1 1 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Anatomi dan Histologi Serviks

advertisement
1
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Histologi Serviks Uteri
Serviks uteri terdiri dari porsio vagina eksternal (ektoserviks) dan jalur
endoserviks. Ektoserviks dapat dilihat pada pemeriksaan vagina dilapisi oleh
epitel skuamosa matur yang berhubungan dengan dinding vagina. Epitel
skuamosa terletak di tengah tepat dijalur kecil yang disebut external os yang
mengarah ke jalur endoserviks. Mukosa kelenjar endoserviks dilapisi oleh sel
kolumnar, epitel penghasil musin (Gambar 2.1) (Rosen, 2009; Ellenson dan Pirog,
2015). Titik dimana terjadi pertemuan antara epitel skuamosa dan epitel kolumnar
disebut squamocolumnar junction / zona tranformasi (Gambar 2.2) (Nucci dan
Crum, 2010).
Gambar 2.1
Squamocolumnar junction dengan sel matur, epitel skuamosa dengan glikogen,
sel-sel skuamosa metaplastik yang immatur, dan epitel kelenjar endoserviks
berupa sel kolumnar (Ellenson dan Pirog, 2015).
1
2
Gambar 2.2
Zona transformasi serviks. Skema zona transformasi (atas) gambar diferensiasi
squamocolumnar junction (panah vertikal) area ini (dari kiri - kanan), sel
skuamosa dan diferensiasi sel kolumnar (Nucci dan Crum, 2010).
2.2 Karsinoma Serviks Uteri
Karsinoma serviks uteri merupakan tumor ganas yang berasal dari serviks
uteri. Karsinoma serviks uteri dapat berasal dari bermacam-macam jenis sel. SCC
adalah karsinoma yang paling sering terjadi (76%) (Stoler et al., 2014), diikuti
oleh adenocarcinoma serviks uteri (10-25%) ( Wilbur et al., 2014).
2.2.1 Klasifikasi
Berdasarkan kriteria World Health Organization (WHO) karsinoma
serviks uteri dapat dibagi menjadi tumor epitelial, lesi menyerupai tumor, tumor
mesenkim, tumor mesenkim, epitel campuran, tumor melanosit, tumor sel
germinal, tumor mieloid, limpoid dan tumor sekunder (Tabel 2.1) (Kurman et al.,
2014; Stoler et al., 2014).
3
Tabel 2.1 Klasifikasi karsinoma sel skuamosa serviks uteri berdasarkan WHO
(Kurman et al., 2014)
A. Tumor dan prekursor sel skuamosa
a. Lesi intraepitelial skumosa
b. Squamous cell carcinoma, non specific
1. Keratinizing
2. Non keratinizing
3. Basaloid
4. Verukosa
5. Kondilomatosa
6. Papiler
7. Lymphoepithelioma-like
8. Squamotransitional carcinoma
c. Lesi jinak sel skuamosa
Berdasarkan AJCC/UICC TNM 7th ed College of American Pathologists
(CAP) tahun 2014, protokol penanganan spesimen pasien karsinoma serviks uteri
(Anonim a 2014) membagi derajat diferensiasi histologi yaitu;
1. G1: Well differentiated
2. G2: Moderately differentiated
3. G3: Poorly differentiated
4
2.2.2 Epidemiologi
Karsinoma serviks uteri adalah kanker terbanyak kedua atau ketiga yang
terjadi pada wanita dengan kira-kira 0,5 juta kasus didunia setiap tahun (Stoler et
al., 2014). Di literatur lain mengatakan di seluruh dunia kanker serviks uteri
adalah penyakit kedua yang paling sering pada wanita setelah kanker payudara,
hampir 500.000 kasus baru pertahun (Gambar 2.3) (Lindstrom, 2010).
Data secara global
Insidensi
Rata-rata usia standard per 100.000
mortalitas
Rata-rata usia standard per100.000
Gambar 2.3
Frekuensi jumlah kanker terbanyak pada wanita: berdasarkan insiden dan
mortalitas (Lindstrom, 2010)
SCC lebih sering terjadi yaitu 76% dari semua kanker serviks (Stoler et
al., 2014). Adenocarcinoma adalah keganasan kedua yang paling sering setelah
squamous cell carcinoma (10-25%) (Wilbur et al., 2014).
Di setiap wilayah terdapat perbedaan antara insiden dan mortalitas pada
kanker serviks. Secara geografis terdapat insiden yang bervariasi mulai dari
7/100.000 sampai 43/100.000. insidensi tertinggi yaitu di negara yang sedang
5
berkembang, sedangkan di negara industri insiden kanker serviks berkurang kirakira 60% pada dekade terakhir, sejak dilakukan program deteksi dini dan terapi
terhadap lesi prekursor pada serviks - CIN (Lindstrom, 2010).
Terdapat 274.000 kematian wanita setiap tahun dengan kanker serviks,
dan menduduki urutan ketiga diseluruh dunia. Dengan angka mortalitas 55%.
Angka mortalitas ini bervariasi mulai dari wilayah dengan resiko rendah dengan
prognosis yang baik, sedangkan pada negara berkembang banyak kasus yang tidak
dilaporkan dengan stadium lanjut. Pada negara dengan akses kepedulian
kesehatannya tidak tersedia dilaporkan angka kematian yang sangat tinggi
mencapai 80%, seperti di Sub-Sahara Afrika, dan merupakan salah satu negara
dengan angka kematian tertinggi di dunia karena kanker serviks (Lindstrom, 2010,
Anonim, 2014).
Di Indonesia khususnya di Bali pada tahun 2009 kanker serviks uteri
mencapai angka 27,5 % kasus setelah kanker payudara mencapai 29,2% kasus
(Anonim, 2009). Pada tahun 2010 kanker serviks uteri mencapai urutan tertinggi
pertama dengan angka 28,2 % kasus diikuti 25,3% kasus kanker payudara
(Anonim, 2010). Pada tahun 2011 kanker serviks uteri mencapai angka 21,8`%
kasus setelah kanker payudara dengan angka 28,2 % kasus (Anonim, 2011)
(Gambar 2.4). Kanker serviks uteri relatif sering ditemukan pada usia
6
Gambar 2.4
Grafik insiden karsinoma serviks uteri dibandingkan dengan karsinoma payudara
selama tahun 2009-2011 di Indonesia (Anonim, 2009; Anonim, 2010; Anonim,
2011).
pertengahan, dengan usia puncak pada usia 45-54 tahun. Walaupun demikian
kanker serviks dapat ditemukan pada anak-anak dibawah usia 15 tahun yaitu
adenocarcinoma (Anonim, 2009; Anonim, 2010; Anonim, 2011).
2.2.3 Etiologi
Faktor
penyebab
utama
kanker
serviks
adalah
infeksi
human
papillomavirus (HPV) yang ditularkan melalui hubungan seksual (Stoler et al.,
2014). Virus HPV yang ditularkan melalui hubungan seksual merupakan
penyebab terbanyak penyakit menular seksual pada pria dan wanita di seluruh
dunia. HPV berhubungan dengan berbagai kondisi klinis yang bervariasi, mulai
dari lesi yang tidak berbahaya sampai kanker (Hwang et al., 2012).
Papilomavirus merupakan kelompok dari beragam virus yang ditemukan
pada hampir semua vertebra, termasuk mamalia, reptil, dan burung. Papilomavirus
7
merupakan anggota dari keluarga Papovaviridae, yang mempunyai ciri relatif
kecil, tidak berkapsul, memiliki diameter 55 nm, sirkular, doble stranded DNA
genom yang berefleksi dalam inti sel pejamu, melepaskan virion dengan kapsid
protein berbentuk ikosaherdal. Gambaran morfologi koilositotik atipik, termasuk
perinuclear cytoplasmic clearing, dengan pembesaran inti dan hipekromasia, telah
ditetapkan sebagai tanda patognomonik efek HPV dan hasil langsung dari
replikasi aktif genom virus (Hwang et al., 2012).
2.2.4 Faktor Risiko
Sebagian besar faktor host dan lingkungan sangat mempengaruhi, untuk
menilai kemungkinan HPV bisa menjadi suatu neoplasma serviks uteri. Seseorang
individu akan mempunyai risiko terinfeksi HPV risiko tinggi (faktor risiko mayor)
yang lebih besar jika mempunyai pasangan seksual multipel, atau mempunyai satu
pasangan seksual yang mempunyai pasangan seksual multipel. Hubungan seksual
pada usia dini juga meningkatkan risiko terinfeksi HPV.
Keterlibatan immunitas, maupun terapi immunosupresan atau infeksi
human immunodeficiency virus (HIV), dapat meningkatkan risiko cervical
intraepithelial neoplasia (CIN) dan kanker invasif dari 5 menjadi 10. Diantara
wanita dengan DNA-HPV yang positif, pengguna kontrasepsi baik IUD maupun
oral dalam jangka waktu yang lama, paritas yang tinggi, merokok dan sudah pasti
adanya infeksi melalui aktifitas seksual, seperti adanya klamidia trakomatis, yang
dikelompokkan dengan RR antara 2 dan 4 juga merupakan faktor risiko minor
terjadinya kanker serviks (Wells et al., 2014). Wanita dengan riwayat keluarga
8
dengan
kanker
serviks,
penggunaan
hormonal
maupun
genetik
juga
mempengaruhi terjadinya kanker serviks (Stoler et al., 2014).
2.2.5 Patogenesis
Siklus hidup HPV bergantung dari proses maturasi dari sel epitel
skuamosa normal. Heterogenitas tipe HPV, spesies yang terkena, dan jarangnya
interspecies transmissibility mengesankan bahwa virus ini dapat koevolusi dengan
penjamunya (Thomison et al., 2008).
Genom HPV mempunyai panjang 6900 sampai 8000 base-Pair (bp)
molekul (Thomison et al., 2008) yang memiliki kemampuan untuk mengkode
enam protein awal (E1, E2, E4-E7) dan dua protein akhir (L1 dan L2) yang
diperlukan untuk replikasi virus DNA di dalam inti sel pejamu dan untuk
berkumpulnya partikel virus yang baru diproduksi dalam sel yang terinfeksi
(Doorbar, 2006; Paavonen, 2007). Kedua kelompok tersebut dipisahkan oleh
upstream regulatory region (URR) yang berfungsi untuk meregulasi replikasi
DNA dengan mengontrol transkripsi open reading frames (ORF). URR juga
mengandung berbagai variasi genom virus (Munoz et al., 2006; Stanley, 2010).
HPV dikategorikan menjadi high-risk human papillomavirus (HR-HPV) dan lowrisk human papillomavirus (LR-HPV), bergantung dari kemampuan virus tersebut
untuk menimbulkan infeksi yang berhubungan dengan timbulnya kanker
(Paavonen, 2007). HPV risiko tinggi merupakan virus yang paling sering
ditemukan pada lesi pre kanker dan kanker, sebaliknya LR-HPV jarang ditemukan
pada lesi tersebut. Sebagai catatan, kebanyakan infeksi HR-HPV akan secara
9
spontan menghilang dan tidak berkembang menjadi lesi displasia dan kanker. Tipe
HR-HPV yang klasik adalah HPV 16 dan HPV 18, sedangakan tipe LR-HPV
0antara lain HPV 6 dan HPV 11 (Thomison et al., 2008).
Transmisi HPV terjadi terutama dengan kontak kulit ke kulit.
Kebanyakan kanker serviks timbul pada squamocolumnar junction, yaitu antara
epitel kolumnar endoserviks dan epitel skuamosa ektoserviks, dimana pada tempat
tersebut terjadi perubahan metaplasia yang terus menerus. Aktivitas metaplasia
terbanyak tersebut terjadi pada saat pubertas, kehamilan pertama, dan menurun
setelah menopause. (Stolen et al., 2014). Kondisi predisposisi non herediter adalah
kondisi klinis tertentu yang berkaitan dengan peningkatan risiko penyakit kanker
yang tengah berkembang. Kondisi ini dibagi dua yaitu inflamasi kronik dan
kanker serta kondisi
prekanker. Meskipun mekanisme persisnya
yang
menghubungkan inflamasi kronik dan karsinogenesis tidak diketahui, reaksi
inflamasi
kronik
dapat
menyebabkan
produksi
sitokin
setempat
yang
berkesinambungan yang dapat menstimulasi pertumbuhan sel yang sudah
mengalami transformasi (Gambar 2.5) (Hellweg et al., 2006; Stricker dan kumar,
2008).
Gambar.2.5
Hubungan infeksi HPV dengan kanker serviks uteri.
(Hellweg et al., 2006)
10
2.2.6 Aspek Klinis
Wanita dengan kanker serviks awal dan prekanker biasanya tidak
memiliki gejala. Gejala sering kali tidak terlihat sampai timbul kanker invasif.
Gejala yang timbul yaitu perdarahan pervaginal yang abnormal (51,9%–100%)
setelah adanya hubungan seksual dengan pasangan, perdarahan saat menopause,
perdarahan yang hilang timbul, atau masa menstruasi yang panjang. Perdarahan
setelah pemeriksaan klinis juga bisa terjadi. Gejala lain yaitu adanya cairan yang
keluar dari vagina yang bisa mengandung darah dan nyeri saat berhubungan seks
juga merupakan gejala dari kanker serviks (25%–79%) (Eze et al., 2013).
Langkah yang dilakukan untuk mendiagnosis kanker serviks yaitu
dengan melakukan Pap smear. Bila ditemukan ada lesi prekanker maka
disarankan untuk tindakan kolposkopi oleh dokter kebidanan atau tindakan
pemeriksaan lain oleh ahli kebidanan. Bila dilakukan biopsi/operasi dilakukan
pemeriksaan mikroskopis oleh ahli patologi (Saslow et al., 2012).
Pemeriksaan penunjang lain yang dapat digunakan yaitu dilakukan
pemeriksaan magnetic resonance imagning (MRI) yang dapat membantu melihat
massa tumor dan adanya perluasan kanker apakah sampai ke otak atau ke spinal
cord. Computed tomography (CT) juga membantu mengetahui apakah ada
penyebaran tumor ke kelenjar limfa, ke hati, paru-paru, atau bagian tubuh yang
lain (Eve et al., 2013; Stoler et al., 2014).
11
2.2.7 Morfologi
2.2.7.1 Squamous cell carcinoma
Squamous cell carcinoma yaitu suatu karsinoma invasif yang disusun oleh
sel-sel epitel skuamosa dengan derajat diferensiasi yang berbeda. SCC
berdasarkan grading dibagi atas well differentiated squamous (grade 1)
moderately differentiated squamous (grade 2) dan poorly differentiated squamous
(grade 3) (Witkiewicz et al., 2011; Anonim a, 2014). Secara makroskopis tampak
dengan lesi eksofitik, dan tumbuh dari permukaan, sering juga dengan struktur
papiler atau polipoid (Rosen 2009; Witkiewicz et al., 2011; Weels et al., 2014).
Secara histologi
SCC well differentiated squamous (grade 1) yang
paling mencolok adalah keratin yang banyak disebut mutiara keratin diantara
sarang sel epitel yang neoplastik, individual keratin (diskeratosis) kadang juga
bisa ditemukan. Sel epitel neoplastik berupa sel matur dengan jembatan antar sel
jelas dan inti yang besar, sitoplasma yang luas, membran inti irregular,
hiperkromatik, mitosis dapat ditemukan di pinggir sarang sel neoplastik. Stroma
sering di infiltrasi sel radang kronik kadang dengan giant cell benda asing.
Pada moderately differentiated squamous (grade 2), sel-sel epitel
neoplastik dengan batas antar sel yang tidak jelas, inti tidak terlalu besar, inti lebih
pleomorfik daripada grade 1, membran inti irregular, sitoplasma tidak luas,
mitosis lebih banyak dari grade 1, mutiara keratin jarang ditemukan tetapi
individual keratin ditemukan di pusat sarang sel epitel neoplastik.
12
A
B
C
Gambar 2.6
A. Well differentiated squamous cell carcinoma, B. Moderately squamous
cell carcinoma, C. Poorly differentiated squamosa cell carcinoma
(Hellweg et al., 2006; Witkiewicz et al., 2011; Stoler et al., 2014).
Pada poorly differentiated squamous (grade 3) sel-sel epitel neoplastik
dengan inti pleomorfik, membran inti irregular, hiperkromatik, sitoplasma sempit,
anak inti menonjol, mirip dengan high grade squamous intra epithelial lesion
(HSIL). Bisa ditemukan sel bizar, sel raksasa, banyak mitosis dan bisa ditemukan
mitosis abnormal. Tidak ditemukan keratinisasi dan jaringan nekrosis (Gambar
2.6 A, B dan C) (Witkiewicz et al., 2011).
Berdasarkan WHO klasifikasi squamous cell carcinoma invasif dibagi
atas keratinizing squamous cell carcinoma, non keratinizing squamous cell
carcinoma dan tipe lainnya. Keratinizing squamous cell carcinoma serupa dengan
gambaran well diferensiasi squamous. Non keratinizing squamous cell carcinoma
adalah sarang karsinoma sel skuamosa tanpa adanya mutiara keratin, inti bulat
oval, kromatin clumping, dan dapat ditemukan mitosis. Squamous cell carcinoma
tipe lain yaitu tipe basaloid yaitu kanker sel skuamosa dengan tipe sel basal
tersusun atas sarang-sarang dengan tipe sel immatur, dengan sitoplasma sempit.
Squamous cell carcinoma tipe verukosa yaitu tumor dengan diferensiasi yang
tinggi, inti hiperkromatik, undulasi, permukaan membentuk warty, menginvasi
13
stroma dan mendorong batas membran. Bedakan dengan kondiloma yang
mengandung fibrovaskular core dan koilosit. Squamous cell carcinoma tipe
kondilomatosa yaitu squamous cell carcinoma dengan gambaran koilositotik
atipia dan fibrovascular core. Squamous cell carcinoma tipe papiler yaitu tumor
dengan pola papiler. Lymphoepithelioma-like yaitu tumor tersusun atas pulaupulau sel undifferentiated dengan latar belakang infiltrat sel limfosit.
Squamotransitional carcinoma, yaitu mengandung elemen keganasan skuamosa,
sebagian tumor dengan fibrovascular core (Hellweg et al., 2006; Rosen 2009;
Stoler et al., 2014).
Yang digunakan penelitian ini adalah SCC berdasarkan AJCC/UICC TNM 7th ed
College of American Pathologists (CAP) tahun 2014.
2.2.8 Stadium Patologi
Berdasarkan klasifikasi FIGO dan TNM klasifikasi karsinoma kanker
serviks berdasarkan American Joint committee on Cancer (AJCC) stadium
patologi dapat dibagi (Anonim a, 2014: Stoler et al., 2014) yaitu:
Pada tumor primer
TNM
FIGO
TX
Tumor primer yang tidak dapat dikenal
TO
Tidak ada bukti sebagai tumor primer
Tis
a
Karsinoma in situ (pre invasif karsinoma)
T1
1
Tumor berada di serviks (mendesak ke uterus)
T1a
IA
Karsinoma invasif yang di diagnosis dengan mikroskop.
14
Invasif stroma dengan kedalaman maksimal 0,05 mm
diukur dari dasar epitel mengarah ke horizontal kurang dari
0,7 mm.
T1a1
IA1
Invasi stroma kurang dari 0,3 mm dengan kedalaman
kurang dari 0,7 mm.
T1a2
IA2
Invasi stroma lebih dari 3 mm dan tidak lebih dari 7 mm.
T1b
IB
Secara klinis lesi terlihat dan secara mikroskopis lesi lebih
dari T1a/IA2.
T1b1
IB1
Lesi terlihat ukuran kurang dari 4,0 cm.
T1b2
IB2
Lesi terlihat ukuran lebih dari 4,0 cm.
II
Tumor menginvasi uterus tetapi tidak ke dinding pelvis atau
T2
sepertiga bawah vagina.
T2a
IIA
Tumor tanpa invasi ke parametrium.
T2a1
IIA1
Lesi yang terlihat secara klinis kurang dari 4,0 cm.
T2a2
IIA2
Secara makroskopis lesi terlihat ukuran lebih dari 4 cm.
T2b
IIB
Tumor dengan invasi perimetrium.
III
Tumor menembus dinding pelvis, termasuk sepertiga.
T3
bagian bawah vagina, karena hidronefrosis atau penyakit
ginjal non fungsional.
T3a
IIIA
Tumor menginvasi sepertiga bawah vagina.
T3b
IIIB
Tumor menembus dinding pelvis, karena hidronefrosis atau
penyakit ginjal non fungsional.
T4
IVA
Tumor menginvasi mukosa buli atau rektum, atau
15
menembus bagian atas pelvis.
2.2.9 Penatalaksanaan dan Prognosis
Penatalaksanaan kanker serviks uteri selain berdasarkan histopatologi,
juga berdasarkan faktor klasik yang digunakan untuk mendiagnosis kanker serviks
uteri yaitu faktor klinis mengacu pada TNM Classification dan FIGO Staging
System for Cervical Carcinoma, yaitu: tumor primer, Regional Lymph Nodes (N),
Distant Metastasis (M), Resection Margins, dan Lymph-Vascular Invasion, tipe
histologi, grading, dengan terapi radiasi baik kombinasi kemoterapi (kemoradiasi)
dengan tindakan operasi maupun paliatif (Anonim, 2014 a). Atas dasar
keberhasilan awal dari kanker payudara dan beberapa keganasan yang
menggunakan kemoradiasi, maka masih tetap dilakukan uji klinis untuk
menyelidiki obat sebagai target terapi molekul potensial pada manusia lainnya
termasuk pada keganasan kanker serviks (Shen et al., 2008).
Prognosis karsinoma serviks ditentukan berdasarkan stadium, usia
pasien, dan stadium IB dan IIA FIGO, berdasarkan kedalaman invasi, invasi
limfovaskular, apakah ada metastasis atau penyebaran sel ganas ke organ lain
(Stoler et al., 2014). Kelangsungan hidup pasien karsinoma serviks dalam 5 tahun
juga berdasarkan stadium yaitu 77% pada semua stadium, kelangsungan hidup
pasien 100% pada stadium IA1, terdapat 93% angka kelangsungan hidup pasien
pada stadium IA2, angka kelangsungan hidup pasien 89% pada stadium IB1,
terdapat 83% angka kelangsungan hidup pasien pada stadium IB2, angka
kelangsungan hidup pasien 49% pada stadium II, 34% angka kelangsungan hidup
16
pasien pada stadium III, dan 3% pada pasien stadium IV (Wilbur et al., 2014).
Diharapkan melalui radiasi dan kemoterapi yang tepat dengan menggunakan
rejimen yang tepat terhadap pasien-pasien kanker serviks dapat meningkatkan
angka kelangsungan hidup pasien karsinoma serviks, dan bahkan membantu
pasien untuk memperoleh kesembuhan total.
2.3 HER-2/neu
2.3.1 Struktur HER2/neu
HER-2/neu (Human Epidermal growth factor Receptor-2) merupakan
onkogen yang termasuk dalam golongan famili gen EGFR atau ERB berlokasi di
kromosom 17q12-q21. Gen HER-2/neu ini menyandi suatu trans membran, HER2/neu. HER-2/neu merupakan suatu protein yang diekspresikan pada membran
sel, yang berfungsi sebagai reseptor yang memiliki aktivitas tirosin kinase
intrinsik. Reseptor ini termasuk kedalam kelompok yang sama dengan EGFR
(Gambar 2.8). Protein ini termasuk famili protein reseptor kinase klas I yang
paling banyak diekspresikan pada sel-sel epitelial. Overekspresi protein ini pada
sel-sel epitelial akan mempengaruhi regulasi proses proliferasi sel, proses
apoptosis, proses motilitas dan adesi sel (Fritz, 2005; Iqbal, 2014; Arman et al.,
2014). Yang termasuk family ini adalah EGFR, HER-2/neu, HER-3, dan HER- 4.
17
Gambar 2.7
Resptor ErbB mempunyai struktur yang terdiri dari ektraseluler ligand-binding
domain, transmembran domain, intraseluler sitoplasmik domain yang terdiri dari
carboxyl-terminal dan tyrosine kinase domain (Mulyana, 2014).
Ke empat protein ini memiliki struktur yang mirip satu sama lainnya, yaitu
terdiri dari extracellular ligand-binding domain yang mengandung cysteine-rich
region, intracellular juxtamembrane yang pendek, tyrosine kinase domain dan
carboxy tail yang mengandung tyrosine phosphorilation site. Aktivasi dari salah
satu reseptor ini akan memicu pembentukan homodimer atau heterodimer,
selanjutnya akan terjadi fosforilasi satu sama lainnya yang diikuti dengan ikatan
dengan molekul-molekul yang terlibat dalam proses signal transduksi berikutnya
(Fuchs et al., 2007; Iqbal dan Iqbal, 2014; Mulyana, 2014; Arman et al., 2014).
Pada mamalia, ligan yang berikatan dan mengaktivasi EFGR diantaranya
Epidermal Growth Factor (EGF), TGF-α, heparin-binding EGF-like growth
factor (HB-EGF), amphiregulin, betacellulin, epiregulin, dan epigen. Ligan yang
18
mengaktivasi HER-4 diantaranya HB-EGF, betacellulin, dan epiregulin.
Neuregulin merupakan protein yang dapat mengaktivasi EFGR dan HER-3.
Sampai saat ini belum diketahui adanya molekul yang dapat mengaktivasi HER2/neu dan HER-3 mempunyai aktivitas tirosin kinase yang efektif. Meskipun
demikian, heterodimer HER2/neu/HER-3 akan menimbulkan modul transduksi
signal yang sangat poten dari sepasang reseptor yang secara tunggal merupakan
reseptor yang inaktif (Fuchs et al., 2007; Iqbal dan Iqbal, 2014; Arman et al.,
2014)
2.3.2 Fungsi HER2/neu
Fungsi reseptor HER sebagai monomer pada permukaan sel. Setelah
ligan berikatan dengan domain ekstraseluler. Protein HER menjalani dimerisasi
dan transfosforilasi dari domain intraseluler. HER2/neu telah diketahui secara
langsung dapat mengaktifkan ligan dan heterodimer bersama dengan family HER
lainnya seperti HER1 dan HER3. Homodimer maupun heterodimer di
autofosforilasi oleh residual tirosin pada domain sitoplasmik dan memulai
berbagai jalur sinyal reseptor dan terutama mengaktifkan mitogen-activated
protein kinase (MAPK), phosphatidylinositol-4,5-bisphosphate 3-kinase (PI3K),
dan protein kinase C (PKC) yang dihasilkan oleh proliferasi sel, kelangsungan
hidup, diferensiasi, angiogenesis, dan invasi. Heterodimer menghasilkan sinyal
lebih kuat dari homodimer, memiliki ligan HER2/neu yang sangat tinggi dan
memberikan
sinyal
pada
HER2/neu
untuk
membuka
konformasi
dan
menjadikannya mitra dimerisasi pilihan pada family HER. Heterodimer HER2/neu
- HER3 adalah stimulator yang paling ampuh di jalur hilir, khususnya PI3K / Akt,
19
sebagai pengatur pertumbuhan sel dan kelangsungan hidup. Selain itu dimerisasi
HER2/neu melaporkan bila terjadi kesalahan tempat dan merupakan degradasi
cepat dalam inhibitor siklus sel. Protein p27KIP1 menyebabkan terjadinya
perkembangan siklus sel. HER2/neu juga dapat diaktifkan dengan sempurna pada
reseptor membran lainnya seperti insulin seperti pertumbuhan reseptor faktor 1.
Gambar 2.9 menunjukkan jalur transduksi utama diatur oleh empat anggota
keluarga HER yaitu EGFR, HER2/neu. HER3, dan HER4 (Iqbal, 2014). Reseptor
homodimer atau heterodimer mengaktivasi jalur sinyal hilir untuk pertumbuhan
sel, proliferasi, dan kelangsungan hidup. HER2/neu pada konformasi terbuka
menjadi mitra dimerisasi sebagai satu famili. PI3K / AKT aksis (yang diatur oleh
Gambar 2.8
Jalur transduksi utama HER
(Iqbal dan Iqbal, 2014).
20
PTEN melibatkan efektor utama lainnya seperti NFkB dan mTOR) dan kaskade
Raf / MAPK sebagai dua jalur downstream signaling yang paling penting dan
paling ekstensif dipelajari yang diaktifkan oleh reseptor HER. Ras berada pada
tempat teratas dan berfungsi sebagai sinyal transduser yang nonaktif.
Faktor ketiga yang memiliki peranan yang penting dalam jaringan adalah
PKC, yang diaktifkan oleh PLC. Sebagai hasil dari jalur sinyal ini, faktor inti yang
berbeda direkrut dan dimodulasi oleh transkripsi gen yang berbeda, dan
melibatkan perkembangan siklus sel, proliferasi, dan kelangsungan hidup.
2.3.3 Overekspresi HER2/neu pada Kanker
Pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa sel kanker yang
menunjukkan overekspresi dari HER-2/neu, dimerisasi reseptor terjadi secara
spontan karena adanya molekul dalam jumlah yang banyak. Pada sel kanker
payudara dan ovarium yang menunjukkan overekspresi HER-2/neu memiliki level
fosforilasi tirosin basal yang tinggi. Famili reseptor tirosin kinase ini berperan
pada berbagai proses pada sel neoplastik, termasuk proliferasi, migrasi, invasi
stromal, dan resistensi terhadap apoptosis. Pensignalan HER-2/neu akan
menginduksi ekspresi Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF), suatu faktor
proangiogenik, yang dimediasi oleh Hypoxia-inducible factor (HIF1). HER-2/neu
menghambat apoptosis yang diinduksi oleh Tumor Necrosis Factor (TNF) melalui
jalur Akt/NF-kB. Semua perubahan diatas mempengaruhi laju pertumbuhan
tumor, dan laju pertumbuhan tumor berhubungan dengan derajat diferensiasi
tumor (Kumar et al., 2010; Arman et al., 2014). HER2/neu juga menekan p53
21
melalui mekanisme yang berbeda secara tidak langsung yang dimediasi oleh
AKT. Inhibisi ekspresi p53 akhirnya menghambat apoptosis, p53 telah
menunjukkan adanya disregulasi beberapa gen pro - apoptosis yang terlibat dalam
jalur apoptosis intrinsik (Gambar 2.10) (Ceran, 2012; Arman et al., 2014).
Gambar 2.9
Overekspresi HER2/neu pada kanker (Ceran, 2012)
Peningkatan ekspresi HER-2/neu telah ditemukan pada berbagai kanker
manusia dimana HER-2/neu berperan pada pertumbuhan sel tumor. Pada
kebanyakan kasus, overekspresi ini disebabkan karena amplifikasi gen.
Amplifikasi overekspresi gen HER2/neu terjadi kira-kira 15-30% pada kanker
payudara, juga dapat terjadi pada kanker di lambung, ovarium, karsinoma
endometrial serous uteri, head and neck dan esofagus. Peranan HER2/neu pada
beberapa jenis keganasan;
22
1. HER2/neu pada payudara terekspresi pada 15-30 % dari kanker payudara
yang invasif, dan sebagai faktor prognosis dan prediksi. Kanker payudara
dapat memiliki hingga 25-50 salinan gen HER2/neu bahkan sampai 40100 kali lipat, sehingga mengakibatkan 2 juta reseptor protein HER2/neu
diekspresikan pada permukaan sel tumor (Vaidyanatahan et al., 2010).
2. Pada kanker lambung overekspresi HER2/neu terpulas pada 10-30% dan
berkorelasi dengan hasil yang buruk dan penyakit yang lebih agresif.
Ekspresi protein HER2/neu pada kanker lambung pertama kali dijelaskan
pada sebuah studi dengan ditemukan pada 23 % dari 200 tumor yang
direseksi (Erik et al., 2013).
3.
Pada kanker esofagus dimana overekspresi HER2/neu dilaporkan pada 083 % dari kanker esofagus cenderung lebih tinggi pada adenokarsinoma
(10-83 %) dibandingkan dengan karsinoma sel skuamosa (0-56 %) (Iqbal
dan Iqbal, 2014).
4. Pada kanker ovarium overekspresi HER2/neu terlihat 20-30% sel
keganasan di epithelial (Ellena et al., 2005).
5. Pada kanker endometrial terutama pada karsinoma serosa dilaporkan
overekspresi HER2/neu antara 14-80%.
6. Pada keganasan yang lain, seperti pada kanker paru overekspresi
HER2/neu dilaporkan hanya 20% terutama pada adenokarsinoma paru.
Pada karsinoma urotelial yang invasif amplifikasi antara 0-32% dan
overekspresi HER2/neu antara 23-80% (Iqbal dan Iqbal, 2014).
23
7. Pada keganasan di serviks uteri masih kontroversi, dan masih akan terus
dilakukan penelitian tentang hubungan ekspresi HER2/neu dengan kanker
serviks.
2.3.4
Ekspresi HER2/neu pada Karsinoma Serviks Uteri
Ekspresi HER-2/neu pada karsinoma serviks berbeda dengan karsinoma
payudara, dimana overekspresi HER-2/neu pada payudara telah terbukti
merupakan faktor prognostik independen. Kasus karsinoma payudara berkorelasi
dengan prognosis yang jelek, menunjukkan ekspresi reseptor estrogen dan
progesteron yang kurang, serta tidak berespon terhadap terapi hormonal.
Peningkatan level HER-2/neu sirkulasi terhadap pasien karsinoma payudara
dengan metastasis berkorelasi dengan berkurangnya efikasi terhadap kemoterapi.
Pemeriksaan IHK HER-2/neu sudah merupakan suatu prosedur standar pada kasus
karsinoma payudara. Reseptor HER2/neu berhubungan dengan perilaku biologi
agresif, prognosis yang buruk dan resistensi terapi pada sebagian besar keganasan,
termasuk pada kanker serviks uteri (Barbu et al., 2013; Joseph dan Raghuveer,
2015).
Pada kasus karsinoma serviks uteri korelasi antara overekspresi HER2/neu
dengan prognosis masih kontroversi (Costa et al., 2009). Pada satu temuan
dimana terdapat hubungan prognostik yang signifikan antar reseptor HER (HER1HER4) pada SCC serviks uteri. Amplifikasi gen HER2/neu menggunakan
fluorescence in situ hybridization (FISH). Dilakukan pengecatan IHK pada 78
SCC, didapat hasil overekspresi 49 kasus (63%) pada HER1, 17 kasus (21,8%)
24
pada HER-2/neu, 58 kasus (74,4%) pada HER3 dan 62 kasus (79,5%) pada
HER4. Disimpulkan bahwa pada overekspresi HER1 terdapat hubungan yang
signifikan berkaitan dengan faktor prognostik yang buruk. Pada overekspresi
HER2/neu dan HER3 terdapat hubungan yang signifikan yaitu berkaitan dengan
prognostik yang buruk dimana terdapat perbedaan yang signifikan antara staging
dan grading. Pada overekspresi HER4 tidak menunjukkan perbedaan yang
signifikan berkaitan dengan faktor prognostik. Pada temuan ini dikatakan bahwa
overekspresi HER2/neu dan HER3 pada karsinoma serviks uteri sama dengan
yang ditemukan pada kanker payudara yaitu menunjukkan faktor prognostik yang
buruk (Fuchs et al., 2007). Masih terdapat perdebatan ekspresi HER2/neu pada
kanker seviks uteri yang menyatakan bahwa ekspresi HER2/neu ditemukan pada
29,7% kasus, 40%, dan ada hanya 3,2 % kasus yang mengekspresi HER2/neu
pada SCC (Shen et al., 2008). Temuan terbaru lain yaitu adanya hubungan
prognostik beberapa IHK pada 13 kasus adenocarcinoma serviks uteri yaitu pada
musinus, endometrioid, dan tipe serosa. IHK yang dipakai adalah CD105
microvessels,VEGF, EGRF-1 dan c-erbB-2 (HER2/neu). Disimpulkan bahwa
pada adenocarcinoma serviks uteri ditemukan aktifitas angiogenik yang
meningkat pada tumor. Dimana beberapa IHK ini dapat dipakai sebagai target
terapi dan faktor prognostik dari adenocarcinoma serviks uteri berdasarkan
subtipe. (Barbu et al., 2013).
Ditemukan pula jurnal yang membandingkan ekspresi HER2/neu dengan
tipe histologi, grading dan staging tumor pada CIN dan karsinoma serviks uteri
dengan menggunakan 34 sampel dan menggunakan ASCO/CAP HER2/neu
25
Reporting guidline. Dimana 20 kasus (58,83%) SCC, 4 kasus (11,76%)
adenocarcinoma serviks uteri dan 10 kasus (29,41%) CIN. Pada 4 kasus
adenocarcinoma, 2 kasus well differentiated adenocarcinoma terpulas +2 dan 2
kasus moderately differentiated adenocarcinoma terpulas +3, ditemukan
hubungan yang signifikan antara HER2/neu dengan adenocarcinoma berdasarkan
grading. Pada 20 kasus SCC berdasarkan grading ditemukan 8 kasus poorly
differentiated SCC yang terpulas +3, dan 4 kasus +2, pada moderately
differentiated SCC terdapat 3 kasus terpulas +3, dan 1 kasus +2. Berdasarkan
staging FIGO, pada SCC stage 2 terdapat masing-masing 5 kasus yang terpulas
+2 dan +3, pada stage 3 terdapat masing-masing 3 kasus terpulas +2 dan +3, stage
4 terdapat 3 kasus +3. Hubungan SCC dengan HER2/neu berdasarkan metastasis
ke kelenjar limfa dan parametium ditemukan 6 kasus terpulas +3 pada nodul
metastasis ke kelenjar limfa dan parametrium, 5 kasus terpulas +3 hanya di
parametrium saja. Temuan ini menyimpulkan bahwa intensitas ekpresi HER2/neu
meningkat berdasarkan grading dan ditemukan metastasis ke kelenjar limfa dan
parametrium (Joseph dan Raghuveer, 2015).
Seiring dengan kemajuan teknologi kedokteran, telah dikembangkan pula
suatu metode terapi dengan target HER-2/neu. Dengan teknik rekombinan,
trastuzumab, suatu monoclonal IgG1 class humanized murine antibody yang
secara spesifik berikatan dengan bagian ekstraseluler dari HER-2/neu telah
dikembangkan. Terapi ini awalnya diberikan pada pasien kanker payudara yang
muncul kembali dengan overekspresi protein HER-2/neu. Pada perkembangannya,
trastuzumab menjadi pilihan terapi yang penting pada setiap kanker payudara
26
dengan HER-2/neu yang positif (Fritz dan Cabbrera., 2005). Pada satu temuan
menuliskan adanya hubungan ekspresi EGFR dan HER2/neu pada karsinoma
serviks uteri primer dan metastasis ke kelenjar limfa berimplikasi sebagai target
radioterapi. Dimana dilakukan penelitian dengan immunohistokimia EGFR dan
HER2/neu pada 53 blok parafin dari tumor primer dan adanya metastasis ke
kelenjar limfa dengan menggunakan Hercep Test scoring. Hasilnya ditemukan
overekspresi (+2 atau +3) EGFR pada 34 kasus (64%) pada tumor primer serviks
uteri dan terdapat 32 kasus (60%) pada metastasis ke kelenjar limfa. Tidak
satupun dari tumor primer serviks uteri dan nodul yang metastasis ke kelenjar
limfa yang mengekspresikan HER2/neu. Disimpulkan bahwa HER2/neu sebagai
target potensial radioterapi yang buruk terhadap penanganan kanker serviks uteri.
Ekspresi EGFR merupakan target potensial radioterapi yang baik pada kanker
serviks uteri ( Shen et al., 2008).
Beberapa mencatat bahwa squamous cell carcinoma tingkat ekspresi
HER2/neu lebih rendah dari adenocarcinoma serviks uteri. Ekspresi HER2/neu
juga merupakan suatu pertentangan, baik sebagai faktor prognostik maupun
sebagai target terapi potensial pada kanker serviks. Pada penelitian lain ditemukan
perbedaan peningkatan overekspresi HER-2/neu antara 0 sampai 83% pada
karsinoma serviks (Schuell et al., 2006).
American Society of Clinical Onkologi (ASCO) dan College of American
Pathologists (CAP) telah merekomendasikan pedoman dalam pengujian
HER2/neu. Interpretasi ekspresi HER2neu menurut The 2014 ASCO/CAP HER-2
Reporting Guideline didasarkan pada intensitas pewarnaan, potensial sel yang
27
terpulas positif, dan pola pulasan pada membran sel. Gambaran karakteristik
pulasan di skoring sebagai berikut; 0 jika tidak ada pewarnaan atau menunjukkan
pewarnaan membran yang tidak lengkap dan samar / nyaris tak terlihat ≤ 10 %
dari sel-sel tumor. +1 jika pewarnaan membran tidak lengkap dan samar / nyaris
tak terlihat > 10 % dari sel-sel tumor, + 2 pewarnaan melingkar yang tidak
lengkap dan / atau lemah / sedang pada > 10 % sel-sel tumor atau bila pewarnaan
memenuhi membran secara sempurna pada ≤ 10 % sel-sel tumor, dan +3 jika
pewarnaan lengkap memenuhi membran pada > 10 % sel-sel tumor (Joseph dan
Raghuveer, 2015).
A
C
B
D
Gambar 2.10
Ekspresi HER2/neu, A. Nilai skor 0, B. Nilai skor +1, C. Nilai skor +2, D. Nilai
skor +3 (Iqbal dan Iqbal, 2014).
28
Penilaian ekspresi HER2/neu negatif jika skor 0 dan +1 (ditandai dengan angka 1
pada rencana tabel hasil), positif jika skor +2 dan +3 (ditandai dengan angka 2
pada rencana tabel hasil) ( Gambar 2.10) (Iqbal dan Iqbal, 2014).
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir
Kanker serviks uteri merupakan kaganasan tersering pada wanita yang
menimbulkan kematian utama di Bali, terutama karena serviks uteri pada stadium
awal tidak menunjukkan gejala, sehingga penderita cenderung datang pada
stadium lanjut, penanganannya juga menjadi sulit dan prognosis menjadi lebih
buruk. Infeksi HPV dan beberapa faktor risiko juga mempengaruhi timbulnya
karsinoma serviks. SCC adalah keganasan yang paling sering terjadi pada
karsinoma serviks uteri di Bali. SCC dapat dibagi berdasarkan derajat diferensiasi
yaitu well differentiated (grade 1), moderately differentiated (grade 2) dan poorly
differentiated (grade 3). Diperlukan suatu pemeriksaan penunjang yang dapat
dipakai sebagai target terapi dan prognostik kanker serviks.
Proto-onkogen merupakan gen yang memproduksi faktor pertumbuhan
yang mempunyai peranan penting terhadap sel normal. HER2/neu termasuk famili
protein reseptor kinase klas I yang paling banyak diekspresikan pada sel-sel
epitel. Overekspresi HER2/neu pada sel-sel epitel akan mempengaruhi regulasi
proses proliferasi sel, proses apoptosis, proses motilitas dan adesi sel. Pada
penelitian sebelumnya hasil ekspresi HER2/neu terhadap kanker serviks bervariasi
dan masih menjadi kontroversi. Famili reseptor tirosin kinase ini berperan pada
berbagai proses pada sel neoplastik, termasuk proliferasi, migrasi, angiogenesis,
invasi stromal, dan resistensi terhadap apoptosis. Pensignalan HER-2/neu akan
29
30
menginduksi ekspresi Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF), suatu faktor
proangiogenik, yang dimediasi oleh Hypoxia-inducible factor (HIF1). HER-2/neu
menghambat apoptosis yang diinduksi oleh Tumor Necrosis Factor (TNF) melalui
jalur Akt/NF-kB. Semua perubahan diatas mempengaruhi laju pertumbuhan
tumor, dan laju pertumbuhan tumor berhubungan dengan derajat diferensiasi
tumor. HER2/neu juga menekan p53 melalui mekanisme yang berbeda secara
tidak langsung yang dimediasi oleh AKT.
Pemeriksaan ekspresi HER2/neu pada SCC derajat diferensiasi I, II, III dapat
membantu mengetahui apakah ada hubungan antara ekspresi HER2/neu dengan
SCC, yang kelak dapat membantu memprediksi ekspresi HER2/neu pada setiap
kasus berdasarkan parameter yang ada. Dengan penelitian lanjutan dapat pula
dinilai apakah HER2/neu juga berperan pada target terapi dan prognosis secara
independen pada pasien SCC serviks uteri berdasarkan derajat diferensiasi dengan
target HER2/neu.
31
3.2 Konsep Penelitian
Berkembangnya lesi displasia, CIN 1,2,3 dan karsinoma in situ menjadi
karsinoma serviks dipengaruhi oleh faktor risiko mayor yaitu HPV risiko tinggi
dan faktor risiko minor yaitu seks bebas, infeksi, IUD, genetik dan lain-lain.
Dilakukan penelitian ini untuk mengetahui hubungan protein HER2/neu yang
diekspresikan oleh sel-sel ganas skuamosa serviks uteri berdasarkan derajat
diferensiasi di RSUP Sanglah.
Faktor risiko minor: seks
bebas, penyakti infeksi, IUD,
genetik dan lain-lain
Faktor
risiko
mayor:
infeksi
HPV risiko tinggi
Lesi displasia CIN 1, 2, 3
Karsinoma in situ
Karsinoma sel skuamosa
HER2/neu
u
Derajat diferensiasi I
Derajat diferensiasi II
Derajat diferensiasi III
Keterangan: Bagian yang bergaris tebal adalah yang diteliti.
Gambar 3.1
Konsep Penelitian
32
3.3 Hipotesis Penelitian
Terdapat hubungan positif ekspresi HER2/neu berdasarkan derajat
diferensiasi SCC serviks uteri.
33
Download