EFEKTIFITAS PENERAPAN SANKSI PIDANA CAMBUK TERHADAP PELANGGARAN QANUN DI BIDANG SYARIAT ISLAM DI WILAYAH HUKUM KOTA MADYA BANDA ACEH PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM. SKRIPSI Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH : FERDIANSYAH NIM : 030200051 Departemen Hukum Pidana FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008 Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 EFEKTIFITAS PENERAPAN SANKSI PIDANA CAMBUK TERHADAP PELANGGARAN QANUN DI BIDANG SYARIAT ISLAM DI WILAYAH HUKUM KOTA MADYA BANDA ACEH PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM SKRIPSI Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH : FERDIANSYAH NIM : 030200051 Ketua Departemen Hukum Pidana Abul Khair S.H., M. Hum NIP: 131 842 854 Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II Madiasa Ablisar, S.H., M.S NIP : 131 570 461 M. Eka Putra, S.H., M.Hum NIP : 132 208 327 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008 Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 ABSTRAKSI *) Madiasa Ablisar, S.H., M.S **) M. Eka Putra, S.H., M.Hum ***) Ferdiansyah Syariat Islam di Aceh pada pelaksanaannya selain mengatur tentang aqidah dan ibadah juga mengatur tentang jinayah atau pidana, untuk saat ini dalam hal pelaksanaan hukum jinayah belum semua diatur dalam qanun–qanun yang telah di bentuk oleh DPRD NAD, saat ini baru bebarapa pidana tertentu yang diatur dalam qanun tersebut, diantaranya khalwat (mesum), khamar (meminum minuman keras), maisir (judi) dan pencurian. Untuk tindak pidana seperti ini terdakwa dijatuhi sanksi pidana cambuk dimuka umum. Adapun yang menjadi pertanyaan, apa yang menjadi kelebihan dari sanksi pidana cambuk itu sendiri dibandingkan dengan sanksi pidana penjara atau sanksi pidana denda atau sanksi pidana yang lainnya, dan sejauh mana efektifitas sanksi pidana cambuk ini dalam penekanan pelanggaran qanun dibidang syariat Islam yang terjadi di wilayah hukum kota Madya Banda Aceh Propinsi NAD, untuk menjawab hal tersebut maka dari itu saya mengangkat judul “EFEKTIFITAS PENERAPAN SANKSI PIDANA CAMBUK TERHADAP PELANGGARAN QANUN DI BIDANG SYARIAT ISLAM DI WILAYAH HUKUM KOTA MADYA BANDA ACEH PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM .“ Yang menjadi permasalahan pada skripsi ini adalah bagaimanakan pengaturan perbuatan pidana dan hukumannya didalam qanun Propinsi NAD, bagaimanakah pengaturan sanksi pidana cambuk didalam fikh jinayah dan qanun Propinsi NAD dan sejauh mana penerapan sanksi pidana cambuk dapat menekan tingkat pelanggaran qanun dibidang Syariat Islam di wilayah hukum kota madya Banda Aceh. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaturan tindak pidana dan hukumannya dalam Qanun Propinsi NAD dan untuk mengetahui bagaimana pengaturan hukuman cambuk menurut fikh jinayah dan Qanun Provinsi NAD serta untuk mengetahui bagaimanakah efektifitas penerapan sanksi pidana cambuk dalam menekan tingkat pelanggaran qanun di bidang syariat Islam menurut Qanun Propinsi NAD di wilayah hukum Kota Madya Banda Aceh. Metode penelitian ini dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif adalah untuk melihat yang berkaitan dengan permasalahan nomor satu dan dua sedangkan pendekatan yuridis empiris adalah untuk melihat penerapan pelaksanaan syariat islam dilapangan untuk menjawab permasalahan pada nomor tiga. Berdasarkan uraian yang telah dibahas pada bab–bab sebelumnya dapat diberikan kesimpulan bahwa tujuan penerapan Syariat Islam dan penerapan sanksi pidana cambuk adalah untuk memberikan pencerahan dan kesadaran bagi masyarakat dan untuk memberikan kesadaran dan rasa malu untuk mengulangi perbuatannya lagi serta menjadi peringatan bagi masyarakat agar tidak melakukan pelanggaran Syariat Islam dan tidak menimbulkan dampak negatif bagi keluarganya. Serta untuk menciptakan masyarakat yang bermoral dan berjiwa Islam yang berakhlak mulia. Kesimpulan dari pada hasil penelitian menunjukan setelah diterapkannya sanksi pidana cambuk menunjukakan adanya penurunan terhadap pelanggaran qanun dibidang Syariat Islam di kota Banda Aceh, maka dapat di simpulkan bahwa pelaksanaan Syariat Islam selama ini di kota Banda Aceh dalam kurun waktu dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2007 sudah cukup efektif dalam menekan tingkat pelanggaran qanun di bidang syariat Islam dan menata kehidupan secara Islami dikota Banda Aceh, akan tetapi karena pelaksanaan syariat Islam di Kota Banda Aceh ini masih baru, maka masih belum dapat untuk mencapai seperti apa yang diinginkan oleh pemerintah dan masyarakat Banda Aceh yang telah dituangkan dalan qanun–qanun Syariat Islam Propinsi NAD, maka dari itu masih banyak lagi yang harus dibenahi dan disempurnakan dalam pelaksanaan Syariat Islam ini baik itu dalam bentuk qanun–qanun yang telah dibentuk oleh pemerintah Propinsi NAD, maupun dalam pelaksanaannya dilapangan. Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ……………………………………………… i HALAMAN PERSEMBAHAN…………………………………… ii KATA PENGANTAR……………………………………………... iii ABSTRAKSI ………………………………………………………. iv DAFTAR ISI ………………………………………………………. v BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang……………………………………………… 1 B. Permasalahan………………………………………………. 4 C. Tujuan Penulisan.………………………..…………………. 4 D. Keaslian Penulisan …………………………………………. 4 E. Tinjauan Kepustakaan……………………………………... 5 1. Pengertian Dan Tujuan Pidana Secara Umum & Dalam Islam 5 2. Pengertian Fiqh Jinayah .................................................... 11 3. Ruang Lingkup Fiqh Jinayah .....………………………….. 12 4. Pengertian Qanun .......................................................……. 17 F. Metode Penelitian…………………………………………… 22 G. Sistematika Penulisan……………………………………….. 25 BAB II : PELANGGARAN QANUN DAN HUKUMANNYA DALAM QANUN PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM A. Pelanggaran Qanun Di Bidang Khalwat (Mesum ).............. 27 Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 B. Pelanggaran Qanun Di Bidang Maisir ( Perjudian ).............. 33 C. Pelanggaran Qanun Di Bidang Khamar ( Minuman Keras ).. 39 BAB III : PENERAPAN SANKSI PIDANA CAMBUK MENURUT QANUN PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM A. Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Menurut Fiqh Jinayah..... 48 B. Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Menurut Qanun Provinsi NAD........................................................................ 51 C. Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap pelaku Pelanggaran Qanun Yang Beragama Non Muslim................ BAB IV 58 : EFEKTIFITAS PENERAPAN SANKSI PIDANA CAMBUK TERHADAP PELANGGARAN QANUN DI BIDANG SYARIAT ISLAM DI WILAYAH HUKUM KOTA MADYA BANDA ACEH PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM A. Tujuan Penerapan sanksi pidana Cambuk Terhadap Pelaku Pelanggaran Qanun di Bidang Syariat Islam..... 73 B. Tingkat Tindak Pidana Perjudian dan Perjinahan Sebelum Penerapan Qanun Di Bidang Syariat Islam Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Di Kota Madya Banda Aceh..................................................................... 75 C. Tingkat Pelanggaran Qanun Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Setelah Penerapan Qanun Di Bidang Syariat Islam Propinsi Nanggroe Aceh darussalam Dari Tahun 2005 Sampai Dengan 2007.......................... 83 D. Bagaimanakah Efektifitas Penerapan sanksi pidana Cambuk Dalam Menekan Tingkat Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 Kota Madya Banda Aceh............................................... BAB V 89 : KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan……………………………………………… 98 B. Saran…………………………………………………….. 101 DAFTAR PUSTAKA Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Konflik dan pertentangan yang berlarut larut, seakan–akan tak putus–putusnya terjadi di Aceh yang disusul dengan tragedi demi tragedi. Sejak kemerdekaan tahun 1945, seperti dielaborasi Nazarrudin Syamsudin dalam kata “pengantarnya”nya yang mencatat tujuh perkembangan peradaban Aceh yang mengarah pada “penghancuran kebudayaan”. Setelah merebut dan mempertahankan kemerdekaan RI yang dijalankan secara monumental oleh masyarakat Aceh tahun 1945, segera disusul oleh perang Cumbok tahun 1946 takala konflik fisik dan revolusi sosial berlangsung antara kaum uleebalang dan ulama, kemudian disusul dengan pristiwa DI/ TII sejak tahun 1953 sampai awal tahun 1960. Kemudian terjadi pemberontakan PKI dalam gerakan 30 september 1965. Demikian empat tahap pertama, tiga tahap selanjutnya justru terjadi pada masa orde baru. 1 Seandainya tulisan Nazarrudin Syamsudin tersebut diterbitkan beberapa bulan kemudian (masih dalam tahun 2003), ia pasti akan memasukan lagi tahap penghancuran kebudayaan paling akhir di Aceh, yaitu penerapan keadaan Darurat Mililiter di Aceh sejak 19 Mei 2003. Dengan istilah penghancuran kebudayaan terkesan ada subyek atau faktor di luar saja yang aktif, tapi masyarakat Aceh sendiri harus melakukan introspeksi atas ketahanan dirinya. Perbaikan nasib tidak mungkin hanya diharapkan dari belas 1 Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh Problem, Solusi dan Implementasi, Menuju Pelaksanaan Hukum Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, (Jakarta: Ar-Raniry Press, 2003), halaman 11. Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 kasihan orang luar, kita sendiri harus bekerja keras memperbaiki diri. Harus diakui berbagai ikhtiar telah dilakukan untuk mencoba menyelesaikan permasalahan yang berlarut–larut itu. Upaya paling akhir yang dilakukan oleh pemerintah pusat adalah menawarkan otonomi khusus untuk daerah Aceh melalui Undang–Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh dan Undang–Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Ada beberapa konsesi yang signifikan terhadap masyarakat Aceh disini. Salah satunya adalah peluang untuk melaksanakan Syariat Islam di Aceh meskipun tetap dalam kerangka hukum Nasional Indonesia. Peluang ini telah dicoba diaktualisasikan oleh masyarakat Aceh melalui PEMDA dan DPRDnya. Pemerintah Daerah melalui Gubernur dalam sebuah Upacara di Lapangan Blang Padang Banda Aceh telah mendeklarasikan pemberlakuan Syariat Islam secara kaffah di Aceh pada tanggal 1 Muharram 1423 H yang lalu. Gubernur Aceh telah membentuk Dinas Syariat Islam tingkat Propinsi yang diikuti Kabupaten–Kabupaten nantinya. DPRD Aceh telah pula mengeluarkan beberapa Perda dan beberapa Qanun sebagai landasan hukum pelaksanaannya. Mahkamah Agung pun turut mengambil peran dengan membentuk Mahkamah Syariah pada tanggal 1 Muharram 1424 H yang lalu sebagai ganti Pengadilan Agama. Akan tetapi solusi yang ditawarkan melalui upaya revitalisasi Syariat Islam di Aceh ini juga mengandung problema tersendiri secara teknis, yuridis maupun aplikasinya dilapangan. 2 Syariat Islam di Aceh pada pelaksanaannya selain mengatur tentang aqidah dan ibadah juga mengatur tentang jinayah atau pidana, untuk saat ini dalam hal pelaksanaan hukum jinayah belum semua diatur dalam qanun–qanun yang telah di 2 Ibid halaman 12. Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 bentuk oleh DPRD NAD, saat ini baru bebarapa pidana tertentu yang diatur dalam qanun tersebut, diantaranya khalwat (mesum), khamar (meminum minuman keras), maisir (judi) dan pencurian. Untuk tindak pidana seperti ini selain dijatuhi sanksi pidana penjara dan denda, terdakwa juga dijatuhi sanksi pidana cambuk dimuka umum. Adapun yang menjadi pertanyaan, apa yang menjadi kelebihan dari sanksi pidana cambuk itu sendiri dibandingkan dengan sanksi pidana penjara atau sanksi pidana denda atau sanksi pidana yang lainnya yang selama ini telah di terapkan dalam KUHP Indonesia, dan bagaimana efektifitas sanksi pidana cambuk ini dalam penekanan pelanggaran qanun dibidang Syariat Islam yang terjadi di wilayah hukum kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, sebagai prodak baru pada sistem hukum pidana Indonesia mampukah sanksi pidana cambuk membawa pembaharuaan pada dunia peradilan indonesia, Akan tetapi dengan penerapan Syariat Islam secara kaffah di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, muncul ketakutan dan kekhawatiran dari pihak-pihak tertentu, baik yang berasal dari luar kaum muslimin atau dari kaum muslimin sendiri. Ketakutan atau fobia terhadap Syariat Islam adalah hal yang terlalu dibesar-besarkan. Syariat Islam sama sekali tidak bertujuan untuk menyiksa manusia, bahkan menurut Islam binatang dan lingkungan pun tidak boleh di dzalimi. Tujuan Syariat Islam adalah untuk memelihara hak-hak manusia dan memberikan mereka perlindungan serta keselamatan atau kedamaian. Karena itu merasa takut terhadap Syariat Islam, apa lagi memusuhinya adalah sikap atau tindakan yang tidak beralasan. Meskipun dengan demikian ketentuan-ketentuan normatif semacam ini tentu saja harus diwujudkan dalam aktualisasinya dan ini tentu saja merupakan salah satu pekerjaan rumah umat Islam untuk membuktikan nya dalam kenyataan. Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 Kekerasan dan penyelewengan hukum memang pernah terjadi dalam sejarah Islam, tetapi itu juga pernah terjadi dalam agama dan komunitas manapun di dunia ini, termaksud Yahudi, Kristen dan Barat. Demikian juga sebaliknya, sejarah menjadi saksi atas kesuksesan Syariat Islam menciptakan masyarakat yang makmur serta sejahtera serta penegakan hukum yang adil secara mengagumkan. Oleh karena itu, jika kita mau bersikap objektif, dan terbuka maka jangan hanya sisi gelap sejarah Islam yang dilihat, tetapi juga sisi cemerlangnya, agar tidak terjadinya salah paham bahkan timbulnya pemikiran yang menyimpang terhadap Syariat Islam, terutama terhadap penerapan sanki pidana cambuk. untuk menjawab hal tersebut maka dari itu penulis merasa perlu untuk mengangkat judul “EFEKTIFITAS PENERAPAN SANKSI PIDANA CAMBUK TERHADAP PELANGGARAN QANUN DI BIDANG SYARIAT ISLAM DI WILAYAH HUKUM KOTA MADYA BANDA ACEH PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM .“ B. Permasalahan. Berdasarkan pada uraian dan latar belakang diatas maka yang menjadi permasalahan dalam tulisan ini adalah : 1. Bagaimanakah pengaturan perbuatan pidana dan hukumannya di dalam Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam? 2. Bagaimanakah pengaturan sanksi pidana cambuk menurut Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam? 3. Bagaimanakah efektifitas penerapan sanksi pidana cambuk terhadap pelanggaran qanun di bidang syariat Islam di kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam? Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 C . Tujuan Penulisan. Adapun yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini antara lain : 1. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan tindak pidana dan hukumannya dalam Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam; dan 2. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan sanksi pidana cambuk menurut Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam; serta 3. Untuk mengetahui bagaimanakah efektifitas penerapan sanksi pidana cambuk terhadap pelanggaran qanun di bidang Syariat Islam menurut Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. D . Keaslian Penulisan. Adapun judul dalam penelitian ini adalah EFEKTIFITAS PENERAPAN SANKSI PIDANA CAMBUK TERHADAP PELANGGARAN QANUN DI BIDANG SYARIAT ISLAM DI WILAYAH HUKUM KOTA MADYA BANDA ACEH PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM “. Sehubungan dengan keaslian judul ini penulis telah melakukan pemeriksaan pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, untuk mencari dan membuktikan bahwasannya judul Skripsi tersebut di atas belum pernah ada, dan apabila di kemudian hari ternyata terdapat judul Skripsi yang sama, maka hal itu menjadi tanggung jawab saya sendiri. Oleh karena itu, penulis menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil karya penulis dan belum pernah ada sebelumnya skripsi seperti ini. E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Dan Tujuan Pidana Secara Umum & Dalam Islam Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 Defenisi hukum pidana menurut ilmu pengetahuan, dapat diadakan beberapa penggolongan pendapat (Bambang Poernomo) yaitu: 1. Hukum Pidana adalah hukum sanksi Defenisi ini diberikan berdasarkan ciri hukum pidana yang membedakan dengan lapangan hukum lain yaitu bahwa hukum pidana sebenarnya tidak mengadakan norma tersendiri melainkan melainkan sudah terletak pada lapangan hukum yang lain, dan sanksi hukum pidana diadakan untuk menguatkan ditatanya norma–norma tersebut. 2. Hukum pidana adalah keseluruhan aturan–aturan ketentuan hukum mengenai perbuatan–perbuatan yang dapat dihukum dan aturan pidananya. 3. Hukum pidana dalam arti: a. Objektif (jus poenale) meliput i: (1). Perintah dan larangan yang pelanggarannya diancam dengan sanksi pidana oleh badan yang berhak; (2). Ketentuan–ketentuan yang mengatur upaya yang dapat dipergunakan, apabila norma itu dilanggar, yang dinamakan hukum penintentiare; (3) Aturan–aturan yang menentukan kapan dan dimana berlakunya norma–norma tersebut diatas. b. Subjektif (jus puniendi), yaitu: Hak negara menurut hukum untuk menuntut pelanggar delik dan untuk menjatuhkan serta melaksanakan pidana. 4. Hukum pidana dibedakan dan diberikan arti: Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 a. Hukum pidana materil yang menunjuk pada perbuatan pidana (strsfbare feiten) dan yang oleh sebab perbuatan itu dapat dipidana, dimana perbuatan pidana itu mempunyai dua bagian yaitu: (1). Bagian objektif merupakan suatu perbuatan atau natalen yang bertentangan dengan hukum positif, melawan hukum, yang menyebabkan tuntutan hukum dengan ancaman pidana atas pelanggaranya: (2). Bagian subjektif yaitu mengenai kesalahan, yang menunjuk kepada sipembuat (dader) untuk dipertanggung jawabkan menurut hukum. b. Hukum pidana formil yang mengatur cara hukum pidana material dapat dilaksanakan. 5. Hukum pidana diberikan arti bekerjanya sebagai: a. peraturan hukum, objektif (jus poenale) yang dibagi menjadi: (1). Hukum pidana materil yaitu tentang peraturan tentang syarat – syarat bilamanakah suatu itu dapat dipidana. (2). Hukum pidana formil, yaitu hukum acara pidananya. b. Hukum subjektif (juspuniendi) yaitu meliputi hukum dalam memberikan ancaman pidana, menetapkan pidana dan melaksanakan pidana, yang hanya dapat dibebankan kepada negara dan pejabat untuk itu. c. Hukum pidana umum (alogemene strafrecht) yaitu hukum pidana yang berlaku bagi semua orang dan hukum pidana khusus (bijondere Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 strafrecht) yaitu dalam bentuknya sebagai jus speciale seperti hukum pidana militer. 3 Hukum pidana secara umum berfungsi mengatur dan menyelenggarakan kehidupan masyarakat agar dapat tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum. Tujuan pokok hukum pidana yang hendak dicapai adalah pencegahan yang ditujukan kepada khalayak ramai, kepada semua orang agar tidak melakukan pelanggaran terhadap ketertiban masyarakat. Beberapa sarjana juga berpendapat bahwa teori pembalasan merupakan dasar dan pembenaran pidana, tetapi dengan menjatuhkan pidana pembalasan itu, apa yang dapat dicapai pemerintah dengan pembalasan itu. Hukuman diterapkan -meskipun tidak disenangi- demi mencapai kemaslahatan bagi individu dan masyarakat. Dengan demikian hukuman yang baik adalah: a. Harus mampu mencegah seseorang dari berbuat maksiat. Atau menurut Ibnu Hammam dalam fathul qadir bahwa hukuman itu untuk mencegah sebelum terjadinya perbuatan (prefentif) dan menjerakan setelah terjadinya perbuatan (repsesif). b. Batas tertinggi dan terendah suatu hukuman sangat tergantung kepada kebutuhan kemaslahatan masyarakat, apa bila kemaslahatan menghendaki beratnya hukuman, maka hukuman diperberat. Demikian pula sebaliknya, bila kebutuhan kemaslahatan masyarakat mengkehendaki ringannya hukuman, maka hukumannya diperingan. c. Memberikan hukuman kepada orang yang melakukan kejahatan itu bukan berarti membalas dendam, melainkan sesungguhnya untuk 3 . Alvi syahrin, Ilmu Hukum Pidana Dan Ruang Lingkup Berlakunya Hukum Pidana (suatu Pengantar), Pustaka Bangsa Press,2002, halaman 7 s.d 8. Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 kemaslahatannya, seperti yang dikatakan oleh Ibn Taimiyah bahwa hukuman itu disyariatkan oleh Allah SWT bagi hambanya dan sebagai cerminan dari keinginan Allah untuk ihsan kepada hambanya. Oleh karena itu, sepantasnyalah bagi orang yang memberikan hukuman kepada orang lain atas kesalahannya harus bermaksud melakukan ihsan dan memberi rahmat kepadanya, seperti seorang bapak yang memberikan pelajaran kepada anaknya. d. Hukuman adalah upaya terakhir dalam menjaga seseorang supaya tidak jatuh kedalam suatu maksiat. Sebab dalam konsep Islam seorang akan terjaga dari berbuat jahat apabila: 1. Memiliki iman yang kokoh seperti yang dikatakan dalam hadist nabi: “Seseorang tidak akan melakukan zina ketika ia beriman”. (HR. Muslim). Hal ini berkaitan dengan kebersihan jiwa. 2. Berahklak mulia, seperti jujur terhadap dirinya dan orang lain, atau merasa malu bila melakukan maksiat, atau selalu berbuat baik dan menghindari berbuat jahat. 3. Dengan adanya sanksi duniawi diharapkan mampu menjaga seseorang dari terjatuh kedalam tindak pidana. Disamping itu harus diusahakan menghilangkan faktor–faktor penyebab terjadinya kejahatan dalam masyarakat berdasarkan konsep sadz al-dzariah (upaya menutup jalan dari terjadinya kejahatan). 4 4 . H.A. Djajuli, Fiqh Jinayah (Upaya menanggulangi kejahatan dalam Islam), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000,halaman 26 s.d 27 Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 Menurut hasil penelitian dari para ahli hukum Islam, tujuan Allah SWT membentuk hukum Islam ialah untuk kemaslahatan umat manusia, baik didunia maupun di akhirat. Tujuan dimaksud hendak dicapai melalui taklif. Taklif itu baru dapat dilaksanakan apabila memahami sumber hukum Islam, kemudian tujuan itu tidak akan tercapai kecuali dengan keluarnya seseorang dari perbudakan hawa nafsunya, menjadi hamba Allah dalam artian tunduk kepada ketentuannya.(Abu Ishak asy-Syatibi,t.t.:5) Banyak ayat Al-quran yang menunjukan bahwa kedatangan hukum Islam adalah untuk kemaslahatan umat manusia, di antaranya surah Al-Anbiyaa’(21) ayat 107. Dan tidaklah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. 5 Ayat tersebut secara umum menunjukan bahwa hukum Islam membawa rahmat bagi kehidupan manusia. Dikatakan rahmat apabila mendatangkan maslahat bagi kehidupan, baik didunia maupun diakhirat. Untuk mewujudkan kemaslahatan dimaksud, ada lima hal pokok yang harus diwujudkan dan dipelihara, yaitu terpeliharanya agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Lima masalah pokok ini wajib dipelihara oleh setiap manusia. Untuk itulah didatangkan hukum Islam/ taklif yaitu perintah untuk berbuat, larangan untuk berbuat dan keizinan untuk berbuat yang harus dipatuhi oleh setiap mukallaf. Masing–masing lima pokok dimaksud dalam mewujudkan dan memeliharanya dikategorikan kepada klasifikasi menurut tingkat prioritasnya, yaitu kebutuhan dharuriyat, kebutuhan hajiyat, dan kebutuhan tahsiniat. Ketiga urutan prioritas kebutuhan tersebut harus terwujud dan terpelihara. 5 . Q.S. Al-Anbiyaa’(21) ayat 107 Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 Memelihara kebutuhan dharuriyat dimaksud agar perwujudan dan perlindungan atas lima pokok yang telah diuraikan yaitu agama, jiwa, akal, harta dan keturunan dapat terpelihara dalam batas jangan sampai terancam eksistensinya. Memelihara kebutuhan hajiyat dimaksud agar perwujudan dan perlindungan hal–hal yang diperlukan dalam kelestarian lima pokok diatas dapat terpenuhi, tetapi dibawah batas kepentingan dharuriyat. Tidak terpeliharanya kebutuhan ini, tidak akan membawa terancamnya eksistensi lima pokok diatas, tetapi membawa kepada kesempitan dan kepicikan, baik dalam usaha mewujudkan maupun dalam pelaksanaannya, sedangka kepicikan dan kesempitan itu dalam ajaran Islam perlu disingkirkan. 6 2. Pengertian Fiqh Jinayah Fiqh Jinayah terdiri dari dua kata, yaitu fiqh dan jinayah. Pengertian fiqih secara bahasa berasal dari lafal, faqiha, yafqahu fiqhan, yang berarti mengerti, paham. Pengertian fiqh secara istilah yang dikemukakan oleh Abdul Wahab Kallaf adalah sebagai berikut. Fiqh adalah ilmu tentang hukum – hukum syara’ praktis yang diambil dari dalil–dalil yang terperinci. Atau fiqh adalah himpunan hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis yang diambil dari dalil – dalil terperinci. Adapun jinayah menurut bahasa adalah: Nama bagi hasil perbuatan seseorang yang buruk dan apa yang diusahakan. Pengertian Jinayah secara istilah fuqaha sebagaimana yang dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah adalah: 6 . Zainuddin Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam Di Indonesia, ( sinar grafika,jakarta, 2006), halaman 17 s.d 18. Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 Jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh syara’, baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta, atau lainnya. Dalam konteks ini jinayah sama dengan jarimah. Pengertian jarimah sebagai mana dikemukakan oleh Imam Al Mawardi adalah sebagai berikut. Jarimah adalah perbuatan yang dilarang oleh syara’ yang diancam oleh Allah dengan hukuman had atau ta’zir. Apabila kedua kata tersebut digabungkan maka pengertian fiqh jinayah itu adalah ilmu tentang hukum syara’ yang berkaitan dengan masalah perbuatan yang dilarang (jarimah) dan hukumannya yang diambil dari dalil–dalil yang terperinci. Pengertian fiqh jinayah tersebut diatas sejalan dengan pengertian hukum pidana menurut hukum positif. Mustafa Abdullah dan Ruben Ahmad mengemukakan bahwa hukum pidana adalah delik yang diancam dengan hukuman pidana. Atau dengan kata lain hukum pidana itu adalah serangkaian peraturan yang mengatur masalah tindak pidana dan hukumannya. 7 3. Ruang Lingkup Fiqh Jinayah Berbicara mengenai ruang lingkup Fiqh Jinayah sebenarnya sangat luas cakupannya akan tetapi, secara garis besar kita dapat membaginya kedalam tiga bagian yaitu : a. Jarimah Hudud 7 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (Fikih Jinayah), (Jakarta, Sinar Grafika, 2004 ), halaman 1. Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 Jarimah hudud adalah jarimah yang diancam dengan hukuman had. Pengertian hukuman had adalah hukuman yang telah ditentukan oleh syara’ dan menjadi hak Allah (hak masyarakat). Dengan demikian ciri khas dari jarimah hudud itu adalah sebagai berikut: 1. Hukuman tertentu dan terbatas, dalam arti bahwa hukumannya telah ditentukan oleh syara’ dan tidak ada batas maksimal dan minimal. 2. Hukuman tersebut merupakan hak Allah semata–mata, atau kalau ada hak manusia disamping hak Allah, maka hak Allah yang lebih menonjol. Pengertian hak Allah sebagaimana dikemukakan oleh Mahmud Syaltut adalah sebagai berikut. Hak Allah adalah suatu hak yang manfaatnya kembali kepada masyarakat dan tidak tertentu bagi seseorang. Dalam hubungannya dengan hukuman had maka pengertian hak Allah disini adalah bahwa hukuman tersebut tidak bisa dihapuskan oleh perseorangan (orang yang menjadi korban atau keluarganya) atau oleh masyarakat yang diwakili oleh negara. 8 Para ulama sepakat bahwa yang termaksud katagori dalam jarimah hudud ada tujuh, yaitu:. 1. Jarimah Zina. 2. Jarimah Qazdaf (menuduh orang berbuat zina) 3. Jarimah Syurbul khamar (meminum minuman yang memabukkan) 4. Jarimah Pencurian 5. Jarimah Hirabah 6. Jarimah Riddah 7. Jarimah Al Bagyu (pemberontakan) 9 8 . Ibid , Ahmad Wardi Muchlis, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (fikih Jinayah),halaman 17 s.d. 18. 9 . Makhrus Munajat, Dekonnstruksi Hukum Pidana Islam, (Jogjakarta, Logung Pustaka, 2004), halaman 12. Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 Dalam jarimah zina, syurbul khamar, hirabah, riddah, dan pemberontakan yang dilanggar adalah hak Allah semata–mata. Sedangkan dalam jarimah pencurian dan qadzaf (penuduhan zina) yang disinggung disamping hak Allah, juga terdapat hak manusia (individu), akan tetapi hak Allah lebih menonjol. b. Jarimah Qishash dan Diat Jarimah Qishash dan Diat adalah jarimah yang diancam dengan hukuman qishash atau diat. Baik qishash atau diat keduanya adalah hukuman yang telah ditentukan oleh syara’. Perbedaannya dengan hukuman had adalah bahwa had adalah merupakan hak Allah (hak masyarakat), sedangkan qishash dan diat adalah hak manusia (individu). Adapun yang dimaksud dengan hak manusia sebagai mana dikemukakan oleh Mahmud Syaltut adalah sebagai berikut. Hak manusia adalah suatu hak yang manfaatnya kembali kepada orang tertentu. Dalam hubungannya dengan hukuman qishas dan diat maka pengertian hak manusia disini adalah bahwa hukuman tersebut bisa dihapuskan atau dimaafkan oleh korban atau keluarganya. Dengan demikian maka ciri khas dari jarimah qishas dan diat itu adalah 1. Hukumannya sudah tertentu dan terbatas, dalam arti sudah ditentukan oleh syara’ dan tidak ada batas minimal dan maksimal. 2. Hukuman tersebut merupakan hak perseorangan (individu), dalam arti bahwa korban atau keluarganya berhak memberikan pengampunan terhadap pelaku. Jarimah qishas dan diat ini hanya ada dua macam, yaitu pembunuhan dan penganiayaan namun apabila diperluas maka ada lima macam, yaitu: 1. pembunuhan sengaja 2. pembunuhan menyerupai sengaja Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 3. pembunuhan merupakan karena kesalahan 4. penganiayaan sengaja 5. penganiayaan tidak sengaja. c. Jarimah Ta’jir Jarimah Ta’jir adalah jarimah yang diancam dengan hukuman ta’zir. Pengertian ta’zir menurut bahasa ialah ta’dib atau memberi pelajaran. Ta’zir juga diartikan Ar Rad wa Al Man’u, artinya menolak dan mencegah. Akan tetapi menurut istilah, sebagai mana yang dikemukakan oleh Imam Al Mawardi, pengertiannya adalah sebagai berikut. Ta’zir itu adalah hukuman pendidikan atas dosa (tindak pidana) yang belum ditentukan hukumannya oleh syra’. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa hukuman ta’zir itu adalah hukuman yang belum ditetapkan oleh syara’, melainkan diserahkan kepada ulil amri, baik penentuannya maupun pelaksanaannya. Dalam menentukan hukuman tersebut, penguasa hanya menetapkan hukumannya secara gelobal saja. Artinya pembuat undang–undang tidak menetapkan hukuman untuk masing–masing jarimah ta’zir, melainkan hanya menetapkan sekumpulan hukuman, dari yang seringan–ringannya sampai yang seberat–beratnya. Dengan demikian ciri khas dari jarimah ta’jir itu adalah sebagai berikut: 1. Hukumannya tidak tertentu dan tidak terbatas. Artinya hukuman tersebut belum ditentukan oleh syara’ dan ada batas minimal dan ada maksimal, 2. penentuan hukuman tersebut adalah hak penguasa. Berbeda dengan jarimah hudud dan qishash maka jarimah ta’zir tidak ditentukan banyaknya. Hal ini karena yang termaksud jarimah ta’zir adalah setiap Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had dan qishash, yang jumlahnya sangat banyak. Tentang jenis–jenis jarimah ta’zir ini Ibn Taimiyah mengemukakan : Perbuatan–perbuatan yang tidak terkena hukuman had dan tidak pula kifarat, seperti mencium anak–anak (dengan syahwat), mencium wanita lain yang bukan istri, tidur satu ranjang tanpa persetubuhan, atau memakan barang yang tidak halal seperti darah dan bangkai... Maka semuanya itu dikenakan hukuman ta’zir sebagai pembalasan dan pengajaran, dengan kadar hukuman yang ditetapkan oleh penguasa. Tujuan diberikannya hak penentuan jarimah–jarimah ta’zir dan hukumannya kepada penguasa adalah agar mereka dapat mengatur masyarakat dan memelihara kepentingan–kepentingannya, serta bisa menghadapi dengan sebaik–baiknya setiap keadaan yang bersifat mendadak. Jarimah ta’zir disamping ada yang diserahkan penentuannya sepenuhnya kepada ulil amri, juga memang ada yang sudah ditetapkan oleh syara’, seperti riba dan suap. Disamping itu juga termaksud kedalam kelompok ini, jarimah–jarimah yang sebenarnya sudah ditetapkan hukumannya oleh syara’ (hudud) akan tetapi syarat–syarat untuk dilaksanakannya hukuman tersebut belum terpenuhi. Misalnya, pencurian yang tidak sampai selesai atau barang–barang yang dicuri kurang dari nishab pencurian, yaitu seperempat dinar. 4. Pengertian Qanun Istilah Qanun sudah digunakan sejak lama sekali dalam bahasa atau budaya Melayu. Kitab “Undang-Undang Melaka” yang disusun pada abad ke lima belas atau keenambelas Masehi telah menggunakan istilah ini. Menurut Liaw Yock Fang, istilah Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 ini dalam budaya melayu digunakan semakna dengan adat dan biasanya dipakai untuk membedakan antara hukum yang tertera dalam adat dengan hukum yang tertera dalam kitab fiqih. Kuat dugaan istilah qanun ini masuk dalam budaya melayu dan bahasa arab karena mulai digunakan bersamaan dengan kehadiran agama Islam dan penggunaan bahasa Arab Melayu di Nusantara. Bermanfaat disebutkan dalam literatur Barat pun istilah ini sudah lama digunakan, diantaranya menunjuk kepada hukum Kristen (canon law) yang sudah ada sejak sebelum zaman Islam. Dalam bahasa Aceh istilah ini relatif populer dan tetap digunakan di tengah masyarakat, karena salah satu pepatah adat yang menjelaskan hubungan adat dan syariat yang tetap hidup dan bahkan sangat sering dikutip menggunakan istilah ini. Dalam literatur Melayu Aceh pun qanun sudah digunakan sejak lama, dan diartikan sebagai aturan yang berasal dari hukum Islam yang telah menjadi adat. Salah satu naskah tersebut berjudul Qanun Syara’ Kerajaan Aceh yang ditulis oleh Tengku di Mulek pada tahun 1257 H atas perintah Sultan Alauddin Mansyur Syah yang wafat pada tahun 1870 M. Naskah pendek (hanya beberapa halaman) ini berbicara beberapa aspek di bidang hukum tata negara, pembagian kekuasaan, badan peradilan dan kewenangan mengadili, fungsi kepolisian dan kejaksaan, serta aturan protokoler dalam berbagai upacara kenegaraan. Dapat disimpulkan bahwa dalam arti sempit, qanun merupakan suatu aturan yang dipertahankan dan diperlakukan oleh seorang Sultan dalam wilayah kekuasaannya yang bersumber pada hukum Islam. Sedangklan dalam arti luas, qanun sama dengan istilah hukum atau adat. Didalam perkembangannya boleh juga disebutkan bahwa qanun merupakan suatu istilah untuk menjelaskan aturan yang Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 berlaku ditengah masyarakat yang merupakan penyesuaian dengan kondisi setempat atau penjelasan lebih lanjut atas ketentuan didalam fiqih yang ditetapkan oleh Sultan. Sekarang ini, qanun digunakan sebagai istilah untuk “Peraturan Daerah plus” atau lebih tepatnya Peraturan Daerah yang menjadi peraturan pelaksana langsung untuk Undang-Undang (dalam rangka otonomi khusus di Propinsi NAD) 10. Hal ini ditegaskan dalam pasal 1 angka 8 “ketentuan umum” dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2001. dalam Undang-Undang ini qanun dirumuskan sebagai: Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Peraturan Daerah sebagai pelaksana Undang-Undang di wilayah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus. 11 Sejak dimulainya penyelenggaraan otonomi khusus berdasarkan UU No.18 Tahun 2001, sudah banyak qanun yang disahkan. menurut sumber dari sekretariat DPRD Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, sampai Agustus 2004 telah dihasilkan 49 qanun yang mengatur berbagai materi untuk merealisasikan kewenangan khusus yang diserahkan Pemerintah kepada Pemerintah Propinsi NAD termaksud pelaksanaan Syariat Islam 12. Dari ketentuan diatas dapat ditarik empat kesimpulan: a. Peraturan pelaksanaan untuk penyelenggaraan otonomi khusus yang berkaitan dengan kewenangan pemerintah (pusat) akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pernyataan ini secara jelas memberikan arah bahkan 10 . Al-yasa Abubakar & Marah Halim, Hukum Pidana Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,Banda Aceh,Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,halaman 6 s.d 7 11 . Himpunan Undang – Undang, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah/ Qanun, Instruksi Gubernur,Edaran Gubernur, Berkaitan Pelaksanaan Syari’at Islam, edisi V, (Banda Aceh, Dinas Syariat Islam Provinsi NAD,2006), halaman 19. 12 . Al-yasa Abubakar & Marah Halim, Hukum Pidana Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Opcit, halaman 7. Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 keyakinan bahwa untuk melaksanakan Otonomi Khusus perlu kepada peraturan pelaksanaan pada tingkat pusat, dalam hal ini peraturan pemerintah. Kelihatannya pembuat Undang-Undang sejak awal sudah yakin bahwa otonomi khusus tidak akan dapat dijalankan sekiranya peraturan pelaksananya hanya di buat di Aceh melalui qanun Propinsi. Karena hal tersebut, perlu di ulangi kembali, kehadiran Peraturan Pemerintah amat sangat diperlukan. b. Undang-Undang telah menetapkan Qanun Propinsi sebagai peraturan pelaksana untuk penyelenggaraan otonomi khusus yang menjadi kewenagan Pemerintah Propinsi. Dalam pembuatan qanun ini, Pemerintah Propinsi tidak perlu menunggu peraturan pemerintah atau peraturan lainnya dari Pemerintah (pusat). Sedangkan dalam kutipan dari “penjelasan umum” di atas tadi, telah disebutkan bahwa Qanun adalah peraturan daerah untuk melaksanakan otonomi khusus yang dapat mengenyampingkan peraturan perundang-undangan yang lain dengan mengikuti asas lex specialis derogat lex generalis. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa qanun adalah peraturan daerah yang setingkat dengan Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan otonomi khusus di Aceh, atau paling kurang merupakan Peraturan Daerah “plus” melaksanakan Undang-Undang karena dapat secara langsung dan juga karena merupakan Peraturan Daerah yang dapat mengenyampingkan peraturan lain berdasar asas “peraturan khusus dapat mengenyampingkan peraturan umum”. c. Qanun Propinsi yang dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 di atas dinyatakan sebagai Peraturan Daerah untuk melaksanakan otonomi khusus Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 dalam pasal yang telah dikutip diatas secara tegas disebutkan sebagai Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dari penyebutan ini dan dari fungsi yang diberikan kepada qanun, yaitu untuk melaksanakan otonomi khusus, maka qanun itu selayaknya hanya ada ditingkat propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, karena peraturan pada tingkat Propinsilah yang merupakan peraturan pelaksana dan penjelasan untuk Undang-Undang. Sekiranya jalan pikiran ini diterima, maka penggunaan istilah ini oleh Kabupaten dan Kota dalam Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam untuk produk daerah yang mereka buat (menggunakan istilah qanun Kabupaten dan Kota), barangkali perlu penelitian dan pengkajian yang lebih dalam. Lepas dari diskusi diatas, kuat dugaan untuk menghindarkan keraguan dan silang pendapat, Gubernur telah mengeluarkan keputusan No. 09 Tahun 2003 tanggal 03 April 2003 yang menyatakan bahwa semua peraturan daerah di Kabupaten/ Kota setelah kehadiran Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 ini diberi nama Qanun Kabupaten atau Kota. Ketentuan ini dikuatkan lagi dalam Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 02 Tahun 2003 tentang Sususnan, Kedudukan dan kewenangan Kabupaten/ Kota dalam Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang disahkan pada 15 Juli 2003, dalam pasal 1angka 8 secara jelas menyebutkan adanya istilah Qanun Kabupaten/ Kota. Lengkap isi pasal 1 angka 8 tersebut penulis kutipkan sebagai berikut: Qanun Kabupaten atau Kota adalah Peraturan Daerah Kabupaten atau Kota yang ditetapkan oleh Bupati atau Wali Kota dengan persetujuan bersama Dewan Perwakilan Daerah Kabupaten atau Kota. Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 d. Berhubung Syariat Islam yang akan ditegakkan di Aceh bersifat kaffah, sedang aparat penegak hukum semisal Hakim, Jaksa, Polisi, dan Pengacara yang menguasai Syariat Islam secara baik (sempurna) relatif sedikit sekali, maka Syariat Islam yang akan dilaksanakan di Aceh akan dituangkan kedalam bentuk qanun terlebih dahulu. Dengan kata lain hukum positif yang akan dilaksanakan di Aceh baik yang materil maupun yang formil terlebih dahulu akan dirumuskan dan dituangkan kedalam bentuk Qanun Propinsi. Ketentuan ini telah dinyatakan dalam Qanun Nomor 10 Tahun 2002 yang berbunyi: Pasal 53: Hukum materil yang akan digunakan dalam menyelesaikan perkara sebagaimana tersebut pada pasal 49 adalah yang bersumber dari atau sesuai dengan Syariat Islam yang akan diatur dengan Qanun. Pasal 54: Hukum formil yang akan digunakan Mahkamah adalah yang bersumber dari atau sesuai dengan Syariat Islam yang akan diatur dalam Qanun. F. Metode Penelitian a. Pendekatan Masalah penelitian ini dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Penelitian yuridis normatif juga dinamakan penelitian hukum normatif atau juga penelitian hukum doktrinal. Menurut soejono soekanto sebagaimana yang dikemukakan oleh Burhan Ashshofa, bentuk penelitian normatif (doktrinal) ini dapat berupa: (1) Inventarisasi hukum positif; Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 (2) Penemuan Asas hukum; (3) Penemuan Asas Hukum in concreto; (4) Perbandingan Hukum (5) Sejarah Hukum 13 Pada penelitian ini, khususnya yang berkaitan dengan permasalahan nomor satu dan dua digunakan pendekatan yuridis normatif (doctrinal). Pendekatan yuridis empiris adalah untuk melihat penerapan syariat Islam dilapangan yang dalam penelitian ini, digunakan untuk menjawab permasalahan pada nomor ketiga untuk mengetahui sejauh mana efektifitas penerapan sanksi pidana cambuk terhadap pelaku pelanggaran qanun di bidang Syariat Islam di Kota Madya Banda Aceh. Namun dalam hal penelitian ini tetap menggunakan data sekunder. b. Sumber dan Pengumpulan data Jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data skunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari studi lapangan yaitu terdiri dari POLISI, JAKSA, WILAYATUL HISBAH, MAHKAMAH SYARIAH, dan DINAS SYARIAT ISLAM. Data skunder diperoleh melalui studi kepustakaan. Studi kepustakaan ini dilakukan untuk mendapatkan atau mencari konsepsi– konsepsi, teori–teori, asas–asas, doktrin–doktrin, dan temuan–temuan yang berhubungan erat dengan pokok permasalahan. studi lapangan dilakukan melalui wawancaara mendalam (in-depth interview) dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) kepada responden, yaitu terdiri dari: a. Kepolisian, Poltabes Banda Aceh. b. Mahkamah Syariah Banda Aceh. c. Dinas Syariat Islam Propinsi NAD. 13 . Burhan Ashofa. Metode Penelitian Hukum, Jakarta (1996): Rineka Cipta, halaman 14. Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 d. Dinas Syariat Islam Kota Banda Aceh. e. Kejaksaan Negeri Kota Banda Aceh. f. Wilayatul Hisbah Kota Banda Aceh. Metode ini dilakukan untuk memperoleh data tentang permasalahan– permasalahan yang akan diangkat dalam penulisan skripsi ini. Studi lapangan ini dilakukan di wilayah hukum kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh darussalam, karena mengingat kota Banda Aceh merupakan ibu kota dari Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang mana ibu kota propinsi ini merupakan acuan dan pusat dari pada pelaksanaan syariat Islam di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. c. Metode Analisis data Data yang diperoleh melalui studi pustaka dan wawancara dikumpulkan, dan urutannya, lalu diorganisasikan dalam satu pola, kategori dan satuan uraian dasar. Data ini akan dianalisis secara kualitatif yang akan diuraikan secara deskritif, yaitu pendapat responden dan nara sumber diteliti dan dipelajari secara menyeluruh. Berdasarkan penelitian tersebut metode kualitatif bertujuan untuk menginterprestasikan secara kualitatif tentang pendapat atau tanggapan responden dan nara sumber, kemudian mendeskripsikannya secara lengkap dan mendetail aspek– aspek tertentu yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang selanjutnya dianalisis untuk mengungkapkan kebenaran dan memahami kebenaran tersebut. 14 G. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan skripsi ini di bagi dalam beberapa tahapan yang disebut dengan Bab, dimana masing-masing bab diuraikan masalahnya tersendiri, namun 14 . Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum, Jakarta (1982): Ghalia Indonesia, halaman 93. Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 masih dalam konteks yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Secara sistematis penulisan ini menempatkan materi pembahasan keseluruhannya ke dalam 5 (lima) bab yang terperinci sebagai berikut: BAB I : Berisikan pendahuluan yang merupakan pengantar yang di dalamnya terurai mengenai latar belakang penulisan skripsi, perumusan masalah kemudian dilanjutkan dengan keaslian penulisan, tujuan penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan, yang kemudian diakhiri dengan sistematika penulisan. BAB II : Merupakan bab yang membahas tentang pengaturan tindak pidana dan hukumannya dalam qanun Provinsi NAD. BAB III : Merupakan bab yang membahas tentang penerapan sanksi pidana cambuk menurut fikh jinayah,penerapan sanksi pidana cambuk menurut qanun propinsi NAD. BAB IV : Merupakan bab yang membahas tentang penerapan sanksi pidana cambuk, tingkat tindak pidana perjudian dan asusila sebelum penerapan Syariat Islam di propinsi NAD, tingkat pelanggaran qanun setelah penerapan qanun di bidang Syariat Islam propinsi NAD,dan efektifitas penerapan sanksi pidana cambuk terhadap pelanggaran qanun propinsi NAD di bidang Syariat Islam. BAB V : Bab ini berisikan kesimpulan dari bab-bab yang telah di bahas sebelumnya dan saran-saran. Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 BAB II PERBUATAN PIDANA DAN HUKUMANNYA DALAM QANUN PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM A. Perbuatan Jinayah di Bidang Khalwat (mesum) Menurut bahasa, istilah Khalwat berasak dari Khulwah dari akar kata khala yang berarti “sunyi” atau “sepi”. Sedangkan menurut istilah, khalwat adalah keadaan seorang yang menyendiri dan jauh dari pendangan orang lain. Dalam pemakaiannya, istilah ini berkonotasi ganda, positif dan negatif. dalam makna positif, khalwat adalah menarik diri dari keramaian dan menyepi untuk mendekatkan kepada Allah. Sedangkan dalam arti negatif, khalwat berarti perbuatan berdua–duaan di tempat yang sunyi atau terhindar dari pandangan orang lain antara seorang pria dan seorang wanita yang bukan muhrim dan tidak terikat perkawinan. Makna khalwat yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah makna yang kedua. 15 Islam telah mengatur etika pergaulan muda mudi dengan baik. Cinta dan kasih sayang laki–laki dan perempuan adalah fitrah manusia yang merupakan karunia Allah. Untuk menghalalkan hubungan laki – laki dan perempuan, Islam menyediakan 15 . Al Yasa’ Abubakar & Sulaiman M. Hasan, Perbuatan Pidana Dan Hukumannya Dalam Qanun Provinsi NAD (Banda Aceh, Dinas Syariat Islam Provinsi NAD, 2006), halaman. 46 s.d 47. Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 lembaga perkawinan. Tujuan utama agar hubungan laki – laki dan perempuan diikat dengan tali perkawinan adalah untuk menjaga dan memurnikan garis keturunan (nasab) dari anak yang lahir dari hubungan suami isteri. Kejelasan ini penting untuk melindungi masa depan anak yang dilahirkan tersebut. Larang khalwat adalah pencegahan dini bagi perbuatan zina. Larangan ini berbeda dengan beberapa jarimah lain yang langsung kepada zat perbuatan itu sendiri, seperti larangan mencuri, minum khamar dan maisir. Larangan zina justru dimulai dari tindakan–tindakan yang mengarah kepada zina. Hal ini mengindikasikan betapa Islam sangat memperhatikan kemurnian nasab seorang anak manusia. Dalam beberapa hadist, Nabi menunjukan batas–batas pergaulan antara laki– laki dan perempuan yang bukan muhrimnya, seperti: 1. Nabi melarang seorang perempuan berhubungan dengan laki–laki yang bukan muhrimnya tanpa ditemani oleh muhrim si wanita. 2. Nabi melarang khalwat dengan wanita yang sudah dipinang, meski Islam membolehkan laki-laki memandang perempuan yang dipinangnya untuk meyakinkan dan memantapkan hatinya. 3. Nabi melarang seorang laki–laki masuk kerumah wanita yang tidak bersama muhrimnya atau orang lainnya. 4. Nabi melarang wanita bepergian tanpa ditemani muhrimnya. Akan tetapi nilai–nilai etika yang ditawarkan Islam tersebut, dizaman modern ini mendapatkan tantangan yang serius dari budaya sekuler, yang serba permisif yang pada umumnya datang dari barat. Budaya sekuler adalah budaya yang lahir dari aliran filsafat sekulerisme yang memisahkan nilai–nilai agama dengan nilai–nilai duniawi. Menurut aliran ini, agama tidak boleh dicampuradukan dengan urusan dunia. Manusia Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 bebas sebebas–bebasnya menentukan urusan dunianya. Termaksud dalam hal hubungan laki–laki dan perempuan. Dalam budaya masyarakat barat, hubungan antara laki–laki dan perempuan tidak mesti diikat dengan tali perkawinan. Seorang laki–laki dan perempuan dapat hidup bersama tanpa ikatan perkawinan, bahkan sampai siperempuan melahirkan anak. Akibat dari cara berpikir seperti ini, maka dibarat berkembang berbagai macam pemikiran yang mendukung kebebasan sebagaimana digambarkan diatas. Gerakan emansipasi wanita adalah salah satu hasil dari cara berpikir ini. Meski budaya barat nyata–nyata bertentangan dengan budaya Islam, tetapi dalam kenyataan, budaya barat ini berkembang dengan baik di negara–negara timur yang pada umumnya religius, tak terkecuali dunia Islam, perkembangan budaya barat di dunia Islam juga dipengaruhi oleh sistem politik, kepengikutan itu juga akhirnya merembes ke wilayah–wilayah lain, seperti wilayah Sosial, Budaya, Hukum, dan sebagainya. Dalam budaya hukum, khususnya yang diterapkan di Indonesia, menganut sepenuhnya sistem hukum barat yang melegalkan pergaulan bebas yang disebut Islam sebagai perzinahan. Akibatnya, dalam bidang budaya, masyarakat Indonesia modren, juga akrab dengan produk budaya–budaya barat yang mendukung pergaulan bebas seperti pacaran (dating), tunangan, freesex, summon liven (kumpul kebo), dan sebagainya. 16 Khalwat menurut Qanun No. 14 tahun 2004 Bab I Pasal I point 20 adalah “Khalwat/ mesum adalah perbuatan bersunyi–sunyi antara dua orang mukallaf atau lebih yang berlainan jenis yang bukan muhrim atau tanpa ikatan perkawinan”. 17 16 . Al-yasa Abubakar & Marah Halim, Hukum Pidana Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,Banda Aceh,Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,halaman 80 s.d 82. 17 . Himpunan Undang – Undang, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah/ Qanun, Instruksi Gubernur,Edaran Gubernur, Berkaitan Pelaksanaan Syari’at Islam, edisi V, (Banda Aceh, Dinas Syariat Islam Provinsi NAD,2006), halaman 226. Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 Khalwat dilarang dalam Islam karena perbuatan ini bisa menjerumuskan orang kepada zina, yakni hubungan intim di luar perkawinan yang sah. Larangan mendekati zina terdapat dalam surat Al-Isra’ayat 32: Dan janganlah kamu mendekati zina, karena sesungguhnya zina itu perbuatan yang keji dan seburuk-buruknya cara. 18 Sedangkan menurut para ulama nenberikan pengertian zina dengan susunan kalimat yang berbeda–beda, namun pada prinsipnya sama. Salah satu pengertian yang diberikan ialah: “(zina ialah) memasukan alat kelamin laki–laki kedalam alat kelamin perempuan (dalam persetubuhab) yang haram menurut zat perbuatannya, bukan karena subhat dan perempuan tersebut mendatangkan syahwat”. Persetubuhan yang haram menurut zat perbuatannya yang dimaksud dalam pengertian diatas adalah bercampur dengan perempuan yang bukan isterinya dan bukan pula budaknya. Dengan demikian persetubuhan antara suami isteri, tidak termaksud zina, walaupun dilakukan pada waktu yang diharamkan, seperti dalam keadaan haid, pada siang hari bulan puasa, atau sedang ihram. Dalam waktu tersebut persetubuhan antara suami isteri hukumnya adalah haram, tetapi disini bukan lantaran zat perbuatannya, melainkan karena ada sebab lain. Oleh karena itu tidak termaksud dalam kategori zina, walaupun pelakunya berdosa. Adapun yang dimaksud perempuan yang mendatangkan syahwat adalah manusia yang hidup dan berkelamin perempuan, baik masih kecil maupun sudah 18 . Q. S Al-Nisa’ Ayat 32. Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 dewasa. Dengan demikian tidak termaksud kategori zina, persetubuhan dengan mayat atau dengan binatang, walaupun hukumnya tetap haram. 19 Dalam pelaksanaan Syariat Islam di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, masalah khalwat di atur dalam Qanun Nomor 14 Tahun 2003 yang di atur bersamaan dengan Qanun Khamar (minuman keras dan sejenisnya) dan Maisir (perjudian). Adapun ketentuan – ketentuan materil tentang larangan khalwat yang diatur dalam Qanun No. 14 Tahun 2003 adalah sebagai berikut: Pasal 4 Khalwat/ mesum hukumnya haram. Pasal 5 Setiap orang dilarang melakukan khalwat/ mesum. Pasal 6 Setiap orang atau kelompok masyarakat atau aparatur pemerintahan dan badan usaha dilarang memberikan fasilitas kemudahan dan/atau melindungi orang yang melakukan khalwat/mesum. Pasal 7 Setiap orang, baik sendiri maupun kelompok berkewajiban mencegah terjadinya perbuatan khalwat/ mesum. Adapun ancaman hukuman terhadap pelanggaran Qanun ini adalah sebagai berikut : Pasal 22: (6) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4, diancam dengan ‘uqubat ta’zir berupa dicambuk paling banyak 9 (sembilan) kali 19 . M. Amrullah, Pelajaran Fiqih Madrasah Aliyah Kelas II, Caturwulan 1,2,3, (Bandung, CV,Armico, 1995), halaman 152. Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 dan paling sedikit 3 (tiga) kali dan/atau denda paling banyak Rp.10.000.000,(sepuluh juta rupuah), paling sedikit Rp. 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah). (7) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagai mana dimaksud dalam pasal 5 diancam dengan ‘uqubat ta’zir berupa kurungan. (1) Paling lama 6 (enam) bulan, paling singkat 2 (dua) bulan dan/ atau denda paling banyak Rp. 15. 000.000,- (lima belas juta rupiah), paling sedikit Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah). (2) Pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 dan 6 adalah jarimah ta’zir. Penjelasan Pasal 22 Ayat (1 dan 2) Yang dimaksud dengan setiap orang adalah orang islam yang berada di Nanggroe Aceh Darussalam. Pasal 24 Pengulangan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaiman dimaksud dalam pasal 22, ‘uqubat dapat ditambah 1/3 (sepertiga) dari ‘uqubat maksimal. Pasal 25 Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 dan 6: a. apabila dilakukan oleh badan hukum/ badan usaha , maka ‘ukubatnya dijatuhkan kepada penanggung jawab. b. apabila ada hubungan dengan kegiatan usahanya, maka selain sanksi ‘uqubat sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 22 ayat (1) dan (2), dapat juga dikenakan ‘uqubat administratif dengan mencabut dan membatalkan izin usaha yang telah diberikan. Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 Dari penjelasan di atas, maka unsur–unsur pidana dari tindak pidana khalwat, selain yang termaksud unsur pidana yang berlaku umum dalam pidana Islam di atas adanya nash yang melarang, melakukan sesuatu yang dilarang (perbuatan melawan hukum, dan pelakunya mukalaf), maka terdapat pula unsur -unsur yang khusus terdapat pada jarimah khalwat, yaitu: 1. perbuatan bersunyi – sunyi; 2. dilakukan oleh pria dan wanita yang bukan muhrim; 20 B. Perbuatan Jinayah di Bidang Maisir (Perjudian) Maisir berasal dari kata yasara atau yusr yang artinya mudah, atau dari kata yasar yang berarti kekayaan. Maisir atau perjudian adalah suatu bentuk permainan yang mengandung unsur taruhan dan orang yang menang dalam permainan itu berhak mendapatkan taruhan tersebut. Seperti halnya khamar, maka maisir juga merupakan suatu budaya jelek peradaban manusia sejak dulu. Jika khamar adalah minuman yang bertujuan bersenang – senang, maka maisir adalah permainan yang sesungguhya juga bertujuan mendapat kesenangan dan keuntungan tanpa bersusah payah. 21 Menurut pasal I Bab I Qanun Nomor 13 Tahun 2003, Maisir (Perjudian) adalah: “Kegiatan dan/ atau perbuatan yang bersifat taruhan antara dua pihak yang menang mendapatkan bayaran” 22 Maisir dilarang oleh Islam karena beberapa alasan: 1. Secara Ekonomis, Maisir dapat mengakibatkan kemiskinan, sebab jarang terjadi seseorang terus–terusan menang, yang paling banyak justru kekalahan. 20 . Al Yasa’ Abubakar & Sulaiman M. Hasan, Perbuatan Pidana Dan Hukumannya Dalam Qanun Provinsi NAD, Halaman 47 s.d 51. 21 . Ibid, Al Yasa’ Abubakar & Sulaiman M. Hasan, Perbuatan Pidana Dan Hukumannya Dalam Qanun Provinsi NAD, Halaman 40. 22 . Lihat Qanun No. 13 Tahun 2003 Bab I Pasal I. Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 2. Secara Psikologis, sebagai mana disebut dalam Al-quran, perjudian bisa menumbuhkan permusuhan, kebencian, sikap ria, takabbur, sombong , dan sebagainya dipihak yang menang. Pihak yang kalah dapat terkena stress, depresi bahkan bunuh diri. Hal ini sesuai dengan pernyataan dalam Al-Quran surat al-maidah ayat 91: Sesungguhnya syaitan itu hendak bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).23 3. Secara Sosiologis, perjudian dapat merusak sendi–sendi kekeluargaan yang merupakan inti masyarakat. Perjudian dapat menyebabkan masalah sosial seperti perceraian, pertengkaran bahkan bisa mengarah ke tindak kriminal seperti pembunuhan dan sebagainya. Dalam pelaksanaan Syariat Islam di NAD, masalah Maisir diatur dengan Qanun Propinsi NAD Nomor 13 tahun 2003. Qanun ini disahkan bersamaan dengan Qanun tentang khamar (minuman keras dan sejenisnya) dan Qanun tentang Khalwat (mesum). Adapun ketentuan - ketentuan materil tentang larangan Maisir tersebut adalah sebagai berikut: 24 Pasal 4 Maisir hukumnya haram. Pasal 5 Setiap orang dilarang melakukan perbuatan Maisir. Pasal 6 23 . Al – Quran Surat Al-Maidah Ayat 91 . Al Yasa’ Abubakar & Sulaiman M. Hasan, Perbuatan Pidana Dan Hukumannya Dalam Qanun Provinsi NAD, Op.cit Halaman 42.. 24 Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 (1) Setiap orang atau badan hukum atau badan usaha dilarang menyelenggarakan dan/ atau memberikan fasilitas kepada orang yang akan melakukan perbuatan Maisir; (2) Setiap orang atau badan hukum atau badan usaha dilarang menjadi pelindung terhadap perbuatan Maisir. Pasal 7 Instalasi pemerintah dilarang memberi izin usaha penyelenggaraan Maisir. Penjelasan Pasal 7 Yang dimaksud dengan izin usaha termaksud izin untuk menyelenggarakan keramaian, pameran, pertunjukan dan lain – lain. Pasal 8 Setiap orang atau kelompok atau Institusi masyarakat berkewajiban mencegah terjadinya perbuatan Maisir. 25 Adapun yang menjadi ancaman pidana terhadap perbuatan Maisir adalah sebagai berikut: Pasal 23 (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagai mana dimaksud dalam pasal 5, diancam dengan ‘uqubat cambuk didepan umum paling banyak 12 (dua belas) dan paling sedikit 6 (enam) kali. (2) Setiap orang atau badan hukum atau badan usaha Non-instansi pemerintah yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 dan 7, diancam dengan: 25 . Himpunan Undang – undang, keputusan presiden, peraturan daerah/ Qanun, instruksi presiden, edaran gubernur, berkaitan pelaksanaan syariat Islam, Dinas Syariat Islam Provinsi NAD,2006, halaman 207.Op. Cit Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 (1) ‘uqubat atau denda paling banyak Rp. 35.000.000,-(tiga puluh lima juta rupiah), paling sedikit Rp. 15.000.000,-(lima belas juta rupiah). (2) Pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5,6, dan 7 adalah jarimah ta’jir. Penjelasan Pasal 23 Ayat 1 Yang dimaksud dengan setiap orang adalah orang Islam. Ayat 2 Yang dimaksud dengan setiap orang adalah orang yang berada di Nanggroe Aceh Darussalam. Pasal 26 Pengulangan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, 6, dan 7 ‘uqubatnya dapat ditambah 1/3 (sepertiga) dari ‘uqubat maksimal. Pasal 27 Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6: a. apabila dilakukan oleh badan hukum / usaha, maka ‘uqubatnya dijatuhkan kepada penanggung jawab. b. Apabila ada hubungan dengan kegiatan usahanya, maka selain sanksi ‘uqubat sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (2), dapat juga Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 dikenakan ‘uqubat administratif dengan mencabut dan membatalkan izin usaha yang telah diberikan. 26 Qanun ini mendefenisikan Maisir sebagai ”kegiatan dan/ atau perbuatan yang bersifat taruhan antara dua belah pihak atau lebih dimana pihak yang menang mendapatkan bayaran.” 27Dari defenisi ini, unsur–unsur perbuatan pidana, selain unsur–unsur yang berlaku umum (ada nash yang melarangnya, melakuakan perbuatan yang dilarang/ melawan hukum, dan pelakunya mukallaf), yang disematkan kepada Maisir sehingga layak disebut sebagai perbuatan pidana, ada unsur lainnya yaitu: 1. Perbuatan bertaruh untuk mendapatkan keuntungan; 2. Dilakukan dua pihak atau lebih; Perbuatan bertaruh adalah unsur utama dari judi. Unsur ini memiliki cakupan yang sangat luas, sebab semua jenis kegiatan yang mempertaruhkan apa saja demi memperoleh keuntungan dapat dijerat dengan ketentuan ini. Selain dengan jenis–jenis lain yang dikemukakan di atas, maka jenis–jenis lain pun sepanjang mengandung unsur bertaruh dapat dimasukan kedalam kategori judi. Unsur kedua dari judi dalam defenisi diatas adalah dilakukan oleh dua pihak atau lebih. Dalam praktiknya, memamg ada judi yang dilakukan dua pihak saja dan ada juga yang lebih dari dua pihak. Dalam permainan kartu joker misalnya, yang dapat terlibat bisa lebih dari dua orang, dimana satu orang akan keluar sebagai pemenang. Selain itu, judi yang dilakukan oleh lebih dari dua pihak adalah permainan judi dengan memakai bandar. Cara seperti ini seperti yang dilakukan dikasino–kasino. 26 .Ibid. Himpunan Undang – undang, keputusan presiden, peraturan daerah/ Qanun, instruksi presiden, edaran gubernur, berkaitan pelaksanaan syariat Islam, Dinas Syariat Islam Provinsi NAD,2006, halaman 211. 27 . Qanun Provinsi NAD Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir (perjudian), Bab I, Pasal 1 angka 20. Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 Dalam hal ini, meski para penjudi duduk berhadap–hadapan, yang menjadi lawan sesungguhnya adalah bandar judinya. Berbeda dengan khamar yang tergolong jarimah hudud, yaitu perbuatan pidana yang sudah ditetapkan jumlah hukumannya oleh nash, maka Maisir tergolong jarimah ta’jir, sebab ketentuan hukumnya tidak ditetapkan oleh nash, karena itu, ia diserahkan kepada ketentuan Pemerintah. C. Pelanggaran Qanun Di Bidang Khamar ( Minuman Keras Dan Sejenisnnya) Secara lughawi (bahasa), istilah khamar berasal dari kata al-khamr, yang artinya menutupi, khamar adalah sejenis minuman yang memabukan (menutupi kesehatan akal). Khamar menurut Qanun no. 12 Tahun 2003 Bab I pasal I adalah “ minuman yang memabukkan apabila dikonsumsi dapat menyebabkan terganggu kesehatan, kesadaran dan daya fikir. Karena salah satu maqashid syari’ah adalah menjaga akal , maka syariat Islam sangat tegas melarangnya. Larangan khamar terdapat secara sharih dalam Al-quran dan hadist. Diantaranya yaitu terdapat dalam Al-quran surat al-maidah (5):90: Hai orang–orang beriman, sesungguhnya khamar, berjudi, berkurban untuk berhala, mengundi nasib dengan anak panah, itu adalah perbuatan keji, termaksud perbuatan setan, maka jauhilah agar kamu mendapat keberuntungan. Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 Hadist shahih yang memperkuat larangan ini ada beberapa, diantaranya hadist yang dikeluarkan Imam Bukhari dalam kitab Al Asyrubah. Setiap minuman yang memabukan adalah haram. ( H.R Imam Malik bersumber dari ’Aisyah r.a ) Akal adalah unsur terpenting yang terdapat dalam tubuh manusia. Ia adalah daya atau kekuatan yang dianugrahkan oleh Allah SWT kepada manusia sebagai alat berfikir dan alat untuk mempertimbangkan baik buruknya sesuatu; dan ia adalah salah satu dari dua potensi yang diberikan kepada manusia selain nafsu. Keduanya akal dan nafsu adalah potensi ruhaniah yang bersumber dari Allah yang di tempatkan kedalam jasmani manusia. Akal pula yang membedakan manusia dengan hewan. Karena itu, menjaga kesehatan akal menjadi kebutuhan dharuri (mutlak) bagi manusia. Para ahli fiqh berbeda pola dalam mendefenisikan khamar. Menurut Imam Hanafi, khamar khusus kepada minuman yang terbuat dari benda–benda yang disebutkan dalam hadist nabi seperti anggur, kurma, gandum, madu dan beberapa yang lain. Menurutnya khamar dan memabukan itu sesuatu yang berbeda. Jadi, benda lain yang diminum, walaupun memabukan, menurut Imam Hanafi tidak termaksud khamar dan tidak haram, sebaliknya tiga Imam yang lain, Imam Malik, Syafi’I, dan Hambali, menyatakan bahwa setiap minuman yang memabukan adalah haram tanpa terkecuali. Pendapat yang mayoritas diikuti dunia Islam adalah pendapat yang kedua ini. Perbedaan dalam mendefenisikan khamar adalah perbedaan dalam melihat ‘illat hukumnya. ‘Illat adalah unsur utama yang dijadikan patokan dalam menetapkan hukum sesuatu. Menurut Imam Hanafi, ‘illatnya adalah jenis bahan bakunya, yaitu anggur. Sedangkan bagi Imam Malik, Syafi’I, dan Hambali, ‘illat hukumnya adalah Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 sifat memabukan dari suatu minuman, karena itu jika ‘illat ini yang dipegang, maka semua jenis minuman yang memabukkan termaksud khamar dan haram hukumnya. Tampaknya memang pendapat terakhirnlah yang paling banyak dianut dalam dunia Islam, sebab dizaman modern ini, jenis – jenis minuman yang memabukan berbagai macam model dan jenisnya. Ia juga dapat diolah dari berbagai macam bahan baku selain yang disebutkan nabi. Bahkan dengan kemajuan teknologi, benda yang memabukan bukan lagi berupa minuman, tetapi bisa dalam bentuk dihisap, disuntik, dimakan, dan sebagainya yang membuat pelakunya lebih mabuk dari pada mengkonsumsi benda memabukan dalam bentuk minuman. Bentuk terakhir saat ini populer dengan istilah Narkoba (narkotika dan obat–obatan terlarang). Yang termaksud obat-obat terlarang adalah heroin, kokain, shabu, putau dan sebagainya, yang pada umumnya benda–benda tersebut digunakan untuk kebutuhan farmasi dan kebutuhan medis. Islam melarang khamar karena efek negatifnya yang multi-aspek, seperti aspek sosial, budaya, ekonomi, hukum, psikis dan lain–lain. Secara sosial, budaya minum–minuman keras dapat melahirkan prilaku–prilaku yang kasar dan anti sosial; secara budaya, dalam masyarakat akan tumbuh menjadi masyarakat yang tidak kreatif, produktif, inovatif, dan sebagainya, sebab budaya mabuk menyebabkan orang malas, boros, dan lainnya. Secara Ekonomi, budaya minum–minuman keras menggrogoti pendapatan dan pengeluaran, sebab anggaran belanja yang seharusnya dipergunakan untuk hal–hal yang bermanfaat telah terkuras untuk membeli khamar, secara hukum, jika budaya khamar subur dimasyarakat, maka berbagai kasus kriminalitas kelas berat dapat terjadi seperti pembunuhan, pemerkosaaan, perkelahian, penganiayaan, dan sebagainya, yang ujung–ujungnya menjadi urusan aparat penegak hukum. Dan secara Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 psikis, banyak pemabuk yang ketagihan akan prustasi, depresi dan gejala mental lainnya akibat kebiasaan buruknya bertentangan dengan norma–norma sosial. 28 Dalam pelaksanaan Syariat Islam di NAD, masalah khamar diatur dalam Qanun Propinsi nomor 12 tahun 2003. qanun ini disahkan bersamaan dengan qanun tentang Maisir (perjudian) dan qanun tentang khalwat (mesum). Adapun ketentuan– ketentuan materil tentang larangan khamar tersebut adalah sebagai berikut: Pasal 4 Minuman khamar dan sejenisnya hukumnya haram. Pasal 5 Setiap orang dilarang mengkonsumsi minuman khamar dan sejenisnya. Pasal 6 (1) Setiap orang atau badan hukum/ badan usaha dilarang memproduksi, menyediakan, menjual, memasukan, mengedarkan, mengangkut, menimbun, memperdagangkan,menghadiahkan, dan mempromosikan minuman khamar dan sejenisnya; (2) Setiap orang atau badan hukum dilarang turut serta/ membantu memproduksi, menyediakan, menjual, memasukan, mengedarkan, mengangkut, menyimpan, menimbun, memperdagangkan, dan memproduksi minuman khamar dan sejenisnya. Pasal 7 28 . Al Yasa’ Abubakar, Marah Halim, Hukum Pidana Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, (Banda Aceh, Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2006), halaman 68 s.d 70 Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 Larangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 berlaku juga bagi badan hukum dan atau badan usaha yang dimodali atau mempekerjakan tenaga asing. Pasal 8 Instansi yang berwenang menerbitkan usaha hotel, penginapan, losmen, wisma, bar, restoran, warung kopi, rumah makan, kedai, kios dan tempat–tempat lain, dilarang melegalisasikan penyediaan minuman khamar dan sejenisnya. Pasal 9 Setiap orang/ institusi masyarakat berkewajiban mencegah perbuatan minuman khamar dan sejenisnya. Adapun ancaman hukuman terhadap pelanggar Qanun ini adalah sebagai berikut: Pasal 26 (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, diancam dengan ‘uqubat hudud 40 (empat puluh) kali cambuk. (2) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 sampai pasal 8 diancam dengan ‘uqubat ta’zir berupa kurungan paling lama 1 (satu) tahun, paling sedikit 3 (tiga) bulan dan/ atau denda paling banyak Rp. 75.000.000,- (tujuh puluh lima juta rupiah), paling sedikit Rp. 25.000.000,(dua puluh lima juta rupiah). (3) Pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 adalah jarimah hudud. (4) Pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 sampai pasal 8 adalah jarimah ta’zir. Penjelasan pasal 26 Ayat (1) Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 Yang dimaksud dengan setiap orang adalah pemeluk agama Islam yang mukallaf di Nanggroe Aceh Darussalam. Ayat (2) Yang dimaksud dengan setiap orang adalah orang yang berada di Nanggroe Aceh Darussalam. Ayat (3) Jarimah Hudud adalah tindak pidana yang kadar dan jenis ‘uqubatnya terikat pada ketentuan – ketentuan Al-quran dan Al-hadist. Ayat (4) Jarimah Ta’zir adalah tindak pidana yang tidak termaksud Qishash-diat dan hudud yang kadar dan jenis ‘uqubatnya diserahkan kepada pertimbangan hakim. Pasal 29 Pengulangan pelanggaran terhadap ketentuan sebagai mana dimaksud dalam pasal 26,’uqubatnya dapat ditambah 1/3 (sepertga) dari ‘uqubat maksimal. Pasal 30 pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 sampai pasal 8: 1. apabila dilakuka oleh badan hukum/ badan usaha, maka ‘uqubatnya dijatuhkan kepada penanggung jawab; 2. Apabila ada hubungan dengan kegiatan usahanya, maka selain ‘uqubat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal 26, dapat juga dikenakan ‘uqubat administratif dengan mencabut atau membatalkan izin usaha yang telah diberikan. Penjelasan Pasal 30 Huruf (b) Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 Atas dasar keputusan hakim yang sudah berkekuatan hukum tetap, pemerintah daerah atau pejabat yang berwenang memberi izin usaha, mencabut atau membatalkan izin usaha yang telah diberikan.29 Dalam Qanun tersebut, khamar didefenisikan dengan “minuman yang memabukan, apabila dikonsumsi dapat menyebabkan terganggu kesehatan, kesadaran, dan daya fikir,” dari defenisi ini, maka unsur–unsur pidana yang terdapat dalam khamar ini, selain unsur–unsur umum sebagaimana yang disebutkan di atas (ada nash larangan, melakukan perbuatan yang dilarang/ melawan hukum, dan pelakunya mukallaf), maka ada dua unsur tambahan yang khusus untuk tindak pidana khamar, yaitu: 1. Perbuatan meminum–minuman yang memabukan dan berbahaya bagi kesehatan, kesadaran dan daya fikir; 2. Ada I’tikad jahat. Unsur utama dari perbuatan pidana khamar itu sendiri adalah perbuatan minum, dan sifat zat dari benda yang diminum adalah memabukkan. Dalam hal ini, bukan berarti bahwa jika minumnya tidak sampai memabukan maka ia menjadi halal, sebab hadist Nabi dengan jelas menyatakan keharamannya, baik diminum banyak atau sedikit. Dalam hadist riwayat Ahmad, Nabi bersabda: Apa saja yang banyaknya memabukan, maka sedikitnya pun haram (H.R.Ahmad bin’ Amru). Sedikit adalah ukuran yang sangat relatif bagi setiap orang, dan jika yang sedikit dibolehkan, maka kemungkinan besar orang akan mengkonsumsinya dalam jumlah yang banyak. Jika dibolehkan sedikit, maka secara logika, hadist yang melarang 29 membuatnya, mengedarkannya, menyimpannya, menjualnya, dan . Qanun Provinsi NAD No. 12 Tahun 2003. Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 sebagainya menjadi tidak berlaku sama sekali. Karena itu, melarang yang ssedikit disini adalah menutup jalan bagi yang banyak. Yang dimaksud dengan itikad jahat di sini adalah bahwa pelaku minum sudah mengetahui bahwa khamar dapat menghilangkan akal sehat dan kemungkinan besar dalam kondisi mabuk dia dapat melakukan apa saja yang membahayakan dirinya dan orang lain, tetapi dia tetap mengkonsumsinya. Hal ini menandakan bahwa ia acuh terhadap kepentingan orang lain. Dalam defenisi ini khamar telah dikhususkan kepada minuman yang memabukan, artinya benda–benda lain yang sifatnya memabukkan tetapi tidak diminum seperti narkotika dan obat–obat terlarang, tidak termaksud dalam pengertian khamar dalam qanun ini. Hal ini karena narkoba telah diatur dalam peraturan khusus yang berlaku umum di seluruh Indonesia. Jadi yang diatur oleh qanun ini dan berlaku secara khusus pula di Aceh, adalah khamar atau minuman keras, yang dalam KUHP tidak dilarang secara jelas. 30 BAB III PENERAPAN SANKSI PIDANA CAMBUK MENURUT QANUN PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM A. Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Menurut Fiqh Jinayah. Allah SWT berfirman dalam Al-Qu’ran : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum (mengadili, membuat keputusan) diantara manusia, supaya kamu menetapkan dengan adil. 30 Al Yasa’ Abubakar & Sulaiman M. Hasan, Perbuatan Pidana Dan Hukumannya Dalam Qanun Provinsi NAD, Op.cit Halaman 40. Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah maha Mendengar lagi maha melihat. (QS.An-nisa’58)31 Wahai orang–orang yang beriman hendaklah kamu menjadi orang–orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Janganlah sekali–kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil (kepada mereka). Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS.Al-maidah-8) 32 Perempuan yang berzina dan laki–laki yang berzina, maka cambuklah dari mereka seratus kali cambuk, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk menjalankan Agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari kiamat, dan hendaklah pelaksanaan hukuman tersebut disaksikan oleh sekumpulan orang–orang yang beriman. (QS.An-nur-2) 33 Dan orang–orang yang menuduh wanita baik–baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu menerima kesaksian mereka untuk selama–lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik. (QS. An-nur-4)34 Sebagaimana telah dijelaskan dalam firman Allah di atas pidana atas anggota badan, terdiri dari bermacam–macam bentuk. Bentuk–bentuk operasional pidana badan ini antara lain meliputi, pidana potong tangan dan kaki, pidana dera atau cambuk, pidana pemukulan, pidana qishas (pelukaan anggota badan), serta pidana 31 . Al-Quran Surat An-nisa ayat 58. . Al-Quran Surat Al-maidah ayat 8. 33 . Al-Quran Surat An-nur ayat 2. 34 . Al-Quran Surat An-Nur ayat 4 . 32 Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 rajam (pidana dera sampai mati) yang merupakan gabungan antara pidana atas jiwa dan pidana atas badan. Hukuman cambuk, sebat atau dera dalam bahas Arab disebut jald berasal dari kata jalada yang berarti memukul di kulit atau memukul dengan cambuk yang terbuat dari kulit. Jadi hukuman itu sangat terasa di kulit meskipun sebenarnya ia lebih ditujukan untuk membuat malu dan mencegah orang dari pada berbuat kesalahan dari pada menyakitinya. Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa orang yang dihukum cambuk tidak disuruh membuka pakaian sama sekali, tetapi hanya diminta untuk menanggalkan pakaian yang tebal yang dapat menahan pukulan. Ini juga disebutkan oleh Imam Al-Syafi’i dan Imam Ahmad bahwa orang yang dihukum cambuk harus memakai pakaian dalam, sepotong atau rangkap. Dalam sebuah riwayat disebutkan pula bahwa sebaiknya bagaian tubuh yang didera bukan hanya satu tempat, melainkan dibeberapa tempat dengan tujuan agar tidak mengakibatkan luka pada suatu tempat tertentu. Walaupun demikian harus dijaga jangan sampai memukul muka dan kemaluan. Hukuman cambuk ini disebut dalam Al-quran untuk tindak pidana zina (Al Nur : 4); dan dalam beberapa hadist untuk pidana khamar ( minuman keras ) dan ta‘zir. Jumlah sebatan yang disebut untuk zina adalah 100 kali sedangkan terhadap pidana qadzaf ( menuduh orang lain berzina ) adalah 80 kali. untuk hukuman terhadap pemabuk berdasarkan beberapa hadist ialah 40 kali. Pada masa Umar, hukuman 40 kali ini justru ditambah menjadi 80 kali. Rupanya Umar melihat bahwa cambuk 40 kali itu tidak mempan lagi dan beliau bermusyawarah dengan para sahabat seperti Ali dan mereka sepakat menetapkan cambuk 80 kali bagi peminum khamar. Batas hukuman cambuk untuk pidana ta’zir menurut Abu Hanifah, Muhammad, Syafi’iyah dan Hanbaliyah adalah tidak boleh melebihi hukuman Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 cambuk paling rendah dalam hudud (bentuk plural dari had) adalah 40 kali untuk khamar. Jadi batas tertinggi untuk ta’jir adalah 39 kali. Menurut Abu Yusuf , jumlah hukuman cambuk bagi pidana ta’zir tidak boleh lebih dari 75 kali dengan rumus cambukan had terendah 80 kali dikurang 5 kali. Menurut Malikiyah, tidak ada batasan jumlah cambukan ta’zir. Sepenuhnya terserah pada ijtihad imam (baca : pemerintah atau pembuat undang–undang / qanun atau pengadilan). Bahkan Imam dapat/ berhak untuk menetapkan hukuman ta’zir setara, kurang atau melebihi hukuman had (lihat, al-zuhaili, juz VI : 206). 35 Hukuman cambuk disebut secara jelas didalam Al-Quran dalam surat An-nur ayat 2 dan 4, ketika menjelaskan hukuman untuk penjina (seratus kali cambuk) dan hukuman untuk penuduh berbuat jina (80 kali dera). Di dalam hadist hukuman cambuk dijatuhkan pula untuk para peminum khamar. Catatan sejarah mengatakan bahwa hukuman cambuk betul–betul telah dipraktekan pada masa Rasullullah dan masa khulafa’ur Rasyiddin. Dalam cerita rakyat Aceh dan dan dalam buku hukum positif yang berlaku pada masa kesultanan dahulu pun hukuman cambuk sering dijatuhkan pengadilan dan dilaksanakan ditengah masyarakat. Dengan demikian kuat tertanam di dalam kesadaran khalayak, bahwa hukuman cambuk adalah perintah Agama yang dituliskan didalam kitab suci, telah dilaksanakan dalam sejarah, dan karena itu perlu dilaksanakan dengan tulus dan sungguh di dalam hidup kemasyarakatan dan kenegaraan sekarang ini. 36 B. Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Menurut Qanun Propinsi NAD. 35 . Rusjdi Ali Muhammad, , Op.cit .halaman 109 s.d 110. . Al Yasa’abubakar, Sekilas Syariat Islam Di Aceh, (Banda Aceh, Dinas Syariat Islam Provinsi NAD, 2006) Halaman 25. 36 Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 Dengan diberlakukannya Undang–undang No. 44 Tahun 1999, keistimewaan yang selalu disebut–sebut sebagai ciri utama dan telah menjadi identitas Aceh sejak tahun 1959 itu di harap akan jadi lebih nyata dan betul–betul dapat diimplementasikan ditengah–tengah masyarakat. Dalam penjelasan resmi undang-undang No. 44 Tahun 1999 ini antara lain dinyatakan : Isi keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1/ Missi/ 1959 tentang keistimewaan Provinsi Aceh ysng meliputi Agama, peradatan dan pendidikan, yang selanjutnya diperkuat dengan undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah. Untuk menindak lanjuti ketentuan–ketentuan mengenai keistimewaan Aceh tersebut dipandang perlu untuk menyusun penyelenggaraan keistimewaan Aceh tersebut dalam suatu undang – undang. Undang–undang yang mengatur mengenai penyelenggaraan Keistimewaan Aceh Propinsi Daerah Istimewa Aceh ini dimaksud untuk memberikan landasan bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh mengatur urusan–urusan yang telah menjadi keistimewaannya melalaui kebijakan Daerah dalam mengatur pelaksanaanya sehingga kebijakan daerah lebih akomodatif terhadap aspirasi masyarakat Aceh. Seperti terlihat penjelasan ini menyatakan bahwa undang–undang tersebut adalah dibuat untuk menjalankan keistimewaan yang diberikan pada tahun 1959 dahulu bahkan ditambah dengan satu keistimewaan lagi, yaitu peran ulama dalam menetapkan kebijakan daerah. Mengenai pelaksanaan Syariat Islam, pasal 4 menyatakan: (1) penyelenggaraan kehidupan beragama didaerah di wujudkan dalam bentuk pelaksanaan Syari’at Islam bagi pemeluknya dalam beermasyarakat. Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 (2) daerah mengembangkan dan mengatur penyelenggaraan kehidupan beragama, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan tetap menjaga kerukunan hidup antar umat beragama. Sedangkan makna atau cakupan Syari’at Islam yang akan dilaksanakan dan beberapa istilah lain yang berkaitan dengannya dijelaskan dalam pasal 1 tentang ketentuan umum sebagai berikut: 1. Keistimewaan adalah kewenangan khusus untuk menyelenggarakan kehidupan beragama, adat, pendidikan, dan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah; 2. Kebijakan daerah adalah peraturan daerah atau keputusan Gubernur yang bersifat mengatur dan mengikat dalam penyelenggaraan keistimewaan; 3. Syari’at Islam adalah tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan. 4. Adat adalah aturan atau perbuatan yang bersendikan Syari’at Islam yang lazim dituruti, dihormati, dan dimuliakan sejak dahulu yang dijadikan sebagai landasan hidup. Dari kutipan diatas ada beberapa hal yang dapat disimpulkan: Pertama pemerintah mengakui bahwa keistimewaan yang diberikan kepada Aceh di bidang pendidikan, Agama dan peradatan pada tahun 1959 dahulu, tidak mempunyai peraturan pelaksana yang memungkinkannya di jalankan ditengah masyarakat. Ketiadaan peraturan pelaksana itulah yang ingin diatasi, yaitu mengeluarkan Undang–undang No. 44 Tahun 1999, lebih kurang 40 tahun setelah keistimewaannya diberikan. Kelihatannya dengan undang–undang ini pemerintah ingin mengoreksi kebijakan yang selama ini diambil, yang cendrung mengabaikan Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 pengorbanan, kesetiaan, dan hak–hak khusus Aceh yang sejak lama telah diakui dan dibanggakan. Kedua, Syari’at Islam telah didefenisikan secara relatif lengkap, yaitu mencakup seluruh ajarannya (terutama ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan). Jadi Undang–Undang ini telah memberikan pemahaman yang kaffah, kepada Syari’at Islam, mencakup ibadat, muamalat, jinayat, munakahat bahkan lebih dari itu mencakup aqidah serta ahklak dan semua ajaran dan tuntunan diberbagai bidang lainnnya. Sedang mengenai pendidikan dan peradatan yang dalam pemahaman masyarakat adalah bagian yang tidak terpisahkan dari pada pelaksanaan Syari’at Islam, dalam rumusan undang–undang diatas telah merupakan keistimewaan tersendiri, karena itu dalam penjelasan tentang Syari’at Islam, kedua istilah ini tidak lagi dimasukan. Ketiga, Umat Islam di Aceh diberi izin untuk menjalankan Syari’at Islam di dalam kehidupannya, sebagai pengakuan atas keistimewaan Aceh. Istilah dalam bermasyarakat yang disebutkan dalam pasal 4 ayat (2) diatas, menurut beberapa anggota DPR yang menyusun rumusan ini (antara lain M. Kaoy Syah), wakil Pemerintah pusat dalam team pembahasan (Zainal Abidin, SH) dan juga utusan Aceh dalam pembahasan pasal diatas (almarhum Safwan Idris), adalah untuk menegaskan dan menguatkan bahwa Syari’at Islam yang akan dilaksanakan di Aceh bukan hanya aturan di bidang Ibadat, tetapi mencakup aturan–aturan selebihnya dalam hidup bermayarakat. Jadi kelihatannya tambahan tersebut dimasukan untuk menguatkan makna kaffah yang ada pada Syariat Islam itu sendiri. 37 37 . Al Yasa’ Abubakar, syariat Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan, (Banda Aceh, Dinas Syari’at Islam NAD, 2006) Halaman 41 s.d 44. Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 Ketika Undang–Undang Nomor 44 Tahun 1999 disahkan, oleh rakyat Aceh disambut dengan “Pengadilan Rakyat” yang menjatuhkan hukuman badan kepada para penjudi, peminum minuman keras dan pelaku perbuatan mesum. Pengadilan dan penjatuhan hukuman ini digelar dihampir semua Kabupaten, sehingga ada sekitar 40 kasus dalam waktu empat bulan. “ pengadilan liar” ini baru berhenti setelah para ulama turun memberikan penjelasan bahwa didalam Syariat Islam, hukuman hanya dapat di jatuhkan oleh pengadilan yang sah dan berwenang, dan hanya dapat dilaksanakan oleh petugas yang resmi, yang diberi wewenang untuk itu. Rakyat tidak berhak melakukan pengadilan dan tidak berhak menjatuhkan hukuman. Sejak saat ini, diberbagai kesempatan, sering terlontar pertanyaan dan tuntutan kepada para ulama, kapan Mahkamah Syar’iyah menjatuhkan hukuman kepada para pelaku kejahatan. Dan hukuman yang diminta pada umumnya adalah hukuman cambuk. Sekiranya bukan hukuman cambuk yang dijatuhkan, maka akan kuat kesan bahwa hukuman tersebut belum merupakan pelaksanaan syari’at, tetapi masih merupakan hukuman sisa peninggalan Belanda.. Dipihak lain, kadang–kadang muncul pernyataan bahwa hukuman cambuk adalah kejam, tidak manusiawi bahkan bertentangan dengan HAM. Pernyataan ini harus disikapi dengan hati–hati. Pada dasarnya semua hukuman adalah siksaan untuk memberikan penderitaan. Penderitaan atau siksaan itu dianggap boleh dan sah dijatuhkan apabila diputuskan oleh pengadilan yang sah dan berwenang untuk itu, dan dengan cara–cara yang sah pula, sehingga keputusan tersebut memenuhi rasa keadilan masyarakat. Karena itu hukuman penjara atau hukuman cambuk bukanlah pelanggaran HAM sekiranya dijatuhkan oleh pengadilan. Sebaliknya memenjarakan atau mencambuk orang tanpa ada putusan dari pengadilan yang sah akan dianggap sebagai pelanggaran HAM. Selanjutnya, kita jugs bisa mengajukan pertanyaan, mana Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 yang lebih kejam menyiksa orang dengan hukuman penjara sehingga ia terpisah dengan keluarganya selama berbulan–bulan bahkan bertahun–tahun, dibanding dengan hukuman cambuk yang bisa dikatakan tidak sempat memisahkan Siterhukum dari keluarganya. Lebih dari itu para ulama, para Cendikia dan Pemerintah di Aceh terasa lebih manusiawi, sekiranya bila dibandingkan dengan hukuman cambuk yang dijatuhkan di Negara lain. Hukuman cambuk di Aceh akan dihentikan sekiranya siterhukum luka (mengeluarkan darah) karena cambukan. Terhukum dibiarkan dalam keadaan bebas, tidak diikat dan tidak diberi penyangga. Dengan demi kian sekiranya terhukum tidak sanggup lagi menerima cambukan, maka dokter pengawas akan mudah mengetauinya dan pencambukan akan dihentikan. Terhukum diberi pakaian yang menutup aurat, sehingga cambuk tidak langsung mengenai kulit. Pembaca dapat membandingkan hukuman cambuk yang kita laksanakan sekarang dengan hukuman cambuk yang dijatuhkan di Singapura, Malaysia dan Pakistan. Hukuman cambuk disamping hukuman duniawi, juga merupakan bagian dari ajaran Agama. Dengan demikian hukuman cambuk merupakan bagian dari pernyataan taubat, yang diharapkan dapat mengampuni dosa diakhirat kelak. Mungkin terhukum merasa malu dan itu adalah wajar, tetapi tidak perlu secara berlebih–lebihan, karena kegiatan ini adalah sebagian dari amal, sebagai tanda dan janji kepada Allah untuk tidak mengulangi kesalahan dimasa yang akan datang. Terhukum dan keluarga tidak perlu malu, tetapi sebaliknya merasa puas dan bangga, bahwa mereka termaksud dalam kelompok yang telah bertaubat, yang dapat merenungi dan menyadari kesalahan; termaksud “kelompok utama, para pelopor” (assabiquna-I awwalun) dalam pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh dan dalam bertaubat kepada Allah SWT. Inilah salah satu sebab kenapa halaman Masjid yang dipilih sebagai tempat Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 pelaksanaan, agar kesyahduan dan kedekatan dengan Allah tetap terjaga dan disadari. Hukuman ini dilaksanakan ditempat terbuka yang dapat dikunjungi masyarakat luas karena Al-quran meminta untuk melaksanakan seperti itu. 38 Secara ringkas dapat mengenai pelaksanaan hukuman bagi terdakwa pelaku pelanggaran Qanun di bidang Syariat Islam adalah sebagai berikut: 1. Pelaksana hukuman adalah Jaksa Penuntut umum a. Hukuman kurungan (penjara) dilaksanakan sesuai dengan aturan dalam KUHAP; b. Hukuman denda dilaksanakan sesuai dengan aturan didalam KUHAP, uang denda disetor ke Badan Baitul Mal (rekening khusus pemerintah Kabupaten); 2. Hukuman Cambuk; a. Terhukum harus dalam kondisi sehat (dapat menjalani hukuman cambuk) menurut keterangan dokter. b. Pencambuk adalah petugas yang sudah dilatih, yang ditunjuk oleh Jaksa penuntut umum; c. Cambuk yang digunakan adalah rotan dengan diameter antara 0,75 s.d 1,00 cm; d. Jarak pencambuk dengan terhukum minimal 70 cm. e. Jarak pencambuk dengan orang–orang yang menyaksikan paling dekat 10 m. 38 . Al Yasa’abubakar, Sekilas Syariat Islam Di Aceh, (Banda Aceh, Dinas Syariat Islam Provinsi NAD, 2006) , Op.cit Halaman 25 s.d 28. Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 f. Pencambukan akan dihentikan sementara kalau menyebabkan luka (mengeluarkan darah) atau diminta oleh dokter atas pertimbangan medis, atau terhukum melarikan diri; g. Pencambukan akan dilanjutkan setelah terhukum dinyatakan sehat atau setelah terhukum menyerahkan diri atau dapat ditangkap; h. Terhukum diberikan salinan berita acara sebagai bukti telah menjalankan hukuman. C. Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap pelaku Pelanggaran Qanun Yang Beragama Non Muslim. Isu akhlakuk karimah dalam penegakkan Syari’ah Islam tentu bukan tanpa alasan sosiologis yang kuat. Dalam sebuah negara yang terdiri dari berbagai suku, ras, dan agama seperti Indonesia, penegakan sebuah aturan agama tertentu sebagai dasar resmi untuk menjalankan kebijakan politik, hukum, dan sosial sehari-hari, tidak bisa langsung diterima begitu saja. Bahkan, hal itu berlawanan dengan prinsip demokrasi yang menjamin persamaan hukum dan hak bagi semua warga negara. 39 Salah satu titik kekhawatiran beberapa pihak bila Syari’at Islam ini benar– benar di jalankan sepenuhnya di Aceh adalah posisi kaum minoritas (non-muslim). Bagaimanakah kedudukan mereka dalam konstelasi Syari’at Islam sesungguhnya? Benarkah mereka menjadi warga kelas dua yang diwajibkan membayar pajak kepala, bagaimanakah sebenarnya hak dan kewajiban mereka. 39 . Ahmad Fuad Fanani, makalah Jihad Memperjuangkan Penerapan Syari’at Islam: Pandangan Tokoh-tokoh Pesantren di Jawa Barat. Halaman 9 s.d 10. Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 Tak dapat disangkal pertanyaan–pertanyaan semacam ini, untuk sebagiannya dipicu oleh semacam stereotype tentang Islam yang kejam, keras bahkan barangkali diasosiasikan kepada terorisme perang. Selanjutnya, jika Syari’at Islam berlaku di Aceh akankah perlakuan–perlakuan semacam itu juga terjadi, mungkin prasangka ini menjadi bertambah dengan menyaksikan apa yang terjadi di Afganistan yang kini dikuasai oleh kaum Thaliban. Bagaimana Dunia tersentak ketika pada bulan Maret 2001 yang lalu rezim Thaliban menghancurkan patung–patung dan kuil Hindu bersejarah yang dianggap sebagai Pusaka Dunia. Tak kurang dari UNESCO yang mengeluarkan seruan agar prenghancuran patung itu dihentikan, tetapi rezim Thaliban tetap saja meneruskan rencananya. Terakhir tersiar berita kecil dari CNN tanggal 22 Mei 2001 (pukul 16.00 WIB) Rezim Thaliban mengumumkan rencananya untuk mewajibkan penganut Agama Hindu disana agar memakai pakaian khusus sebagai tanda kaum minoritas (non-muslim). Hal ini mengingatkan kita pada praktik beberapa khalifah Abbasiyah pada abad pertengahan dahulu kala. Kini jika di Aceh diberlakukan Syari’at Islam secara menyeluruh akankah praktik serupa terulang lagi disini. Lalu apakah praktik seperti kaum Thaliban itu memang berasal dari norma Syari’at Islam, persoalan inilah yang perlu kita pelajari dengan seksama dalam kajian berikut. Kaum Minoritas (Non Muslim) dalam literatur klasik sering disebut ahl aldzimmah atau ahl al- mu’anadah dan sering disingkat saja dengan sebutan kaum Dzimmi. Yang dimaksud dengan istilah ini ialah semua orang yang bukan muslim yang tetap patuh dan setia terhadap aturan–aturan dalam Negara Islam dimana merekan tinggal, tanpa melihat dari mana asal mereka dan dimana mereka dilahirkan. Terhadap kelompok warga Negara ini ajaran Islam memberikan jaminan untuk Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 melindungi mereka dalam kehidupan mereka, dalam kebudayaan, kekayaan serta kepercayaan dan kehormatan mereka (Al-mauddudi, 1967: 269). Kata al-dzimmah berarti keamanan, perjanjian, dan jaminan. Mereka disebut demikian karena memiliki jaminan perjanjian (al-ahd) dari Allah dan Rasulnya serta dari jamaah kaum muslimin untuk hidup aman dan tenteram dibawah perlindungan Islam serta dalam lingkungan masyarakat Islam. Jadi, mereka berada dalam jaminan keamanan kaum muslimin untuk hidup berdasarkan ‘aqd dzimmah. Dengan ‘aqd ini mereka memperoleh hak–hak serta kewajiban–kewajiban yang sama dengan warga Negara lainnya (Al-Qardhawi, t.th: 19). Atas dasar itu, kaum minoritas (non-muslim) termaksud ahl dar al-islam (warga Negara Islam) dan menurut Yusuf Al-qardhawi, berlaku untuk selama–lamanya serta mengandung ketentuan membolehkan orang– orang non muslim yang bersangkutan tetap dalam Agama mereka. Selain itu, mereka juga berhak menikmati perlindungan dan perhatian dari jamaah kaum muslimin, dengan syarat mereka membayar jizyah serta berpegang pada ketentuan hukum setempat dalam hal–hal yang tidak berhubungan langsung dengan masalah–masalah agama. Hal ini pada prinsipnya juga setara dengan kaum muslimin sendiri. Kaum dzimmi berhak mendapat perlindungan , berkewajiban membayar jizyah. Kaum muslimin juga berhak mendapat perlindungan, namun wajib membayar zakat. Pendapat al-Qardhawi, aqd al dzimmah berlaku selama – lamanya, kiranya harus ditambahkan dengan catatan bahwa ikatan yang terjadi haruslah berdasarkan kesepakatan dan kerelaan masing–masing. Sebab aqd al dzimmah tidaklah dapat dipaksa bahwa ia untuk selama–lamanya harus menetap diwilayah Islam, jika suatu saat ia memutuskan untuk memilih tempat lain. 40 40 . Ali Muhammad, Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh Problem, Solusi dan Implementasi ,Op.cit, halaman 58 s.d 60 Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 Selain itu dari kalangan Pesantren di Jawa Barat juga memberikan benerapa pendapat dan tanggapan mengenai posisi kaum minoritas (non-muslim) dalam penerapan Syari’at Islam ini diantaranya: Siti Asadiyah—seorang guru senior pada Pesantren Darussalam Ciamis— misalnya, bependapat bahwa non Muslim tidak perlu khawatir dengan penegakan Syari’at Islam secara formal sebagai undang-undang negara. Karena, mereka pasti akan dilindungi eksistensi dan keberadaannya. “Ya pasti dilindungi. Ini kan sudah ada sejarahnya, sejak zaman Rasul sampai sahabat. Ketika itu Muslim yang nomor satu dan non-Muslim takluk, dan mereka itu memberikan upeti kepada umat Islam” ujarnya. Bila kita lihat pernyataan itu, secara tersurat jelas bahwa umat non-Muslim akan dilindungi, namun dengan syarat mereka memberikan upeti kepada umat Islam. Dari pernyataan itu, secara tidak langsung juga ditegaskan bahwa posisi umat nonMuslim sebagai warga negara kelas dua adalah hal yang sangat mungkin dan wajar dalam penegakan Syari’at Islam. Mengamini pendapat di atas, Asep Suja’i Farid dari Pesantren Cintawana, Tasikmalaya menyatakan bahwa justru dengan Syari’at Islam umat non-Muslim akan lebih terlindungi. Hal itu sudah dicontohkan Rasulullah ketika di Madinah. Saat itu, menurutnya, umat non-Muslim lebih terjamin untuk melakukan perdagangan, praktik keagamaan, kegiatan sosial-politik, serta urusan kehidupan lainnya. Ketakutan umat non-Muslim di Indonesia, menurutnya, dikarenakan sikap yang apriori terlebih dahulu tanpa melihat sejarah Nabi. Hal itu ditambah lagi oleh sikap sebagian tokoh umat Islam sendiri yang tidak berusaha memperjuangkan Piagam Jakarta secara sungguhsungguh. “Kalau melihat pengalaman itu, mereka malah bisa lebih terlindungi, karena ada contoh yang Rasulullah telah laksanakan di Madinah. Lebih terjaminlah. Kalau ada Piagam Jakarta, insya allah Syari’at Islam kini sudah berjalan di seluruh Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 indonesia. Minimal Jawa dan Sumatera. Karena yang bagian timur kan mayoritas waktu itu orang kafir” paparnya tentang masalah ini. Soal kemungkinan terjadinya pengkelasan kewarganegaraan juga dinyatakan M. Mufti dari Pesantren Baiturrahman, Bandung. Dia berpendapat, kalau dilihat dari sudut pandang teori negara, kemungkinan itu sangat ada. Sebab, ketika suatu negara dibangun berdasarkan hukum agama tertentu, tentu warga negara yang menganut agama yang sama dengan negara yang akan lebih terjamin hak-haknya, begitu juga sebaliknya. Bahkan, seharusnya aturan itu juga bisa diterapkan ke umat agama lain yang tinggal di negara itu. Namun, lain halnya dengan pendapat Latif Awaluddin dari pesantren Persis Pajagalan, Bandung. Dia menyatakan bahwa aturan hukum dan kehidupan sehari-hari dalam penerapan Syari’at Islam tidak diwajibkan bagi umat non-Muslim. Meski umat Islam diwajibkan menutup aurat, untuk warga non-Muslim tidak harus, bahkan dia tidak harus shalat. Dan pendapat yang sama juga dikemukan Ustadz Syamsuddin dari Pesantren Darul Muttaqin, Cirebon. Menurutnya, dalam konteks Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, ras, dan agama, pemaksaan penerapan Syari’at Islam kepada non-Muslim tidak bisa dibenarkan. “Islam ini bukan suatu paksaan, kita tidak bisa memaksakan Islam kepada orang-orang yang memang belum ada petunjuk dari Allah. Artinya kita mau mendakwahi kayak apapun dan memaksakan, malah kita nanti dipermasalahkan. Jadi barang siapa yang sudah mengerti dan memahami marilah kita sama-sama jalan, kalau itu belum ya masing-masing saja” katanya memberikan argumen soal larangan pemaksaan itu. Dengan demikian, meski orangorang Kristen, Budha, dan agama lainnya itu sebagai orang kafir umat Islam tidak dibenarkan memerangi mereka. Lebih jauh, Ustadz Syamsuddin berkata: Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 Hari ini kitab mereka (orang Kristen dan sebagainya) kan bikinan baru. Dan kita memahami Nabi yang terahir kita Nabi Muhammad, berarti Islam itu yang dibawa dan mestinya semua manusia kembalinya pada Islam dan bukan pada agama lainnya. Kita anggap mereka ini tidak menuhankan pada Allah, berarti orang kafir. Tetapi apakah kita harus memerangi mereka? Tidak. Kita ini Islam, damai, tapi diarahkan ke Islam dan tanpa paksaan dan kita tidak sepakat dengan kekerasan. Bahkan, kita ajarkan kepada anak-anak bahwa Islam ini bukan kekerasan tapi kita damai, baik, santun kepada siapa saja kepada semua orang yang tinggal disekitar kita”. Lain lagi dengan Mastuhi Abdul Ghafur dari Pesantren Baiturrahman, Bandung. Menurutnya, kalau Syari’at Islam sudah ditegakkan dan ditetapkan secara formal sebagai undang-undang daerah seperti di Aceh, maka non-Muslim harus mengikuti aturan itu. Hanya saja, untuk daerah lain perlu diuji coba sejauhmana penerimaan masyarakat terhadap Syari’at Islam secara formal dalam Undang-Undang. Jika di daerah yang penduduknya mayoritas beragama Islam, maka mau tidak mau masyarakatnya mengatakan bisa saja terjadi. Namun, untuk konteks keseluruhan negara Indonesia, dikhawatirkan penerapan aturan ke non-Muslim akan menyebabkan perang agama. Lebih tegasnya dia berujar: “Kalau itu sudah masuk dalam Undang-Undang daerah artinya sudah diberlakukan seperti itu. Kalau daerah lain ya silahkan saja. Pokoknya kalau awalnya diletakkan ini seperti itu akan kokoh. Tapi kalau Undang-Undang resminya sudah berjalan begini bisa perang agama, dunia akan bertindak bahkan akan digencet Indonesia kalau non-muslim dipaksa ikut aturan muslim. Maksudnya di Indonesia dipusat, kalau didaerah awalnya begitu karena mayoritas muslim maka mereka mau tidak mau mereka msyarakatnya mengatakan bisa saja terjadi”. Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 Meski demikian, dia menambahkan, jika suatu saat nanti Indonesia berhasil menerapkan Syari’at Islam dalam Undang-Undang dan sudah ditetapkan, maka seluruh warganya—Muslim dan non-Muslim—wajib mengikutinya. Seperti di Malaysia dan Arab Saudi yang sudah memberlakukan hukum Islam, warga nonMuslim mau tidak mau memang mengikutinya. Menurutnya, kesalahan negara Indonesia adalah kenapa dahulu saat kemerdekaan Syari’at Islam tidak diberlakukan dan ditetapkan sebagai aturan negara. Jika pada masa itu berhasil, aturan itu pasti akan diterima tidak hanya oleh warga Muslim saja tapi juga oleh semua warga negara lainnya. Pendapat serupa dikemukakan Asep Ahmad Mausul Affandi dari Pesantren Miftahul Huda, Tasikmalaya. Menurutnya, kita tidak bisa mengubah keyakinan orang, karena sebagi pengikut Nabi terakhir sudah semestinya mengikuti Nabi yang tidak suka memaksakan kehendak pada orang lain. Dia mencontohkan, meski Abu Thalib tiap hari bergaul dan hidup dengan Nabi Muhammad yang dibimbing dengan wahyu dan dibekali dengan mukjizat, sampai akhir hidupnya ia tetap kafir. Menurutnya, itu adalah fakta sejarah yang harus diterima. Meski demikian, dia percaya bahwa Syari’at Islam sebetulnya bisa ditegakkan sebagai aturan di negeri ini, termasuk untuk warga non-Muslim. Demikianlah, bila melihat berbagai pendapat di atas, sangat wajar jika banyak non-Muslim khawatir akan posisi mereka jika Syari’at Islam diterapkan. Menurut Saiful Mujani, sejauh aspirasi politik Syari’ah ini terbatas pada kelompok-kelompok di masyarakat, bukan sebagai bagian dari kebijakan publik, maka perbedaan pemahaman itu relatif masih bisa diakomodasi asal tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku umum. Namun, jika sudah menjadi keputusan publik, lewat lembagalembaga negara, maka akan mengikat semua warga negara, baik Muslim maupun nonFerdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 Muslim. Dan kalau ini terjadi, demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang berfungsi mewadahi pluralisme primordial, termasuk perbedaan pemahaman tentang Syari’ah, mulai terancam eksistensinya. 41 Selain itu dalam penerapan Syari’at Islam kaum minoritas (non-muslim) memiliki hak–hak, yaitu dasar yang pertama–tama dalam perlakuan terhadap kaum minoritas (non-muslim) dalam sebuah dar al-Islam ialah bahwa mereka memiliki hak–hak yang sama dan seimbang sebagaimana yang dimiliki kaum muslimin, kecuali dalam beberapa hal tertentu. Sebaliknya, mereka juga dibebani kewajiban–kewajiban yang sama seperti yang dibebankan atas kaum muslimin kecuali dalam beberapa hal tertentu. Hak–hak ahl al-dzimmah yang pertama–tama adalah hak menikmati perlindungan negara dan masyarakat Islam. Perlindungan itu meliputi perlindungan terhadap segala macam kezaliman, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar negeri. Dengan begitu, mereka benar–benar menikmati rasa aman dan tentram. Mengenai perlindungan terhadap gangguan yang berasal dari luar negeri, kaum dzimmi memiliki hak yang sama seperti yang dimiliki kaum muslimin. Menjadi kewajiban pemerintah Islam untuk mewujudkan perlindungan semacam itu dengan kekuasaan yang dimilikinya. Hal itu berlaku selama mereka masih berdiam dalam dar al-Islam bukannya dalam dar ar-harb Mengenai perlindungan dari kezaliman yang berasal dari dalam negeri, ajaran Islam mengingatkan kaum muslimin agar jangan sekali–kali melanggar hak kaum ahl al – dzimmah baik dengan tindakan maupun dengan ucapan. 41 . Ahmad Fuad Fanani, Makalah Jihad Memperjuangkan Penerapan Syari’at Islam: Pandangan Tokoh-tokoh Pesantren di Jawa Barat. Halaman 10 s.d 13. Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 Dalam sebuah perjanjian antara Nabi Muhammad SAW dengan kaum Nasrani Bani Najran, yakni kaum ahl al-dzimmah yang pertama–tama membayar jizyah dalam sejarah Islam, yang antara lain ditetapkan: “tidak diperkenankan menghukum seseorang dari mereka karena kesalahan orang lain.” Mengenai keharusan memberikan perlindungan kepada kaum ahl al-dzimmah ini terdapat banyak sekali hadist dan atsar (perkataan sahabat) yang memberikan arahan sikap kaum muslimin. Diantaranya sabda Rasulullah SAW: “barang siapa menganiaya seorang dzimmi atau mengurangi hak–haknya atau memberikan beban yang melampauin batas kekuatannya, atau mengambil sesuatu darinya tanpa kerelaan hatinya, akulah yang menjadi penuntutnya pada hari kiamat” (Riwayat Abu daud).42 Selain itu diantara hak kaum minoritas (non-muslim) yang dilindungi ialah kebebasan beragama dan beribadah. Sebab didalam Al-quran secara tegas disebutkan bahwa setiap orang berhak memeluk Agama dan kepercayaannya masing–masing. Seorang dzimmi tidak boleh dipaksa untuk berpindah keagama Islam dengan cara apapun juga. Inti ajaran ini terlihat jelas dalam sebuah ayat dalam al-quran: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama Islam sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah (al-baqarah: 256). Sayyid muhammad Rasyid Ridha, dengan mengutip riwayat Ibnu Jarrir dari Ibnu Abbas RA menyebutkan bahwa ayat diatas diturunkan dalam hubungannya dengan seorang anshar dari bani salim bin ‘auf yang dipanggil dengan nama alhushain. Lelaki ini mempunyai dua orang putra yang beragama nasrani sedangkan ia sendiri telah memeluk Islam. Lalu ia menghadap Nabi Muhammad SAW dan 42 . Ali Muhammad, Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh problem, solusi dan implementasi , Op.cit, halaman 60 s.d 61. Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 bertanya: “bolehkah saya memaksa keduanya yang terus dalam agama nasrani dan enggan memeluk islam?”pada saat itulah turun ayat diatas yang melarang seseorang memaksa orang lain, walau anaknya sekalipun, untuk masuk kedalam agama Islam. 43 Selain hak–hak kaum minoritas (non-muslim) juga memiliki kewajiban– kewajiban yang harus ditaati dan dipatuhi dan satu–satunya perlakuan yang berbeda terhadap kaum ahl al-dzimmi dari pada kaum muslimin pada umumnya, ialah dalam kewajiban mereka membayar jizyah. Namun penelitian lebih mendalam memperlihatkan bahwa kewajiban membayar jizyah ini hanyalah merupakan istilah yang berbeda untuk kewajiban yang setingkat bagi kaum muslimin dengan nama zakat. Bahkan dari segi jumlah, pungutan zakat bagi kaum muslimin selalu lebih besar dari pada pungutan jizyah bagi kaum non-muslim. Meskipun demikian masalah jizyah dan perlakuan terhadap kaum minoritas (non-muslim) ini oleh beberapa penulis sering diambil sebagai suatu titik untuk menyerang konsep keadilan dan persamaan dalam Islam terhadap rakyatnya. Hal ini misalnya tercermin dalam tulisan Majid Khadduri yang menyatakan bahwa pungutan jizyah terhadap kaum non-muslim merupakan suatu bentuk hukuman dari kaum muslimin terhadap kaum non-muslim. Memang mengenai jizyah ini telah timbul banyak salah paham, tidak hanya oleh penulis–penulis non-muslim tetapi juga oleh sebagian penulis dari kalangan muslim sendiri. Bahkan ada yang sampai pada kesimpulan bahwa hanya kaum muslimin sajalah yang menikmati status kewarga negaraan penuh, oleh karena adanya jizyah ini. 43 . Ibid, halaman 63. Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 Salah paham yang banyak terjadi itu pertama–tama mungkin banyak berpangkal dari kekeliruan penapsiran sebagian orang dalam memahami satu–satunya ayat Al-quran yang bebicara tentang jizyah, yakni surat at-taubah: 29: Perangilah orang–orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) pada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (Agama Allah) , (yaitu orang – orang ) yang diberikan al-kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk. Akhir ayat diatas (wa hum shaghirun) sering diartikan secara keliru oleh sebagian orang dengan menganggapnya sebagai dasar pembolehan untuk memperlakukan kaum non-muslim yang membayar jizyah secara merendahkan dan menghina. Penafsiran semacam ini misalnya dilakukan oleh al-raghib al-ashfani , yang mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan frasa yang tersebut diatas ialah kaum pembayar jizyah itu rela menempati kedudukan yang hina (al-radhi ‘ala almanzilah al-daniyyah). Dalam komentarnya, sayyid muhammad rasyid ridha juga menyatakan memang ada sebagian mufassir yang mengartikan bagian ayat ini dengan pengertian yang jauh dari keadilan dan rahmat ajaran Islam. Pengertian yang sebenarnya disini seperti dikemukakan rasyid ridha, ialah bahwa kaum non-muslim yang membayar jizyah itu tunduk kepada ketentuan hukum dan pemerintahan Islam, dalam hal warga non-muslim itu berkedudukan sebagai minoritas. Jadi, dengan singkat dapat dikatakan bahwa pemberian jizyah itu dilakukan dibawah sistem hukum dan pemerintahan Islam, suatu hal yang wajar saja oleh karena jizyah itu sendiri berasal dari tatanan hukum Islam , tegasnya ayat di atas Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 dimaksudkan untuk mengacu kepada sistem, bukan menunjukan pada cara bagaimana jizyah itu dipungut dari kaum non-muslim. 44 Sementara itu dalam pelaksanaan Syariat Islam di Propinsi NAD sendiri, sampai saat ini belum ada peraturan–peraturan daerah atau Qanun–qanun di bidang Syariat Islam yang dibuat secara terperinci untuk mengatur tentang posisi, hak dan kewajiban kaum minoritas (non-muslim) di propinsi NAD. Sejak pemberlakuan Syariat Islam di NAD hingga saat ini Syariat Islam hanya diberlakukan terhadap kaum muslimin saja, setiap pelanggaran Syariat Islam yang terjadi dan dilakukan oleh kaum muslimin oleh pihak penyidik kepolisian berkas perkara dilimpahkan kepada Kejaksaan Negeri untuk diproses dan kemudian dilanjutkan kepada Mahkamah Syariah untuk diadili dan dijatuhi hukuman. Sedangkan bagi pelaku pelanggaran Syariat Islam yang beragama non-muslim oleh pihak penyidik Kepolisian berkas perkara diserahkan kepada kejaksaan Negeri untuk diproses dan kemudian dilanjutkan kepada Pengadilan Negeri untuk diadili dan dijatuhkan hukuman. Bagi pelaku pelanggaran Syariat Islam yang beragama Islam dipergunakan Qanun di bidang Syariat Islam yang berlaku di Propinsi NAD, sedangkan bagi pelaku pelanggaran yang beragama non-muslim masih tetap mempergunakan Kitab Undang – undang Hukum Pidana Nasional Indonesia, dan bagi pelaku pelanggaran Syariat Islam yang beragama non-muslim tidak diberlakukan sanksi pidana cambuk akan tetapi masih mempergunakan sanksi pidana penjara, kurungan atau denda yang berlaku didalam KUHP Indonesia. Seperti halnya yang terjadi pada beberapa kasus Maisir (perjudian) dan Khalwat (mesum) yang terjadi di kota Madya Banda Aceh, yang mana bebarapa 44 . Ibid halaman 67 s.d 68. Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 diantara pelakunya beragama non-muslim, bagi pelaku pelanggaran yang beragama Islam diberlakukan Qanun No. 13 tahun 2003 tentang perbuatan pidana di bidang Maisir (perjudian), sedangkan bagi pelaku pelanggaran yang beragama non-muslim diberlakukan Kitab Undang – undang Hukum Pidana. Akan tetapi seiring perkembangannya saat ini, dalam pelaksanaan Syariat Islam di Provinsi NAD, bagi pelaku pelanggaran Syariat Islam yang beragama nonmuslim menurut keterangan dari Humas Dinas Syariat Islam Kota Banda Aceh Wirzaini Usman, S.H dikenal adanya penundukan sukarela, bagi pelaku pelanggaran Syariat Islam yang beragama non-muslim diberikan hak untuk memilih hukum mana yang akan diberlakukan atas dirinya, apakah Qanun Syariat Islam Provinsi NAD, atau Kitab Undang–undang Hukum Pidana, apakah sanksi pidana cambuk atau sanksi pidana kurungan yang akan di kenakan terhadap dirinya. 45 Seperti tertulis dengan jelas dalam Undang–undang nomor 18 Tahun 2001, Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam hanya berlaku kepada orang yang beragama Islam. Dengan demikian, orang yang tidak beragama Islam tidak akan dipaksa untuk mengikuti hukum atau peraturan yang didasarkan kepada Syariat Islam tersebut. Sebelum kehadiran Undang–Undang nomor 44 Tahun 1999,di Aceh disahkan Perda nomor 5 Tahun 2000, yang dalam pasal 2 ayat (2)-nya menyatakan bahwa agama selain Islam diakui keberadaannya di Aceh, begitu juga para pemeluknya dihormati dan dilindungi keberadaannya serta diberi kebebasan untuk beribadat melaksanakan ajaran dan kewajiban agamanya. 46 45 . Keterangan dari hasil wawancara dengan Humas Dinas Syariat Islam Kota Banda Aceh, Wirzaini Usman S.H. 46 . Al - Yasa Abubakar, Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan,Banda Aceh, 2006, Dinas Syariat Islam Proninsi Nanggroe Aceh Darussalam,Op.cit, halaman 139 s.d 140. Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 BAB IV EFEKTIFITAS PENERAPAN SANKSI PIDANA CAMBUK TERHADAP PELANGGARAN QANUN DI BIDANG SYARIAT ISLAM DI WILAYAH HUKUM KOTA MADYA BANDA ACEH PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM E. Tujuan Penerapan sanksi pidana Cambuk Terhadap Pelaku Pelanggaran Qanun di Bidang Syariat Islam. Yang menjadi tujuan dari pada penerapan sanksi pidana cambuk bagi pelaku pelanggaran syariat Islam adalah untuk memberikan kesadaran dan rasa malu untuk mengulangi perbuatannya lagi serta menjadi peringatan bagi masyarakat agar tidak melakukan pelanggaran Syariat Islam dan tidak menimbulkan dampak negatif bagi keluarganya. Serta dengan pelaksanaan sanksi pidana cambuk ini menjadikan beban yang harus ditanggung pemerintah lebih murah dibandingkan dengan jenis hukuman lainnya seperti yang dikenal dalam sistem KUHP sekarang ini. 47 Adapun yang merupakan fungsi dan tujuan dari pada pelaksanaan Syariat Islam dalam Qanun propinsi NAD adalah sebagai berikut: 1. Tujuan dan fungsi Qanun no. 11 Tahun 2002 tentang pelaksanaan Syariat Islam bidang Aqidah, Ibadah dan Syi’ar Islam. a. Membina dan memelihara keimanan dan ketaqwaan individu dan masyarakat dari pengaruh ajaran sesat. 47 . Teguh Darmawanto, “ Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelaku Pelanggaran Syariat Islam Di Kecamatan Bukit Kabupaten Bener Meriah Nanggroe Aceh Darussalam” (Skripsi yang diterbitkan Fakultas Hukum USU Medan, 2007, halaman 50. Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 b. Meningkatkan pemahaman dan pengamalan ibadah serta penyediaan fasilitasnya. c. Menghidupkan dan menyemarakkan kegiatan–kegiatan guna menciptakan suasana dan lingkungan yang Islami. 2. Tujuan dan fungsi qanun nomor 12 tahun 2003 tentang khamar (minuman keras) dan sejenisnya. a. Melindungi masyarakat dari berbagai kegiatan dan/atau perbuatan yang merusak akal. b. Mencegah terjadinya perbuatan atau kegiatan yang timbul akibat minuman khamar dalam masyarakat. c. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam mencegah dan memberantas terjadinya perbuatan meminum khamar dan sejenisnya. 3. Tujuan dan fungsi Qanun Nomor 13 tahun 2003 tentang Maisir (perjudian). a. memelihara dan melindungi harta benda/ kekayaan. b. Mencegah anggota masyarakat melakukan perbuatan yang mengarah kepada Maisir. c. Melindungi masyarakat dari pengaruh buruk yang timbul akibat kegiatan dan/ atau perbuatan Maisir. d. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan perbuatan Maisir. 4. Tujuan dan fungsi Qanun nomor 14 tahun 2003 tentang khalwat (mesum). a. Menegakkan syariat Islam dan adat istiadat yang berlaku di dalam masyarakat propinsi NAD. Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 b. Melindungi masyarakat dari berbagai bentuk kegiatan dan/ atau perbuatan yang merusak kehormatan. c. Mencegah anggota masyarakat sedini mungkin dari melakukan perbuatan yang mengarah kepada zina. d. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam mencegah dan memberantas terjadinya perbuatan khalwat/ mesum. e. Menutup peluang terjadinya kerusakan moral. 48 2. Tingkat Tindak Pidana Perjudian dan Perjinahan Sebelum Penerapan Qanun Di Bidang Syariat Islam Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Di Kota Madya Banda Aceh. Sebelum berbicara mengenai penerapan Syariat Islam di NAD sekarang ini ada baiknya kita melihat kembali kepada sejarah yang telah ditorehkan oleh masyarakat Aceh baik pada masa kerajaan Aceh maupun pada masa setelah kemerdekaan Republik Indonesia dan bergabungnya Aceh kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesi ini mengenai penerapan Syariat Islam di Aceh. Seperti yang telah dituliskan dalam sejarah pada masa kejayaan Sultan Iskandar Muda kerajaan Aceh telah menerapkan Syariat Islam Sebagai dasar–dasar dan sendi–sendi kehidupan kenegaraan, dari mulai sistem pemerintahan,hukum– hukum negara, hingga kehidupan sehari–hari masyarakat Aceh telah menerapkan Syariat Islam sebagai aturan hidupnya. 48 . Himpunan Undang – undang, Op.cit, halaman 165 s.d 166. Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 Berikutnya pada masa setelah kemerdekaan Republik Indonesia, setelah masa kemerdekaan ini dan setelah bergabungnya Aceh sebagai salah satu propinsi dalam kedaulatan NKRI, seperti yang telah diuraikan penulis pada pendahuluan bab I skripsi ini,di mana satu persatu mulai bermunculan permasalahan dan konflik–konflik yang bergejolak di Aceh yang berawal pada ketidak puasan masyarakat Aceh terhadap kebijakan pemerintah RI atas janji–janjinya pada masyarakat Aceh sebelum Aceh bergabung kedalam NKRI, yaitu pemberian keistimewaan kepada Aceh untuk menjalankan Syariat Islam di Aceh dalam kehidupan sehari–hari masyarakat Aceh. Berlarut–larutnya konflik di Aceh tidak hanya menimbulkan korban jiwa dan harta yang tidak sedikit. Melainkan juga telah mengakibatkan terjadinya perubahan– perubahan dalam berbagai bidang kehidupan sosial dan politik pemerintahan. Salah satunya adalah dalam bidang penegakan hukum yang menimbulkan kevacuman pada semua tingkatan. Kevacuman ini kemudian berdampak lebih lanjut pada cara–cara penyelesaian kasus–kasus pidana dalam masyarakat terutama kasus–kasus amoral dan pelanggaran susila. Akibat lebih lanjut adalah munculnya fenomena pengeksekusian hukum oleh anggota masyarakat (disebut di sini sebagai pengadilan rakyat). Hal ini mulai terlihat pada pada september 1999 dan sampai dengan minggu pertama Januari 2000 telah terjadi 18 kasus peradilan rakyat di Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Barat, Aceh Selatan, dan Aceh Utara, jenis kejahatan yang diadili melalui peradilan rakyat mulai dari bentuk pelanggaran ringan seperti “tidak puasa” sampai dengan kasus yang tergolong sangat berat seperti kasus “perjinahan” 49 49 . Ali Muhammad , Revitalisasi Syariat Islam Di Aceh, Ar-raniry Press,2003,Op.cit halaman 95. Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada data Peradilan Rakyat berikut ini, yang merupakan hasil laporan dari Forum Peduli HAM Aceh. Table no.1 DATA PERADILAN RAKYAT TERHADAP PELAKU MAKSIAT DAN DEVIASI MORAL TAHUN 1999 s.d 2000 NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 KASUS LOKASI WAKTU KEJADIAN Pasangan tanpa nikah diarak warga Kluet Utara, Aceh Slatan 30 Oktober 1999 Pasangan tidak sah digrebek warga disuatu rumah, dibawa kemeunasah dan dimandiwajibkan Ujong Batee, Aceh Besar 1 November 1999 Agen ganja diarak masa Simpang Tiga, Pidie 21 November 1999 Penjina dihukum cambuk 100 kali Blang pidie, Aceh Selatan 27 November 1999 Dua pencuri diarak masa (tukang becak) Banda Aceh 31 November 1999 Pasangan tanpa nikah diarak warga Tapak tuan, Aceh selatan November 1999 Banda Aceh 2 Desember 1999 Empat PSK dicukur dan diarak Warga kedah ditangkap karena dituduh berbuat asusila Satu warga diarak karena menghisap ganja Lima warga diarak karena menghisap ganja Satu warga diarak karena mencuri Satu warga diarak karena tidak berpuasa Warga diarak karena mencuri kelapa muda PSK dan Seorang lelaki tua diarak karena dituduh berbuat asusila Seorang warga diarak karena diduga berzina Dua pasangan mesum diarak Pasangan mesum yang tertangkap berbuat mesum diarak masa Simpang rima, Aceh Besar Tapaktuan, Aceh selatan Blangpidie, Aceh Selatan Blangpidie, Aceh selatan Blangpidie, Aceh Selatan Tapak tuan, Aceh selatan Desember 1999 Desember 1999 14 Desember 1999 14 Desember 1999 14 Desember 1999 14 Desember 1999 Peuniti, Banda Aceh 14 Desember 1999 Jantho, Aceh Besar 14 Desember 1999 Takengon, Aceh Tengah Desa Hagu Tengah, Lhokseumawe, 15 Desember 1999 15 Desember 1999 Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 Aceh Utara 18 Pengedar ganja diarak masa Meulaboh,Aceh Barat Januari 2000 Sumber: Forum Peduli HAM Aceh. Dari fenomena peradilan rakyat diatas dapat kita simpulkan keinginan dari masyarakat Aceh untuk menjalankan Syariat Islam dalam kehidupan masyarakat Aceh sehari – hari. Akan tetapi dikarenakan tidak adanya arahan atau bimbingan dari Pemerintah dan tokoh–tokoh ulama setempat maka terjadilah fenomena yang di kenal dengan Peradilan Rakyat. Ada beberapa hal yang melatar belakangi lahirnya suatu Peradilan Rakyat, yaitu secara hipotesis ada beberapa alasan yang dapat diperkirakan melatar belakangi gejala Peradilan Rakyat di Aceh. 1. Masalah Legitimasi. Legitimasi suatu lembaga (misalnya Lembaga Peradilan), sebagaimana juga halnya suatu peraturan, tentulah sangat menentukan tingkat kepatuhan masyarakat. Paling tidak, secara teoritis ada tiga macam legitimasi: pertama, Legitimasi Yuridis, yaitu adanya dasar hukum yang melandasi eksistensinya. Kedua, legitimasi sosiologis: adanya pengakuan masyarakat sehingga lembaga tersebut efektif. Dan ketiga, legitimasi filosofis: apabila lembaga tersebut sesuai dengan cita–cita hukum dan ide yang menjadi cita-cita tertinggi dalam masyarakat yang bersangkutan. Yang menjadi pertanyaan disini adalah sejauh mana Lembaga Peradilan dan ketentuan–ketentuan hukum di indonesia selama ini memiliki legitimasi tersebut. Suatu ketentuan hukum atau lembaga tidak cukup dengan hanya mengandalkan legitimasi yuridis formal saja. Idealnya ia harus memenuhi ketiga legitimasi tersebut sekaligus, sehingga ia benar– benar berakar dengan kuat dalam masyarakat. Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 2. Masalah Kepercayaan Berkaitan dengan masalah legitimasi tadi adalah soal tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum kita. Mungkin hanya rumor atau desas– desus, tetapi tidak dapat dipungkiri, sangat jelas terdengar sinyalemen tentang mafia peradilan. Hal ini diperkuat dengan seruan berbagai pihak melalui pers beberapa waktu lalu agar semua Hakim Agung di Jakarta diganti supaya ada reformasi di dunia peradilan. 3. Euphoria Reformasi Angin reformasi yang demikian kuat berhembus setelah tumbangnya Orde Baru di Indonesia, tampaknya di Aceh mengambil bentuk yang berbeda. Tuntutan masyaarakat juga diarahkan sampai menyentuh lembaga penegak hukum dan juga materi ketentuan hukum. Hanya saja hal ini dilakukan dengan cara yang kurang terencana dan kurang terkoordinasi dan terkesan sporadis. Mungkin inilah pengaruh euforia reformasi, yang harus dicermati dengan memberi respon dan apresiasi yang adil dan wajar dengan menghilangkan kesan anarki. Masyarakat awam bisa saja memberi respon yang terkesan emosional , tetapi elit politik dan elit cendikiawan haruslah mampu menangkap pesan dan isyarat yang hakiki dan tersembunyi dari tindakan mereka. 4. Harapan Ideal: Romantisme Masyarakat Hal lain yang dapat diduga disini adalah berkait dengan harapan masyarakat yang sangat besar bagi adanya perubahan yang segera di bidang hukum dan peradilan. Hal ini juga diimbuhi dengan romantisme masyarakat Aceh yang sangat jauh jaraknya dengan kenyataan factual. Padahal di sisi lain terdapat kendala struktural yang sangat signifikan. Misalnya belum adanya dasar hukum yang cukup kuat untuk pembentukan suatu lembaga atau ketentuan–ketentuan hukum yang baru dan khas. Selain itu, secara Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 tekhnis banyak sekali pekerjaan yang harus dilakukan misalnya masalah sumber daya manusia dan masalah pilihan hukum serta kodifikasi hukum. Semua hal itu membutuhkan waktu dan kemampuan teknis serta kesepakatan luas padahal masyarakat tampaknya ingin segara melihat implementasinya secaranyata dan segera. 5. Kegamangan Beberapa Kalangan elit Beberapa kalangan elit politik, terutama di Jakarta terlihat begitu gamang dengan perkembangan yang terjadi pada masa reformasi ini. Khususnya di Aceh, tuntutan rakyat yang lama terpendam bagi berlakunya Syariat Islam, terlihat jelas mendapat respon yang berbeda–beda. Disatu sisi Pemerintah dan DPR memberi peluang dengan mengeluarkan Undang–undang nomor 44 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Keistimewaan Daerah Aceh. Undang–undang ini membuka celah bagi pelaksanaan Syariat Islam di Aceh dan ini diperkuat, antara lain Perda nomor 5 tahun 2000 tentang pelaksanaan Syariat Islam. Tetapi beberapa Menteri, termaksud Menhan Moh Mahfuz MD menyatakan bahwa pelaksanaan Syariat Isalm di Aceh terbatas pada bagian hukum privat, tidak termaksud hukum publik seperti hukum pidana. Belakangan pendapat ini diperkuat lagi oleh Jaksa Agung Marzuki Darusman. (lihat harian Kompas, 8 Mei 2001). Lebih keras lagi tanggapan sekjen PDIP, Sucipto yang menolak pemberlakuan Syariat Isalm di Aceh. Meskipun tanggapan Sucipto ini mendapat reaksi balik dari kalangan PDIP sendiri, khususnya PDIP Aceh , reaksi kaum elit Jakarta ini jelas memperbesar skeptitisme masyarakat Aceh untuk dapat kesempatan melaksanakan Syariat Islam secara luas sebagai keistimewaan Aceh, yang dulu hanya sekedar nama. Orang Aceh sekarang pun akan bertanya lagi, akankah kisah lama itu berulang lagi. Dari uraian diatas telah tampak jelas hal apa dan bagaimana sebenarnya yang diinginkan masyarakat Aceh, sebelum diberlakukannya syariat Islam di Aceh, Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 khususnya di kota Banda Aceh sendiri Hal–hal atau fenomena–fenomena semacam itulah yang bisa saja terjadi, sebelum diberlakukannya Syariat Islam di Banda Aceh kasus–kasus tindak pidana seperti perjudian, kejahatan asusila atau perjinahan tidak terlalu dianggap serius untuk ditangani, padahal kasus–kasus penyakit masyarakat seperti inilah yang dapat menyebabkan pergeseran bahka keterpurukan moral suatu bangsa nantinya, sebelum berlakunya Syariat Islam di Banda Aceh kasus–kasus penyakit masyarakat ini lebih banyak diselesaikan secara peradilan rakyat dari pada oleh aparat penegak hukum, setelah adanya fenomena peradilan rakyat barulah kasus– kasus ini mulai serius di tangani oleh aparat penegak hukum, sebelum penerapan Syariat Islam di Aceh untuk kasus–kasus penyakit masyarakat seperti ini menunjukan tingkat yang cukup tinggi, hal ini dapat dilihat dari laporan tahuna Poltabes Banda Aceh dari tahun 2001 sampai 2004 seperti tercantum pada table di berikut ini. Table No. 2 DATA TINDAK PIDANA PERJUDIAN DAN ASUSILA DI KOTA MADYA BANDA ACEH TAHUN 2001 S.D 2004 No. Jenis tindak pidana Tahun 2001 2002 PERJUDIAN 5 3 2 KEJAHATAN ASUSILA - - 3 PERJINAHA N - 1 PERKOSAAN 2 2 1 4 JUMLAH 2003 2004 2 4 14 perkara - 4 4 perkara 2 1 4 perkara 3 1 9 perkara Sumber: POLTABES BANDA ACEH Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 Dari data tahunan Poltabes Banda Aceh pada tabel di atas dapat dilihat bahwa pada tahun 2001 sampai dengan 2004 menunjukan angka tindak pidana yang tidak terlalau signifikan, pada tahun 2001 tindak pidana perjudian yang di proses oleh poltabes Banda Aceh ada 5 perkara, dan tindak pidana perkosaan ada 2 perkara, dan 0 pada tindak pidana kejahatan susila dan perjinahan, pada tahun 2002 tercatat ada 3 perkara tindak pidana perjudian ,0 pada tindak pidana kejahatan asusila, 1 perkara perjinahan, dan 2 perkara pada tindak pidana perkosaan, pada tahun 2003 terjadi sedikit penurunan pada tindak pidana perjudian yaitu menjadi 2 perkara, dan 0 pada tindak pidana kejahatan asusila, terjadi sedikit peningkatan pada tindak pidana perjinahan yaitu 2 perkara, dan kembali terjadi peningkatan pada tindak pidana perkosaan yaitu 3 perkara, dan pada tahun 2004 kembali terjadi peningkatan pada kasus tindak pidana perjudian yaitu 4 perkara, dan juga terjadi peningkatan pada tindak pidana kejahatan asusila dari 0 pada tahun–tahun sebelumnya meningkat menjadi 4 perkara, satu perkara pada tindak pidana perjinahan, dan juga 1 perkara pada kasus perkosaan. Jika dijumlahkan dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2004 telah terjadi 14 (empat belas) perkara tindak pidana perjudian, 4 ( empat ) perkara tindak pidana kejahatan asusilan, 4 (empat) perkara perjinahan, dan 9 (sembilan) perkara tindak pidana perkosaan. Dari data diatas menunjukan sebuah anggka tindak pidana yang cukup tinggi untuk daerah seperti Banda Aceh yang dikenal dengan Serambi Mekah. Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 3. Tingkat Pelanggaran Qanun Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Setelah Penerapan Qanun Di Bidang Syariat Islam Propinsi Nanggroe Aceh darussalam Dari Tahun 2005 Sampai Dengan 2007. Sejak pertama kali diterapkannya Syariat Islam di Kota Banda Aceh yaitu pada Tahun 2005 terjadi banyak perubahan pada wajah kota Banda Aceh, kota Banda Aceh yang dulunya terkesan bebas kini menjadi sedikit lebih tertib dan lebih Islami, walaupun belum seperti yang diinginkan oleh masyarakat dan Pemerintah Aceh sendiri. Sejak diberlakukannya Syariat Islam di Kota Banda Aceh yaitu dari tahun 2005 sampai dengan sekarang telah banyak program yang dilakukan oleh pemerintah kota Banda Aceh sendiri untuk mensosialisasikan dan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang penerapan Syariat Islam di kota Banda Aceh khususnya dan di Provinsi NAD umumnya, permerintah kota Banda Aceh juga telah melaksanakan penerapan Syariat Islam dalam bidang hukum, untuk membersihkan kota Banda Aceh dari pelanggaran–pelanggaran Syariat Islam, dan dengan melaksanakan Sanksi Pidana Cambuk di muka umum bagi para pelanggar Syariat Islam tersebut, seperti yang tercantum pada table dibawah ini yang menunjukan tingkat pelanggaran terhadap Syariat Islam setelah diberlakukanya syariat Isalam dikota Banda Aceh. Table no.3 Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 DATA TINDAK PIDANA PERJUDIAN DAN ASUSILA DI KOTA MADYA BANDA ACEH TAHUN 2005 S.D 2006 Sumber: POLTABES BANDA ACEH Table no. 4 No. Jenis tindak pidana Tahun JUMLAH 2005 2006 1 PERJUDIAN 4 1 5 perkara 2 KEJAHATAN SUSILA 2 3 5 perkara 3 PERJINAHAN 2 6 8 perkara 4 PERKOSAAN 3 2 5 perkara DATA PELANGGARAN QANUN YANG DILIMPAHKAN KE KEJAKSAAN NEGERI BANDA ACEH TAHUN 2005 S.D 2007 NO Tahun Jenis Pelanggaran Qanun JUMLAH 2005 2006 2007 1 Maisir (perjudian) 4 2 1 7 perkara 2 Khalwat (mesum) - 1 4 4 perkara 3 Khamar (minuman keras) 7 4 4 15 perkara Sumber: KEJAKSAAN NEGERI BANDA ACEH Table no. 5 DATA PELANGGARAN QANUN YANG TELAH DI PUTUS OLEH MAHKAMAH SYARIAT KODYA BANDA ACEH Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 TAHUN 2005 S.D 2007 NO Tahun Jenis Pelanggaran Qanun JUMLAH 2005 2006 2007 1 Maisir (perjudian) 4 2 - 6 perkara 2 Khalwat (mesum) - 1 4 5 perkara 3 Khamar (minuman keras) 4 3 4 11 perkara Sumber: MAHKAMAH SYARIAT KODYA BANDA ACEH Table no. 6 DATA PELANGGARAN QANUN DIKOTA BANDA ACEH TAHUN 2005 S.D 2007 NO Tahun Jenis Pelanggaran Qanun JUMLAH 2005 2006 2007 1 Maisir (perjudian) 4 2 - 6 perkara 2 Khalwat (mesum) - 1 4 5 perkara 3 Khamar (minuman keras) 7 3 4 14 perkara Sumber: DINAS SYARIAT ISLAM KOTA BANDA ACEH Seperti yang telah dipaparka pada table diatas menurut catatan dari kepolisian Kota Besar Banda Aceh pada tahun 2005 menunjukan belum terjadinya perubahan yang signifikan pada tindak pidana yang terjadi di Kota Banda Aceh setelah Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 diberlakukannya Syariat Islam, yaitu pada tindak pidana perjudian 4 perkara, kejahatan susila 2 perkara, tindak pidana perjinahan 2 perkara, dan perkosaan 3 perkara, dan pada tahun 2006 untuk tindak pidana perjudian 1 perkara, kejahatan asusila 3 perkara, tindak pidana perjinahan 6 perkara, dan tindak pidana perkosaan 2 perkara. Jika dijumlahkan pada tahun 2005 sampai dengan 2006 telah terjadi 5 perkara tindak pidana perjudian, 5 perkara kejahatan asusila, 8 perkara tindak pidana perjinahan, dan 5 perkara tindak pidana perkosaan. Berikutnya perkara–perkara pelanggaran Qanun yang telah dilimpahkan kepada Kejaksaan Negeri Banda Aceh dari tahun 2005 sampai dengan 2007, yaitu pada pelanggaran Qanun di bidang Maisir (perjudian), Khamar (minuman keras), dan Khalwat (mesum), pada tahun 2005 untuk pelanggaran Qanun di bidang Maisir (perjudian ) 4 perkara, pada pelanggaran qanun di bidang Khalwat (mesum) 0 perkara, dan pada Pelanggaran qanun dibidang Khamar (minuman keras) 7 perkara. Berikutnya pada tahun 2006 untuk pelanggaran qanun dibidang Maisir (perjudian) 2 perkara, pada pelanggaran qanun di bidang Khalwat (mesum) 1 perkara, dan untuk pelanggaran qanun dibidang Khamar (minuman keras) 4 perkara. Berikutnya pada tahun 2007 untuk pelanggaran qanun dibidang Maisir (perjudian) 1 perkara, untuk pelanggaran qanun dibidang Khalwat (mesum) 4 perkara, dan untuk pelanggaran qanun dibidang Khamar (minuman keras) 4 perkara. Jika dijumlahkan dari tahun 2005 sampai dengan 2007 perkara pelanggaran qanun yang telah dilimpahkan kepada Kejaksaan Negeri Banda Aceh adalah sebanyak 26 perkara, yaitu 7 perkara Maisir (perjudian) 4 perkara Khalwat (mesum) dan 15 perkara Khamar (minuman keras). Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 Berikutnya adalah perkara pelanggaran qanun yang telah diputus oleh Mahkamah Syariat Kota Banda Aceh pada tahun 2005 sampai dengan tahun 2007, yaitu pada tahun 2005 pada pelanggaran qanun di bidang Maisir (perjudian) 4 perkara, pada pelanggaran qanun dibidang Khalwat (mesum) 0 perkara, dan pada pelanggaran qanun di bidang Khamar (minuman keras) 4 perkara. Berikutnya pada tahun 2006, untuk pelanggaran qanun dibidang Maisir (perjudian) 2 perkara, pelanggaran qanun dibidang Khalwat (mesum) 1 perkara, dan pada pelanggaran qanun di bidang Khamar (minuman keras) 3 perkara. Berikutnya pada tahun 2007, untuk pelanggaran qanun dibidang Maisir (perjudian) 0 perkara, pelanggaran qanun dibidang Khalwat (mesum) 4 perkara, dan pelanggaran qanun dibidang Khamar (minuman keras) 4 perkara. Jika dijumlahkan dari tahun 2005 sampai dengan 2007 perkara pelanggaran qanun yang telah diputuskan oleh Mahkamah Syariat Kota Banda Aceh adalah sebanyak 22 (dua puluh dua ) perkara, yaitu 6 perkara pelanggaran qanun dibidang Maisir (perjudian), 5 perkara pelanggaran qanun dibidang Khalwat (mesum) dan 11 perkara pelanggaran qanun dibidang Khamar (minuman keras). Selain itu dapat juga dilihat data pelanggaran Qanun dari tahun 2005 sampai dengan 2007 yang dikeluarkan oleh Dinas Syariat Islam Kota Banda Aceh yaitu pada tahun 2005 talah tercatat untuk pelanggaran qanun di bidang Maisir (perjudian) ada 4 perkara, untuk pelanggaran qanun di bidang Khalwat (mesum) 0 perkara dan untuk pelanggaran Qanun dibidang Khamar (minuman keras) ada 7 perkara. Kemudian pada tahun 2006 telah tercatat untuk pelanggaran qanun dibidang Maisir (perjudian) ada 2 perkara, untuk pelanggaran qanun di bidang Khalwat (mesum) ada 1 perkara dan kemudian untuk pelanggaran qanun di bidang Khamar (minuman keras) ada 3 perkara. Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 Selanjutnya pada tahun 2007 telah tercatat untuk pelanggaran qanun dibidang Maisir (perjudian) ada 0 perkara, untuk pelanggaran qanun dibidang Khalwat (mesum) ada 4 perkara, dan untuk pelanggaran qanun dibidang Khamar (minuman keras) ada 4 perkara. Jika dijumlahkan maka dari tahun 2005 sampai dengan 2007 ada 25 perkara pelanggaran qanun di bidang Syariat Islam yang terjadi di Kota Banda Aceh yaitu, 6 perkara pelanggaran qanun dibidang Maisir (perjudian), 5 perkara dibidang Khalwat (mesum) dan 14 perkara pelanggaran qanun dibidang Khamar (minuman keras). Dari data yang telah penulis uraikan diatas dapat kita lihat bahwa dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2007 di Kota Banda Aceh terjadinya penurunan tingkat pelanggaran terhadap qanun dibidang Syariat Islam, walaupun belum menunjukan penurunan yang drastis seperti yang diharapkan. 4. Bagaimanakah Efektifitas Penerapan sanksi pidana Cambuk Dalam Menekan Tingkat Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh. Sebelum kita berbicara mengenai efektif atau tidak efektifnya penerapan sanksi pidana cambuk dalam menekan tindak pelanggaran qanun di bidang Syariat Islam di wilayah hukum kota Madya Banda Aceh, ada baiknya kita mengetahui apakah yang ingin dicapai dengan pelaksanaan Syariat Islam secara kaffah di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam umumnya dan di kota Madya Banda Aceh khususnya. Sekurang kurangnya ada empat jawaban untuk pertanyaan ini: Pertama, tujuan yang ingin dicapai dengan alasan agama (alasan teologis) bahwa pelaksanaan Syariat merupakan perintah Agama, untuk dapat menjadi muslim yang sempurna , yang lebih baik, yang lebih dekat dengan Allah SWT. Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 Kedua, tujuan dengan alasan psikologis, bahwa masyarakat akan merasa lebih aman dan tentram karena apa yang berlaku disekitar mereka, kegiatan yang mereka jalani dalam pendidikan, dalam kehidupan sehari–hari dan seterusnya sesuai dan sejalan dengan kesadaran dan kata hati mereka sendiri. Ketiga, tujuan dengan alasan hukum, masyarakat akan hidup dalam tata aturan yang lebih sesuai dengan kesadaran hukum, rasa keadilan dan nilai–nilai yang tumbuh dan berkembang ditengah masyarakat. Keempat, tujuan dengan alasan ekonomi dan kesejahteraan sosial, bahwa nilai tambah pada kegiatan ekonomi, serta kesetia kawanan sosial dalam bentuk tolong menolong baik untuk kegiatan ekonomi atau untuk kegiatan sosial akan lebih mudah terbentuk dan lebih solid. Anggota masyarakat di harapkan akan lebih rajin bekerja, akan lebih hemat dan juga lebih bertanggung jawab. Bagi umat Islam melaksanakan Syariat Islam secara kaffah dalam kehidupan keseharian, baik kehidupan pribadi maupun kemasyarakatan adalah perintah Allah dan kewajiban suci yang harus selalu di upayakan dan diperjuangkan. Seperti yang telah disebutkan diatas hal ini telah diperjuangkan sejak lama, sejak saat kemerdekaan ketika membentuk republik tercinta ini. Tujuan utama pelaksanaan ini pada tingkat individual adalah untuk menyempurnakan iman, agar setiap muslim dianggap muslim yang sempurna, yang menyerah dan tunduk kepada keinginan Allah secara mutlak, tanpa pamrih apapun. Sedang secara psikologis kemasyarakatan adalah untuk mewujudkan sebuah masyarakat yang menentramkan dan memberi ketenangan serta kepuasan batin kepada anggotanya, yang aman dan sejahtera serta diridhai oleh Allah SWT dan Rasullullah SAW. Telah berjanji bahwa pelaksanaan Syariat Islam secara kaffah ditengah kehidupan individu dan masyarakat akan memberikan kebahagiaan kepada setiap muslim, baik didalam kehidupan di dunia dan bahkan lebih–lebih lagi Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 dalam kehidupan di akhirat kelak. Dari segi ini kegiatan Pemda melaksanakan Syariat Islam adalah membantu kaum muslimin di Aceh memperoleh kepuasan dan ketenangan batin, bahwa mereka merasa mudah dan terlindungi dalam melaksanakan ajaran agamanya. Dengan kata lain terpuaskan secara psikologis. Secara normatif keimanan, pelaksanaan Syariat Islam adalah untuk memenuhi perintah Allah SWT. Namun dipihak lain Allah sendiri berjanji bahwa pelaksanaan Syariat Islam secara kaffah dalam kehidupan pribadi dan masyarakat akan mengantarkan kaum muslimin memperoleh kebahagiaan di dunia dan diakhirat. 50 Menggunakan istilah qawaid fiqih kulliah kegiatan penerapan Syariat Islam di Aceh dapat dikatakan bertumpu pada usaha: berusaha menjaga warisan masa lalu yang masih bermanfaat dan berusaha menciptakan yang baru yang lebih sesuai dan bermanfaat. Tujuan ini akan diupayakan mencapainya melalui dua kegiatan. Pertama, mendekatkan Syariat Islam dengan adat masyarakat setempat, sehingga ungkapan Hukom ngon adat lage zat ngon sifet (hukum dengan adat bagai zat dengan sifat) betul–betul akan terwujud dan menjadi kenyataan di tengah masyarakat. Diharapkan tidak ada lagi keluhan bahwa suatu adat atau kebiasaan terasa bertentangan dengan syariat; atau untuk menjalankan suatu tuntutan Syariat harus mengorbankan dan meninggalkan adat. Kedua, merumuskan Syariat Islam yang akan dilaksanakan tersebut, atau katakanlah fiqih berwajah aceh yang akan dibuat ini (yang akan dituangkan kedalam qanun) melalui kesepakatan dan konsensus bersama yang mengacu ke masa depan dan dengan mempertimbangkan kemaslahatan umat. Jadi bukan sekedar fatwa atau pendapat pribadi seorang tokoh atau kelompok yang mengutip pendapat ulama masa 50 . Alyasa Abubakar, Syariat Islam di Provinsi NAD, paradigma, kebijakan dan kegiatan,(Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam , Banda Aceh, 2006, Op.cit, halaman 81 s.d 83. Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 lalu, baik mereka yang dianggap ulama, sarjana, peneliti atau apapun istilah yang akan digunakan untuk menyebutnya, tanpa mempertimbangkan keadaan nyata masyarakat Aceh masa kini. Kutipan dan pilihan atas pendapat masa lalu akan dilakukan berdasar pertimbangan kesesuaianya dengan kebutuhan masa kini disamping berdasar kedekatannya dengan nash Al-quran dan sunnah rasul itu sendiri. 51 Selanjutnya, tujuan dibidang hukum dan peradilan, yaitu pelaksanaan Syariat Islam yang baik, yang mencakup seluruh aspek kehidupan, yang dilaksanakan dengan jujur dan sungguh–sungguh, diharapkan akan dapat mewujudkan keadilan dan ketertiban yang sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat Aceh itu sendiri. Dengan pelaksanaan Syariat Islam secara kaffah maka kezaliman akan dapat dihentikan dan sebaliknya keadilan dapat di tegakkan secara lebih baik dan lebih sempurna. Keadilan yang dimaksudkan disini adalah keadilan dalam arti luas, bukan hanya yang ditetapkan melalui pengadilan; tetapi juga yang ditetapkan oleh berbagai lembaga resmi atau swasta dan bahkan juga individu. Kalau selama ini ada perasaan bahwa ketaatan kepada Allah hanya dalam bidang tertentu misalnya di bidang ibadah mahdhah sedang bidang lain adalah bidang yang “netral” atau malah “sekuler” dalam arti tidak ada hubungan dengan ketaatan dan kepatuhan kepada Allah, maka dengan pelaksanaan Syariat Islam secara kaffah, kesadaran ini akan berubah dan berkembang kearah yang lebih baik, kalau selama ini sebagian kaum muslimin beranggapan bahwa perilaku dijalan raya-patuh atau tidak patuh pada rambu lalu lintas yang ada dianggap tidak ada hubungannya dengan Syariat Islam dan ketaatan kepada Allah, maka setelah pelaksanaan Syariat Islam diharapkan akan berubah. Ketengah masyarakat harus ditanamkan kesadaran bahwa taat pada rambu dan aturan lalu lintas adalah bagian dari 51 . Ibid, halaman 87 s.d 89. Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 ketaatan kepada Allah, dan karena itu akan memdapatkan pahala bagi yang menaatinya. Sebaliknya melanggar rambu lalu lintas adalah kesalahan dan perbuatan tercela, untuk sebagiannya merupakan sebagian perbuatan makruh, sedang untuk sebagian yang lain adalah perbuatan haram, yang akan mendapat dosa diakhirat dan hukuman di dunia. Ketengah masyarakat akan ditanamkan kesadaran bahwa melanggar peraturan lalu lintas sama dengan mengambil hak orang lain secara tidak sah. (mengambil secara tidak sah dari orang lain yang berhak atau tidak memberikan hak kepada mereka yang seharusnya telah memperolehnya). Sebagai contoh pada saat lampu merah di persimpangan menyala, maka orang dari jurusan itu harus berhenti karena pada saat itu merupakan gilirannya untuk berhenti, sebaliknya kendaraan dari jurusan lain (yang lampunya menyala hijau ) mendapat giliran untuk bergerak dan mereka tidak boleh berhenti. Orang yang berhenti pada saat lampu hijau menyala, dianggap salah karena dapat menghalangi orang lain dibelakangnya untuk bergerak. Jadi orang yang bergerak dari jurusan yang mendapat lampu merah relatif sama salahnya dengan orang yang berhenti dari jurusan yang mendapat lampu hijau. Mereka menghalangi orang lain memperoleh haknya. Dengan kata lain, tujuan pelaksanaan Syariat Islam secara kaffah adalah untuk membantu orang–orang memperoleh hak mereka, dengan cara memberikan hak kepada mereka yang memang berhak dan melarang menghalangi atau mengambilnya dari mereka yang tidak berhak. 52 Berbicara mengenai efektifitas Syariat Islam seorang ilmuan barat yang notabene bukan dari kaum musliman memberikan analisanya berdasarkan dari hasil penelitian yang dilakukannya, menurut Prof. Souryal mengapa Syariat Islam efektif 52 . Ibid, halaman 89 s.d 91. Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 dikarenakan Syariat Islam ditujukan dan gunakan terutama sebagai instrument moralisasi dan juga sebagai agen pencegahan (preventive agent). Lalu, bagaimana Syariat Islam bias efektif? Syariat Islam bisa efektif dengan penggunaan lima pendekatan: (1) Syariat secara terus–menerus mendorong perbaikan individu dan menyucikan kesadaranya dengan ide–ide Islam yang tinggi dan moralitas yang luhur; (2) Syariat dengan seimbang memperingatkan manusia untuk tidak melakukan kejahatan dan mengancam pelakunya dengan hukuman berat di dunia dan di akhirat; (3) Syariat Islam memerintahkan umat Islam untuk saling tolong–menolong dalam kebaikan dan kesabaran dengan memberikan bimbingan, dorongan moral, dan pengajaran agama; (4) Syariat Islam mencegah kejahatan dengan menutup jalan yang dapat menyebabkan dilakukannya perbuatan itu. Sebagai contoh, melarang penggunaan minuman memabukakan dan minimalisasi kemungkinan pertemuan laki–laki/ perempuan; (5) Syariat Islam mempersiapkan umat Islam, sebagai antisipasi kecendrungan moral manusia, dengan jalan mendukung perkawinan diusia muda, membolehkan poligami secara terkontrol, dan mewajibkan bagi orang– orang yang mampu untuk mengeluarkan sebagian hartanya bagi orang– orang yang kurang mampu (mewajibkan zakat). Bagaimanapun juga, meskipun peranan Syariat Islam sudah berjalan, tingkah laku kriminal bisa saja terjadi. Dalam hal ini, hukum pidana diterapkan secara formal dengan kekuatan dan hukuman dijalankan dengan cara tertentu, cepat, dan keras. Juga Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 karena pelaksanaan hukuman dilakukan dengan cara khusus itu, efektifitasnya diperbesar oleh eksekusi secara terbuka. Pelaksanaan hukuman seperti ini menekan keinginan kotor dan moral yang buruk masyarakat, serta secara alamiah mempunyai pengaruh pada jiwa juga ketaatan. Akan tetapi, dan mungkin juga sangat mengejutkan, kerasnya hukuman -hukuman dalam hukum pidana Islam sangat jarang dijatuhkan karena ketatnya hukuman pembuktian yang melindungi hak–hak manusia. 53 Jika dilihat dari apa yang ingin dicapai oleh pelaksanaan Syariat Islam di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam pada umumnya dan kota Banda Aceh pada khususnya, maka dapat di simpulkan bahwa pelaksanaan Syariat Islam selama ini di kota Banda Aceh dalam kurun waktu dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2007 sudah cukup efektif dalam menekan tingkat pelanggaran qanun di bidang syariat Islam dan menata kehidupan secara Islami dikota Banda Aceh, akan tetapi karena pelaksanaan Syariat Islam di Kota Banda Aceh ini masih baru atau masih seumur jagung, maka masih belum dapat untuk mencapai seperti apa yang diinginkan oleh pemerintah dan masyarakat Banda Aceh seperti yang telah dituangkan dalan qanun– qanun Syariat Islam Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, maka dari itu masih banyak lagi yang harus dibenahi dan disempurnakan dalam pelaksanaan Syariat Islam ini baik itu dalam bentuk peraturan–peraturan atau qanun–qanun yang telah dibentuk oleh pemerintah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, maupun dalam pelaksanaannya dilapangan. 53 . Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam Penegakan Syariat dalam Wacana dan Agenda (Jakarta: Gema Insani Press, 2003) Op.cit, halaman 137 Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan pada bab–bab sebelumnya maka, maka dapat diberikan kesimpulan sebagai berikut: 1. Pengaturan perbuatan pidana dan sanksinya didalam Qanun Propinsi NAD bertujuan untuk mencegah dari pada memberikan pembalasan kepada pelakunya, seperti pada pengaturan dibidang Khalwat (mesum) lebih bertujuan untuk mencegah dan menjaga manusia dari pada perbuatan tercela dan amoral, dan untuk menjaga umat manusia dari pada kemerosotan moralnya, serta untuk menjaga keturunan– keturunannya, dari pada hanya sekedar memberikan pembalasan kepada pelakunya. Pada pengaturan dibidang Maisir (perjudian) bertujuan untuk menjaga ahklak, moral, dan terlebih harta umat Islam dari keterpurukan, karena iming–iming mendapatkan harta dengan modal sedikit dan tanpa kerja keras adalah tipuan belaka, tanpa memberi manfaat kepada pelakunya, kemudian pada pengaturan dibidang Khamar (minuman keras) bertujuan untuk menjaga kesehatan jiwa, raga dan akal manusia dari kerusakan dan kemerosotan daya fikir dan ahklaknya, karena Khamar bukuan hanya memberikan pengaruh buruk pada kesehatan jiwa, raga dan akal si pelaku, akan tetapi juga Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 berdampak pada kerusakan perekonomian si pelaku, karena dampak dari pada mengkonsumsi Khamar (minuman keras) tersebut, dan terlebih untuk menjaga masyarakat dari rasa tidak aman dan kerusakan moral didalam masyarakat, serta untuk menciptakan masyarakt yang madani dan Islami, serta dirahmati oleh Allah SWT. 2. Pengaturan sanksi pidana cambuk adalah bertujuan untuk mendidik dan menyadarkan para pelaku pelanggaran, bukan hanya sekedar untuk memberikan pembalasan yang menyiksanya, sanksi pidana cambuk ini bertujuan untuk memberikan kesempatan bertobat bagi para pelakunya kepada Allah SWT, serta memberikan rasa malu kepada para pelakunya untuk kembali mengulangi perbuatan buruknya. Dan sanksi pidana cambuk ini adalah bagian dari Syariat Islam dan Syariat Islam hanya berlaku bagi kaum muslimin (umat Islam) saja, dan tidak dapat diberlakukan pada umat yang beragama non-muslim, hanya saja umat non-muslim harus menghormati dan menghargaai Syariat Islam, jadi sanksi pidana cambuk tidak dapat dikenakan kepada umat non-muslim yang berdomisili di daerah yang memberlakukan syariat Islam (Aceh), akan tetapi didalam hal ini timbul suatu hak dan kewajiban bagi kaum muslimin dan non muslim yang mana kaum nonmuslim adalah sebagai kaum minoritas di daerah Nanggroe Aceh Darussalam, dalam hal ini kewajiban kaum muslimin adalah melindungi kaum non-muslim dari segala gangguan dan ketidak amanan, dengan kata lain hak kaum non-muslim adalah mendapatkan perlindungan dan kewajiban kaum non-muslim adalah membayar diyat kepada pemerintah, akan tetapi pula dalam penerapan saksi pidana Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 cambuk ini tidak menutup kemungkina bagi kaum non-muslim untuk tunduk dan patuh kepada Syariat Islam (sanksi Pidana Cambuk) tanpa harus berpindah agama dan keyakinan, dalam artian tunduk sukarela tanpa adanya hasutan dan paksaan dari pihak manapun, karena dalam Islam sendiri tidak menutup kemungkinan untuk terjadinya hal ini. 3. Selama kurun waktu dari tahun 2005 sampai dengan 2007 pelaksanaan sanksi pidana cambuk dirasakan sudah cukup efektif untuk menekan pelanggaran qanun dibidang Syariat Islam, terbukti dari data yang menunjukan adanya penurunan terjadinya pelanggaran qanun dibidang Syariat Islam di Kota Banda Aceh, akan tetapi karena pelaksanaan syariat Islam di Kota Banda Aceh ini masih baru atau masih seumur jagung, maka masih belum dapat untuk mencapai seperti apa yang diinginkan oleh pemerintah dan masyarakat Banda Aceh yang telah dituangkan dalan qanun–qanun Syariat Islam Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, maka dari itu masih banyak lagi yang harus dibenahi dan disempurnakan dalam pelaksanaan Syariat Islam ini baik itu dalam bentuk peraturan–peraturan atau qanun–qanun yang telah dibentuk oleh pemerintah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, maupun dalam pelaksanaannya dilapangan, serta perlu adanya penambahan mutu dan kualitas dari pada SDM di kota Banda Aceh sebagi aparatur pelaksana dilapangan. B. SARAN 1. Untuk lebih efektifnya dalam pelaksanaan Syariat Islam secara kaffah, selain dari peranan besar Pemerintah Kota Banda Aceh, juga sangat diperlukannya Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 pemikiran dan peran serta dari pada masyarakat dan tokoh–tokoh masyarakat Kota Banda Aceh sendiri secara luas. 2. Selain dari pada pembentukan sarana dan prasarana serta pengawasan terhadap masyarakat dalam rangka pelaksanaan Syariat Islam di NAD, sangatlah perlu untuk memberikan pemahaman dan pengetahuan kepada masyarakat tentang pentingnya penerapan Syariat dalam kehidupan mereka sehari–hari, agar timbul kesadaran dalam diri setiap masyarakat Aceh untuk menjalankan dan mengamalkan ajaran Islam secara kaffah. 3. Karena masih minimnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang Syariat Islam, maka sangat dibutuhkan tenaga–tenaga penyuluh untuk memberikan penyuluhan tentang pelaksanaan Syariat Islam di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 4. Selain dari pada pembentukan kesadaran didalam diri tiap masyarakat, untuk melaksanakan Syariat Islam diperlukan jaga adanya sistem dan pelaksanaan sistem yang kuat dan kokoh untuk melaksanakan dan mengawasi jalannya Syariat Islam secara kaffah di Propinsi NAD. 5. Perlu dengan segera dibentuknya kitab undang–undang hukum acara pidana bagi pelaksanaan Syariat Islam di NAD, khususnya dibidang jinayah (pidana), agar tidak terjadinya tumpang tindih antara peraturan pidana yang telah dibentuk dengan hukum acaranya sendiri yang sampai saat ini masih menggunakan kitab undang–undang hukum acara pidana nasional. 6. Perlu dengan segeranya dibentuk peraturan–peraturan lain yang belum ada dan penyempurnaan kembali qanun–qanun yang telah ada untuk tercapainya penerapan Syariat Islam secara kaffah di Kota Banda Aceh khususnya dan di Propinsi NAD pada umumnya. Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 7. Serta perlunya penegakan Syariat didalam pelaksanaan Syariat Islam di NAD, karena adanya unsur ketidakadilan dan kesamarataan. Hal ini dapat dilihat pada pasal–pasal yang mengatur uqubat cambuk yaitu penggunaan kata di hukum cambuk dan atau denda. Hal ini menunjukan berarti penegakan Syariat Islam hanya dirasakan oleh pelaku pelanggarsn qanun tingkat rendah (rakyat jelata), sedangkan para pelaku pelanggaran qanun tingkat tinggi dapat memilih dan atau menentukan hukuman apa yang dijatuhkan bagi mereka, seperti hanya hukuman denda. Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 DAFTAR PUSTAKA I. BUKU Departemen Agama RI, Al-Jumanatul ‘Ali, Al-Quran dan Terjemahannya, Jakarta, Perbit J-ART, 2005. Soesilo R, Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP), Bogor, Politeia, 1980. Munajat Makhrus, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, Jogjakarta, Logung Pustaka, 2004. Muhammad Ali Rusdji, Revitalisasi Syari’at Islam Di Aceh Problem, Solusi, Dan Implementasi, menuju pelaksanaan Hukum Islam di Nanggroe Aceh Darussalan. Banda Aceh, Logos Wacana Ilmu, 2003. Mubarok Jaih, Faizal Enceng Arif, Kaidah Fiqh Jinayah (Asas – asas Hukum Pidana Islam), Bandung, Pustaka Bani Quraisy,2004 Santoso Topo, Membumikan Hukum Pidana Islam, Penegakan Syariat dalam wacana dan Agenda, Jakarta, Gema Insani,2003 Amrullah Mohammad, Pelajaran Fiqih Madrasah Aliyah Kelas II, Bandung, Armica, 1995. Muslich Ahmad Wardi, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (Fikih Jinayah), Jakarta,Sinar Grafika 2004. Abubakar Al Yasa’, Syari’at Islam di Provinsi Namggroe Aceh Darussalam Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan, Banda Aceh, Dinas Syariat Islam Proninsi NAD. 2005. Abubakar Al Yasa’, Sulaiman M. Hasan, Perbuatan Pidana Dan Hukumannya Dalam Qanun Provinsi NAD, Banda Aceh, Dinas Syariat Islam Povinsi NAD,2006. Abubakar Al Yasa’, Halim Marah, Hukum Pidana Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh, Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2006. Syahrin Alvi, Ilmu Hukum Pidana Dan Ruang Lingkup Berlakunya Hukum Pidana (Suatu Pengantar), Medan, Pustaka Bangsa Press, 2002. Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 Abubakar Al Yasa’, Sekilas Syariat Islam Di Aceh, Banda Aceh, Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Ali Zainuddin, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum Islam Indanesia), Jakarta, Sinar Grafika, 2006. Rosyadi Rahmat & Ahmad Rais M., Formalisasi Syariat Islam dalam Perspektih Tata Hukum Indonesia, Bogor, Ghalia Indonesia, 2006. Suma Amin M, Pidana Islam Di Indonesia Peluang, Prospek dan Tantangan, Pejaten Barat, Pustaka Firdaus, 2001. Djazuli A, Fiqh Jinayah ( Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam), Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2000. Makarao Taufik M, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Jokjakarta, Kreasi Wacana, 2005. Prasetyo Teguh, Politik Hukum PIdana, Kajian Kebijakan Kriminalisasi, Jokjakarta, Pustaka Pelajar, 2005. Abubakar Al Yasa’, Bunga Rampai Pelaksanaan Syariat Islam (Pendukung qanun Pelaksanaan Syariat Islam), Banda Aceh, Dinas syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2005. Mulyadi, Dasar – Dasar Penulisan Ilmiah, Medan, USU Press, 2004. Santoso Topo, Menggagas Hukum Pidana Islam (Penerapan Syariat Islam dalam konteks moderenitas), Bandung, Asy Syaamil, 2000. Ramulyo Idris, Asas – Asas Hukum Islam, sejarah timbul dan berkembangnya kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Islam Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 1995. II. MAKALAH DAN UNDANG – UNDANG 1. MAKALAH Ahmad Fuad Fanani, Jihad Memperjuangkan Penerapan Syari’at Islam:Pandangan Tokoh-tokoh Pesantren di Jawa Barat. Teguh Darmawanto, “ Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelaku Pelanggaran Syariat Islam Di Kecamatan Bukit Kabupaten Bener Meriah Nanggroe Aceh Darussalam” (Skripsi yang diterbitkan Fakultas Hukum USU Medan, 2007 Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 2. UNDANG – UNDANG Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Himpunan Undang – Undang, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah / qanun, Instruksi Gubernur, Edaran Gubernur, Berkaitan Pelaksanaan Syariat Islam, Banda Aceh, , 2006 Undang – Undang Nomor 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2000 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat Islam. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Minuman Khamar Dan sejenisnya. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Maisir (perjudian). Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat (mesum). Peraturan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2005 Tentang Petunjuk teknis pelaksanaan Uqubat Cambuk. Instruksi Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No 04/INSTR/2002 Tentang Larangan Judi (Maisir), Buntut, Taruhan dan Sejenisnya Yang Mengandung Unsur – Unsuar Perjudian Dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 Instruksi Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No 05/INSTR/2002 Tentang Tata Pergaulan/ Khalwat Antara Pria dan Wanita Dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Surat Edaran Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 536/20976 Tentang Larangan Minuman Beralkohol (khamar). Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009