tinjauan hasil kajian kerentanan dalam

advertisement
TINJAUAN HASIL KAJIAN KERENTANAN DALAM
PENGEMBANGAN STRATEGI ADAPTASI DI INDONESIA
TERKAIT PERUBAHAN IKLIM
MUHAMMAD RIDWAN SOLEH
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
ABSTRACT
MUHAMMAD RIDWAN SOLEH. The Study of Vulnerability Development Adaptation
Strategy in Indonesia Related To Climate Change. Supervised by YON SUGIARTO dan ARI
MOCH ARIF.
The impact of climate changes going increasingly worrying. It put Indonesia as one of the most
vulnerable countries affected by climate change. This study was conducted by reviewing the
studies that have been done by DNPI focused on adaptation strategies to climate change in
Indonesia. Especially to the vulnerability of food, health, and in coastal areas, which is expected to
anticipate losses due to the impact of greater climate change. The development of adaptation
strategies is a top priority that must be done, and the role of government in this case is The
National Council on Climate Change (NCCC), it is necessary to formulate, coordinate and control
the policies that is consistent with climate change adaptation. The cooperation of all parties to
participate in controlling climate change makes it especially important considering the process of
socialization and adaptation. It requires a synergistic follow-up between the government, private
sector, NGOs to the general public. Adaptation strategies of the results of this study is also
expected to reduce climate refugees due to climate change.
Keywords: Adaptation, Vulnerability, Climate Change, DNPI
ABSTRAK
MUHAMMAD RIDWAN SOLEH. Tinjauan Hasil Kajian Kerentanan dalam Pengembangan
Strategi Adaptasi di Indonesia Terkait Perubahan Iklim. Dibimbing oleh YON SUGIARTO dan
ARI MOCH ARIF.
Dampak perubahan iklim semakin mengkhawatirkan karena berdampak pada seluruh sektor baik
secara langsung maupun tidak langsung. Dampak tersebut menempatkan Indonesia sebagai salah
satu negara yang paling rentan terkena dampak dari perubahan iklim. Hasil kajian ini dilakukan
dengan meninjau kembali kajian yang telah dilakukan DNPI yang terfokus pada strategi adaptasi
terkait kerentanan perubahan iklim di Indonesia terutama terhadap kerentanan pangan, kesehatan,
dan di kawasan pesisir. Hasil kajian ini diharapkan menjadi salah satu cara untuk mengantisipasi
kerugian akibat dampak perubahan iklim yang lebih besar. Pengembangan strategi adaptasi
menjadi prioritas utama yang harus dilakukan, dan peranan pemerintah dalam hal ini yaitu Dewan
Nasional Perubahan Iklim (DNPI), sangatlah dibutuhkan untuk merumuskan, mengkoordinasi dan
mengendalikan kebijakan yang selaras dengan adaptasi perubahan iklim. Peran dan kerjasama
semua pihak untuk turut serta dalam pengendalian perubahan iklim menjadi hal yang sangat
penting mengingat proses sosialisasi dan adaptasi membutuhkan tindak lanjut yang sinergis antara
pemerintah, swasta, LSM hingga masyarakat umum. Strategi adaptasi dari hasil kajian ini juga
diharapkan dapat mengurangi pengungsi iklim akibat perubahan iklim yang semakin banyak.
Kata kunci: Adaptasi, Kerentanan, Perubahan Iklim, DNPI.
TINJAUAN HASIL KAJIAN KERENTANAN DALAM
PENGEMBANGAN STRATEGI ADAPTASI DI INDONESIA
TERKAIT PERUBAHAN IKLIM
MUHAMMAD RIDWAN SOLEH
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Departemen Geofisika dan Meteorologi
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Judul Skripsi
: Tinjauan Hasil Kajian Kerentanan dalam Pengembangan
Strategi Adaptasi di Indonesia Terkait Perubahan Iklim
Nama
: Muhammad Ridwan Soleh
Program Studi : Geofisika dan Meteorologi
NIM
: G24062789
Menyetujui,
Pembimbing I,
Pembimbing II,
(Yon Sugiarto, S.Si., M.Sc)
(Ari Moch. Arif, S.H., M.H)
NIP: 197406041998031003
Sekretaris Pokja Adaptasi DNPI
Mengetahui,
Ketua Departemen,
(Dr. Ir. Rini Hidayati, M.S)
NIP: 19600305 198703 2 002
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas Ridho dan izin-Nya, akhirnya
penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Tugas akhir yang berupa praktek lapang atau magang
ini dilaksanakan di Divisi Komunikasi, Informasi, dan Edukasi Dewan Nasional Perubahan Iklim
(DNPI) sejak Januari hingga Desember 2011. Judul dalam praktek lapang yang diambil adalah
Tinjauan Hasil Kajian Kerentanan dalam Pengembangan Strategi Adaptasi di Indonesia Terkait
Perubahan Iklim.
Dalam penyelesaian tugas akhir ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak
Yon Sugiarto, S.Si., M.Sc, Bapak Ari Moch Arif, S.H., M.H, yang telah membimbing penulis
dalam melakukan tugas akhir ini serta Ibu Amanda Katili Niode, Ph.D, dan Bapak Dicky Edwin
Hindarto atas perhatian dan support yang diberikan selama penulis melaksanakan penelitian di
DNPI. Apresiasi dan ungkapan terima kasih juga penulis haturkan kepada kedua orang tua tercinta,
Ayah Mohammad Soleh dan Mama Salminah, Rizki Amelia dan Mochammad Fachrizal kedua
adik kandung penulis. Ustadz Sulaiman, Ayu Fitriyani, Seluruh angkatan departemen GFM IPB
dan rekan-rekan DNPI yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas dukungan, motivasi dan
doa yang luar biasa untuk penulis.
Penulis menyadari dalam menyelesaikan tugas akhir ini masih terdapat kekurangan dan
kelemahan. Oleh karenanya masukan dan saran sangat penulis harapkan. Akhir kata, penulis
berharap tugas akhir yang berbentuk praktek lapang ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya
dan rekan-rekan yang membutuhkan pada umumnya.
Jakarta, Agustus 2012
M. Ridwan Soleh
RIWAYAT HIDUP
Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Bapak Mohammad Soleh,
SE dan Ibu Salminah. Dilahirkan di Jakarta pada tanggal 26 Agustus 1988. Penulis menghabiskan
masa kanak-kanak hingga dewasa di Jakarta.
Penulis memulai pendidikan di sebuah Taman Kanak-kanak (TK) Merpati, kemudian
melanjutkan studi di SDN Kebon Baru 03 Pagi serta SLTPN 115 Jakarta. Pada tahun 2006 penulis
berhasil menamatkan diri di SMA Negeri 26 Jakarta, kemudian diterima sebagai mahasiswa di
Institut Pertanian Bogor melalui jalur PMDK (Penulusuran Minat dan Bakat). Penulis memilih
bidang studi Mayor Meteorologi Terapan pada Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Selama mengikuti masa sekolah dan perkuliahan, penulis juga aktif dalam berbagai
organisasi siswa dan kemahasiswaan. Antara lain Kerohanian Islam (Rohis), Kelompok Ilmiah
Remaja (KIR), Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) IPB, Himpunan Mahasiswa Agrometeorologi
(Himagreto), dan Organisasi pemuda Masjid. Dalam menyelesaikan tugas akhirnya, penulis
mengambil tugas akhir berupa praktek lapang di Divisi Komunikasi, Informasi, dan Edukasi
DNPI.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL........................................................................................................................ i
DAFTAR GAMBAR................................................................................................................... ii
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................................................ iii
I.
PENDAHULUAN.................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang................................................................................................. 1
1.2 Tujuan.............................................................................................................. 1
II.
TINJAUAN PUSTAKA......................................................................................... 1
2.1 Iklim dan Kerentanan Sebagai Dampak Perubahan Iklim.............................
3
2.2 Kerentanan Pangan.......................................................................................... 3
2.3 Kerentanan Kesehatan..................................................................................... 4
2.4 Kerentanan Kawasan Pesisir........................................................................... 6
2.5 Adaptasi Perubahan Iklim............................................................................... 7
2.6 Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI)...................................................... 7
III.
METODOLOGI..................................................................................................... 8
3.1 Tempat dan Waktu Kajian.............................................................................. 8
3.1.1
Tempat Kajian................................................................................
8
3.1.2
Waktu Kajian.................................................................................. 8
3.2 Batasan Kajian................................................................................................ 8
3.3 Teknik Kajian.................................................................................................
9
3.3.1
Jenis Data.......................................................................................
9
3.3.2
Cara Pengumpulan Data Kajian.....................................................
9
3.3.2.1 Studi Dokumentasi/ Arsip................................................ 9
3.3.2.2 Aktifitas Magang di DNPI...............................................
9
3.3.2.2.1 Focus Group Discussion (FGD)...................... 9
IV.
3.3.2.2.2 Wawancara dan Pengisisan Kuesioner...........
9
3.4 Metode Analisis Kajian..................................................................................
9
3.4.1
Identifikasi Hasil Kajian DNPI......................................................
9
3.4.2
Analisis Keterkaitan Perubahan Iklim dengan Sektor Lain..........
10
3.4.3
Pengembangan Startegi Adaptasi................................................... 10
HASIL DAN PEMBAHASAN.............................................................................
10
4.1 Kondisi Iklim di Indonesia.............................................................................
10
4.2 Analisis Pengetahuan Masyarakat Terkait Perubahan Iklim........................
11
4.2.1
Persepsi Masyarakat Terkait Perubahan Iklim..............................
11
4.2.2
Indikator Perubahan Iklim.............................................................
13
4.3 Analisis Keterkaitan Perubahan Iklim dengan Sektor Lain...........................
13
4.3.1
Analisis Pengaruh Perubahan Iklim di Kawasan Pesisir...............
13
4.3.2
Analisis Pengaruh Perubahan Iklim Terhadap Kerentanan
Pangan...........................................................................................
4.3.3
15
Analisis Pengaruh Perubahan Iklim Terhadap Kerentanan
Kesehatan......................................................................................
18
4.4 Solusi Adaptasi Perubahan Iklim..................................................................
19
4.4.1
Solusi Terhadap Kawasan Pesisir..................................................
19
4.4.2
Solusi Terhadap Kerentanan Pangan.............................................. 20
4.4.3
Solusi Terhadap Kerentanan Kesehatan......................................... 21
4.4.3.1 Perbaikan Kinerja Pelayanan Kesehatan.........................
21
4.4.3.2 Perilaku Masyarakat yang Kurang Mendukung Pola
Hidup Bersih dan Sehat....................................................
21
4.4.3.3 Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit........................
22
4.4.3.4 Sarana Kesehatan.............................................................
22
4.5 Startegi Adaptasi............................................................................................. 22
4.5.1
Starategi Adaptasi dengan Local Wisdom....................................... 22
4.5.2
Pembuatan Kebijakan Selaras dengan Adaptasi
Perubahan Iklim.............................................................................. 22
4.5.3
Meningkatkan Kerjasama antar Kementerian/ Lembaga
dan Instansi...................................................................................... 22
4.5.4
Sosialisasi Perubahan Iklim............................................................. 23
4.5.4.1 Seminar Perubahan Iklim............................................. 23
4.5.4.2 Materi Publikasi........................................................... 23
4.5.4.3 Pameran Perubahan Iklim ........................................... 23
V.
KESIMPULAN DAN SARAN............................................................................... 23
5.1
Kesimpulan.................................................................................................... 23
5.2
Saran.............................................................................................................. 24
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................ 25
LAMPIRAN........................................................................................................................... 27
i
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 4.1
Hasil Pengetahuan Masyarakat Terkait Perubahan Iklim di
Sumatera Utara (DNPI, 2009)....................................................................
Tabel 4.2
12
Tren Pengurangan Luas Panen Akibat Perubahan Curah Hujan dan
Periode Musim Hujan (DNPI, 2009)............................................................
16
Tabel 4.3
Perbandingan Pola Tanam di Daerah Kajian (DNPI, 2009)..........................
18
Tabel 4.4
Respon Petani Terhadap Perubahan Iklim (DNPI, 2009)..............................
20
ii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1.
Pengaruh Perubahan Iklim, Suhu, Lingkungan, dan Kesehatan
(IPCC, 2007)..............................................................................................
Gambar 2.2.
Peta Potensi Kerentanan Demam Berdarah Dengue (DBD) Sebagai
Dampak Perubahan Iklim di Wilayah DKI Jakarta (DNPI, 2009).............
Gambar 2.3
6
Faktor Penyebab Kerentanan Kawasan Pesisir dan Pulau Kecil
(IPCC, 2007) .............................................................................................
Gambar 4.1.
5
6
Diagram Pengetahuan Masyarakat Mengenai Perubahan Iklim
(DNPI, 2011).............................................................................................. 11
Gambar 4.2.
Alur Perubahan iklim.................................................................................. 12
Gambar 4.3.
Diagram Pengetahuan Masyarakat Terkait Daerah Rentan
Perubahan Iklim (DNPI, 2011).................................................................... 12
Gambar 4.4
Potensi Kehilangan Areal Sawah Akibat Kenaikan Ketinggian
Muka Air Laut di Provinsi Banten (DNPI, 2009)...................................... 14
Gambar 4.5
Potensi Kehilangan Areal Sawah Akibat Kenaikan Ketinggian
Muka Air Laut di Provinsi Jawa Barat (DNPI, 2009)................................. 14
Gambar 4.6.
Alur Dampak Perubahan Iklim Terhadap Kesehatan
(dimodifikasi dari Patz et al, 2000).............................................................. 18
iii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1.
Struktur Kelembagaan DNPI (DNPI, 2012)...................................................
Lampiran 2.
Luas Potensi Kehilangan Lahan Sawah Akibat Kenaikan
27
Tinggi Muka Air Laut (DNPI, 2009)..............................................................
28
Lampiran 3.
Peta Lahan Terdegradasi Akibat Kenaikan Muka Air Laut (DNPI, 2009)..
29
Lampiran 4.
Peta Kerentanan Pangan Baseline di Indonesia (DNPI, 2009).......................
29
Lampiran 5.
Peta Kerentanan Pangan Akibat Perubahan Iklim di Indonesia
(DNPI, 2009)...................................................................................................
29
Kuesioner Pengetahuan Masyarakat Tentang Perubahan Iklim
(DNPI, 2011)...................................................................................................
30
Surat Keterangan Magang Penulis di DNPI....................................................
31
Lampiran 6.
Lampiran 7.
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perubahan Iklim adalah berubahnya iklim
yang diakibatkan langsung atau tidak
langsung, oleh aktivitas manusia yang
menyebabkan perubahan komposisi atmosfer
secara global serta perubahan variabilitas
iklim alamiah yang teramati pada kurun waktu
yang dapat dibandingkan (UU No. 31 Tahun
2009 Tentang Meteorologi, Klimatologi dan
Geofisika). Menurut Intergovernmental Panel
on Climate Change –IPCC (2001), perubahan
iklim merujuk pada variasi rata-rata kondisi
iklim suatu tempat atau pada variabilitasnya
yang nyata secara statistik untuk jangka waktu
yang panjang (biasanya dekade atau lebih).
Perubahan iklim global sebagai implikasi
dari pemanasan global telah mengakibatkan
ketidakstabilan atmosfer di lapisan bawah
terutama yang dekat dengan permukaan bumi.
Pemanasan global ini disebabkan oleh
meningkatnya gas-gas rumah kaca yang
dominan ditimbulkan oleh industri-industri.
Pengamatan temperatur global sejak abad 19
menunjukkan adanya perubahan rata-rata
temperatur yang menjadi indikator adanya
perubahan iklim. Perubahan temperatur global
ini ditunjukkan dengan naiknya rata-rata
temperatur hingga 0,74oC antara tahun 1906
sampai tahun 2005. (IPCC, 2001). Perubahan
temperatur atmosfer menyebabkan kondisi
fisis atmosfer kian tak stabil dan
menimbulkan terjadinya anomali-anomali
terhadap parameter cuaca yang berlangsung
lama. Dalam jangka panjang, anomali tersebut
akan menyebabkan terjadinya perubahan
iklim. Dampak-dampak yang ditimbulkan
oleh perubahan iklim tersebut sangat beragam
dan hampir mempengaruhi seluruh sektor
pembangunan, termasuk diantaranya adalah
kesehatan, pertanian, pangan, kehutanan, dan
kawasan pesisir. Perubahan iklim ini juga
menyebabkan berbagai daerah menjadi lebih
rentan dari sebelumnya.
Penanggulangan masalah perubahan
iklim perlu dilaksanakan oleh berbagai sektor
yaitu pemerintah pusat, pemerintah daerah,
sektor swasta, masyarakat madani, dunia
pendidikan, dan masing-masing individu
maupun pemangku kepentingan lainnya. Oleh
karena itu, untuk meningkatkan koordinasi
pelaksanaan pengendalian perubahan iklim
dan memperkuat posisi Indonesia di forum
internasional dalam pengendalian perubahan
iklim, maka dibentuklah Dewan Nasional
Perubahan Iklim (DNPI)
berdasarkan
Peraturan Presiden (Perpres) Republik
Indonesia Nomor 46 Tahun 2008.
Bebagai
dampak,
penyebab,
dan
pencegahan dari perubahan iklim menjadi
sorotan yang patut untuk diketahui, dibahas,
dan difahami, mengingat hal itu akan
menyangkut dampaknya di berbagai aspek
dalam kehidupan. Kesadaran semua pihak
menjadi
penentu
keberhasilan
penganggulangan dampak dari perubahan
iklim ini karena perubahan iklim tidak hanya
masalah pada daerah tertentu saja, melainkan
mencakup seluruh wilayah. Sosialisasi
perubahan iklim harus terus dilakukan untuk
meminimalisir bencana, akan tetapi faktor
kefektifitasan penyampaian hasil kajian
menjadi hal yang sangat penting pula untuk
dapat dikaji, agar hasil dari kajian dapat
dimanfaatkan semaksimal mungkin.
1.2 Tujuan
Kajian ini bertujuan untuk membahas
hasil kajian yang telah dilakukan oleh DNPI
terkait kerentanan perubahan iklim di sektor
pangan, kesehatan, dan di kawasan pesisir
terutama yang erat kaitannya dengan adaptasi
perubahan iklim, serta evaluasi kegiatan
sosialisasi keilmuan perubahan iklim di level
nasional.
Hasil
kajian
diharapkan
dapat
meningkatkan kesadaran dan keikutsertaan
masyarakat akan pentingnya efek bahaya dari
perubahan iklim.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Wilayah Indonesia terletak di daerah
tropis yang dilintasi oleh garis khatulistiwa,
sehingga dalam setahun matahari melintasi
ekuator sebanyak dua kali. Matahari tepat
berada di ekuator setiap tanggal 23 Maret dan
22 September. Sekitar April - September,
matahari berada di utara ekuator dan pada
Oktober - Maret matahari berada di selatan.
Pergeseran posisi matahari setiap tahunnya
menyebabkan sebagian besar wilayah
Indonesia mempunyai dua musim, yaitu
musim hujan dan musim kemarau. Pada saat
matahari berada di utara ekuator, sebagian
wilayah Indonesia
mengalami
musim
kemarau, sedangkan saat matahari ada di
2
selatan, sebagian besar wilayah Indonesia
mengalami musim penghujan (DNPI, 2009).
Unsur iklim yang sering dan menarik
untuk dikaji di Indonesia adalah curah hujan,
karena tidak semua wilayah Indonesia
mempunyai pola hujan yang sama.
Diantaranya ada yang mempunyai pola
munsonal, ekuatorial, dan lokal. Pola hujan
tersebut dapat diuraikan berdasarkan pola
masing-masing. Distribusi hujan bulanan
dengan pola monsun adalah adanya satu kali
hujan minimum.
Hujan minimum terjadi saat monsun
timur, sedangkan saat monsun barat terjadi
hujan yang berlimpah. Monsun timur terjadi
pada bulan Juni, Juli dan Agustus yaitu saat
matahari berada di garis balik utara. Oleh
karena matahari berada di garis balik utara,
maka udara di atas benua Asia mengalami
pemanasan yang intensif sehingga Asia
mengalami tekanan rendah. Berkebalikan
dengan kondisi tersebut di belahan selatan
tidak mengalami pemanasan intensif sehingga
udara di atas benua Australia mengalami
tekanan tinggi. Akibat perbedaan tekanan di
kedua benua tersebut maka angin bertiup dari
tekanan tinggi (Australia) ke tekanan rendah
(Asia) yaitu udara bergerak di atas laut yang
jaraknya pendek sehingga uap air yang
dibawanyapun sedikit. Dapat diamati bahwa
hujan maksimum terjadi antara bulan
Desember, Januari dan Februari. Pada kondisi
ini matahari berada di garis balik selatan
sehingga udara di atas Australia mengalami
tekanan rendah sedangkan di Asia mengalami
tekanan tinggi. Akibat dari hal ini udara
bergerak di atas laut dengan jarak yang cukup
jauh sehingga arus udara mampu membawa
uap air yang banyak (monsun barat atau barat
laut). Akibat dari hal ini wilayah yang dilalui
oleh munson barat akan mengalami hujan
yang tinggi (DNPI, 2009).
Atas dasar sebab terjadinya angin munson
barat ataupun timur yang mempengaruhi
terbentuknya pola hujan munsonal di beberapa
wilayah Indonesia, dapat dikatakan wilayah
yang terkena relatif tetap selama posisi
pergeseran semu matahari juga tetap. Namun,
perubahan diperkirakan akan terjadi terhadap
jumlah, intensitas dan durasi hujannya. Untuk
mempelajari hal ini diperlukan data curah
hujan dalam seri yang panjang (Susandi, et al
2008).
Seperti telah diketahui, pemanasan global
(global warming) adalah suatu fenomena
peningkatan temperatur global dari tahun ke
tahun, akibat terjadinya efek rumah kaca
(greenhouse effect), yang disebabkan oleh
meningkatnya emisi gas-gas rumah kaca,
seperti karbondioksida (CO 2 ), metana (CH 4 ),
dan dinitrooksida (N 2 O). Sebagian dari gasgas rumah kaca ini terserap oleh laut. Oleh
sebab itu diperlukan suatu penghitungan
potensi penyerapan/ emisi karbon perairan
Indonesia untuk mengetahui seberapa besar
kemampuan laut Indonesia dalam menyerap
karbon.
Selain itu, perlu juga dipahami dampak
lain
dari
pemanasan
global,
yaitu
meningkatnya kenaikan muka laut global. Di
Indonesia, kenaikannya diperkirakan berkisar
antara 20–100 cm dalam 100 tahun.
Berdasarkan
data
peningkatan
suhu
permukaan laut dan pencairan es di daerah
kutub, IPCC (1990) memperkirakan bahwa
pada kurun waktu 100 tahun, terhitung mulai
tahun 2000, muka air laut akan meningkat
setinggi 15 – 90 cm, dengan kepastian
peningkatan setinggi 48 cm (IPCC, 2007).
Oleh karena hal tersebut diatas,
Pemerintah
perlu
mengkaji
dan
mempertimbangkan
dampak
kerentanan
perubahan iklim dalam mengambil kebijakan
pembangunan. Bukan hanya bergantung pada
pendekatan mitigasi untuk mengurangi emisi
GRK dengan teknologinya saja, melainkan
pilihan adaptatif yang dilakukan berdasarkan
kearifan lokal yang dijalankan masyarakat
perlu dilakukan juga.
DNPI telah melakukan beberapa kegiatan
studi terkait kerentanan dan adaptasi di tingkat
nasional, dimulai dari tahun 2009, 2010, dan
2011 dengan mengkaji kerentanan terkait
perubahan iklim di level yang lebih detail,
karena dinilai cukup penting untuk melihat
kesiapan Pemerintah Daerah, khususnya
Pemerintah Provinsi dalam mengantisipasi
dampak dari perubahan iklim.
Pembahasan kembali dan evaluasi hasil
dari kajian yang telah dilakukan oleh DNPI
pada tahun 2009, 2010, dan 2011, diperlukan
agar kajian yang akan dilakukan pada tahuntahun berikutnya dapat diproyeksikan hingga
puluhan tahun kedepan, sehingga menjadi
lebih bermanfaat dan tepat sasaran untuk
semua kalangan, khususnya masyarakat
selaku korban langsung dampak perubahan
iklim, serta dapat disinergikan untuk
kepentingan bersama terutama dengan
memperhatikan kearifan lokalnya.
3
2.1 Iklim dan Kerentanan Sebagai
Dampak Perubahan Iklim
Perubahan iklim global sebagai implikasi
dari pemanasan global telah mengakibatkan
ketidakstabilan atmosfer di lapisan bawah
terutama yang dekat dengan permukaan bumi.
Pemanasan global ini disebabkan oleh
meningkatnya gas-gas rumah kaca yang
dominan ditimbulkan oleh industri-industri.
Gas-gas rumah kaca yang meningkat ini
menimbulkan
efek
pemantulan
dan
penyerapan terhadap gelombang panjang yang
bersifat panas (inframerah) yang diemisikan
oleh permukaan bumi kembali ke permukaan
bumi.
Dampak perubahan iklim semakin nyata
dirasakan.
Beberapa
kejadian
seperti
kerusakan dan penurunan kualitas sumber
daya lahan dan air; penurunan produksi dan
produktivitas tanaman pangan, semua itu akan
mengancam ketahanan pangan dan akan
berimplikasi kepada peningkatan jumlah
kemiskinan.
Dampak
tersebut
terus
bertambah parah seiiring dengan terus
meningkatnya ketergantungan kita pada
pemanfaatan sumber energi fosil yang
merupakan penyebab utama peningkatan
pemanasan global yang memicu terjadinya
perubahan iklim (DNPI, 2009).
Kerentanan perubahan iklim itu sendiri
menurut IPCC adalah tingkatan dimana suatu
sistem mudah terpengaruh terhadap, atau tidak
mampu menghadapi, efek buruk dari
perubahan iklim, termasuk variabilitas iklim
dan iklim ekstrim (IPCC, 2007).
2.2 Kerentanan Pangan
Masyarakat Indonesia telah menghadapi
berbagai bencana alam yang besar seperti
kekeringan, banjir, perubahan dan penurunan
fungsi hutan, gempa bumi, tanah longsor dan
kebakaran hutan. Kuantitas dan kontinuitas
produksi komoditas pangan dipengaruhi oleh
banyak faktor, salah satunya adalah kejadian
bencana alam karena faktor iklim. Bencana
alam merupakan fenomena alam yang sudah
biasa dihadapi oleh masyarakat Indonesia.
Pangan merupakan kebutuhan dasar
primer manusia sebagai mahluk hidup yang
membutuhkan karbohidrat, protein, lemak,
vitamin dan mineral.
Perubahan iklim berpengaruh pada
ketahanan pangan baik secara langsung
maupun tidak langsung. Secara langsung
misalnya dengan perubahan iklim maka akan
terjadi perubahan kapan turunnya hujan,
waktu musim tanam, banjir, kekeringan, dan
lain lain. Sementara secara tidak langsung
akan berpengaruh terhadapat perubahan harga
karena stok yang berkurang, dan pengaruh ke
distribusi makanan. Sebagai contoh di
beberapa wilayah Indonesia seperti Nusa
Tenggara Timur (NTT) atau Nusa Tenggara
Barat (NTB), pengaruh datangnya musim
kering yang berubah ternyata berpengaruh
besar pada produksi pertanian yang ada,
demikian juga dengan beberapa wilayah lain
di Jawa, seperti musim hujan yang ekstrim
menyebabkan areal padi menjadi puso/ gagal
panen. Pada wilayah pesisir, perubahan iklim
berpengaruh pada saat turun ke laut yang
terbatas karena besarnya gelombang yang
menyebabkan hasil tangkapan ikan dan hasil
laut lainnya menjadi lebih sedikit.
Kerentanan pangan harus dapat dikelola
dengan meminimalisasi besaran kerentanan
sebagai resultan dampak dari faktor-faktor
atau proses-proses fisik, sosial, ekonomik dan
lingkungan hidup. Kerentanan pangan yang
dapat dikelola dengan baik akan menjamin
tercapainya ketahanan pangan sebagai bagian
dari tujuan pembangunan nasional.
Kerentanan Rawan Pangan (KRP) di
suatu daerah menurut Badan Ketahanan
Pangan (BKP) dan WFP (World Food
Programme) tahun 2005, antara lain
ditentukan oleh 4 faktor/ kriteria, yaitu :
a.
b.
c.
d.
Persentase
luas
area/lahan
bervegetasi, terutama hutan;
Anomali curah hujan (terhadap nilai
hujan rataan selama 20-30 tahun);
Persentase
luas
areal
pertanian/sawah yang puso (resiko
gagal
panen),
akibat
banjir,
kekeringan dan hama penyakit;
Persentase
luas
areal
yang
mengalami resiko degradasi lahan
akibat erosi, banjir atau longsor.
Peningkatan intensitas dan frekuensi
badai, kekeringan dan banjir, perubahan siklus
hidrologi dan variasi penguapan memiliki
implikasi yang besar terhadap produksi bahan
pangan. Dampak perubahan kondisi iklim
terhadap produksi pertanian, baik tadah hujan
maupun irigasi, belum diketahui secara pasti.
Akan tetapi, negara-negara berkembang telah
dihadapkan pada masalah pangan yang kronis.
Dengan demikian, dampak perubahan iklim
juga harus difahami dan diperhitungkan dalam
4
sistem produksi pangan. Food and Agriculture
Organization (FAO) Committee on Food
Security, Report of 31st Session (2005)
mengungkapkan bahwa 11% dari lahan
pertanian di negara-negara berkembang
dipengaruhi oleh perubahan iklim, yang
dampaknya telah mengurangi produksi bahan
pangan biji-bijian di 65 negara dan telah
mengakibatkan 16% penurunan Gross
Domestic Product (GDP). Secara umum,
dampak
perubahan
iklim
dapat
diklasifikasikan menjadi dua kelompok:
dampak biofisik (biophysic) dan dampak
sosio-ekonomi (WHO, 2001).
Guna mengantisipasi dampak perubahan
iklim khususnya ancaman terhadap ketahanan
pangan dan energi, maka diperlukan kajian
ilmiah yang memberikan fakta akurat
mengenai hal tersebut guna membantu
pemerintah dalam mengeluarkan produkproduk kebijakan dan melaksanakan aksi
nyata baik di tingkat pusat maupun daerah.
Kerentanan sektor pertanian terhadap
perubahan iklim dapat didefinisikan sebagai
tingkat kekurangberdayaan suatu sistem
usahatani dalam mempertahankan dan
menyelamatkan tingkat produktivitasnya
secara optimal dalam menghadapi perubahan
iklim. Pada dasarnya kerentanan bersifat
dinamis sejalan dengan kehandalan teknologi,
kondisi sosial-ekonomi, sumberdaya alam dan
lingkungan. Kerentanan dipengaruhi oleh
tingkat keterpaparan (exposure) terhadap
bahaya dan kapasitas adaptif serta dinamika
iklim itu sendiri. Dampak adalah tingkat
kondisi kerugian, baik secara fisik, produk,
maupun secara sosial dan ekonomi yang
disebabkan oleh ancaman perubahan iklim
(DNPI, 2009).
Pertanian, terutama subsektor tanaman
pangan, paling rentan terhadap perubahan
iklim terkait tiga faktor utama, yaitu biofisik,
genetik, dan manajemen. Hal ini disebabkan
karena tanaman pangan umumnya merupakan
tanaman semusim yang relatif sensitif
terhadap air. Secara teknis, kerentanan sangat
berhubungan dengan sistem penggunaan lahan
dan sifat tanah, pola tanam, teknologi
pengelolaan tanah, air, dan tanaman, serta
varietas tanaman (Las., et al, 2008b). Tiga
faktor utama yang terkait dengan perubahan
iklim global, yang berdampak terhadap sektor
pertanian adalah: (1) perubahan pola hujan
dan iklim ekstrim (banjir dan kekeringan), (2)
peningkatan suhu udara, dan (3) peningkatan
muka laut.
Pemerintah
pada
dasarnya
sudah
menyadari bahwa aspek perubahan iklim dan
ketahanan pangan akan saling berkaitan
dengan jelas. Aspek iklim dan cuaca terkait
dengan segala fenomena yang terjadi dalam
kaitan ruang, ini menjadikan pengetahuan
geografi juga menjadi sangat penting dalam
perencanaan kegiatan antisipasi ketahanan
pangan dalam menghadapi perubahan iklim.
Diteliti lebih dalam lagi bahwa perubahan
iklim terkait erat dengan beberapa aspek,
misalnya terjadinya bencana alam seperti
banjir dan longsor melibatkan aspek
keruangan yang sangat jelas. Peran ilmu
geografi sangat diperlukan untuk mampu
memetakan wilayah-wilayah dengan kondisi
fisiknya
seperti
kelerengan,
iklim,
penggunaan tanah. Sesudah itu dapat
dilakukan analisis geografi yang lebih
mendalam dengan membuat analisis mengenai
dampak dari perubahan iklim, aktifitas
manusia dalam mengelola lingkungan, dll.
Outputnya
dapat
digunakan
dalam
pengambilan keputusan terkait dengan strategi
dalam menjamin adanya ketahanan pangan
bagi masyarakat.
2.3 Kerentanan Kesehatan
Dampak perubahan iklim terhadap
kesehatan dapat dibagi menjadi dua jenis,
yakni ekfek langsung dan efek tidak langsung.
Efek langsung adalah efek yang langsung
dirasakan oleh manusia akibat perubahan
iklim. Sedangkan efek tidak langsung adalah
efek yang dirasakan setelah lama terpapar
dengan perubahan iklim. Gambar 2.1
menjelaskan dengan singkat korelasi antara
berubahnya
iklim,
lingkungan,
dan
dampaknya
pada
keseatan
manusia.
5
Gambar 2.1 Pengaruh Perubahan Iklim, Suhu, Lingkungan, dan Kesehatan (IPCC 2007)
Dari sekian banyak golongan, masyarakat
miskin merupakan objek pertama yang akan
terkena dampak akibat perubahan iklim. Hal
ini disebabkan masyarakat yang masih berada
di bawah garis kemiskinan memiliki
infrastruktur dasar yang kurang dari standar
semestinya, serta keterbatasan akses sanitasi
dan jaringan air bersih.
Berpedoman pada Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 1018/Menkes/Per/V/2011
tentang Strategi Adaptasi Sektor Kesehatan
Terhadap
Dampak
Perubahan
Iklim,
bekerjasama dengan beberapa instansi terkait
telah merumuskan sejumlah strategi. Antara
lain, melaui sosialisasi dan advokasi,
pemetaan populasi dan daerah rentan,
meningkatkan sistem tanggap darurat, dan
menyiapkan peraturan perundangan. Strategi
lainnya adalah meningkatkan jangkauan
pelayanan kesehatan, pelatihan adaptasi untuk
masyarakat, program pencegahan dan
pengendalian,
peningkatan
kemitraan,
pemberdayaan
masyarakat,
serta
meningkatkan surveilans dan sistem nasional.
Pencegahan dampak perubahan iklim ini dapat
dimulai dari diri sendiri dengan berpedoman
pada perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS)
serta
menjaga
kelestarian
lingkungan
(ICCSR, 2010).
Fakta terjadinya perubahan iklim dan
posisi geografis Indonesia yang berada pada
wilayah endemik pertumbuhan nyamuk aedes
aegypti dan Anopheles menuntut masyarakat
untuk siap menghadapinya. Perubahan Iklim
akan mempercepat penyebaran virus Demam
Berdarah Dengue (DBD), karena dengan
berubahnya pola hujan, tingginya frekuensi
dan tidak teraturnya kejadian hujan serta suhu
yang menghangat akan meningkatkan jumlah
nyamuk
seiring
dengan
proses
perkembangbiakan nyamuk aedes aegypti dan
Anopheles yang berlangsung lebih cepat.
Memperhatikan proyeksi perubahan iklim
kedepan berdasarkan kondisi saat ini, maka
akan ada lokasi-lokasi yang semakin rentan
kesehatannya Dalam rangka mengantisipasi
munculnya wabah penyakit perlu dibuat
peringatan dini atau proyeksi kerentanan
wilayah-wilayah terhadap penyakit sebagai
dampak dari perubahan iklim (Gambar 2.2).
Pentingnya informasi keterkaitan perubahan
iklim, sosial kependudukan bisa menjadi
acuan untuk masyarakat dalam menekan
dampak yang diakibatkannya (DNPI, 2009).
6
Gambar 2.2 Peta Potensi Kerentanan DBD Sebagai Dampak Perubahan Iklim di Wilayah DKI
Jakarta (DNPI, 2009)
2.4 Kerentanan Kawasan Pesisir
Gambar 2.3 Faktor Penyebab Kerentanan Kawasan Pesisir dan Pulau Kecil (IPCC, 2007)
Kawasan Pesisir adalah daerah yang
paling rentan terhadap perubahan iklim.
Sebagian besar wilayah pesisir di Indonesia
adalah dataran rendah daerah pantai yang
merupakan salah satu areal potensial untuk
perkembangan budidaya ikan, dan pertanian.
Indonesia menjadi sangat rentan terhadap
kenaikan tinggi muka air laut, terutama
dengan penduduk yang padat di kawasan
pesisir.
Berbagai
hasil
penelitian
menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah
pesisir di Indonesia telah longsor pada
berbagai skala mulai dari kondisi rentan
menjadi buruk. Air laut telah menembus
sampai beberapa kilometer ke daratan. Oleh
karena hal tersebut, kajian mengenai
kerentanan terutama terkait kawasan pesisir
akan sangat dibutuhkan masyarakat umum
7
sehingga dampak
dikurangi.
perubahan
iklim
bisa
Perubahan
iklim
utamanya
akan
berdampak pada masyarakat yang bermukim
di wilayah pesisir dan mereka yang
menggantungkan hidupnya pada pertanian dan
perikanan yang peka iklim. Hal ini berarti, 65
persen masyarakat Indonesia yang bermukim
di wilayah pesisir akan terpengaruh, baik yang
berada di kota pesisir yang padat penduduk,
maupun masyarakat desa nelayan. Hal ini juga
berarti, masyarakat pedesaan yang memilki
penghidupan dari aktivitas yang berhubungan
dengan pertanian, perikanan dan hutan, akan
sangat terpukul. Sayangnya, masyarakat ini
umumnya adalah masyarakat termiskin di
Indonesia, yang memiliki sumber daya
terbatas
dalam
menghadapi
dampak
perubahan iklim.
Masyarakat pesisir sudah beradaptasi
terhadap berbagai perubahan yang terjadi di
wilayah pesisir, namun perubahan iklim akan
menyebabkan perubahan yang berbeda baik
terhadap dinamika pesisir maupun terhadap
perubahan muka laut yang dramatis. Dari
berbagai fakta di lapangan dan hasil prediksi
berbagai model fisis, terbangun sebuah asumsi
bahwa perubahan sifat fisis perairan pesisir
akan berlangsung secara bertahap dan bersifat
moderat.
Kenaikan muka laut merupakan dampak
perubahan iklim yang dapat dipahami dan
dirasakan secara langsung. Banjir pasang
(penggenangan), banjir, abrasi/erosi dan
intrusi air laut adalah beberapa aspek yang
mengancam wilayah pesisir, yang akan
menimbulkan kerugian.
2.5 Adaptasi Perubahan Iklim
Adaptasi adalah berbagai tindakan
penyesuaian diri terhadap kondisi atau
dampak perubahan iklim yang terjadi. Saat
ini, proses adaptasi sudah mulai dilakukan,
namun terbatas. Umumnya kegiatan yang
dilakukan merupakan respons dari interpretasi
yang sifatnya spesifik, misalnya adaptasi
terhadap peningkatan suhu rata-rata atau
kalender tanam pada sektor pangan;
pemeliharaan fasilitas kesehatan masyarakat
pada sektor kesehatan dan pembuatan
bendungan di kawasan pesisir.
2.6 Dewan Nasional Perubahan Iklim
DNPI
merupakan
suatu
badan
pemerintahan non-departemen yang dibentuk
berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 46
Tahun 2008 dengan maksud untuk
meningkatkan
koordinasi
pelaksanaan
pengendalian
perubahan
iklim
dan
memperkuat posisi Indonesia di forum
internasional dalam pengendalian perubahan
iklim. Adapun peran dan fungsi dari DNPI
diantaranya:
-
-
-
-
-
Merumuskan kebijakan nasional, strategi
program dan kegiatan pengendalian
perubahan iklim;
Mengoordinasikan
kegiatan
dalam
pelaksanaan
tugas
pengendalian
perubahan iklim yang meliputi kegiatan
adaptasi, mitigasi, alih teknologi dan
pendanaan;
Merumuskan
kebijakan
pengaturan
mekanisme dan tata cara perdagangan
karbon;
Melaksanakan pemantauan dan evaluasi
implementasi
kebijakan
tentang
pengendalian perubahan iklim;
Memperkuat posisi Indonesia untuk
mendorong negara-negara maju untuk
lebih
bertanggung
jawab
dalam
pengendalian perubahan iklim.
Dalam struktur kelembagaan, DNPI
diketuai oleh Presiden Republik Indonesia,
dengan Prof. (Hon). Ir. Rachmat Witoelar
sebagai
Ketua
Harian dan Menteri
Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat
serta
Menteri
Koordinator
Bidang
Perekonomian sebagai Wakil Ketua. Anggota
dari DNPI terdiri dari Menteri-menteri,
Sekretariat, dan Kepala Badan yang terkait
dengan permasalahan perubahan iklim.
Dalam
melaksanakan
tugas
dan
fungsinya, DNPI memiliki dua organ. Organ
pertama adalah kelompok kerja yang
berfungsi sebagai wadah think tank untuk
mempersiapkan draft ataupun melakukan
perbaikan kebijakan perubahan iklim.
Kelompok kerja DNPI terdiri dari delapan
kelompok kerja (pokja) yang memiliki fungsi
dan tugasnya masing-masing. Adapun
kelompok-kelompok kerja tersebut adalah:
Pokja Adaptasi; Mitigasi; Alih Teknologi;
Pendanaan; Negosiasi Internasional/ Pokja
2012; Kehutanan dan Alih Tata Guna Lahan;
Basis Ilmiah dan Inventarisasi Gas Rumah
Kaca; Masing-masing kelompok kerja
memiliki ketua/wakil ketua/ sekretaris dan
8
anggota dimana ketua/wakil ketua/sekretaris
serta anggota dari masing-masing kelompok
kerja
berasal
dari
berbagai
Kementerian/Lembaga
maupun
dari
akademisi/profesional yang ada dan terkait
dengan perubahan iklim dan sudah aktif
melaksanakan tugas dan fungsinya terkecuali,
Pokja Basis Ilmiah dan Inventarisasi Gas
Rumah Kaca yang belum aktif (Lampiran 1).
Organ selanjutnya adalah Sekretariat,
yang berfungsi sebagai wadah pendukung
untuk dewan dan pelaksanaan berbagai
koordinasi. Sekretariat ini terdiri dari
beberapa divisi, antara
lain: Divisi
Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE),
Mekanisme Perdagangan Karbon (MPK);
Pemantauan dan Evaluasi Pelaksanaan
Keputusan Dewan (PEPKD); Peningkatan
Kapasitas Penelitian dan Pengembangan;
Perencanaan, Peraturan dan Kerjasama; Serta
Divisi Administrasi Umum. Seperti halnya
dengan kelompok kerja, masing-masing divisi
memiliki unit-unit kerja pendukung dalam
melaksanakan tugas yang diamanatkan dan
sudah berjalan sampai saat ini, terkecuali
Divisi Perencanaan, Peraturan dan Kerjasama
yang belum aktif.
Divisi KIE adalah salah satu bagian dari
divisi di DNPI yang fokus pada pemberian
penyadaran
dan
pemahaman
kepada
masyarakat luas mengenai perubahan iklim
melalui berbagai sarana komunikasi yang
sesuai dengan sasaran yang dituju serta
merumuskan strategi komunikasi perubahan
iklim yang sesuai baik itu, dalam skala global
maupun nasional.
Pokja Adaptasi DNPI mengetengahkan
pada prioritas program adaptasi pertanian,
pengurangan resiko bencana, penyebaran
informasi perubahan iklim, pengembangan
rencana pembangunan yang integratif
terhadap perubahan iklim, penguatan rencana
infrastruktur dan desain terhadap dampak
cuaca ekstrim dan perubahan iklim.
III. METODOLOGI
3.1 Tempat dan Waktu Kajian
3.1.1 Tempat Kajian
Bentuk tugas akhir yang dilakukan adalah
berupa praktek lapang yang bertempat di
Divisi KIE DNPI, Jakarta. Alasan pemilihan
ini didasari oleh hasil peninjauan terhadap
berbagai Instansi/Lembaga Pemerintah yang
memiliki program-program yang memiliki
relevansi terhadap tema dari tugas akhir yang
sedang dikembangkan.
3.1.2 Waktu Kajian
Kajian dilaksanakan dalam dua tahap
meliputi:
1. Praktek lapang yang dilakukan di
DNPI.
2. Tinjauan hasil kajian kerentanan terkait
adaptasi perubahan iklim.
Tahapan yang dilakukan merupakan satu
kesatuan yang saling melengkapi, yaitu data
yang diperoleh pada tahap pertama dipadukan
dan dielaborasi dengan tahap kedua yang
dipergunakan dalam penulisan tugas akhir.
Tahap pertama, yaitu praktek lapang
dilaksanakan di Divisi KIE DNPI pada bulan
Mei 2011 sampai dengan bulan November
2011. Kegiatan ini bertujuan untuk
memperoleh gambaran yang komprehensif
mengenai DNPI dan Divisi KIE, serta
gambaran pendukung lainnya mengenai
kerentanan perubahan iklim dan adaptasinya
serta sosialisasi dari keilmuan perubahan
iklim secara umum.
Tahapan selanjutnya adalah tahap dua.
Pada tahapan ini dilakukan tinjauan terhadap
hasil kajian kerentanan yang dilakukan DNPI
pada tahun 2009, 2010, dan 2011, hingga pada
proses penulisan tugas akhir yang dilakukan
dan dilaksanakan pada bulan November 2011
hingga Januari 2012 (Lampiran 7).
3.2
Batasan Kajian
Batasan kajian tinjauan hasil kajian
kerentanan dalam pengembangan strategi
adaptasi terkait perubahan iklim secara umum
meliputi faktor penyebab, dampak yang
ditimbulkan hingga solusi adaptasi perubahan
iklim yang berpengaruh pada kerentanan
terhadap ketahanan pangan, kesehatan, dan
kawasan pesisir serta manfaat yang dihasilkan
dengan adanya kajian kerentanan ini.
9
3.3
Teknik Kajian
3.3.1 Jenis Data
Dalam kajian yang dilakukan, data yang
digunakan adalah data kuantitatif dan
kualitatif, berupa data primer dan sekunder.
Data kuantitatif merupakan data yang
disajikan dalam bentuk angka yang dalam
kajian ini berupa data statistik, literatur, dan
laporan atau publikasi lainnya yang berbentuk
angka, sedangkan data kualitatif merupakan
pandangan atau pendapat, konsep-konsep,
keterangan,
kesan-kesan,
tanggapantanggapan, dan lain-lain tentang sesuatu
keadaan yang berhubungan dengan kehidupan
manusia.
Data primer adalah data yang diperoleh
dari hasil survey dalam bentuk kuesioner dan
wawancara, diskusi kelompok, focused group
discussion (FGD) dan lokakarya yang
dilakukan dan diikuti. Sedangkan data
sekunder diperoleh dari data informasi
statistik, literatur, dan laporan kajian atau
publikasi serta kegiatan studi kepustakaan
terhadap berbagai dokumen dan arsip serta
data pendukung yang ada yang bersumber dari
instansi-instansi terkait.
3.3.2
Cara Pengumpulan Data Kajian
Teknik Pelaksanaan beberapa hasil kajian
yang telah dilakukan, melalui pendekatan
yang mencakup:
mengenai teknik kajian yang dilakukan,
sasaran kajian, dan target hasil dari kajian ini.
FGD kedua dilakukan untuk melaporkan hasil
data dan kesimpulan sementara yang telah
didapat, untuk memproyeksikan gambaran
keadaan yng nantinya akan didapati. FGD
ketiga adalah untuk mempresentasikan hasil
akhir yang terjadi di dearah tersebut, baik
dampak, dan solusi yang mereka harus
lakukan untuk dapat mengurangi efek dari
perubahan iklim.
3.3.2.2.2 Wawancara
Kuesioner
dan
Pengisian
Kegiatan survei lapang ini bertujuan
untuk mendapatkan data dan informasi dari
dampak perubahan iklim yang telah dirasakan
langsung oleh masyarakat. Data dan informasi
ini selanjutnya digunakan sebagai bahan
klarifikasi, konfirmasi, dan perbandingan dari
hasil analisis data-data sekunder yang meliputi
data iklim, dan hasil studi literatur.
Wawancara dilakukan oleh seorang
pewawancara dan seorang narasumber dengan
memberikan pertanyaan langsung kepada
mereka. Jawaban setiap pertanyaan yang
diberikan dituliskan oleh pewawancara di
lembar kuesioner. Hal ini dilakukan untuk
menghindari pemahaman yang berbeda dari
masyarakat terkait soal yang diajukan. Sesi
wawancara ini dilakukan dengan bahasa yang
dimengerti oleh masyarakat, sehingga apa
yang ditanyakan dan dijawab oleh mereka itu
sesuai.
3.3.2.1 Studi Dokumentasi/Arsip
3.4 Metode Analisis Kajian
Studi dokumentasi ini dilakukan untuk
mendapatkan data sekunder yang diperoleh
dengan melakukan studi kepustakaan atau
literatur (laporan, catatan, serta arsip lainnya)
yang bersumber dari instansi-instansi terkait
serta data pendukung lainnya mengenai aspekaspek yang terkait dengan kerentanan adaptasi
perubahan iklim, terutama kerentanan pangan,
kerentana kesehatan, dan kerentanan di
kawasan pesisir, serta pengembangannya yang
relevan dengan topik yang sedang dilakukan.
Metode analisis kajian ini terbagi menjadi
beberapa bagian:
3.3.2.2 Aktifitas Magang di DNPI
3.3.2.2.1 Focus Group Discussion (FGD).
FGD ketika pengamatan di Makassar dan
Gorontalo terbagi menjadi tiga tahapan.
Tahapan pertama dilakukan sebagai pembuka
kegiatan
pengamatan
kajian,
dengan
mempresentasikan kepada Pemerintah Daerah
3.4.1 Identifikasi Hasil Kajian DNPI
Identifikasi ini dilakukan melalui studi
dokumentasi dari hasil Kajian DNPI tahun
2009, 2010, dan 2011 yang menghasilkan data
kualitatif dan kuantitatif kegiatan adaptasi
kerentanan perubahan iklim di berbagai sektor
terutama terkait sebab dan dampak kerentanan
pangan, kesehatan, dan di kawasan pesisir
pada tahuh tersebut di wilayah Indonesia.
10
3.4.2
Analisis Keterkaitan Perubahan
Iklim dengan Sektor Lain
Hasil identifikasi selanjutnya dianalisis
terkait keterkaitan perubahan iklim dengan
kerentanan pangan, kesehatan, dan di kawasan
pesisir. Beberapa indikator perubahan iklim
adalah kecenderungan peningkatan suhu
udara, perubahan pola distribusi hingga
intensitas curah hujan yang meningkat dan
nantinya berpengaruh pada seluruh aspek.
3.4.3 Pengembangan Startegi Adaptasi
Hasil analisis keterkaitan perubahan iklim
dan sektor, nantinya akan menghasilkan solusi
adaptasi yang dapat disimpulkan untuk
menjadi bagian dari strategi adaptasi
perubahan
iklim
sehingga
dapat
dikembangkan lebih lanjut di kehidupan
masyarakat.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kondisi Iklim di Indonesia
Iklim di Indonesia pada dasarnya
ditentukan oleh sirkulasi monsun Asia dan
Australia yang dicirikan oleh sistem angin
dekat permukaan yang berubah arah hampir
sekitar setengah tahun sekali. Perubahan
tersebut menyebabkan pula perubahan musim
yang utama yakni musim penghujan dan
musim kemarau. Dalam literatur mengenai
monsun Asia, dikenal dengan adanya summer
monsoon dalam periode Juni-Juli-Agustus
(JJA) dan winter monsoon dalam periode
Desember-Januari-Februari (DJF). Periode ini
kurang lebih sama dengan apa yang dikenal
masyarakat awam di Indonesia dengan istilah
“Musim Timur“, yang identik dengan musim
kemarau dan “Musim Barat“ untuk musim
penghujan (khususnya di Pulau Jawa)
(DNPI, 2009).
Iklim di Indonesia telah menjadi lebih
hangat selama abad 20. Suhu rata-rata tahunan
telah meningkat sekitar 0,3oC sejak 1900
dengan suhu tahun 1990-an merupakan
dekade terhangat dalam abad ini dan tahun
1998 merupakan tahun terhangat, hampir 1oC
di atas rata-rata tahun 1961-1990. Peningkatan
kehangatan ini terjadi dalam semua musim di
tahun itu. Curah hujan tahunan telah turun
sebesar 2 hingga 3 persen di wilayah
Indonesia di abad ini dengan pengurangan
tertinggi terjadi selama perioda DesemberFebuari, yang merupakan musim terbasah
dalam setahun. Curah hujan di beberapa
bagian di Indonesia dipengaruhi kuat oleh
kejadian El Nino dan kekeringan umumnya
telah terjadi selama kejadian El Nino terakhir
dalam tahun 1082/1983, 1986/1987 dan
1997/1998. Perubahan yang terjadi itulah
yang membuat Indonesia menjadi negara yang
sangat rentan terhadap dampak dari perubahan
iklim (DNPI, 2009).
Secara umum, fenomena El Nino
dicirikan oleh menghangatnya suhu muka laut
seiring dengan melemahnya angin timuran di
tengah Pasifik sehingga daerah pertumbuhan
awan dan pembentukan hujan yang biasanya
terdapat di Pasifik Barat (termasuk wilayah
Indonesia) bergeser ke Pasifik Tengah
Sebaliknya, La Nina adalah terkait dengan
mendinginnya suhu muka laut seiring dengan
menguatnya angin timuran di Pasifik Tengah.
Hal ini menyebabkan peningkatan aktivitas
pembentukan awan dan hujan di Pasifik Barat
dan sebagian wilayah di Indonesia.
Indonesia merupakan salah satu negara
paling rentan terhadap ancaman dan dampak
dari perubahan iklim sehingga harus lebih
waspada. Perubahan iklim mengakibatkan
peningkatan frekuensi dan magnitute dari
cuaca ekstrim dan meningkatkan potensi
bencana iklim (banjir, kekeringan dan anomali
curah hujan).
Hasil kajian dan studi literatur
menunjukkan bahwa perubahan iklim
menyebabkan peningkatan variabilitas dan
peningkatan anomali curah hujan di beberapa
wilayah berupa tren penurunan curah hujan
serta pergeseran musim. Perlu dikaji lebih
dalam untuk menentukan tren jangka panjang
yang diakibatkan perubahan iklim atau variasi
yang terjadi dalam jangka tahunan. Diprediksi
bahwa sampai tahun 2050 peningkatan suhu
udara terkait pemanasan global di Indonesia
dapat mencapai 2°C dengan variasi yang
beragam di berbagai wilayah.
Kajian IPCC, organisasi yang dibentuk
tahun 1988 oleh Organisasi Meteorologi
Dunia (WMO) dan Program Lingkungan PBB
(UNEP), memperkirakan Indonesia akan
mengalami kenaikan suhu 1-4 derajat celsius
pada tahun 2050 (IPCC, 2007).
Sebagai negara kepulauan, Indonesia
sangat rentan terhadap dampak ganda
perubahan iklim. Meskipun kepastian
mengenai besarnya bahaya masih belum dapat
11
dipastikan, namun beberapa yang diperkirakan
akan sangat signifikan, yaitu:
• Curah hujan yang lebih tinggi.
Diperkirakan, akibat perubahan iklim,
Indonesia akan mengalami kenaikan
curah hujan 2-3 persen per tahun, serta
musim hujan yang lebih pendek (lebih
sedikit jumlah hari hujan dalam
setahun), yang menyebabkan resiko
banjir meningkat secara signifikan.
• Kenaikan permukaan air laut.
Daerah berpopulasi padat akan sangat
dipengaruhi oleh kenaikan permukaan
air laut. Ada sekitar 40 juta masyarakat
Indonesia yang bermukim dalam jarak
10m dari permukaan air laut rata-rata,
yang berarti sangat rentan terhadap
perubahan permukaan air laut.
• Ketahanan pangan.
Perubahan iklim akan mengubah curah
hujan, penguapan, limpasan air, dan
kelembapan
tanah;
yang
akan
mempengaruhi produktivitas pertanian.
Kesuburan tanah akan berkurung 2-8
persen dalam jangka panjang, yang
akan berakibat pada penurunan
produksi tahunan padi sebesar 4 persen,
kedelai sebesar 10 persen, dan jagung
sebesar 50 persen. Sebagai tambahan,
kenaikan permukaan air laut akan
menggenangi tambak di pesisir, dan
berpengaruh pada produksi ikan dan
udang di seluruh negeri.
• Pengaruh pada keanekaragaman bahari.
Diperkirakan bahwa iklim yang
berubah akan meningkatkan suhu air
laut Indonesia sebesar 0.2 – 2.5oC. Hal
ini akan menambah tekanan pada
50,000 km2 terumbu karang, yang
sudah
dalam
keadaan
darurat.
Pemutihan
terumbu
karang
diperkirakan akan meningkat secara
konstan pada suhu air laut, seperti yang
diamati pada saat terjadinya El Nino.
• Peningkatan berjangkitnya
yang dibawa air dan vektor.
penyakit
Walaupun hubungan antara perubahan
iklim dan masalah kesehatan belum
banyak diteliti, ada potensi bahwa
berjangkitnya penyakit yang dibawa air
dan vector akan meningkat. Beberapa
berspekulasi
bahwa
peningkatan
berjangkitnya kasus demam berdarah
selama musim hujan di Indonesia,
sebagiannya mungkin saja disebabkan
oleh iklim yang lebih hangat
(World Bank, 2010).
Berbagai wilayah di Indonesia memiliki
kerentanan tinggi terhadap dampak perubahan
iklim dan memerlukan upaya adaptasi,
misalnya terhadap perubahan curah hujan,
kekurangan air/kekeringan, banjir, kenaikan
muka air laut, cuaca ekstrim, dan penyakit
menular. Hingga saat ini Pemerintah
Indonesia telah melakukan berbagai upaya
dalam menangani dampak perubahan iklim,
yang
diperkirakan
akan
semakin
membahayakan
pencapaian
target
pembangunan jangka panjang apabila tidak
dilakukan antisipasi.
4.2 Analisis Pengetahuan Masyarakat
Mengenai Perubahan Iklim.
4.2.1 Persepsi/ Pengetahuan Masyarakat
Terhadap Perubahan Iklim
Secara umum hampir semua masyarakat
yang terdiri dari bebagai sektor, baik itu dari
sektor pemerintah, swasta, pendidikan,
maupun dari masyarakat mengetahui adanya
perubahan yang terjadi pada iklim saat ini,
dan hanya sebagian kecil yang tidak tahu.
Pengetahuan Masyarakat
Apakah Iklim Sudah Berubah
Tidak
3%
Ya
97%
Gambar 4.1 Diagram Pengetahuan
Masyarakat Mengenai
Perubahan Iklim
(DNPI, 2011)
Berbagai masyarakat yang mengetahui
adanya perubahan iklim merasakan perubahan
itu sejak sepuluh tahun terakhir. Mereka
merasakannya fenomena perubahan iklim
dengan suhu udara yang semakin panas, curah
hujan yang tinggi di waktu tertentu namun di
waktu lain sangat jarang, musim kemarau
yang lebih panjang, pergeseran masa tanam
dan masa panen, sehingga menggeser pula
produksi di sektor pertanian, perkebunan, dan
sektor lainnya yang terkena dampak dari
12
perubahan iklim, karena kurangnya pasokan
air (Tabel 4.1).
Gambar
4.1
menunjukan
respon
masyarakat sebesar 97% dari semua kalangan
usia sudah mengetahui terjadinya perubahan
iklim dan hanya sebagian kecil masyarakat
yang tidak tahu akan terjadinya perubahan
iklim yaitu sebesar 3% beralasan bahwa
perubahan yang terjadi hanyalah bersifat
alamiah, jadi merupakan sesuatu hal yang
wajar.
Berdasarkan dari data masyarakat yang
terdapat pada 3 kajian DNPI (2009, 2010, dan
2011) mengenai kerentanan perubahan iklim,
didapati bahwa masih banyak korespoden
mengetahui perubahan iklim itu hanya pada
dampak yang ditimbulkan, bukan pada
keilmuan perubahan iklim itu sendiri, yang
mana melalui proses pada Gambar 4.2. Pada
gambar tersebut, dijelaskan urutan/alur
terjadinya perubahan iklim hingga berpotensi
menjadi bencana.
Emisi Gas Rumah Kaca
Tabel 4.1 Hasil Pengetahuan Masyarakat
Terkait Perubahan Iklim di
Sumatera Utara (DNPI, 2009)
No
Kabupaten/Kota
1
Kab. Deli Serdang
2
Kab. Simalungun
3
Kab. Asahan
4
Kab. Dairi
5
Kab. Tobasa
6
Kab. Tapanuli
Tengah
7
Kota Medan
8
Kota Sibolga
Persepsi/Pengertian
Perubahan Iklim
Cuaca semakin panas,
curah hujan tidak
menentu, banjir
Cuaca semakin panas, air
semakin sulit
Udara menjadi panas, air
sulit
Udara semakin panas, air
sulit, kekeringan
Suhu udara semakin
panas, air sulit,
kekeringan
suhu udara menjadi
panas, hujan tidak
menentu, banjir
Suhu udara semakin
panas, air bersih sulit,
banjir
cuaca semakin panas,
banjir, sulit air pada
waktu tertentu
Efek Rumah Kaca
Pemanasan Global
Perubahan Iklim
Risiko Bencana
Gambar 4.2 Alur Perubahan Iklim
(DNPI, 2011)
Masyarakat pada umumnya keliru
mengenai maksud dan pengertian dari efek
rumah kaca. Banyak masyarakat menilai efek
rumah kaca adalah efek dari banyaknya rumah
dan gedung-gedung yang berkaca. Sedangkan
yang sebenarnya kita ketahui, bahwa efek
rumah kaca adalah ungkapan kiasan yang
bemakna terjadinya pemanasan yang terjadi di
bumi seperti efek pemanasan yang terjadi di
dalam sebuah rumah kaca.
Daerah Rentan Perubahan Iklim
250
200
Jumlah
masyarakat
150
100
50
0
Kawasan
pantai
Kawasan
Kawasan
Pegunungan Perkotaan
Kawasan
Perumahan
Kawasan
Pertanian
Kawasan
Industri
Gambar 4.3 Diagram Pengetahuan Masyarakat Daerah Rentan Perubahan Iklim (DNPI, 2011)
13
Pengetahuan
masyarakat
terkait
perubahan
iklim
semakin
membaik
dikarenakan sosialisasi dan kepeduliaan
masyarakat untuk dunia dan lingkungan di
Indonesia yang baik semakin membesar. Hal
tersebut ditunjang dengan diagram hasil
kuesioner yang diisi oleh masyarakat pada
Gambar 4.3 mengenai pengetahuan mereka
tentang daerah yang rentan terhadap dampak
dari perubahan iklim. Dari data tersebut
menunjukkan kawasan perkotaan menjadi
daerah yang terpaling rentan dikarenakan
banyaknya Sumber Daya Manusia di daerah
tersebut. Sedangkan kawasan pantai termasuk
kedalam daerah rentan, dikarenakan efek dari
pemanasan global yang menyebabkan
perubahan iklim mencairkan es di kutub utara
sehingga menaikkan tinggi muka air laut
dunia.
4.2.2
Indikator Perubahan Iklim
Fenomena
perubahan
iklim yang
dirasakan berbagai sektor hampir sama
dengan pengertian perubahan iklim yang
dimengerti oleh mereka. Dimulai dari
perubahan suhu atau cuaca yang semakin
panas, curah hujan yang tidak menentu,
berkurangnya pasokan air bersih, perubahan
pola tanam dan masa panen hingga terjadinya
banyak bencana yang terjadi saat ini.
Sedangkan menurut IPCC itu sendiri ada
beberapa indikator terkait perubahan iklim,
salah satunya adalah temperatur, dimana
IPCC tahun 1990, 1992 dan 2001 dalam
laporannya menyatakan bahwa sejak 140
tahun lalu, rata-rata temperatur udara
permukaan bumi mengalami peningkatan
sekitar 0.45 ± 0.15 derajat Celsius (IPCC,
2007).
Fenomena
perubahan
iklim yang
dirasakan masyarakat pada umumnya berupa:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
Perubahan suhu udara atau cuaca
yang semakin panas;
Curah hujan yang tidak menentu;
Perubahan pola musim;
Terjadinya badai atau puting beliung;
Kekeringan;
Banyaknya bencana yang terjadi;
4.3
Analisis Keterkaitan Perubahan Iklim
dengan Sektor lain.
4.3.1 Analisis Pengaruh Perubahan Iklim
di Kawasan Pesisir.
Peningkatan suhu atmosfer akan diikuti
oleh peningkatan suhu di permukaan air laut,
sehingga volume air laut meningkat maka
tinggi permukaan air laut juga akan
meningkat. Pemanasan atmosfer akan
mencairkan es di daerah kutub terutama di
sekitar pulau Greenland (di sebelah utara
Kanada), sehingga akan meningkatkan
volume
air
laut.
Kejadian
tersebut
menyebabkan tinggi muka air laut di seluruh
dunia meningkat antara 10 - 25 cm selama
abad ke-20. Para ilmuan IPCC memprediksi
peningkatan lebih lanjut akan terjadi pada
abad ke-21 sekitar 9 - 88 cm. Dengan merujuk
kajian IPCC secara global dan UNDP untuk
wilayah Indonesia, maka peningkatan tinggi
muka air yang disimulasikan adalah sebesar
0.5 dan 1 meter (ICCSR, 2010).
IPCC
(2007)
melaporkan
bahwa
peningkatan tinggi muka air laut secara global
sejak permulaan abad ke 20 dengan
kecenderungan laju peningkatan yang
semakin
tinggi.
Berbagai
skenario
peningkatan suhu udara global menduga
bahwa peningkatan tinggi muka air laut
adalah berkisar antara 0.18 – 0.59 meter pada
akhir abad 21. Untuk kawasan Indonesia
dengan karateristik wilayah kepulauan yang
sangat banyak, UNDP (2007) menyatakan
bahwa dampak perubahan iklim dalam hal
peningkatan suhu global dapat meningkatkan
tinggi air laut antara 0.9 hingga 1 meter
terdapat variasi yang besar dari laju
peningkatan tinggi muka air laut yang terukur
pada berbagai stasiun observasi di Indonesia.
Variasi yang besar tersebut disebabkan oleh
proses erosi pesisir pantai yang tidak seragam
bersamaan dengan penurunan permukaan
tanah (land subsiding) di daerah pesisir.
Namun
hasil
pengukuran
tersebut
memberikan bukti bahwa peningkatan tinggi
muka air laut memang terjadi dengan besaran
yang bervariasi.
Perubahan tinggi muka laut akan sangat
mempengaruhi kehidupan di daerah pantai.
Dengan meningkatnya permukaan air laut,
peluang terjadi erosi tebing, pantai, dan bukit
pasir juga akan meningkat. Bila tinggi lautan
mencapai muara sungai, maka banjir akibat air
pasang akan meningkat di daratan. Bahkan
14
dengan sedikit peningkatan tinggi muka laut
sudah cukup mempengaruhi ekosistem pantai,
dan menenggelamkan sebagian dari rawarawa pantai.
Hasil analisis citra satelit untuk
penutupan lahan di Indonesia menunjukkan
bahwa luas areal pertanian sawah sebesar
6,898,335 ha atau sebesar 3.48% dari luas
total daratan. Hampir setengah atau sebesar
49.72% dari areal persawahan tersebut
terletak di Pulau Jawa. Hal ini berarti bahwa
penyumbang produksi padi yang terbesar
adalah berasal dari Pulau Jawa. Gambar 4.4
dan Gambar 4.5 menggambarkan proyeksi
besarnya kehilangan luas areal sawah karena
peningkatan tinggi muka air laut berkisar
antara 0,5-1 mdpl, dimana luas areal yang
hilang akibat kenaikan tinggi muka air laut
adalah bagian utara, dan seperti yang kita
ketahui bagian utara adalah daerah penghasil
pangan di Pulau Jawa. Hasil proyeksi kajian
seperti ini akan membantu pemerintah untuk
dapat meminimalisir dampak dan kerugian di
akibat dampak dari perubahan iklim di waktu
mendatang (DNPI, 2009).
Gambar 4.4 Potensi Kehilangan Areal Sawah Akibat Kenaikan Ketinggian Muka Air Laut di
Provinsi Banten (DNPI, 2009)
Gambar 4.5 Potensi Kehilangan Areal Sawah Akibat Kenaikan Ketinggian Muka Air Laut di
Provinsi Jawa Barat (DNPI, 2009)
15
Hasil Analisis yang dilakukan dengan
skenario peningkatan 50 cm tinggi muka air
laut, maka Indonesia berpotensi kehilangan
luas lahan pertanian sawah sebesar 322.091 ha
atau 4.67%. Sedangkan dengan skenario
peningkatan 1 m tinggi muka air laut, maka
Indonesia berpotensi kehilangan luas lahan
pertanian sawah sebesar 346.850 ha atau
5.03%. Potensi kehilangan ini belum termasuk
kehilangan lahan pertanian karena alih fungsi
lahan sawah menjadi penggunaan lainnya
yang banyak terjadi di Pulau Jawa (DNPI,
2009).
Aspek adaptasi akan perubahan iklim
menjadi hal yang harus diperhatikan sejalan
dengan meningkatnya permukaan laut.
Wilayah-wilayah
pantai
mengalami
kemunduran garis pantai dan suatu waktu
akan menyebabkan wilayah terbangun
tersebut menjadi wilayah tergenang. Para ahli
memperkirakan, pemanasan global yang
menyebabkan
perubahan
iklim
akan
berdampak pada rusaknya berbagai ekosistem
darat maupun laut. Lebih ekstrim lagi,
diperkirakan akibat pemanasan global, pulaupulau di Pasifik akan tenggelam. Bagaimana
dengan Indonesia yang notabene merupakan
negara kepulauan. Meski tidak sampai
menenggelamkan pulau, dampak perubahan
iklim telah terlihat di sebagian besar kawasan
di Indonesia, terutama area pesisir.
Salah satu dampak yang terjadi akibat
kenaikan muka air laut lainnya adalah di
daratan Banjarmasin yang merupakan salah
satu daerah kajian, diproyeksikan akan hilang
karena kenaikan muka laut dan akan
berdampak juga pada beberapa sektor
perekonomian di Banjarmasin. Estimasi
dampak sosial dan ekonomi yang terjadi
sebagai akibat dari genangan air di
Banjarmasin adalah :
•
•
•
•
Terganggunya lalu lintas jalan raya.
Munculnya genangan-genangan air di
wilayah perkotaan.
Berkurangnya lahan-lahan produktif
di sektor pertanian.
Bekunya aktifitas-aktifitas industri
dan bisnis diakibatkan
kerusakan/terganggunya infrastrukturinfrastruktur.
Kerusakan ekosistem lainnya yang
diperkirakan terjadi akibat pemanasan global
adalah pemutihan terumbu karang. Saat
tekanan yang dialami komunitas terumbu
karang meningkat, organisme yang hidup di
terumbu karang menghilang. Akibatnya,
terumbu karang memutih (bleaching). Hal ini
akan berdampak serius bagi kelestarian
terumbu karang dan kehidupan biota laut serta
masyarakat pesisir. Lebih dari 50 persen
sektor perekonomian di Indonesia bertumpu
pada area pesisir. Kota-kota besar rata-rata di
daerah pesisir.
4.3.2
Analisis Pengaruh Perubahan Iklim
Terhadap Kerentanan Pangan
Ketahanan
pangan
suatu
negara
tergantung pada besarnya bencana yang
dihadapinya dan keberdayaan dari masyarakat
terhadap pengendalian bencana tersebut.
Suatu negara yang mengalami kerawanan
pangan kronis, situasinya dapat semakin
buruk jika semakin besar bencana yang
dialaminya. Suatu negara yang mengalami
bencana dadakan kecepatan pemulihan kearah
situasi normal ditempuh dengan beberapa
tahapan. Ini adalah yang telah terjadi di
Indonesia,
negara
yang
mengalami
pertumbuhan cepat hingga tahun 1998.
Kemudian adanya El Nino tahun 1998
bergabung dengan keterpurukan ekonomi
tahun 1998 dan negara masih belum pulih
sepenuhnya keluar dari krisis.
Kerentanan didefinisikan sebagai kondisikondisi yang ditentukan oleh faktor-faktor
atau proses-proses fisik, sosial, ekonomi dan
lingkungan hidup yang meningkatkan
kerawanan suatu masyarakat terhadap dampak
ancaman bencana. Sementara itu, pangan
merupakan segala sesuatu yang berasal dari
sumber hayati dan air, baik yang diolah
maupun tidak diolah yang diperuntukan
sebagai makanan atau minuman bagi
konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan
pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain
yang digunakan dalam proses penyiapan,
pengolahan, dan/atau pembuatan makanan
atau minuman. Ancaman bencana kekurangan
pangan merupakan kondisi yang dapat terjadi
sebagai akibat kerentanan pangan yang tidak
dapat dikelola dengan baik.
Ancaman bencana kekurangan pangan
akan berdampak secara luas, baik secara
ekonomi, sosial budaya maupun politik. Ini
dikarenakan pangan akan terkait dengan
kebutuhan dasar manusia untuk hidup
sehingga menjadi penting untuk dapat selalu
tersedia dalam jumlah yang cukup. Dalam
kaitannya dengan pembangunan nasional,
kerentanan pangan (food vulnerability)
menggambarkan kondisi yang terkait dengan
peningkatan kerawanan pangan yang ada bagi
16
di lingkup daerah maupun nasional yang dapat
mengganggu proses pembangunan nasional
menuju masyarakat Indonesia yang adil dan
sejahtera.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya,
faktor-faktor utama kerentanan pangan terkait
dengan faktor fisik dan lingkungan hidup serta
faktor sosial ekonomi. Faktor fisik dan
lingkungan hidup saat ini banyak menjadi isu
utama terkait dengan perubahan dan degradasi
lingkungan global yang dikhawatirkan
berpengaruh terhadap proses penyediaan
bahan pangan melalui sektor pertanian. Isu
utama yang dikaitkan dengan kerentanan
pangan saat ini dan menjadi bagian dari
pembahasan global adalah isu peningkatan
suhu udara dan perubahan pola serta distribusi
curah hujan terkait dengan fenomena
perubahan iklim. Sektor pertanian sepantasnya
mendapatkan perhatian yang lebih besar
terkait dengan fenomena perubahan iklim,
karena keberhasilan produksi pertanian sangat
tergantung
pada
kondisi
iklim.
Ketergantungan terhadap iklim yang tinggi ini
mengakibatkan sektor pertanian memiliki
peran penting dalam perdebatan mengenai
adaptasi terhadap perubahan iklim. Dampak
perubahan iklim terhadap produksi padi relatif
bervariasi di wilayah studi. Bervariasinya
produksi padi ini tidak hanya dipengaruhi oleh
perubahan iklim yang terjadi, akan tetapi
masih banyak faktor yang mempengaruhi
produksi padi seperti halnya ketersediaan
pupuk, pestisida dan keberadaan irigasi.
Kegiatan pertanian sangat dipengaruhi
oleh berbagai fenomena cuaca dan iklim yang
terjadi baik dalam skala temporal singkat
(menit, jam, hari) sampai skala temporal
bulanan (musim). Dengan mengasumsikan
faktor lain seperti kualitas lahan, benih,
pupuk, dan teknik budidaya dalam kondisi
optimal, maka faktor unsur cuaca dan iklim
utama (suhu, radiasi, dan curah hujan)
menjadi penting dalam proses produksi
pertanian untuk menghasilan luas panen dan
produktivitas maksimum per satuan lahan.
Perubahan iklim yang terjadi disebabkan
oleh peningkatan suhu udara global yang
selanjutnya
menyebabkan
peningkatan
anomali curah hujan dan pergeseran musim.
Untuk sektor pertanian tanaman pangan,
dampak perubahan iklim yang terjadi
diantaranya :
1.
2.
3.
4.
Awal musim kemarau yang lebih
cepat, menyebabkan luas dan
intensitas kekeringan meningkat.
Peningkatan curah hujan pada musim
hujan yang menyebabkan intensitas
banjir meningkat.
Perubahan
pola
tanam
yang
menyebabkan peningkatan intensitas
serangan Organisme Pengganggu
Tanaman (OPT), perubahan status
OPT,
dan
peningkatan
virulensi/patogenitas.
Menurunnya kapasitas lahan atau
tangkapan air untuk keperluan.
Kenaikan suhu akan mempengaruhi dan
menurunkan produksi pangan. Tetapi, karena
Indonesia sangat luas dan setiap daerah
memiliki pola iklim lokal berbeda, pengaruh
itu tidak dapat disamaratakan untuk seluruh
wilayah.
Tabel 4.2 Tren pengurangan luas panen akibat perubahan curah hujan dan periode musim hujan
(DNPI, 2009)
Provinsi
Luas
Panen
Awal
Δ CH
(mm
/th)
0.50C
10C
20C
0.50C
10C
20C
0.50C
10C
20C
Jawa
Barat
509.020
-5,6
-77,0
-154,0
-308,0
-13.213
-26.426
-52.853
2,6
5,2
10,4
Jawa
Tengah
395.728
-7,7
-52,9
-105,9
-211,8
-9.084
-18.168
-36.336
2,3
4,6
9,2
DIY
58.894
-1,3
-9,9
-19,7
-39,4
-1.692
-3.385
-6.769
2,9
5,7
11,5
Jawa
Timur
434.388
21
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Kalsel
124.737
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Δ CH (mm/th)
Δ Luas Panen (ha)
Δ Luas Panen (%)
17
Kenaikan suhu yang bervariasi dengan
berbagai skenario antara 0,5°C – 2,0°C (Tabel
4.2), dapat menyebabkan peningkatan
kebutuhan
air
tanaman
melalui
evapotranspirasi sehingga akan mengurangi
luas sawah yang dapat diirigasi. Dengan
demikian, luas panen diduga akan berkurang
karena penurunan pasokan air irigasi
dibandingkan dengan total luas sawah yang
ada. Penurunan luas panen total akibat
penurunan pasokan air irigasi tersebut diduga
terjadi diseluruh provinsi di Pulau Jawa dan
Kalimantan Selatan (DNPI, 2009).
Prediksi pengaruh curah hujan terhadap
luas panen tanaman padi dilakukan
berdasarkan hubungan antara jumlah curah
hujan dengan luas panen tanaman padi ladang
yang keduanya mengandalkan pasokan air
dari hujan. Pengaruh periode musim hujan
dianggap telah termasuk dalam hubungan
antara curah hujan dengan luas panen.
Perubahan hujan yang terjadi juga
dipengaruhi oleh peningkatan suhu udara
sebagai bagian dari perubahan iklim yang
terjadi. Suhu udara yang tinggi akan memicu
peningkatan
evapotranspirasi
potensial.
Namun kehilangan evaportranspirasi yang
tinggi tidak selalu diikuti oleh pembentukan
awan yang kuat untuk terjadinya hujan. Walau
dengan pertimbangan bahwa luas padi ladang
di Indonesia juga relatif kecil, namun
pengurangan sampai 10% dari luas panen
tersebut cukup berarti seiring dengan
meningkatnya kebutuhan akan bahan pangan
beras.
Produksi atau hasil panen padi
merupakan akhir dari suatu proses konversi
energi radiasi surya melalui proses fotosintesis
yang juga merupakan kombinasi dari berbagai
faktor baik fisik maupun non fisik. Faktor
iklim merupakan salah satu faktor utama
dengan asumsi berbagai faktor nonfisik seperti
teknik budidaya dan lain-lain berada pada
kondisi optimal dan bukan merupakan faktor
pembatas. Produksi atau hasil panen padi di
Indonesia merupakan fungsi dari luas panen
yang setiap tahun relatif berfluktuasi terkait
dengan berbagai bencana karena pengaruh
faktor iklim.
Berbagai faktor fisik dan non fisik akan
menentukan hasil produksi per satuan luas
panen yang disebut sebagai produktivitas.
Berdasarkan data statistik, produksi atau hasil
panen padi di Indonesia meningkat setiap
tahun. Namun peningkatan hasil panen atau
produksi ini terkait dengan peningkatan luas
lahan sawah yang ditanami, tidak terkait
langsung dengan kondisi iklim yang optimal
bagi pertumbuhan dan perkembangan
tanaman.
Curah
hujan
akan
menentukan
ketersediaan air bagi tanaman yang ditanam,
terutama pada pertanaman padi di lahan tadah
hujan. Namun pada lahan beririgasi, anomali
curah hujan juga berdampak pada penyediaan
air melalui irigasi. Anomali curah hujan
negatif yang ditunjukkan oleh curah hujan
tahunan di bawah rataan 30 tahun dapat
mengidentifikasikan potensi berkurangnya air
irigasi.
Salah satu faktor yang mempengaruhi
kondisi Ketahanan Pangan adalah aspek
kerentanan (vulnerability) yang menunjukkan
kondisi
faktor
lingkungan
berpotensi
mengalami rawan bencana, sehingga dapat
menyebabkan kegagalan panen/produksi
pangan. Rawan pangan merupakan salah satu
bencana kemanusiaan yang terjadi akibat daya
dukung lahan dan lingkungan untuk
menunjang produksi pangan tidak optimal
serta faktor ekonomi, sosial dan budaya.
Faktor-faktor lahan dan kondisi lingkungan
termasuk perubahan iklim yang menurun
dapat
menyebabkan
kerentanan
yang
meningkat terhadap bencana ekologis, yaitu
kegagalan panen dan produksi pangan,
sehingga menimbulkan kondisi rawan pangan.
Hasil analisis kerentanan pangan akibat
dampak perubahan iklim atau dengan
menambahkan faktor lahan sawah yang
terdegradasi akibat kenaikan tinggi muka air
laut
menyajikan
beberapa
perubahan
peringkat pada indeks kerentanan (Lampiran
3, 4, dan 5).
Perubahan iklim yang terjadi tidak
mempengaruhi pola tanam petani. Tidak
berubahnya pola tanam akibat perubahan
iklim ini disebabkan karena wilayah studi
merupakan daerah yang beririgasi. Dampak
perubahan iklim yang terjadi lebih banyak
merubah waktu tanam petani, bukan pola
tanamnya (Tabel 4.3).
18
Tabel 4.3. Perbandingan Pola Tanam di
Daerah Kajian (DNPI, 2009)
Provinsi
Kalimantan
Selatan
Banten
Pola tanam
5 Tahun Lalu
Sekarang
Padi-Padi
Padi-Padi
Padi-Padi
Padi-Padi
Padi-Padi
Padi-Padi
Padi-Padi
Padi-Padi
DIY
Padi-Padi-Jagung
Padi-Padi-Jagung
Jawa Timur
Padi-Padi-Padi
Padi-Padi-Padi
Jawa Barat
Jawa
Tengah
4.3.3 Analisis Pengaruh Perubahan Iklim
Terhadap Kerentanan Kesehatan
Perubahan iklim sebagai implikasi
pemanasan global, disebabkan oleh kenaikan
gas-gas rumah kaca terutama karbondioksida
(CO 2 ) dan metana (CH 4 ), mengakibatkan dua
hal utama yang terjadi di lapisan atmosfer
paling bawah, yaitu fluktuasi curah hujan
yang tinggi dan kenaikan muka laut. Dampakdampak yang ditimbulkan oleh perubahan
iklim tersebut diantaranya adalah :
•
•
•
Semakin banyak penyakit (Tifus,
Malaria, Demam, dll.);
Mengancam ketersediaan air;
Mengakibatkan pergeseran musim
dan perubahan pola hujan;
Perubahan iklim dapat mempengaruhi
transmisi beberapa penyakit. Sebagai contoh,
vektor dan parasit malaria sensitif terhadap
temperatur sehingga distribusi dan transmisi
malaria dipengaruhi oleh perubahan iklim
(Gambar 4.6). Secara umum faktor-faktor
iklim makro dan mikro berpengaruh terhadap
perkembangbiakan, pertumbuhan, umur, dan
distribusi vektor malaria. Curah hujan
berpengaruh terhadap tipe dan jumlah habitat
perkembangbiakan,
temperatur
serta
kelembaban nisbi. Faktor-faktor iklim tersebut
dapat meningkatkan atau mengurangi
kepadatan populasi serta kontak manusia
dengan vektor.
Gambar 4.6 Alur Dampak Perubahan Iklim Terhadap Kesehatan (Patz et al, 2000)
Kapasitas
adaptasi
dalam
sektor
kesehatan meliputi kemampuan sistem
pelayanan tubuh dan kesiapan komunitas
untuk menghadapi dampak perubahan iklim
terhadap kesehatan. Indikator kapasitas
adaptasi yang sering digunakan adalah sumber
daya ekonomi, ketersediaan dan akses
terhadap
teknologi,
informasi
dan
keterampilan. Selain itu juga indikator
kesiapan infrastruktur dan kelembagaan dalam
menghadapi perubahan iklim (Smith et al.,
2001).
WHO tahun 2000 menyatakan bahwa
meningkatnya kasus malaria juga dapat
diakibatkan oleh adanya curah hujan yang
abnormal, peningkatan kelembaban dan
temperatur atau juga adanya perubahan
permanen dari iklim mikro karena adanya
pembangunan sistem irigasi, proyek agrikultur
atau penanaman pohon. Faktor seperti
topografi, suhu, curah hujan, penggunaan
lahan, perpindahan penduduk dan tingkat
deforestasi mempengaruhi distribusi spasial
dan temporal dari vector malaria dan malaria
itu sendiri.
Malaria dan DBD adalah salah satu
penyakit karena vector yang mempunyai
tendensi akan timbul karena adanya
perubahan iklim (Patz et al, 2000), Perubahan
ini mungkin secara langsung dapat
19
mempengaruhi kebiasaan dan distribusi
geografis nyamuk malaria dan siklus hidup
parasitnya.
Secara
tidak
langsung
pengaruhnya pada ketersediaan vegetasi untuk
tempat perindukan. Bila suhu rata rata naik 35 derajat karena perubahan iklim, jumlah
orang yang terpapar malaria akan meningkat
45% - 60% dari populasi. Suhu adalah
variable utama dalam transmisi malaria. Suhu
dan kelembaban mempengaruhi periode
inkubasi secara ekstrinsik dari parasit dan
kemampuan survival vector. Transmisi
malaria tidak dapat terjadi pada suhu rendah.
Suhu optimum untuk perkembangan parasit
adalah antara 20 – 27 0C. Suhu optimum untuk
nyamuk adalah antara 25 – 27 0C sedangkan
40 0C adalah suhu maksimum untuk vector
dan parasit (Patz, et al’ 1996).
Pemahaman dan analisis data lingkungan
dan unsur cuaca dapat digunakan untuk
mengetahui pola penyebaran vektor malaria
dan menduga populasi vektor malaria.
Kombinasi kedua faktor tersebut dapat
digunakan dalam penyusunan rancangan
model spasial untuk membantu memprediksi
pola penyebaran malaria disuatu daerah.
Overlay data lingkungan (altitide, slope dan
land used) digunakan untuk menduga zona
risiko malaria.
Perubahan
iklim
mempercepat
penyebaran virus DBD. Jumlah populasi
nyamuk berkembang cepat akibat pola hujan
yang berubah dan frekuensinya lebih banyak
dan tidak teratur membuat siklus penularan
virus DBD menjadi lebih pendek. Selain itu,
suhu yang menghangat juga membuat proses
perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypty
berlangsung lebih cepat. Sebagai contoh pada
saat terjadi La Nina pada tahun 1998 kasus
DBD meningkat bahkan terjadi Kejadian Luar
Biasa (KLB). Contoh yang lain penelitiannya
Achmad Sasmita dkk menyimpulkan bahwa
siklus hidup vektor DBD dipengaruhi oleh
curah hujan lokal dengan prediksi 61% untuk
Surabaya dan DKI 56 % (ICCSR, 2010).
Pemahaman dan analisis data-data
lingkungan, unsur cuaca dan kondisi
demografi yang terkait erat dengan munculnya
dan meningkatnya penyakit DBD digunakan
untuk mengetahui pola penyebaran penyakit
DBD
dan
menduga
distribusi
dan
pergerakannya. Kombinasi ketiga faktor
tersebut diatas dapat digunakan dalam
penyusunan rancangan model spasial untuk
membantu memprediksi pola penyebaran
penyakit DBD.
Kerentanan kesehatan tidak hanya
berfokus pada vektor pembawa penyakit saja,
melainkan berpengaruh pula terhadap tingkat
kesejahteraan penduduk, pelayanan dan
tenaga
kesehatan
yangmana
tingkat
kesejahteraan
penduduk
menunjukkan
kemampuan masyarakat dalam memenuhi
pelayanan kesehatan dan juga pemenuhan
ketersediaan makanan serta nutrisi yang layak.
Pemenuhan nutrisi dan gizi yang buruk dapat
menyebabkan kerentanan untuk terserang
penyakit-penyakit tertentu terkait perubahan
iklim.
Proses menganalisis dampak perubahan
iklim terhadap kesehatan baik langsung
maupun tidak langsung diperlukan data yang
cukup memadai dengan rentang waktu yang
panjang (time series). Saat ini Departemen
Kesehatan
telah
mengumpulkan
dan
mengelola data kesehatan namun dirasa belum
cukup untuk menganalisis dampak perubahan
iklim terhadap kesehatan di Indonesia secara
komprehensif. Mengingat pentingnya analisis
dampak perubahan iklim terhadap kesehatan,
di masa yang akan datang sektor kesehatan
perlu meningkatkan program surveilans
khususnya sistem dan metode pengumpulan,
pengolahan dan pengelolaan data yang terkait
dengan perubahan iklim.
4.4 Solusi Adaptasi Perubahan Iklim
4.4.1 Solusi Terhadap Kawasan Pesisir
Wilayah pesisir merupakan laboratorium
untuk menguji konsep yang baru karena
dibandingkan dengan berbagai dampak
lainnya. Kenaikan muka laut merupakan
dampak perubahan iklim yang dapat dipahami
dan dirasakan secara langsung. Dalam
perspektif oseanografi, wilayah pesisir adalah
wilayah yang paling rawan terhadap
perubahan iklim. Banjir, dan abrasi/erosi
beberapa aspek yang mengancam wilayah
pesisir, yang akan menimbulkan kerugian.
Proses adaptasi dibutuhkan untuk
membantu perbaikan yang dibutuhkan,
khususnya
dalam
merespon
berbagai
kerentanan yang dialami masyarakat, baik itu
dari segi perubahan sistem sosial dan
lingkungan terkait ketidakpastian dalam
perubahan iklim dan evaluasi dari dampak
serta biaya yang muncul, sehingga dibutuhkan
evaluasi kembali. Contohnya nelayan di
Indramayu, kurang inisiatif daripada para
petani. Nelayan di indramayu cenderung
20
menggunakan feeling
mereka dalam
menentukan kejadian alam yang mereka
rasakan saat itu daripada menggunakan
informasi yang di sampaikan oleh BMKG.
Nelayan cenderung melihat fenomena seperti
pergerakan angin dan awan yang cepat, yang
menandakan terjadinya badai sehingga para
nelayan tidak akan melaut. Ketika badai
sedang melanda daerah tersebut, para nelayan
biasanya akan beralih pekerjaan untuk
mencari sumber pendapatan yang lain.
Perubahan iklim yang dirasakan oleh
nelayan seperti ketika pasang, airnya akan
lebih tinggi dari sebelumnya yang kita ketahui
bahwa hal tersebut dikarenakan akibat dari
naiknya permukaan air laut. Naiknya
permukaan air laut tersebut menyebabkan
adanya perubahan daerah kumpulnya ikan,
karena perubahan panas di laut, sehingga para
nelayan kesulitan mencari dan memprediksi
tempat berkumpulnya ikan-ikan.
Kerusakan ekosistem lainnya yang
diperkirakan terjadi akibat pemanasan global
di kawasan pesisir adalah pemutihan terumbu
karang. Saat tekanan yang dialami komunitas
terumbu karang meningkat, organisme yang
hidup di terumbu karang menghilang.
Akibatnya,
terumbu
karang
memutih
(bleaching). Hal ini akan berdampak serius
bagi kelestarian terumbu karang dan
kehidupan biota laut serta masyarakat pesisir.
Perubahan iklim yang dirasakan oleh
nelayan ternyata juga ada dampak positifnya.
Seperti pada El Nino yang meningkatkan
penakapan ikan tuna karena peningkatan
kondisi garam. Sedangkan ketika La Nina,
meningkatkan kandungan air tawar untuk
pembudidayaan ikan tambak dan perikanan
darat.
Berbagai kegiatan
dilakukan, seperti pada:
1.
2.
adaptasi
dapat
Pemukiman/perumahan:
a. Relokasi atau mundur dari
pantai;
b. Membangun rumah panggung;
c. Perencanaan Wilayah, Zonasi,
dan jalur evakuasi;
d. Pembuatan dinding laut dan
penguatan pantai;
Ekosistem pantai:
a. Penyemaian terumbu karang;
b. Perlindungan dan konservasi
terumbu karang, mangrove,
rumput laut, dan vegetasi pinggir
pantai;
4.4.2 Solusi Terhadap Kerentanan Pangan
Suhu udara berperan dalam proses
perkembangan tanaman yang ditunjukkan
melalui perubahan fase-fase tanaman sejak di
semai sampai panen. Waktu yang dibutuhkan
oleh tanaman dari semai sampai panen
ditentukan oleh akumulasi panas (heat unit)
yang merupakan fungsi dari selisih antara
suhu udara harian dengan suhu dasar tanaman.
Semakin tinggi suhu udara, akumulasi heat
unit akan semakin cepat sehingga umur
tanaman manjadi lebih pendek. Peningkatan
suhu
udara
disamping
mempercepat
perkembangan dan umur tanaman, juga
meningkatkan
laju
respirasi
secara
eksponensial. Respirasi diperlukan tanaman
untuk mempertahankan pertumbuhannya,
namun jika lajunya terlalu tinggi, maka akan
berakibat pada penurunan hasil.
Tabel 4.4 Respon Petani Terhadap Perubahan
Iklim (DNPI, 2009)
Provinsi
Kalimantan
Selatan
Banten
Jawa Barat
Jawa
Tengah
DIY
Jawa
Timur
Respon Petani
Merubah waktu penanaman
Merubah waktu penanaman
Merubah waktu penanaman
Merubah waktu penanaman
Mengganti varietas tanaman yang
digunakan
Mengganti varietas tanaman yang
digunakan
Perubahan iklim juga berpanguruh pada
pola kalender tanam para petani. Dahulu, pola
tersebut tidak hanya mengacu pada musim
atau iklim, tetapi mengacu pada perayaan hari
besar keagamaan atau yang lebih kita kenal
dengan hajatan, seperti pernikahan atau
sunatan.
Pola
kalender
petani
juga
berpangaruh ketika memasuki waktu lebaran,
karena menurut petani, waktu-waktu tersebut
adalah ketika harga barang pokok menjadi
naik, dan keuntungan menjadi lebih besar.
Saat ini,perubahan tersebut dikarenakan
pergesaran musim akibat perubahan iklim,
sehingga para petani tidak bisa memprediksi
dengan baik kapan tanaman padi bisa ditanam
dan bisa dipanen.
Para petani tidak tinggal diam dengan
perubahan iklim yang terjadi saat ini, bahkan
meraka memiliki inisiatif sendiri dalam
melakukan penyesuaian iklim, seperti
menyesuaikan kalender tanam, penyesuaian
21
jenis dan varietas tanaman, varietas unggul,
membuat sistem jaringan antar desa, dan
adanya sekolah lapang iklim, dimana mereka
disana diajarkan mengenai apa itu perubahan
iklim, cara-cara untuk berdaptasi dan
mitigasinya, dengan inovasi tekhnologi,
pengelolaan lahan dan air, pemanfaatan
limbah organik, dan ada pula yang datang ke
Jakarta untuk mencari informasi terkait
perubahan iklim.
Jika para petani memiliki akses ke
informasi dan sarana yang tepat, mereka akan
dapat melakukan sendiri adaptasi yang
dibutuhkan. Sebagian dari mereka lebih sulit
melakukan adaptasi, entah itu karena tanah
garapan mereka yang tidak subur, pasokan air
tidak memadai, atau karena tidak memiliki
modal. Selain itu, mereka juga mungkin
menghadapi berbagai kendala kelembagaan
atau kultural. Dalam berbagai kasus seperti ini,
Pemerintah dapat membantu melalui intervensi
yang langsung dan terencana, dengan
menyediakan pengetahuan baru atau peralatan
baru atau mencarikan teknologi-teknologi
tepat guna yang baru.
Sebenarnya di lapangan, para petani tidak
terlalu mengenal istilah ‘adaptasi’, dan banyak
yang telah berpengalaman dalam ‘adaptasi’
ini. Orang-orang yang tinggal di daerah rawan
banjir, sejak dulu sudah membangun rumah
panggung. Para petani di wilayah yang sering
mengalami kemarau panjang sudah belajar
untuk melakukan diversifikasi pada sumber
pendapatan
mereka,
misalnya dengan
menanam tanaman pangan yang lebih tahan
kekeringan dan dengan mengoptimalkan
penggunaan air yang sulit didapat, atau
berimigrasi sementara untuk mencari kerja di
tempat lain. Hal yang masih perlu dilakukan
sekarang ini adalah mengevaluasi dan
membangun di atas kearifan tradisional yang
sudah ada itu untuk membantu rakyat
melindungi dan mengurangi kerentanan
sumber-sumber nafkah mereka. Para petani
juga sudah mempertimbangkan berbagai
varietas tanaman, disertai dengan pengelolaan
dan cara penyimpanan air yang lebih baik –
ditunjang oleh perkiraan cuaca yang lebih
akurat dan dan relevan yang dapat membantu
mereka menentukan awal musim tanam dan
panen.
Dalam mengantisipasi dampak perubahan
iklim terhadap produksi tanaman pangan,
diperlukan rencana aksi, terutama dalam
upaya melakukan adaptasi sektor pertanian
tanaman pangan. arah kebijakan untuk
mendukung ketahanan pangan nasional
tersebut dapat melalui upaya: (DNPI, 2009).
•
•
•
•
•
4.4.3
Perbaikan
dan
pembangunan
infrastruktur
Penyediaan dan pengembangan
benih/bibit unggul adaptif perubahan
iklim
Stabilisasi harga bahan pangan
Peningkatan pemahaman petani akan
pertanian dan variabilitas iklim bagi
pertanian terkait waktu dan pola
tanam
Pengembangan
Peraturan
Perundangā€undangan yang selaras
mendukung
pelaksanaan
Undangā€undang Perlindungan Lahan
Pangan Berkelanjutan.
Solusi Adaptasi Terhadap
Kerentanan Kesehatan
4.4.3.1 Perbaikan Kinerja Pelayanan
Kesehatan
Perbaikan kinerja pelayanan terutama
untuk golongan miskin harus diperbaiki
mengingat angka kematian bayi dan balita
pada golongan miskin hampir empat kali lebih
tinggi dari golongan kaya. Selain itu, angka
kematian bayi dan angka kematian ibu
melahirkan lebih tinggi di daerah pedesaan,
contohnya di kawasan timur Indonesia, terjadi
pada penduduk dengan tingkat pendidikan
rendah. Persentase anak balita yang berstatus
gizi kurang dan buruk pun di daerah pedesaan
lebih tinggi dibandingkan di daerah perkotaan.
Dengan pemberian pelayanan kesehatan dasar
secara tepat dan cepat, diharapkan sebagian
besar masalah kesehatan masyarakat sudah
dapat diatasi.
4.4.3.2 Perilaku Masyarakat yang Kurang
Mendukung Pola Hidup Bersih
dan Sehat
Perilaku hidup bersih dan sehat
masyarakat merupakan salah satu faktor
penting untuk mendukung peningkatan status
kesehatan penduduk. Perilaku masyarakat
yang
tidak
sehat
mendukung
perkembangbiakan vektor-vektor penyakit,
terutama perkembangbiakan nyamuk.
22
4.4.3.3 Pencegahan dan Pemberantasan
Penyakit
Program pencegahan dan pemberantasan
penyakit bertujuan untuk menurunkan angka
kesakitan, kematian dan kecacatan dari
penyakit menular dan mencegah penyebaran
serta mengurangi dampak sosial akibat
penyakit sehingga tidak menjadi masalah
kesehatan.
Upaya pemberantasan penyakit menular
lebih ditekankan pada pelaksanaan surveilans
epidemiologi dengan upaya penemuan
penderita secara dini yang ditindaklanjuti
dengan penanganan secara cepat melalui
pengobatan penderita. Di samping itu,
pelayanan lain yang diberikan adalah upaya
pencegahan dengan pemberian imunisasi,
upaya pengurangan faktor risiko melalui
kegiatan
untuk
peningkatan
kualitas
lingkungan serta peningkatan peran serta
masyarakat dalam upaya pemberantasan
penyakit menular yang dilaksanakan melalui
berbagai kegiatan.
Upaya lain juga bisa dilakukan seperti
pada penggerakan potensi masyarakat untuk
dapat berperan serta dalam Pemberantasan
Sarang Nyamuk (PSN) melalui 3M plus
(Menguras, Menutup dan Mengubur) plus
menabur larvasida, penyebaran ikan pada
tempat penampungan air serta kegiatankegiatan
lainnya
yang
dapat
mencegah/memberantas nyamuk berkembang
biak.
4.4.3.4 Sarana Kesehatan
Sarana kesehatan meliputi puskesmas,
rumah sakit umum dan khusus, sarana Upaya
Kesehatan
Bersumberdaya
Masyarakat
(UKBM), sarana produksi dan distribusi
farmasi dan alat kesehatan, pos kesehatan
desa, desa siaga, dan institusi pendidikan
tenaga kesehatan.
4.5 Strategi Adaptasi
Berbagai cara dapat dilakukan untuk
menyampaikan informasi terkait perubahan
iklim kepada seluruh masyarakat.
4.5.1
Strategi Adaptasi dengan Local
Wisdom
Ancaman perubahan iklim sebagai
dampak dari perubahan iklim bisa dihindari
dengan menghidupkan kembali kearifan lokal
yang dianut masyarakat adat. Sayangnya,
sekarang ini tinggal sebagian kecil komunitas
adat yang masih mempraktikkan kearifan
tradisional
mereka
akibat
terdesak
kepentingan ekonomi korporasi.
Kearifan lokal mengajarkan agar manusia
menghargai dan mengelola alam dengan baik.
Beberapa prinsip yang dianut masyarakat
secara turun-temurun terbukti mampu
menjaga alam dari kerusakan sekaligus
menopang kehidupan masyarakat secara
berkelanjutan. Sepuluh tahun terakhir,
perubahan
kondisi
lingkungan
sangat
berdampak pada perubahan iklim global dan
Indonesia, termasuk negara yang rentan
mengalami krisis pangan akibat perubahan
cuaca ekstrim.
Masyarakat adat yang hidupnya masih
sangat bergantung kepada alam akan lebih
dulu mengalami dampak akibat perubahan
cuaca ekstrim, terutama mereka yang hidup di
wilayah ekosistem yang rentan terhadap
perubahan iklim, seperti pulau-pulau kecil,
kawasan pesisir, dan hutan tropis. Salah satu
contoh local wisdom adalah dari suku Sawai,
suku yang ada di Halmahera, Maluku Utara,
Sulawesi. Sejak lama memiliki tradisi
myofacicile atau mengambil sedikit saja dari
alam. Tradisi suku Sawai itu kini semakin
hilang.
Apalagi
ketika
wilayah
itu
dieksploitasi oleh perusahaan tambang nikel
sejak 1996.
Wilayah Indramayu, proses adaptasi pada
pertanian ketika pemupukan di kondisi sawah
tergenang dilakukan dengan mengganti pupuk
dengan kotoran hewan kambing yang
dicampur dengan sejenis bakteri penghancur
sebagai pengganti pupuk. Pada perikanan dan
kelautan di Indramayu, para nelayan
menggunakan satu buah perahu besar untuk
menarik lima perahu kecil nelayan yang lain.
Hal ini dilakukan sebagai proses adaptasi
nelayan dari dampak perubahan iklim karena
meningkatknya curah hujan dan intensitas
angin sehingga menaikkan volume ombak di
laut.
4.5.2
Pembuatan Kebijakan Selaras
dengan Adaptasi Perubahan Iklim
Salah satu tugas dan fungsi DNPI adalah
membuat kebijakan untuk pengendalian
perubahan iklim. DNPI diharapkan dapat
meningkatkan dan memperbanyak kajian
terkait kerentanan di semua sektor dengan
23
cakupan yang lebih dalam, sehingga dari hasil
kajian tersebut didapati hasil yang bisa
digunakan sebagai acuan untuk membuat
kebijakan baru yang selaras dengan adaptasi
terkait perubahan iklim.
4.5.3
Meningkatkan Kerjasama Antar
Kementerian/ Lembaga dan
Instansi
Koordinasi menjadi salah satu hal yang
penting untuk mengurangi dan mengendalikan
dampak dari perubahan iklim, terutama
koordinasi dengan kementerian/ lembaga dan
instansi lainnya, baik itu dari instansi
pemerintah, pendidikan atau LSM. Koordinasi
ini diharapkan dapat merangkul seluruh pihak
agar dapat turut serta mengurangi dampak dari
perubahan iklim.
4.5.4
Sosialisasi Perubahan Iklim
Berbagai dampak yang dialami sekarang
membuat berbagai tempat menjadi rentan.
Oleh karena itu, dibutuhkan suatu cara untuk
dapat mengurangi dan mencegah perubahan
iklim ini, salah satunya yaitu dengan
sosialisasi perubahan iklim. Sosialisasi
diarahkan pada dua aspek, yaitu dengan
mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Mitigasi perubahan iklim adalah pencegahan
dengan cara mengurangi jumlah emisi yang
kita hasilkan, sedangkan untuk adaptasi
adalah bagaimana kita dapat menyesuaikan
diri dari dampak perubahan iklim tersebut.
4.5.4.1 Seminar Perubahan Iklim
Seminar merupakan salah satu metoda
pelibatan
masyarakat
yang
umumnya
digunakan di negara berkembang dan negara
maju. Seminar ini sangat berguna untuk
mengetahui tingkat kemajuan informasi yang
telah dikumpulkan oleh berbagai penyedia
data iklim, pangan dan kesehatan serta para
pemangku kepentingan yang bergerak dalam
bidang terkait. Seminar juga menjadi wadah
diskusi antara pemangku kepentingan dengan
masyarakat umum tentang apa yang mereka
harus lakukan setelah terkena dampak dari
perubahan iklim ini.
4.5.4.2 Materi Publikasi
Teknologi yang terus berkembang dapat
dimanfaatkan
untuk
mendistribusikan
informasi terkait perubahan iklim ke seluruh
penjuru tanah air yang disusun dalam bentuk
materi publikasi.
Materi publikasi dikemas sedemikian
rupa sehingga dapat menarik perhatian
masyarakat untuk mempelajari lebih dalam
tentang perubahan iklim. Materi publikasi bisa
berbentuk buku-buku yang dapat dibagikan
secara gratis ataupun dapat dijual di toko
buku, bisa pula dalam bentuk film, flyer,
brosur dan lainnya.
4.5.4.3 Pameran Perubahan Iklim
Peran sektor pemerintah dalam upaya
pengendalian dampak dan penyadaran
masyarakat terkait perubahan iklim perlu
difasilitasi dalam satu bentuk acara besar
sehingga masyarakat dapat mengakses
informasi dengan mudah. Oleh karena itu,
DNPI
berinisiatif
mendukung
penyelenggaraan
serangkaian
kegiatan
tersebut, untuk dapat mengakomodir jembatan
informasi dari pihak pemerintah/ lembaga,
swasta dengan masyarakat umum terkait peran
dan upaya mereka untuk mendukung
pemerintah
mendistribusikan
informasi
perubahan iklim terutama aspek adaptasinya
yang terhimpun dalam pameran perubahan
iklim.
DNPI sendiri sudah dua kali
mendukung kegiatan Indonesia Climate
Change Education Forum and Expo
(ICCEFE) yang dilaksanakan sejak tahun
2011, dan sukses menghimpun para
stakeholder untuk turut serta dalam kegiatan
besar ini. Serangkaian kegiatan pada ICCEFE
mendatangkan
kurang
lebih
50.000
pengunjung selama empat hari pelaksanaan
kegiatan.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
DNPI sebagai pengkoordinasi kegiatan
dalam pelaksanaan tugas pengendalian
perubahan iklim, memegang peranan yang
sangat penting terhadap perubahan iklim,
terutama dalam pembuatan kebijakan yang
selaras dengan adaptasi. DNPI dalam
tugasnya dapat menjadi jembatan sosialisasi
keilmuan dan tidak lanjut pengendalian
perubahan iklim antara pemerintah, sektor dan
masyarakat umum.
24
Hasil kajian mengungkapkan bahwa
perubahan iklim mempengaruhi ekosistem
pantai, berpotensi menenggelamkan pulaupulau kecil, memperbanyak pengungsi iklim,
meningkatkan frekuensi gagal panen, dan
meningkatkan perkembangbiakkan vektor
penyakit, serta menjadikan Indonesia sebagai
salah satu negara paling rentan terhadap
ancaman dan dampak dari perubahan iklim,
karena memberikan dampak dan kerugian
sangat besar terhadap berbagai sektor.
Pengembangan solusi menjadi sebuah
strategi adaptasi, patut ditingkatkan dan
diterapkan
ke
dalam
kehidupan
bermasyarakat, sehingga kerugian dan
pengungsi iklim dapat dikurangi. Sosialisasi
solusi perubahan iklim kepada masyarakat
umum menjadi prioritas penting, tidak hanya
berfokus pada penyebab, dan dampak yang
ditimbulkan oleh perubahan iklim, akan tetapi
terkait perihal adaptasi yang mereka dapat
lakukan untuk mencegah kerugian yang lebih
besar.
5.2 Saran
Pemerintah dalam hal ini DNPI
diharapkan dapat meningkatkan koordinasi
dan kerjasama antar kementerian/ lembaga
serta instansi lainnya untuk turut serta
mengendalikan dampak dari perubahan iklim
dengan lebih banyak melakukan kajian dan
penyuluhan langsung ke masyarakat.
Hasil kajian diharapkan dapat dikemas
dalam sebuah wadah informasi atau tulisan
yang langsung bisa difahami dan dimengerti
oleh masyarakat, seperti
menggunakan
bahasa daerah mereka atau yang dapat
langsung diakses masyarakat secara mudah,
seperti bekerjasama dengan radio atau koran
lokal. Diharapkan pula, ketika akan
melakukan
kegiatan
terkait
adaptasi
perubahan iklim agar lebih memfokuskan
pada apa yang mereka bisa lakukan untuk
menghindari dampak dari perubahan iklim
menurut tingkat kerentanan daerah masingmasing, karena yang mereka butuhkan adalah
solusi.
25
DAFTAR PUSTAKA
Badan Ketahanan Pangan (BKP) dan World
Food Programme (WFP). 2005. Peta
Kerawanan Pangan.
ICCSR (Indonesia Climate Change Sectoral
Roadmap). 2010. Sektor Kelautan
dan Perikanan. Bappenas.
Boer R. 2009. Sekilas Status Komunikasi
Nasional Indonesia untuk Perubahan
Iklim dipresentasikan pada Enabling
Activities for the Preparation of
Indonesia’s SNC, Jakarta 21 April
2009. Kementrian Lingkungan Hidup
bekerjasama
dengan
UNDP
Indonesia.
ICCSR (Indonesia Climate Change Sectoral
Roadmap). 2010. Sektor Kesehatan.
Bappenas.
Boer, 2008. Pengembangan Sistim Prediksi
Perubahan Iklim untuk Ketahanan
Pangan. Laporan Akhir Konsorsium
Penelitian
dan
Pengembangan
Perubahan Iklim Sektor Pertanian.
Balai Besar Litbang Sumberdaya
Pertanian. Badan Litbang Pertanian.
Department of Environment and Heritages,
2005. Climate Change Risk and
Vulnerability.
DNPI, 2009. Penyusunan Informasi Tematik
Untuk
Mengantisipasi
Dampak
Perubahan Iklim Terhadap Isu
Prioritas Nasional Bidang Pangan,
Kesehatan Dan Fenomena Iklim
Ekstrim.
DNPI,
2010.
Pemetaan
Kerentanan
Perubahan Iklim Provinsi.
DNPI,
2011. Pemetaan Kerentanan Di
Daerah Provinsi Serta Inventarisasi
Kebijakan Dan Kelembagaan Dalam
Rangka
Antisipasi
Dampak
Perubahan Iklim.
DNPI, 2012. Dewan Nasional Perubahan
Iklim. Brosur. Indonesia
Gandasasmita K. 2008b. Seminar nasional
dan Dialog Sumberdaya Lahan
Pertanian. Warta Sumberdaya Lahan
Vol 3 no, 4. Desember 2008.
Handoko I, Sugiarto Y, Syaukat Y. 2008.
Keterkaitan Perubahan Iklim dan
Produksi Pangan Strategis : Telaah
kebijakan independen dalam bidang
perdagangan dan pembangunan.
SEAMEO BIOTROP for Kemitraan
partnership.
ICCSR (Indonesia Climate Change Sectoral
Roadmap). 2010. Bappenas.
IPCC, 1990, Strategies for Adaption to
Sea Level Rise. Rijkswaterstaat,
Nederland.
IPCC. 2001. Climate Change 2001: Impact,
Adaptation and Vulnerability. Report
of Working Group II to the
Intergovernmental Panel on Climate
Change Third Assessment Report.
IPCC (Intergovenrmental Panel on Climate
Change), Climate Change 2007 : The
Physical Science Basis. Summary for
Policy Makers, Contribution of
Working Group I to the Fourth
Assessment
Report
of
the
Intergovenrmental Panel on Climate
Change. Paris, February 2007.
http://www.ipcc.ch/, 2007.
Las, I., E. Surmaini, A Ruskandar. 2008.
Antisipasi Perubahan Iklim: Inovasi
Teknologi dan Arah Penelitian Padi
di Indonesia dalam : Prosiding
Seminar Nasional Padi 2008. Inovasi
Teknologi
Padi
Mengantisipasi
Perubahan Iklim Global Mendukung
Ketahanan Pangan. BB Padi.
Las, I., H. Syahbuddin, E. Surmaini, A M.
Fagi. 2008. Iklim dan Tanaman
Padi.: Tantangan dan Peluang. dalam
: Buku Padi: Inovasi Teknologi dan
Ketahanan Pangan. BB Padi.
Patz, J. A. et al. 1996. Global Climate Change
and Emerging Infectious diseases.
Journal of The American Medical
Association.
Patz, J.A. et al. The potential health impacts
of climate variability and change for
the
United
States:
executive
summary of the report of the health
sector of the U.S. National
Assessment. Environmental Health
Perspectives
108(4):
367–376
(2000).
Runtunuwu E, dan H. Syahbuddin. 2007.
Perubahan Pola Curah Hujan dan
26
Dampaknya
Terhadap
Potensi
Periode Masa Tanam. Jurnal Tanah
dan Iklim N0 26: 1-12. ISSN 14107244.
Susandi, A., Y. Firdaus dan I. Herlianti.
Impact of Climate Change on
Indonesian Sea Level Rise with
Referente to It’s Socioeconomic
Impact. EEPSEA Climate Change
Conference, Bali. 2008
UNDP Indonesia. 2007. Sisi Lain Perubahan
Iklim : Mengapa Indonesia harus
beradaptasi untuk melindungi rakyat
miskinnya. Keen Media (Thailand)
Co., Ltd.
United
Nation
Development
Programme.2008. Climate Change
Adaptation
Programming
in
Indonesia. Workshop Proceedings.
United
Nation
Development
Programme.2007. The other Half of
Climate Change: Why Indonesia
must Adapt to Protect its Poorest
People. UNDP Indonesia.
Wahyunto, 2005. Lahan sawah rawan
kekeringan dan kebanjiran di
Indonesia. Balai Besar Sumberdaya
Lahan Pertanian. Bogor.
World
Bank. 2010. Adaptasi Terhadap
Perubahan Iklim. Policy Brief.
Indonesia.
World Health Organization (WHO). 2001.
Malaria Early Warning System.
WHO. (WHO/CDS/RBM2001.32.).
27
Lampiran 1 Struktur Kelembagaan DNPI (DNPI, 2012)
28
Lampiran 2 Luas Potensi Kehilangan Lahan Sawah Akibat Kenaikan Tinggi Muka Air Laut
(DNPI, 2009)
29
Lampiran 3 Peta Lahan Terdegradasi Akibat Kenaikan Muka Air Laut (DNPI, 2009)
Lampiran 4 Peta Kerentanan Pangan Baseline di Indonesia (DNPI, 2009)
Lampiran 5 Peta Kerentanan Pangan Akibat Perubahan Iklim di Indonesia (DNPI, 2009)
30
Lampiran 6 Kuesioner Pengetahuan Masyarakat Tentang Perubahan Iklim (DNPI, 2011)
31
Lampiran 7 Surat Keterangan Magang Penulis di DNPI
Download