efektifitas penerapan sanksi pidana cambuk terhadap pelanggaran

advertisement
EFEKTIFITAS PENERAPAN SANKSI PIDANA CAMBUK TERHADAP
PELANGGARAN QANUN DI BIDANG SYARIAT ISLAM
DI WILAYAH HUKUM KOTA MADYA BANDA ACEH
PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM.
SKRIPSI
Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat untuk
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
OLEH :
FERDIANSYAH
NIM : 030200051
Departemen Hukum Pidana
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2008
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
EFEKTIFITAS PENERAPAN SANKSI PIDANA CAMBUK TERHADAP
PELANGGARAN QANUN DI BIDANG SYARIAT ISLAM
DI WILAYAH HUKUM KOTA MADYA BANDA ACEH
PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
SKRIPSI
Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat untuk
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
OLEH :
FERDIANSYAH
NIM : 030200051
Ketua Departemen Hukum Pidana
Abul Khair S.H., M. Hum
NIP: 131 842 854
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Madiasa Ablisar, S.H., M.S
NIP : 131 570 461
M. Eka Putra, S.H., M.Hum
NIP : 132 208 327
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2008
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
ABSTRAKSI
*) Madiasa Ablisar, S.H., M.S
**) M. Eka Putra, S.H., M.Hum
***) Ferdiansyah
Syariat Islam di Aceh pada pelaksanaannya selain mengatur tentang aqidah dan ibadah
juga mengatur tentang jinayah atau pidana, untuk saat ini dalam hal pelaksanaan hukum
jinayah belum semua diatur dalam qanun–qanun yang telah di bentuk oleh DPRD NAD, saat
ini baru bebarapa pidana tertentu yang diatur dalam qanun tersebut, diantaranya khalwat
(mesum), khamar (meminum minuman keras), maisir (judi) dan pencurian. Untuk tindak
pidana seperti ini terdakwa dijatuhi sanksi pidana cambuk dimuka umum. Adapun yang
menjadi pertanyaan, apa yang menjadi kelebihan dari sanksi pidana cambuk itu sendiri
dibandingkan dengan sanksi pidana penjara atau sanksi pidana denda atau sanksi pidana yang
lainnya, dan sejauh mana efektifitas sanksi pidana cambuk ini dalam penekanan pelanggaran
qanun dibidang syariat Islam yang terjadi di wilayah hukum kota Madya Banda Aceh
Propinsi NAD, untuk menjawab hal tersebut maka dari itu saya mengangkat judul
“EFEKTIFITAS
PENERAPAN
SANKSI
PIDANA
CAMBUK
TERHADAP
PELANGGARAN QANUN DI BIDANG SYARIAT ISLAM DI WILAYAH HUKUM
KOTA MADYA BANDA ACEH PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM .“
Yang menjadi permasalahan pada skripsi ini adalah bagaimanakan pengaturan
perbuatan pidana dan hukumannya didalam qanun Propinsi NAD, bagaimanakah pengaturan
sanksi pidana cambuk didalam fikh jinayah dan qanun Propinsi NAD dan sejauh mana
penerapan sanksi pidana cambuk dapat menekan tingkat pelanggaran qanun dibidang Syariat
Islam di wilayah hukum kota madya Banda Aceh.
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana
pengaturan tindak pidana dan hukumannya dalam Qanun Propinsi NAD dan untuk
mengetahui bagaimana pengaturan hukuman cambuk menurut fikh jinayah dan Qanun
Provinsi NAD serta untuk mengetahui bagaimanakah efektifitas penerapan sanksi pidana
cambuk dalam menekan tingkat pelanggaran qanun di bidang syariat Islam menurut Qanun
Propinsi NAD di wilayah hukum Kota Madya Banda Aceh. Metode penelitian ini dilakukan
dengan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif adalah
untuk melihat yang berkaitan dengan permasalahan nomor satu dan dua sedangkan
pendekatan yuridis empiris adalah untuk melihat penerapan pelaksanaan syariat islam
dilapangan untuk menjawab permasalahan pada nomor tiga.
Berdasarkan uraian yang telah dibahas pada bab–bab sebelumnya dapat diberikan
kesimpulan bahwa tujuan penerapan Syariat Islam dan penerapan sanksi pidana cambuk
adalah untuk memberikan pencerahan dan kesadaran bagi masyarakat dan untuk memberikan
kesadaran dan rasa malu untuk mengulangi perbuatannya lagi serta menjadi peringatan bagi
masyarakat agar tidak melakukan pelanggaran Syariat Islam dan tidak menimbulkan dampak
negatif bagi keluarganya. Serta untuk menciptakan masyarakat yang bermoral dan berjiwa
Islam yang berakhlak mulia. Kesimpulan dari pada hasil penelitian menunjukan setelah
diterapkannya sanksi pidana cambuk menunjukakan adanya penurunan terhadap pelanggaran
qanun dibidang Syariat Islam di kota Banda Aceh, maka dapat di simpulkan bahwa
pelaksanaan Syariat Islam selama ini di kota Banda Aceh dalam kurun waktu dari tahun 2005
sampai dengan tahun 2007 sudah cukup efektif dalam menekan tingkat pelanggaran qanun di
bidang syariat Islam dan menata kehidupan secara Islami dikota Banda Aceh, akan tetapi
karena pelaksanaan syariat Islam di Kota Banda Aceh ini masih baru, maka masih belum
dapat untuk mencapai seperti apa yang diinginkan oleh pemerintah dan masyarakat Banda
Aceh yang telah dituangkan dalan qanun–qanun Syariat Islam Propinsi NAD, maka dari itu
masih banyak lagi yang harus dibenahi dan disempurnakan dalam pelaksanaan Syariat Islam
ini baik itu dalam bentuk qanun–qanun yang telah dibentuk oleh pemerintah Propinsi NAD,
maupun dalam pelaksanaannya dilapangan.
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………………………………………………
i
HALAMAN PERSEMBAHAN……………………………………
ii
KATA PENGANTAR……………………………………………...
iii
ABSTRAKSI ……………………………………………………….
iv
DAFTAR ISI ……………………………………………………….
v
BAB I
: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang………………………………………………
1
B. Permasalahan……………………………………………….
4
C. Tujuan Penulisan.………………………..………………….
4
D. Keaslian Penulisan ………………………………………….
4
E. Tinjauan Kepustakaan……………………………………...
5
1. Pengertian Dan Tujuan Pidana Secara Umum & Dalam Islam
5
2. Pengertian Fiqh Jinayah ....................................................
11
3. Ruang Lingkup Fiqh Jinayah .....…………………………..
12
4. Pengertian Qanun .......................................................…….
17
F. Metode Penelitian……………………………………………
22
G. Sistematika Penulisan………………………………………..
25
BAB
II
: PELANGGARAN QANUN DAN HUKUMANNYA
DALAM QANUN PROPINSI NANGGROE
ACEH DARUSSALAM
A. Pelanggaran Qanun Di Bidang Khalwat (Mesum )..............
27
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
B. Pelanggaran Qanun Di Bidang Maisir ( Perjudian )..............
33
C. Pelanggaran Qanun Di Bidang Khamar ( Minuman Keras )..
39
BAB
III
: PENERAPAN SANKSI PIDANA CAMBUK
MENURUT QANUN PROPINSI NANGGROE
ACEH DARUSSALAM
A. Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Menurut Fiqh Jinayah.....
48
B. Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Menurut Qanun
Provinsi NAD........................................................................
51
C. Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap pelaku
Pelanggaran Qanun Yang Beragama Non Muslim................
BAB
IV
58
: EFEKTIFITAS PENERAPAN SANKSI PIDANA CAMBUK
TERHADAP
PELANGGARAN
QANUN
DI
BIDANG
SYARIAT ISLAM DI WILAYAH HUKUM KOTA MADYA
BANDA
ACEH
PROPINSI
NANGGROE
ACEH
DARUSSALAM
A. Tujuan Penerapan sanksi pidana Cambuk Terhadap
Pelaku Pelanggaran Qanun di Bidang Syariat Islam.....
73
B. Tingkat Tindak Pidana Perjudian dan Perjinahan
Sebelum Penerapan Qanun Di Bidang Syariat Islam
Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Di Kota Madya
Banda Aceh.....................................................................
75
C. Tingkat Pelanggaran Qanun Di Wilayah Hukum Kota
Madya Banda Aceh Setelah Penerapan Qanun Di Bidang
Syariat Islam Propinsi Nanggroe Aceh darussalam
Dari Tahun 2005 Sampai Dengan 2007..........................
83
D. Bagaimanakah Efektifitas Penerapan sanksi pidana
Cambuk Dalam Menekan Tingkat Pelanggaran
Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
Kota Madya Banda Aceh...............................................
BAB V
89
: KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan………………………………………………
98
B. Saran……………………………………………………..
101
DAFTAR PUSTAKA
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Konflik dan pertentangan yang berlarut larut, seakan–akan tak putus–putusnya
terjadi di Aceh yang disusul dengan tragedi demi tragedi. Sejak kemerdekaan tahun
1945, seperti dielaborasi Nazarrudin Syamsudin dalam kata “pengantarnya”nya yang
mencatat tujuh perkembangan peradaban Aceh yang mengarah pada “penghancuran
kebudayaan”. Setelah merebut dan mempertahankan kemerdekaan RI yang dijalankan
secara monumental oleh masyarakat Aceh tahun 1945, segera disusul oleh perang
Cumbok tahun 1946 takala konflik fisik dan revolusi sosial berlangsung antara kaum
uleebalang dan ulama, kemudian disusul dengan pristiwa DI/ TII sejak tahun 1953
sampai awal tahun 1960. Kemudian terjadi pemberontakan PKI dalam gerakan 30
september 1965. Demikian empat tahap pertama, tiga tahap selanjutnya justru terjadi
pada masa orde baru. 1 Seandainya tulisan Nazarrudin Syamsudin tersebut diterbitkan
beberapa bulan kemudian (masih dalam tahun 2003), ia pasti akan memasukan lagi
tahap penghancuran kebudayaan paling akhir di Aceh, yaitu penerapan keadaan
Darurat Mililiter di Aceh sejak 19 Mei 2003.
Dengan istilah penghancuran kebudayaan terkesan ada subyek atau faktor di
luar saja yang aktif, tapi masyarakat Aceh sendiri harus melakukan introspeksi atas
ketahanan dirinya. Perbaikan nasib tidak mungkin hanya diharapkan dari belas
1
Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh Problem, Solusi dan
Implementasi, Menuju Pelaksanaan Hukum Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, (Jakarta: Ar-Raniry
Press, 2003), halaman 11.
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
kasihan orang luar, kita sendiri harus bekerja keras memperbaiki diri. Harus diakui
berbagai ikhtiar telah dilakukan untuk mencoba menyelesaikan permasalahan yang
berlarut–larut itu. Upaya paling akhir yang dilakukan oleh pemerintah pusat adalah
menawarkan otonomi khusus untuk daerah Aceh melalui Undang–Undang No. 44
Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh dan Undang–Undang No. 18 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).
Ada beberapa konsesi yang signifikan terhadap masyarakat Aceh disini. Salah
satunya adalah peluang untuk melaksanakan Syariat Islam di Aceh meskipun tetap
dalam kerangka hukum Nasional Indonesia. Peluang ini telah dicoba diaktualisasikan
oleh masyarakat Aceh melalui PEMDA dan DPRDnya. Pemerintah Daerah melalui
Gubernur dalam sebuah Upacara di Lapangan Blang Padang Banda Aceh telah
mendeklarasikan pemberlakuan Syariat Islam secara kaffah di Aceh pada tanggal 1
Muharram 1423 H yang lalu. Gubernur Aceh telah membentuk Dinas Syariat Islam
tingkat Propinsi yang diikuti Kabupaten–Kabupaten nantinya. DPRD Aceh telah pula
mengeluarkan beberapa Perda dan beberapa Qanun sebagai landasan hukum
pelaksanaannya.
Mahkamah Agung pun turut mengambil peran dengan membentuk Mahkamah
Syariah pada tanggal 1 Muharram 1424 H yang lalu sebagai ganti Pengadilan Agama.
Akan tetapi solusi yang ditawarkan melalui upaya revitalisasi Syariat Islam di Aceh
ini juga mengandung problema tersendiri secara teknis, yuridis maupun aplikasinya
dilapangan. 2
Syariat Islam di Aceh pada pelaksanaannya selain mengatur tentang aqidah dan
ibadah juga mengatur tentang jinayah atau pidana, untuk saat ini dalam hal
pelaksanaan hukum jinayah belum semua diatur dalam qanun–qanun yang telah di
2
Ibid halaman 12.
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
bentuk oleh DPRD NAD, saat ini baru bebarapa pidana tertentu yang diatur dalam
qanun tersebut, diantaranya khalwat (mesum), khamar (meminum minuman keras),
maisir (judi) dan pencurian. Untuk tindak pidana seperti ini selain dijatuhi sanksi
pidana penjara dan denda, terdakwa juga dijatuhi sanksi pidana cambuk dimuka
umum. Adapun yang menjadi pertanyaan, apa yang menjadi kelebihan dari sanksi
pidana cambuk itu sendiri dibandingkan dengan sanksi pidana penjara atau sanksi
pidana denda atau sanksi pidana yang lainnya yang selama ini telah di terapkan dalam
KUHP Indonesia, dan bagaimana efektifitas sanksi pidana cambuk ini dalam
penekanan pelanggaran qanun dibidang Syariat Islam yang terjadi di wilayah hukum
kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, sebagai prodak baru
pada sistem hukum pidana Indonesia mampukah sanksi pidana cambuk membawa
pembaharuaan pada dunia peradilan indonesia, Akan tetapi dengan penerapan Syariat
Islam secara kaffah di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, muncul ketakutan dan
kekhawatiran dari pihak-pihak tertentu, baik yang berasal dari luar kaum muslimin
atau dari kaum muslimin sendiri. Ketakutan atau fobia terhadap Syariat Islam adalah
hal yang terlalu dibesar-besarkan. Syariat Islam sama sekali tidak bertujuan untuk
menyiksa manusia, bahkan menurut Islam binatang dan lingkungan pun tidak boleh di
dzalimi. Tujuan Syariat Islam adalah untuk memelihara hak-hak manusia dan
memberikan mereka perlindungan serta keselamatan atau kedamaian. Karena itu
merasa takut terhadap Syariat Islam, apa lagi memusuhinya adalah sikap atau
tindakan yang tidak beralasan. Meskipun dengan demikian ketentuan-ketentuan
normatif semacam ini tentu saja harus diwujudkan dalam aktualisasinya dan ini tentu
saja merupakan salah satu pekerjaan rumah umat Islam untuk membuktikan nya
dalam kenyataan.
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
Kekerasan dan penyelewengan hukum memang pernah terjadi dalam sejarah
Islam, tetapi itu juga pernah terjadi dalam agama dan komunitas manapun di dunia ini,
termaksud Yahudi, Kristen dan Barat. Demikian juga sebaliknya, sejarah menjadi
saksi atas kesuksesan Syariat Islam menciptakan masyarakat yang makmur serta
sejahtera serta penegakan hukum yang adil secara mengagumkan. Oleh karena itu,
jika kita mau bersikap objektif, dan terbuka maka jangan hanya sisi gelap sejarah
Islam yang dilihat, tetapi juga sisi cemerlangnya, agar tidak terjadinya salah paham
bahkan timbulnya pemikiran yang menyimpang terhadap Syariat Islam, terutama
terhadap penerapan sanki pidana cambuk.
untuk menjawab hal tersebut maka dari itu penulis merasa perlu untuk
mengangkat judul “EFEKTIFITAS PENERAPAN SANKSI PIDANA CAMBUK
TERHADAP PELANGGARAN QANUN DI BIDANG SYARIAT ISLAM DI
WILAYAH HUKUM KOTA MADYA BANDA ACEH PROPINSI NANGGROE
ACEH DARUSSALAM .“
B. Permasalahan.
Berdasarkan pada uraian dan latar belakang diatas maka yang menjadi
permasalahan dalam tulisan ini adalah :
1. Bagaimanakah pengaturan perbuatan pidana dan hukumannya di dalam Qanun
Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam?
2. Bagaimanakah pengaturan sanksi pidana cambuk menurut Qanun Propinsi
Nanggroe Aceh Darussalam?
3. Bagaimanakah efektifitas penerapan sanksi pidana cambuk terhadap pelanggaran
qanun di bidang syariat Islam di kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe
Aceh Darussalam?
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
C . Tujuan Penulisan.
Adapun yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini antara lain :
1. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan tindak pidana dan hukumannya dalam
Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam; dan
2. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan sanksi pidana cambuk menurut Qanun
Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam; serta
3. Untuk mengetahui bagaimanakah efektifitas penerapan sanksi pidana cambuk
terhadap pelanggaran qanun di bidang Syariat Islam menurut Qanun Propinsi
Nanggroe Aceh Darussalam.
D . Keaslian Penulisan.
Adapun judul dalam penelitian ini adalah EFEKTIFITAS PENERAPAN
SANKSI PIDANA CAMBUK TERHADAP PELANGGARAN QANUN DI
BIDANG SYARIAT ISLAM DI WILAYAH HUKUM KOTA MADYA BANDA
ACEH PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM “. Sehubungan dengan
keaslian judul ini penulis telah melakukan pemeriksaan pada perpustakaan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara, untuk mencari dan membuktikan bahwasannya
judul Skripsi tersebut di atas belum pernah ada, dan apabila di kemudian hari ternyata
terdapat judul Skripsi yang sama, maka hal itu menjadi tanggung jawab saya sendiri.
Oleh karena itu, penulis menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil karya penulis dan
belum pernah ada sebelumnya skripsi seperti ini.
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Dan Tujuan Pidana Secara Umum & Dalam Islam
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
Defenisi hukum pidana menurut ilmu pengetahuan, dapat diadakan beberapa
penggolongan pendapat (Bambang Poernomo) yaitu:
1. Hukum Pidana adalah hukum sanksi
Defenisi ini diberikan berdasarkan ciri hukum pidana yang
membedakan
dengan lapangan hukum lain yaitu bahwa hukum pidana sebenarnya tidak
mengadakan norma tersendiri melainkan melainkan sudah terletak pada lapangan
hukum yang lain, dan sanksi hukum pidana diadakan untuk menguatkan ditatanya
norma–norma tersebut.
2. Hukum pidana adalah keseluruhan aturan–aturan ketentuan hukum
mengenai perbuatan–perbuatan yang dapat dihukum dan aturan pidananya.
3. Hukum pidana dalam arti:
a. Objektif (jus poenale) meliput i:
(1).
Perintah dan larangan yang pelanggarannya diancam dengan
sanksi pidana oleh badan yang berhak;
(2).
Ketentuan–ketentuan
yang
mengatur
upaya
yang
dapat
dipergunakan, apabila norma itu dilanggar, yang dinamakan
hukum penintentiare;
(3)
Aturan–aturan yang menentukan kapan dan dimana berlakunya
norma–norma tersebut diatas.
b. Subjektif (jus puniendi), yaitu:
Hak negara menurut hukum untuk menuntut pelanggar delik dan untuk
menjatuhkan serta melaksanakan pidana.
4.
Hukum pidana dibedakan dan diberikan arti:
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
a. Hukum pidana materil yang menunjuk pada perbuatan pidana
(strsfbare feiten) dan yang oleh sebab perbuatan itu dapat dipidana,
dimana perbuatan pidana itu mempunyai dua bagian yaitu:
(1). Bagian objektif merupakan suatu perbuatan atau natalen yang
bertentangan dengan hukum positif, melawan hukum, yang
menyebabkan tuntutan hukum dengan ancaman pidana atas
pelanggaranya:
(2). Bagian subjektif
yaitu mengenai kesalahan, yang menunjuk
kepada sipembuat (dader) untuk dipertanggung jawabkan
menurut hukum.
b. Hukum pidana formil yang mengatur cara hukum pidana material
dapat dilaksanakan.
5. Hukum pidana diberikan arti bekerjanya sebagai:
a. peraturan hukum, objektif (jus poenale) yang dibagi menjadi:
(1). Hukum pidana materil yaitu tentang peraturan tentang syarat –
syarat bilamanakah suatu itu dapat dipidana.
(2). Hukum pidana formil, yaitu hukum acara pidananya.
b. Hukum
subjektif
(juspuniendi)
yaitu
meliputi
hukum
dalam
memberikan ancaman pidana, menetapkan pidana dan melaksanakan
pidana, yang hanya dapat dibebankan kepada negara dan pejabat untuk
itu.
c. Hukum pidana umum (alogemene strafrecht) yaitu hukum pidana yang
berlaku bagi semua orang dan hukum pidana khusus (bijondere
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
strafrecht) yaitu dalam bentuknya sebagai jus speciale seperti hukum
pidana militer. 3
Hukum pidana secara umum berfungsi mengatur dan menyelenggarakan
kehidupan masyarakat agar dapat tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum.
Tujuan pokok hukum pidana yang hendak dicapai adalah pencegahan yang ditujukan
kepada khalayak ramai, kepada semua orang agar tidak melakukan pelanggaran
terhadap ketertiban masyarakat. Beberapa sarjana juga berpendapat
bahwa teori
pembalasan merupakan dasar dan pembenaran pidana, tetapi dengan menjatuhkan
pidana pembalasan itu, apa yang dapat dicapai pemerintah dengan pembalasan itu.
Hukuman diterapkan -meskipun tidak disenangi- demi mencapai kemaslahatan
bagi individu dan masyarakat.
Dengan demikian hukuman yang baik adalah:
a. Harus mampu mencegah seseorang dari berbuat maksiat. Atau menurut
Ibnu Hammam dalam fathul qadir bahwa hukuman itu untuk
mencegah sebelum terjadinya perbuatan (prefentif) dan menjerakan
setelah terjadinya perbuatan (repsesif).
b. Batas tertinggi dan terendah suatu hukuman sangat tergantung kepada
kebutuhan
kemaslahatan
masyarakat,
apa
bila
kemaslahatan
menghendaki beratnya hukuman, maka hukuman diperberat. Demikian
pula
sebaliknya,
bila
kebutuhan
kemaslahatan
masyarakat
mengkehendaki ringannya hukuman, maka hukumannya diperingan.
c. Memberikan hukuman kepada orang yang melakukan kejahatan itu
bukan berarti membalas dendam, melainkan sesungguhnya untuk
3
. Alvi syahrin, Ilmu Hukum Pidana Dan Ruang Lingkup Berlakunya Hukum Pidana (suatu
Pengantar), Pustaka Bangsa Press,2002, halaman 7 s.d 8.
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
kemaslahatannya, seperti yang dikatakan oleh Ibn Taimiyah bahwa
hukuman itu disyariatkan oleh Allah SWT bagi hambanya dan sebagai
cerminan dari keinginan Allah untuk ihsan kepada hambanya. Oleh
karena itu, sepantasnyalah bagi orang yang memberikan hukuman
kepada orang lain atas kesalahannya harus bermaksud melakukan
ihsan dan memberi rahmat kepadanya, seperti seorang bapak yang
memberikan pelajaran kepada anaknya.
d. Hukuman adalah upaya terakhir dalam menjaga seseorang supaya tidak
jatuh kedalam suatu maksiat. Sebab dalam konsep Islam seorang akan
terjaga dari berbuat jahat apabila:
1.
Memiliki iman yang kokoh seperti yang dikatakan dalam hadist
nabi:
“Seseorang tidak akan melakukan zina ketika ia beriman”. (HR.
Muslim).
Hal ini berkaitan dengan kebersihan jiwa.
2.
Berahklak mulia, seperti jujur terhadap dirinya dan orang lain,
atau merasa malu bila melakukan maksiat, atau selalu berbuat
baik dan menghindari berbuat jahat.
3.
Dengan adanya sanksi duniawi diharapkan mampu menjaga
seseorang dari terjatuh kedalam tindak pidana. Disamping itu
harus
diusahakan
menghilangkan
faktor–faktor
penyebab
terjadinya kejahatan dalam masyarakat berdasarkan konsep sadz
al-dzariah (upaya menutup jalan dari terjadinya kejahatan). 4
4
. H.A. Djajuli, Fiqh Jinayah (Upaya menanggulangi kejahatan dalam Islam), Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2000,halaman 26 s.d 27
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
Menurut hasil penelitian dari para ahli hukum Islam, tujuan Allah SWT
membentuk hukum Islam ialah untuk kemaslahatan umat manusia, baik didunia
maupun di akhirat. Tujuan dimaksud hendak dicapai melalui taklif. Taklif itu baru
dapat dilaksanakan apabila memahami sumber hukum Islam, kemudian tujuan itu
tidak akan tercapai kecuali
dengan keluarnya seseorang dari perbudakan hawa
nafsunya, menjadi hamba Allah dalam artian tunduk kepada ketentuannya.(Abu Ishak
asy-Syatibi,t.t.:5)
Banyak ayat Al-quran yang menunjukan bahwa kedatangan hukum Islam
adalah untuk kemaslahatan umat manusia, di antaranya surah Al-Anbiyaa’(21) ayat
107.
Dan tidaklah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam. 5
Ayat tersebut secara umum menunjukan bahwa hukum Islam membawa
rahmat bagi kehidupan manusia. Dikatakan rahmat apabila mendatangkan maslahat
bagi kehidupan, baik didunia maupun diakhirat.
Untuk mewujudkan kemaslahatan dimaksud, ada lima hal pokok yang harus
diwujudkan dan dipelihara, yaitu terpeliharanya agama, jiwa, akal, keturunan, dan
harta. Lima masalah pokok ini wajib dipelihara oleh setiap manusia. Untuk itulah
didatangkan hukum Islam/ taklif yaitu perintah untuk berbuat, larangan untuk berbuat
dan keizinan untuk berbuat yang harus dipatuhi oleh setiap mukallaf. Masing–masing
lima pokok dimaksud dalam mewujudkan dan memeliharanya dikategorikan kepada
klasifikasi menurut tingkat prioritasnya, yaitu kebutuhan dharuriyat, kebutuhan
hajiyat, dan kebutuhan tahsiniat. Ketiga urutan prioritas kebutuhan tersebut harus
terwujud dan terpelihara.
5
. Q.S. Al-Anbiyaa’(21) ayat 107
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
Memelihara
kebutuhan
dharuriyat
dimaksud
agar
perwujudan
dan
perlindungan atas lima pokok yang telah diuraikan yaitu agama, jiwa, akal, harta dan
keturunan dapat terpelihara dalam batas jangan sampai terancam eksistensinya.
Memelihara kebutuhan hajiyat dimaksud agar perwujudan dan perlindungan hal–hal
yang diperlukan dalam kelestarian lima pokok diatas dapat terpenuhi, tetapi dibawah
batas kepentingan dharuriyat. Tidak terpeliharanya kebutuhan ini, tidak akan
membawa terancamnya eksistensi lima pokok diatas, tetapi membawa kepada
kesempitan dan kepicikan, baik dalam usaha mewujudkan maupun dalam
pelaksanaannya, sedangka kepicikan dan kesempitan itu dalam ajaran Islam perlu
disingkirkan. 6
2. Pengertian Fiqh Jinayah
Fiqh Jinayah terdiri dari dua kata, yaitu fiqh dan jinayah. Pengertian fiqih
secara bahasa berasal dari lafal,
faqiha, yafqahu fiqhan, yang berarti mengerti,
paham. Pengertian fiqh secara istilah yang dikemukakan oleh Abdul Wahab Kallaf
adalah sebagai berikut.
Fiqh adalah ilmu tentang hukum – hukum syara’ praktis yang diambil dari
dalil–dalil yang terperinci. Atau fiqh adalah himpunan hukum-hukum syara’
yang bersifat praktis yang diambil dari dalil – dalil terperinci.
Adapun jinayah menurut bahasa adalah:
Nama bagi hasil perbuatan seseorang yang buruk dan apa yang diusahakan.
Pengertian Jinayah secara istilah fuqaha sebagaimana yang dikemukakan oleh
Abdul Qadir Audah adalah:
6
. Zainuddin Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam Di Indonesia, ( sinar
grafika,jakarta, 2006), halaman 17 s.d 18.
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
Jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh syara’, baik
perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta, atau lainnya.
Dalam konteks ini jinayah sama dengan jarimah. Pengertian jarimah sebagai
mana dikemukakan oleh Imam Al Mawardi adalah sebagai berikut.
Jarimah adalah perbuatan yang dilarang oleh syara’ yang diancam oleh
Allah dengan hukuman had atau ta’zir.
Apabila kedua kata tersebut digabungkan maka pengertian fiqh jinayah itu
adalah ilmu tentang hukum syara’ yang berkaitan dengan masalah perbuatan yang
dilarang (jarimah) dan hukumannya yang diambil dari dalil–dalil yang terperinci.
Pengertian fiqh jinayah tersebut diatas sejalan dengan pengertian hukum
pidana menurut hukum positif. Mustafa Abdullah dan Ruben Ahmad mengemukakan
bahwa hukum pidana adalah delik yang diancam dengan hukuman pidana. Atau
dengan kata lain hukum pidana itu adalah serangkaian peraturan yang mengatur
masalah tindak pidana dan hukumannya. 7
3. Ruang Lingkup Fiqh Jinayah
Berbicara mengenai ruang lingkup Fiqh Jinayah sebenarnya sangat luas
cakupannya akan tetapi, secara garis besar kita dapat membaginya kedalam tiga
bagian yaitu :
a. Jarimah Hudud
7
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (Fikih Jinayah), (Jakarta,
Sinar Grafika, 2004 ), halaman 1.
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
Jarimah hudud adalah jarimah yang diancam dengan hukuman had.
Pengertian hukuman had adalah hukuman yang telah ditentukan oleh syara’ dan
menjadi hak Allah (hak masyarakat).
Dengan demikian ciri khas dari jarimah hudud itu adalah sebagai berikut:
1. Hukuman tertentu dan terbatas, dalam arti bahwa hukumannya telah ditentukan
oleh syara’ dan tidak ada batas maksimal dan minimal.
2. Hukuman tersebut merupakan hak Allah semata–mata, atau kalau ada hak
manusia disamping hak Allah, maka hak Allah yang lebih menonjol. Pengertian
hak Allah sebagaimana dikemukakan oleh Mahmud Syaltut adalah sebagai
berikut.
Hak Allah adalah suatu hak yang manfaatnya kembali kepada masyarakat dan
tidak tertentu bagi seseorang.
Dalam hubungannya dengan hukuman had maka pengertian hak Allah disini
adalah bahwa hukuman tersebut tidak bisa dihapuskan oleh perseorangan (orang yang
menjadi korban atau keluarganya) atau oleh masyarakat yang diwakili oleh negara. 8
Para ulama sepakat bahwa yang termaksud katagori dalam jarimah hudud ada
tujuh, yaitu:.
1. Jarimah Zina.
2. Jarimah Qazdaf (menuduh orang berbuat zina)
3. Jarimah Syurbul khamar (meminum minuman yang memabukkan)
4. Jarimah Pencurian
5. Jarimah Hirabah
6. Jarimah Riddah
7. Jarimah Al Bagyu (pemberontakan) 9
8
. Ibid , Ahmad Wardi Muchlis, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (fikih
Jinayah),halaman 17 s.d. 18.
9
. Makhrus Munajat, Dekonnstruksi Hukum Pidana Islam, (Jogjakarta, Logung Pustaka,
2004), halaman 12.
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
Dalam jarimah zina, syurbul khamar, hirabah, riddah, dan pemberontakan
yang dilanggar adalah hak Allah semata–mata. Sedangkan dalam jarimah pencurian
dan qadzaf (penuduhan zina) yang disinggung disamping hak Allah, juga terdapat hak
manusia (individu), akan tetapi hak Allah lebih menonjol.
b. Jarimah Qishash dan Diat
Jarimah Qishash dan Diat adalah jarimah yang diancam dengan hukuman
qishash atau diat. Baik qishash atau diat keduanya adalah hukuman yang telah
ditentukan oleh syara’. Perbedaannya dengan hukuman had adalah bahwa had adalah
merupakan hak Allah (hak masyarakat), sedangkan qishash dan diat adalah hak
manusia (individu). Adapun yang dimaksud dengan hak manusia sebagai mana
dikemukakan oleh Mahmud Syaltut adalah sebagai berikut.
Hak manusia adalah suatu hak yang manfaatnya kembali kepada orang
tertentu.
Dalam hubungannya dengan hukuman qishas dan diat maka pengertian hak
manusia disini adalah bahwa hukuman tersebut bisa dihapuskan atau dimaafkan oleh
korban atau keluarganya.
Dengan demikian maka ciri khas dari jarimah qishas dan diat itu adalah
1. Hukumannya sudah tertentu dan terbatas, dalam arti sudah ditentukan oleh syara’
dan tidak ada batas minimal dan maksimal.
2. Hukuman tersebut merupakan hak perseorangan (individu), dalam arti bahwa
korban atau keluarganya berhak memberikan pengampunan terhadap pelaku.
Jarimah qishas dan diat ini hanya ada dua macam, yaitu pembunuhan dan
penganiayaan namun apabila diperluas maka ada lima macam, yaitu:
1. pembunuhan sengaja
2. pembunuhan menyerupai sengaja
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
3. pembunuhan merupakan karena kesalahan
4. penganiayaan sengaja
5. penganiayaan tidak sengaja.
c. Jarimah Ta’jir
Jarimah Ta’jir adalah jarimah yang diancam dengan hukuman ta’zir.
Pengertian ta’zir menurut bahasa ialah ta’dib atau memberi pelajaran. Ta’zir juga
diartikan Ar Rad wa Al Man’u, artinya menolak dan mencegah. Akan tetapi menurut
istilah, sebagai mana yang dikemukakan oleh Imam Al Mawardi, pengertiannya
adalah sebagai berikut.
Ta’zir itu adalah hukuman pendidikan atas dosa (tindak pidana) yang belum
ditentukan hukumannya oleh syra’.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa hukuman ta’zir itu adalah hukuman
yang belum ditetapkan oleh syara’, melainkan diserahkan kepada ulil amri, baik
penentuannya maupun pelaksanaannya. Dalam menentukan hukuman tersebut,
penguasa hanya menetapkan hukumannya secara gelobal saja. Artinya pembuat
undang–undang tidak menetapkan hukuman untuk masing–masing jarimah ta’zir,
melainkan hanya menetapkan sekumpulan hukuman, dari yang seringan–ringannya
sampai yang seberat–beratnya.
Dengan demikian ciri khas dari jarimah ta’jir itu adalah sebagai berikut:
1. Hukumannya tidak tertentu dan tidak terbatas. Artinya hukuman tersebut belum
ditentukan oleh syara’ dan ada batas minimal dan ada maksimal,
2. penentuan hukuman tersebut adalah hak penguasa.
Berbeda dengan jarimah hudud dan qishash maka jarimah ta’zir tidak
ditentukan banyaknya. Hal ini karena yang termaksud jarimah ta’zir adalah setiap
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had dan qishash, yang jumlahnya
sangat banyak. Tentang jenis–jenis jarimah ta’zir ini Ibn Taimiyah mengemukakan :
Perbuatan–perbuatan yang tidak terkena hukuman had dan tidak pula kifarat,
seperti mencium anak–anak (dengan syahwat), mencium wanita lain yang
bukan istri, tidur satu ranjang tanpa persetubuhan, atau memakan barang
yang tidak halal seperti darah dan bangkai...
Maka semuanya itu dikenakan hukuman ta’zir sebagai pembalasan dan
pengajaran, dengan kadar hukuman yang ditetapkan oleh penguasa.
Tujuan diberikannya hak penentuan jarimah–jarimah ta’zir dan hukumannya
kepada penguasa adalah agar mereka dapat mengatur masyarakat dan memelihara
kepentingan–kepentingannya, serta bisa menghadapi dengan sebaik–baiknya setiap
keadaan yang bersifat mendadak.
Jarimah ta’zir disamping ada yang diserahkan penentuannya sepenuhnya
kepada ulil amri, juga memang ada yang sudah ditetapkan oleh syara’, seperti riba
dan suap. Disamping itu juga termaksud kedalam kelompok ini, jarimah–jarimah
yang sebenarnya sudah ditetapkan hukumannya oleh syara’ (hudud) akan tetapi
syarat–syarat untuk dilaksanakannya hukuman tersebut belum terpenuhi. Misalnya,
pencurian yang tidak sampai selesai atau barang–barang yang dicuri kurang dari
nishab pencurian, yaitu seperempat dinar.
4. Pengertian Qanun
Istilah Qanun sudah digunakan sejak lama sekali dalam bahasa atau budaya
Melayu. Kitab “Undang-Undang Melaka” yang disusun pada abad ke lima belas atau
keenambelas Masehi telah menggunakan istilah ini. Menurut Liaw Yock Fang, istilah
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
ini dalam budaya melayu digunakan semakna dengan adat dan biasanya dipakai untuk
membedakan antara hukum yang tertera dalam adat dengan hukum yang tertera dalam
kitab fiqih.
Kuat dugaan istilah qanun ini masuk dalam budaya melayu dan bahasa arab
karena mulai digunakan bersamaan dengan kehadiran agama Islam dan penggunaan
bahasa Arab Melayu di Nusantara. Bermanfaat disebutkan dalam literatur Barat pun
istilah ini sudah lama digunakan, diantaranya menunjuk kepada hukum Kristen
(canon law) yang sudah ada sejak sebelum zaman Islam.
Dalam bahasa Aceh istilah ini relatif populer dan tetap digunakan di tengah
masyarakat, karena salah satu pepatah adat yang menjelaskan hubungan adat dan
syariat yang tetap hidup dan bahkan sangat sering dikutip menggunakan istilah ini.
Dalam literatur Melayu Aceh pun qanun sudah digunakan sejak lama, dan diartikan
sebagai aturan yang berasal dari hukum Islam yang telah menjadi adat. Salah satu
naskah tersebut berjudul Qanun Syara’ Kerajaan Aceh yang ditulis oleh Tengku di
Mulek pada tahun 1257 H atas perintah Sultan Alauddin Mansyur Syah yang wafat
pada tahun 1870 M. Naskah pendek (hanya beberapa halaman) ini berbicara beberapa
aspek di bidang hukum tata negara, pembagian kekuasaan, badan peradilan dan
kewenangan mengadili, fungsi kepolisian dan kejaksaan, serta aturan protokoler
dalam berbagai upacara kenegaraan.
Dapat disimpulkan bahwa dalam arti sempit, qanun merupakan suatu aturan
yang dipertahankan dan diperlakukan oleh seorang Sultan dalam wilayah
kekuasaannya yang bersumber pada hukum Islam. Sedangklan dalam arti luas, qanun
sama dengan istilah hukum atau adat. Didalam perkembangannya boleh juga
disebutkan bahwa qanun merupakan suatu istilah untuk menjelaskan aturan yang
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
berlaku ditengah masyarakat yang merupakan penyesuaian dengan kondisi setempat
atau penjelasan lebih lanjut atas ketentuan didalam fiqih yang ditetapkan oleh Sultan.
Sekarang ini, qanun digunakan sebagai istilah untuk “Peraturan Daerah plus”
atau lebih tepatnya Peraturan Daerah yang menjadi peraturan pelaksana langsung
untuk Undang-Undang (dalam rangka otonomi khusus di Propinsi NAD) 10. Hal ini
ditegaskan dalam pasal 1 angka 8 “ketentuan umum” dalam Undang-Undang No. 18
Tahun 2001. dalam Undang-Undang ini qanun dirumuskan sebagai:
Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Peraturan Daerah
sebagai pelaksana Undang-Undang di wilayah Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus. 11
Sejak dimulainya penyelenggaraan otonomi khusus berdasarkan UU No.18
Tahun 2001, sudah banyak qanun yang disahkan. menurut sumber dari sekretariat
DPRD Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, sampai Agustus 2004 telah dihasilkan
49 qanun yang mengatur berbagai materi untuk merealisasikan kewenangan khusus
yang diserahkan Pemerintah kepada Pemerintah Propinsi NAD termaksud
pelaksanaan Syariat Islam 12.
Dari ketentuan diatas dapat ditarik empat kesimpulan:
a. Peraturan pelaksanaan untuk penyelenggaraan otonomi khusus yang
berkaitan dengan kewenangan pemerintah (pusat) akan diatur dengan
Peraturan Pemerintah. Pernyataan ini secara jelas memberikan arah bahkan
10
. Al-yasa Abubakar & Marah Halim, Hukum Pidana Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam,Banda Aceh,Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,halaman 6 s.d 7
11
. Himpunan Undang – Undang, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah/ Qanun, Instruksi
Gubernur,Edaran Gubernur, Berkaitan Pelaksanaan Syari’at Islam, edisi V, (Banda Aceh, Dinas Syariat
Islam Provinsi NAD,2006), halaman 19.
12
. Al-yasa Abubakar & Marah Halim, Hukum Pidana Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, Opcit, halaman 7.
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
keyakinan bahwa untuk melaksanakan Otonomi Khusus perlu kepada
peraturan pelaksanaan pada tingkat pusat, dalam hal ini peraturan
pemerintah. Kelihatannya pembuat Undang-Undang sejak awal sudah
yakin bahwa otonomi khusus tidak akan dapat dijalankan sekiranya
peraturan pelaksananya hanya di buat di Aceh melalui qanun Propinsi.
Karena hal tersebut, perlu di ulangi kembali, kehadiran Peraturan
Pemerintah amat sangat diperlukan.
b. Undang-Undang telah menetapkan Qanun Propinsi sebagai peraturan
pelaksana untuk penyelenggaraan otonomi khusus yang
menjadi
kewenagan Pemerintah Propinsi. Dalam pembuatan qanun ini, Pemerintah
Propinsi tidak perlu menunggu peraturan pemerintah atau peraturan
lainnya dari Pemerintah (pusat). Sedangkan dalam kutipan dari “penjelasan
umum” di atas tadi, telah disebutkan bahwa Qanun adalah peraturan
daerah
untuk
melaksanakan
otonomi
khusus
yang
dapat
mengenyampingkan peraturan perundang-undangan yang lain dengan
mengikuti asas lex specialis derogat lex generalis. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa qanun adalah peraturan daerah yang setingkat dengan
Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan otonomi khusus di Aceh, atau
paling kurang merupakan Peraturan Daerah “plus”
melaksanakan Undang-Undang
karena dapat
secara langsung dan juga karena
merupakan Peraturan Daerah yang dapat mengenyampingkan peraturan
lain berdasar asas “peraturan khusus dapat mengenyampingkan peraturan
umum”.
c. Qanun Propinsi yang dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 di atas
dinyatakan sebagai Peraturan Daerah untuk melaksanakan otonomi khusus
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
dalam pasal yang telah dikutip diatas secara tegas disebutkan sebagai
Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dari penyebutan ini dan dari
fungsi yang diberikan kepada qanun, yaitu untuk melaksanakan otonomi
khusus, maka qanun itu selayaknya hanya ada ditingkat propinsi Nanggroe
Aceh Darussalam, karena peraturan pada tingkat Propinsilah yang
merupakan peraturan pelaksana dan penjelasan untuk Undang-Undang.
Sekiranya jalan pikiran ini diterima, maka penggunaan istilah ini oleh
Kabupaten dan Kota dalam Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam untuk
produk daerah yang mereka buat (menggunakan istilah qanun Kabupaten
dan Kota), barangkali perlu penelitian dan pengkajian yang lebih dalam.
Lepas dari diskusi diatas, kuat dugaan untuk menghindarkan keraguan dan
silang pendapat, Gubernur telah mengeluarkan keputusan No. 09 Tahun
2003 tanggal 03 April 2003 yang menyatakan bahwa semua peraturan
daerah di Kabupaten/ Kota setelah kehadiran Undang-Undang No. 18
Tahun 2001 ini diberi nama Qanun Kabupaten atau Kota. Ketentuan ini
dikuatkan lagi dalam Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 02
Tahun 2003 tentang Sususnan, Kedudukan dan kewenangan Kabupaten/
Kota dalam Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang disahkan pada 15
Juli 2003, dalam pasal 1angka 8 secara jelas menyebutkan adanya istilah
Qanun Kabupaten/ Kota. Lengkap isi pasal 1 angka 8 tersebut penulis
kutipkan sebagai berikut:
Qanun Kabupaten atau Kota adalah Peraturan Daerah Kabupaten
atau Kota yang ditetapkan oleh Bupati atau Wali Kota dengan
persetujuan bersama Dewan Perwakilan Daerah Kabupaten atau
Kota.
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
d. Berhubung Syariat Islam yang akan ditegakkan di Aceh bersifat kaffah,
sedang aparat penegak hukum semisal Hakim, Jaksa, Polisi, dan Pengacara
yang menguasai Syariat Islam secara baik (sempurna) relatif sedikit sekali,
maka Syariat Islam yang akan dilaksanakan di Aceh akan dituangkan
kedalam bentuk qanun terlebih dahulu. Dengan kata lain hukum positif
yang akan dilaksanakan di Aceh baik yang materil maupun yang formil
terlebih dahulu akan dirumuskan dan dituangkan kedalam bentuk Qanun
Propinsi. Ketentuan ini telah dinyatakan dalam Qanun Nomor 10 Tahun
2002 yang berbunyi:
Pasal 53: Hukum materil yang akan digunakan dalam
menyelesaikan perkara sebagaimana tersebut pada pasal 49
adalah yang bersumber dari atau sesuai dengan Syariat Islam
yang akan diatur dengan Qanun. Pasal 54: Hukum formil yang
akan digunakan Mahkamah adalah yang bersumber dari atau
sesuai dengan Syariat Islam yang akan diatur dalam Qanun.
F. Metode Penelitian
a. Pendekatan Masalah
penelitian ini dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif dan yuridis
empiris. Penelitian yuridis normatif juga dinamakan penelitian hukum normatif atau
juga penelitian hukum doktrinal.
Menurut soejono soekanto sebagaimana yang dikemukakan oleh Burhan
Ashshofa, bentuk penelitian normatif (doktrinal) ini dapat berupa:
(1) Inventarisasi hukum positif;
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
(2) Penemuan Asas hukum;
(3) Penemuan Asas Hukum in concreto;
(4) Perbandingan Hukum
(5) Sejarah Hukum 13
Pada penelitian ini, khususnya yang berkaitan dengan permasalahan nomor
satu dan dua digunakan pendekatan yuridis normatif (doctrinal). Pendekatan yuridis
empiris adalah untuk melihat penerapan syariat Islam dilapangan yang dalam
penelitian ini, digunakan untuk menjawab permasalahan pada nomor ketiga untuk
mengetahui sejauh mana efektifitas penerapan sanksi pidana cambuk terhadap pelaku
pelanggaran qanun di bidang Syariat Islam di Kota Madya Banda Aceh. Namun
dalam hal penelitian ini tetap menggunakan data sekunder.
b. Sumber dan Pengumpulan data
Jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data
skunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari studi lapangan yaitu terdiri dari
POLISI, JAKSA, WILAYATUL HISBAH, MAHKAMAH SYARIAH, dan DINAS
SYARIAT ISLAM. Data skunder diperoleh melalui studi kepustakaan.
Studi kepustakaan ini dilakukan untuk mendapatkan atau mencari konsepsi–
konsepsi,
teori–teori,
asas–asas,
doktrin–doktrin,
dan
temuan–temuan
yang
berhubungan erat dengan pokok permasalahan. studi lapangan dilakukan melalui
wawancaara mendalam (in-depth interview) dengan menggunakan pedoman
wawancara (interview guide) kepada responden, yaitu terdiri dari:
a. Kepolisian, Poltabes Banda Aceh.
b. Mahkamah Syariah Banda Aceh.
c. Dinas Syariat Islam Propinsi NAD.
13
. Burhan Ashofa. Metode Penelitian Hukum, Jakarta (1996): Rineka Cipta, halaman 14.
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
d. Dinas Syariat Islam Kota Banda Aceh.
e. Kejaksaan Negeri Kota Banda Aceh.
f. Wilayatul Hisbah Kota Banda Aceh.
Metode ini dilakukan untuk memperoleh data tentang permasalahan–
permasalahan yang akan diangkat dalam penulisan skripsi ini. Studi lapangan ini
dilakukan di wilayah hukum kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh
darussalam, karena mengingat kota Banda Aceh merupakan ibu kota dari Propinsi
Nanggroe Aceh Darussalam, yang mana ibu kota propinsi ini merupakan acuan dan
pusat dari pada pelaksanaan syariat Islam di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
c.
Metode Analisis data
Data yang diperoleh melalui studi pustaka dan wawancara dikumpulkan, dan
urutannya, lalu diorganisasikan dalam satu pola, kategori dan satuan uraian dasar.
Data ini akan dianalisis secara kualitatif yang akan diuraikan secara deskritif, yaitu
pendapat responden dan nara sumber diteliti dan dipelajari secara menyeluruh.
Berdasarkan
penelitian
tersebut
metode
kualitatif
bertujuan
untuk
menginterprestasikan secara kualitatif tentang pendapat atau tanggapan responden
dan nara sumber, kemudian mendeskripsikannya secara lengkap dan mendetail aspek–
aspek tertentu yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang selanjutnya dianalisis
untuk mengungkapkan kebenaran dan memahami kebenaran tersebut. 14
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini di bagi dalam beberapa tahapan yang disebut
dengan Bab, dimana masing-masing bab diuraikan masalahnya tersendiri, namun
14
. Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum, Jakarta (1982): Ghalia Indonesia,
halaman 93.
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
masih dalam konteks yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Secara
sistematis penulisan ini menempatkan materi pembahasan keseluruhannya ke dalam 5
(lima) bab yang terperinci sebagai berikut:
BAB I
:
Berisikan pendahuluan yang merupakan pengantar yang di
dalamnya terurai mengenai latar belakang penulisan skripsi,
perumusan masalah kemudian dilanjutkan dengan keaslian
penulisan, tujuan penulisan, tinjauan kepustakaan, metode
penulisan, yang kemudian diakhiri dengan sistematika penulisan.
BAB II :
Merupakan bab yang membahas tentang pengaturan tindak pidana
dan hukumannya dalam qanun Provinsi NAD.
BAB III :
Merupakan bab yang membahas tentang penerapan sanksi pidana
cambuk menurut fikh jinayah,penerapan sanksi pidana cambuk
menurut qanun propinsi NAD.
BAB IV :
Merupakan bab yang membahas tentang penerapan sanksi pidana
cambuk, tingkat tindak pidana perjudian dan asusila sebelum
penerapan Syariat Islam di propinsi NAD, tingkat pelanggaran
qanun setelah penerapan qanun di bidang Syariat Islam propinsi
NAD,dan efektifitas penerapan sanksi pidana cambuk terhadap
pelanggaran qanun propinsi NAD di bidang Syariat Islam.
BAB
V
:
Bab ini berisikan kesimpulan dari bab-bab yang telah di bahas
sebelumnya dan saran-saran.
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
BAB II
PERBUATAN PIDANA DAN HUKUMANNYA DALAM QANUN PROPINSI
NANGGROE ACEH DARUSSALAM
A.
Perbuatan Jinayah di Bidang Khalwat (mesum)
Menurut bahasa, istilah Khalwat berasak dari Khulwah dari akar kata khala
yang berarti “sunyi” atau “sepi”. Sedangkan menurut istilah, khalwat adalah keadaan
seorang yang menyendiri dan jauh dari pendangan orang lain. Dalam pemakaiannya,
istilah ini berkonotasi ganda, positif dan negatif. dalam makna positif, khalwat adalah
menarik diri dari keramaian dan menyepi untuk mendekatkan kepada Allah.
Sedangkan dalam arti negatif, khalwat berarti perbuatan berdua–duaan di tempat yang
sunyi atau terhindar dari pandangan orang lain antara seorang pria dan seorang wanita
yang bukan muhrim dan tidak terikat perkawinan. Makna khalwat yang dimaksud
dalam pembahasan ini adalah makna yang kedua. 15
Islam telah mengatur etika pergaulan muda mudi dengan baik. Cinta dan kasih
sayang laki–laki dan perempuan adalah fitrah manusia yang merupakan karunia Allah.
Untuk menghalalkan hubungan laki – laki dan perempuan, Islam menyediakan
15
. Al Yasa’ Abubakar & Sulaiman M. Hasan, Perbuatan Pidana Dan Hukumannya Dalam
Qanun Provinsi NAD (Banda Aceh, Dinas Syariat Islam Provinsi NAD, 2006), halaman. 46 s.d 47.
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
lembaga perkawinan. Tujuan utama agar hubungan laki – laki dan perempuan diikat
dengan tali perkawinan adalah untuk menjaga dan memurnikan garis keturunan
(nasab) dari anak yang lahir dari hubungan suami isteri. Kejelasan ini penting untuk
melindungi masa depan anak yang dilahirkan tersebut.
Larang khalwat adalah pencegahan dini bagi perbuatan zina. Larangan ini
berbeda dengan beberapa jarimah lain yang langsung kepada zat perbuatan itu sendiri,
seperti larangan mencuri, minum khamar dan maisir. Larangan zina justru dimulai
dari tindakan–tindakan yang mengarah kepada zina. Hal ini mengindikasikan betapa
Islam sangat memperhatikan kemurnian nasab seorang anak manusia.
Dalam beberapa hadist, Nabi menunjukan batas–batas pergaulan antara laki–
laki dan perempuan yang bukan muhrimnya, seperti:
1. Nabi melarang seorang perempuan berhubungan dengan laki–laki yang
bukan muhrimnya tanpa ditemani oleh muhrim si wanita.
2. Nabi melarang khalwat dengan wanita yang sudah dipinang, meski Islam
membolehkan laki-laki memandang perempuan yang dipinangnya untuk
meyakinkan dan memantapkan hatinya.
3. Nabi melarang seorang laki–laki masuk kerumah wanita yang tidak
bersama muhrimnya atau orang lainnya.
4. Nabi melarang wanita bepergian tanpa ditemani muhrimnya.
Akan tetapi nilai–nilai etika yang ditawarkan Islam tersebut, dizaman modern
ini mendapatkan tantangan yang serius dari budaya sekuler, yang serba permisif yang
pada umumnya datang dari barat. Budaya sekuler adalah budaya yang lahir dari aliran
filsafat sekulerisme yang memisahkan nilai–nilai agama dengan nilai–nilai duniawi.
Menurut aliran ini, agama tidak boleh dicampuradukan dengan urusan dunia. Manusia
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
bebas sebebas–bebasnya menentukan urusan dunianya. Termaksud dalam hal
hubungan laki–laki dan perempuan.
Dalam budaya masyarakat barat, hubungan antara laki–laki dan perempuan
tidak mesti diikat dengan tali perkawinan. Seorang laki–laki dan perempuan dapat
hidup bersama tanpa ikatan perkawinan, bahkan sampai siperempuan melahirkan
anak. Akibat dari cara berpikir seperti ini, maka dibarat berkembang berbagai macam
pemikiran yang mendukung kebebasan sebagaimana digambarkan diatas. Gerakan
emansipasi wanita adalah salah satu hasil dari cara berpikir ini.
Meski budaya barat nyata–nyata bertentangan dengan budaya Islam, tetapi
dalam kenyataan, budaya barat ini berkembang dengan baik di negara–negara timur
yang pada umumnya religius, tak terkecuali dunia Islam, perkembangan budaya barat
di dunia Islam juga dipengaruhi oleh sistem politik, kepengikutan itu juga akhirnya
merembes ke wilayah–wilayah lain, seperti wilayah Sosial, Budaya, Hukum, dan
sebagainya. Dalam budaya hukum, khususnya yang diterapkan di Indonesia,
menganut sepenuhnya sistem hukum barat yang melegalkan pergaulan bebas yang
disebut Islam sebagai perzinahan. Akibatnya, dalam bidang budaya, masyarakat
Indonesia modren, juga akrab dengan produk budaya–budaya barat yang mendukung
pergaulan bebas seperti pacaran (dating), tunangan, freesex, summon liven (kumpul
kebo), dan sebagainya. 16
Khalwat menurut Qanun No. 14 tahun 2004 Bab I Pasal I point 20 adalah
“Khalwat/ mesum adalah perbuatan bersunyi–sunyi antara dua orang mukallaf atau
lebih yang berlainan jenis yang bukan muhrim atau tanpa ikatan perkawinan”. 17
16
. Al-yasa Abubakar & Marah Halim, Hukum Pidana Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam,Banda Aceh,Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,halaman 80 s.d 82.
17
. Himpunan Undang – Undang, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah/ Qanun, Instruksi
Gubernur,Edaran Gubernur, Berkaitan Pelaksanaan Syari’at Islam, edisi V, (Banda Aceh, Dinas
Syariat Islam Provinsi NAD,2006), halaman 226.
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
Khalwat dilarang dalam Islam karena perbuatan ini bisa menjerumuskan orang
kepada zina, yakni hubungan intim di luar perkawinan yang sah. Larangan mendekati
zina terdapat dalam surat Al-Isra’ayat 32:
Dan janganlah kamu mendekati zina, karena sesungguhnya zina itu perbuatan
yang keji dan seburuk-buruknya cara. 18
Sedangkan menurut para ulama nenberikan pengertian zina dengan susunan
kalimat yang berbeda–beda, namun pada prinsipnya sama. Salah satu pengertian yang
diberikan ialah:
“(zina ialah) memasukan alat kelamin laki–laki kedalam alat kelamin
perempuan (dalam persetubuhab) yang haram menurut zat perbuatannya,
bukan karena subhat dan perempuan tersebut mendatangkan syahwat”.
Persetubuhan yang haram menurut zat perbuatannya yang dimaksud dalam
pengertian diatas adalah bercampur dengan perempuan yang bukan isterinya dan
bukan pula budaknya. Dengan demikian persetubuhan antara suami isteri, tidak
termaksud zina, walaupun dilakukan pada waktu yang diharamkan, seperti dalam
keadaan haid, pada siang hari bulan puasa, atau sedang ihram. Dalam waktu tersebut
persetubuhan antara suami isteri hukumnya adalah haram, tetapi disini bukan lantaran
zat perbuatannya, melainkan karena ada sebab lain. Oleh karena itu tidak termaksud
dalam kategori zina, walaupun pelakunya berdosa.
Adapun yang dimaksud perempuan yang mendatangkan syahwat adalah
manusia yang hidup dan berkelamin perempuan, baik masih kecil maupun sudah
18
. Q. S Al-Nisa’ Ayat 32.
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
dewasa. Dengan demikian tidak termaksud kategori zina, persetubuhan dengan mayat
atau dengan binatang, walaupun hukumnya tetap haram. 19
Dalam pelaksanaan Syariat Islam di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam,
masalah khalwat di atur dalam Qanun Nomor 14 Tahun 2003 yang di atur bersamaan
dengan Qanun Khamar (minuman keras dan sejenisnya) dan Maisir (perjudian).
Adapun ketentuan – ketentuan materil tentang larangan khalwat yang diatur dalam
Qanun No. 14 Tahun 2003 adalah sebagai berikut:
Pasal 4
Khalwat/ mesum hukumnya haram.
Pasal 5
Setiap orang dilarang melakukan khalwat/ mesum.
Pasal 6
Setiap orang atau kelompok masyarakat atau aparatur pemerintahan dan badan usaha
dilarang memberikan fasilitas kemudahan dan/atau melindungi orang yang melakukan
khalwat/mesum.
Pasal 7
Setiap orang, baik sendiri maupun kelompok berkewajiban mencegah terjadinya
perbuatan khalwat/ mesum.
Adapun ancaman hukuman terhadap pelanggaran Qanun ini adalah
sebagai berikut :
Pasal 22:
(6) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4,
diancam dengan ‘uqubat ta’zir berupa dicambuk paling banyak 9 (sembilan) kali
19
. M. Amrullah, Pelajaran Fiqih Madrasah Aliyah Kelas II, Caturwulan 1,2,3, (Bandung,
CV,Armico, 1995), halaman 152.
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
dan paling sedikit 3 (tiga) kali dan/atau denda paling banyak Rp.10.000.000,(sepuluh juta rupuah), paling sedikit Rp. 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu
rupiah).
(7) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagai mana dimaksud dalam pasal 5
diancam dengan ‘uqubat ta’zir berupa kurungan.
(1) Paling lama 6 (enam) bulan, paling singkat 2 (dua) bulan dan/ atau denda
paling banyak Rp. 15. 000.000,- (lima belas juta rupiah), paling sedikit Rp.
5.000.000,- (lima juta rupiah).
(2) Pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 dan 6
adalah jarimah ta’zir.
Penjelasan Pasal 22
Ayat (1 dan 2)
Yang dimaksud dengan setiap orang adalah orang islam yang berada di Nanggroe
Aceh Darussalam.
Pasal 24
Pengulangan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaiman dimaksud dalam pasal 22,
‘uqubat dapat ditambah 1/3 (sepertiga) dari ‘uqubat maksimal.
Pasal 25
Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 dan 6:
a.
apabila dilakukan oleh badan hukum/ badan usaha , maka ‘ukubatnya
dijatuhkan kepada penanggung jawab.
b. apabila ada hubungan dengan kegiatan usahanya, maka selain sanksi ‘uqubat
sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 22 ayat (1) dan (2), dapat juga
dikenakan ‘uqubat administratif dengan mencabut dan membatalkan izin
usaha yang telah diberikan.
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
Dari penjelasan di atas, maka unsur–unsur pidana dari tindak pidana khalwat,
selain yang termaksud unsur pidana yang berlaku umum dalam pidana Islam di atas
adanya nash yang melarang, melakukan sesuatu yang dilarang (perbuatan melawan
hukum, dan pelakunya mukalaf), maka terdapat pula unsur -unsur yang khusus
terdapat pada jarimah khalwat, yaitu:
1. perbuatan bersunyi – sunyi;
2. dilakukan oleh pria dan wanita yang bukan muhrim; 20
B. Perbuatan Jinayah di Bidang Maisir (Perjudian)
Maisir berasal dari kata yasara atau yusr yang artinya mudah, atau dari kata
yasar yang berarti kekayaan. Maisir atau perjudian adalah suatu bentuk permainan
yang mengandung unsur taruhan dan orang yang menang dalam permainan itu berhak
mendapatkan taruhan tersebut. Seperti halnya khamar, maka maisir juga merupakan
suatu budaya jelek peradaban manusia sejak dulu. Jika khamar adalah minuman yang
bertujuan bersenang – senang, maka maisir adalah permainan yang sesungguhya juga
bertujuan mendapat kesenangan dan keuntungan tanpa bersusah payah. 21
Menurut pasal I Bab I Qanun Nomor 13 Tahun 2003, Maisir (Perjudian) adalah:
“Kegiatan dan/ atau perbuatan yang bersifat taruhan antara dua pihak yang
menang mendapatkan bayaran” 22
Maisir dilarang oleh Islam karena beberapa alasan:
1. Secara Ekonomis, Maisir dapat mengakibatkan kemiskinan, sebab jarang
terjadi seseorang terus–terusan menang, yang paling banyak justru kekalahan.
20
. Al Yasa’ Abubakar & Sulaiman M. Hasan, Perbuatan Pidana Dan Hukumannya Dalam
Qanun Provinsi NAD, Halaman 47 s.d 51.
21
. Ibid, Al Yasa’ Abubakar & Sulaiman M. Hasan, Perbuatan Pidana Dan Hukumannya
Dalam Qanun Provinsi NAD, Halaman 40.
22
. Lihat Qanun No. 13 Tahun 2003 Bab I Pasal I.
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
2. Secara Psikologis, sebagai mana disebut dalam Al-quran, perjudian bisa
menumbuhkan permusuhan, kebencian, sikap ria, takabbur, sombong , dan
sebagainya dipihak yang menang. Pihak yang kalah dapat terkena stress,
depresi bahkan bunuh diri. Hal ini sesuai dengan pernyataan dalam Al-Quran
surat al-maidah ayat 91:
Sesungguhnya syaitan itu hendak bermaksud menimbulkan permusuhan dan
kebencian diantara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan
menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat; maka berhentilah kamu
(dari mengerjakan pekerjaan itu).23
3. Secara Sosiologis, perjudian dapat merusak sendi–sendi kekeluargaan yang
merupakan inti masyarakat. Perjudian dapat menyebabkan masalah sosial
seperti perceraian, pertengkaran bahkan bisa mengarah ke tindak kriminal
seperti pembunuhan dan sebagainya.
Dalam pelaksanaan Syariat Islam di NAD, masalah Maisir diatur dengan
Qanun Propinsi NAD Nomor 13 tahun 2003. Qanun ini disahkan bersamaan dengan
Qanun tentang khamar (minuman keras dan sejenisnya) dan Qanun tentang Khalwat
(mesum). Adapun ketentuan - ketentuan materil tentang larangan Maisir tersebut
adalah sebagai berikut: 24
Pasal 4
Maisir hukumnya haram.
Pasal 5
Setiap orang dilarang melakukan perbuatan Maisir.
Pasal 6
23
. Al – Quran Surat Al-Maidah Ayat 91
. Al Yasa’ Abubakar & Sulaiman M. Hasan, Perbuatan Pidana Dan Hukumannya Dalam
Qanun Provinsi NAD, Op.cit Halaman 42..
24
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
(1) Setiap orang atau badan hukum atau badan usaha dilarang menyelenggarakan
dan/ atau memberikan fasilitas kepada orang yang akan melakukan perbuatan
Maisir;
(2) Setiap orang atau badan hukum atau badan usaha dilarang menjadi pelindung
terhadap perbuatan Maisir.
Pasal 7
Instalasi pemerintah dilarang memberi izin usaha penyelenggaraan Maisir.
Penjelasan Pasal 7
Yang dimaksud dengan izin usaha termaksud izin untuk menyelenggarakan
keramaian, pameran, pertunjukan dan lain – lain.
Pasal 8
Setiap orang atau kelompok atau Institusi masyarakat berkewajiban mencegah
terjadinya perbuatan Maisir. 25
Adapun yang menjadi ancaman pidana terhadap perbuatan Maisir
adalah sebagai berikut:
Pasal 23
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagai mana dimaksud dalam pasal 5,
diancam dengan ‘uqubat cambuk didepan umum paling banyak 12 (dua belas)
dan paling sedikit 6 (enam) kali.
(2) Setiap orang atau badan hukum atau badan usaha Non-instansi pemerintah
yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 dan 7,
diancam dengan:
25
. Himpunan Undang – undang, keputusan presiden, peraturan daerah/ Qanun, instruksi
presiden, edaran gubernur, berkaitan pelaksanaan syariat Islam, Dinas Syariat Islam Provinsi
NAD,2006, halaman 207.Op. Cit
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
(1) ‘uqubat atau denda paling banyak Rp. 35.000.000,-(tiga puluh lima
juta rupiah), paling sedikit Rp. 15.000.000,-(lima belas juta rupiah).
(2) Pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5,6,
dan 7 adalah jarimah ta’jir.
Penjelasan Pasal 23
Ayat 1
Yang dimaksud dengan setiap orang adalah orang Islam.
Ayat 2
Yang dimaksud dengan setiap orang adalah orang yang berada di Nanggroe Aceh
Darussalam.
Pasal 26
Pengulangan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, 6, dan 7 ‘uqubatnya
dapat ditambah 1/3 (sepertiga) dari ‘uqubat maksimal.
Pasal 27
Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6:
a. apabila dilakukan oleh badan hukum / usaha, maka ‘uqubatnya
dijatuhkan kepada penanggung jawab.
b. Apabila ada hubungan dengan kegiatan usahanya, maka selain sanksi
‘uqubat sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (2), dapat juga
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
dikenakan ‘uqubat administratif dengan mencabut dan membatalkan izin
usaha yang telah diberikan. 26
Qanun ini mendefenisikan Maisir sebagai ”kegiatan dan/ atau perbuatan yang
bersifat taruhan antara dua belah pihak atau lebih dimana pihak yang menang
mendapatkan bayaran.” 27Dari defenisi ini, unsur–unsur perbuatan pidana, selain
unsur–unsur yang berlaku umum (ada nash yang melarangnya, melakuakan perbuatan
yang dilarang/ melawan hukum, dan pelakunya mukallaf), yang disematkan kepada
Maisir sehingga layak disebut sebagai perbuatan pidana, ada unsur lainnya yaitu:
1. Perbuatan bertaruh untuk mendapatkan keuntungan;
2. Dilakukan dua pihak atau lebih;
Perbuatan bertaruh adalah unsur utama dari judi. Unsur ini memiliki cakupan
yang sangat luas, sebab semua jenis kegiatan yang mempertaruhkan apa saja demi
memperoleh keuntungan dapat dijerat dengan ketentuan ini. Selain dengan jenis–jenis
lain yang dikemukakan di atas, maka jenis–jenis lain pun sepanjang mengandung
unsur bertaruh dapat dimasukan kedalam kategori judi.
Unsur kedua dari judi dalam defenisi diatas adalah dilakukan oleh dua pihak
atau lebih. Dalam praktiknya, memamg ada judi yang dilakukan dua pihak saja dan
ada juga yang lebih dari dua pihak. Dalam permainan kartu joker misalnya, yang
dapat terlibat bisa lebih dari dua orang, dimana satu orang akan keluar sebagai
pemenang. Selain itu, judi yang dilakukan oleh lebih dari dua pihak adalah permainan
judi dengan memakai bandar. Cara seperti ini seperti yang dilakukan dikasino–kasino.
26
.Ibid. Himpunan Undang – undang, keputusan presiden, peraturan daerah/ Qanun, instruksi
presiden, edaran gubernur, berkaitan pelaksanaan syariat Islam, Dinas Syariat Islam Provinsi
NAD,2006, halaman 211.
27
. Qanun Provinsi NAD Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir (perjudian), Bab I, Pasal 1
angka 20.
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
Dalam hal ini, meski para penjudi duduk berhadap–hadapan, yang menjadi lawan
sesungguhnya adalah bandar judinya.
Berbeda dengan khamar yang tergolong jarimah hudud, yaitu perbuatan
pidana yang sudah ditetapkan jumlah hukumannya oleh nash, maka Maisir tergolong
jarimah ta’jir, sebab ketentuan hukumnya tidak ditetapkan oleh nash, karena itu, ia
diserahkan kepada ketentuan Pemerintah.
C. Pelanggaran Qanun Di Bidang Khamar ( Minuman Keras Dan
Sejenisnnya)
Secara lughawi (bahasa), istilah khamar berasal dari kata al-khamr, yang
artinya menutupi, khamar adalah sejenis minuman yang memabukan (menutupi
kesehatan akal).
Khamar menurut Qanun no. 12 Tahun 2003 Bab I pasal I adalah “ minuman
yang memabukkan apabila dikonsumsi dapat menyebabkan terganggu kesehatan,
kesadaran dan daya fikir.
Karena salah satu maqashid syari’ah adalah menjaga akal , maka syariat Islam
sangat tegas melarangnya. Larangan khamar terdapat secara sharih dalam Al-quran
dan hadist.
Diantaranya yaitu terdapat dalam Al-quran surat al-maidah (5):90:
Hai orang–orang beriman, sesungguhnya khamar, berjudi, berkurban untuk berhala,
mengundi nasib dengan anak panah, itu adalah perbuatan keji, termaksud perbuatan
setan, maka jauhilah agar kamu mendapat keberuntungan.
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
Hadist shahih yang memperkuat larangan ini ada beberapa, diantaranya hadist
yang dikeluarkan Imam Bukhari dalam kitab Al Asyrubah.
Setiap minuman yang memabukan adalah haram. ( H.R Imam Malik bersumber dari
’Aisyah r.a )
Akal adalah unsur terpenting yang terdapat dalam tubuh manusia. Ia adalah
daya atau kekuatan yang dianugrahkan oleh Allah SWT kepada manusia sebagai alat
berfikir dan alat untuk mempertimbangkan baik buruknya sesuatu; dan ia adalah
salah satu dari dua potensi yang diberikan kepada manusia selain nafsu. Keduanya
akal dan nafsu adalah potensi ruhaniah yang bersumber dari Allah yang di tempatkan
kedalam jasmani manusia. Akal pula yang membedakan manusia dengan hewan.
Karena itu, menjaga kesehatan akal menjadi kebutuhan dharuri (mutlak) bagi
manusia.
Para ahli fiqh berbeda pola dalam mendefenisikan khamar. Menurut Imam
Hanafi, khamar khusus kepada minuman yang terbuat dari benda–benda yang
disebutkan dalam hadist nabi seperti anggur, kurma, gandum, madu dan beberapa
yang lain. Menurutnya khamar dan memabukan itu sesuatu yang berbeda. Jadi, benda
lain yang diminum, walaupun memabukan, menurut Imam Hanafi tidak termaksud
khamar dan tidak haram, sebaliknya tiga Imam yang lain, Imam Malik, Syafi’I, dan
Hambali, menyatakan bahwa setiap minuman yang memabukan adalah haram tanpa
terkecuali. Pendapat yang mayoritas diikuti dunia Islam adalah pendapat yang kedua
ini.
Perbedaan dalam mendefenisikan khamar adalah perbedaan dalam melihat
‘illat hukumnya. ‘Illat adalah unsur utama yang dijadikan patokan dalam menetapkan
hukum sesuatu. Menurut Imam Hanafi, ‘illatnya adalah jenis bahan bakunya, yaitu
anggur. Sedangkan bagi Imam Malik, Syafi’I, dan Hambali, ‘illat hukumnya adalah
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
sifat memabukan dari suatu minuman, karena itu jika ‘illat ini yang dipegang, maka
semua jenis minuman yang memabukkan termaksud khamar dan haram hukumnya.
Tampaknya memang pendapat terakhirnlah yang paling banyak dianut dalam
dunia Islam, sebab dizaman modern ini, jenis – jenis minuman yang memabukan
berbagai macam model dan jenisnya. Ia juga dapat diolah dari berbagai macam bahan
baku selain yang disebutkan nabi. Bahkan dengan kemajuan teknologi, benda yang
memabukan bukan lagi berupa minuman, tetapi bisa dalam bentuk dihisap, disuntik,
dimakan, dan sebagainya yang membuat pelakunya lebih mabuk dari pada
mengkonsumsi benda memabukan dalam bentuk minuman. Bentuk terakhir saat ini
populer dengan istilah Narkoba (narkotika dan obat–obatan terlarang). Yang
termaksud obat-obat terlarang adalah heroin, kokain, shabu, putau dan sebagainya,
yang pada umumnya benda–benda tersebut digunakan untuk kebutuhan farmasi dan
kebutuhan medis.
Islam melarang khamar karena efek negatifnya yang multi-aspek, seperti
aspek sosial, budaya, ekonomi, hukum, psikis dan lain–lain. Secara sosial, budaya
minum–minuman keras dapat melahirkan prilaku–prilaku yang kasar dan anti sosial;
secara budaya, dalam masyarakat akan tumbuh menjadi masyarakat yang tidak
kreatif, produktif, inovatif, dan sebagainya, sebab budaya mabuk menyebabkan orang
malas, boros, dan lainnya.
Secara Ekonomi, budaya minum–minuman keras menggrogoti pendapatan dan
pengeluaran, sebab anggaran belanja yang seharusnya dipergunakan untuk hal–hal
yang bermanfaat telah terkuras untuk membeli khamar, secara hukum, jika budaya
khamar subur dimasyarakat, maka berbagai kasus kriminalitas kelas berat dapat
terjadi seperti pembunuhan, pemerkosaaan, perkelahian, penganiayaan, dan
sebagainya, yang ujung–ujungnya menjadi urusan aparat penegak hukum. Dan secara
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
psikis, banyak pemabuk yang ketagihan akan prustasi, depresi dan gejala mental
lainnya akibat kebiasaan buruknya bertentangan dengan norma–norma sosial. 28
Dalam pelaksanaan Syariat Islam di NAD, masalah khamar diatur dalam
Qanun Propinsi nomor 12 tahun 2003. qanun ini disahkan bersamaan dengan qanun
tentang Maisir (perjudian) dan qanun tentang khalwat (mesum). Adapun ketentuan–
ketentuan materil tentang larangan khamar tersebut adalah sebagai berikut:
Pasal 4
Minuman khamar dan sejenisnya hukumnya haram.
Pasal 5
Setiap orang dilarang mengkonsumsi minuman khamar dan sejenisnya.
Pasal 6
(1) Setiap orang atau badan hukum/ badan usaha dilarang memproduksi,
menyediakan, menjual, memasukan, mengedarkan, mengangkut, menimbun,
memperdagangkan,menghadiahkan, dan mempromosikan minuman khamar
dan sejenisnya;
(2) Setiap orang atau badan hukum dilarang turut serta/ membantu memproduksi,
menyediakan, menjual, memasukan, mengedarkan, mengangkut, menyimpan,
menimbun, memperdagangkan, dan memproduksi minuman khamar dan
sejenisnya.
Pasal 7
28
. Al Yasa’ Abubakar, Marah Halim, Hukum Pidana Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, (Banda Aceh, Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2006), halaman
68 s.d 70
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
Larangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 berlaku juga bagi badan hukum dan
atau badan usaha yang dimodali atau mempekerjakan tenaga asing.
Pasal 8
Instansi yang berwenang menerbitkan usaha hotel, penginapan, losmen, wisma, bar,
restoran, warung kopi, rumah makan, kedai, kios dan tempat–tempat lain, dilarang
melegalisasikan penyediaan minuman khamar dan sejenisnya.
Pasal 9
Setiap orang/ institusi masyarakat berkewajiban mencegah perbuatan minuman
khamar dan sejenisnya.
Adapun ancaman hukuman terhadap pelanggar Qanun ini adalah
sebagai berikut:
Pasal 26
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5,
diancam dengan ‘uqubat hudud 40 (empat puluh) kali cambuk.
(2) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6
sampai pasal 8 diancam dengan ‘uqubat ta’zir berupa kurungan paling lama 1
(satu) tahun, paling sedikit 3 (tiga) bulan dan/ atau denda paling banyak Rp.
75.000.000,- (tujuh puluh lima juta rupiah), paling sedikit Rp. 25.000.000,(dua puluh lima juta rupiah).
(3) Pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 adalah
jarimah hudud.
(4) Pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 sampai
pasal 8 adalah jarimah ta’zir.
Penjelasan pasal 26
Ayat (1)
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
Yang dimaksud dengan setiap orang adalah pemeluk agama Islam yang mukallaf di
Nanggroe Aceh Darussalam.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan setiap orang adalah orang yang berada di Nanggroe Aceh
Darussalam.
Ayat (3)
Jarimah Hudud adalah tindak pidana yang kadar dan jenis ‘uqubatnya terikat pada
ketentuan – ketentuan Al-quran dan Al-hadist.
Ayat (4)
Jarimah Ta’zir adalah tindak pidana yang tidak termaksud Qishash-diat dan hudud
yang kadar dan jenis ‘uqubatnya diserahkan kepada pertimbangan hakim.
Pasal 29
Pengulangan pelanggaran terhadap ketentuan sebagai mana dimaksud dalam pasal
26,’uqubatnya dapat ditambah 1/3 (sepertga) dari ‘uqubat maksimal.
Pasal 30 pelanggaran
terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6
sampai pasal 8:
1. apabila dilakuka oleh badan hukum/ badan usaha, maka ‘uqubatnya dijatuhkan
kepada penanggung jawab;
2. Apabila ada hubungan dengan kegiatan usahanya, maka selain ‘uqubat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal 26, dapat juga dikenakan ‘uqubat
administratif dengan mencabut atau membatalkan izin usaha yang telah
diberikan.
Penjelasan Pasal 30
Huruf (b)
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
Atas dasar keputusan hakim yang sudah berkekuatan hukum tetap, pemerintah
daerah atau pejabat yang berwenang memberi izin usaha, mencabut atau
membatalkan izin usaha yang telah diberikan.29
Dalam Qanun tersebut, khamar didefenisikan dengan “minuman yang
memabukan, apabila dikonsumsi dapat menyebabkan
terganggu kesehatan,
kesadaran, dan daya fikir,” dari defenisi ini, maka unsur–unsur pidana yang terdapat
dalam khamar ini, selain unsur–unsur umum sebagaimana yang disebutkan di atas
(ada nash larangan, melakukan perbuatan yang dilarang/ melawan hukum, dan
pelakunya mukallaf), maka ada dua unsur tambahan yang khusus untuk tindak pidana
khamar, yaitu:
1. Perbuatan meminum–minuman yang memabukan dan berbahaya bagi
kesehatan, kesadaran dan daya fikir;
2. Ada I’tikad jahat.
Unsur utama dari perbuatan pidana khamar itu sendiri adalah perbuatan
minum, dan sifat zat dari benda yang diminum adalah memabukkan. Dalam hal ini,
bukan berarti bahwa jika minumnya tidak sampai memabukan maka ia menjadi halal,
sebab hadist Nabi dengan jelas menyatakan keharamannya, baik diminum banyak atau
sedikit. Dalam hadist riwayat Ahmad, Nabi bersabda:
Apa saja yang banyaknya memabukan, maka sedikitnya pun haram
(H.R.Ahmad bin’ Amru).
Sedikit adalah ukuran yang sangat relatif bagi setiap orang, dan jika yang
sedikit dibolehkan, maka kemungkinan besar orang akan mengkonsumsinya dalam
jumlah yang banyak. Jika dibolehkan sedikit, maka secara logika, hadist yang
melarang
29
membuatnya,
mengedarkannya,
menyimpannya,
menjualnya,
dan
. Qanun Provinsi NAD No. 12 Tahun 2003.
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
sebagainya menjadi tidak berlaku sama sekali. Karena itu, melarang yang ssedikit
disini adalah menutup jalan bagi yang banyak.
Yang dimaksud dengan itikad jahat di sini adalah bahwa pelaku minum sudah
mengetahui bahwa khamar dapat menghilangkan akal sehat dan kemungkinan besar
dalam kondisi mabuk dia dapat melakukan apa saja yang membahayakan dirinya dan
orang lain, tetapi dia tetap mengkonsumsinya. Hal ini menandakan bahwa ia acuh
terhadap kepentingan orang lain.
Dalam defenisi ini khamar telah dikhususkan kepada minuman yang
memabukan, artinya benda–benda lain yang sifatnya memabukkan tetapi tidak
diminum seperti narkotika dan obat–obat terlarang, tidak termaksud dalam pengertian
khamar dalam qanun ini. Hal ini karena narkoba telah diatur dalam peraturan khusus
yang berlaku umum di seluruh Indonesia. Jadi yang diatur oleh qanun ini dan berlaku
secara khusus pula di Aceh, adalah khamar atau minuman keras, yang dalam KUHP
tidak dilarang secara jelas. 30
BAB III
PENERAPAN SANKSI PIDANA CAMBUK MENURUT QANUN PROPINSI
NANGGROE ACEH DARUSSALAM
A.
Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Menurut Fiqh Jinayah.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qu’ran :
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum (mengadili,
membuat keputusan) diantara manusia, supaya kamu menetapkan dengan adil.
30
Al Yasa’ Abubakar & Sulaiman M. Hasan, Perbuatan Pidana Dan Hukumannya Dalam
Qanun Provinsi NAD, Op.cit Halaman 40.
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
Sesungguhnya
Allah
memberi
pengajaran
yang
sebaik-baiknya
kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah maha Mendengar lagi maha melihat. (QS.An-nisa’58)31
Wahai orang–orang yang beriman hendaklah kamu menjadi orang–orang
yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil.
Janganlah sekali–kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk
berlaku tidak adil (kepada mereka). Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat
kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha mengetahui
apa yang kamu kerjakan. (QS.Al-maidah-8) 32
Perempuan yang berzina dan laki–laki yang berzina, maka cambuklah dari
mereka seratus kali cambuk, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya
mencegah kamu untuk menjalankan Agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah,
dan hari kiamat, dan hendaklah pelaksanaan hukuman tersebut disaksikan oleh
sekumpulan orang–orang yang beriman. (QS.An-nur-2) 33
Dan orang–orang yang menuduh wanita baik–baik (berbuat zina) dan mereka
tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu)
delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu menerima kesaksian mereka untuk
selama–lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik. (QS. An-nur-4)34
Sebagaimana telah dijelaskan dalam firman Allah di atas pidana atas anggota
badan, terdiri dari bermacam–macam bentuk. Bentuk–bentuk operasional
pidana
badan ini antara lain meliputi, pidana potong tangan dan kaki, pidana dera atau
cambuk, pidana pemukulan, pidana qishas (pelukaan anggota badan), serta pidana
31
. Al-Quran Surat An-nisa ayat 58.
. Al-Quran Surat Al-maidah ayat 8.
33
. Al-Quran Surat An-nur ayat 2.
34
. Al-Quran Surat An-Nur ayat 4 .
32
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
rajam (pidana dera sampai mati) yang merupakan gabungan antara pidana atas jiwa
dan pidana atas badan.
Hukuman cambuk, sebat atau dera dalam bahas Arab disebut jald berasal
dari kata jalada yang berarti memukul di kulit atau memukul dengan cambuk yang
terbuat dari kulit. Jadi hukuman itu sangat terasa di kulit meskipun sebenarnya ia
lebih ditujukan untuk membuat malu dan mencegah orang dari pada berbuat
kesalahan dari pada menyakitinya. Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa orang
yang dihukum cambuk tidak disuruh membuka pakaian sama sekali, tetapi hanya
diminta untuk menanggalkan pakaian yang tebal yang dapat menahan pukulan. Ini
juga disebutkan oleh Imam Al-Syafi’i dan Imam Ahmad bahwa orang yang dihukum
cambuk harus memakai pakaian dalam, sepotong atau rangkap. Dalam sebuah riwayat
disebutkan pula bahwa sebaiknya bagaian tubuh yang didera bukan hanya satu
tempat, melainkan dibeberapa tempat dengan tujuan agar tidak mengakibatkan luka
pada suatu tempat tertentu. Walaupun demikian harus dijaga jangan sampai memukul
muka dan kemaluan.
Hukuman cambuk ini disebut dalam Al-quran untuk tindak pidana zina (Al
Nur : 4); dan dalam beberapa hadist untuk pidana khamar ( minuman keras ) dan
ta‘zir. Jumlah sebatan yang disebut untuk zina adalah 100 kali sedangkan terhadap
pidana qadzaf ( menuduh orang lain berzina ) adalah 80 kali. untuk hukuman terhadap
pemabuk berdasarkan beberapa hadist ialah 40 kali. Pada masa Umar, hukuman 40
kali ini justru ditambah menjadi 80 kali. Rupanya Umar melihat bahwa cambuk 40
kali itu tidak mempan lagi dan beliau bermusyawarah dengan para sahabat seperti Ali
dan mereka sepakat menetapkan cambuk 80 kali bagi peminum khamar.
Batas hukuman cambuk untuk pidana ta’zir menurut Abu Hanifah,
Muhammad, Syafi’iyah dan Hanbaliyah adalah tidak boleh melebihi hukuman
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
cambuk paling rendah dalam hudud (bentuk plural dari had) adalah 40 kali untuk
khamar. Jadi batas tertinggi untuk ta’jir adalah 39 kali. Menurut Abu Yusuf , jumlah
hukuman cambuk bagi pidana ta’zir tidak boleh lebih dari 75 kali dengan rumus
cambukan had terendah 80 kali dikurang 5 kali.
Menurut Malikiyah, tidak ada batasan jumlah cambukan ta’zir. Sepenuhnya
terserah pada ijtihad imam (baca : pemerintah atau pembuat undang–undang / qanun
atau pengadilan). Bahkan Imam dapat/ berhak untuk menetapkan hukuman ta’zir
setara, kurang atau melebihi hukuman had (lihat, al-zuhaili, juz VI : 206). 35
Hukuman cambuk disebut secara jelas didalam Al-Quran dalam surat An-nur
ayat 2 dan 4, ketika menjelaskan hukuman untuk penjina (seratus kali cambuk) dan
hukuman untuk penuduh berbuat jina (80 kali dera). Di dalam hadist hukuman
cambuk dijatuhkan pula untuk para peminum khamar. Catatan sejarah mengatakan
bahwa hukuman cambuk betul–betul telah dipraktekan pada masa Rasullullah dan
masa khulafa’ur Rasyiddin. Dalam cerita rakyat Aceh dan dan dalam buku hukum
positif yang berlaku pada masa kesultanan dahulu pun hukuman cambuk sering
dijatuhkan pengadilan dan dilaksanakan ditengah masyarakat. Dengan demikian kuat
tertanam di dalam kesadaran khalayak, bahwa hukuman cambuk adalah perintah
Agama yang dituliskan didalam kitab suci, telah dilaksanakan dalam sejarah, dan
karena itu perlu dilaksanakan dengan tulus dan sungguh di dalam hidup
kemasyarakatan dan kenegaraan sekarang ini. 36
B.
Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Menurut Qanun Propinsi NAD.
35
. Rusjdi Ali Muhammad, , Op.cit .halaman 109 s.d 110.
. Al Yasa’abubakar, Sekilas Syariat Islam Di Aceh, (Banda Aceh, Dinas Syariat Islam
Provinsi NAD, 2006) Halaman 25.
36
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
Dengan diberlakukannya Undang–undang No. 44 Tahun 1999, keistimewaan
yang selalu disebut–sebut sebagai ciri utama dan telah menjadi identitas Aceh sejak
tahun 1959 itu di harap akan jadi lebih nyata dan betul–betul dapat diimplementasikan
ditengah–tengah masyarakat. Dalam penjelasan resmi undang-undang No. 44 Tahun
1999 ini antara lain dinyatakan :
Isi keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1/ Missi/ 1959
tentang keistimewaan Provinsi Aceh ysng meliputi Agama, peradatan dan pendidikan,
yang selanjutnya diperkuat dengan undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang
pemerintahan daerah. Untuk menindak lanjuti ketentuan–ketentuan mengenai
keistimewaan Aceh tersebut dipandang perlu untuk menyusun penyelenggaraan
keistimewaan Aceh tersebut dalam suatu undang – undang.
Undang–undang yang mengatur mengenai penyelenggaraan Keistimewaan
Aceh Propinsi Daerah Istimewa Aceh ini dimaksud untuk memberikan landasan bagi
Propinsi Daerah Istimewa Aceh mengatur urusan–urusan yang telah menjadi
keistimewaannya melalaui kebijakan Daerah dalam mengatur pelaksanaanya
sehingga kebijakan daerah lebih akomodatif terhadap aspirasi masyarakat Aceh.
Seperti terlihat penjelasan ini menyatakan bahwa undang–undang tersebut
adalah dibuat untuk menjalankan keistimewaan yang diberikan pada tahun 1959
dahulu bahkan ditambah dengan satu keistimewaan lagi, yaitu peran ulama dalam
menetapkan kebijakan daerah.
Mengenai pelaksanaan Syariat Islam, pasal 4 menyatakan:
(1) penyelenggaraan kehidupan beragama didaerah di wujudkan dalam
bentuk
pelaksanaan
Syari’at
Islam
bagi
pemeluknya
dalam
beermasyarakat.
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
(2) daerah mengembangkan dan mengatur penyelenggaraan kehidupan
beragama, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan tetap menjaga
kerukunan hidup antar umat beragama.
Sedangkan makna atau cakupan Syari’at Islam yang akan dilaksanakan dan
beberapa istilah lain yang berkaitan dengannya dijelaskan dalam pasal 1 tentang
ketentuan umum sebagai berikut:
1. Keistimewaan adalah kewenangan khusus untuk menyelenggarakan
kehidupan beragama, adat, pendidikan, dan peran ulama dalam
penetapan kebijakan daerah;
2. Kebijakan daerah adalah peraturan daerah atau keputusan Gubernur yang
bersifat mengatur dan mengikat dalam penyelenggaraan keistimewaan;
3. Syari’at Islam adalah tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek
kehidupan.
4. Adat adalah aturan atau perbuatan yang bersendikan Syari’at Islam yang
lazim dituruti, dihormati, dan dimuliakan sejak dahulu yang dijadikan
sebagai landasan hidup.
Dari kutipan diatas ada beberapa hal yang dapat disimpulkan:
Pertama pemerintah mengakui bahwa keistimewaan yang diberikan kepada
Aceh di bidang pendidikan, Agama dan peradatan pada tahun 1959 dahulu, tidak
mempunyai peraturan pelaksana yang memungkinkannya di jalankan ditengah
masyarakat. Ketiadaan peraturan pelaksana itulah yang ingin diatasi, yaitu
mengeluarkan Undang–undang No. 44 Tahun 1999, lebih kurang 40 tahun setelah
keistimewaannya diberikan. Kelihatannya dengan undang–undang ini pemerintah
ingin mengoreksi kebijakan yang selama ini diambil, yang cendrung mengabaikan
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
pengorbanan, kesetiaan, dan hak–hak khusus Aceh yang sejak lama telah diakui dan
dibanggakan.
Kedua, Syari’at Islam telah didefenisikan secara relatif lengkap, yaitu
mencakup seluruh ajarannya (terutama ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan).
Jadi Undang–Undang ini telah memberikan pemahaman yang kaffah, kepada Syari’at
Islam, mencakup ibadat, muamalat, jinayat, munakahat bahkan lebih dari itu
mencakup aqidah serta ahklak dan semua ajaran dan tuntunan diberbagai bidang
lainnnya. Sedang mengenai pendidikan dan peradatan yang dalam pemahaman
masyarakat adalah bagian yang tidak terpisahkan dari pada pelaksanaan Syari’at
Islam, dalam rumusan undang–undang diatas telah merupakan keistimewaan
tersendiri, karena itu dalam penjelasan tentang Syari’at Islam, kedua istilah ini tidak
lagi dimasukan.
Ketiga, Umat Islam di Aceh diberi izin untuk menjalankan Syari’at Islam di
dalam kehidupannya, sebagai pengakuan atas keistimewaan Aceh. Istilah dalam
bermasyarakat yang disebutkan dalam pasal 4 ayat (2) diatas, menurut beberapa
anggota DPR yang menyusun rumusan ini (antara lain M. Kaoy Syah), wakil
Pemerintah pusat dalam team pembahasan (Zainal Abidin, SH) dan juga utusan Aceh
dalam pembahasan pasal diatas (almarhum Safwan Idris), adalah untuk menegaskan
dan menguatkan bahwa Syari’at Islam yang akan dilaksanakan di Aceh bukan hanya
aturan di bidang Ibadat, tetapi mencakup aturan–aturan selebihnya dalam hidup
bermayarakat. Jadi kelihatannya tambahan tersebut dimasukan untuk menguatkan
makna kaffah yang ada pada Syariat Islam itu sendiri. 37
37
. Al Yasa’ Abubakar, syariat Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Paradigma,
Kebijakan dan Kegiatan, (Banda Aceh, Dinas Syari’at Islam NAD, 2006) Halaman 41 s.d 44.
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
Ketika Undang–Undang Nomor 44 Tahun 1999 disahkan, oleh rakyat Aceh
disambut dengan “Pengadilan Rakyat” yang menjatuhkan hukuman badan kepada
para penjudi, peminum minuman keras dan pelaku perbuatan mesum. Pengadilan dan
penjatuhan hukuman ini digelar dihampir semua Kabupaten, sehingga ada sekitar 40
kasus dalam waktu empat bulan. “ pengadilan liar” ini baru berhenti setelah para
ulama turun memberikan penjelasan bahwa didalam Syariat Islam, hukuman hanya
dapat di jatuhkan oleh pengadilan yang sah dan berwenang, dan hanya dapat
dilaksanakan oleh petugas yang resmi, yang diberi wewenang untuk itu. Rakyat tidak
berhak melakukan pengadilan dan tidak berhak menjatuhkan hukuman.
Sejak saat ini, diberbagai kesempatan, sering terlontar pertanyaan dan tuntutan
kepada para ulama, kapan Mahkamah Syar’iyah menjatuhkan hukuman kepada para
pelaku kejahatan. Dan hukuman yang diminta pada umumnya adalah hukuman
cambuk. Sekiranya bukan hukuman cambuk yang dijatuhkan, maka akan kuat kesan
bahwa hukuman tersebut belum merupakan pelaksanaan syari’at, tetapi masih
merupakan hukuman sisa peninggalan Belanda..
Dipihak lain, kadang–kadang muncul pernyataan bahwa hukuman cambuk
adalah kejam, tidak manusiawi bahkan bertentangan dengan HAM. Pernyataan ini
harus disikapi dengan hati–hati. Pada dasarnya semua hukuman adalah siksaan untuk
memberikan penderitaan. Penderitaan atau siksaan itu dianggap boleh
dan sah
dijatuhkan apabila diputuskan oleh pengadilan yang sah dan berwenang untuk itu, dan
dengan cara–cara yang sah pula, sehingga keputusan tersebut memenuhi rasa keadilan
masyarakat. Karena itu hukuman penjara atau hukuman cambuk bukanlah
pelanggaran HAM sekiranya dijatuhkan oleh pengadilan. Sebaliknya memenjarakan
atau mencambuk orang tanpa ada putusan dari pengadilan yang sah akan dianggap
sebagai pelanggaran HAM. Selanjutnya, kita jugs bisa mengajukan pertanyaan, mana
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
yang lebih kejam menyiksa orang dengan hukuman penjara sehingga ia terpisah
dengan keluarganya selama berbulan–bulan bahkan
bertahun–tahun, dibanding
dengan hukuman cambuk yang bisa dikatakan tidak sempat memisahkan Siterhukum
dari keluarganya.
Lebih dari itu para ulama, para Cendikia dan Pemerintah di Aceh terasa lebih
manusiawi, sekiranya bila dibandingkan dengan hukuman cambuk yang dijatuhkan di
Negara lain. Hukuman cambuk di Aceh akan dihentikan sekiranya siterhukum luka
(mengeluarkan darah) karena cambukan. Terhukum dibiarkan dalam keadaan bebas,
tidak diikat dan tidak diberi penyangga. Dengan demi kian sekiranya terhukum tidak
sanggup lagi menerima cambukan, maka dokter pengawas akan mudah mengetauinya
dan pencambukan akan dihentikan. Terhukum diberi pakaian yang menutup aurat,
sehingga cambuk tidak langsung mengenai kulit. Pembaca dapat membandingkan
hukuman cambuk yang kita laksanakan sekarang dengan hukuman cambuk yang
dijatuhkan di Singapura, Malaysia dan Pakistan.
Hukuman cambuk disamping hukuman duniawi, juga merupakan bagian dari
ajaran Agama. Dengan demikian hukuman cambuk merupakan bagian dari pernyataan
taubat, yang diharapkan dapat mengampuni dosa diakhirat kelak. Mungkin terhukum
merasa malu dan itu adalah wajar, tetapi tidak perlu secara berlebih–lebihan, karena
kegiatan ini adalah sebagian dari amal, sebagai tanda dan janji kepada Allah untuk
tidak mengulangi kesalahan dimasa yang akan datang. Terhukum dan keluarga tidak
perlu malu, tetapi sebaliknya merasa puas dan bangga, bahwa mereka termaksud
dalam kelompok yang telah bertaubat, yang dapat merenungi dan menyadari
kesalahan; termaksud “kelompok utama, para pelopor” (assabiquna-I awwalun)
dalam pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh dan dalam bertaubat kepada Allah SWT.
Inilah salah satu
sebab kenapa halaman Masjid yang dipilih sebagai tempat
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
pelaksanaan, agar kesyahduan dan kedekatan dengan Allah tetap terjaga dan disadari.
Hukuman ini dilaksanakan ditempat terbuka yang dapat dikunjungi masyarakat luas
karena Al-quran meminta untuk melaksanakan seperti itu. 38
Secara ringkas dapat mengenai pelaksanaan hukuman bagi terdakwa pelaku
pelanggaran Qanun di bidang Syariat Islam adalah sebagai berikut:
1. Pelaksana hukuman adalah Jaksa Penuntut umum
a. Hukuman kurungan (penjara) dilaksanakan sesuai dengan aturan dalam
KUHAP;
b. Hukuman denda dilaksanakan sesuai dengan aturan didalam KUHAP, uang
denda disetor ke Badan Baitul Mal (rekening khusus pemerintah
Kabupaten);
2. Hukuman Cambuk;
a. Terhukum harus dalam kondisi sehat (dapat menjalani hukuman cambuk)
menurut keterangan dokter.
b. Pencambuk adalah petugas yang sudah dilatih, yang ditunjuk oleh Jaksa
penuntut umum;
c. Cambuk yang digunakan adalah rotan dengan diameter antara 0,75 s.d 1,00
cm;
d. Jarak pencambuk dengan terhukum minimal 70 cm.
e. Jarak pencambuk dengan orang–orang yang menyaksikan paling dekat 10
m.
38
. Al Yasa’abubakar, Sekilas Syariat Islam Di Aceh, (Banda Aceh, Dinas Syariat Islam
Provinsi NAD, 2006) , Op.cit Halaman 25 s.d 28.
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
f. Pencambukan akan dihentikan sementara kalau menyebabkan luka
(mengeluarkan darah) atau diminta oleh dokter atas pertimbangan medis,
atau terhukum melarikan diri;
g. Pencambukan akan dilanjutkan setelah terhukum dinyatakan sehat atau
setelah terhukum menyerahkan diri atau dapat ditangkap;
h. Terhukum diberikan salinan berita acara sebagai bukti telah menjalankan
hukuman.
C.
Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap pelaku Pelanggaran
Qanun Yang Beragama Non Muslim.
Isu akhlakuk karimah dalam penegakkan Syari’ah Islam tentu bukan tanpa
alasan sosiologis yang kuat. Dalam sebuah negara yang terdiri dari berbagai suku, ras,
dan agama seperti Indonesia, penegakan sebuah aturan agama tertentu sebagai dasar
resmi untuk menjalankan kebijakan politik, hukum, dan sosial sehari-hari, tidak bisa
langsung diterima begitu saja. Bahkan, hal itu berlawanan dengan prinsip demokrasi
yang menjamin persamaan hukum dan hak bagi semua warga negara.
39
Salah satu titik kekhawatiran beberapa pihak bila Syari’at Islam ini benar–
benar di jalankan sepenuhnya di Aceh adalah posisi kaum minoritas (non-muslim).
Bagaimanakah kedudukan mereka dalam konstelasi Syari’at Islam sesungguhnya?
Benarkah mereka menjadi warga kelas dua yang diwajibkan membayar pajak kepala,
bagaimanakah sebenarnya hak dan kewajiban mereka.
39
. Ahmad Fuad Fanani, makalah Jihad Memperjuangkan Penerapan Syari’at Islam:
Pandangan Tokoh-tokoh Pesantren di Jawa Barat. Halaman 9 s.d 10.
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
Tak dapat disangkal pertanyaan–pertanyaan semacam ini, untuk sebagiannya
dipicu oleh semacam stereotype tentang Islam yang kejam, keras bahkan barangkali
diasosiasikan kepada terorisme perang.
Selanjutnya, jika Syari’at Islam berlaku di Aceh akankah perlakuan–perlakuan
semacam itu juga terjadi, mungkin prasangka ini menjadi bertambah dengan
menyaksikan apa yang terjadi di Afganistan yang kini dikuasai oleh kaum Thaliban.
Bagaimana Dunia tersentak ketika pada bulan Maret 2001 yang lalu rezim Thaliban
menghancurkan patung–patung dan kuil Hindu bersejarah yang dianggap sebagai
Pusaka Dunia. Tak kurang dari UNESCO yang mengeluarkan seruan agar
prenghancuran patung itu dihentikan, tetapi rezim Thaliban tetap saja meneruskan
rencananya. Terakhir tersiar berita kecil dari CNN tanggal 22 Mei 2001 (pukul 16.00
WIB) Rezim Thaliban mengumumkan rencananya untuk mewajibkan penganut
Agama Hindu disana agar memakai pakaian khusus sebagai tanda kaum minoritas
(non-muslim). Hal ini mengingatkan kita pada praktik beberapa khalifah Abbasiyah
pada abad pertengahan dahulu kala.
Kini jika di Aceh diberlakukan Syari’at Islam secara menyeluruh akankah
praktik serupa terulang lagi disini. Lalu apakah praktik seperti kaum Thaliban itu
memang berasal dari norma Syari’at Islam, persoalan inilah yang perlu kita pelajari
dengan seksama dalam kajian berikut.
Kaum Minoritas (Non Muslim) dalam literatur klasik sering disebut ahl aldzimmah atau ahl al- mu’anadah dan sering disingkat saja dengan sebutan kaum
Dzimmi. Yang dimaksud dengan istilah ini ialah semua orang yang bukan muslim
yang tetap patuh dan setia terhadap aturan–aturan dalam Negara Islam dimana
merekan tinggal, tanpa melihat dari mana asal mereka dan dimana mereka dilahirkan.
Terhadap kelompok warga Negara ini ajaran Islam memberikan jaminan
untuk
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
melindungi mereka dalam kehidupan mereka, dalam kebudayaan, kekayaan serta
kepercayaan dan kehormatan mereka (Al-mauddudi, 1967: 269).
Kata al-dzimmah berarti keamanan, perjanjian, dan jaminan. Mereka disebut
demikian karena memiliki jaminan perjanjian (al-ahd) dari Allah dan Rasulnya serta
dari jamaah kaum muslimin untuk hidup aman dan tenteram dibawah perlindungan
Islam serta dalam lingkungan masyarakat Islam. Jadi, mereka berada dalam jaminan
keamanan kaum muslimin untuk hidup berdasarkan ‘aqd dzimmah. Dengan ‘aqd ini
mereka memperoleh hak–hak serta kewajiban–kewajiban yang sama dengan warga
Negara lainnya (Al-Qardhawi, t.th: 19). Atas dasar itu, kaum minoritas (non-muslim)
termaksud ahl dar al-islam (warga Negara Islam) dan menurut Yusuf Al-qardhawi,
berlaku untuk selama–lamanya serta mengandung ketentuan membolehkan orang–
orang non muslim yang bersangkutan tetap dalam Agama mereka. Selain itu, mereka
juga berhak menikmati perlindungan dan perhatian dari jamaah kaum muslimin,
dengan syarat mereka membayar jizyah serta berpegang pada ketentuan
hukum
setempat dalam hal–hal yang tidak berhubungan langsung dengan masalah–masalah
agama. Hal ini pada prinsipnya juga setara dengan kaum muslimin sendiri. Kaum
dzimmi berhak mendapat perlindungan , berkewajiban membayar jizyah. Kaum
muslimin juga berhak mendapat perlindungan, namun wajib membayar zakat.
Pendapat al-Qardhawi, aqd al dzimmah berlaku selama – lamanya, kiranya
harus ditambahkan dengan catatan bahwa ikatan yang terjadi haruslah berdasarkan
kesepakatan dan kerelaan masing–masing. Sebab aqd al dzimmah tidaklah dapat
dipaksa bahwa ia untuk selama–lamanya harus menetap diwilayah Islam, jika suatu
saat ia memutuskan untuk memilih tempat lain. 40
40
. Ali Muhammad, Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh Problem, Solusi dan Implementasi
,Op.cit, halaman 58 s.d 60
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
Selain itu dari kalangan Pesantren di Jawa Barat juga memberikan benerapa
pendapat dan tanggapan mengenai posisi kaum minoritas (non-muslim) dalam
penerapan Syari’at Islam ini diantaranya:
Siti Asadiyah—seorang guru senior pada Pesantren Darussalam Ciamis—
misalnya, bependapat bahwa non Muslim tidak perlu khawatir dengan penegakan
Syari’at Islam secara formal sebagai undang-undang negara. Karena, mereka pasti
akan dilindungi eksistensi dan keberadaannya. “Ya pasti dilindungi. Ini kan sudah ada
sejarahnya, sejak zaman Rasul sampai sahabat. Ketika itu Muslim yang nomor satu
dan non-Muslim takluk, dan mereka itu memberikan upeti kepada umat Islam”
ujarnya. Bila kita lihat pernyataan itu, secara tersurat jelas bahwa umat non-Muslim
akan dilindungi, namun dengan syarat mereka memberikan upeti kepada umat Islam.
Dari pernyataan itu, secara tidak langsung juga ditegaskan bahwa posisi umat nonMuslim sebagai warga negara kelas dua adalah hal yang sangat mungkin dan wajar
dalam penegakan Syari’at Islam.
Mengamini pendapat di atas, Asep Suja’i Farid dari Pesantren Cintawana,
Tasikmalaya menyatakan bahwa justru dengan Syari’at Islam umat non-Muslim akan
lebih terlindungi. Hal itu sudah dicontohkan Rasulullah ketika di Madinah. Saat itu,
menurutnya, umat non-Muslim lebih terjamin untuk melakukan perdagangan, praktik
keagamaan, kegiatan sosial-politik, serta urusan kehidupan lainnya. Ketakutan umat
non-Muslim di Indonesia, menurutnya, dikarenakan sikap yang apriori terlebih dahulu
tanpa melihat sejarah Nabi. Hal itu ditambah lagi oleh sikap sebagian tokoh umat
Islam sendiri yang tidak berusaha memperjuangkan Piagam Jakarta secara sungguhsungguh. “Kalau melihat pengalaman itu, mereka malah bisa lebih terlindungi, karena
ada contoh yang Rasulullah telah laksanakan di Madinah. Lebih terjaminlah. Kalau
ada Piagam Jakarta, insya allah Syari’at Islam kini sudah berjalan di seluruh
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
indonesia. Minimal Jawa dan Sumatera. Karena yang bagian timur kan mayoritas
waktu itu orang kafir” paparnya tentang masalah ini.
Soal kemungkinan terjadinya pengkelasan kewarganegaraan juga dinyatakan
M. Mufti dari Pesantren Baiturrahman, Bandung. Dia berpendapat, kalau dilihat dari
sudut pandang teori negara, kemungkinan itu sangat ada. Sebab, ketika suatu negara
dibangun berdasarkan hukum agama tertentu, tentu warga negara yang menganut
agama yang sama dengan negara yang akan lebih terjamin hak-haknya, begitu juga
sebaliknya. Bahkan, seharusnya aturan itu juga bisa diterapkan ke umat agama lain
yang tinggal di negara itu.
Namun, lain halnya dengan pendapat Latif Awaluddin dari pesantren Persis
Pajagalan, Bandung. Dia menyatakan bahwa aturan hukum dan kehidupan sehari-hari
dalam penerapan Syari’at Islam tidak diwajibkan bagi umat non-Muslim. Meski umat
Islam diwajibkan menutup aurat, untuk warga non-Muslim tidak harus, bahkan dia
tidak harus shalat. Dan pendapat yang sama juga dikemukan Ustadz Syamsuddin dari
Pesantren Darul Muttaqin, Cirebon. Menurutnya, dalam konteks Indonesia yang
terdiri dari berbagai macam suku, ras, dan agama, pemaksaan penerapan Syari’at
Islam kepada non-Muslim tidak bisa dibenarkan. “Islam ini bukan suatu paksaan, kita
tidak bisa memaksakan Islam kepada orang-orang yang memang belum ada petunjuk
dari Allah. Artinya kita mau mendakwahi kayak apapun dan memaksakan, malah kita
nanti dipermasalahkan. Jadi barang siapa yang sudah mengerti dan memahami
marilah kita sama-sama jalan, kalau itu belum ya masing-masing saja” katanya
memberikan argumen soal larangan pemaksaan itu. Dengan demikian, meski orangorang Kristen, Budha, dan agama lainnya itu sebagai orang kafir umat Islam tidak
dibenarkan memerangi mereka. Lebih jauh, Ustadz Syamsuddin berkata:
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
Hari ini kitab mereka (orang Kristen dan sebagainya) kan bikinan baru. Dan
kita memahami Nabi yang terahir kita Nabi Muhammad, berarti Islam itu yang
dibawa dan mestinya semua manusia kembalinya pada Islam dan bukan pada agama
lainnya. Kita anggap mereka ini tidak menuhankan pada Allah, berarti orang kafir.
Tetapi apakah kita harus memerangi mereka? Tidak. Kita ini Islam, damai, tapi
diarahkan ke Islam dan tanpa paksaan dan kita tidak sepakat dengan kekerasan.
Bahkan, kita ajarkan kepada anak-anak bahwa Islam ini bukan kekerasan tapi kita
damai, baik, santun kepada siapa saja kepada semua orang yang tinggal disekitar
kita”.
Lain lagi dengan Mastuhi Abdul Ghafur dari Pesantren Baiturrahman,
Bandung. Menurutnya, kalau Syari’at Islam sudah ditegakkan dan ditetapkan secara
formal sebagai undang-undang daerah seperti di Aceh, maka non-Muslim harus
mengikuti aturan itu. Hanya saja, untuk daerah lain perlu diuji coba sejauhmana
penerimaan masyarakat terhadap Syari’at Islam secara formal dalam Undang-Undang.
Jika di daerah yang penduduknya mayoritas beragama Islam, maka mau tidak mau
masyarakatnya mengatakan bisa saja terjadi. Namun, untuk konteks keseluruhan
negara Indonesia, dikhawatirkan penerapan aturan ke non-Muslim akan menyebabkan
perang agama. Lebih tegasnya dia berujar:
“Kalau itu sudah masuk dalam Undang-Undang daerah artinya sudah
diberlakukan seperti itu. Kalau daerah lain ya silahkan saja. Pokoknya kalau awalnya
diletakkan ini seperti itu akan kokoh. Tapi kalau Undang-Undang resminya sudah
berjalan begini bisa perang agama, dunia akan bertindak bahkan akan digencet
Indonesia kalau non-muslim dipaksa ikut aturan muslim. Maksudnya di Indonesia
dipusat, kalau didaerah awalnya begitu karena mayoritas muslim maka mereka mau
tidak mau mereka msyarakatnya mengatakan bisa saja terjadi”.
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
Meski demikian, dia menambahkan, jika suatu saat nanti Indonesia berhasil
menerapkan Syari’at Islam dalam Undang-Undang dan sudah ditetapkan, maka
seluruh warganya—Muslim dan non-Muslim—wajib mengikutinya. Seperti di
Malaysia dan Arab Saudi yang sudah memberlakukan hukum Islam, warga nonMuslim mau tidak mau memang mengikutinya. Menurutnya, kesalahan negara
Indonesia adalah kenapa dahulu saat kemerdekaan Syari’at Islam tidak diberlakukan
dan ditetapkan sebagai aturan negara. Jika pada masa itu berhasil, aturan itu pasti akan
diterima tidak hanya oleh warga Muslim saja tapi juga oleh semua warga negara
lainnya.
Pendapat serupa dikemukakan Asep Ahmad Mausul Affandi dari Pesantren
Miftahul Huda, Tasikmalaya. Menurutnya, kita tidak bisa mengubah keyakinan orang,
karena sebagi pengikut Nabi terakhir sudah semestinya mengikuti Nabi yang tidak
suka memaksakan kehendak pada orang lain. Dia mencontohkan, meski Abu Thalib
tiap hari bergaul dan hidup dengan Nabi Muhammad yang dibimbing dengan wahyu
dan dibekali dengan mukjizat, sampai akhir hidupnya ia tetap kafir. Menurutnya, itu
adalah fakta sejarah yang harus diterima. Meski demikian, dia percaya bahwa Syari’at
Islam sebetulnya bisa ditegakkan sebagai aturan di negeri ini, termasuk untuk warga
non-Muslim.
Demikianlah, bila melihat berbagai pendapat di atas, sangat wajar jika banyak
non-Muslim khawatir akan posisi mereka jika Syari’at Islam diterapkan. Menurut
Saiful Mujani, sejauh aspirasi politik Syari’ah ini terbatas pada kelompok-kelompok
di masyarakat, bukan sebagai bagian dari kebijakan publik, maka perbedaan
pemahaman itu relatif masih bisa diakomodasi asal tidak bertentangan dengan hukum
yang berlaku umum. Namun, jika sudah menjadi keputusan publik, lewat lembagalembaga negara, maka akan mengikat semua warga negara, baik Muslim maupun nonFerdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
Muslim. Dan kalau ini terjadi, demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang berfungsi
mewadahi pluralisme primordial, termasuk perbedaan pemahaman tentang Syari’ah,
mulai terancam eksistensinya. 41
Selain itu dalam penerapan Syari’at Islam kaum minoritas (non-muslim)
memiliki hak–hak, yaitu dasar yang pertama–tama dalam perlakuan terhadap kaum
minoritas (non-muslim) dalam sebuah dar al-Islam ialah bahwa mereka memiliki
hak–hak yang sama dan seimbang sebagaimana yang dimiliki kaum muslimin, kecuali
dalam beberapa hal tertentu. Sebaliknya, mereka juga dibebani kewajiban–kewajiban
yang sama seperti yang dibebankan atas kaum muslimin kecuali dalam beberapa hal
tertentu.
Hak–hak ahl al-dzimmah yang pertama–tama adalah hak menikmati
perlindungan negara dan masyarakat Islam. Perlindungan itu meliputi perlindungan
terhadap segala macam kezaliman, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar
negeri. Dengan begitu, mereka benar–benar menikmati rasa aman dan tentram.
Mengenai perlindungan terhadap gangguan yang berasal dari luar negeri,
kaum dzimmi memiliki hak yang sama seperti yang dimiliki kaum muslimin. Menjadi
kewajiban pemerintah Islam untuk mewujudkan perlindungan semacam itu dengan
kekuasaan yang dimilikinya. Hal itu berlaku selama mereka masih berdiam dalam dar
al-Islam bukannya dalam dar ar-harb
Mengenai perlindungan dari kezaliman yang berasal dari dalam negeri, ajaran
Islam mengingatkan kaum muslimin agar jangan sekali–kali melanggar hak kaum ahl
al – dzimmah baik dengan tindakan maupun dengan ucapan.
41
. Ahmad Fuad Fanani, Makalah Jihad Memperjuangkan Penerapan Syari’at Islam:
Pandangan Tokoh-tokoh Pesantren di Jawa Barat. Halaman 10 s.d 13.
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
Dalam sebuah perjanjian antara Nabi Muhammad SAW dengan kaum Nasrani
Bani Najran, yakni kaum ahl al-dzimmah yang pertama–tama membayar jizyah dalam
sejarah Islam, yang antara lain ditetapkan: “tidak diperkenankan menghukum
seseorang dari mereka karena kesalahan orang lain.”
Mengenai keharusan memberikan perlindungan kepada kaum ahl al-dzimmah ini
terdapat banyak sekali hadist dan atsar (perkataan sahabat) yang memberikan arahan
sikap kaum muslimin. Diantaranya sabda Rasulullah SAW: “barang siapa
menganiaya seorang dzimmi atau mengurangi hak–haknya atau memberikan beban
yang melampauin batas kekuatannya, atau mengambil sesuatu darinya tanpa
kerelaan hatinya, akulah yang menjadi penuntutnya pada hari kiamat” (Riwayat Abu
daud).42
Selain itu diantara hak kaum minoritas (non-muslim) yang dilindungi ialah
kebebasan beragama dan beribadah. Sebab didalam Al-quran secara tegas disebutkan
bahwa setiap orang berhak memeluk Agama dan kepercayaannya masing–masing.
Seorang dzimmi tidak boleh dipaksa untuk berpindah keagama Islam dengan cara
apapun juga. Inti ajaran ini terlihat jelas dalam sebuah ayat dalam al-quran:
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama Islam sesungguhnya telah jelas
jalan yang benar daripada jalan yang salah (al-baqarah: 256).
Sayyid muhammad Rasyid Ridha, dengan mengutip riwayat Ibnu Jarrir dari
Ibnu Abbas RA menyebutkan bahwa ayat diatas diturunkan dalam hubungannya
dengan seorang anshar dari bani salim bin ‘auf yang dipanggil dengan nama alhushain. Lelaki ini mempunyai dua orang putra yang beragama nasrani sedangkan ia
sendiri telah memeluk Islam. Lalu ia menghadap Nabi Muhammad SAW dan
42
. Ali Muhammad, Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh problem, solusi dan implementasi ,
Op.cit, halaman 60 s.d 61.
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
bertanya: “bolehkah saya memaksa keduanya yang terus dalam agama nasrani dan
enggan memeluk islam?”pada saat itulah turun ayat diatas yang melarang seseorang
memaksa orang lain, walau anaknya sekalipun, untuk masuk kedalam agama Islam. 43
Selain hak–hak kaum minoritas (non-muslim) juga memiliki kewajiban–
kewajiban yang harus ditaati dan dipatuhi dan satu–satunya perlakuan yang berbeda
terhadap kaum ahl al-dzimmi dari pada kaum muslimin pada umumnya, ialah dalam
kewajiban
mereka
membayar
jizyah.
Namun
penelitian
lebih
mendalam
memperlihatkan bahwa kewajiban membayar jizyah ini hanyalah merupakan istilah
yang berbeda untuk kewajiban yang setingkat bagi kaum muslimin dengan nama
zakat. Bahkan dari segi jumlah, pungutan zakat bagi kaum muslimin selalu lebih besar
dari pada pungutan jizyah bagi kaum non-muslim.
Meskipun demikian masalah jizyah dan perlakuan terhadap kaum minoritas
(non-muslim) ini oleh beberapa penulis sering diambil sebagai suatu titik untuk
menyerang konsep keadilan dan persamaan dalam Islam terhadap rakyatnya. Hal ini
misalnya tercermin dalam tulisan Majid Khadduri yang menyatakan bahwa pungutan
jizyah terhadap kaum non-muslim merupakan suatu bentuk hukuman dari kaum
muslimin terhadap kaum non-muslim.
Memang mengenai jizyah ini telah timbul banyak salah paham, tidak hanya
oleh penulis–penulis non-muslim tetapi juga oleh sebagian penulis dari kalangan
muslim sendiri. Bahkan ada yang sampai pada kesimpulan bahwa hanya kaum
muslimin sajalah yang menikmati status kewarga negaraan penuh, oleh karena adanya
jizyah ini.
43
. Ibid, halaman 63.
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
Salah paham yang banyak terjadi itu pertama–tama mungkin banyak
berpangkal dari kekeliruan penapsiran sebagian orang dalam memahami satu–satunya
ayat Al-quran yang bebicara tentang jizyah, yakni surat at-taubah: 29:
Perangilah orang–orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula)
pada hari kemudian
dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah
diharamkan oleh Allah dan Rasul-nya dan tidak beragama dengan agama
yang benar (Agama Allah) , (yaitu orang – orang ) yang diberikan al-kitab
kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang
mereka dalam keadaan tunduk.
Akhir ayat diatas (wa hum shaghirun) sering diartikan secara keliru oleh
sebagian
orang
dengan
menganggapnya
sebagai
dasar
pembolehan
untuk
memperlakukan kaum non-muslim yang membayar jizyah secara merendahkan dan
menghina. Penafsiran semacam ini misalnya dilakukan oleh al-raghib al-ashfani ,
yang mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan frasa yang tersebut diatas ialah
kaum pembayar jizyah itu rela menempati kedudukan yang hina (al-radhi ‘ala almanzilah al-daniyyah).
Dalam komentarnya, sayyid muhammad rasyid ridha juga menyatakan
memang ada sebagian mufassir yang mengartikan bagian ayat ini dengan pengertian
yang jauh dari keadilan dan rahmat ajaran Islam. Pengertian yang sebenarnya disini
seperti dikemukakan rasyid ridha, ialah bahwa kaum non-muslim yang membayar
jizyah itu tunduk kepada ketentuan hukum dan pemerintahan Islam, dalam hal warga
non-muslim itu berkedudukan sebagai minoritas.
Jadi, dengan singkat dapat dikatakan bahwa pemberian jizyah itu dilakukan
dibawah sistem hukum dan pemerintahan Islam, suatu hal yang wajar saja oleh karena
jizyah itu sendiri berasal dari tatanan hukum Islam , tegasnya ayat di atas
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
dimaksudkan untuk mengacu kepada sistem, bukan menunjukan pada cara bagaimana
jizyah itu dipungut dari kaum non-muslim. 44
Sementara itu dalam pelaksanaan Syariat Islam di Propinsi NAD sendiri,
sampai saat ini belum ada peraturan–peraturan daerah atau Qanun–qanun di bidang
Syariat Islam yang dibuat secara terperinci untuk mengatur tentang posisi, hak dan
kewajiban kaum minoritas (non-muslim) di propinsi NAD.
Sejak pemberlakuan Syariat Islam di NAD hingga saat ini Syariat Islam hanya
diberlakukan terhadap kaum muslimin saja, setiap pelanggaran Syariat Islam yang
terjadi dan dilakukan oleh kaum muslimin oleh pihak penyidik kepolisian berkas
perkara dilimpahkan kepada Kejaksaan Negeri untuk diproses dan kemudian
dilanjutkan kepada Mahkamah Syariah untuk diadili dan dijatuhi hukuman.
Sedangkan bagi pelaku pelanggaran Syariat Islam yang beragama non-muslim
oleh pihak penyidik Kepolisian berkas perkara diserahkan kepada kejaksaan Negeri
untuk diproses dan kemudian dilanjutkan kepada Pengadilan Negeri untuk diadili dan
dijatuhkan hukuman.
Bagi pelaku pelanggaran Syariat Islam yang beragama Islam dipergunakan
Qanun di bidang Syariat Islam yang berlaku di Propinsi NAD, sedangkan bagi pelaku
pelanggaran yang beragama non-muslim masih tetap mempergunakan Kitab Undang
– undang Hukum Pidana Nasional Indonesia, dan bagi pelaku pelanggaran Syariat
Islam yang beragama non-muslim tidak diberlakukan sanksi pidana cambuk akan
tetapi masih mempergunakan sanksi pidana penjara, kurungan atau denda yang
berlaku didalam KUHP Indonesia.
Seperti halnya yang terjadi pada beberapa kasus Maisir (perjudian) dan
Khalwat (mesum) yang terjadi di kota Madya Banda Aceh, yang mana bebarapa
44
. Ibid halaman 67 s.d 68.
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
diantara pelakunya beragama non-muslim, bagi pelaku pelanggaran yang beragama
Islam diberlakukan Qanun No. 13 tahun 2003 tentang perbuatan pidana di bidang
Maisir (perjudian), sedangkan bagi pelaku pelanggaran yang beragama non-muslim
diberlakukan Kitab Undang – undang Hukum Pidana.
Akan tetapi seiring perkembangannya saat ini, dalam pelaksanaan Syariat
Islam di Provinsi NAD, bagi pelaku pelanggaran Syariat Islam yang beragama nonmuslim menurut keterangan dari Humas Dinas Syariat Islam Kota Banda Aceh
Wirzaini Usman, S.H dikenal adanya penundukan sukarela, bagi pelaku pelanggaran
Syariat Islam yang beragama non-muslim diberikan hak untuk memilih hukum mana
yang akan diberlakukan atas dirinya, apakah Qanun Syariat Islam Provinsi NAD, atau
Kitab Undang–undang Hukum Pidana, apakah sanksi pidana cambuk atau sanksi
pidana kurungan yang akan di kenakan terhadap dirinya. 45
Seperti tertulis dengan jelas dalam Undang–undang nomor 18 Tahun 2001,
Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam hanya berlaku kepada orang yang
beragama Islam. Dengan demikian, orang yang tidak beragama Islam tidak akan
dipaksa untuk mengikuti hukum atau peraturan yang didasarkan kepada Syariat Islam
tersebut. Sebelum kehadiran Undang–Undang nomor 44 Tahun 1999,di Aceh
disahkan Perda nomor 5 Tahun 2000, yang dalam pasal 2 ayat (2)-nya menyatakan
bahwa agama selain Islam diakui keberadaannya di Aceh, begitu juga para
pemeluknya dihormati dan dilindungi keberadaannya serta diberi kebebasan untuk
beribadat melaksanakan ajaran dan kewajiban agamanya. 46
45
. Keterangan dari hasil wawancara dengan Humas Dinas Syariat Islam Kota Banda Aceh,
Wirzaini Usman S.H.
46
. Al - Yasa Abubakar, Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Paradigma,
Kebijakan dan Kegiatan,Banda Aceh, 2006, Dinas Syariat Islam Proninsi Nanggroe Aceh
Darussalam,Op.cit, halaman 139 s.d 140.
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
BAB IV
EFEKTIFITAS PENERAPAN SANKSI PIDANA CAMBUK TERHADAP
PELANGGARAN QANUN DI BIDANG SYARIAT ISLAM DI
WILAYAH HUKUM KOTA MADYA BANDA ACEH
PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
E. Tujuan Penerapan sanksi pidana Cambuk Terhadap Pelaku Pelanggaran
Qanun di Bidang Syariat Islam.
Yang menjadi tujuan dari pada penerapan sanksi pidana cambuk bagi pelaku
pelanggaran syariat Islam adalah untuk memberikan kesadaran dan rasa malu untuk
mengulangi perbuatannya lagi serta menjadi peringatan bagi masyarakat agar tidak
melakukan pelanggaran Syariat Islam dan tidak menimbulkan dampak negatif bagi
keluarganya. Serta dengan pelaksanaan sanksi pidana cambuk ini menjadikan beban
yang harus ditanggung pemerintah lebih murah dibandingkan dengan jenis hukuman
lainnya seperti yang dikenal dalam sistem KUHP sekarang ini. 47
Adapun yang merupakan fungsi dan tujuan dari pada pelaksanaan Syariat
Islam dalam Qanun propinsi NAD adalah sebagai berikut:
1. Tujuan dan fungsi Qanun no. 11 Tahun 2002 tentang pelaksanaan Syariat
Islam bidang Aqidah, Ibadah dan Syi’ar Islam.
a. Membina dan memelihara keimanan dan ketaqwaan individu dan
masyarakat dari pengaruh ajaran sesat.
47
. Teguh Darmawanto, “ Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelaku Pelanggaran Syariat Islam
Di Kecamatan Bukit Kabupaten Bener Meriah Nanggroe Aceh Darussalam” (Skripsi yang diterbitkan
Fakultas Hukum USU Medan, 2007, halaman 50.
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
b. Meningkatkan pemahaman dan pengamalan ibadah serta penyediaan
fasilitasnya.
c. Menghidupkan
dan
menyemarakkan
kegiatan–kegiatan
guna
menciptakan suasana dan lingkungan yang Islami.
2. Tujuan dan fungsi qanun nomor 12 tahun 2003 tentang khamar (minuman
keras) dan sejenisnya.
a. Melindungi masyarakat dari berbagai kegiatan dan/atau perbuatan yang
merusak akal.
b. Mencegah terjadinya perbuatan atau kegiatan yang timbul akibat
minuman khamar dalam masyarakat.
c. Meningkatkan
peran
serta
masyarakat
dalam
mencegah
dan
memberantas terjadinya perbuatan meminum khamar dan sejenisnya.
3. Tujuan dan fungsi Qanun Nomor 13 tahun 2003 tentang Maisir (perjudian).
a. memelihara dan melindungi harta benda/ kekayaan.
b. Mencegah anggota masyarakat melakukan perbuatan yang mengarah
kepada Maisir.
c. Melindungi masyarakat dari pengaruh buruk yang timbul akibat
kegiatan dan/ atau perbuatan Maisir.
d. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam upaya pencegahan dan
pemberantasan perbuatan Maisir.
4. Tujuan dan fungsi Qanun nomor 14 tahun 2003 tentang khalwat (mesum).
a. Menegakkan syariat Islam dan adat istiadat yang berlaku di dalam
masyarakat propinsi NAD.
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
b. Melindungi masyarakat dari berbagai bentuk
kegiatan dan/ atau
perbuatan yang merusak kehormatan.
c. Mencegah anggota masyarakat sedini mungkin dari melakukan
perbuatan yang mengarah kepada zina.
d. Meningkatkan
peran
serta
masyarakat
dalam
mencegah
dan
memberantas terjadinya perbuatan khalwat/ mesum.
e. Menutup peluang terjadinya kerusakan moral. 48
2. Tingkat Tindak Pidana Perjudian dan Perjinahan Sebelum Penerapan
Qanun Di Bidang Syariat Islam Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Di
Kota Madya Banda Aceh.
Sebelum berbicara mengenai penerapan Syariat Islam di NAD sekarang ini
ada baiknya kita melihat kembali kepada sejarah yang
telah ditorehkan oleh
masyarakat Aceh baik pada masa kerajaan Aceh maupun pada masa setelah
kemerdekaan Republik Indonesia dan bergabungnya Aceh kedalam Negara Kesatuan
Republik Indonesi ini mengenai penerapan Syariat Islam di Aceh.
Seperti yang telah dituliskan dalam sejarah pada masa kejayaan Sultan
Iskandar Muda kerajaan Aceh telah menerapkan Syariat Islam Sebagai dasar–dasar
dan sendi–sendi kehidupan kenegaraan, dari mulai sistem pemerintahan,hukum–
hukum negara, hingga kehidupan sehari–hari masyarakat Aceh telah menerapkan
Syariat Islam sebagai aturan hidupnya.
48
. Himpunan Undang – undang, Op.cit, halaman 165 s.d 166.
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
Berikutnya pada masa setelah kemerdekaan Republik Indonesia, setelah masa
kemerdekaan ini dan setelah bergabungnya Aceh sebagai salah satu propinsi dalam
kedaulatan NKRI, seperti yang telah diuraikan penulis pada pendahuluan bab I skripsi
ini,di mana satu persatu mulai bermunculan permasalahan dan konflik–konflik yang
bergejolak di Aceh yang berawal pada ketidak puasan masyarakat Aceh terhadap
kebijakan pemerintah RI atas janji–janjinya pada masyarakat Aceh sebelum Aceh
bergabung kedalam NKRI, yaitu pemberian keistimewaan kepada Aceh untuk
menjalankan Syariat Islam di Aceh dalam kehidupan sehari–hari masyarakat Aceh.
Berlarut–larutnya konflik di Aceh tidak hanya menimbulkan korban jiwa dan
harta yang tidak sedikit. Melainkan juga telah mengakibatkan terjadinya perubahan–
perubahan dalam berbagai bidang kehidupan sosial dan politik pemerintahan. Salah
satunya adalah dalam bidang penegakan hukum yang menimbulkan kevacuman pada
semua tingkatan. Kevacuman ini kemudian berdampak lebih lanjut pada cara–cara
penyelesaian kasus–kasus pidana dalam masyarakat terutama kasus–kasus amoral
dan pelanggaran susila.
Akibat lebih lanjut adalah munculnya fenomena pengeksekusian hukum oleh
anggota masyarakat (disebut di sini sebagai pengadilan rakyat). Hal ini mulai terlihat
pada pada september 1999 dan sampai dengan minggu pertama Januari 2000 telah
terjadi 18 kasus peradilan rakyat di Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Barat, Aceh
Selatan, dan Aceh Utara, jenis kejahatan yang diadili melalui peradilan rakyat mulai
dari bentuk pelanggaran ringan seperti “tidak puasa” sampai dengan kasus yang
tergolong sangat berat seperti kasus “perjinahan” 49
49
. Ali Muhammad , Revitalisasi Syariat Islam Di Aceh, Ar-raniry Press,2003,Op.cit halaman
95.
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada data Peradilan Rakyat berikut ini, yang
merupakan hasil laporan dari Forum Peduli HAM Aceh.
Table no.1
DATA PERADILAN RAKYAT TERHADAP PELAKU
MAKSIAT DAN DEVIASI MORAL
TAHUN 1999 s.d 2000
NO
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
KASUS
LOKASI
WAKTU
KEJADIAN
Pasangan tanpa nikah diarak warga
Kluet Utara,
Aceh Slatan
30 Oktober 1999
Pasangan tidak sah digrebek warga
disuatu
rumah,
dibawa
kemeunasah dan dimandiwajibkan
Ujong Batee, Aceh
Besar
1 November 1999
Agen ganja diarak masa
Simpang Tiga, Pidie
21 November 1999
Penjina dihukum cambuk 100 kali
Blang pidie, Aceh
Selatan
27 November 1999
Dua pencuri diarak masa (tukang
becak)
Banda Aceh
31 November 1999
Pasangan tanpa nikah diarak warga
Tapak tuan, Aceh
selatan
November 1999
Banda Aceh
2 Desember 1999
Empat PSK dicukur dan diarak
Warga kedah ditangkap karena
dituduh berbuat asusila
Satu
warga
diarak
karena
menghisap ganja
Lima
warga
diarak
karena
menghisap ganja
Satu warga diarak karena mencuri
Satu warga diarak karena tidak
berpuasa
Warga diarak karena mencuri
kelapa muda
PSK dan Seorang lelaki tua diarak
karena dituduh berbuat asusila
Seorang warga diarak karena
diduga berzina
Dua pasangan mesum diarak
Pasangan mesum yang tertangkap
berbuat mesum diarak masa
Simpang rima, Aceh
Besar
Tapaktuan, Aceh
selatan
Blangpidie, Aceh
Selatan
Blangpidie, Aceh
selatan
Blangpidie, Aceh
Selatan
Tapak tuan, Aceh
selatan
Desember 1999
Desember 1999
14 Desember 1999
14 Desember 1999
14 Desember 1999
14 Desember 1999
Peuniti, Banda Aceh
14 Desember 1999
Jantho, Aceh Besar
14 Desember 1999
Takengon, Aceh
Tengah
Desa Hagu Tengah,
Lhokseumawe,
15 Desember 1999
15 Desember 1999
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
Aceh Utara
18
Pengedar ganja diarak masa
Meulaboh,Aceh Barat
Januari 2000
Sumber: Forum Peduli HAM Aceh.
Dari fenomena peradilan rakyat diatas dapat kita simpulkan keinginan dari
masyarakat Aceh untuk menjalankan Syariat Islam dalam kehidupan masyarakat
Aceh sehari – hari. Akan tetapi dikarenakan tidak adanya arahan atau bimbingan dari
Pemerintah dan tokoh–tokoh ulama setempat maka terjadilah fenomena yang di kenal
dengan Peradilan Rakyat.
Ada beberapa hal yang melatar belakangi lahirnya suatu Peradilan Rakyat,
yaitu secara hipotesis ada beberapa alasan yang dapat diperkirakan melatar belakangi
gejala Peradilan Rakyat di Aceh.
1. Masalah Legitimasi.
Legitimasi suatu lembaga (misalnya Lembaga Peradilan), sebagaimana juga
halnya suatu peraturan, tentulah sangat menentukan tingkat kepatuhan masyarakat.
Paling tidak, secara teoritis ada tiga macam legitimasi: pertama, Legitimasi Yuridis,
yaitu adanya dasar hukum yang melandasi eksistensinya. Kedua, legitimasi sosiologis:
adanya pengakuan masyarakat sehingga lembaga tersebut efektif. Dan ketiga,
legitimasi filosofis: apabila lembaga tersebut sesuai dengan cita–cita hukum dan ide
yang menjadi cita-cita tertinggi dalam masyarakat yang bersangkutan. Yang menjadi
pertanyaan disini adalah sejauh mana Lembaga Peradilan dan ketentuan–ketentuan
hukum di indonesia selama ini memiliki legitimasi tersebut. Suatu ketentuan hukum
atau lembaga tidak cukup dengan hanya mengandalkan legitimasi yuridis formal saja.
Idealnya ia harus memenuhi ketiga legitimasi tersebut sekaligus, sehingga ia benar–
benar berakar dengan kuat dalam masyarakat.
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
2. Masalah Kepercayaan
Berkaitan dengan masalah legitimasi tadi adalah soal tingkat kepercayaan
masyarakat terhadap lembaga penegak hukum kita. Mungkin hanya rumor atau desas–
desus, tetapi tidak dapat dipungkiri, sangat jelas terdengar sinyalemen tentang mafia
peradilan. Hal ini diperkuat dengan seruan berbagai pihak melalui pers beberapa
waktu lalu agar semua Hakim Agung di Jakarta diganti supaya ada reformasi di dunia
peradilan.
3. Euphoria Reformasi
Angin reformasi yang demikian kuat berhembus setelah tumbangnya Orde
Baru di Indonesia, tampaknya di Aceh mengambil bentuk yang berbeda. Tuntutan
masyaarakat juga diarahkan sampai menyentuh lembaga penegak hukum dan juga
materi ketentuan hukum. Hanya saja hal ini dilakukan dengan cara yang kurang
terencana dan kurang terkoordinasi dan terkesan sporadis. Mungkin inilah pengaruh
euforia reformasi, yang harus dicermati dengan memberi respon dan apresiasi yang
adil dan wajar dengan menghilangkan kesan anarki. Masyarakat awam bisa saja
memberi respon yang terkesan emosional , tetapi elit politik dan elit cendikiawan
haruslah mampu menangkap pesan dan isyarat yang hakiki dan tersembunyi dari
tindakan mereka.
4. Harapan Ideal: Romantisme Masyarakat
Hal lain yang dapat diduga disini adalah berkait dengan harapan masyarakat
yang sangat besar bagi adanya perubahan yang segera di bidang hukum dan peradilan.
Hal ini juga diimbuhi dengan romantisme masyarakat Aceh yang sangat jauh jaraknya
dengan kenyataan factual. Padahal di sisi lain terdapat kendala struktural yang sangat
signifikan. Misalnya belum adanya dasar hukum yang cukup kuat untuk pembentukan
suatu lembaga atau ketentuan–ketentuan hukum yang baru dan khas. Selain itu, secara
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
tekhnis banyak sekali pekerjaan yang harus dilakukan misalnya masalah sumber daya
manusia dan masalah pilihan hukum serta kodifikasi hukum. Semua hal itu
membutuhkan waktu dan kemampuan teknis serta kesepakatan luas padahal
masyarakat tampaknya ingin segara melihat implementasinya secaranyata dan segera.
5. Kegamangan Beberapa Kalangan elit
Beberapa kalangan elit politik, terutama di Jakarta terlihat begitu gamang
dengan perkembangan yang terjadi pada masa reformasi ini. Khususnya di Aceh,
tuntutan rakyat yang lama terpendam bagi berlakunya Syariat Islam, terlihat jelas
mendapat respon yang berbeda–beda. Disatu sisi Pemerintah dan DPR memberi
peluang dengan mengeluarkan Undang–undang nomor 44 Tahun 1999 tentang
Pelaksanaan Keistimewaan Daerah Aceh. Undang–undang ini membuka celah bagi
pelaksanaan Syariat Islam di Aceh dan ini diperkuat, antara lain Perda nomor 5 tahun
2000 tentang pelaksanaan Syariat Islam. Tetapi beberapa Menteri, termaksud Menhan
Moh Mahfuz MD menyatakan bahwa pelaksanaan Syariat Isalm di Aceh terbatas pada
bagian hukum privat, tidak termaksud hukum publik seperti hukum pidana.
Belakangan pendapat ini diperkuat lagi oleh Jaksa Agung Marzuki Darusman. (lihat
harian Kompas, 8 Mei 2001). Lebih keras lagi tanggapan sekjen PDIP, Sucipto yang
menolak pemberlakuan Syariat Isalm di Aceh. Meskipun tanggapan Sucipto ini
mendapat reaksi balik dari kalangan PDIP sendiri, khususnya PDIP Aceh , reaksi
kaum elit Jakarta ini jelas memperbesar skeptitisme masyarakat Aceh untuk dapat
kesempatan melaksanakan Syariat Islam secara luas sebagai keistimewaan Aceh, yang
dulu hanya sekedar nama. Orang Aceh sekarang pun akan bertanya lagi, akankah
kisah lama itu berulang lagi.
Dari uraian diatas telah tampak jelas hal apa dan bagaimana sebenarnya
yang diinginkan masyarakat Aceh, sebelum diberlakukannya syariat Islam di Aceh,
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
khususnya di kota Banda Aceh sendiri Hal–hal atau fenomena–fenomena semacam
itulah yang bisa saja terjadi, sebelum diberlakukannya Syariat Islam di Banda Aceh
kasus–kasus tindak pidana seperti perjudian, kejahatan asusila atau perjinahan tidak
terlalu dianggap serius untuk ditangani, padahal kasus–kasus penyakit masyarakat
seperti inilah yang dapat menyebabkan pergeseran bahka keterpurukan moral suatu
bangsa nantinya, sebelum berlakunya Syariat Islam di Banda Aceh kasus–kasus
penyakit masyarakat ini lebih banyak diselesaikan secara peradilan rakyat dari pada
oleh aparat penegak hukum, setelah adanya fenomena peradilan rakyat barulah kasus–
kasus ini mulai serius di tangani oleh aparat penegak hukum, sebelum penerapan
Syariat Islam di Aceh untuk kasus–kasus penyakit masyarakat seperti ini menunjukan
tingkat yang cukup tinggi, hal ini dapat dilihat dari laporan tahuna Poltabes Banda
Aceh dari tahun 2001 sampai 2004 seperti tercantum pada table di berikut ini.
Table No. 2
DATA TINDAK PIDANA PERJUDIAN DAN ASUSILA
DI KOTA MADYA BANDA ACEH
TAHUN 2001 S.D 2004
No.
Jenis tindak
pidana
Tahun
2001
2002
PERJUDIAN
5
3
2
KEJAHATAN
ASUSILA
-
-
3
PERJINAHA
N
-
1
PERKOSAAN
2
2
1
4
JUMLAH
2003
2004
2
4
14 perkara
-
4
4 perkara
2
1
4 perkara
3
1
9 perkara
Sumber: POLTABES BANDA ACEH
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
Dari data tahunan Poltabes Banda Aceh pada tabel di atas dapat dilihat
bahwa pada tahun 2001 sampai dengan 2004 menunjukan angka tindak pidana yang
tidak terlalau signifikan, pada tahun 2001 tindak pidana perjudian yang di proses oleh
poltabes Banda Aceh ada 5 perkara, dan tindak pidana perkosaan ada 2 perkara, dan 0
pada tindak pidana kejahatan susila dan perjinahan, pada tahun 2002 tercatat ada 3
perkara tindak pidana perjudian ,0 pada tindak pidana kejahatan asusila, 1 perkara
perjinahan, dan 2 perkara pada tindak pidana perkosaan, pada tahun 2003 terjadi
sedikit penurunan pada tindak pidana perjudian yaitu menjadi 2 perkara, dan 0 pada
tindak pidana kejahatan asusila, terjadi sedikit peningkatan pada tindak pidana
perjinahan yaitu 2 perkara, dan kembali terjadi peningkatan pada tindak pidana
perkosaan yaitu 3 perkara, dan pada tahun 2004 kembali terjadi peningkatan pada
kasus tindak pidana perjudian yaitu 4 perkara, dan juga terjadi peningkatan pada
tindak pidana kejahatan asusila dari 0 pada tahun–tahun sebelumnya meningkat
menjadi 4 perkara, satu perkara pada tindak pidana perjinahan, dan juga 1 perkara
pada kasus perkosaan.
Jika dijumlahkan dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2004 telah terjadi 14
(empat belas) perkara tindak pidana perjudian, 4 ( empat ) perkara tindak pidana
kejahatan asusilan, 4 (empat) perkara perjinahan, dan 9 (sembilan) perkara tindak
pidana perkosaan. Dari data diatas menunjukan sebuah anggka tindak pidana yang
cukup tinggi untuk daerah seperti Banda Aceh yang dikenal dengan Serambi Mekah.
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
3. Tingkat Pelanggaran Qanun Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda
Aceh
Setelah Penerapan Qanun Di Bidang Syariat Islam Propinsi
Nanggroe Aceh darussalam Dari Tahun 2005 Sampai Dengan 2007.
Sejak pertama kali diterapkannya Syariat Islam di Kota Banda Aceh yaitu
pada Tahun 2005 terjadi banyak perubahan pada wajah kota Banda Aceh, kota Banda
Aceh yang dulunya terkesan bebas kini menjadi sedikit lebih tertib dan lebih Islami,
walaupun belum seperti yang diinginkan oleh masyarakat dan Pemerintah Aceh
sendiri. Sejak diberlakukannya Syariat Islam di Kota Banda Aceh yaitu dari tahun
2005 sampai dengan sekarang telah banyak program yang dilakukan oleh pemerintah
kota Banda Aceh sendiri untuk mensosialisasikan dan untuk memberikan pemahaman
kepada masyarakat tentang penerapan Syariat Islam di kota Banda Aceh khususnya
dan di Provinsi NAD umumnya, permerintah kota Banda Aceh juga telah
melaksanakan penerapan Syariat Islam dalam bidang hukum, untuk membersihkan
kota Banda Aceh dari pelanggaran–pelanggaran Syariat Islam, dan dengan
melaksanakan Sanksi Pidana Cambuk di muka umum bagi para pelanggar Syariat
Islam tersebut, seperti yang tercantum pada table dibawah ini yang menunjukan
tingkat pelanggaran terhadap Syariat Islam setelah diberlakukanya syariat Isalam
dikota Banda Aceh.
Table no.3
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
DATA TINDAK PIDANA PERJUDIAN DAN ASUSILA
DI KOTA MADYA BANDA ACEH
TAHUN 2005 S.D 2006
Sumber: POLTABES BANDA ACEH
Table no. 4
No.
Jenis tindak
pidana
Tahun
JUMLAH
2005
2006
1
PERJUDIAN
4
1
5 perkara
2
KEJAHATAN
SUSILA
2
3
5 perkara
3
PERJINAHAN
2
6
8 perkara
4
PERKOSAAN
3
2
5 perkara
DATA PELANGGARAN QANUN YANG DILIMPAHKAN
KE KEJAKSAAN NEGERI BANDA ACEH
TAHUN 2005 S.D 2007
NO
Tahun
Jenis Pelanggaran
Qanun
JUMLAH
2005
2006
2007
1
Maisir (perjudian)
4
2
1
7 perkara
2
Khalwat (mesum)
-
1
4
4 perkara
3
Khamar
(minuman keras)
7
4
4
15 perkara
Sumber: KEJAKSAAN NEGERI BANDA ACEH
Table no. 5
DATA PELANGGARAN QANUN YANG TELAH DI PUTUS OLEH
MAHKAMAH SYARIAT KODYA BANDA ACEH
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
TAHUN 2005 S.D 2007
NO
Tahun
Jenis Pelanggaran
Qanun
JUMLAH
2005
2006
2007
1
Maisir (perjudian)
4
2
-
6 perkara
2
Khalwat (mesum)
-
1
4
5 perkara
3
Khamar
(minuman keras)
4
3
4
11 perkara
Sumber: MAHKAMAH SYARIAT KODYA BANDA ACEH
Table no. 6
DATA PELANGGARAN QANUN
DIKOTA BANDA ACEH
TAHUN 2005 S.D 2007
NO
Tahun
Jenis Pelanggaran
Qanun
JUMLAH
2005
2006
2007
1
Maisir (perjudian)
4
2
-
6 perkara
2
Khalwat (mesum)
-
1
4
5 perkara
3
Khamar
(minuman keras)
7
3
4
14
perkara
Sumber: DINAS SYARIAT ISLAM KOTA BANDA ACEH
Seperti yang telah dipaparka pada table diatas menurut catatan dari kepolisian
Kota Besar Banda Aceh pada tahun 2005 menunjukan belum terjadinya perubahan
yang signifikan pada tindak pidana yang terjadi di Kota Banda Aceh setelah
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
diberlakukannya Syariat Islam, yaitu pada tindak pidana perjudian 4 perkara,
kejahatan susila 2 perkara, tindak pidana perjinahan 2 perkara, dan perkosaan 3
perkara, dan pada tahun 2006 untuk tindak pidana perjudian 1 perkara, kejahatan
asusila 3 perkara, tindak pidana perjinahan 6 perkara, dan tindak pidana perkosaan 2
perkara.
Jika dijumlahkan pada tahun 2005 sampai dengan 2006 telah terjadi 5 perkara
tindak pidana perjudian, 5 perkara kejahatan asusila, 8 perkara tindak pidana
perjinahan, dan 5 perkara tindak pidana perkosaan.
Berikutnya perkara–perkara pelanggaran Qanun yang telah dilimpahkan
kepada Kejaksaan Negeri Banda Aceh dari tahun 2005 sampai dengan 2007, yaitu
pada pelanggaran Qanun di bidang Maisir (perjudian), Khamar (minuman keras), dan
Khalwat (mesum), pada tahun 2005 untuk pelanggaran Qanun di bidang Maisir
(perjudian ) 4 perkara, pada pelanggaran qanun di bidang Khalwat (mesum) 0 perkara,
dan pada Pelanggaran qanun dibidang Khamar (minuman keras) 7 perkara.
Berikutnya pada tahun 2006 untuk pelanggaran qanun dibidang Maisir
(perjudian) 2 perkara, pada pelanggaran qanun di bidang Khalwat (mesum) 1 perkara,
dan untuk pelanggaran qanun dibidang Khamar (minuman keras) 4 perkara.
Berikutnya pada tahun 2007 untuk pelanggaran qanun dibidang Maisir
(perjudian) 1 perkara, untuk pelanggaran qanun dibidang Khalwat (mesum) 4 perkara,
dan untuk pelanggaran qanun dibidang Khamar (minuman keras) 4 perkara.
Jika dijumlahkan dari tahun 2005 sampai dengan 2007 perkara pelanggaran
qanun yang telah dilimpahkan kepada Kejaksaan Negeri Banda Aceh adalah sebanyak
26 perkara, yaitu 7 perkara Maisir (perjudian) 4 perkara Khalwat (mesum) dan 15
perkara Khamar (minuman keras).
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
Berikutnya adalah perkara pelanggaran qanun yang telah diputus oleh
Mahkamah Syariat Kota Banda Aceh pada tahun 2005 sampai dengan tahun 2007,
yaitu pada tahun 2005 pada pelanggaran qanun di bidang Maisir (perjudian)
4
perkara, pada pelanggaran qanun dibidang Khalwat (mesum) 0 perkara, dan pada
pelanggaran qanun di bidang Khamar (minuman keras) 4 perkara.
Berikutnya pada tahun 2006, untuk pelanggaran qanun dibidang Maisir
(perjudian) 2 perkara, pelanggaran qanun dibidang Khalwat (mesum) 1 perkara, dan
pada pelanggaran qanun di bidang Khamar (minuman keras) 3 perkara.
Berikutnya pada tahun 2007, untuk pelanggaran qanun dibidang Maisir
(perjudian) 0 perkara, pelanggaran qanun dibidang Khalwat (mesum) 4 perkara, dan
pelanggaran qanun dibidang Khamar (minuman keras) 4 perkara.
Jika dijumlahkan dari tahun 2005 sampai dengan 2007 perkara pelanggaran
qanun yang telah diputuskan oleh Mahkamah Syariat Kota Banda Aceh adalah
sebanyak 22 (dua puluh dua ) perkara, yaitu 6 perkara pelanggaran qanun dibidang
Maisir (perjudian), 5 perkara pelanggaran qanun dibidang Khalwat (mesum) dan 11
perkara pelanggaran qanun dibidang Khamar (minuman keras).
Selain itu dapat juga dilihat data pelanggaran Qanun dari tahun 2005 sampai
dengan 2007 yang dikeluarkan oleh Dinas Syariat Islam Kota Banda Aceh yaitu pada
tahun 2005 talah tercatat untuk pelanggaran qanun di bidang Maisir (perjudian) ada 4
perkara, untuk pelanggaran qanun di bidang Khalwat (mesum) 0 perkara dan untuk
pelanggaran Qanun dibidang Khamar (minuman keras) ada 7 perkara.
Kemudian pada tahun 2006 telah tercatat untuk pelanggaran qanun dibidang
Maisir (perjudian) ada 2 perkara, untuk pelanggaran qanun di bidang Khalwat
(mesum) ada 1 perkara dan kemudian untuk pelanggaran qanun di bidang Khamar
(minuman keras) ada 3 perkara.
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
Selanjutnya pada tahun 2007 telah tercatat untuk pelanggaran qanun dibidang
Maisir (perjudian) ada 0 perkara, untuk pelanggaran qanun dibidang Khalwat
(mesum) ada 4 perkara, dan untuk pelanggaran qanun dibidang Khamar (minuman
keras) ada 4 perkara. Jika dijumlahkan maka dari tahun 2005 sampai dengan 2007
ada 25 perkara pelanggaran qanun di bidang Syariat Islam yang terjadi di Kota Banda
Aceh yaitu, 6 perkara pelanggaran qanun dibidang Maisir (perjudian), 5 perkara
dibidang Khalwat (mesum) dan 14 perkara pelanggaran qanun dibidang Khamar
(minuman keras).
Dari data yang telah penulis uraikan diatas dapat kita lihat bahwa dari tahun
2001 sampai dengan tahun 2007 di Kota Banda Aceh terjadinya penurunan tingkat
pelanggaran terhadap qanun dibidang Syariat Islam, walaupun belum menunjukan
penurunan yang drastis seperti yang diharapkan.
4.
Bagaimanakah Efektifitas Penerapan sanksi pidana Cambuk Dalam
Menekan Tingkat Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di
Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh.
Sebelum kita berbicara mengenai efektif
atau tidak efektifnya penerapan
sanksi pidana cambuk dalam menekan tindak pelanggaran qanun di bidang Syariat
Islam di wilayah hukum kota Madya Banda Aceh, ada baiknya kita mengetahui
apakah yang ingin dicapai dengan pelaksanaan Syariat Islam secara kaffah di Propinsi
Nanggroe Aceh Darussalam umumnya dan di kota Madya Banda Aceh khususnya.
Sekurang kurangnya ada empat jawaban untuk pertanyaan ini:
Pertama, tujuan yang ingin dicapai dengan alasan agama (alasan teologis)
bahwa pelaksanaan Syariat merupakan perintah Agama, untuk dapat menjadi muslim
yang sempurna , yang lebih baik, yang lebih dekat dengan Allah SWT.
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
Kedua, tujuan dengan alasan psikologis, bahwa masyarakat akan merasa lebih
aman dan tentram karena apa yang berlaku disekitar mereka, kegiatan yang mereka
jalani dalam pendidikan, dalam kehidupan sehari–hari dan seterusnya sesuai dan
sejalan dengan kesadaran dan kata hati mereka sendiri.
Ketiga, tujuan dengan alasan hukum, masyarakat akan hidup dalam tata aturan
yang lebih sesuai dengan kesadaran hukum, rasa keadilan dan nilai–nilai yang tumbuh
dan berkembang ditengah masyarakat.
Keempat, tujuan dengan alasan ekonomi dan kesejahteraan sosial, bahwa nilai
tambah pada kegiatan ekonomi, serta kesetia kawanan sosial dalam bentuk tolong
menolong baik untuk kegiatan ekonomi atau untuk kegiatan sosial akan lebih mudah
terbentuk dan lebih solid. Anggota masyarakat di harapkan akan lebih rajin bekerja,
akan lebih hemat dan juga lebih bertanggung jawab.
Bagi umat Islam melaksanakan Syariat Islam secara kaffah dalam kehidupan
keseharian, baik kehidupan pribadi maupun kemasyarakatan adalah perintah Allah
dan kewajiban suci yang harus selalu di upayakan dan diperjuangkan. Seperti yang
telah disebutkan diatas hal ini telah diperjuangkan sejak lama, sejak saat kemerdekaan
ketika membentuk republik tercinta ini. Tujuan utama pelaksanaan ini pada tingkat
individual adalah untuk menyempurnakan iman, agar setiap muslim dianggap muslim
yang sempurna, yang menyerah dan tunduk kepada keinginan Allah secara mutlak,
tanpa pamrih apapun. Sedang secara psikologis kemasyarakatan adalah untuk
mewujudkan sebuah masyarakat yang menentramkan dan memberi ketenangan serta
kepuasan batin kepada anggotanya, yang aman dan sejahtera serta diridhai oleh Allah
SWT dan Rasullullah SAW. Telah berjanji bahwa pelaksanaan Syariat Islam secara
kaffah ditengah kehidupan individu dan masyarakat akan memberikan kebahagiaan
kepada setiap muslim, baik didalam kehidupan di dunia dan bahkan lebih–lebih lagi
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
dalam kehidupan di akhirat kelak. Dari segi ini kegiatan Pemda melaksanakan Syariat
Islam adalah membantu kaum muslimin di Aceh memperoleh kepuasan dan
ketenangan batin, bahwa mereka merasa mudah dan terlindungi dalam melaksanakan
ajaran agamanya. Dengan kata lain terpuaskan secara psikologis. Secara normatif
keimanan, pelaksanaan Syariat Islam adalah untuk memenuhi perintah Allah SWT.
Namun dipihak lain Allah sendiri berjanji bahwa pelaksanaan Syariat Islam secara
kaffah dalam kehidupan pribadi dan masyarakat akan mengantarkan kaum muslimin
memperoleh kebahagiaan di dunia dan diakhirat. 50
Menggunakan istilah qawaid fiqih kulliah kegiatan penerapan Syariat Islam di
Aceh dapat dikatakan bertumpu pada usaha: berusaha menjaga warisan masa lalu
yang masih bermanfaat dan berusaha menciptakan yang baru yang lebih sesuai dan
bermanfaat. Tujuan ini akan diupayakan mencapainya melalui dua kegiatan.
Pertama, mendekatkan Syariat Islam dengan adat masyarakat setempat,
sehingga ungkapan Hukom ngon adat lage zat ngon sifet (hukum dengan adat bagai
zat dengan sifat) betul–betul akan terwujud dan menjadi kenyataan di tengah
masyarakat. Diharapkan tidak ada lagi keluhan bahwa suatu adat atau kebiasaan terasa
bertentangan dengan syariat; atau untuk menjalankan suatu tuntutan Syariat harus
mengorbankan dan meninggalkan adat.
Kedua, merumuskan Syariat Islam yang akan dilaksanakan tersebut, atau
katakanlah fiqih berwajah aceh yang akan dibuat ini (yang akan dituangkan kedalam
qanun) melalui kesepakatan dan konsensus bersama yang mengacu ke masa depan
dan dengan mempertimbangkan kemaslahatan umat. Jadi bukan sekedar fatwa atau
pendapat pribadi seorang tokoh atau kelompok yang mengutip pendapat ulama masa
50
.
Alyasa Abubakar, Syariat Islam di Provinsi NAD, paradigma, kebijakan dan
kegiatan,(Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam , Banda Aceh, 2006, Op.cit,
halaman 81 s.d 83.
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
lalu, baik mereka yang dianggap ulama, sarjana, peneliti atau apapun istilah yang
akan digunakan untuk menyebutnya, tanpa mempertimbangkan keadaan nyata
masyarakat Aceh masa kini. Kutipan dan pilihan atas pendapat masa lalu akan
dilakukan berdasar pertimbangan kesesuaianya dengan kebutuhan masa kini
disamping berdasar kedekatannya dengan nash Al-quran dan sunnah rasul itu
sendiri. 51
Selanjutnya, tujuan dibidang hukum dan peradilan, yaitu pelaksanaan Syariat
Islam yang baik, yang mencakup seluruh aspek kehidupan, yang dilaksanakan dengan
jujur dan sungguh–sungguh, diharapkan akan dapat mewujudkan keadilan dan
ketertiban yang sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat Aceh itu sendiri. Dengan
pelaksanaan Syariat Islam secara kaffah maka kezaliman akan dapat dihentikan dan
sebaliknya keadilan dapat di tegakkan secara lebih baik dan lebih sempurna. Keadilan
yang dimaksudkan disini adalah keadilan dalam arti luas, bukan hanya yang
ditetapkan melalui pengadilan; tetapi juga yang ditetapkan oleh berbagai lembaga
resmi atau swasta dan bahkan juga individu. Kalau selama ini ada perasaan bahwa
ketaatan kepada Allah hanya dalam bidang tertentu misalnya di bidang ibadah
mahdhah sedang bidang lain adalah bidang yang “netral” atau malah “sekuler” dalam
arti tidak ada hubungan dengan ketaatan dan kepatuhan kepada Allah, maka dengan
pelaksanaan Syariat Islam secara kaffah, kesadaran ini akan berubah dan berkembang
kearah yang lebih baik, kalau selama ini sebagian kaum muslimin beranggapan bahwa
perilaku dijalan raya-patuh atau tidak patuh pada rambu lalu lintas yang ada dianggap
tidak ada hubungannya dengan Syariat Islam dan ketaatan kepada Allah, maka setelah
pelaksanaan Syariat Islam diharapkan akan berubah. Ketengah masyarakat harus
ditanamkan kesadaran bahwa taat pada rambu dan aturan lalu lintas adalah bagian dari
51
. Ibid, halaman 87 s.d 89.
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
ketaatan kepada Allah, dan karena itu akan memdapatkan pahala bagi yang
menaatinya.
Sebaliknya melanggar rambu lalu lintas adalah kesalahan dan perbuatan
tercela, untuk sebagiannya merupakan sebagian perbuatan makruh, sedang untuk
sebagian yang lain adalah perbuatan haram, yang akan mendapat dosa diakhirat dan
hukuman di dunia. Ketengah masyarakat akan ditanamkan kesadaran bahwa
melanggar peraturan lalu lintas sama dengan mengambil hak orang lain secara tidak
sah. (mengambil secara tidak sah dari orang lain yang berhak atau tidak memberikan
hak kepada mereka yang seharusnya telah memperolehnya). Sebagai contoh pada saat
lampu merah di persimpangan menyala, maka orang dari jurusan itu harus berhenti
karena pada saat itu merupakan gilirannya untuk berhenti, sebaliknya kendaraan dari
jurusan lain (yang lampunya menyala hijau ) mendapat giliran untuk bergerak dan
mereka tidak boleh berhenti. Orang yang berhenti pada saat lampu hijau menyala,
dianggap salah karena dapat menghalangi orang lain dibelakangnya untuk bergerak.
Jadi orang yang bergerak dari jurusan yang mendapat lampu merah relatif sama
salahnya dengan orang yang berhenti dari jurusan yang mendapat lampu hijau.
Mereka menghalangi orang lain memperoleh haknya. Dengan kata lain, tujuan
pelaksanaan Syariat Islam secara kaffah adalah untuk membantu orang–orang
memperoleh hak mereka, dengan cara memberikan hak kepada mereka yang memang
berhak dan melarang menghalangi atau mengambilnya dari mereka yang tidak
berhak. 52
Berbicara mengenai efektifitas Syariat Islam seorang ilmuan barat yang
notabene bukan dari kaum musliman memberikan analisanya berdasarkan dari hasil
penelitian yang dilakukannya, menurut Prof. Souryal mengapa Syariat Islam efektif
52
. Ibid, halaman 89 s.d 91.
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
dikarenakan Syariat Islam ditujukan dan gunakan terutama sebagai instrument
moralisasi dan juga sebagai agen pencegahan (preventive agent). Lalu, bagaimana
Syariat Islam bias efektif? Syariat Islam bisa efektif dengan penggunaan lima
pendekatan:
(1) Syariat secara terus–menerus mendorong perbaikan individu dan
menyucikan kesadaranya dengan ide–ide Islam yang tinggi dan moralitas
yang luhur;
(2) Syariat dengan seimbang memperingatkan manusia untuk tidak melakukan
kejahatan dan mengancam pelakunya dengan hukuman berat di dunia
dan di akhirat;
(3) Syariat Islam memerintahkan umat Islam untuk saling tolong–menolong
dalam kebaikan dan kesabaran dengan memberikan bimbingan,
dorongan moral, dan pengajaran agama;
(4)
Syariat Islam mencegah kejahatan dengan menutup jalan yang dapat
menyebabkan dilakukannya perbuatan itu. Sebagai contoh, melarang
penggunaan minuman memabukakan dan minimalisasi kemungkinan
pertemuan laki–laki/ perempuan;
(5) Syariat Islam mempersiapkan umat Islam, sebagai antisipasi kecendrungan
moral manusia, dengan jalan mendukung perkawinan diusia muda,
membolehkan poligami secara terkontrol, dan mewajibkan bagi orang–
orang yang mampu untuk mengeluarkan sebagian hartanya bagi orang–
orang yang kurang mampu (mewajibkan zakat).
Bagaimanapun juga, meskipun peranan Syariat Islam sudah berjalan, tingkah
laku kriminal bisa saja terjadi. Dalam hal ini, hukum pidana diterapkan secara formal
dengan kekuatan dan hukuman dijalankan dengan cara tertentu, cepat, dan keras. Juga
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
karena pelaksanaan hukuman dilakukan dengan cara khusus itu, efektifitasnya
diperbesar oleh eksekusi secara terbuka.
Pelaksanaan hukuman seperti ini menekan keinginan kotor dan moral yang
buruk masyarakat, serta secara alamiah mempunyai pengaruh pada jiwa juga ketaatan.
Akan tetapi, dan mungkin juga sangat mengejutkan, kerasnya hukuman -hukuman
dalam hukum pidana Islam sangat jarang dijatuhkan karena ketatnya hukuman
pembuktian yang melindungi hak–hak manusia. 53
Jika dilihat dari apa yang ingin dicapai oleh pelaksanaan Syariat Islam di
Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam pada umumnya dan kota Banda Aceh pada
khususnya, maka dapat di simpulkan bahwa pelaksanaan Syariat Islam selama ini di
kota Banda Aceh dalam kurun waktu dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2007
sudah cukup efektif dalam menekan tingkat pelanggaran qanun di bidang syariat
Islam dan menata kehidupan secara Islami dikota Banda Aceh, akan tetapi karena
pelaksanaan Syariat Islam di Kota Banda Aceh ini masih baru atau masih seumur
jagung, maka masih belum dapat untuk mencapai seperti apa yang diinginkan oleh
pemerintah dan masyarakat Banda Aceh seperti yang telah dituangkan dalan qanun–
qanun Syariat Islam Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, maka dari itu masih
banyak lagi yang harus dibenahi dan disempurnakan dalam pelaksanaan Syariat Islam
ini baik itu dalam bentuk peraturan–peraturan atau qanun–qanun yang telah dibentuk
oleh pemerintah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, maupun dalam pelaksanaannya
dilapangan.
53
. Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam Penegakan Syariat dalam Wacana dan
Agenda (Jakarta: Gema Insani Press, 2003) Op.cit, halaman 137
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan pada bab–bab sebelumnya maka,
maka dapat diberikan kesimpulan sebagai berikut:
1. Pengaturan perbuatan pidana dan sanksinya didalam Qanun Propinsi
NAD bertujuan untuk mencegah dari pada memberikan pembalasan
kepada pelakunya, seperti pada pengaturan dibidang Khalwat (mesum)
lebih bertujuan untuk mencegah dan menjaga manusia dari pada
perbuatan tercela dan amoral, dan untuk menjaga umat manusia dari
pada kemerosotan moralnya, serta untuk menjaga keturunan–
keturunannya, dari pada hanya sekedar memberikan pembalasan
kepada pelakunya. Pada pengaturan dibidang Maisir (perjudian)
bertujuan untuk menjaga ahklak, moral, dan terlebih harta umat Islam
dari keterpurukan, karena iming–iming mendapatkan harta dengan
modal sedikit dan tanpa kerja keras adalah tipuan belaka, tanpa
memberi manfaat kepada pelakunya, kemudian pada pengaturan
dibidang Khamar (minuman keras) bertujuan untuk menjaga kesehatan
jiwa, raga dan akal manusia dari kerusakan dan kemerosotan daya fikir
dan ahklaknya, karena Khamar bukuan hanya memberikan pengaruh
buruk pada kesehatan jiwa, raga dan akal si pelaku, akan tetapi juga
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
berdampak pada kerusakan perekonomian si pelaku, karena dampak
dari pada mengkonsumsi Khamar (minuman keras) tersebut, dan
terlebih untuk menjaga masyarakat dari rasa tidak aman dan kerusakan
moral didalam masyarakat, serta untuk menciptakan masyarakt yang
madani dan Islami, serta dirahmati oleh Allah SWT.
2. Pengaturan sanksi pidana cambuk adalah bertujuan untuk mendidik
dan menyadarkan para pelaku pelanggaran, bukan hanya sekedar untuk
memberikan pembalasan yang menyiksanya, sanksi pidana cambuk ini
bertujuan untuk memberikan kesempatan bertobat bagi para pelakunya
kepada Allah SWT, serta memberikan rasa malu kepada para
pelakunya untuk kembali mengulangi perbuatan buruknya.
Dan sanksi pidana cambuk ini adalah bagian dari Syariat Islam dan
Syariat Islam hanya berlaku bagi kaum muslimin (umat Islam) saja,
dan tidak dapat diberlakukan pada umat yang beragama non-muslim,
hanya saja umat non-muslim harus menghormati dan menghargaai
Syariat Islam, jadi sanksi pidana cambuk tidak dapat dikenakan kepada
umat non-muslim yang berdomisili di daerah yang memberlakukan
syariat Islam (Aceh), akan tetapi didalam hal ini timbul suatu hak dan
kewajiban bagi kaum muslimin dan non muslim yang mana kaum nonmuslim adalah sebagai kaum minoritas di daerah Nanggroe Aceh
Darussalam, dalam hal ini kewajiban kaum muslimin adalah
melindungi
kaum non-muslim dari segala gangguan dan ketidak
amanan, dengan kata lain hak kaum non-muslim adalah mendapatkan
perlindungan dan kewajiban kaum non-muslim adalah membayar diyat
kepada pemerintah, akan tetapi pula dalam penerapan saksi pidana
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
cambuk ini tidak menutup kemungkina bagi kaum non-muslim untuk
tunduk dan patuh kepada Syariat Islam (sanksi Pidana Cambuk) tanpa
harus berpindah agama dan keyakinan, dalam artian tunduk sukarela
tanpa adanya hasutan dan paksaan dari pihak manapun, karena dalam
Islam sendiri tidak menutup kemungkinan untuk terjadinya hal ini.
3.
Selama kurun waktu dari tahun 2005 sampai dengan 2007 pelaksanaan
sanksi pidana cambuk dirasakan sudah cukup efektif untuk menekan
pelanggaran qanun dibidang Syariat Islam, terbukti dari data yang
menunjukan adanya penurunan terjadinya pelanggaran qanun dibidang
Syariat Islam di Kota Banda Aceh, akan tetapi karena pelaksanaan
syariat Islam di Kota Banda Aceh ini masih baru atau masih seumur
jagung, maka masih belum dapat untuk mencapai seperti apa yang
diinginkan oleh pemerintah dan masyarakat Banda Aceh yang telah
dituangkan dalan qanun–qanun Syariat Islam Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, maka dari itu masih banyak lagi yang harus dibenahi dan
disempurnakan dalam pelaksanaan Syariat Islam ini baik itu dalam
bentuk peraturan–peraturan atau qanun–qanun yang telah dibentuk
oleh pemerintah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, maupun dalam
pelaksanaannya dilapangan, serta perlu adanya penambahan mutu dan
kualitas dari pada SDM di kota Banda Aceh sebagi aparatur pelaksana
dilapangan.
B. SARAN
1. Untuk lebih efektifnya dalam pelaksanaan Syariat Islam secara kaffah, selain
dari peranan besar Pemerintah Kota Banda Aceh, juga sangat diperlukannya
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
pemikiran dan peran serta dari pada masyarakat dan tokoh–tokoh masyarakat
Kota Banda Aceh sendiri secara luas.
2. Selain dari pada pembentukan sarana dan prasarana serta
pengawasan
terhadap masyarakat dalam rangka pelaksanaan Syariat Islam di NAD,
sangatlah perlu untuk memberikan pemahaman dan pengetahuan kepada
masyarakat tentang pentingnya penerapan Syariat dalam kehidupan mereka
sehari–hari, agar timbul kesadaran dalam diri setiap masyarakat Aceh untuk
menjalankan dan mengamalkan ajaran Islam secara kaffah.
3. Karena masih minimnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang
Syariat Islam, maka sangat dibutuhkan tenaga–tenaga penyuluh untuk
memberikan penyuluhan tentang pelaksanaan Syariat Islam di Propinsi
Nanggroe Aceh Darussalam.
4. Selain dari pada pembentukan kesadaran didalam diri tiap masyarakat, untuk
melaksanakan Syariat Islam diperlukan jaga adanya sistem dan pelaksanaan
sistem yang kuat dan kokoh untuk melaksanakan dan mengawasi jalannya
Syariat Islam secara kaffah di Propinsi NAD.
5. Perlu dengan segera dibentuknya kitab undang–undang hukum acara pidana
bagi pelaksanaan Syariat Islam di NAD, khususnya dibidang jinayah (pidana),
agar tidak terjadinya tumpang tindih antara peraturan pidana yang telah
dibentuk dengan hukum acaranya sendiri yang sampai saat ini masih
menggunakan kitab undang–undang hukum acara pidana nasional.
6. Perlu dengan segeranya dibentuk peraturan–peraturan lain yang belum ada dan
penyempurnaan kembali qanun–qanun yang telah ada untuk tercapainya
penerapan Syariat Islam secara kaffah di Kota Banda Aceh khususnya dan di
Propinsi NAD pada umumnya.
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
7. Serta perlunya penegakan Syariat didalam pelaksanaan Syariat Islam di NAD,
karena adanya unsur ketidakadilan dan kesamarataan. Hal ini dapat dilihat
pada pasal–pasal yang mengatur uqubat cambuk yaitu penggunaan kata di
hukum cambuk dan atau denda. Hal ini menunjukan berarti penegakan Syariat
Islam hanya dirasakan oleh pelaku pelanggarsn qanun tingkat rendah (rakyat
jelata), sedangkan para pelaku pelanggaran qanun tingkat tinggi dapat memilih
dan atau menentukan hukuman apa yang dijatuhkan bagi mereka, seperti
hanya hukuman denda.
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
DAFTAR PUSTAKA
I. BUKU
Departemen Agama RI, Al-Jumanatul ‘Ali, Al-Quran dan Terjemahannya, Jakarta,
Perbit J-ART, 2005.
Soesilo R, Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP), Bogor, Politeia, 1980.
Munajat Makhrus, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, Jogjakarta, Logung Pustaka,
2004.
Muhammad Ali Rusdji, Revitalisasi Syari’at Islam Di Aceh Problem, Solusi, Dan
Implementasi, menuju pelaksanaan Hukum Islam di
Nanggroe Aceh Darussalan. Banda Aceh, Logos Wacana
Ilmu, 2003.
Mubarok Jaih, Faizal Enceng Arif, Kaidah Fiqh Jinayah (Asas – asas Hukum Pidana
Islam), Bandung, Pustaka Bani Quraisy,2004
Santoso Topo, Membumikan Hukum Pidana Islam, Penegakan Syariat dalam wacana
dan Agenda, Jakarta, Gema Insani,2003
Amrullah Mohammad, Pelajaran Fiqih Madrasah Aliyah Kelas II, Bandung, Armica,
1995.
Muslich Ahmad Wardi, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (Fikih Jinayah),
Jakarta,Sinar Grafika 2004.
Abubakar Al Yasa’, Syari’at Islam di Provinsi Namggroe Aceh Darussalam
Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan, Banda Aceh, Dinas
Syariat Islam Proninsi NAD. 2005.
Abubakar Al Yasa’, Sulaiman M. Hasan, Perbuatan Pidana Dan Hukumannya Dalam
Qanun Provinsi NAD, Banda Aceh, Dinas Syariat Islam
Povinsi NAD,2006.
Abubakar Al Yasa’, Halim Marah, Hukum Pidana Islam di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, Banda Aceh, Dinas Syariat Islam Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam, 2006.
Syahrin Alvi, Ilmu Hukum Pidana Dan Ruang Lingkup Berlakunya Hukum Pidana
(Suatu Pengantar), Medan, Pustaka Bangsa Press, 2002.
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
Abubakar Al Yasa’, Sekilas Syariat Islam Di Aceh, Banda Aceh, Dinas Syariat Islam
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Ali Zainuddin, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum Islam Indanesia), Jakarta, Sinar
Grafika, 2006.
Rosyadi Rahmat & Ahmad Rais M., Formalisasi Syariat Islam dalam Perspektih Tata
Hukum Indonesia, Bogor, Ghalia Indonesia, 2006.
Suma Amin M, Pidana Islam Di Indonesia Peluang, Prospek dan Tantangan, Pejaten
Barat, Pustaka Firdaus, 2001.
Djazuli A, Fiqh Jinayah ( Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam), Jakarta,
Raja Grafindo Persada, 2000.
Makarao Taufik M, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Jokjakarta, Kreasi
Wacana, 2005.
Prasetyo Teguh, Politik Hukum PIdana, Kajian Kebijakan Kriminalisasi, Jokjakarta,
Pustaka Pelajar, 2005.
Abubakar Al Yasa’, Bunga Rampai Pelaksanaan Syariat Islam (Pendukung qanun
Pelaksanaan Syariat Islam), Banda Aceh, Dinas syariat Islam Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam, 2005.
Mulyadi, Dasar – Dasar Penulisan Ilmiah, Medan, USU Press, 2004.
Santoso Topo, Menggagas Hukum Pidana Islam (Penerapan Syariat Islam dalam
konteks moderenitas), Bandung, Asy Syaamil, 2000.
Ramulyo Idris, Asas – Asas Hukum Islam, sejarah timbul dan berkembangnya
kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Islam Indonesia,
Jakarta, Sinar Grafika, 1995.
II. MAKALAH DAN UNDANG – UNDANG
1. MAKALAH
Ahmad Fuad Fanani,
Jihad Memperjuangkan Penerapan Syari’at
Islam:Pandangan Tokoh-tokoh Pesantren di Jawa
Barat.
Teguh Darmawanto, “ Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelaku Pelanggaran Syariat
Islam Di Kecamatan Bukit Kabupaten Bener Meriah Nanggroe
Aceh Darussalam” (Skripsi yang diterbitkan Fakultas Hukum
USU Medan, 2007
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
2. UNDANG – UNDANG
Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Himpunan Undang –
Undang, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah / qanun,
Instruksi Gubernur, Edaran Gubernur, Berkaitan Pelaksanaan
Syariat Islam, Banda Aceh, , 2006
Undang – Undang Nomor 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan
Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi
Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2000 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam Provinsi
Daerah Istimewa Aceh.
Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002 Tentang
Peradilan Syariat Islam.
Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 12 Tahun 2003 Tentang
Minuman Khamar Dan sejenisnya.
Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Maisir
(perjudian).
Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat
(mesum).
Peraturan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2005
Tentang Petunjuk teknis pelaksanaan Uqubat Cambuk.
Instruksi Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No 04/INSTR/2002 Tentang
Larangan Judi (Maisir), Buntut, Taruhan dan Sejenisnya Yang
Mengandung Unsur – Unsuar Perjudian Dalam Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam.
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
Instruksi Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No 05/INSTR/2002 Tentang
Tata Pergaulan/ Khalwat Antara Pria dan Wanita Dalam
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Surat Edaran Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 536/20976
Tentang Larangan Minuman Beralkohol (khamar).
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam
Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
Download