II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. SAMBILOTO 2.1.1. Klasifikasi Secara taksonomi, menurut Prapanza dan Merianto (2003) sambiloto dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Subkelas : Gamopetalae Ordo : Personales Famili : Acanthaceae Subfamili : Acanthoidae Genus : Andrographis Spesies : Andrographis paniculata Nees Di beberapa daerah di Indonesia, sambiloto dikenal dengan berbagai nama. Masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur menyebutnya dengan bidara, sambiroto, sandiloto, sadilata, takilo, paitan, dan sambiloto. Di Jawa Barat disebut dengan ki oray, takila, atau ki peurat. Di Bali lebih dikenal dengan samiroto. Masyarakat Sumatera dan sebagian besar masyarakat Melayu menyebutnya dengan pepaitan atau ampadu. Sementara itu, nama-nama asing sambiloto diantaranya chuan xin lian, yi jian xi, dan lan he lian (Cina), kalmegh, kirayat, dan kirata (India), xuyen tam lien dan congcong (Vietnam), quasabhuva (Arab), nainehavandi (Persia), green chiretta dan king of bitter (Inggris). 2.1.2. Morfologi Menurut Mahendra (2005), sambiloto tergolong terna (herba) semusim, tumbuh tegak, tinggi sekitar 50 cm dan rasanya sangat pahit. Batang sambiloto berkayu, berpangkal bulat, berbentuk segi empat saat muda dan bulat saat tua, percabangan monopodial, dan berwarna hijau. Daun sambiloto tunggal, tersusun berhadapan, berbentuk lanset, bertepi rata (integer), ujung dan pangkal daun tajam atau runcing, daun bagian atas dari batang berbentuk seperti braktea, permukaan daun halus, berwarna hijau, tidak ada stipula (daun penumpu), berukuran 312 cm x 1-3 cm. Bunganya berukuran kecil, biseksual, zigomorf, sepal (daun kelopak) berjumlah 5 buah, petal (tajuk) berjumlah 5 buah, mempunyai bibir yang terbelah dua, berwarna putih dengan setrip buah, stamen (benangsari) berjumlah 2 buah dengan antenna bergabung, filament (tangkai sari) digabungkan dengan tabung (daun buah) dan 2 ruang dan bakal biji berjumlah 2 atau lebih (dalam tap ruang). Perbungaan rasemosa yang bercabang membentuk malai. Buah kapsula berbentuk jorong (memanjang) dengan 2 ruang dan biji berbentuk gepeng. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada gambar berikut. Gambar 1. Sambiloto (Andrographis paniculata (Burm. f.) Nees) 2.1.3. Ekologi Sambiloto dapat tumbuh di semua jenis tanah sehingga tidak heran jika tanaman ini terdistribusi luas di belahan bumi. Habitat aslinya adalah tempat-tempat terbuka yang teduh dan agak lembab, seperti kebun, tepi sungai, pekarangan, semak, atau rumpun bambu (Prapanza dan Merianto, 2003). Tumbuhan sambiloto memiliki daya adaptasi pada lingkungan ekologi setempat. Tumbuhan tersebut terdapat di seluruh Nusantara karena dapat tumbuh dan berkembang baik pada berbagai topografi dan jenis tanah. Tumbuh baik pada curah hujan 2.000 – 3.000 mm/tahun, suhu udara 25 – 32 0C serta kelembaban yang dibutuhkan antara 70 – 90 %. Tumbuhan sambiloto dapat tumbuh pada semua jenis tanah, ialah yang subur, mengandung banyak humus, tata udara dan pengairan yang baik. Sambiloto tumbuh optimal pada pH tanah 6–7 (netral). Pada tingkat kemasaman tersebut, unsur hara yang dibutuhkan tanaman cukup tersedia dan mudah diserap oleh tanaman. Kedalaman perakaran sambiloto dapat mencapai 25 cm dari permukaan tanah (Anonim, 2002; Anonim, 2003). 2.1.4. Bagian Tanaman Yang Dimanfaatkan Semua bagian tanaman sambiloto, seperti daun, batang, bunga, dan akar, terasa sangat pahit jika dimakan atau direbus untuk diminum. Diduga ini berasal dari andrographolide yang dikandungnya. Sebenarnya, semua bagian tanaman sambiloto bisa dimanfaatkan sebagai obat, termasuk bunga dan buahnya. Namun bagian yang paling sering digunakan sebagai bahan ramuan obat tradisional adalah daun dan batangnya (Prapanza dan Merianto, 2003). 2.1.5. Kandungan Menurut Mahendra (2005), daun sambiloto mengandung saponin, flavonoida, dan tannin sedangkan menurut Prapanza dan Marianto (2003), daun dan percabangan tanaman sambiloto lebih banyak mengandung lakton sedangkan komponen flavonoid dapat diisolasi dari akarnya. Saponin berasal dari kata sapo ( bahasa latin yang berarti sabun). Saponin adalah senyawa permukaan yang kuat yang menimbulkan busa jika dikocok dalam air. Dikenal dua jenis saponin, yaitu glikosida triterpenoida alkohol dan glikosida struktur steroid. Kedua jenis saponin ini larut dalam air dan etanol, tetapi tidak larut dalam eter. Dalam larutan yang sangat encer saponin bersifat sangat beracun untuk ikan, dan tumbuhan yang mengandung saponin telah digunakan sebagai racun ikan selama beratus-ratus tahun. Pada beberapa tahun terakhir ini 4 saponin tertentu menjadi penting karena dapat diperoleh dari beberapa tumbuhan dengan hasil yang baik dan digunakan sebagai bahan baku untuk sintesis hormon steroid yang digunakan dalam bidang kesehatan (Robinson, 1991). Flavonoid merupakan senyawa dengan inti C6-C3-C6, artinya kerangka karbonnya terdiri atas dua gugus C6 disambungkan oleh rantai alifatik tiga karbon. Flavonoid terdapat dalam bagian vegetatif maupun dalam bunga. Sebagai pigmen bunga, flavonoid berperan dalam menarik burung dan serangga penyerbuk bunga. Fungsi flavonoid dalam tumbuhan yang mengandungnya ialah pengaturan tumbuh, pengaturan fotosintesa, dan anti mikroba (Robinson, 1991). Flavonoid dari akar mengandung polymethoxyflavone, andrographin, panicolin, mono-omethilwthin, apigenin-7, 4-dimethil ether, alkane, ketone, aldehyde, kalium, natrium, asam kersik, dan dammar. Kandungan lain yaitu andrografolida kurang dari 1%, kalmegin (zat amorf), dan hablur kuning yang memiliki rasa pahit (Mahendra, 2005). Tanin merupakan senyawa polifenol yang tersebar luas pada berbagai tumbuhan. Tanin terbagi atas dua jenis tanin , yaitu tanin terhidrolisis dan tanin terkondensasi. Tanin terhirolisis yang terbentuk dari reaksi asam fenolat dengan gula sederhana. Tanin terkondensasi terbentuk akibat kondensasi flavonoid yang merupakan polimer dari katekin dan epikatekin (Cordell, 1995). Berdasarkan hasil penelitian kimiawi diketahui bahwa lakton pada daun dan cabang sambiloto terdiri dari deoxy-andrographolide, andrographolide (zat pahit), neoandrographolide, 14-deoxy-11,12 didehydroandrographolide, dan homoandrographolide (Mahendra, 2005). Matsuda et al. (1994) melakukan isolasi senyawa-senyawa penyusun sambiloto dengan cara mengekstraksi tanaman sambiloto sebanyak lima kilogram dengan pelarut metanol. Setelah melalui proses pengoloman yang berulang-ulang diperoleh beberapa penyusun sambiloto, antara lain adalah andrografolida, andrografisida, 14-doeksiandrografolida, deoxyandrografisida dan neoandrografolida. Gambar 2. Andrografolida, R=H Andrografisida, R= glc 5 Gambar 3. 14-deoksiandrografolida, R = H deoksiandrografolida, R = glc Gambar 4. Neoandrografolida R = glc (Matsuda et al. 1994) Senyawa andrographolide termasuk didalam kelompok trihidroxy laktone tak jenuh dengan rumus molekuler C20H30O5. Andrograpolide merupakan komponen utama pada daun sambiloto yang dapat dengan mudah dilarutkan pada methanol, ethanol, pyridine, acetic acid dan acetone, tetapi sedikit larut pada ether dan air. Sifat fisik yang dimiliki antara lain: titik cair pada 228-230 0C, spectrum ultraviolet pada ethanol λ max adalah 223 nm (Rajani et al. 2000). Kadar senyawa andrographolide di dalam daun sambiloto sebesar 2,54,8% dari berat keringnya (Prapanza dan Merianto, 2003). 2.1.6. Khasiat Sambiloto merupakan salah satu tanaman yang secara turun-temurun digunakan sebagai obat. Menurut Aldi et al. (1996), tanaman ini diyakini dan digunakan oleh masyarakat sebagai obat radang, sakit gula, tonikum, gatal-gatal, demam, serta berbagai penyakit lainnya. Hal ini dikarenakan sambiloto memiliki efek farmakologi seperti imunostimulan (meningkatkan kekebalan tubuh), antibiotik, antipiretik (penurun panas dan demam), anti-inflamasi (anti radang), hepatoprotektor, hipotensif, hipoglikemik, antibakteri, antiradang saluran pernafasan, serta meridian jantung dan paru-paru Mahendra (2005). 6 2.2. EKSTRAKSI Ekstraksi adalah suatu cara untuk memisahkan campuran beberapa zat menjadi komponen yang terpisah (Winarno et al. 1973). Pada proses ekstraksi pada dasarnya dibedakan menjadi dua fase yaitu fase pencucian dan fase ekstraksi. • Fase Pencucian (Washing Out) Pada saat penggabungan pelarut dengan simplisia, maka sel-sel yang rusak karena proses pengecilan ukuran langsung kontak dengan bahan pelarut. Komponen sel yang terdapat pada simplisia tersebut dapat dengan mudah dilarutkan dan dicuci oleh pelarut. Dengan adanya proses tersebut, maka dalam fase pertama ini sebagian bahan aktif telah benpindah ke dalam palrut. Semakin halus ukuran simplisia, maka semakin optimal jalannya proses pencucian tersebut. • Fase Ekstraksi (Difusi) Untuk melarutkan komponen sel yang tidak rusak, maka pelarut harus masuk ke dalam sel dan mendesak komponen sel tersebut keluar dari sel. membrane sel simplisia yang mula-mula mengering dan menciut harus diubah terlebih dahul agar terdapat suatu perlintasan pelarut ke dalam sel. Hal ini dapat terjadi melalui proses pembengkakkan, dimana membran mengalami suatu pembesaran volume melalui pengambilan molekul bahan pelarut. Kemampuan sel untuk mengikat pelarut menyebabkan struktur dinding sel tersebut menjadi longgar, sehingga terbentuk ruang antarmiselar, yang memungkinkan bahan ekstraksi, mencapai ke dalam ruang dalam sel. Peristiwa pembengkakkan ini sebagian besar disebabkan oleh air. Campuran alkohol-air lebih disukai untuk mengekstraksi bahan farmasetik karena terbukti lebih cepat (Voigt, 1994). Tahapan yang harus diperhatikan dalam mengekstraksi jaringan tumbuhan adalah penyiapan bahan sebelum ekstraksi, pemilihan pelarut dan kondisi proses ekstraksi, proses pengambilan pelarut, pengawasan mutu dan pengujian yang dikenal pula sebagai tahapan penyelesaian. Penggunaan pelarut bertitik didih tinggi menyebabkan adanya kemungkinan kerusakan komponen-komponen senyawa penyusun pada saat pemanasan. Pelarut yang digunakan harus bersifat inert terhadap bahan baku, mudah didapat dan harganya murah (Sabel dan Waren, 1973). Dalam pemilihan cairan penyari harus memenuhi beberapa kriteria, antara lain murah dan mudah diperoleh, stabil secara fisika dan kimia, bereaksi netral, tidak mudah menguap dan tidak mudah terbakar, selektif. Selektif yaitu hanya menarik zat berkhasiat yang dikehendaki, tidak mempengaruhi zat berkhasiat, dan diperbolehkan oleh peraturan (Anonim,1986). Menurut Stahl (1969), polaritas pelarut sangat berpengaruh terhadap daya larut. Indikator kelarutan pelarut dapat ditentukan dari nilai konstanta dielektrik dan nilai polaritas pelarut. Besarnya nilai polaritas pelarut proporsional dengan konstanta dielektriknya, seperti yang digambarkan pada Tabel 1. 7 Tabel 1. Nilai Konstanta Dielektrik Berbagai Zat Pelarut (Stahl, 1969) Konstanta Dielektrik Nama Zat Pelarut Polaritas 1,890 Petroleum ringan 2,023 Sikloheksan 2,238 Karbon tatraklorida Trikoloroetilen Toluen 2,284 Benzen Diklorometan 4,806 Kloroform 4,340 Etileter 6,020 Etilasetat 20,700 Aseton n-propanol 24,300 Etanol 33,620 Metanol 80,370 Air Zat pelarut dan terlarut dengan nilai total kelarutan yang hampir sama akan mudah melarut. Nilai parameter kelarutan diwakili oleh tiga komponen, yaitu dispersi atau non polar (δd), polar (δp) dan ikatan hidrogen (δh). Parameter total kelarutan (secara matematik) dapat dinyatakan sebagai akar kuadrat dari jumlah kuadrat pada komponen non polar, polar dan ikatan hidrogen (Archer, 1996),. Air dipertimbangkan sebagai penyari karena murah, mudah didapat, stabil, tidak mudah menguap, tidak mudah terbakar, tidak beracun, alamiah, dan mampu mengekstraksi banyak bahan kandungan simplisia. Adapun kerugian air sebagai penyari adalah tidak selektif, diperlukan waktu yang lama untuk memekatkan ekstrak, sari dapat ditumbuhi kapang atau kuman serta cepat rusak (Anonim, 1986; Voight, 1994). Etanol dipertimbangkan sebagai penyari karena lebih selektif, kapang dan kuman sulit tumbuh dalam etanol 20% ke atas, tidak beracun, netral, absorbsinya baik, dapat mengendapkan albumin dan menghambat kerja enzim. Selain itu, etanol dapat bercampur dengan air pada segala perbandingan, dan panas yang diperlukan untuk pemekatan lebih sedikit. Guna meningkatkan penyarian, biasanya digunakan campuran antara etanol dan air dalam berbagai perbandingan tergantung pada bahan yang akan disari (Anonim, 1986; Voight, 1994) Metode ekstraksi dipilih berdasarkan beberapa faktor seperti sifat dari bahan mentah obat, daya penyesuaian dengan tiap macam metode ekstraksi dan kepentingan dalam memperoleh ekstrak yang sempurn. Metode pembuatan ekstrak yang umum digunakan antara lain maserasi, perkolasi, soxhletasi. Selain itu, metode ekstraksi juga dipilih berdasarkan beberapa faktor seperti sifat dari bahan mentah obat, dan daya penyesuaian dengan tiap macam metode ekstraksi dan kepentingan dalam memperoleh ekstrak yang sempurna (Ansel, 1989). Menurut Kurnia (2010), ekstraksi dengan pelarut dapat dilakukan dengan cara dingin dan cara panas. Cara dingin yaitu metode maserasi dan perkolasi, sedangkan cara panas antara lain dengan reflux, soxhlet, digesti, destilasi uap dan infuse. Reflux merupakan ekstraksi pelarut pada suhu didihnya selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya 8 pendingin balik. Soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru menggunakan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinyu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Digesti adalah maserasi kinetik pada suhu lebih tinggi dari suhu kamar sekitar 40-50 oC. Destilasi uap adalah ekstraksi zat kandungan menguap dari bahan dengan uap air berdasarkan peristiwa tekanan parsial zat kandungan menguap dengan fase uap air dari ketel secara kontinyu sampai sempurna dan diakhiri dengan kondensasi fase uap campuran menjadi destilat air bersama kandungan yang memisah sempurna atau sebagian. Infuse adalah ekstraksi pelarut air pada suhu penangas air 96-98 oC selama 15-20 menit. 2.2.1. Maserasi Istilah maserasi berasal dari bahasa latin ”macerare” yang artinya mengairi, melunakkan, merupakan cara ekstraksi yang paling sederhana. Bahan jamu yang dihaluskan sesuai dengan syarat farmakope (umumnya terpotong-potong atau diserbuk kasarkan) disatukan dengan bahan ekstraksi. Rendaman tersebut disimpan terlindungi dari cahaya langsung (mencegah reaksi yang dikatalisis cahaya atau perubahan warna) dan dikocok kembali. Waktu maserasi adalah berbedabeda, masing-masing farmakope mancantumkan 4-10 hari. Namun pada umumnya 5 hari, setelah waktu tersebut keseimbangan antara bahan yang diekstraksi pada bagian dalam sel dengan luar sel telah tercapai. Pengocokan dilakukan agar cepat mendapat kesetimbangan antara bahan yang diekstraksi dalam bagian sebelah dalam sel dengan yang masuk ke dalam cairan. Keadaan diam tanpa pengocokan selama maserasi menyebabkan turunnya perpindahan bahan aktif. Semakin besar perbandingan jamu terhadap cairan ekstraksi, akan semakin baik hasil yang diperoleh (Voight, 1994). Dalam referensi lain disebutkan bahwa maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana. Proses pengerjaan dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam pelarut. Pelarut akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif. Zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan di luar sel, maka larutan yang terpekat didesak keluar. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel (Anonim, 1986). Keuntungan dari metode maserasi yaitu prosedur dan peralatannya sederhana (Agoes, 2007). 2.2.2. Remaserasi Remaserasi merupakan metode ekstraksi yang terjadi pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama, dan seterusnya. Pelarut kedua ditambahkan sebanyak penambahan pelarut pertama (Depkes, 2000). 2.2.3. Perkolasi Istilah perkolasi berasal dari kata ‘percolare’ yang artinya penetesan, merupakan ekstraksi yang dilakukan dengan penetesan cairan penyari dalam wadah silinder atau kerucut (perkolator), yang memilki jalan masuk dan keluar. Bahan ekstraksi yang dimasukkan secara kontinyu dari atas mengalir lambat melintasi simplisia yang umumnya berupa serbuk kasar. Melalui pembaharuan terus-menerus bahan pelarut berlangsung sesuai suatu maserasi banyak tingkat. Jika pada maserasi sederhana suatu ekstraksi sempurna dari simplisia tidak terjadi, karena kesetimbangan konsentrasi antara larutan dalam sel dengan cairan disekelilingnya dapat diatur, 9 maka pada perkolasi melalui pemasukan bahan pelarut yang ekstraksi total secara teoritis adalah mungkin, berkaitan dengan perbedaan konsentrasi pada posisi yang baru, secara praktek diperoleh sampai 95% bahan yang terekstraksi. Sebelum perkolasi dilakukan, simplisia terlebih dahulu direndam menggunakan pelarut dan dibiarkan membengkak agar mempermudah pelarut masuk ke dalam sel. Namun pembengkakan ini juga dapat menyebabkan pecahnya wadah itu sendiri. Dalam pengisian simplisia tidak boleh terdapat ruang rongga. Hal ini akan menggagu keteraturan aliran cairan dan menyebabkan berkurangnya hasil ekstraksi, namun suatu pengisian yang kompak dapat menghambat aliran pelarut atau malah menghentikannya (Voigt, 1994). Proses perkolasi terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap perendaman antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan perkolat) sampai diperoleh ekstrak (Depkes, 2000). Keuntungan dari metode perkolasi ini adalah proses penarikan zat berkhasiat dari tumbuhan lebih sempurna, sedangkan kerugiannya adalah membutuhkan waktu yang lama dan peralatan yang digunakan mahal (Agoes, 2007). Perkolasi lebih baik dibandingkan dengan cara maserasi dikarenakan adanya aliran cairan penyari menyebabkan pergantian larutan yang terjadi dengan larutan yang konsentrasinya lebih rendah sehingga meningkatkan derajat perbedaan konsentrasi dan keberadaan ruangan di antara butir-butir serbuk simplisia membentuk saluran kapiler tempat mengalir cairan penyari menyebabkan meningkatnya perbedaan konsentrasi (Anonim, 1986) 2.2.4. Reperkolasi Cara yang dicantumkan dalam beberapa farmakope, terutama untuk membuat ekstrak cair dari jamu yang mengandung minyak atsiri, dinyatakan bahwa simplisia tersebut dibagi dalam beberapa bagian. Bagian pertama diperkolasi, tetesan pelarut ditampung dan kemudian digunakan kembali untuk mengekstrak bagian berikutnya. Tetesan yang diperoleh dari bagian 1,2 dan 3 disatukan dan menghasilkan preparat jadinya (Voigt, 1994). 2.3. KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI (KCKT) Kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) merupakan sistem pemisahan dengan kecepatan dan efisiensi yang tinggi. Hal ini karena didukung oleh kemajuan dalam teknologi kolom, sistem pompa tekanan tinggi, dan detektor yang sangat sensitif dan beragam. KCKT mampu menganalisis berbagai cuplikan secara kualitatif maupun kuantitatif, baik dalam komponen tunggal maupun campuran (Ditjen POM, 1995). Kegunaan umum KCKT adalah untuk pemisahan sejumlah senyawa organik, anorganik, maupun senyawa biologis, analisis ketidakmurnian (impurities) dan analisis senyawa-senyawa yang tidak mudah menguap (nonvolatil). KCKT paling sering digunakan untuk: menetapkan kadar senyawa-senyawa tertentu seperti asam-asam amino, asam-asam nukleat dan protein-protein dalam cairan fisiologis, menentukan kadar senyawa-senyawa aktif obat dan lain-lain (Putra, 2004). Banyak kelebihan yang dimiliki KCKT jika dibandingkan dengan kromatografi lainnya (Snyder dan Kirkland, 1979). Kelebihan itu antara lain: • Mampu memisahkan molekul-molekul dari suatu campuran • Mudah melaksanakannya • Kecepatan analisis dan kepekaan yang tinggi • Dapat dihindari terjadinya dekomposisi / kerusakan bahan yang dianalisis • Resolusi yang baik 10 • Dapat digunakan bermacam-macam detektor • Kolom dapat digunakan kembali • Mudah melakukan "sample recovery" Keterbatasan metode KCKT adalah untuk identifikasi senyawa, kecuali jika KCKT dihubungkan dengan spektrometer massa (MS). Keterbatasan lainnya adalah jika sampelnya sangat kompleks, maka resolusi yang baik sulit diperoleh (Munson, 1991). Kromatografi merupakan teknik yang mana solut atau zat-zat terlarut terpisah oleh perbedaan kecepatan elusi, dikarenakan solut-solut ini melewati suatu kolom kromatografi. Pemisahan solutsolut ini diatur oleh distribusi dalam fase gerak dan fase diam. Penggunaan kromatografi cair membutuhkan penggabungan secara tepat dari berbagai macam kondisi operasional seperti jenis kolom, fase gerak, panjang dan diameter kolom, kecepatan alir fase gerak, suhu kolom, dan ukuran sampel (Rohman, 2007). Putra (2004) menyatakan bahwa ada beberapa komponen penting di dalam KCKT. Komponen-komponen penting tersebut terdiri dari wadah fase gerak, pompa, injektor, kolom, detektor untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5. Diagram Blok KCKT 11