makalah gangguan jiwa post trauma stress disorder

advertisement
MAKALAH GANGGUAN JIWA
POST TRAUMA STRESS DISORDER
MENTAL HEALTH NURING BLOCK
SEMESTER 6
DI SUSUN OLEH:
SITI MAESAROH
DADAN BARDAH
BAKHTIAR NUR A.
TIKA PURWITA SARI
LAYNDO DHEANISA R.
HERDA INTAN K.
GUN ADI KOMARA
ATIKAH RAMADHANI
RATIH MUSTIKA N.
G1D011005
G1D011016
G1D011030
G1D011031
G1D011033
G1D011051
G1D011060
G1D011062
G1D011069
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEPERAWATAN
PURWOKERTO
2014
BAB I
PENDAHULUAN
Post traumatic stress disorder (PTSD) gangguan berupa kecemasan yang timbul
setelah seseorang mengalami peristiwa yang mengancam keselamatan jiwa atau fisiknya.
Peristiwa trauma ini bisa berupa serangan kekerasan, bencana alam yang menimpa
manusia, kecelakaan atau perang. Insidensi Post Trauma Stress Disorder (PTSD)
diperkirakan 9 sampai 15 persen. Sedangkan prevalensinya di populasi umum adalah 8
persen. Pada populasi yang mengalami risiko besar menghadapi pengalaman traumatis
prevalensinya dapat mencapai 75%. Wanita lebih sering mengalami PTSD dibanding
pria. PTSD bisa timbul pada usia kapan saja namun lebih sering pada usia dewasa muda.
Pada umumnya, trauma pada pria berhubungan dengan peperangan sedangkan pada
wanita sering disebabkan oleh tindakan pemerkosaan.Gangguan ini lebih sering
terjadi pada orang yang masih lajang, telah bercerai, orang yang menarikdiri secara
sosial atau orang dengan kelas sosioekonomi yang rendah. Pasien PTSD umumnya
memiliki tingkat komorbiditas yang tinggi.
Pada akhir 1990-an Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mulai mengumpulkan
informasi epidemiologis pada gangguan kesehatan mental di seluruh dunia. Pada
2008,
konsorsium penelitian
telah
mengumpulkan
data
dari
hampir
200.000
responden di 27 negara. Secara umum, perkiraan untuk berbagai prevalensi PTSD
seumur hidup dari yang rendah 0,3% di China sampai 6,1% di Selandia Baru.
Survei Replikasi Komorbiditas Nasional, yang dilakukan antara 2001 dan 2003 di
Amerika, terdiri wawancara dari sampel 9.282 orang Amerika berusia 18 tahun dan lebih
tua. Terdapat PTSD pada 5.692 peserta, dengan perkirakan prevalensi seumur hidup
PTSD di antara orang dewasa Amerika menjadi 6,8%. Prevalensi seumur hidup PTSD
di kalangan pria adalah 3,6% dan pada wanita sebesar 9,7%. Prevalensi dua belas bulan
adalah 1,8% di antara pria dan 5,2% pada wanita.
The National Vietnam Veterans Readjustment Study yang dilakukan antara 1986
dan 1988, terdiri dari 3.016 wawancara Veteran Amerika dipilih untuk menyediakan
sampel yang representatif dari mereka yang bertugas di angkatan bersenjata selama
era Vietnam. Prevalensi seumur hidup diperkirakan PTSD di antara Veteran adalah
30,9% untuk pria dan 26,9% untuk perempuan. Veteran Vietnam teater, 15,2% lakilaki dan 8,1% perempuan yang saat ini didiagnosis dengan PTSD pada saat
penelitian dilakukan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI PTSD
Post traumatic stress disorder (PTSD) merupakan suatu kondisi atau keadaan yang terjadi
setelah seseorang mengalami peristiwa traumatik atau kejadian buruk dalam hidupnya
(Sadock & Sadock, 2007 dalam Saniti, 2013).
Hikmat (2005) mengatakan PTSD sebagai sebuah kondisi yang muncul setelah
pengalaman luar biasa yang mencekam, mengerikan dan mengancam jiwa seseorang,
misalnya peristiwa bencana alam, kecelakaan hebat, sexual abuse (kekerasan seksual), atau
perang (Fuadi, 2011).
PTSD merupakan sindrom kecemasan, labilitas autonomic, ketidakrentanan emosional,
dan kilas balik dari pengalaman yang amat pedih itu setelah stress fisik maupun emosi yang
melampaui batas ketahanan orang biasa (Kaplan, Sadock, & Grebb, 1997 dalam Fuadi, 2011).
Johana E. Prawitasari (2012) mengatakan PTSD adalah gangguan kecemasan yang
disebabkan oleh peristiwa yang menegangkan, menakutkan, atau menyedihkan yang
dialaminya (Sari & Gusneli, 2013).
National Institute of Mental Health (NIMH) mendefinisikan PTSD sebagai gangguan
berupa kecemasan yang timbul setelah seseorang mengalami peristiwa yang mengancam
keselamatan jiwa atau fisiknya. Peristiwa trauma ini bisa berupa serangan kekerasan, bencana
alam yang menimpa manusia, kecelakaan atau perang (Anonim, 2005d dalam Wardhani &
Lestari, 2007).
B. JENIS-JENIS PTSD
Ada lima jenis utama dari Post Traumatic Stress Disorder (PTSD): normal stress
response, acute stress disorder, uncomplicated PTSD, comorbid PTSD dancomplex PTSD.
1. Normal Stress Response
Normal stress response terjadi ketika orang dewasa yang sehat telah terkena peristiwa
traumatis diskrit tunggal dalam pengalaman dewasa, misalnya kenangan buruk, mati rasa
emosional, perasaan ketidaknyataan, terputus dari hubungan atau ketegangan tubuh dan
kesusahan. Klien biasanya mencapai pemulihan lengkap dalam beberapa minggu.
Seringkali terapi kelompok sangat membantu.
2. Acute Stress Disorder
Acute stress disorder ditandai dengan reaksi panik, kebingungan mental, disosiasi,
insomnia parah, kecurigaan, dan tidak mampu melakukan perawatan diri, pekerjaan,
dan kegiatan sosial. Penatalaksanaandengan dukungan langsung, penghapusan trauma,
penggunaan obat-obatan untuk menanggulangi kesedihan, kecemasan, dan insomnia,
dan psikoterapi suportif singkat diberikan dalam konteks intervensi krisis.
3. Uncomplicated PTSD
Uncomplicated PTSD merupakan perulangan secara persisten dari peristiwa traumatik,
menghindari rangsangan yang terkait dengan trauma, mati rasa emosional, dan gejala
peningkatan gairah. Penatalaksanaan dengan terapi kelompok, psikodinamik, pendekatan
kognitif-behavioral, farmakologis, atau kombinasi.
4. ComorbidPTSD
Comorbid PTSD dengan gangguan kejiwaan lainnya sebenarnya jauh lebih umum
daripada PTSD uncomplicated. PTSD biasanya dikaitkan dengan setidaknya satu gangguan
kejiwaan utama lainnya seperti depresi, penyalahgunaan alkohol atau zat, gangguan panik,
dan gangguan kecemasan lainnya. Hasil terbaik dicapai ketika kedua PTSD dan gangguan
kejiwaan lainnya dirawat bersama-sama daripada satu demi satu. Hal ini terutama berlaku
untuk PTSD dan penyalahgunaan alkohol atau zat. Perawatan yang sama digunakan untuk
uncomplicated, dengan penambahan pengobatan yang dikelola dengan hati-hati untuk
masalah kejiwaan atau kecanduan lainnya.
5. ComplexPTSD
Complex PTSD (kadang-kadang disebut "Disorder Extreme Stres") ditemukan pada
klien yang telah mengalami situasi traumatik berkepanjangan, terutama selama masa
kanak-kanak, seperti pelecehan seksual. Klien sering didiagnosis dengan gangguan
kepribadian borderline atau antisosial atau gangguan disosiatif. Mereka menunjukkan
kesulitan perilaku (seperti impulsif, agresi, sexual acting out, gangguan makan,
penyalahgunaan alkohol atau narkoba, dan tindakan merusak diri sendiri), kesulitan
emosionalekstrim (seperti marah intens, depresi, atau panik) dan kesulitan jiwa (seperti
pikiran terfragmentasi, disosiasi, dan amnesia). Pengobatan klien sering membutuhkan
waktu lebih lama, dapat berlanjut pada tingkat yang jauh lebih lambat, dan membutuhkan
program pengobatan yang sensitif dan sangat terstruktur dari tim spesialis trauma (National
Center for PTSD, 2006).
C. ETIOLOGI
1. Etiologi Psikoanalisis
Bisa disebabkan pengalaman masa lalu yang tanpa disadari individu telah membuat
individu menjadi trauma dan cemas berlebihan. Dengan kata lain, ada konflik – konflik
tak sadar yang tetap tinggal tersembunyi dan merembes ke syaraf kesadaran.
2. Etiologi Kognitif
Adanya cara berpikir yang terdistorsi dan disfungsional, bisa meliputi beberapa hal
seperti : prediksi berlebihan terhadap rasa takut, keyakinan yang self – defeating atau
irasional, sensitiviras berlebihan terhadap ancaman, sensitivitas kecemasan, salah
mengatribusikan sinyal – sinyal tubuh,serta self – efficacy yang rendah.
3.
Etiologi berdasarkan pendekatan behavioral
Etiologi terjadinya PTSD dapat dijelaskan dengan menggunakan pendekatan
behavioral dengan kerangka pikir conditioning. Dalam perspektif classical Conditioning,
pengalaman traumatis berfungsi sebagai stimulus tak terkondisi yang dipasangkan dengan
stimulus netral seperti sesuatu yang dilihat, suara, dan bau yang diasosiasikan dengan
gambaran trauma. Pemaparan terhadap stimuli yang sama atau hampir sama
memunculkan kecemasan yang diasosiasikan dengan PTSD
D. TANDA DAN GEJALA
1. Merasakan kembali peristiwa traumatik
a. Secara berkelanjutan memiliki pikiran yang tidak menyenangkan mengenai
peristiwa traumatic
b. Mengalami mimpi buruk yang terus berulang
c. Bertindak atau merasakan seakan-akan peristiwatraumatic tersebut akan terulang
kembali, terkadang ini disebut sebagai flashback
d. Memiliki perasaan menderita yang kuat ketika teringat kembali peristiwa traumatic
tersebut
e. Terjadi respon fisikal, seperti detak jantung yang berdetak kencang
2. Menghindar
a. Berusaha menghindar pikiran, perasaan atau pembicaraan mengenai peristiwa
b.
c.
d.
e.
f.
traumatic
Berusaha menghindari tempat dan orang yang terkait dengan peristiwa traumatic
Sulit mengingat kembali peristiwa penting dari kejadian traumatic
Kehilangan ketertarikan dengan aktifitas positif yang penting
Merasa jauh dengan orang lain
Merasakan kehilangan atau kesulitan untuk merasakan perasaan-perasaan positif
seperti kesenangan dan lain-lain
g. Merasakan kehidupan seakan-akan terputus ditengah-tengah kehidupan yang
normal.
3. Waspada
a. Sulit tidur atau tidur dengan gelisah
b. Mudah marah meledak-ledak
c. Memiliki kesulitan untuk berkonsentrasi
d. Selalu merasa seperti sedang diawasi
e. Menjadi gelisah dan tidak tenang
E. FAKTOR RISIKO
F. PENCEGAHAN
1. Deteksi dini
Kemampuan untuk prescreen individu akan sangat membantu dalam mendapatkan
pengobatan untuk mereka yang berisiko PTSD sebelum perkembangan sindrom. Metode
lain untuk deteksi dini meliputi identifikasi faktor risiko spesifik yang terkait dengan
gejala PTSD.
2. Pembekalan psikologis
Bentuk pertama dari pengobatan pencegahan adalah bahwa dari pembekalan
psikologis. Pembekalan psikologis adalah tindakan preventif yang paling sering
digunakan. Salah satu alasan utama untuk ini adalah relatif mudah dengan yang perawatan
ini dapat diberikan kepada individu secara langsung mengikuti acara. Ini terdiri dari
wawancara yang dimaksudkan untuk memungkinkan individu untuk langsung
menghadapi acara tersebut dan berbagi perasaan mereka dengan konselor dan untuk
membantu menyusun kenangan mereka dari acara tersebut .
3. Intervensi risiko bertarget
Intervensi risiko yang ditargetkan adalah mereka yang berusaha untuk mengurangi
informasi formatif tertentu atau peristiwa. Hal ini dapat menargetkan pemodelan perilaku
normal, instruksi tugas, atau memberikan informasi tentang acara tersebut. Misalnya
korban perkosaan diberi sebuah video instruksi pada prosedur pemeriksaan forensik. Juga
termasuk dalam video itu saran tentang cara untuk mengidentifikasi dan menghentikan
perilaku penghindaran dan kontrol kecemasan. Akhirnya, individu-individu pemodelan
ujian forensik yang ditampilkan untuk tenang dan santai. Diagnosis PTSD bagi mereka
setelah melihat video adalah 33 % lebih sedikit daripada mereka setelah melewati
prosedur forensik standar.
4. Obat-obatan
Beberapa obat telah menunjukkan manfaat dalam mencegah PTSD atau mengurangi
insiden, ketika diberikan didekat peristiwa traumatis. Obat-obat ini termasuk :
a) Alpha - adrenergic agonis: laporan anekdotal dari keberhasilan dalam
menggunakan clonidine ( " Catapres " ) untuk mengurangi gejala stres traumatik
menunjukkan bahwa mungkin memiliki manfaat dalam mencegah PTSD .
b) Beta blockers: Propranolol ( " Inderal " ), mirip dengan clonidine, mungkin
berguna jika ada gejala yang signifikan dari " over gairah ". Ini dapat menghambat
pembentukan kenangan traumatis dengan menghalangi efek adrenalin pada
amigdala.
c) Glukokortikoid: Ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa pemberian
glukokortikoid segera setelah pengalaman traumatis dapat membantu mencegah
PTSD. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa orang yang menerima dosis
tinggi hidrokortison untuk pengobatan syok septik , atau operasi berikut, memiliki
insiden lebih rendah dan lebih sedikit gejala PTSD.
G. PENATALAKSANAAN
1. Farmakologi
a. Selective seotonin reuptak inhibitors (SSRIs)
SSRIs merupakan obat line pertama dan satu-satunya obat yang direkomendasikan
Food and Drug Administration (FDA) dalam mengatasi gejala cemas, depresi,
perilaku menghindar, dan pikiran yang intrusif (mengganggu) pada penderita
PTSD. Obat ini secara primer mempengaruhi neurotransmitter serotonin yang
penting untuk regulasi mood, anxietas, appetite, tidur, dan fungsi tubuh lainnya.
Obat ini meningkatkan jumah serotonin dengan cara menginhibisi reuptake
serotonin diotak. Penelitian menunjukkan bahwa manfaat maksimal dari SSRI’s
tergantug pada dosis yang cukup dan durasi pengobatan.
Obat golongan SSRIs antara lain:
1)
2)
3)
4)
Fluoxetine (Prozac) : 20mg-60mg sehari.
Sertraline (Zoloft) : 50 mg-200mg sehari
Citalopram (Celexa) : 20mg-60 mg sehari
Paroxetine (Paxil) : 20mg-60mg sehari
Diantara obat-obat diatas yang direkomendasikan FDA untuk first line medikasi
PTSD hanya sertraline dan paroxetine.
b. Mood stabilizers
Golongan ini dapat membantu mengatasi gejala arousal yang meninggi dan gejala
impulsif.
1) Dosis Carbamazepine (Tegretol): 6-12 tahun: 100mg/hari peroral untuk initial
lalu dapat dinaikkan hingga100mg/hari, untuk dosis maintenance; 20-30
mg/kg/hari>12 tahun: samapai kadar di plasma 8-12mcg/ml.
2) Dosis valporic acid (Depakene, depakote): 10-15 mg/kg/hari untuk dosisinitial
dan kemudian dapat ditingkatkan 5-10mg/kg/hari.
c. Beta adrenergic blocking agents
Obat yang digunakan golongan ini yakni, Propanolol (Inderal). Obat inidapat
mengatasi gejala hiperarousal. Dosis untuk anak-anak: 2,5 mg/kgBB/hari.
d. Antidepresan
Bekerja melui komninasi neurotransmitter lain atau melaui mekanisme berbeda
untuk mengubah neurotransmisi serotonin.
e. Atipikal Antipsikotik
Bertindak sebagai dopaninergik dan serotoninergik. Obat ini digunakan pada
pasien dengan psikotik sebagai komorbidnya. Atipikal Antipsikotik tidak
dianjurkan untuk monoterapi pada PTSD.
f. Benzodiazepin
Bekerja langsung pada system GABA yang menghasilkan efek menenangkan pada
system saraf.
2. Non Farmakologi
a. Terapi perilaku kognitif atau CBT
Ada beberapa bagian untuk CBT, yaitu:
1) Exposure therapy. Terapi ini membantu orang menghadapi dan mengendalikan
ketakutan mereka. Karena menghadapkan mereka ke trauma yang mereka
alami dengan cara yang aman. Menggunakan mental imagery, menulis, atau
kunjungan ke tempat di mana peristiwa itu terjadi. Terapis menggunakan alat
ini untuk membantu orang dengan PTSD mengatasi perasaan mereka. Terapi
ini dapat dilakukan dengan 2 cara:
a) Exposure in the imagination
Terapis bertanya kepada penderita untuk mengulang-ulang cerita secara
detail kenangan-kenangan traumatis sampai mereka tidak mengalami
hambatan untuk menceritakannya.
b) Exposure in reality
Terapis membantu untuk menghadapi situasi yang sekarang aman, tetapi
ingin dihindarkan karena menyebabkan ketakutan yang sangat kuat.
Pengulangan situasi yang disertai penyadaran yang berulang-ulang akan
membantu kita menyadari bahwa situasi lampau yang menakutkan tidak
lagi berbahaya dan kita dapat mengatasinya
2) Kognitif restrukturisasi. Terapi ini membantu orang memahami kenangan
buruk. Kadang-kadang orang mengingat kejadian berbeda dari bagaimana hal
itu terjadi. Mereka mungkin merasa bersalah atau malu tentang apa yang bukan
kesalahan mereka. Terapis membantu orang dengan PTSD melihat apa yang
terjadi dengan cara yang realistis.
3) Stress inoculation training. Terapi ini mencoba untuk mengurangi gejala PTSD
dengan mengajar orang bagaimana untuk mengurangi kecemasan. Seperti
restrukturisasi kognitif, pengobatan ini membantu orang melihat kenangan
mereka dengan cara yang sehat.
b. Cognitive therapy
Cognitive therapy adalah terapis membantu untuk merubah kepercayaan yang
tidak rasional yang mengganggu emosi dan mengganggu kegiatan -kegiatan kita.
Misalnya seorang korban kejahatan mungkin menyalahkan diri sendiri karena tidak
hati -hati. Tujuan kognitif terapi adalah mengidentifikasi pikiran-pikiran yang tidak
rasional, mengumpulkan bukti bahwa pikiran tersebut tidak rasional untuk melawan
pikiran tersebut yang kemudian mengadopsi pikiran yang lebih realistik untuk
membantu mencapai emosi yang lebih seimbang (Anonim, 2005b).
c. EMDR (Eye Movement Desensitization and Reprocessing)
EMDR adalah sebuah pendekatan psikoterapi yang bertumpu pada model
pemrosesan informasi di dalam otak. Jaringan memori dilihat sebagailandasan yang
mendasari patologi sekaligus kesehatan mental, karena jaringan-jaringan memori
adalah dasar dari persepsi, sikap dan perilakukita.Untuk memproses kembali informasi
di dalam otak/jaringan memori
d. Anxiety management
Anxienty management yairu terapis akan mengajarkan beberapa ketrampilan untuk
membantu mengatasi gejala PTSD dengan lebih baik melalui:
1) relaxation training, yaitu belajar mengontrol ketakutan dan kecemasan secara
sistematis dan merelaksasikan kelompok otot -otot utama,
2) breathing retraining, yaitu belajar bernafas dengan perut secara perlahan -lahan,
santai dan menghindari bernafas dengan tergesa-gesa yang menimbulkan
perasaan tidak nyaman, bahkan reaksi fisik yang tidak baik seperti jantung
berdebar dan sakit kepala,
3) positive thinking dan self-talk, yaitu belajar untuk menghilangkan pikiran
negatif dan mengganti dengan pikiran positif ketika menghadapi hal-hal yang
membuat stress (stresor),
4) asser-tiveness training, yaitu belajar bagaimana mengekspresikan harapan,
opini dan emosi tanpa menyalahkan atau menyakiti orang lain,
5) thought stopping, yaitu belajar bagaimana mengalihkan pikiran ketika kita
sedang memikirkan hal-hal yang membuat kita stress (Anonim, 2005b).
e. Terapi bermain (play therapy)
Terapi bermain mungkin berguna pada penyembuhan anak dengan PTSD. Terapi
bermain dipakai untuk menerapi anak dengan PTSD. Terapis memakai permainan
untuk memulai topik yang tidak dapat dimulai secara langsung. Hal ini dapat
membantu anak lebih merasa nyaman dalam berproses dengan pengalaman
traumatiknya (Anonim, 2005b).
f. Terapi debriefing
Terapi debriefing juga dapat digunakan untuk mengobati traumatik. Meskipun ada
banyak kontroversi tentang debriefing baik dalam literatur PTSD umum dan di dalam
debriefing yang dipimpin oleh bidan. Cochrane didalam systematic reviews-nya
merekomendasi-kan perlu untuk melakukan debriefing pada kasus korban -korban
trauma (Rose et al, 2002). Mengenai debriefing oleh bidan, Small gagal menunjukkan
secara jelas manfaatnya (Small et al., 2000). Meski begitu, Boyce dan Condon
merekomendasikan bidan untuk melakukan debriefing pada semua wanita yang
berpotensi mengalami kejadian traumatik ketika melahirkan (Boyce & Condon, 2000).
g. Support group therapy dan terapi bicara.
Dalam support group therapy seluruh peserta merupakan penderita PTSD yang
mempunyai pengalaman serupa (misalnya korban bencana tsunami, korban gempa
bumi) dimana dalam proses terapi mereka saling menceritakan tentang pengalaman
traumatis mereka, kemdian mereka saling memberi penguatan satu sama lain (Swalm,
2005). Sementara itu dalam terapi bicara memperlihatkan bahwa dalam sejumlah studi
penelitian dapat membuktikan bahwa terapi saling berbagi cerita mengenai trauma,
mampu memperbaiki kondisi jiwa penderita. Dengan berbagi, bisa memperingan
beban pikiran dan kejiwaan yang dipendam. Bertukar cerita membuat merasa senasib,
bahkan merasa dirinya lebih baik dari orang lain. Kondisi ini memicu seseorang untuk
bangkit dari trauma yang diderita dan melawan kecemasan (Anonim, 2005b).
h. Terapi psikodinamik
Terapi psikodinamik berfokus pada membantu orang tersebut memeriksa nilainilai pribadi dan konflik emosional yang disebabkan oleh peristiwa traumatis.
i.
Terapi keluarga
Terapi keluarga mungkin berguna karena perilaku orang dengan PTSD dapat
memiliki mempengaruhi anggota keluarga lainnya.
Pengelolaan kesehatan jiwa pasca bncana dibagi 2 tahap:
1.
Tahap I - tahap kegawatdaruratan akut. Hal yang harus dilakukan pada tahap
ini adalah mengelola keluhan psikiatrik yang mendesak.
2.
Tahap II - Tahap rekonsolidasi dilakukan setelah 4 minggun pasca bencana.
Kegiatan berupa pendidikan psikologis, dukungan psikologis,, dan lain-lain.
BAB III
PENUTUP
Post traumatic stress disorder (PTSD) merupakan suatu kondisi atau keadaan yang terjadi
setelah seseorang mengalami peristiwa traumatik atau kejadian buruk dalam hidupnya.
Terdapat lima jenis utama dari Post Traumatic Stress Disorder (PTSD): normal stress
response, acute stress disorder, uncomplicated PTSD, comorbid PTSD dancomplex PTSD.
PTSD dapat disebabkan oleh factor psikoanalisis, kognitif, dan berdasarkan pendekatan
behavioral. Tanda gejala yang biasanya muncul yaitu merasakan kembali peristiwa traumatic,
menghindar serta merasa waspada. Pencegahan dapat dilakukan dengan deteksi dini serta
pembekalan biologis maupun obat-obatan. Terapi yang diberikan pada penderita PTSD dapat
berupa terapi farmakologis maupun nonfarmakologis (CBT, kognitif restrukturisasi, Cognitive
therapy), EMDR (Eye Movement Desensitization and Reprocessing), anxiety management,
terapi bermain (play therapy), terapi debriefing, support group therapy dan terapi bicara,
terapi psikodinamik, terapi keluarga).
Download