiologi yang disarankan.
Beberapa penyebab konstipasi yang lain adalah kelainan korda spinalis,
hipotiroidisme, obat-obatan, cystic fibrosis, dan malformasi anorectal.
Beberapa variasi dari kecacatan perkembangan sistemik mengarah ke
konstipasi karena penurunan kapasitas untuk bekerjasama dengan
toileting, penurunan usaha atau kendali otot-otot lantai pelvis saat
defekasi, dan penurunan persepsi terhadap kebutuhan untuk BAB.
Karakteristik konstipasi
Tabel di bawah ini merangkum beberapa karakteristik umum dari
penyebab-penyebab
konstipasi.
Malformasi
kongenital
biasanya
menyebabkan gejala semenjak lahir. Konstipasi fungsional adalah
diagnosis yang paling sering pada pasien yang lebih dewasa dan
biasanya terjadi pada waktu pelatihan untuk menggunakan toilet. Onset
pada saat mulai sekolah juga cukup umum (karena akses untuk toilet
yang bebas dan pribadi mungkin sangat terbatas. Penggunaan beberapa
obat-obatan, seperti opiat dan psikotropika, juga diasosiasikan dengan
konstipasi.
Table 126-9. Common Causes of Constipation and
Characteristic Features
Causes
of
Constipation
Clinical Features
Hirschsprung
History: Failure to pass stool in first 24 hr,
disease
abdominal distention, vomiting, symptoms of
enterocolitis
(fever,
foul-smelling
diarrhea,
megacolon). Not associated with large caliber stools
or encopresis
Examination:
Snug
anal
sphincter,
empty,
contracted rectum. May have explosive release of
stool as examiner's finger is withdrawn
Laboratory: Absence of ganglion cells on rectal
suction biopsy specimen, absent relaxation of the
internal sphincter, "transition zone" from narrow
Functional
constipation
Anorectal
colonic
malformations
distal bowel to dilated proximal bowel on barium
enema
History: No history of significant neonatal
constipation, onset at potty training, large caliber
stools, retentive posturing, may have encopresis
Examination: Normal or reduced sphincter tone,
dilated rectal vault, fecal impaction, soiled
underwear, palpable fecal mass in left lower
quadrant
Laboratory: No abnormalities, barium enema would
show dilated distal bowel
and History: Constipation from birth due to abnormal
anatomy
Anal stenosis
Anteriorly
displaced anus
Imperforate anus
Colonic stricture
Multisystem
disease
Muscular
dystrophy
Cystic fibrosis
Diabetes mellitus
Examination: Anorectal abnormalities are shown
easily on physical examination.
Anteriorly displaced anus is found chiefly in
females, with a normal-appearing anus located close
to the posterior fourchette of the vagina
Laboratory: Barium enema shows the anomaly
History: Presence of other symptoms or prior
diagnosis
Examination: Specific abnormalities may be present
that directly relate to the underlying diagnosis
Laboratory: Tests directed at suspected disorder
confirm the diagnosis
Developmental
delay
Celiac disease
Spinal
cord History: History of swelling or exposed neural tissue
abnormalities
in the lower back, history of urinary incontinence
Meningomyelocele
Tethered cord
Examination: Lax sphincter tone due to impaired
innervation,
visible or palpable abnormality of lower back usually
(but not always) present
Sacral teratoma or
lipoma
Drugs
Narcotics
Psychotropics
Laboratory: Bony abnormalities often present on
plain x-ray. MRI of spinal cord reveals characteristic
abnormalities
History: Recent use of drugs known to cause
constipation
Examination:
Features
suggest
functional
constipation
Laboratory: No specific tests available
Untuk beberapa keadaan spesifik konstipasi, tes diagnostik yang terarah
dapat menegakkan diagnosis. Penyakit Hirschsprung ditandai dengan
konstipasi dengan onset neonatal dan dapat didiagnosis dengan
enema(pemasukan cairan ke dalam rectum) barium, yang akan
menunjukkan penyempitan pada daerah aganglionik di usus distal dan
pelebaran pada usus proksimal. Biopsi rectal suction mengkonfirmasi
ketiadaan sel ganglion pada pleksus submukosa rectum dengan
hipertrofi serat saraf. Ketiadaan relaksasi sphincter ani internus dapat
ditunjukkan dengan manometri anorectal. Hipotiroidisme didiagnosis
dengan pemeriksaan dan tes fungsi tiroid. Malformasi anorectal dapat
didiagnosis secara mudah dengan pemeriksaan fisik.
Cystic
fibrosis/fibrosis sistik (meconium ileus) dapat didiagnosis dengan
penentuan klorida keringat (sweat chloride determination) atau analisis
mutasi gen CFTR. Pemeriksaan menunjukkan penurunan tonus sphincter
ani (pelebaran karena passase tinja yang besar). Fecal impaction
(penumbukan feses ukuran besar) umumnya ditemukan, tetapi rectum
kosong dengan ukuran lumen besar dapat ditemukan bila pasien baru
saja BAB.
Evaluasi dan Pengobatan Konstipasi fungsional
Pada mayoritas kasus konstipasi, riwayat penderita konsisten dengan
konstipasi fungsional-tanpa konstipasi neonatal, retensi BAB aktif, dan
BAB yang jarang dan besar. Pada pasien seperti ini, tidak ada tes yang
diperlukan kecuali pemeriksaan fisik. Dokter harus mennekankan pada
orangtua bahwa anak-anak dengan defekasi yang menyakitkan harus
diterapi dengan pelembut tinja/stool softener untuk mengurangi
ketakutan defekasi. Anak harus dilatih untuk duduk di atas toilet
beberapa menit pada saat bangun pagi dan setelah makan. Saat-saat
tersebut adalah waktu dimana colon paling aktif sehingga mudah untuk
melakukan
passase
tinja.
Penggunaan
sistem
pujian/positive
reinforcement ketika anak makan obat dan duduk di atas toilet baik
untuk anak kecil dengan konstipasi. Pelembut tinja yang dipilih harus
tidak adiktif, aman, dan dapat dimakan seperti polyethylene glycol yang
bebas elektrolit, milk of magnesia/ magnesium hidroksida, dan minyak
mineral. Polyethylene glycol aman, efektif, dan dapat diterima dengan
baik oleh anak dan orangtua.
Muntah/Emesis (Vomiting)
Ada beberapa istilah yang harus diklarifikasi yang menyangkut
muntah. Muntah sendiri dapat didefinisikan sebagai ekspulsi/pengeluaran
secara kuat isi gastrointestinal ke esophagus. Refluks gastroesofageal
(GER) merupakan keluarnya/pergerakan isi lambung ke esophagus secara
involunter. Regurgitasi adalah suatu refluks yang mengalir, bergerak
(dribbled) tanpa usaha ke dalam atau keluar mulut atau esofagus.
Regurgitasi tidak berhubungan dengan nyeri fisis dan bayi dengan
regurgitasi seringkali lapar segera setelahnya. Sfingter esophagus bawah
mencegah refluks isi lambung ke esophagus, tetapi pada bayi regurgitasi
terjadi karena refluks gastroesofageal melalui sfingter esophagus bawah
yang inkompeten atau imatur. Regurgitasi seringkali merupakan proses
perkembangan dan sembuh bila telah matur. Regurgitasi harus dibedakan
dengan muntah yang merupakan proses reflex aktif dengan diagnosis
diferensial yang ekstensif.
Muntah merupakan gejala umum yang terjadi pada bayi dan anakanak yang menjadi salah satu kekhawatiran orang tua. Muntah dapat
mengisyaratkan berbagai hal, misalnya merupakan gejala dari suatu
penyakit ringan ataupun fatal, dapat pula merupakan sesuatu yang normal
atau patologis. Beberapa penyebab yang mungkin yakni refluks
gastroesofageal fisiologis, makan berlebihan, ataupun menangis
berlebihan.
Muntah merupakan proses reflex yang sangat terkoordinasi yang
dapat didahului dengan peningkatan salivasi dan dimulai dengan retching
involunter.
Muntah pada anak-anak dapat disebabkan oleh berbagai etiologi,
termasuk yang mengancam nyawa. Pendekatan penelusuran sebab
didasarkan oleh kelompok umur penderita, adanya obstruksi intestinal,
dan gejala-gejala di luar gastrointestinal. Hal lain yang penting juga yakni
penampakan muntah, parahnya penyakit secara umum, dan gejala-gejala
gastrointestinal lainnya. Penurunan diafragma intens dan konstriksi otototot abdomen dengan relaksasi kardiak lambung secara aktif memaksa isi
lambung kembali ke esophagus. Proses tersebut dikoordinasi dalam pusat
muntah dalam medulla yang dipengaruhi secara lansung oleh inervasi
aferen dan secara tidak langsung oleh zona pemicu kemoreseptor dan
pusat-pusat sistem saraf pusat yang lebih tinggi. Banyak proses akut atau
kronik yang dapat menyebabkan muntah (dapat dilihat pada keterangan
berpoin-poin di bawah)
Muntah yang disebabkan oleh obstruksi traktus gastrointestinal
kemungkinan dimediasi oleh saraf aferen visceral usus yang menstimulasi
pusat muntah. Jika obstruksi terjadi di bawah bagian kedua duodenum,
vomitus (muntahab) biasanya ternodai bilus. Emesis juga dapat ternodai
bilus dengan muntahan berulang tanpa adanya obstruksi katika isis
duodenum direflukskan ke lambung. Lesi nonobstruktif traktus
gastrointestinal juga dapat menyebabkan muntah, yakni mencakup
penyakit usus atas, pancreas, hati, atau biliary tree. Kerusakan sistem
saraf pusat ataupun metabolisme dapat juga menyebabkan emesis berat
yang persisten.
Muntah siklik (cyclic vomiting) adalah suatu sindrom dengan
banyak episode muntah yang terbagi dengan interval yang teratur.
Onsetnya (waktu timbulnya gejala) biasanya antara umur 2 dan 5 tahun.
frekuensi episode muntah bervariasi (rata-rata 12 episode per tahun)
dengan setiap episode secara tipikal berlangsung 2-3 hari, dengan 4 atau
lebih kali periode emesis per jam. Pasien dapat mengalami gajala awal
pucat, intoleransi suara/kegaduhan, atau cahaya, nausea, letargi, pusing
atau demam. Hal-hal yang dapat memicu yakni infeksi, stress, dan
excitement. Idiopathic cyclic vomiting dapat merupakan hal yang sama
dengan abdominal migraine, atau dapat merupakan akibat dari perubahan
motilitas intestinal atau mutasi pada DNA mitokondria.
Etiologi muntah pada neonatus usia 0-2 minggu:
• Variasi normal aksi pengeluaran saliva
•
Refluks gastroesofageal
•
Obstruksi intestinal (congenital)
•
Enterokolitis nekrotikan (NEC, necroticans enterocolitis)
• Infeksi (sepsis, meningitis)
Red flags untuk penyebab organic muntah pada neonatus:
• Riwayat hidramnion
•
Muntah persisten
•
Muntah bilus
•
Mengantuk, ketidakinginan untuk menghisap (ASI, susu lainnya)
•
Distensi abdominal
•
Gagal tumbuh
•
Dehidrasi
•
Demam
•
Penundaan ekskresi mekonium
•
Gelombang peristaltic pada perut (kanan ke kiri)
•
Massa yang dapat dipalpasi: meconium ileus (20-30 cm bagian
terakhir ileum kolaps dan terisi butir-butir tinja warna pucat yang di
atasnya terdapat loop yang terdilatasi dengan panjang bervariasi
yang terobstruksi dengan mekonium dengan konsistensi seperti
sirup kental atau lem), pembesaran ginjal, duplikasi usus, kantung
kemih.
• Fontanel yang mengembung
Etiologi muntah pada anak usia 2 minggu-12 bulan:
• Variasi normal
•
Refluks gastroesofageal
•
Obstruksi usus (terutama HPS (hantavirus pulmonary syndrome),
intususepsi, incarcerate hernia).
Gastroenteritis
•
•
Infeksi: sepsis, meningitis, UTI (urinary tract infection), otitis media,
pertussis
•
Overdosis obat: aspirin, teofilin
Etiologi muntah pada anak usia >12 bulan:
• Obstruksi intestinal (incarcerate hernia, intususepsi)
•
Gastroenteritis, refluks esophageal, apendisitis
•
Infeksi: meningitis, UTI, URTI
•
Ketoasidosismetabolik
pada
Adolescent
Medication
Ipecac abuse/bulimia
tear
kurvatura
•
gastroesofageal; emesis intenshematemesis)
Aspirasi isi lambung
•
Gagal tumbuh
(patofisiologi:
minor
jungsi
Rare
Adrenogenital syndrome
Inborn
error
metabolism
• Ketidakseimbangan air dan elektrolit
Manajemen muntah: (didasarkan pada etiologi)
• Pembetulan keseimbangan air dan elektrolit
Reye syndrome
of Hepatitis
Hepatitis
Peptic ulcer
Pancreatitis
Pancreatitis
Subdural hemorrhage
Brain tumor
Brain tumor
Food poisoning
Increased
Increased
intracranial pressure pressure
Metoclopramide
•
Domeperidone
•
Cisapride
•
Bethanechol
Rumination
•
Ondasetron
Renal tubular acidosis
Differential Diagnosis of Emesis During Childhood
Reye syndrome
Brain tumor (increased Peptic ulcer
intracranial pressure)
•
Infant
Child
Pregnancy
• Toksin/obat: aspirin, teofilin, besi, timah
Komplikasi muntah:
• Sindrom
Mallory-Weiss/Mallory-Weiss
retchingsobekan/tear
Infant
Middle ear disease
Middle ear disease
Chemotherapy
Chemotherapy
Achalasia
Cyclic vomiting (migraine)
Child
Adolescent
Gastroenteritis
Gastroenteritis
Gastroenteritis
Gastroesophageal reflux
Systemic infection
GERD
Esophageal stricture
Overfeeding
Gastritis
Systemic infection
Anatomic obstruction
Toxic ingestion
Toxic ingestion
Duodenal
hematoma
Systemic infection
Pertussis syndrome
Gastritis
Pertussis syndrome
Medication
Sinusitis
Otitis media
Reflux (GERD)
Inflammatory
disease
Cyclic
vomiting Biliary colic
(migraine)
Common
Sinusitis
Otitis media
Appendicitis
Migraine
intracranial
Renal colic
Inborn
error
metabolism
bowel
of
GERD = gastroesophageal reflux disease.
Nyeri Abdomen
Nyeri abdomen dapat bersifat akut ataupun kronik.
Diagnosis nyeri abdomen akut merupakan suatu tantangan
mengingat diagnosis diferensialnya yang luas. Selain itu, persepsi dan
toleransi setiap anak terhadap nyeri abdomen berbeda. Oleh Karena itu,
diperlukan pengamatan yang teliti dan mendetail yang seringkali perlu
diulang beberapa kali untuk mendapatkan tanda-tanda yang mengarah
kepada diagnosis. Ada yang memerlukan tindakan operasi segera.
Lokalisasi nyeri juga penting untuk mengarahkan kita pada diagnosis yang
tepat. Pemeriksaan untuk nyeri abdomen akut meliputi riwayat pasien,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan keadaan umum, pemeriksaan abdomen,
pemeriksaan rectum dan pelvis, uji laboratorium, dan radiologi seperti
PFA, CT, dan USG.
Ada 2 jenis serat saraf yang mentransmisikan stimulus nyeri pada
abdomen. Pada kulit dan otot, serat A memediasi nyeri yang tajam dan
terlokalisasi, sedangkan serat C dari visera, peritoneum, dan otot
mentransmisikan nyeri yang tumpul dan sulit/tidak terlokalisasi. Seratserat aferen tersebut memiliki badan-badan sel dalam ganglia radiks
dorsal dan beberapa akson menyebrang ke sisi kontralateral lalu naik ke
medulla, otak tengah, dan thalamus. Nyeri dipersepsikan di korteks girus
postsentralis yang dapat menerima impuls yang berasal dari kedua sisi
tubuh.
Nyeri visera cenderung dialami pada dermatom yang mempersarafi
organ. Stimulus nyeri yang berasal dari hati, pancreas, biliary tree,
lambung, atau usus atas dirasakan pada epigastrium; nyeri dari usus halus
distal, sekum, apendiks, atau kolon proksimal dirasakan pada umbilicus;
dan nyeri dari usus besar distal, traktus urinarius atau organ pelvis
biasanya pada suprapubik. Impuls nyeri parietal menjalar dalam serat C
dari saraf pada dermatom T6-L1; nyeri tersebut cenderung lebih
terlokalisasi dan intens daripada nyeri visceral.
Pada usus, stimulus yang biasa menimbulkan nyeri adalah
tekanan/tension atau regangan. Lesi inflamasi dapat menurunkan ambang
nyeri, tetapi mekanisme yang menghasilkan nyeri inflamasi belum jelas.
Nyeri karena iskemia mungkin disebabkan oleh metabolit jaringan yang
dilepaskan dekan ujung-ujung saraf. Persepsi stimulinyeri tersebut dapat
dimodulasi oleh input dari serebri atau sumber-sumber perifer. Oleh
karena itu, faktor psikologik juga sangat penting.
Kondisi-kondisi yang memerlukan pertolongan medis:
• Gastroenteritis
•
Kontipasi
•
UTI
•
urolitiasis
•
ovarian torsion (melilit) dan kista ovarium
•
kehamilan ektopik
•
penyakit inflamasi pelvis (pelvic inflammatory disease)
•
kolesistitis akut
•
penyakit ulkus
•
pancreatitis
•
inflammatory bowel disease
• purpura Henoch-Schonlein
Kondisi-kondisi yang memerlukan operasi:
• apendisitis
•
intususepsi
•
malrotasi dengan volvulus
•
incarcerated inguinal hernia
•
testicular torsion
•
ingesti benda asing
Nyeri abdomen kronik dapat bersifat organic maupun non-organik.
Kebanyakan (95%) bersifat non-organik/fungsional. Uji diagnostic yang
diperlukan relative mahal sehingga dapat menyebabkan frustasi pada
pasien, orang tua, dan dokter. Berikut ini merupakan data epidemiologi
mengenai nyeri abdomen akut.
• Terjadi pada 10-15% anak usia sekolah
•
Merupakan 2-4% kasus pada kunjungan dokter anak
•
Penyebanya bersifat organic pada 5% kasus (Apley, 1985)
•
75% kasus terjadi pada remaja; 13-15% mengalami nyeri setiap
minggu, dengan 21% kasus yang cukup berat sehingga mempengaruhi
aktivitas (Hyams et al, 1996)
Saat ini: 33% kasus organic dan 67% kasus fungsional
•
Penyebab Organik Nyeri Abdomen Kronik:
• Konstipasi
•
IBD (inflammatory bowel disease)
•
Intoleransi laktosa
•
Infeksi Helicobacter pylori
•
Penyakit ulkus peptikum
•
Infestasi/infeksi
•
Kondisi ginekologik
• Kekerasan fisik dan seksual
Penyakit pediatric fungsional (criteria Rome II): Nyeri abdomen
• Dyspepsia fungsional
•
Irritable bowel syndrome
•
Nyeri abdomen fungsional
•
Abdominal migraine
Penyakit Gastrointestinal Fungsional:
Diagnosis
Gejala Nyeri
Gejala2
Umum
FAP
(functional
abdominal
pain)
12
minggu
IBS
(inflammat
ory bowel
syndrome)
12
minggu
Dyspepsia
fungsional
12
minggu
Abdominal
migraine
3 atau
lebih
episod
e
selama
Hampir
terus
menerus
Diredakan
dengan
defekasi
Perut/abdo
men atas
Paroksism
al
,
di
tengah
(midline)
Tidak
ada
karakteristik
FGID
(functional
gastrointestinal
disease) lain
Kembungbengkak, kram
Heartburn
(dada
seperti
terbakar), rasa
kenyang
(satietas) yang
cepat
timbul,
kembungbengkak
Terjadi interval
yang
tidak
bergejala, sakit
kepala
unilateral,
BAB
Tidak
berhubunga
n
Frekuensi
atau
konsistensi
abnormal,
ada mukus
Tidak
berhubunga
n
Tidak
berhubunga
n
2 jam
atau
lebih
lama
aura, fotofobia,
ada
riwayat
keluarga
Penelusuran riwayat melalui anamnesis harus menyeluruh dan
mendetail, dimulai pertama kali dengan pasien, lalu dilanjutkan dengan
orang tuanya. Untuk melokalisasi area nyeri, digunakan satu jari, bukan
seluruh area tangan. Perlu diperhatikan kualitas, intensitasi, durasi, dan
waktu nyeri.
Penemuan-penemuan yang mengarah pada etiologi organic pada
anak dengan RAP (recurrent abdominal pain):
• Pasien usia <5 tahun
•
•
Gejala-gejala konstitusional: demam, turun berat badan atau
deselerasi pertumbuhan, gejala-gejala sendi
Emesis, terutama dengan noda bilus atau darah
•
Nyeri yang membangunkan anak dari tidur
•
Nyeri yang dapat dilokalisasikan dengan baik jauh dari umbilicus
•
Nyeri rujukan pada punggung, bahu, atau ekstremitas
•
Disuria, hematuria, atau nyeri pada samping-samping torso bawah
•
Riwayat medis keluarga IBD, PUD, dll
•
Penyakit perianal (tags, fisura, fistula)
•
Darah samara tau jelas pada tinja
•
Penyelidikan skrining laboratorium abnormal (LED, leukosit, yang
meningkat, hipoalbuminemia, anemia)
Algoritma untuk manajemen inisial RAP:
Disease
Onset
Location
Referral Quality
Comments
peritonitis
Intussuscepti Acute
on
Urolithiasis
Periumbilical— None
lower
abdomen
Acute, Back
sudden (unilateral)
Urinary tract Acute, Back
infection
sudden
Pemeriksaan Fisis:
Kulit: pucat, kuning (jaundis), ekimosis
abnormal, hidrasi
Kepala, mata, telinga, hidung, tenggorokan:
• Injeksi nasofaringeal, oozing
•
(memar),
pembuluh
Location
Pancreatitis
Acute
Epigastric, left Back
upper
quadrant
Intestinal
obstruction
Acute
Periumbilical— Back
or
lower
gradual abdomen
Appendicitis Acute
Sharp,
Hematuria
intermittent,
cramping
Bladder
Dull to sharp Fever,
costochondral
tenderness,
dysuria,
urinary
frequency
Chronic/ Recurrent Abdominal Pain in Children
Distinguishing Features of Acute Gastrointestinal Tract Pain in
Children
Onset
Groin
darah
Pembesaran tonsil, perdarahan
Disease
Cramping,
Hematochezia
with painless ,
knees
in
periods
pulled-up
position
Referral Quality
Comments
Constant,
Nausea,
sharp, boring emesis,
tenderness
Alternating
cramping
(colic)
and
painless
periods
Periumbilical, Back
or Sharp,
then localized pelvis
if steady
to lower right retrocecal
quadrant;
generalized
with
Distention,
obstipation,
emesis,
increased
bowel sounds
Anorexia,
nausea,
emesis, local
tenderness,
fever
with
peritonitis
Disorder
Characteristics
Key Evaluations
Nonorganic
Recurrent abdominal Nonspecific
pain,
pain
syndrome periumbilical
(functional
abdominal pain)
Irritable
syndrome
often Hx and PE;
indicated
tests
as
bowel Intermittent
cramps, Hx and PE
diarrhea, and constipation
Nonulcer dyspepsia
Peptic ulcer–like symptoms Hx;
without abnormalities on esophagogastroduodeno
evaluation
scopy
of
the
upper
gastrointestinal tract
Gastrointestinal Tract
Chronic constipation Hx of stool
retention, Hx and PE; plain x-ray of
evidence of constipation on abdomen
examination
Disorder
Characteristics
Key Evaluations
Disorder
Lactose intolerance
Symptoms
may
be Trial of lactose-free diet;
associated
with
lactose lactose breath hydrogen
ingestion; bloating, gas, test
cramps, and diarrhea
Parasite
infection Bloating, gas, cramps, and Stool evaluation for O &
(especially Giardia) diarrhea
P;
specific
immunoassays
for
Giardia
Excess fructose
sorbitol ingestion
Peptic ulcer
or Nonspecific
abdominal Large intake of apples,
pain, bloating, gas, and fruit
juice,
or
diarrhea
candy/chewing
gum
sweetened with sorbitol
Burning
or
gnawing Esophagogastroduodeno
epigastric pain; worse on scopy
or
upper
GI
awakening or before meals; contrast x-rays
relieved with antacids
Esophagitis
Epigastric
pain
substernal burning
Meckel's
diverticulum
Periumbilical
or
lower Meckel
scan
abdominal pain; may have enteroclysis
blood in stool
Recurrent
intussusception
Paroxysmal
severe Identify intussusception
cramping abdominal pain; during episode or lead
blood may be present in point
in
intestine
stool with episode
between episodes with
contrast
studies
of
gastrointestinal tract
Characteristics
Gallbladder and Pancreas
Cholelithiasis
RUQ pain, may worsen with Ultrasound of gallbladder
meals
Choledochal cyst
RUQ pain, mass ± elevated Ultrasound or CT of RUQ
bilirubin
Recurrent
pancreatitis
Persistent boring pain, may Serum
amylase
and
radiate to back, vomiting
lipase
±
serum
trypsinogen; ultrasound
or CT of pancreas
Genitourinary Tract
Urinary
infection
tract Dull suprapubic pain, flank Urinalysis
and
urine
pain
culture; renal scan
Hydronephrosis
Unilateral
flank pain
Urolithiasis
Progressive, severe pain: Urinalysis,
flank to inguinal region to IVP, CT
testicle
with Esophagogastroduodeno
scopy
or
Internal, inguinal, or Dull abdomen or abdominal PE, CT of abdominal wall
abdominal
wall wall pain
hernia
Chronic appendicitis Recurrent RLQ pain; often Barium enema, CT
or
appendiceal incorrectly diagnosed, may
mucocele
be rare cause of abdominal
pain
Key Evaluations
abdominal
or Ultrasound of kidneys
ultrasound,
Other genitourinary Suprapubic
or
lower Ultrasound of kidneys
disorders
abdominal
pain; and pelvis; gynecologic
genitourinary symptoms
evaluation
Miscellaneous Causes
Abdominal migraine See text; nausea, family Hx Hx
migraine
Abdominal epilepsy
May have seizure prodrome EEG (may require more
than one study, including
sleep-deprived EEG)
Gilbert syndrome
Mild abdominal pain (causal Serum bilirubin
or coincidental?); slightly
elevated
unconjugated
bilirubin
Familial
Paroxysmal episodes of Hx and PE during an
Mediterranean fever fever, severe abdominal episode, DNA diagnosis
pain, and tenderness with
Disorder
Characteristics
other
evidence
polyserositis
Key Evaluations
of
Sickle cell crisis
Anemia
Hematologic evaluation
Lead poisoning
Vague abdominal pain ± Serum lead level
constipation
Henoch-Schönlein
purpura
Recurrent, severe crampy Hx, PE, urinalysis
abdominal
pain,
occult
blood
in
stool,
characteristic rash, arthritis
Angioneurotic
edema
Swelling of face or airway, Hx,
PE,
upper
crampy pain
gastrointestinal contrast
x-rays,
serum
C1
esterase inhibitor
Acute
intermittent Severe pain precipitated by Spot urine for porphyrins
porphyria
drugs, fasting, or infections
O & P = ova and parasites; Hx = history; PE = physical exam; RUQ = right
upper quadrant; RLQ = right lower quadrant; IVP = intravenous
pyelography; EEG = electroencephalogram; abd = abdominal.
Intoleransi Laktosa
Terminologi yang biasa dipakai:
• Defisiensi lactase
•
Intoleransi laktosa
•
Malabsorpsi laktosa
•
Intoleransi susu
Laktosa merupakan gula dan susu yang merupakan sebuah disakarida.
ASI mengandung 7% laktosa, sedangkan susu sapi mengandung 4%
laktosa. Susu mengandung laktosa yang relative lebih tinggi daripada
produknya, seperti keju dan mentega. Laktosa diabsorpsi oleh mukosa
usus halus.
Lactase terdapat di brushborder
mukosa usus. Lactase memiliki
aktivitas yang berbeda pada segmen usus yang berbeda. Malabsorpsi
laktosa merupakan hal yang normal pada neonatus. Berikut ini adalah
klasifikasi defisiensi lactase:
• Defisiensi lactase kongenital
Penyakit tersebut jarang terjadi dan berhubungan dengan gejala-gejala
yang terjadi pada pajanan terhadap laktosa dalam susu. Kurang dari
50 kasus yang telah dilaporkan di seluruh dunia.
• Defisiensi lactase sekunder, karena: (kerusakan pada mukosa usus
halus dan biasanya bersifat transien, dan membaik seiring dengan
penyembuhan mukosa)
o
Gastroenteritis
o
Alergi susu sapi
o
Giardiasis
o
Malnutrisi
o
Penyakit celiac
o
Infeksi rotavirus
•
Defisiensi lactase primer
Hipolaktasia tipe dewasa primer disebabkan oleh penurunan fisiologis
laktase yang terjadi pada usia tua pada kebanyakan mamalia. Laktase
pada brushborder diekspresikan dengan tingkat rendah selama masa
janin; aktivitasnya meningkat pada masa janin akhir dan memuncak
dari kelahiran sampai 3 tahun, setelah itu menurun secara bertahap
seiring dengan umur. Penurunan laktase tersebut bervariasi antaretnis,
yakni sekitar 15% pada dewasa kulit putih, 40% pada dewasa Asia, dan
85% pada dewasa kulit hitam.
Uji diagnostik untuk mealabsorpsi laktosa : (tidak wajib dan seringkali
perubahan sederhana diet yang mengurangi atau mengeliminasi laktosa
dari diet meredakan gejala)
• Analisis tinja
•
Uji toleransi laktosa
•
Breath hydrogen test
• Aktivitas laktase pada spesimen biopsi mukosa
Pengobatan intoleransi laktosa:
• Diet bebas laktosa, Bayi dapat diberikan formula bebas laktosa
•
Suplementasi laktase
•
Probiotik, misalnya yogurt dengan kultur hidup mengandung
bakteri yang memproduksi enzim laktase sehingga dapat
ditoleransi oleh pasien dengan defisiensi laktase.
Download