Firman Muh. Arief KONTRIBUSI UMAR BIN KHATTAB DALAM MENGEMBANGKAN HUKUM ISLAM(Analisa Paradigma Berpikir Tasyrinya Serta Berbagai Ijtihad Yang Dilakukan) Abstrak Berbagai ijtihad yang dilakukan,baik itu bersifat individu maupun kolektif akan selalu dijadikan bahan pertimbangan dalam merumuskan hukum fiqh. Setelah Rasulullah Saw. meninggal dunia, kalangan sahabat yang telah menempa ilmu-ilmu keislaman selamakebersamaannya dengan Rasulullah Saw. patut dijadikan ijtihad dan pendapatnya sebagai bahan pertimbangan dalam pengembangan hukum fiqh terutama pada beberapa perkara yang petunjuk syar’inya bersifat umum atau tidak ada dalam nas al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw.. Salah satu sahabat Nabi saw. saw., Umar bin Khattab ra tanpa menafikan keutamaan sahabat lainnya yang mana pendapat dan ijtihadnya dijadikan bahan pertimbangan dalam pengembangan hukum fiqh dan dianggap sebagai imam al-mujtahidin (penghulunya kalangan orang-orang yang berijtihad). Kata kunci: Sekilas tentang Umar bin Khattab, Kebersamaan Umar dengan Rasulullah SAW, Kebersamaan Umar dengan Abu Bakr ra, Masa Kepemimpinan Umar sebagai Amir al-Mukminin. A. Pendahuluan Islam dipandang sebagai agama yang mempunyai sistem ajaran keagamaan yang lengkap. Islam memberi tempat pada dua jenis penghayatan keagamaan. Pertama, eksoterik(zahir) yaitu penghayatan keagamaan yang berorientasi pada formalitas fiqhiyyah atau pada norma-norma dan aturan-aturan keagamaan yang ketat. Kedua, esoterik (batin) yaitu penghayatan yang berorientasi dan menitikberatkan pada inti keberagaman dan tujuan beragama. Kedua aspek penghayatan keagamaan harus berada pada prnsip ekuilibrium (tawazun) dalam Islam dan tidak boleh ada 86 tekanan yang berlebihan kepada salah satunya yang akibatnya akan menghasilkan kepincangan.1 Penghayatan keagamaan yang berorientasi pada beragam norma dan aturan harus didasari dengan pendalaman fiqh sebagai ilmu pengetahuan yang tidak mudah diketahui oleh masyarakat umum.2 Untuk mengetahui fiqh atau ilmu fiqh hanya dapat diketahui oleh orang yang mempunyai ilmu agama yang mendalam sehingga mereka dapat membahas dengan meneliti perkara-perkara besar dalam masalah fiqh. Sebelum lahirnya mazhab, fiqh ditangani para sahabat dan tabi’in karena saat itu belum berpegang pada suatu mazhab dari seorang mujtahid.3 Pemuka-pemuka mazhab fiqh dalam mengembangkan rumusan hukum Islam biasanya melandaskan rumusan suatu perkara dengan pernyataan atau tindakan dari para sahabat Nabi saw. untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan hukum Islam. Bahkan kaidah-kaidah yang merupakan sarana untuk mendapatkan suatu hukum, perbuatan yang diperoleh dengan jalan mengumpulkan dalil secara terinci sudah ada meski belum tersistematis dalam bidang ilmu tertentu.4 Salah satu sahabat Nabi saw. yaitu Umar bin Khattab ra bukan hanya dikenal sebagai mujtahid biasa atau ahli fiqh yang mempunyai penghayatan keagamaan, pemahaman dan tindakan yang berkaitan dengan syara’ atau syariat Islam akan tetapi kondisi hidup yang dijalaninya memang menjadikan Umar dengan karakter kepribadiannya sebagai kepribadian yang unik dan perannya yang besar dalam bidang fiqh, syariat dan agama Islam. Keberadaan Umar sejak bersentuhan dengan Islam telah menempatkan dirinya dalam posisi yang penting dalam sejarah perkembangan Islam baik secara politis maupun dari sisi hukum Islam yang mana pendapat, 1 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama,(Cet. II; Bandung: Remaja RosdaKarya, 2002), h. 200. 2 Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Dep. Agama RI, Pengantar Ilmu Fiqh (Jakarta: DITBINPERTAIS, 1981), h. 19. 3 Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Cet. III; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996), h. 8-9 4 Ibid., h. 21-23. 87 ijtihadnya dan keterlibatannya dalam berbagai aspek kehidupan bersama Rasulullah dan kalangan sahabat dan terlebih lagi ketika memegang kekuasaan sebagai khalifah kedua pasca Abu Bakar ra telah banyak memberikan kontribusi yang selalu akan dijadikan bahan pertimbangan yang mewarnai dinamisasi perumusan hukum Islam.5 Dengan kepribadian kuat yang dimiliki Umar bin Khattab ra telah menakdirkan dirinya sebagai seorang pemimpin yang diteladani dan bukan sebagai pasukan yang mentaati panglimanya dan dengan pemaknaan inilah yang mendorong Umar dalam berbagai kesempatan terkadang menyelisihi Rasululah dengan pendapatnya yang punya warna tersendiri.6 Tentunya untuk mengetahui besarnya kontribusi Umar bin Khattab ra bukan hanya dalam satu aspek saja tetapi meliputi beberapa aspekkehidupan, utamanya yang berkenaan dengan sumbangsih Umar bin Khattab ra dalam pengembangan hukum Islam pada khususnya dan kemajuan Islam ke depan pada umumnya. Meski dalam hal ini kehidupan Umar bin Khattab ra masa jahiliyyah atau sebelum memeluk Islam tidak begitu diperhitungkan namun tentu kehidupan Umar pada masa jahiliyyah ada beberapa kemungkinan hal-hal yang melatarbelakangi dan ikut berpengaruh, utamanya dalam pembentukan kepribadian dalam lingkungan keluarganya dan masyarakat sekitarnya. Sebagai dasar pertimbangan yang bisa dilihat bahwa Umar di masa jahiliyyah selalu berupaya memburu pengetahuan sejak mudanya dan senantiasa memikirkan nasib masyarakatnya dan usaha apa yang akan dapat memperbaiki keadaan mereka. Kondisi inilah yang mengakibatkan dirinya menjadi bangga dan fanatik pada pendapatnya sendiri tentang tujuan yang dicapainya. Sikap dan ketegarannya sehingga dengan fanatiknya ia berlaku begitu sewenang-wenang. Kebiasaannya mempertahankan pendapat dengan tangan besi dan dengan ketajaman lidahnya. Tetapi yang 5 Muhammad Muhammad al-Madani, Nazarat fi Fiqhi al-Faruq Umar bin Khattab, (Cairo: Kementerian Waqaf Majelis A’la Urusan Islam, 2002), h. 7 6 Muhammad Muhammad al-Madani, Nazarat fi Fiqhi al-Faruq Umar bin Khattab, (Cairo: Kementerian Waqaf Majelis A’la Urusan Islam, 2002), h. 9 88 demikian bukan tidak mungkin akan mengubah pendapat orang lain yang dihadapinya untuk menjadi bukti kuat dalam pembelaannya dan untuk mematahkan alasan lawan.7Sungguhpun begitu dan disamping itu semua sebenarnya Umar orang yang berhati lembut, berperasaan halus dalam arti keadilan. Salah satu bukti kelembutannya tatkala adiknya hendak melindungi suaminya dipukulnya sekeras-kerasnya. Setelah dilihatnya adiknya sampai berdarah, ia menyesal dan menyadari kesalahannya sendiri. Kelembutan demikian sering kita jumpai pada orang-orang yang kuat dan bertangan besi tatkala mereka sudah melampaui batas dalam berpegang pada kekuatan.8 Jati diri Umar yang sangat menonjol tentunya sangat berpengaruh terhadap kehidupan intelektualnya. Hal ini terlihat dampaknya dalam administrasi pemerintahan dan termasuk sebagai sahabat yang paling banyak berijtihad serta berusaha semaksimal mungkin memecahkan masalah hukum agama menurut pertimbangan akal.9 Kebiasaannya dilakukannya sejak masa Rasulullah dan masa Abu Bakar dan dianggap sebagai orang pertama yang berijtihad dalam kekhilafahannya.10Berikut beberapa ijtihad Umar di masa Rasulullah, masa Abu Bakr dan masa kepemimpinannya: B. Kebersamaan Umar dengan Rasulullah saw Setiap ada masalah fiqh, Umar selalu punya kecenderungan membuat suatu ketetapan hukum yang menjadi pegangan orangorang sezamannya kemudian menjadi pegangan generasi sesudahnya. Yang lebih memperkuat pendapatnya karena Umar dalam berpendapat mengenyampingkan kepentingan perorangan dan dan pertimbangan pribadi. Bekerja semata-mata demi Allah, 7 Muhammad Husaen Haekal, al-Faruq Umar, diterjemahkan oleh Ali Audah dengan judul: Umar bin Khattab, Sebuah Telaah Mendalam tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatan masa itu, (Cet. II; Jakarta: Litera AntarNusa, 2000), h. 16 8 Ibid., h. 29. 9 Ibid., h. xlv. 10 Muhammad Muhammad al-Madani, Op. Cit., h. 10-11. 89 demi agama Allah dan demi kebaikan kaum Muslimin yang tak ada tara bandingannya di kalangan pemimpin kaum Muslimin sesudahnya.11 Tidak sedikit peranan Umar dalam berijtihad dengan pikiran, sebagiannya ada yang diperkuat dengan Qur’an dan sebagian lagi disetujui Rasulullah sehingga begitu kagum dan bertambah kecintaanya kepada sahabat-Nya.12 Periwayatan tentang pengorbanan Umar bin Khattab demi kepentingan orang lain adalah suatu kebenaran yang tidak bisa dipungkiri dan merupakan teladan yang luar biasa dalam sejarah, tentu posisinya sudah lebih dekat ke tingkat para Nabi saw.dan rasul daripada tingkat orang-orang yang besar. Hal ini bisa dilihat dari sabda Rasulullah saw yang mengakui begitu besarnya peran dan andil Umar bin Khattab, dalam Musnad Ahmad diriwayatkan oleh Uqbah bin Amir, Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Sekiranya sesudahku akan ada seorang Nabi saw. tentulah dia Umar bin Khattab.”13 Pada masa Rasulullah saw, kaum muslimin kadang menanyakan segala hal kepada kepada Nabi saw. Terkadang Nabi saw. memutuskan dengan pendapatnya sendiri yang tidak didasarkan dengan wahyu, maka dalam hal ini Nabi saw. memberikan informasi yang sebenarnya bahwa itulah pendapatnya. Namun jika Qur’an turun dan berbeda dengan yang sudah diputuskan, maka yang sudah ada itu segera ditinggalkan dan yang dipakai yang sudah diturunkan dalam al-Qur’an. Tetapi ijtihad Rasulullah yang bertentangan dengan wahyu sedikit sekali.14 Dalam perkara tawanan perang Badr yang dimusyawarahkan Rasulullah dengan kalangan sahabatnya, dimana tawanan menginginkan penebusan dan kesediaannya untuk membayar mahal. Perbedaan pendapat Abu Bakr yang menerima 11 Muhammad Husaen Haekal, Op. Cit., h. 742. 12 Haidar Bammate, Kontribusi Intelektual Muslim terhadap Peradaban Dunia, (Cet. I; Jakarta: Darl Falah, 2000), h. 17. 13 Ahmad ibnu Hanbal, Musnad Ahmad, (Beirut: Dar al-Fikri, t.th.), h. 150. 14 Syaifuddin Abu Ali ibn Abi Ali al-Amidi, al-Ihkam fi Usul al-Ahkam li Ibni Hazm, Jilid IV, (Kairo: Muassasah al-Nahdah, t.th.), h. 42-43. 90 penebusan sementara Umar menolak namun keputusan yang diambil adalah tebusan diterima dan tawanan dillepaskan sampai turunnya wahyu dalam surah al-Anfal ayat 67-69 yang realitanya menguatkan pendapat Umarbin Khattab sehingga Rasulullah saw setelah turunnya ayat tersebut berkata: “Kalau azab menimpa kita, yang akan selamat hanya Umar.” Keadaan ini seakan-akan memberikan isyarat betapa pendapat Umar dengan analisanya yang baik telah mendahului wahyu yang diturunkan dan kemampuannya menafsirkan apa yang tersirat.15 C. Kebersamaan dengan Abu Bakar ra Setelah Rasulullah berpulang ke rahmatullah tidak ada jalan lain kaum Muslimin harus memilih jalan kias dalam menghadapi peristiwa-peristiwa yang tidak terdapat dalam nas.16Berijtihad adalah suatu keharusan dalam menghadapi persoalan-persoalan baru yang selalu timbul dan suasana kehidupan dalam kabilahkabilah yang dihadapi oleh sahabat-sahabat Nabi saw. beraneka ragam dan berbeda dengan suasana kehidupan mereka.17 Dalam hal menangani kasus beberapa kabilah dekat Madinah yang menolak menunaikan zakat, Abu Bakr memutuskan memeranginya dan sebelumnya para sahabat telah dimintai pendapatnya. Sebagian ada yang menentangnya termasuk Umar karena berpendapat tidak boleh memerangi orang yang sudah beriman kepada Allah dan percaya kepada Rasulullah. Namun Abu Bakr bertekad tetap memeranginya dengan alasan memerangi siapa saja yang berupaya memisahkan salat dengan zakat. Sehingga ijtihad Abu Bakr akhirnya dibenarkan Umar dan berkeyakinan bahwa pendapat sahabatnya adalah campur tangan Allah swt. dalam melapangkan dada sahabatnya Abu Bakr.18 15 Muhammad Muhammad al-Madani, Op. Cit., h. 27. 16 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II, (Cet. V; Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), h. 252-257. 17 Syaifuddin Abu Ali ibn Abi Ali al-Amidi, al-Ihkam fi Usul al-Ahkam li Ibni Hazm, Jilid IV, (Kairo: Muassasah al-Nahdah, t.th.), h. 118-119. 18 Muhammad al-Madani, Op. Cit., h. 35. 91 Ijtihad Umar untuk menghimpun al-Qur’an pada masa kepemimpinan sahabatnya Abu Bakr tidak lain adalah peperangan yang terjadi di Yamamah sudah semakin memuncak dan melibatkan banyaknya penghapal al-Qur’an yang terbunuh. Dialog panjang antara Abu Bakr sehingga Allah membukakan hatinya untuk menerima pendapat Umar meski pengumpulan al-Qur’an bagi Abu Bakr tidak pernah dilaksanakan masa Rasulullah namun demi untuk kemaslahatan agama dan terjaganya keutuhan wahyu al-Qur’an meskipun belum tersusun secara teratur sebagaimana dalam bentuknya sekarang ini.19 Pendapat Umar yang disampaikan kepada Abu Bakr disampaikannya berulangkali sehingga Abu Bakr menerimanya dengan alasan Umar adanya kekhawatiran banyaknya ayat-ayat alQur’an yang hilang yang disebabkan oleh kematian sahabatsahabat yang hapal al-Qur’an di peperangan Yamamah. Tindakan Umar yang ambisius supaya Abu Bakr sebagai khalifah menerima pendapatnya untuk mengumpulkan al-Qur’an adalah kontribusi terbesarnya bagi umat Islam sepanjang masa yang tidak akan pernah terlupakan. Penyampaian hasil musyawarah dengan Umar diteruskan ke Zaid bin Tsabit meski pada awal dengan rasa keberatannya karena tidak pernah dilakukan masa Nabi saw.. Namun alasan maslahat umat Islam dari generasi ke generasi, Allah membukakan pintu hati Zaid sehingga dipanggillah sahabat-sahabat yang hapal alQur’an dan mengumpulkan tulisan-tulisan yang terdapat pada tulang-tulang, kulit, pelepah kurma dan lain-lain, sekalipun bagi beliau hapal al-Qur’an seluruhnya.20 D. Masa Kepemimpinan sebagai Amirul Mukminin. Umar bin Khattab ra menggantikan posisi Abu Bakar ra dan berkuasa dari tahun 634-644 M. Pada masa kepemimpinan Umar bin Khattab ra sebagai khalifah kedua setelah Abu Bakar ra, beliau 19 Amir Syarifuddin, Op. Cit., h. 253. 20 Nazar Bakry, Op. Cit.,h. 35. 92 lebih menyukai disebut sebagai amirul mukminin atau pemimpin mereka yang beriman ketimbang sebutan khalifah. Bagaimanapun dia tetap dianggap sebagai khalifah kedua dari khulafaurrasyidin atau khalifah yang mendapat petunjuk. Tidak ada keterangan sebutan khulafaurrasyidin itu sudah dipakai sejak masa itu ataukah menjadi sebutan para sejarawan belaka.21 Pengangkatannya sebagai khalifah adalah hasil penunjukan Abu Bakar sebelum wafat, meskipun setelah itu harus mendapatkan persetujuan dari para sahabat senior. Dalam pidato inaugurasinya sebagai amirul mukminin dia menyatakan dengan tekadnya untuk tetap memerintah dengan bersih, jujur, adil serta tidak akan melakukan nepotisme dalam masa pemerintahannya. Kekuasaan yang didapatkan dengan penunjukan Abu bakar terhadapnya dan kepemimpinan selanjutnya, Umar tidak melakukan hal yang sama. Umar menyerahkan pemilihan kepada majelis pemilihan yang lebih bebas. Umar dalam masa kepemimpinannya tetap minta dikoreksi dan ditegur manakala melanggar janji. Kepemimpinannya dikenal dengan sangat tegas, jujur danadil meskipun tetap rendah hati dalam penampilannya sehingga banyak diceritakan sebagai orang yang sangat sederhana.22 Semakin meluasnya wilayah kekuasaan Islam pada masanya berpengaruh pada pendapatan negara dan mengalami peningkatan yang signifikan. Perhatiannya yang serius supaya terkelola dengan baik diperlukan pengelolaannya yang bermanfaat secara benar, efektif dan efisien. Pengambilan keputusan untuk tidak menghabiskan harta Baitul Mal tetapi dikeluarkan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan yang ada, bahkan diantaranya disediakan dana cadangan. Pembangunan dan pengembangan institusi Baitul Mal yang dilengkapi dengan sistem administrasi yang tertata baik dan rapi merupakan kontribusi Khalifah Umar kepada dunia Islam dan kaum Muslimin.23 21 Badri Yatim, Sejarah RajaGrafindoPersada, 1994), h. 37 Peradaban Islam, (Jakarta: 22 Abu Su’ud, Islamologi, Sejarah, Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia, (Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 2003), h. 57. 23 Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Cet. IV; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010), h. 59. 93 Al-Faruq Umar yakin sekali bahwa Islam adalah jiwa dan akidah. Dalam mengambil keputusan jika menghadapi sesuatu mencari petunjuk dengan jiwa. Dengan iman yang begitu kuat dan benar-benar menjalankan ajaran-ajaran Rasulullah, Umar berani melakukan ijtihad kendati secara lahir bertentangan dengan nas (ayat). Jika terdapat nas yang harus diterapkan tetapi tidak sejalan dengan kondisi masyarakat, maka nas tidak diterapkan dan kalau kondisi masyarakat itu memerlukan penafsiran nas maka nas itu yang ditafsirkan. Keduanya dilakukan dengan hukum yang berhubungan dengan kondisi masyarakat itu dan sekaligus cocok dengan jiwa prinsip-prinsip dan ajaran Islam yang murni.24 Sebagaimana ijtihad Umar yang melarang pemberian zakat kepada muallaf karena Allahswt. sudah memperkuat Islam dan keberadaan muallaf tidak lagi diperlukan. Ijtihad Umar dianggap positif dalam menerapkan ketentuan al-Qur’an. Jika keperluan tersebut tidak ada lagi maka ketentuan nas pun tidak berlaku. Dan ini dianggap sebagai jiwa nas dan penerapannya berlaku seperti yang sudah dilakukan Umar.25 Ada ijtihad Umar mengenai nas Qur’an yang berbeda dengan sekarang yaitu soal talak tiga dengan sekali ucapan. Kalau seorang suami berkata kepada isterinya: Saya jatuhkan talak tiga kepadamu, talak demikian tetap berlaku sekali. Sebab talak itu dengan perbuatan dan bukan dengan perkataan. Maslahat yang dilihat dalam hal ini dengan adanya kemungkinan besar kaum Muslimin menceraikan isteri pada masa Umar tak kenal rasa kasihan sesudah mereka diceraikan. Apalagi tawanan perang Irak dan Syam begitu banyak menggoda penduduk Madinah dan Semenanjung sehingga ada kecenderungan cepat-cepat menceraikan isteri secara berlebihan karena hendak memperturutkan nafsu. Adapun sebab-sebab lain pada masa permulaan dengan mempermainkan talak tiga secara sewenang-wenang dan sangat 24 Muhammad Muhammad al-Madani, Op. Cit., h. 45. 25 Muhammad Husaen Haekal, al-Faruq Umar, diterjemahkan oleh Ali Audah dengan judul: Umar bin Khattab, Sebuah Telaah Mendalam tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatan masa itu, (Cet. II; Jakarta: Litera AntarNusa, 2000), h. 744. 94 menyakiti. Dengan demikian laki-laki dapat kawin lagi dengan perempuan lain, Arab atau bukan Arab, di luar tawanan-tawanan perang dengan syarat agar ia menceraikan isteri pertamanya dengan talak tiga dan tidak boleh rujuk sebelum bekas isterinya kawin dengan laki-laki lain. Kalaupun terjadi rujuk akan menimbulkan gejolak dalam rumah tangga dengan akibat tidak akan membawa ketenteraman hidup rumah tangga. Sebab-sebab inilah yang telah mendorong Umar mengeluarkan fatwanya dan memberlakukan talak tiga dengan sekali ucapanseolah itu talak tiga yang masing-masing terpisah. Umar berpandangan jika orang sudah begitu meremehkan akad pernikahannya lalu menggabungkan talak tiga menjadi satu, orang yang telah berbuat sewenang-wenang harus memikul akibat perbuatannya. Ijtihad ini dianggap menggunakan akal pikiran meski kemudian tidak sedikit ahli fiqh yang menentang pendapat Umar. Namun Umar dalam memberikan fatwa bukan dengan pemaksaan meskipun Umar memegang kekuasaan sebagai amirul mukminin.26 Kebijakan Umar yang lain sebagai amirul mukminin adalah meneruskan kebiasaan Abu Bakr dan melarang orang menggunakan hadis Rasulullah supaya tidak terjadi perbedaan pendapat. Tindakan Umar yang begitu keras sehingga ada tiga sahabat besar yang dipenjarakannya yaitu Ibnu Mas’ud, Abu adDarda’ dan Abu Mas’ud al-Ansari sebab mereka terlalu banyak membawa hadis Rasulullah kendati sudah begitu berhati-hati mengutip sumbernya. Karena pengaruh perintah Umar ini pengutipan hadis menjadi sedikit sekali. Sunggupun demikian orang masih saja mengutip hadis-hadis jika menyangkut beberapa analogi, yang sebelum itu Umar belum melarang orang meriwayatkan hadis. Yang terpenting dengan soal analogi ini ialah menyangkut beberapa masalah hukum pengadilan. Umar tak dapat melarang orang mengacu kepada hadis atau Sunnah dalam perkara hukum seperti larangannya mengenai riwayat hadis. Umar khawatir periwayatan hadis akan semakin banyak karena sebab demikian dan didorong oleh kepentingan pribadi, sebagian orang akan 26 Ibid., h. 747. 95 membuat-buat hadis dan direkayasa untuk memperkuat keabsahannya. Dengan demikian akan banyak hadis palsu dan itulah sebabnya ia menuliskan hadis dan sunnah itu supaya orang tidak lagi menambah-nambah di luar itu, seperti yang pernah disarankannya kepada Abu Bakr sebelum itu ketika untuk mengumpulkan al-Qur’an.27 Ijtihad Umar untuk menghimpun hadis dan akhirnya membatalkan niatnya serta melarangnya, bisa dianggap suatu ijtihad yang sepenuhnya dapat diterima, terlepas dari sepakat atau tidak sepakatnya dengan pendapatnya Umar. Dengan adanya ijtihad Umar seharusnya hati kaum muslimin akan merasa tenang dan Umar bin Khattab bisa dianggap sebagai “bapak para mujtahid.” Ijtihad ini sama sekali tidak bermaksud spekulasi karena Umar tidak menyukai hal tersebut sebab Umar tahu benar bahwa ijtihad demikian dapat menjurus pada perselisihan, hal itu memang sangat dibencinya.28 Pemberlakuan tanah-tanah taklukan oleh Khalifah Umar tidak dibagi-bagikan kepada kaum Muslimin namun tetap dibiarkan tanah tersebut berada pada pemiliknya dengan syarat membayar jizyah dan kharaj. Umar beralasan bahwa penaklukan yang dilakukan pada masa pemerintahannya yang meliputi tanah yang demikian luas sehingga bila dibagi-bagikan dikhawatirkan akan mengarah kepada praktik tuan tanah.29 Salah satu tindakan Umar ketika ekspansi perluasan wilayah Islam dan penaklukan Baitul Makdis adalah ketika Umar mengunjungi Baitul Makdis dan saat tiba waktu salat beliau diminta untuk salat di dalam Gereja oleh seorang Uskup dengan alasan bahwa Gereja juga rumah Tuhan. Tindakan Umar menolak dengan alasan yang di waktu-waktu yang akan datang, Umar 27 Muhammad Husaen Haekal, al-Faruq Umar, diterjemahkan oleh Ali Audah dengan judul: Umar bin Khattab, Sebuah Telaah Mendalam tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatan masa itu, (Cet. II; Jakarta: Litera AntarNusa, 2000), h 752. 28 Ibid., h 756. 29 Irfan Mahmud Ra’na, Ekonomi Pemerintahan Umar bin Khattab, (Cet. III; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), h. 34. 96 khawatir jejaknya akan diikuti oleh kaum Muslimin, karena mereka menganggap apa yang dilakukannya Amir al-Mukminin sebagai teladan yang baik (sunnah mustahabbah). Sebab jika sampai ini dilakukannya tentu akan berpengaruh pada dikeluarkannya orangorang Kristiani dari Gereja dan jelas menyalahi perjanjian yang ada. Maka Umar melakukan salat di tempat lain di dekat Batu Suci di reruntuhan Kuil Sulaiman.30 Ijtihad Umar dalam beberapa perkara berkenaan dengan hal-hal yang penting, terutama yang berkenaan dengan kepentingan negara. Di balik ijtihadnya sekitas legislasi (perundang-undangan) dan fiqh sudah banyak diungkapkan dalam kitab-kitab fatwa dan dijadikan pegangan utama oleh keempat mazhab dan kalangan ahli fiqh Sunni dan yang lain.31 E. Kesimpulan Sejumlah peristiwa yang menyangkut berbagai aspek kehidupan harus sejalan dengan ajaran Islam tentang pemberdayaan akal pikiran dengan tetap berpegang teguh pada alQur’an dan Sunnah Nabi saw., dengan konsep dan pembaharuan hukum Islam akan selalu ada. Berbagai peristiwa dan lebih-lebih pada kasus yang penunjukan nasnya tidak tegas memerlukan penyelesaian yang seksama. Oleh karena itu ijtihad menjadi sangat penting karena umat Islam dituntut untuk keluar dari kemelut berbagai persoalan yang memang penanganannya harus dengan ijtihad. Umar bin Khattab dianggap sebagai Imamnya Kalangan Mujtahid yang pendapat, sumbangsih pemikiran hukumnya, tindakan dan keteladanannya akan selalu menjadi inspirasi seluruh mujtahid-mujtahid yang lain untuk dijadikan sebagai bahan 30 Muhammad Husaen Haekal, Op. Cit., h. 316. 31 Muhammad Hibban al-Bisti, Tarikh Sahabah al-lazina ruwiya anhum al-Ahbar, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1988 M/1408 H), h. 65. Lihat, Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ala al-Mazahib al-Arba’ah I-II, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1410 H/1990 M), h. 45. 97 pertimbangan hukum. Beberapa pendapat Umar bin Khattab ada yang mendahului turunnya wahyu dan justru malah menguatkan pendapatnya yang sejalan dengan pemaknaan ayat yang diturunkan menunjukkan bahwa kualitas pendapat Umar tidak bisa dianggap sepele apalagi dalam beberapa hal Rasululullah menunjukkan kekagumannya. Dalam beberapa hal ada ijtihadnya yang meskipun tanpa dikuatkan oleh wahyu dan hanya dilandaskan oleh pemberdayaan intelektualnyadengan selalu mengedepankan ijtihad berbasis maslahat Islam sebagai agama dan untuk kaum Muslimin pada umumnya selalu mendapatkan tempat tersendiri dalam sejarah perkembangan hukum Islam yang ijtihadnya akan selalu dijadikan sebagai bahan pertimbangan. Namun adapula ijtihadnya dalam beberapa perkara fiqh yang mengundang kontroversi serta berpengaruh pada banyaknya yang tidak sepakat dari kalangan ulama maka dalam hal ini tidak lepas dari kapasitas amirul mukminin Umar bin Khattab sebagai seorang manusia yang terkadang ijtihadnya mungkin dianggap keliru dalam analisa hukumnya. Meskipun demikian akan tetap menjadi suatu pembelajaran dalam merumuskan konsep hukum yang akan selalu memperkaya khazanah hukum Islam Dilihat dari fungsinya ijtihad dianggap adalah penyalur kreatifitas pribadi atau kelompok dalam merespon peristiwa yang dihadapi sesuai dengan pengalaman mereka. Apalagi ijtihad memberikan penafsiran kembali atas perundang-undangan yang sifatnya insidental sesuai dengan syarat yang berlaku pada masa denga tidak melanggar prinsip-prinsip umum dan tujuan-tujuan syari’at yang merupakan aturan-aturan pengarah dalam kehidupan. DAFTAR PUSTAKA Abu Su’ud, Islamologi, Sejarah, Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia, Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 2003. Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Cet. IV; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010. 98 Ahmad ibnu Hanbal, Musnad Ahmad, Beirut: Dar al-Fikri, t.th. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II, Cet. V; Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009. Atang Abdul Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Cet. IX; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007. Badri Yatim, Sejarah Peradaban RajaGrafindoPersada, 1994. Islam, Jakarta: Dadang Kahmad, Sosiologi Agama,Cet. II; Bandung: Remaja RosdaKarya, 2002. Haidar Bammate, Kontribusi Intelektual Muslim terhadap Peradaban Dunia, Cet. I; Jakarta: Darl Falah, 2000. Irfan Mahmud Ra’na, Ekonomi Pemerintahan Umar bin Khattab, Cet. III; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997. Muhammad Hibban al-Bisti, Tarikh Sahabah al-lazina ruwiya anhum al-Ahbar, (Beirut: Dar al-Kutub alIlmiyyah, 1988 M/1408 H), h. 65. Lihat, Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ala alMazahib al-Arba’ah I-II, Beirut: Dar al-Kutub alIlmiyyah, 1410 H/1990 M. Muhammad Husaen Haekal, al-Faruq Umar, diterjemahkan oleh Ali Audah dengan judul: Umar bin Khattab, Sebuah Telaah Mendalam tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatan masa itu, Cet. II; Jakarta: Litera AntarNusa, 2000. Muhammad Muhammad al-Madani, Nazarat fi Fiqhi al-Faruq Umar bin Khattab, Cairo: Kementerian Waqaf Majelis A’la Urusan Islam, 2002. Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, Cet. III; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996. Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Dep. Agama RI, Pengantar Ilmu Fiqh, (Jakarta: DITBINPERTAIS, 1981. 99 Syaifuddin Abu Ali ibn Abi Ali al-Amidi, al-Ihkam fi Usul alAhkam li Ibni Hazm, Jilid IV, Cairo: Muassasah alNahdah, t.th. 100