Perjuangan Perempuan Nelayan Morodemak Untuk Keluarga dan Masyarakat Nelayan (hasil Penelitian bersama perempuan nelayan Morodemak Oleh : Bibik Nurudduja 1.Pendahuluan Morodemak atau dikenal dengan “Wong Moro” merupakan kelompok masyarakat nelayan yang secara administratif berada di tiga desa. Margolinduk, purworejo dan Morodemak. Ketiga desa teresebut berada di Kecamatan Bonang Kabupaten Demak. Ketiga desa tersebut bisa ditempuh dengan kendaraan umum dari kota Demak kurang lebih satu jam perjalanan. Penelitian ini dilakukan di desa Morodemak. Kegiatan ini merupakan penelitian partisipatory bersama perempuan – perempuan nelayan dengan cara live in /tinggal bersama para perempuan nelayan. Setelah empat bulan dan melakukan setidaknya empat kali melakukan diskusi terfokus, para perempuan nelaya ini membentuk kelompok bersama “Mustika Bahari” Mayoritas penduduk desa Morodemak berprofesi sebagai jurag/anak buah kapal. Pekerjaan laki – laki di desa ini adalah : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. Jurag Jurumudi Jelarus ( pekerjaannya nelayan dan mencari lokasi ikan ) Sarekat kedua ( wakil jurumudi ) Bengkel perahu Menjual minyak dan solar Juragan / bos ( pemilik kapal/ perahu yang tidak dikerjakan sendiri ) Pemilik tambak Ustadz ( mengajar mengaji. Ustadz sering tidak bekerja. Kalau bekerja ya mengajar ) Modin ( pekerjaanya mengurus orang meninggal. Tidak bekerja selain Modin ) Penunggu Tambak Guru Lurah Menganggur Mantri Kesehatan Tukang batu Pekerjaan perempuan : Mengerjakan pekerjaan rumah Bakul seret ( orang yang bertugas menjual ikan setelah kapal merapat ke darat ) 1 Nggerah ( membeli ikan, nggerah / mengawetkan ikan dan menjual ) Berjualan / toko Menjahit Krupuk ( membuat kerupuk dan menjualnya ) Membuat trasi dan menjual trasi Membuat jamu dan menjual jamu Membuat jamu dan menjadi penjual jamu keliling Warung ( menjual makanan mateng ) Guru Pemilik umbul ( pompa air, air di Morodemak harus beli dari pemilik umbul ) Penjual Es batu Juragan Mindring ( penjual keliling bahan – bahan kering misalnya baju ) Pekerjaan sebagai nelayan / jurag dianggap pekerjaan yang paling rendah, karena tidak pernah menolak tenaga kerja ( laki – laki ), tidak membutuhkan modal uang. Pekerjaan ini hanya mengandalkan tenaga saja. Apalagi umumnya para nelayan / jurag tidak mempunyai investasi apa – apa hingga masa tuanya, masa ia tidak mampu lagi bekerja sebagai jurag. Mereka merasa pekerjaan di darat selalu lebih baik dibanding bekerja di laut dengan berbagai resiko alam dan resiko ekonomi. Kutipan catatan harian Anak laki – lakinya menyambut ayahnya ia membawakan topi dan embernya. Sementara si ayah berjalan lunglai. Nampaknya ia sangat capek. Mungkin tidak hayan badannya yang capek, tapi juga pikirannya. Menurut kawan – kawan nelayan miyamg yang tidak mendapat hasil itu sering terjadi. Mereka bekerja membeli solar, menghabiskan waktu tapi yang didapat ketika pulang hanya hutang solar yang akan di bayar jika along ( mendapat banyak hasil ) nanti. Sementara istri dan anak – anaknya berharap suaminya pulang membawa hasil untuk memenuhi kebutuhan hidup yang tidak mungkin ditunda. Kutipan table kegiatan ibu dan anak dalam 24 jam ( hasil FGD ) Pekerjaan istri Pekerjaan suami Jam 02.00 / Bangun 02.00 /03.00 03.00 / 05.00 Memasak untuk suami Menyusui Menyapu dan membersihkan rumah Menyiapkan anak – anak sekolah 09.00 Bangun Miyang Membuat kerupuk Menjual ikan Membuat kolak 2 12.00 Istri bekerja Istirahat Ke kongsi ngandang 16 jam 05.00 sore – 06.00 Ngiteng memperbaiki jaring Suami bekerja 15 jam Dari jenis pekerjaan itu perempuan 16 jam dengan pekerjaan yang bermacam – macam, sementara laki – laki bekerja 15 jam dan pekerjaannya hanya miyang dan ngiteng pekerjaan istri tidak pernah libur hanya berkurang ngadangnya kalau suami tidak miyang. Sementara suami punya banyak waktu libur ketika miyang. Nelayan yang miyang di malam hari hanya bekerja paling banyak 17 hari dalam sebulan ( masa petangan ), sementara nelayan yang bekerja siang hari setiap hari jum’at libur. Dengan catatan tersebut hari libur laki – laki nelayan sangat banyak dibanding pekerjaan perempuan yang bisa dikatakan tidak pernah libur. 2. Identitas dan relasi sosial Perempuan nelayan Morodemak Perempuan dan laki – laki di lingkungan nelayan Morodemak ini dibagun dengan konsep yang berada. Laki – laki dikonsepkan sebagai pemimpin dan pencari nafkah, sementara perempuan menjadi ibu rumah tangga dan sebagian pencari nafkah tambahan. Mayarakat nelayan yang tua – tua berkeyakinan bahwa perempuan sudah sepatutnya makan hasil keringat laki – laki. Kalau suami atau ayahnya penghasilannya kurang, maka perempuan harus nrimo. Untuk menyampaikan konsep tersebut biasanya para perempuan yang di anggap tua bilang “ wong wadon iku enak – enak manul wong lanang “ ( perempuan itu paling enak kalau mengikuti apa yang diinginkan laki – laki ). Bagi masyarakat Morodemak, kepemimpinan laki – laki memang hasil benar – benar diami. Perempuan diperbolehkan njagakke bojone thok ( menghandalkan suaminya saja ) dalam soal mencari uang. Kutipan catatan harian Umi adalah salah seorang gadis yang tidak percaya diri karena dalam usianya 21 tahun belum menikah. Yang menambah rasa rendah dirinya lagi adalah ia merasa tidak berpengalaman. Ia tidak tahu dunia luar. Orang tuanya selalu melarangnya untuk pergi – pergi. Mereka juga tidak menginginkan anak perempuannya bekerja. Carone iku ora kepingin kayane wong wedok.( maksudnya tidak menginginkan hasil kerja ( uang ) perempuan ). Keluarganya berkeyakinan bahwa yang harus mencari nafkah adalah laki – laki. Perempuan tidak perlu bekerja karena itu bukan tanggung jawabnya. Konsekwensinya, ibunya dan semua anak perempuannya harus nrimo ( menerima apa adanya ) dari hasil kerja laki –laki. Sementara Umi sebenarnya ingin maju, ingin bisa mandiri dan bekerja. Pekerjaan yang dia inginkan adalah pekerjaan yang bukan 3 pembantu rumah tangga. Menurutnya menjadi pembantu rumah tangga itu tidak baik karena langsung berada di bawah perintah majikan. Ia menginginkan pekerjaan di luar rumah majikan. Seperti konfeksi atau menjaga toko. Perbedaan pola pengakuan eksistensi terhadap laki – laki dan perempuan di Morodemak memang masih sangat kental. Bagi remaja misalnya. Remaja yang sudah lulus SMP/MTS atau lulus SD bagi yang perempuan langsung mendapatkan pekerjaan. Pekerjaan ini adalah memasak, mencuci momong (menjaga anak kecil ) dan bersih – bersih rumah. Meskipun pekerjaan ini menyita umur dan waktu mereka, remaja putrid kehitung menganggur. Padahal untuk bisa pergi main kerumah teman saja,mereka harus mengatur waktu supaya tidak menganggu “ pekerjaan utama “mereka. Sementara bagi remaja laki – laki, setelah lulus mereka tidak dibebani kewajiban apapun. Mereka dibiarkan blulang – blulang ( lontang – lantung, kumpul sana kumpul sini ). Jika mereka ingin bekerja, lapangan pekerjaan (miyang) terbuka lebar bagi mereka. Tapi biasanya remaja laki – laki hanya mau miyang kalau sudah mau menikah. Bagi sebagian kecil remaja laki – laki, miyang adalah usaha untuk memenuhi kebutuhan sekolah. Misalnya kalau orang tua mereka tidak mampu membayar biaya ujian sekolah, anak MTS akan ikut miyang. Bagennya ( bagian hasil ) akan digunakan untuk membayar uang ujian. Pekerjaan miyang sebenarnya pekerjaan yang dibenci oleh kawula muda Morodemak. Tapi apa boleh buat, hanya, hanya pekerjaan ini yang tidak meminta ijazah dan tidak menuntut pengalaman. Karena itu sebelum akan menikah remaja laki – laki lebih memilih blulang – blulang dibanding berlatih miyang. Kebutuhan akan pencarian jati diri pada remaja laki – laki dan perempuan sebenarnya sama. Tapi karena “doktrin” laki – laki dan perempuan berbeda, proses penerimaan masyarakat pun jauh berbeda. Remaja laki –laki dianggap wajar jika melakukan sesuatu yang sufatnya menunjukan rasa percaya diri dan mengekspose diri. Tapi jika itu dilakukan remaja perempuan, maka akan banyak stempel yang dilebelkan. Nadhir misalnya, meskipun ia punya kewajiban momong, sambil momong ia pergi bermain menemani teman laki – laki atau perempuannya. Prilaku ini di sambut dengan stempel – stempel buruk. “nadhir saiki tambeng” ( nadhir sekarang jadi nakal ). Ataupun ratna misalnya, remaja yang percaya diri ini disebut “lanangan terus” ( sukanya memburu laki – laki terus ). Di Morodemak, gadis yang di anggap baik adalah gadis yang sering tingal di rumah dan tidak suka keluar rumah. Apalagi mereka yang mengekspose diri. Masyarakat akan menganggapnya sebagai gadis yang tidak baik. Jadi remaja putri yang dianggap baik adalah remaja putrid yang selalu dirumah dan haya pergi jauh bersama keluarga / saudaranya. Bagi remaja putri maupun laki – laki, kebutuhan untuk mencari jati diri sebenarnya sama. Remaja laki – laki biasanya dibiarkan menjalani proses pencarian jati diri. Mereka dimaklumi sebagian mereka naik motor kesana kesini, mengecat rambutnya, menyembelih kambing muda untuk mayoran ( semacam pesta kecil, makan – makan ) 4 atau membuat kelompok yang kegitannya hanya kesana kemari. Tapi remaja putri penuh stigma dalam proses pencarian jati diri mereka. Banyak aturan yang diterapkan bagi remaja putri. Tidak boleh pergi jauh, tidak boleh pacaran diluar rumah, tidak boleh banyak bergaul dengan remaja laki – laki dan tidak boleh- tidak yang lain. Karena itu untuk bisa mengikuti sebuah kegiatan, anak gadis nelayan harus mendapat ijin dari orang tua, sebagian harus tidak menanggung tanggung jawab domestiknya, harusnya mendapat ijin dari tunangannya. Karena relasi yang timpang perempuan yang muda sering menjadi obyek pelecehan setiap perempuan yang nampak masih muda selalu menjadi bahan pembicaraan dan sering dilecehkan di kongsi / tempat pelelangan ikan. Kebiasan buruk ini di maklumi oleh lingkungan di kongsi. Perempuan nelayan muda juga rawan menjadi korban Trafficking. Kutipan catatan harian Umi pernah mendapat tawaran pekerjaan sebagai sekretaris. Seorang cina datang dan mencari sekretaris di Morodemak. Saat itu umi ditawari. Umi dan ibunya berpikir, diJakarta sekali buka lowongan pasti calon sekretaris akan datang memenuhi ruangan, tidak masuk akal jika orang mencari sekretaris sampai ke Morodemak. Umi khawatir ia akan dijual. Karena itu tawaran ini ditolaknya. 3. Sistem Perekonomian dan utang piutang Nelayan merupakan kelompok sosial yang nilai tawaranya rendah. Ketika mereka menjual ikan di TPI, uang yang pembayarannya di hutang. Biasanya ikan baru dibayar setelah laku dijual bakul. Jika transaksi kecil biasanya uang dibayar 2-3 hari setelah lelang. Jika nilai transaksinya besar akan dibayar seminggu setelah lelang. Dengan system yang demikian, nelayan tidak akan bisa mencukupi kebutuhannya. Alternativenya hanya hutang. Biasanya pihak kapal akan hutang pada rentenir dengan bunga Rp. 10.000,- persejuta perhari ( 1% perhari ) karena makan keluarga nelayan tidak bisa ditunda. Jika ikan dijual kebakul, timbangannya perkilo mati 2ons. Alasan bakul adalah 2 ons tersebut adalah air. System yang merugikan inilah yang membuat kehidupan nelayan sangat sulit. Kutipan catatan harian…. Pagi ini aku kerumah Siti. Siti tinggal di Morodemak tambak pintu. Rumahnya terbuat dari papan/kayu. Rumah itu berukuran kira –kira 4 x 5 meter. Lantainya tanah dan sekat antar kamar terbuat dari triplek. Sekat triplek ini sudah menggelembung dibeberapa bagian. Atap rumah ini disangga dengan tiyang bambu. Langit – langit rumah juga terbuat dar bambu. Kayu utama yang menyangga atap ( as rumah ) juga terbuat dari bambu. Tetapi bambu ini tidak lagi bulat, karena bambu itu sudah retak dan meleot. 5 Untuk mengindari bocor. Dibawah atap dipasang dipasang beberapa lembar plastik. Plastik ini tidak terkait satu sama lain. Sementara dipojok kamar depan terdapat kursi plastik berwarna merah. Meja plastiknya juga sudah berlubang. Set meja kursi ini dihiasi dengan jemuran baju dipojok ruangan. Beberapa cucian seperti daster dan celana dalam menggantung dipojok ruang. Pojok ruang lain tergantung sebuah sepeda mini. Sepeda mini ini mungkin sudah lama tidak digunakan.seluruh bagian besinya sudah tertutupi oleh karat berwarna merah kecoklatan. Pintu antara ruang depan dan belakang ditutup dengan tirai kain. Jika tertiup angin, akan tampak sampai tempat tidur berupa kasur merah tanpa serprai yang dipasang diatas tanah( tanpa balai ). Lemari – lemari diganjal kayu agar tidak amblas. Tanah yang ditempati Siti ini, menurut pak Maskani, salah seorang perangkat desa, dulunya adalah tanah desa. Tahun 80an pemerintah desa memberinya kesempatan warga untuk menempati tanah ini dengan membayar Rp. 20.000/rumah. Didepan rumah ini membentang tambak yang luas. Tambak – tambak ini dihiasi dengan hutan bakau yang menjaga lingkungan tambak dari abrasi pantai. Antara rumah Siti dengan tambak ini membentang sebuah sungai. Sungai ini digunakan untuk membuang sampah dan tempat buang hajat. Anak – anak sering bermain dan menjaring ikan disungai ini. Diteras rumah nampak dua buah kandang. Kandang ayam dan kandang burung. Ayam ini milik adik Siti yang dibeli dari uang tabungan sekolah. Uang tabungan itu hampir Rp. 40.000,- uang dibelikan ayam, dan sekarang ayam itu sudah bertelur. Adik Siti senang bisa mulai merasakan tabungannya. Siti adalah anak pertama. Ia memeiliki dua adik. Ayahnya bekerja sebagai nelayan. Di rumahnya juga tinggal neneknya. Siti sudah sekolah SD. Ia dulu sekolah Mts tetapi karena sakit sekolahnya tidak lulus. Adiknya ( anak nomor dua ) sekarang sekolah Mts dan sibungsu sekolah SD. Dirumah ni juga tinggal saudara sepupunya yang masih kecil. Saudara ini adalah anak buleknya yang tingggal di Weleri. Tapi sejak bayi anak ini dirawat oleh nenek Siti. Menurut neneknya anak ini tinggal di Morodemak supaya bisa mengaji lebih baik. Di Weleri pengajian anak hanya sekali yaitu ba’da Maghrib. Tetapi di Morodemak anak – anak bisa mengaji sehari 3x, subuh, dzuhur, dan sore. Mungkin ada persoalan lain yang menyebabkan anak ini dirawat neneknya sejak bayi tetapi memang tidak diceritakan.dalam system perekonomian nelayan, janda atau nenek – nenek biasanya memang tinggal bersama keluarga anaknya yang memiliki suami. Mungkin karena memang lautlah yang menjadi tulang punggung perekonomian mereka. Pagi ini Siti harus antri untuk mengambil jatah dari pemerintah. Ibu – ibu yang lain juga melakukan hal yang sama. Biasanya ibu Siti yang mengambil beras jatah, tapi hari ini ia mambantu saudaranya yang tengah hajatan.Siti tampak senang ketika aku datang kerumahnya. Selama Siti antri mengambil beras, aku ditemani neneknya. Nenek ini menceritakan cucu – cucunya termasuk Siti. Sepulang mengambil beras jatah wajah Siti 6 yang dimasker dengan bedak dingin segera dibersihkan. Ia kemudian menggantinya dengan bedak tabur. Beras jatah diberikan 5 Kg setiap KK. Warga harus membayar Rp. 5.000,- ditambah biaya pembangunan sekolah SD jadi Rp. 6.000,-. Sumbangan seribu rupiah ini sebenarnya sukarela. Boleh menyumbang hanya Rp. 500,- Tapi biasanya petugasnya akan marah jika warga menyumbang hanya Rp. 500,-. Sumbangan lainnya adalah pembangunan Mesjid Morodemak. Selain dipotongkan dari lelang di TPI, pembangunan Mesjid ini juga meminta sumbangan dari warga yang ditarik dari rumah kerumah. Sumbangan ini di istilahkan dengan tuku kantheng ( membeli genteng ). Warga bisa memilih berapa jumlah genteng yang dibeli, kalau tidak mampu biasanya warga akan menyumbang satu atau dua genteng x Rp. 5.000,-. Jika mampu warga biasanya menyumbang 5 genteng atau Rp.25.000,-. Perkawinan Dini Untuk Pertahanan Ekonomi. Salah satu siasat pertahanan ekonomi nelayan adalah menikahkan anak gadisnya meskipun masih kecil, supaya tanggung jawab beralih ke suaminya. Kutipan catatan harian Misalnya salah seorang perempuan yang tinggal di belakang gedung SD. Ia droup out sekolah dan tidak lulus SD. Pada usia yang masih sangat muda. Mungkin baru 15 tahun ia sudah dinikahkan oleh orang tuanya. Setelah menikah, ia masih sering terlihat jalan – jalan dengan kawan sebayanya. Mungkin gadis kecil ini masih menginginkan dunia remaja yang bebes, yang biasa memberinya pengalaman bergaul yang lebih luas. Keindahan itu akan segera terputus sebentar lagi, ketika ia hamil dan melahirkan anak pertamanya. Utang piutang Apabila keluarga nelayan kehabisan uang yang dilakukan oleh para istri adalah 1.Gadai Jarik, sarung, sajadah, rukuh, kain bahan kebaya, kerudung, seprei, korden. Emas Elektronika : TV, kipas, hair dyer, magic jar, radio 2.Hutang ke Bakul belanja sehari – hari Tetangga, saudara, teman luar desa Bank thithil Renternir berupa, sembako, uang, emas 3.Jual – jual Piring, gelas, sendok, genteng, baju Bunganya Bank thithil – 50.000,- menjadi 60.000,- -- 2000 x 30 atau 2500 x 24 --- 20 % / perbulan . 7 300.000,- utang 3 hari bunganya 15.000,Utang untuk kapal bunganya 1.000.000 bunganya sendiri 10.000,- --- 30 % / perbulan Kemudian kalau along / mendapatkan banyak hasil digunakan untuk a. Mambayar utang b. Belanja persedian kebutuhan c. Bayar biaya sekolah d. Beli barang untuk tabungan 4. kondisi ekologi dan pengaruhnya terhadap perempuan Kutipan catatan harian Sore ini air laut pasang. Permukaan air laut yang meninggi menyebabkan air naik ke kampong membanjir gang – gang dan rumah penduduk. Bagi pemilik rumah yang lantainya rendah, atau lantainya berupa tanah, sebelum air naik ke rumah, mereka membuang air. Jika yang masuk ke rumah. Pintu rumah di beri batas dari semen untuk membendung air. Jika air tidak terkendali dan masuk kerumah, mereka hanya bisa menyelamtkan barang – barang supaya tidak basah. Tentunya ini menjadi pekerjaan tambahan bagi ibu – ibu dan bapak – bapak dan remaja putri. Bagi anak – anak, rob merupakan saat – saat yang indah. Di depan sekolah SD lapangan sekolah nampak seperti kolam renang. Anak – anak laki – laki bermain sepak bola dalam air. Sebagia terkurap dan main renang – renangan. Sebagian lagi membawa gelas plastik bekas Aqua dan menyiramkan air ke rambutnya, dan permainan air lainnya. Permainan air ini dinikmati anak laki – laki dan perempuan . Mereka tidak peduli bahwa air yang tengah mereka mainkan itu berwarna hitam. Warna hitam berasal dari pasar kotor yang ada disekitar rumah dan sekolah. Disebelah rumah di belakang tumpukan sampah plastik juga ikut tergendang air. Plastik ini berenang – renang mengikuti arus air tidak terkecuali ke tempat anak – anak ini bermain. Anak – anak tampak girang melihat air membanjiri tempat bermain mereka. Dari semua anak yang bermain, tidak nampak orang tua melarang atau setidaknya memberi tahu bahwa air itu kotor dan bisa menyebabkan penyakit. Sepertinya permainan ini di anggap perminan yang sangat wajar. Ketika air naik ke kampung – kampung, ikan – ikan lundu ikut naik. Ikan – ikan ini berenang menari – nari di atas aliran air rob. Sebagian anak kecil meminta ibunya untu menangkap ikan ini. Ikan ini ditangkap dengan cething ( tempat nasi terbuat dari plastic yang biasa diperoleh dari selamatan ). Sebagian anak kecil lainnya hanya melihat – lihat dan memainkan tangan kedalam kolam air. Sebenarnya tidak hanya ikan yang ikut naik ke darat, tapi sampah dan kotoran manusia juga bisa ikut naik mengikuti arus air. 8 Rob biasanya mulai naik pada jam 03.00 atau jam 04.00 dan surut sekitar jam 05.00 atau 06.00. kadang – kadang rob masih berlanjut hingga Isya’. Jika Rob surut, ibu – ibu kemudian membersihkan rumah mereka dari air dan mengepelnya. Mereka juga menyingkirkan barang – barang yang basah terkena air rob. Kutipan catatan harian Jaman dulu nelayan di Morodemak menggunakan alat tangkap yang disebut payang Medi. Disebut payang medi karena ikan – ikannya wedi ( takut ). Payang medi tersebut dari punton. Punton adalah nama tumbuhan, punton ini disebut secara manual menjaring jarring yang disebut payang medi atau jarring punton. Dengan alat tangkap sesederhana apapun, ikan masih banyak. Memancing perhatian ikan tidak perlu dilakukan dengan menggunakan galaksi, tapi cukup menaruh blarak ( daun kelapa ) di laut. Dengan sendirinya ikan akan berkumpul di bawah blarak. Ini terjadi karena ikan – ikan masih banyak. Pada tahun 1978 payang pursin mulai masuk ke Morodemak. Ada berapa orang yang memiliki pursin. Alat tangkap ini alat tangkap modern dan menarik perhatian ikan dengan lampu galaksi. Satu set lampu galaksi terdiri dari empat buah lampu, masing – masing lampu 400 ( empat ratus ) watt. Kapal pursin dijalankan dengan mesin 120 PK dengan electric starter. Sementara mesin untuk menarik payang pursin berukkuran 20 PK atau 16 PK. Di Morodemak lebih bayak mesin 16 PK. Satu kapal akan di ikuti oleh empat perahu galaksi. Pada waktu tertentu kapal akan ngobar. Jika kapal yang di ikutinya ngobro, galaksi tidak bisa bekerja. Hingga saat ini kapal pursin masih menjadi lata tangkap primadona. Kapal – kapal ini dimiliki oleh nelayan Morodemak dan sekitarnya. Hanya sepuluh kapal yang dimliki orang jepara dan beberapa buah kakal dimiliki orang kudus. Di Morodemak dikenal dua musim ikan dalam setahun. Musim 1 April, Mei, Juni. Dan musim II pada bulan September, oktober, November dan Desember. Pada bulan januari, pebruari, Maret dan Jili Agustus adalah musim sepi. Ikan jarang sekali. Tapi musim – musim ikan itu tidak bisa dipastikan mengingat mulai sedikitnya ikan karena alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. Kondisi ini sangat keras mulai tahun 2001. 9