MAKALAH GANGGUAN JIWA POST TRAUMA STRESS DISORDER MENTAL HEALTH NURING BLOCK SEMESTER 6 DI SUSUN OLEH: SITI MAESAROH DADAN BARDAH BAKHTIAR NUR A. TIKA PURWITA SARI LAYNDO DHEANISA R. HERDA INTAN K. GUN ADI KOMARA ATIKAH RAMADHANI RATIH MUSTIKA N. G1D011005 G1D011016 G1D011030 G1D011031 G1D011033 G1D011051 G1D011060 G1D011062 G1D011069 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN JURUSAN KEPERAWATAN PURWOKERTO 2014 BAB I PENDAHULUAN Post traumatic stress disorder (PTSD) gangguan berupa kecemasan yang timbul setelah seseorang mengalami peristiwa yang mengancam keselamatan jiwa atau fisiknya. Peristiwa trauma ini bisa berupa serangan kekerasan, bencana alam yang menimpa manusia, kecelakaan atau perang. Insidensi Post Trauma Stress Disorder (PTSD) diperkirakan 9 sampai 15 persen. Sedangkan prevalensinya di populasi umum adalah 8 persen. Pada populasi yang mengalami risiko besar menghadapi pengalaman traumatis prevalensinya dapat mencapai 75%. Wanita lebih sering mengalami PTSD dibanding pria. PTSD bisa timbul pada usia kapan saja namun lebih sering pada usia dewasa muda. Pada umumnya, trauma pada pria berhubungan dengan peperangan sedangkan pada wanita sering disebabkan oleh tindakan pemerkosaan.Gangguan ini lebih sering terjadi pada orang yang masih lajang, telah bercerai, orang yang menarikdiri secara sosial atau orang dengan kelas sosioekonomi yang rendah. Pasien PTSD umumnya memiliki tingkat komorbiditas yang tinggi. Pada akhir 1990-an Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mulai mengumpulkan informasi epidemiologis pada gangguan kesehatan mental di seluruh dunia. Pada 2008, konsorsium penelitian telah mengumpulkan data dari hampir 200.000 responden di 27 negara. Secara umum, perkiraan untuk berbagai prevalensi PTSD seumur hidup dari yang rendah 0,3% di China sampai 6,1% di Selandia Baru. Survei Replikasi Komorbiditas Nasional, yang dilakukan antara 2001 dan 2003 di Amerika, terdiri wawancara dari sampel 9.282 orang Amerika berusia 18 tahun dan lebih tua. Terdapat PTSD pada 5.692 peserta, dengan perkirakan prevalensi seumur hidup PTSD di antara orang dewasa Amerika menjadi 6,8%. Prevalensi seumur hidup PTSD di kalangan pria adalah 3,6% dan pada wanita sebesar 9,7%. Prevalensi dua belas bulan adalah 1,8% di antara pria dan 5,2% pada wanita. The National Vietnam Veterans Readjustment Study yang dilakukan antara 1986 dan 1988, terdiri dari 3.016 wawancara Veteran Amerika dipilih untuk menyediakan sampel yang representatif dari mereka yang bertugas di angkatan bersenjata selama era Vietnam. Prevalensi seumur hidup diperkirakan PTSD di antara Veteran adalah 30,9% untuk pria dan 26,9% untuk perempuan. Veteran Vietnam teater, 15,2% lakilaki dan 8,1% perempuan yang saat ini didiagnosis dengan PTSD pada saat penelitian dilakukan. BAB II PEMBAHASAN A. DEFINISI PTSD Post traumatic stress disorder (PTSD) merupakan suatu kondisi atau keadaan yang terjadi setelah seseorang mengalami peristiwa traumatik atau kejadian buruk dalam hidupnya (Sadock & Sadock, 2007 dalam Saniti, 2013). Hikmat (2005) mengatakan PTSD sebagai sebuah kondisi yang muncul setelah pengalaman luar biasa yang mencekam, mengerikan dan mengancam jiwa seseorang, misalnya peristiwa bencana alam, kecelakaan hebat, sexual abuse (kekerasan seksual), atau perang (Fuadi, 2011). PTSD merupakan sindrom kecemasan, labilitas autonomic, ketidakrentanan emosional, dan kilas balik dari pengalaman yang amat pedih itu setelah stress fisik maupun emosi yang melampaui batas ketahanan orang biasa (Kaplan, Sadock, & Grebb, 1997 dalam Fuadi, 2011). Johana E. Prawitasari (2012) mengatakan PTSD adalah gangguan kecemasan yang disebabkan oleh peristiwa yang menegangkan, menakutkan, atau menyedihkan yang dialaminya (Sari & Gusneli, 2013). National Institute of Mental Health (NIMH) mendefinisikan PTSD sebagai gangguan berupa kecemasan yang timbul setelah seseorang mengalami peristiwa yang mengancam keselamatan jiwa atau fisiknya. Peristiwa trauma ini bisa berupa serangan kekerasan, bencana alam yang menimpa manusia, kecelakaan atau perang (Anonim, 2005d dalam Wardhani & Lestari, 2007). B. JENIS-JENIS PTSD Ada lima jenis utama dari Post Traumatic Stress Disorder (PTSD): normal stress response, acute stress disorder, uncomplicated PTSD, comorbid PTSD dancomplex PTSD. 1. Normal Stress Response Normal stress response terjadi ketika orang dewasa yang sehat telah terkena peristiwa traumatis diskrit tunggal dalam pengalaman dewasa, misalnya kenangan buruk, mati rasa emosional, perasaan ketidaknyataan, terputus dari hubungan atau ketegangan tubuh dan kesusahan. Klien biasanya mencapai pemulihan lengkap dalam beberapa minggu. Seringkali terapi kelompok sangat membantu. 2. Acute Stress Disorder Acute stress disorder ditandai dengan reaksi panik, kebingungan mental, disosiasi, insomnia parah, kecurigaan, dan tidak mampu melakukan perawatan diri, pekerjaan, dan kegiatan sosial. Penatalaksanaandengan dukungan langsung, penghapusan trauma, penggunaan obat-obatan untuk menanggulangi kesedihan, kecemasan, dan insomnia, dan psikoterapi suportif singkat diberikan dalam konteks intervensi krisis. 3. Uncomplicated PTSD Uncomplicated PTSD merupakan perulangan secara persisten dari peristiwa traumatik, menghindari rangsangan yang terkait dengan trauma, mati rasa emosional, dan gejala peningkatan gairah. Penatalaksanaan dengan terapi kelompok, psikodinamik, pendekatan kognitif-behavioral, farmakologis, atau kombinasi. 4. ComorbidPTSD Comorbid PTSD dengan gangguan kejiwaan lainnya sebenarnya jauh lebih umum daripada PTSD uncomplicated. PTSD biasanya dikaitkan dengan setidaknya satu gangguan kejiwaan utama lainnya seperti depresi, penyalahgunaan alkohol atau zat, gangguan panik, dan gangguan kecemasan lainnya. Hasil terbaik dicapai ketika kedua PTSD dan gangguan kejiwaan lainnya dirawat bersama-sama daripada satu demi satu. Hal ini terutama berlaku untuk PTSD dan penyalahgunaan alkohol atau zat. Perawatan yang sama digunakan untuk uncomplicated, dengan penambahan pengobatan yang dikelola dengan hati-hati untuk masalah kejiwaan atau kecanduan lainnya. 5. ComplexPTSD Complex PTSD (kadang-kadang disebut "Disorder Extreme Stres") ditemukan pada klien yang telah mengalami situasi traumatik berkepanjangan, terutama selama masa kanak-kanak, seperti pelecehan seksual. Klien sering didiagnosis dengan gangguan kepribadian borderline atau antisosial atau gangguan disosiatif. Mereka menunjukkan kesulitan perilaku (seperti impulsif, agresi, sexual acting out, gangguan makan, penyalahgunaan alkohol atau narkoba, dan tindakan merusak diri sendiri), kesulitan emosionalekstrim (seperti marah intens, depresi, atau panik) dan kesulitan jiwa (seperti pikiran terfragmentasi, disosiasi, dan amnesia). Pengobatan klien sering membutuhkan waktu lebih lama, dapat berlanjut pada tingkat yang jauh lebih lambat, dan membutuhkan program pengobatan yang sensitif dan sangat terstruktur dari tim spesialis trauma (National Center for PTSD, 2006). C. ETIOLOGI 1. Etiologi Psikoanalisis Bisa disebabkan pengalaman masa lalu yang tanpa disadari individu telah membuat individu menjadi trauma dan cemas berlebihan. Dengan kata lain, ada konflik – konflik tak sadar yang tetap tinggal tersembunyi dan merembes ke syaraf kesadaran. 2. Etiologi Kognitif Adanya cara berpikir yang terdistorsi dan disfungsional, bisa meliputi beberapa hal seperti : prediksi berlebihan terhadap rasa takut, keyakinan yang self – defeating atau irasional, sensitiviras berlebihan terhadap ancaman, sensitivitas kecemasan, salah mengatribusikan sinyal – sinyal tubuh,serta self – efficacy yang rendah. 3. Etiologi berdasarkan pendekatan behavioral Etiologi terjadinya PTSD dapat dijelaskan dengan menggunakan pendekatan behavioral dengan kerangka pikir conditioning. Dalam perspektif classical Conditioning, pengalaman traumatis berfungsi sebagai stimulus tak terkondisi yang dipasangkan dengan stimulus netral seperti sesuatu yang dilihat, suara, dan bau yang diasosiasikan dengan gambaran trauma. Pemaparan terhadap stimuli yang sama atau hampir sama memunculkan kecemasan yang diasosiasikan dengan PTSD D. TANDA DAN GEJALA 1. Merasakan kembali peristiwa traumatik a. Secara berkelanjutan memiliki pikiran yang tidak menyenangkan mengenai peristiwa traumatic b. Mengalami mimpi buruk yang terus berulang c. Bertindak atau merasakan seakan-akan peristiwatraumatic tersebut akan terulang kembali, terkadang ini disebut sebagai flashback d. Memiliki perasaan menderita yang kuat ketika teringat kembali peristiwa traumatic tersebut e. Terjadi respon fisikal, seperti detak jantung yang berdetak kencang 2. Menghindar a. Berusaha menghindar pikiran, perasaan atau pembicaraan mengenai peristiwa b. c. d. e. f. traumatic Berusaha menghindari tempat dan orang yang terkait dengan peristiwa traumatic Sulit mengingat kembali peristiwa penting dari kejadian traumatic Kehilangan ketertarikan dengan aktifitas positif yang penting Merasa jauh dengan orang lain Merasakan kehilangan atau kesulitan untuk merasakan perasaan-perasaan positif seperti kesenangan dan lain-lain g. Merasakan kehidupan seakan-akan terputus ditengah-tengah kehidupan yang normal. 3. Waspada a. Sulit tidur atau tidur dengan gelisah b. Mudah marah meledak-ledak c. Memiliki kesulitan untuk berkonsentrasi d. Selalu merasa seperti sedang diawasi e. Menjadi gelisah dan tidak tenang E. FAKTOR RISIKO F. PENCEGAHAN 1. Deteksi dini Kemampuan untuk prescreen individu akan sangat membantu dalam mendapatkan pengobatan untuk mereka yang berisiko PTSD sebelum perkembangan sindrom. Metode lain untuk deteksi dini meliputi identifikasi faktor risiko spesifik yang terkait dengan gejala PTSD. 2. Pembekalan psikologis Bentuk pertama dari pengobatan pencegahan adalah bahwa dari pembekalan psikologis. Pembekalan psikologis adalah tindakan preventif yang paling sering digunakan. Salah satu alasan utama untuk ini adalah relatif mudah dengan yang perawatan ini dapat diberikan kepada individu secara langsung mengikuti acara. Ini terdiri dari wawancara yang dimaksudkan untuk memungkinkan individu untuk langsung menghadapi acara tersebut dan berbagi perasaan mereka dengan konselor dan untuk membantu menyusun kenangan mereka dari acara tersebut . 3. Intervensi risiko bertarget Intervensi risiko yang ditargetkan adalah mereka yang berusaha untuk mengurangi informasi formatif tertentu atau peristiwa. Hal ini dapat menargetkan pemodelan perilaku normal, instruksi tugas, atau memberikan informasi tentang acara tersebut. Misalnya korban perkosaan diberi sebuah video instruksi pada prosedur pemeriksaan forensik. Juga termasuk dalam video itu saran tentang cara untuk mengidentifikasi dan menghentikan perilaku penghindaran dan kontrol kecemasan. Akhirnya, individu-individu pemodelan ujian forensik yang ditampilkan untuk tenang dan santai. Diagnosis PTSD bagi mereka setelah melihat video adalah 33 % lebih sedikit daripada mereka setelah melewati prosedur forensik standar. 4. Obat-obatan Beberapa obat telah menunjukkan manfaat dalam mencegah PTSD atau mengurangi insiden, ketika diberikan didekat peristiwa traumatis. Obat-obat ini termasuk : a) Alpha - adrenergic agonis: laporan anekdotal dari keberhasilan dalam menggunakan clonidine ( " Catapres " ) untuk mengurangi gejala stres traumatik menunjukkan bahwa mungkin memiliki manfaat dalam mencegah PTSD . b) Beta blockers: Propranolol ( " Inderal " ), mirip dengan clonidine, mungkin berguna jika ada gejala yang signifikan dari " over gairah ". Ini dapat menghambat pembentukan kenangan traumatis dengan menghalangi efek adrenalin pada amigdala. c) Glukokortikoid: Ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa pemberian glukokortikoid segera setelah pengalaman traumatis dapat membantu mencegah PTSD. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa orang yang menerima dosis tinggi hidrokortison untuk pengobatan syok septik , atau operasi berikut, memiliki insiden lebih rendah dan lebih sedikit gejala PTSD. G. PENATALAKSANAAN 1. Farmakologi a. Selective seotonin reuptak inhibitors (SSRIs) SSRIs merupakan obat line pertama dan satu-satunya obat yang direkomendasikan Food and Drug Administration (FDA) dalam mengatasi gejala cemas, depresi, perilaku menghindar, dan pikiran yang intrusif (mengganggu) pada penderita PTSD. Obat ini secara primer mempengaruhi neurotransmitter serotonin yang penting untuk regulasi mood, anxietas, appetite, tidur, dan fungsi tubuh lainnya. Obat ini meningkatkan jumah serotonin dengan cara menginhibisi reuptake serotonin diotak. Penelitian menunjukkan bahwa manfaat maksimal dari SSRI’s tergantug pada dosis yang cukup dan durasi pengobatan. Obat golongan SSRIs antara lain: 1) 2) 3) 4) Fluoxetine (Prozac) : 20mg-60mg sehari. Sertraline (Zoloft) : 50 mg-200mg sehari Citalopram (Celexa) : 20mg-60 mg sehari Paroxetine (Paxil) : 20mg-60mg sehari Diantara obat-obat diatas yang direkomendasikan FDA untuk first line medikasi PTSD hanya sertraline dan paroxetine. b. Mood stabilizers Golongan ini dapat membantu mengatasi gejala arousal yang meninggi dan gejala impulsif. 1) Dosis Carbamazepine (Tegretol): 6-12 tahun: 100mg/hari peroral untuk initial lalu dapat dinaikkan hingga100mg/hari, untuk dosis maintenance; 20-30 mg/kg/hari>12 tahun: samapai kadar di plasma 8-12mcg/ml. 2) Dosis valporic acid (Depakene, depakote): 10-15 mg/kg/hari untuk dosisinitial dan kemudian dapat ditingkatkan 5-10mg/kg/hari. c. Beta adrenergic blocking agents Obat yang digunakan golongan ini yakni, Propanolol (Inderal). Obat inidapat mengatasi gejala hiperarousal. Dosis untuk anak-anak: 2,5 mg/kgBB/hari. d. Antidepresan Bekerja melui komninasi neurotransmitter lain atau melaui mekanisme berbeda untuk mengubah neurotransmisi serotonin. e. Atipikal Antipsikotik Bertindak sebagai dopaninergik dan serotoninergik. Obat ini digunakan pada pasien dengan psikotik sebagai komorbidnya. Atipikal Antipsikotik tidak dianjurkan untuk monoterapi pada PTSD. f. Benzodiazepin Bekerja langsung pada system GABA yang menghasilkan efek menenangkan pada system saraf. 2. Non Farmakologi a. Terapi perilaku kognitif atau CBT Ada beberapa bagian untuk CBT, yaitu: 1) Exposure therapy. Terapi ini membantu orang menghadapi dan mengendalikan ketakutan mereka. Karena menghadapkan mereka ke trauma yang mereka alami dengan cara yang aman. Menggunakan mental imagery, menulis, atau kunjungan ke tempat di mana peristiwa itu terjadi. Terapis menggunakan alat ini untuk membantu orang dengan PTSD mengatasi perasaan mereka. Terapi ini dapat dilakukan dengan 2 cara: a) Exposure in the imagination Terapis bertanya kepada penderita untuk mengulang-ulang cerita secara detail kenangan-kenangan traumatis sampai mereka tidak mengalami hambatan untuk menceritakannya. b) Exposure in reality Terapis membantu untuk menghadapi situasi yang sekarang aman, tetapi ingin dihindarkan karena menyebabkan ketakutan yang sangat kuat. Pengulangan situasi yang disertai penyadaran yang berulang-ulang akan membantu kita menyadari bahwa situasi lampau yang menakutkan tidak lagi berbahaya dan kita dapat mengatasinya 2) Kognitif restrukturisasi. Terapi ini membantu orang memahami kenangan buruk. Kadang-kadang orang mengingat kejadian berbeda dari bagaimana hal itu terjadi. Mereka mungkin merasa bersalah atau malu tentang apa yang bukan kesalahan mereka. Terapis membantu orang dengan PTSD melihat apa yang terjadi dengan cara yang realistis. 3) Stress inoculation training. Terapi ini mencoba untuk mengurangi gejala PTSD dengan mengajar orang bagaimana untuk mengurangi kecemasan. Seperti restrukturisasi kognitif, pengobatan ini membantu orang melihat kenangan mereka dengan cara yang sehat. b. Cognitive therapy Cognitive therapy adalah terapis membantu untuk merubah kepercayaan yang tidak rasional yang mengganggu emosi dan mengganggu kegiatan -kegiatan kita. Misalnya seorang korban kejahatan mungkin menyalahkan diri sendiri karena tidak hati -hati. Tujuan kognitif terapi adalah mengidentifikasi pikiran-pikiran yang tidak rasional, mengumpulkan bukti bahwa pikiran tersebut tidak rasional untuk melawan pikiran tersebut yang kemudian mengadopsi pikiran yang lebih realistik untuk membantu mencapai emosi yang lebih seimbang (Anonim, 2005b). c. EMDR (Eye Movement Desensitization and Reprocessing) EMDR adalah sebuah pendekatan psikoterapi yang bertumpu pada model pemrosesan informasi di dalam otak. Jaringan memori dilihat sebagailandasan yang mendasari patologi sekaligus kesehatan mental, karena jaringan-jaringan memori adalah dasar dari persepsi, sikap dan perilakukita.Untuk memproses kembali informasi di dalam otak/jaringan memori d. Anxiety management Anxienty management yairu terapis akan mengajarkan beberapa ketrampilan untuk membantu mengatasi gejala PTSD dengan lebih baik melalui: 1) relaxation training, yaitu belajar mengontrol ketakutan dan kecemasan secara sistematis dan merelaksasikan kelompok otot -otot utama, 2) breathing retraining, yaitu belajar bernafas dengan perut secara perlahan -lahan, santai dan menghindari bernafas dengan tergesa-gesa yang menimbulkan perasaan tidak nyaman, bahkan reaksi fisik yang tidak baik seperti jantung berdebar dan sakit kepala, 3) positive thinking dan self-talk, yaitu belajar untuk menghilangkan pikiran negatif dan mengganti dengan pikiran positif ketika menghadapi hal-hal yang membuat stress (stresor), 4) asser-tiveness training, yaitu belajar bagaimana mengekspresikan harapan, opini dan emosi tanpa menyalahkan atau menyakiti orang lain, 5) thought stopping, yaitu belajar bagaimana mengalihkan pikiran ketika kita sedang memikirkan hal-hal yang membuat kita stress (Anonim, 2005b). e. Terapi bermain (play therapy) Terapi bermain mungkin berguna pada penyembuhan anak dengan PTSD. Terapi bermain dipakai untuk menerapi anak dengan PTSD. Terapis memakai permainan untuk memulai topik yang tidak dapat dimulai secara langsung. Hal ini dapat membantu anak lebih merasa nyaman dalam berproses dengan pengalaman traumatiknya (Anonim, 2005b). f. Terapi debriefing Terapi debriefing juga dapat digunakan untuk mengobati traumatik. Meskipun ada banyak kontroversi tentang debriefing baik dalam literatur PTSD umum dan di dalam debriefing yang dipimpin oleh bidan. Cochrane didalam systematic reviews-nya merekomendasi-kan perlu untuk melakukan debriefing pada kasus korban -korban trauma (Rose et al, 2002). Mengenai debriefing oleh bidan, Small gagal menunjukkan secara jelas manfaatnya (Small et al., 2000). Meski begitu, Boyce dan Condon merekomendasikan bidan untuk melakukan debriefing pada semua wanita yang berpotensi mengalami kejadian traumatik ketika melahirkan (Boyce & Condon, 2000). g. Support group therapy dan terapi bicara. Dalam support group therapy seluruh peserta merupakan penderita PTSD yang mempunyai pengalaman serupa (misalnya korban bencana tsunami, korban gempa bumi) dimana dalam proses terapi mereka saling menceritakan tentang pengalaman traumatis mereka, kemdian mereka saling memberi penguatan satu sama lain (Swalm, 2005). Sementara itu dalam terapi bicara memperlihatkan bahwa dalam sejumlah studi penelitian dapat membuktikan bahwa terapi saling berbagi cerita mengenai trauma, mampu memperbaiki kondisi jiwa penderita. Dengan berbagi, bisa memperingan beban pikiran dan kejiwaan yang dipendam. Bertukar cerita membuat merasa senasib, bahkan merasa dirinya lebih baik dari orang lain. Kondisi ini memicu seseorang untuk bangkit dari trauma yang diderita dan melawan kecemasan (Anonim, 2005b). h. Terapi psikodinamik Terapi psikodinamik berfokus pada membantu orang tersebut memeriksa nilainilai pribadi dan konflik emosional yang disebabkan oleh peristiwa traumatis. i. Terapi keluarga Terapi keluarga mungkin berguna karena perilaku orang dengan PTSD dapat memiliki mempengaruhi anggota keluarga lainnya. Pengelolaan kesehatan jiwa pasca bncana dibagi 2 tahap: 1. Tahap I - tahap kegawatdaruratan akut. Hal yang harus dilakukan pada tahap ini adalah mengelola keluhan psikiatrik yang mendesak. 2. Tahap II - Tahap rekonsolidasi dilakukan setelah 4 minggun pasca bencana. Kegiatan berupa pendidikan psikologis, dukungan psikologis,, dan lain-lain. BAB III PENUTUP Post traumatic stress disorder (PTSD) merupakan suatu kondisi atau keadaan yang terjadi setelah seseorang mengalami peristiwa traumatik atau kejadian buruk dalam hidupnya. Terdapat lima jenis utama dari Post Traumatic Stress Disorder (PTSD): normal stress response, acute stress disorder, uncomplicated PTSD, comorbid PTSD dancomplex PTSD. PTSD dapat disebabkan oleh factor psikoanalisis, kognitif, dan berdasarkan pendekatan behavioral. Tanda gejala yang biasanya muncul yaitu merasakan kembali peristiwa traumatic, menghindar serta merasa waspada. Pencegahan dapat dilakukan dengan deteksi dini serta pembekalan biologis maupun obat-obatan. Terapi yang diberikan pada penderita PTSD dapat berupa terapi farmakologis maupun nonfarmakologis (CBT, kognitif restrukturisasi, Cognitive therapy), EMDR (Eye Movement Desensitization and Reprocessing), anxiety management, terapi bermain (play therapy), terapi debriefing, support group therapy dan terapi bicara, terapi psikodinamik, terapi keluarga).