4 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Atopi dan uji tusuk kulit Atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos, yang memiliki arti “tidak pada tempatnya” dan sering digunakan untuk menggambarkan penyakit yang diperantarai oleh IgE.10 Menurut World Allergy Organization (WAO), atopi adalah kecenderungan seseorang dan atau keluarga untuk tersensitisasi dan menghasilkan IgE sebagai respons terhadap paparan alergen. Tetapi istilah atopi tidak dapat digunakan sampai sensitisasi IgE dibuktikan dengan hasil uji tusuk kulit positif.3 Uji tusuk kulit atau skin prick test (SPT) adalah uji diagnostik yang digunakan untuk mendiagnosis penyakit alergi yang diperantarai oleh IgE pada pasien dengan asma, RA, DA dan alergi makanan. Pemeriksaan uji tusuk kulit dilakukan dengan memperkenalkan sejumlah kecil ekstrak alergen ke epidermis superfisial fleksor lengan bawah untuk menyebabkan terjadinya reaksi sensitifitas. Saat IgE yang terikat pada sel mast kulit mengenali alergen, maka sel mast akan mengeluarkan histamin dan mediator lainnya yang dapat menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah sehingga timbul reaksi indurasi (wheal) dan kemerahan (flare) pada kulit. Uji tusuk kulit merupakan pemeriksaan yang murah, minimal invasif dan hasil diperoleh dengan cepat. Indikasi uji tusuk kulit jika 4 Universitas Sumatera Utara 5 diduga ada alergi berdasarkan anamnesis dan gejala klinis, skrining untuk predisposisi penyakit alergi, juga untuk studi epidemiologi dalam menentukan kecenderungan angka sensitisasi dan membantu standarisasi ekstrak alergen.11 Sensitivitas uji tusuk kulit mencapai 90%. Uji tusuk kulit bisa dilakukan mulai usia satu bulan dan tetap valid sampai usia 65 tahun.12 Penelitian tentang sensitisasi alergen dengan pemeriksaan uji tusuk kulit banyak dilakukan di Indonesia, salah satunya penelitian tahun 2011 pada 35 anak dermatitis atopi di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo didapatkan uji tusuk kulit positif pada 29 subjek, dengan alergen inhalan dan alergen makanan tersering masingmasing adalah bulu anjing dan maizena.13 2.2. Penyakit alergi dan Kuesioner The International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) Atopi merupakan predisposisi menjadi penyakit alergi seperti asma, RA, DA dan alergi makanan.14 Beberapa dekade terakhir prevalensi penyakit alergi meningkat dengan cepat dan mempengaruhi sekitar 20% populasi di negara berkembang.15 Diagnosis penyakit alergi ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang timbul akibat alergen dan pemeriksaan immunoglobulin E (IgE) spesifik yang sesuai dengan alergen pencetus penyakit alergi.16 Universitas Sumatera Utara 6 The international study of asthma and allergies in childhood (ISAAC) telah membuat kuesioner yang terstandarisasi pada tahun 1990 untuk memaksimalkan penelitian epidemiologi tentang asma dan penyakit alergi lainnya. Tujuan ISAAC adalah untuk menilai prevalensi dan tingkat keparahan asma, RA dan DA pada anak yang tinggal di tempat berbeda dan membuat perbandingan di dalam dan di luar negeri, menilai kecenderungan prevalensi dan tingkat keparahan penyakit di masa depan, serta mempersiapkan kerangka kerja untuk penelitian etiologi lebih lanjut dalam hal genetik, gaya hidup, perawatan medis dan faktor lingkungan yang mempengaruhi penyakit ini.17,18 2.3. Mekanisme respons imun terhadap alergen Penyakit alergi terjadi akibat adanya gangguan mekanisme respons imun, sehingga terjadi inflamasi kronis dengan dasar kelainan hipersensitivitas IgE dan infiltrasi eosinofil dan limfosit ke dalam jaringan.16,19 Di antara sel-sel sistem imun, sel T memainkan peran utama dalam respons inflamasi. Sel T diaktifkan saat antigen presenting cells (APC) menangkap antigen dan menampilkan fragmen antigen yang terikat dengan molekul major histocompatibility complex (MHC). Proses presentasi antigen ini, merangsang sel T berdiferensiasi menjadi sel T sitotoksik atau sel T helper (Th). Sel T helper (Th), dapat dibedakan menjadi dua subtipe berdasarkan sitokin yang Universitas Sumatera Utara 7 dihasilkannya yaitu sel Th1 dan Th2.20 Sel Th1 memproduksi interleukin (IL)-2, interferon-γ (IFN-γ), dan tumor necrosis factor-β (TNF-β), sedangkan Th2 akan memproduksi IL-4, IL-5, IL-9 dan IL-13.10 Alergen yang masuk ke dalam tubuh akan menimbulkan respons imun. Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai APC akan menangkap alergen.19 Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul human leukocyte antigen (HLA) kelas II membentuk komplek peptida major histocompatibility complex (MHC) kelas II yang kemudian dipresentasikan kepada sel Th.20 Kemudian APC akan melepas sitokin seperti IL-1 yang akan mengaktifkan sel Th untuk berproliferasi menjadi sel Th1 atau Th2 serta memproduksi IL-2 yang menstimulasi sel Th2 memproduksi IL lain. Aktivasi ini diperkuat oleh IL-5 dan IL-9. Interleukin-4 (IL-4) dan IL-13 berikatan dengan reseptornya di permukaan sel limfosit B (Fc), sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi IgE. Kemudian IgE akan berikatan dengan sel mast atau basofil (FcεR) sehingga kedua sel ini menjadi aktif.10,19 Bila individu tersensitisasi dengan alergen yang sama, maka IgE spesifik akan mengikat alergen tersebut dan terjadi degranulasi sel mast dan basofil, mengakibatkan terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Universitas Sumatera Utara 8 Newly Formed Mediators, antara lain prostaglandin, leukotrien, bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF), berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor). Mediatormediator ini akan menimbulkan manifestasi penyakit alergi.10,19 Penyakit alergi dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan.18 Studi genetik pada keluarga dengan atopi, telah diidentifikasi kromosom 11q dan 5q mempengaruhi produksi IgE.21 Kromosom 5q23-35 terdiri dari beberapa gen yang berperan dalam patogenesis alergi, termasuk gen yang mengkode sitokin Th2, IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-13 dan granulocyte-macrophage colonystimulating factor (GM-CSF). Kromosom 11q13 mengkode the β subunit of the high-affinity IgE receptor (FcεR1-β).10 Meskipun komponen genetik sangat penting dalam penyakit alergi, tetapi faktor-faktor lingkungan termasuk paparan dari lingkungan (alergen, polusi) dan infeksi dapat menjelaskan terjadinya peningkatan penyakit alergi.18 2.4. Sindrom nefrotik idiopatik dan imunopatogenesis 2.4.1. Sindrom nefrotik idiopatik Sindrom nefrotik (SN) idiopatik merupakan tipe SN tersering pada anak,22 yang ditandai dengan proteinuria masif ( > 40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau dipstik ≧ +2 ), hipoalbuminemia < 2.5 g/dL, edema, dan hiperkolesterolemia. Perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1.23 Di Universitas Sumatera Utara 9 Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan kasus baru sindrom nefrotik idiopatik pada anak sekitar 32 orang per tahun. Pada anak sebagian besar (80%) mempunyai gambaran patologi kelainan minimal (SNKM), diikuti dengan glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) 7% sampai 8%, mesangial proliferatif difus (MPD) 2% sampai 5%, glomerulonefritis membrano proliferatif (GNMP) 4% sampai 6% dan nefropati membranosa (GNM) 1,5%.23 Penyebab tersering SN idiopatik adalah sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM), berhubungan dengan atopi dan peningkatan kadar IgE serum.8 2.4.2. Imunopatogenesis SN idiopatik Mekanisme yang mendasari patogenesis SNKM tidak diketahui,8 tetapi sudah banyak diteliti melalui pendekatan genetik, seluler dan molekuler. Analisis genetik menunjukkan adanya beberapa mutasi gen podosit yang menyebabkan SN bawaan. Dari pendekatan molekuler SNKM dan GSFS dengan relaps masih belum jelas.22 Terjadinya relaps menunjukkan sistem imun berperan penting pada saat fase aktif penyakit melalui keterlibatan sel T, yang menyebabkan terganggunya fungsi podosit sehingga terjadi proteinuria masif.8,22 Penelitian tahun1974, menduga proteinuria yang terjadi pada SNKM disebabkan oleh faktor yang dilepaskan oleh sel T, penelitian lain menduga induksi cluster of differentiation-80 (CD80) pada podosit oleh sitokin, produk Universitas Sumatera Utara 10 bakteri atau alergen. Cluster of differentiation-80 (CD80) yang juga dikenal dengan B7.1 adalah molekul kostimulator sel T yang diekspresikan pada antigen-precenting cells (APC), sel natural killer (NK), dan limfosit B yang teraktivasi. Pengikatan CD80 pada podosit dengan reseptornya CD28 pada sel T menyebabkan sel T menjadi aktif.24 Ekspresi CD80 oleh podosit menyebabkan perubahan bentuk podosit sehingga terjadi proteinuria.25 2.5. Hubungan atopi dan penyakit alergi dengan SN idiopatik Penelitian tahun 1951 merupakan penelitian pertama kali yang menghubungkan antara atopi dan sindrom nefrotik. Sekitar 43% pasien SN menunjukkan gejala alergi, diduga alergi berperan dalam patogenesis SN idiopatik. Sejak saat itu, beberapa studi telah melaporkan hubungan antara atopi dan SN idiopatik.8 Insidens atopi pada penderita SN idiopatik lebih tinggi dibandingkan dengan yang sehat, berkisar antara 17% sampai 40%.26 Sebuah studi melaporkan 38% anak SN respons steroid memiliki asma, dermatitis atopi dan rinitis alergi.8 Pasien SN idiopatik juga menunjukkan peningkatan kadar IgE serum.8 Imunoglobulin E (IgE) sudah dikenal karena berhubungan dengan reaksi hipersensitivitas.27 Tetapi peningkatan kadar IgE serum pada anak dengan SNKM tidak selalu disertai gejala alergi.25 Produksi IgE terutama diperantarai oleh dua jenis sitokin, yaitu IL-4 dan IL-13, dimana produksi IL-4 oleh sel T Universitas Sumatera Utara 11 meningkat pada pasien dengan atopi, dan IL-13 meningkat pada pasien SNKM.8 Pada pasien SNKM, alergen yang ditangkap oleh APC, akan diproses dan disajikan ke T- cell effector (Teff). Kemudian APC akan mengekspresikan CD80 yang akan berikatan dengan CD28 yang berada pada permukaan sel T-eff. Ikatan ini akan mengaktifkan sel T-eff. Pengaktifan sel T-eff akan melepaskan beberapa sitokin, yaitu IL-4 dan IL-13. Interleukin-4 (IL-4) dan IL13 akan berikatan dengan reseptornya pada sel B.8 Selain sel B, podosit juga mengekspresikan reseptor transmembran untuk IL-4, IL-10, IL-13 dan tumor necrosis factor α (TNF-α).28 Ikatan ini akan menginduksi perubahan IgM menjadi IgE oleh sel B yang diaktivasi oleh signal transducer and activator transcription-6 (STAT-6).8 Sementara itu ikatan IL-13 dengan reseptor yang berada di permukaan podosit akan menstimulasi ekspresi CD80.28 Ekspresi CD80 akan mempengaruhi permeabilitas kapiler glomerular dan menyebabkan terjadinya proteinuria.24 Kemudian T-cell regulatory (Treg) akan menghasilkan IL-10 dan cytotoxic T-lymphocyte-associated-4 (CTLA-4) yang akan berikatan dengan CD80 yang terdapat pada permukaan APC dan sel B, sedangkan soluble CTLA-4 (sCTLA-4) berikatan dengan CD80 yang terdapat pada permukaan podosit. Ikatan ini akan menghambat IL-4 dan IL13 berikatan dengan reseptornya, sehingga tidak terjadi pembentukan IgE dan proteinuria. Jika terjadi gangguan fungsi sel T-reg dalam menghasilkan Universitas Sumatera Utara 12 IL-10, CTLA-4 dan sCTLA-4, menyebabkan sel T-eff terus melepaskan sitokin, sehingga IgE tetap terbentuk dan proteinuria menetap (gambar 2.1.).8 Gambar 2.1. Pembentukan IgE pada SN idiopatik8 Universitas Sumatera Utara 13 2.6. Kerangka Konseptual Genetik Alergen SN idiopatik Ditangkap oleh APC, kemudian diproses Proteinuria Limfosit T Proliferasi sel Th2 dan produksi sitokin IL-13 IL-4 Ekspresi CD80 Reseptor pada podosit Produksi IgE Uji tusuk kulit Atopi Manifestasi klinis ISAAC Penyakit alergi Yang diamati dalam penelitian Gambar 2.2. Kerangka konsep penelitian Universitas Sumatera Utara