Bab IV Hasil dan Pembahasan Penelitian ini terdiri atas 2 tahap utama, yaitu tahap akumulasi dan tahap depurasi. Tahap akumulasi dilaksanakan di lapangan dan tahap depurasi dilakukan di laboratorium. Pada tahap akumulasi, pengambilan sampel dilakukan pada saat bibit ikan ditebarkan, pada minggu ke-3, minggu ke-6, dan pada minggu ke-9. Lokasi sampling di lapangan berasal dari Waduk Cirata dan Kolam Air Deras. Sedangkan pada tahap depurasi, ikan yang digunakan adalah ikan berumur 9 minggu yang berasal dari Waduk Cirata dan Kolam air deras. Pada lokasi sampling waduk Cirata, selain ikan yang berumur 9 minggu dengan berat rata-rata ±165 g per ekor juga diambil ikan mas dengan berat rata-rata ±250 g dan ±125 g per ekor untuk tahap depurasi. IV.1. Parameter Kualitas Air IV.1.1. Suhu Setiap organisme memiliki kisaran toleransi yang bervariasi terhadap suhu. Kisaran suhu bagi budidaya ikan mas adalah 20-300C (Khairuman, 2003). Sedangkan suhu optimum bagi pertumbuhan ikan mas berkisar antara 200C hingga 250C (Santoso, 1993). Masing-masing spesies memiliki suhu optimum bagi pertumbuhannya dan juga suhu kritis pada setiap siklus hidupnya (Welch, 1980). Hasil pengukuran suhu air pada tahap akumulasi di KJA memiliki rata-rata berkisar antara 29,2 0C hingga 29,71 0C, sedangkan di KAD suhu rata-rata berkisar antara 23,95 0C hingga 24,83 0C (Tabel IV.1). Kisaran suhu di KJA lebih tinggi dibandingkan dengan kisaran suhu di KAD. Hal ini terutama dipengaruhi oleh waktu pengambilan sampel yang berbeda dan perbedaan aliran. Seperti yang dikemukakan oleh Effendi (2003) bahwa suhu suatu badan air diperngaruhi oleh musim, lintang (latitude), ketinggian dari permukaan laut (altitude), waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran serta kedalaman badan air. Walaupun demikian, kisaran suhu pada kedua lokasi tersebut masih berada dalam rentang yang disarankan bagi budidaya ikan mas. 27 Ikan tergolong hewan berdarah dingin. Ikan dapat menyesuaikan suhu tubuhnya dengan suhu lingkungan akuatik. Perubahan suhu akan mempengaruhi proses biologis dan kemampuan dalam pengaturan suhu internal tubuh organisme (Campbell et al., 2000). Menurut Effendi (2003) peningkatan suhu akan mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi dan volatilisasi. Selain itu peningkatan suhu juga menyebabkan penurunan kelarutan gas dalam air, misalnya oksigen (Ismail, 1992; Effendi, 2003) dan karbondioksida (Effendi, 2003). Peningkatan suhu juga menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme akuatik, dan selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen (Effendi, 2003). Walaupun variasi suhu dalam air tidak sebesar di udara hal ini merupakan faktor pembatas utama karena organisme akuatik sering kali mempunyai toleransi yang sempit (stenotermal) (Odum, 1998). Tabel IV.1 Suhu Air (0C) selama Tahap Akumulasi Lokasi Waktu Sampling saat ditebarkan setelah 3 minggu setelah 6 minggu setelah 9 minggu Rata-rata Maksimum Minimum Waduk Cirata KJA 1 KJA 2 29 29,9 29 29,35 29,3 29,9 29,5 29,7 29,2 29,71 29,5 29,9 29 29,35 KAD 1 24 25,1 25,6 24,6 24,83 25,6 24 Kolam air deras KAD 2 KAD 3 24 21 25,5 25,4 25,8 25,6 24 23,8 24,83 23,95 25,8 25,6 24 21 KAD 4 23 25,7 25,9 23,9 24,63 25,9 23 Pada tahap depurasi pengukuran suhu air di setiap akuarium depurasi dilakukan pada hari ke-0, hari ke-1, hari ke-7, hari ke-14, dan hari ke-21. Hasil pengukuran menunjukkan kisaran rata-rata suhu adalah 25,7 0C hingga 26,7 0C dengan suhu maksimum 28,4 0C dan suhu minimum 25 0C untuk akuarium depurasi dengan asal ikan KJA, sedangkan untuk asal ikan KAD rata-rata kisaran suhu adalah 26,14 hingga 26,18 dengan suhu maksimum 27,8 0C dan suhu minimum 25 0C (Tabel IV.2). Tidak terdapat perbedaan rata-rata kisaran suhu antara akuarium depurasi, hal ini disebabkan oleh karena akuarium-akuarium tersebut menggunakan air yang sama (PDAM) dan ditempatkan dalam ruangan yang sama di laboratorium. Selain itu tidak terdapat perbedaan intensitas cahaya yang akan mempengaruhi suhu akuarium tersebut. 28 Suhu minimum dan maksimum pada akuarium depurasi masih berada pada rentang suhu yang disyaratkan bagi kelangsungan hidup ikan mas, yaitu 20 0C – 30 0C (Khairuman dan Amri, 2003). Sehingga dapat dinyatakan bahwa dari parameter suhu, air yang digunakan untuk percobaan depurasi layak bagi kelangsungan hidup ikan mas. Tabel IV.2 Suhu Air (0C) selama Tahap Depurasi Lokasi Waktu Depurasi hari ke-0 hari ke-1 hari ke-7 hari ke-14 hari ke-21 Rata-rata Maksimum Minimum A 25 26,3 26,1 25,3 26,7 25,88 26,7 25 Asal ikan KJA KJA 1 KJA 2 B C A B 25 25 25 25 26,1 26,2 26,3 26,8 25,9 25,8 27,7 27,8 25,3 25,1 27,5 27,4 26,2 26,5 26 26,1 25,7 25,72 26,5 26,62 26,2 26,5 27,7 27,8 25 25 25 25 Asal ikan KAD C 25 26,9 28,4 27,1 26,1 26,7 28,4 25 KAD 1 KAD 2 25 25,8 25,6 26,8 27,7 26,18 27,7 25 25 25,9 25,5 26,5 27,8 26,14 27,8 25 IV.1.2. pH Pengukuran pH dilakukan karena menurut Odum (1998) konsentrasi ion hidrogen (pH) sangat penting di dalam mengatur respirasi dan sistem-sistem enzim dalam tubuh. pH menunjukkan konsentrasi ion hidrogen (H+) dalam air atau lebih tepatnya aktivitas ion hidrogen (Sawyer et al., 2003). pH sangat penting karena pH mengontrol tipe dan laju kecepatan reaksi beberapa bahan dalam air. Ikan dan organisme akuatik lainnya memiliki kisaran pH tertentu. Hasil pengukuran terhadap pH air selama tahap akumulasi, yang diperlihatkan pada Tabel IV.3, di KJA menunjukkan kisaran rata-rata 7,65 – 7,9 dengan pH maksimum 8,2 dan pH minimum 7,4. Sedangkan pH di KAD memiliki kisaran rata-rata 7,98 – 8,28 dengan pH maksimum 8,9 dan pH minimum 7,5. Tidak terdapat perbedaan pH yang ekstrim antara kedua lokasi tersebut dan kisaran pH tersebut masih dalam rentang pH yang disarankan bagi budidaya ikan mas, yaitu pada kisaran pH 6 – 9 (Khairuman dan Amri, 2003). 29 pH mempengaruhi toksisitas suatu senyawa. Toksisitas logam memperlihatkan peningkatan pada pH rendah (Effendi, 2003). pH merupakan salah satu faktor yang turut menentukan besarnya konsentrasi tembaga di lingkungan perairan. Selain itu, pH juga mempengaruhi kelarutan seng di air (Simon-Hettich et al., 2001; Lenntech, 2007). Lokasi Waktu Sampling saat ditebarkan setelah 3 minggu setelah 6 minggu setelah 9 minggu Rata-rata Maksimum Minimum Tabel IV.3 pH Air selama Tahap Akumulasi Waduk Cirata Kolam air deras KJA 1 KJA 2 KAD 1 KAD 2 KAD 3 KAD 4 8,2 7,4 8,9 8,7 8,5 8,6 7,8 7,7 8,3 8,3 8,1 8,1 7,8 7,4 8,4 8,1 7,7 7,8 7,8 8,1 7,5 7,6 7,6 7,6 7,9 7,65 8,28 8,18 7,98 8,03 8,2 8,1 8,9 8,7 8,5 8,6 7,8 7,4 7,5 7,6 7,6 7,6 Tabel IV.4 menunjukkan hasil pengukuran pH air selama tahap depurasi yang dilakukan di laboratorium. Kisaran rata-rata pH selama depurasi di akuarium asal ikan KJA adalah 7,1 – 7, 46 dengan pH maksimum 7,8 dan pH minimum 6,5. Sedangkan pada akuarium asal ikan KAD, pH berkisar antara 7,2 - 7,5. Menurut Khairuman dan Amri (2003) kisaran pH air untuk pemeliharaan ikan mas adalah 6 – 9. Hasil pengukuran pH air pada akuarium depurasi masih dalam rentang yang disarankan. Lokasi Waktu Depurasi hari ke-0 hari ke-1 hari ke-7 hari ke-14 hari ke-21 Rata-rata Maksimum Minimum Tabel IV.4 pH Air selama Tahap Depurasi Asal ikan KJA Asal ikan KAD KJA 1 KJA 2 KAD 1 KAD 2 A B C A B C 7,1 7,1 7,1 7,1 7,1 7,1 7,1 7,1 7,5 7,4 7,5 7,5 7,2 7,2 7,5 7,5 7,7 7,6 7,6 7,6 7,7 7,4 7,4 7,4 7,2 7,3 7,4 6,5 6,8 7,8 7,8 7,5 7,8 7,7 7,6 7 6,7 6,6 7,7 6,5 7,46 7,42 7,44 7,14 7,1 7,22 7,5 7,2 7,8 7,7 7,6 7,6 7,7 7,8 7,8 7,5 7,1 7,1 7,1 6,5 6,7 6,6 7,1 6,5 30 IV.1.3. Oksigen Terlarut (DO) Kadar oksigen terlarut sangat penting bagi organisme akuatik termasuk ikan. Ikan dan organisme akuatik yang lain membutuhkan oksigen terlarut dalam jumlah yang cukup. Kebutuhan oksigen sangat dipengaruhi oleh suhu, dan sangat bervariasi diantara organisme (Effendi, 2003). Ikan mas memerlukan DO minimal 3 mg/L (Khairuman dan Amri, 2003). Hasil pengukuran oksigen terlarut di lokasi sampling KJA berkisar antara 5,1 mg/L hingga 5,19 mg/L dengan DO maksimum 7,9 mg/L dan DO minimum 3.4 mg/L (Tabel IV.5). Nilai DO minimum tersebut dipengaruhi oleh suhu perairan yang pada saat pengukuran adalah 29,5 oC. Semakin tinggi suhu maka kelarutan oksigen semakin berkurang (Effendi, 2003). Sedangkan hasil pengukuran DO di KAD menunjukkan kisaran rata-rata 8,55 -8,78 mg/L dengan DO maksimum 9,5 mg/L dan DO minimum 7,7 mg/L (Tabel IV.5). DO minimum di semua lokasi ini masih memenuhi syarat hidup bagi ikan mas, sedangkan nilai maksimum DO yang mencapai 9,5 mg/L tidak menyebabkan gangguan bagi kehidupan ikan. Karena tidak ada batasan nilai maksimum DO untuk kehidupan ikan. Menurut Effendi (2003) hampir semua jenis organisme akuatik menyukai perairan dengan DO lebih dari 5 mg/L. Tabel IV.5 DO (mg/L) Air selama Tahap Akumulasi Lokasi Waduk Cirata Kolam air deras Waktu Sampling KJA 1 KJA 2 KAD 1 KAD 2 KAD 3 KAD 4 saat ditebarkan 7,9 5,4 8,5 8,8 8,8 8,8 setelah 3 minggu 5,3 3,95 8,7 8,8 8,8 8,2 setelah 6 minggu 3,8 4,2 7,9 8,2 7,9 7,7 setelah 9 minggu 3,4 7,2 9,2 9,3 9,5 9,5 Rata-rata 5,1 5,19 8,58 8,78 8,75 8,55 Maksimum 7,9 7,2 9,2 9,3 9,5 9,5 Minimum 3,4 3,95 7,9 8,2 7,9 7,7 Rata-rata kadar oksigen terlarut di KJA lebih rendah dibandingkan dengan oksigen terlarut di KAD. Hal ini dipengaruhi oleh adanya difusi oksigen dari atmosfer ke dalam air karena agitasi atau pergolakan massa air (Effendi, 2003) yang lebih besar pada kolam air deras dibandingkan pada waduk Cirata. Sehingga 31 kolam air deras lebih kaya akan oksigen terlarut dibandingkan dengan waduk Cirata. Pada tahap depurasi, pengukuran oksigen terlarut menunjukkan bahwa pada setiap akuarium depurasi kebutuhan oksigen bagi ikan mas terpenuhi dengan rata-rata berkisar antara 4,16 – 4,96 mg/L, DO maksimum 5,8 mg/L dan DO minimum 3,8 mg/L. Pada setiap akuarium depurasi digunakan beberapa aerator dengan tujuan untuk menjaga kadar oksigen terlarut tetap di atas 3 mg/L. Tabel IV.6 DO (mg/L) Air selama Tahap Depurasi Lokasi Asal ikan KJA Asal ikan KAD KJA 1 KJA 2 Waktu Depurasi KAD 1 KAD 2 A B C A B C hari ke-0 5 5 5 5 5 5 5 5 hari ke-1 5 4,2 3,8 4 4 4 5 4,8 hari ke-7 5,8 4,8 5 4,2 4 3,8 5 4 hari ke-14 5 5,2 5,4 4 4 4 4 4 hari ke-21 4 4 3,8 4 4,4 4 4 4 Rata-rata 4,96 4,64 4,6 4,24 4,28 4,16 4,6 4,36 Maksimum 5,8 5,2 5,4 5 5 5 5 5 Minimum 4 4 3,8 4 4 3,8 4 4 IV.1.4. Residu terlarut (TDS) Hasil pengukuran residu terlarut (TDS) pada tahap akumulasi dapat dilihat pada Tabel IV.7 sedangkan TDS pada tahap depurasi dapat dilihat pada Tabel IV.8. Baku mutu air untuk kriteria residu terlarut berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001 untuk Kelas II dan III (air dengan peruntukkan budidaya ikan air tawar) adalah 1000 mg/L. Hasil pengukuran baik pada tahap akumulasi di lapangan maupun tahap depurasi di laboratorium menunjukkan nilai TDS dan rata-rata TDS berada dibawah baku mutu. Pada tahap akumulasi di lapangan nilai rata-rata TDS di KJA lebih tinggi (dengan kisaran 116,25-129,75 mg/L) dibandingkan KAD yang memiliki TDS dengan kisaran rata-rata 104,75-108,5 mg/L. Hal ini menunjukkan bahwa padatan terlarut di KJA lebih besar jumlahnya dibandingkan dengan KAD. Selain itu, perbedaan ini juga disebabkan oleh karena berbagai kegiatan di sekitar sungai-sungai yang 32 menjadi input bagi waduk Cirata menyumbangkan berbagai polutan yang berpotensi meningkatkan angka TDS di Waduk Cirata. Sedangkan di KAD hanya terdapat satu sumber air sehingga nilai TDS sangat bergantung pada kondisi sungai sebagai sumber air bagi kolam. Seperti yang dinyatakan oleh Effendi (Effendi, 2003) bahwa nilai TDS perairan sangat dipengaruhi oleh pelapukan batuan, limpasan dari tanah, dan pengaruh antropogenik (berupa limbah domestik dan industri). TDS biasanya disebabkan oleh bahan organik yang berupa ion-ion yang biasa ditemukan di perairan. Tabel IV.7 Zat Padat Terlarut (TDS) (mg/L) Air selama Tahap Akumulasi Lokasi Waduk Cirata Kolam air deras Waktu Sampling KJA 1 KJA 2 KAD 1 KAD 2 KAD 3 KAD 4 saat ditebarkan 130 114 101 104 102 setelah 3 minggu 124 118 110 86 110 setelah 6 minggu 132 117 107 106 106 setelah 9 minggu 133 116 101 136 116 Rata-rata 129,75 116,25 104,75 108 108,5 Maksimum 133 118 110 136 116 Minimum 124 114 101 86 102 104 107 107 110 107 110 104 Pada tahap depurasi, nilai TDS di air akuarium pada akhir periode depurasi mengalami peningkatan dibandingkan dengan TDS pada awal periode depurasi di semua akuarium. Hal ini dipengaruhi oleh adanya sekresi ikan berupa feses dan sisa pakan ikan, sehingga meningkatkan padatan terlarut di akuarium depurasi. Walaupun rata-rata TDS akuarium depurasi (Tabel IV.8) lebih besar dibandingkan dengan rata-rata TDS di lapangan (Tabel IV.7), akan tetapi nilai TDS tersebut masih berada di bawah baku mutu yang disyaratkan. Angka TDS yang cukup besar tersebut tidak berbahaya untuk kehidupan ikan, selain itu juga dapat mengurangi toksisitas tembaga dan seng karena dapat mengabsorpsi bahan kimia pada permukaan partikel padatannya. 33 Tabel IV.8 Zat Padat Terlarut (TDS) (mg/L) Air selama Tahap Depurasi Lokasi Asal ikan KJA Asal ikan KAD Waktu KJA 1 KJA 2 KAD 1 KAD 2 Depurasi A B C A B C hari ke-0 138 138 138 138 138 138 138 138 hari ke-1 201 213 226 169 150 147 165 182 hari ke-7 238 260 292 216 214 223 242 228 hari ke-14 295 278 268 197 142 141 240 282 hari ke-21 385 379 254 156 182 163 223 222 Rata-rata 251,4 253,6 235,6 175,2 165,2 162,4 201,6 210,4 Maksimum 385 379 292 216 214 223 242 282 Minimum 138 138 138 138 138 138 138 138 IV.1.5. Daya Hantar Listrik (DHL) Konduktivitas (Daya Hantar Listrik) adalah gambaran numerik dari kemampuan air untuk menghantarkan aliran listrik (Effendi, 2003). DHL akan mempengaruhi besarnya konsentrasi tembaga dan kelarutan seng di perairan (Dameron dan Howe, 1998; Simon-Hettich et al., 2001). Oleh karena itu, perlu dilakukan pengukuran DHL pada lokasi sampling. Hasil pengukuran DHL menunjukkan kisaran rata-rata 192,75 - 221,75 µS/cm di KJA dan 178,13 - 187,33 µS/cm di KAD (Tabel IV.9). Kisaran nilai rata-rata DHL di KJA lebih besar dibandingkan dengan KAD. Hal ini menunjukkan bahwa lebih banyak terdapat garam-garam terlarut yang terionisasi di KJA dibandingkan dengan KAD. Selain itu, terdapat kemungkinan konsentrasi tembaga dan seng di KJA lebih besar dibandingkan dengan KAD karena dipengaruhi oleh nilai DHL pada perairan tersebut. Tabel IV.9 DHL (µS/cm) Air selama Tahap Akumulasi Lokasi Waduk Cirata Kolam air deras Waktu Sampling KJA 1 KJA 2 KAD 1 KAD 2 KAD 3 KAD 4 saat ditebarkan 242 190,3 196,4 192,2 159,5 160,6 setelah 3 minggu 199 183,65 190,1 189,6 189,1 188,5 setelah 6 minggu 222 199,8 182,3 182,6 181,3 182,7 setelah 9 minggu 224 196,1 180,5 181,5 182,6 182,8 Rata-rata 221,75 192,46 187,33 186,48 178,13 178,65 Maksimum 242 199,8 196,4 192,2 189,1 188,5 Minimum 199 183,65 180,5 181,5 159,5 160,6 34 Pada tahap depurasi, rata-rata DHL di akuarium asal ikan KJA berkisar antara 428 hingga 496,4 µS/cm sedangkan akuarium asal ikan KAD berkisar antara 480,6538,4 µS/cm (Tabel IV.10). Nilai DHL di setiap akuarium cenderung mengalami peningkatan pada periode akhir depurasi. Hal ini dipengaruhi oleh adanya aktivitas sekresi ikan baik berupa urin maupun feses, selain itu sisa pakan juga menyebabkan peningkatan DHL. Tabel IV.10 DHL (µS/cm) Air selama Tahap Depurasi Lokasi Asal ikan KJA Asal ikan KAD KJA 1 KJA 2 Waktu Depurasi KAD 1 KAD 2 A B C A B C hari ke-0 247 247 247 247 247 247 247 247 hari ke-1 346 363 386 228 254 244 283 313 hari ke-7 529 527 538 543 549 635 566 524 hari ke-14 546 512 566 722 617 447 786 627 hari ke-21 662 703 745 416 617 567 810 692 Rata-rata 466 470,4 496,4 431,2 456,8 428 538,4 480,6 Maksimum 662 703 745 722 617 635 810 692 Minimum 247 247 247 228 247 244 247 247 IV.1.6. Chemical Oxygen Demand (COD) COD menggambarkan jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi senyawa organik secara kimiawi, baik yang dapat didegradasi secara biologis (biodegradable) maupun yang sukar didegradasi secara biologis (non biodegradable) menjadi CO2 dan H2O (Effendi, 2003) pada suasana asam (Sawyer et al., 2003). Pada prosedur penentuan COD, oksigen yang dikonsumsi setara dengan jumlah dikromat yang diperlukan untuk mengoksidasi sampel air (Effendi, 2003). Parameter COD (Chemical Oxygen Demand) dapat digunakan untuk menentukan tingkat pencemaran oleh senyawa organik. Batas maksimum COD untuk kelas II dan III berdasarkan PP No.82 Tahun 2001 adalah 25 mg/L dan 50 mg/L. Hasil pengukuran COD di lokasi sampling KJA menunjukkan nilai maksimum 21,79 mg/L dan nilai maksimum 18,86 mg/L di KAD (Tabel IV.11). Nilai ini masih berada di bawah baku mutu yang disyaratkan, 35 sehingga perairan tersebut masih layak bagi pembudidayaan ikan dilihat dari parameter COD. Nilai rata-rata COD di KJA lebih besar dengan kisaran antara 8,79 – 13,24 mg/L dibandingkan dengan di KAD yang berkisar antara 7,13 – 10,75 mg/L. Hal ini mengindikasikan bahwa jumlah senyawa organik yang harus dioksidasi secara kimiawi di KJA lebih banyak dibandingkan dengan di KAD. Nilai COD di KJA yang lebih besar tersebut dipengaruhi oleh sungai-sungai yang menjadi sumber air bagi Waduk Cirata. Sungai-sungai tersebut telah menerima masukan berbagai senyawa organik dari kegiatan domestik, industri, maupun pertanian disekitar sungai. Tabel IV.11 COD (mg/L) Air selama Tahap Akumulasi Lokasi Waduk Cirata Kolam air deras Waktu Sampling KJA 1 KJA 2 KAD 1 KAD 2 KAD 3 KAD 4 saat ditebarkan 19,61 9,8 9,8 9,8 9,8 4,9 setelah 3 minggu 21,79 9,1 4,59 4,59 4,59 4,59 setelah 6 minggu 6,85 6,6 9,76 9,76 11,71 4,88 setelah 9 minggu 4,72 9,64 14,15 18,86 4,72 14,15 Rata-rata 13,24 8,79 9,58 10,75 7,71 7,13 Maksimum 21,79 9,8 14,15 18,86 11,71 14,15 Minimum 4,72 6,6 4,59 4,59 4,59 4,59 IV.1.7. Kesadahan Kesadahan merupakan penunjuk kemampuan air untuk membentuk busa apabila apabila dicampur dengan sabun (APHA, 1998; Sawyer et al., 2003; Purwakusuma, 2007). Semakin besar kesadahan air, semakin sulit bagi sabun untuk membentuk busa karena terjadi presipitasi. Kesadahan yang tinggi dapat menghambat sifat toksik dari logam berat karena kation-kation penyusun kesadahan (kalsium dan magnesium) membentuk senyawa kompleks dengan logam berat tersebut (Effendi, 2003). Kesadahan penting bagi organisme akuatik karena setiap jenis organisme memiliki nilai kesadahan pada selang tertentu untuk hidupnya (Purwakusuma, 2007). Oleh karena hal tersebut, maka dilakukan pengukuran terhadap nilai kesadahan di perairan. 36 Hasil pengukuran kesadahan pada sampel KJA berkisar pada 61,36 – 64,16 mg/L CaCO3 sedangkan di KAD nilai rata-rata kesadahan berkisar antara 75,68 - 78,43 mg/L CaCO3 (Tabel IV.12). Klasifikasi perairan berdasarkan nilai kesadahan menurut Peavy et al. (1985) dalam Effendi (2003), perairan dengan kisaran kesadahan 50 – 150 mg/L CaCO3 termasuk perairan dengan kesadahan menengah (moderately hard). Jadi baik air di KJA maupun KAD tergolong pada perairan dengan kesadahan menengah. Tabel IV.12 Kesadahan (mg/L CaCO3) Air selama Tahap Akumulasi Lokasi Waduk Cirata Kolam air deras Waktu Sampling KJA 1 KJA 2 KAD 1 KAD 2 KAD 3 KAD 4 saat ditebarkan 59,18 53,06 69,39 67,35 71,43 69,39 setelah 3 minggu 53,06 62,245 78,75 80,61 77,55 69,39 setelah 6 minggu 75,51 70,81 77,55 75,51 73,47 81,63 setelah 9 minggu 68,9 59,33 88,03 84,21 84,21 82,29 Rata-rata 64,16 61,36 78,43 76,92 76,67 75,68 Maksimum 75,51 70,81 88,03 84,21 84,21 82,29 Minimum 53,06 53,06 69,39 67,35 71,43 69,39 Tidak terdapat baku mutu tertentu bagi parameter kesadahan. Menurut Purwakusuma (2007) nilai kesadahan yang disarankan untuk pembudidayaan ikan air tawar adalah lebih dari 20 ppm. Walaupun demikian, nilai kesadahan di KAD yang lebih besar dari KJA tidak membahayakan bagi kehidupan ikan, karena kesadahan yang tinggi dapat menghambat sifat toksik dari tembaga dan seng. IV.1.8. Alkalinitas Alkalinitas air merupakan pengukuran terhadap kemampuan air untuk menetralisir asam (Sawyer et al., 2003; Purwakusuma, 2007) atau kuantitas anion di dalam air yang dapat menetralkan kation hidrogen (Effendi, 2003). Alkalinitas pada perairan alami sebagian besar disebabkan oleh hidroksida dalam air, ion karbonat dan bikarbonat (Sawyer et al., 2003). Ketiga ion tersebut di dalam air akan bereaksi dengan ion hidrogen sehingga menurunkan keasaman dan menaikkan pH. Hasil pengamatan terhadap parameter alkalinitas menunjukkan kisaran rata-rata 1,57 – 2,95 mg/L CaCO3 di KJA dan 2,2 - 4,23 mg/L CaCO3 di KAD (Tabel IV.13). Nilai alkalinitas yang tinggi akan memudahkan perairan kembali ke pH 37 semula, hal ini akan berpengaruh pada osmoregulasi di dalam tubuh ikan, serta dapat mempengaruhi konsentrasi dan bioavailabilitas tembaga dan seng. Tabel IV.13 Alkalinitas (mg/L CaCO3) Air selama Tahap Akumulasi Lokasi Waduk Cirata Kolam air deras Waktu Sampling KJA 1 KJA 2 KAD 1 KAD 2 KAD 3 KAD 4 saat ditebarkan 0,81 0,81 0,4 0,4 0,4 0,81 setelah 3 minggu 0,81 0,865 1,85 0,93 4,63 5,55 setelah 6 minggu 0,92 1,85 4,08 2,04 3,06 4,08 setelah 9 minggu 9,25 2,77 5,55 5,55 5,55 6,47 Rata-rata 2,95 1,57 2,97 2,23 3,41 4,23 Maksimum 9,25 2,77 5,55 5,55 5,55 6,47 Minimum 0,81 0,81 0,4 0,4 0,4 0,81 IV.1.9. Asiditas Pada dasarnya asiditas (keasaman) tidak sama dengan pH. Asiditas melibatkan dua komponen, yaitu jumlah asam, baik asam kuat maupun asam lemah (misalnya asam karbonat dan asam asetat), dan konsentrasi ion hidrogen (Effendi, 2003). Asiditas adalah kemampuan air untuk menetralisir ion OH-. Seperti halnya larutan buffer, asiditas merupakan pertahanan air terhadap pembasaan. Asiditas terjadi sebagai akibat hadirnya asam lemah. Kontributor utama asiditas adalah CO2 dan H2S yang sangat volatil. Oleh karena itu, pengukuran asiditas dilakukan sesegera mungkin dan bila memungkinkan dilakukan di tempat pengambilan sampel. Gas CO2 yang berasal dari atmosfer atau yang berasal dari aktivitas penguraian zat organik oleh mikroorganisme akan menyebabkan asiditas dalam air, karena gas tersebut akan berdifusi dan bereaksi dengan air membentuk asam karbonat yang bersifat asam (Sawyer et al., 2003). Angka asiditas berpengaruh pada kelarutan tembaga dan seng. Semakin tinggi asiditas maka kelarutan juga meningkat. Oleh karena hal tersebut, maka perlu dilakukan pengukuran terhadap asiditas perairan. Nilai rata-rata asiditas berdasarkan hasil pengukuran di KJA berkisar antara 73,19 – 78,49 mg/L CaCO3 dan 68,21 - 86,24 mg/L CaCO3 di KAD (Tabel IV.14). Terdapat sedikit perbedaan kisaran rata-rata pada kedua lokasi sampling tersebut. Hal ini dipengaruhi oleh karakteristik perairan yang berbeda pula. Pada KAD, sumber karbondioksida sebagai kontributor utama asiditas sebagian besar berasal 38 dari atmosfer karena lebih banyak kontak dengan udara melalui pergerakan massa air. Sedangkan di KJA CO2 lebih banyak berasal dari aktivitas mikroorganisme, karena kontak air dengan udara lebih sedikit (air tenang). Tabel IV.14 Asiditas (mg/L CaCO3) Air selama Tahap Akumulasi Lokasi Waduk Cirata Kolam air deras Waktu Sampling KJA 1 KJA 2 KAD 1 KAD 2 KAD 3 KAD 4 saat ditebarkan 92,08 77,15 104,53 102,04 97,06 94,57 setelah 3 minggu 82,13 83,555 100,98 59,16 100,98 60,18 setelah 6 minggu 67,32 66,03 87,72 83,64 81,6 87,72 setelah 9 minggu 72,42 66,03 17,04 100,11 61,77 30,35 Rata-rata 78,49 73,19 77,57 86,24 85,35 68,21 Maksimum 92,08 83,555 104,53 102,04 100,98 94,57 Minimum 67,32 66,03 17,04 59,16 61,77 30,35 IV.2 Kondisi Perkembangan Ikan Pada saat berada di lapangan, baik ikan di KJA maupun di KAD, berat basah ikan mengalami peningkatan karena dipengaruhi oleh asupan makanan yang cukup dan kualitas lingkungan air yang masih berada dalam rentang toleransi ikan mas. Pakan ikan diberikan setiap 3 kali sehari sebanyak 4% hingga 5% dari berat total ikan yang ditebarkan. Bibit ikan mas yang umumnya digunakan oleh para petani di Waduk Cirata berasal dari Cianjur dan Majalaya dengan berat rata-rata berkisar antara 20 - 30 gram per ekor. Bibit ikan mas mengkonsumsi protozoa dan zooplankton yang berada di perairan. Selain itu ikan mas muda juga diberikan makanan sintetis berupa pelet oleh para petani ikan untuk mempercepat pertumbuhan dan perkembangan ikan tersebut. Berat ikan mas yang berumur 9 minggu berkisar antara 130-150 gram per ekor. Hasil analisa statistik dengan Independent Sample T test terhadap berat basah dan panjang ikan mas di KJA dan KAD pada tahap akumulasi tidak menunjukkan perbedaan rata-rata berat dan panjang yang signifikan (p = 0,839 dan p = 0,416). Hal ini mengindikasikan bahwa pada kedua lokasi tersebut tidak terdapat perbedaan pertumbuhan dan perkembangan ikan yang signifikan secara statistik. 39 Berat basah dan panjang ikan mas cenderung mengalami peningkatan selama tahap akumulasi (Gambar IV.1 dan IV.2). Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat gangguan pertumbuhan pada ikan-ikan yang dibudidayakan pada kedua lokasi tersebut. Ikan-ikan yang dibudidayakan tersebut berada dalam lingkungan akuatik dengan parameter kualitas air yang masih berada dalam batas toleransi hidupnya, terutama oksigen dan asupan makanan yang cukup. Pada tahap depurasi, berat basah dan panjang ikan asal KJA dan KAD cenderung mengalami fluktuasi (Gambar IV.3 dan IV.4). Hal ini bukan berarti terjadi penghambatan pertumbuhan ikan, akan tetapi lebih disebabkan proses adaptasi ikan terhadap lingkungan baru sehingga terjadi perubahan tingkah laku (sensitif terhadap gerakan, tidak nafsu makan) dan metabolisme internal tubuh. Pada tahap depurasi ikan mas cenderung lebih inaktif (jarang bergerak) dan nafsu makan ikan berkurang jika dibandingkan dengan pada saat berada di lapangan. Hal ini disebabkan oleh karena proses adaptasi terhadap perpindahan lokasi tempat hidupnya. Hasil analisa statistik terhadap berat dan panjang ikan pada akuarium-akuarium depurasi menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan berat dan panjang ikan yang signifikan antara ikan yang berasal dari Cirata dengan KAD (p = 0,290 dan p = 0,063). Waduk Cirata Kolam Air Deras 127.51 125.00 $ Berat basah ikan (gr) 96.06 90.53 100.00 $ $ 75.00 58.37 $ 43.38 50.00 $ 29.22 21.64 25.00 $ 18.18 $ $ 0 3 6 9 Waktu akumulasi (minggu) 0 3 6 9 Waktu akumulasi (minggu) Gambar IV.1 Berat basah ikan pada tahap akumulasi 40 Waduk Cirata Kolam Air Deras 20.00 17.69 17.63 $ $ 17.50 Panjang (cm) $ 14.38 16.73 15.00 $ $ 13.73 11.36 11.83 12.50 $ $ $ 11.03 10.00 0 3 6 9 0 3 Waktu akumulasi (minggu) 6 9 Waktu akumulasi (minggu) Gambar IV.2 Panjang ikan pada tahap akumulasi Waduk Cirata Kolam Air Deras 139.67 145.41 $ 140.00 144.17 $ Berat basah ikan (gr) $ $ $ 134.05 117.50 128.84 120.00 $ 110.00 105.47 $ $ 100.00 $ 82.50 80.00 $ 0 1 7 14 21 0 Waktu Depurasi (hari) 65.79 1 7 14 21 Waktu Depurasi (hari) Gambar IV.3 Berat basah ikan pada tahap depurasi Waduk$Cirata 20.00 Kolam Air Deras $ $ 19.83 20.00 19.58 19.05 18.73 $ 19.00 $ $ 19.05 18.00 Panjang (cm) $ 18.38 18.00 $ 17.00 $ 16.75 16.00 14.75 15.00 $ 0 1 7 14 21 0 Waktu Depurasi (hari) 1 7 14 Waktu Depurasi (hari) Gambar IV.4 Panjang ikan pada tahap depurasi 41 21 Rata-rata panjang dan berat basah ikan di KJA lebih besar dari KAD, baik di tahap akumulasi maupun depurasi. Walaupun demikian, hasil analisa statistik dengan Independent T-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan varian dan perbedaan rata-rata yang signifikan antara panjang dan berat basah ikan di KJA dan KAD (Lampiran B Tabel B.1). Hal ini menunjukkan bahwa tidak terjadi perbedaan secara statistik pada laju pertumbuhan ikan di kedua lokasi tersebut. IV.3 Keramba Jaring Apung (KJA) Waduk Cirata IV.3.1 Konsentrasi Tembaga (Cu) dan Seng (Zn) di Air Tembaga atau copper (Cu) merupakan logam berat yang dijumpai pada perairan alami dan merupakan unsur yang esensial bagi tumbuhan dan hewan. Apabila masuk ke dalam perairan alami yang alkalis, ion tembaga akan mengalami presipitasi dan mengendap sebagai tembaga hidroksida dan tembaga karbonat. Defisiensi tembaga dapat mengakibatkan anemia, namun tembaga di air pada dosis tinggi dapat menimbulkan gangguan pada kesehatan seperti kerusakan hati dan ginjal, selain itu juga dapat menimbulkan rasa kesat di air, warna pada air, dan korosi pada besi dan aluminium (Dameron dan Howe, 1998). Seng (zinc) termasuk unsur yang terdapat dalam jumlah yang sangat melimpah di alam. Kadar seng dalam air sangat dipengaruhi oleh bentuk senyawanya. Kelarutan unsur seng dan oksida seng dalam air relatif rendah, akan tetapi seng yang berikatan dengan klorida dan sulfat mudah terlarut. Seng tidak bersifat toksik pada manusia, akan tetapi pada kadar yang tinggi akan menimbulkan rasa pada air (Effendi, 2003). Sumber pencemaran seng diantaranya berasal dari industri seperti keramik, kosmetik, alloy, pigmen dan karet (Roosmini et al., 2006). Konsentrasi Cu dan Zn di Waduk Cirata dipengaruhi oleh Cu dan Zn sungai yang menjadi input bagi waduk dan berbagai aktivitas masyarakat di sekitar waduk (KJA, transportasi air). Kegiatan yang berlangsung di sepanjang sungai tersebut, yaitu: Pertambangan emas (Purwakarta, Soreang, Pengalengan, Ciparay); Industri tekstil (Majalaya, Dayeuhkolot, Ketapang, Batujajar); Industri bahan kimia (Batujajar); Industri semen (Batujajar); 69,1% penduduk membuang langsung 42 limbah domestiknya ke sungai (Hadisantosa, 2006). Sedangkan konsentrasi Cu dan Zn di kolam air deras juga sangat tergantung pada kandungan Cu dan Zn sungai yang menjadi sumber airnya (dipengaruhi oleh banyaknya industri tekstil dan pelapisan logam di bantaran sungai yang menyumbang Cu dan Zn bagi sungai). Konsentrasi Cu dan Zn di Waduk Cirata dan Kolam air deras juga dipengaruhi oleh parameter kualitas air seperti, COD, pH, asiditas, alkalinitas, DHL, dan kesadahan. Pada lokasi sampling KJA konsentrasi tembaga cenderung berfluktuasi, yang diperlihatkan pada Gambar IV.5. Baku mutu kadar tembaga di air yang diperbolehkan menurut PP No.82 Tahun 2001 adalah 0,02 mg/L. Lokasi sampling KJA 1 pada pengambilan sampel minggu ke-6 (sebesar 0,024 mg/L), konsentrasi tembaga di air melebihi baku mutu yang ditetapkan tersebut. Akan tetapi, konsentrasi tembaga pada lokasi sampling yang lain masih berada di bawah baku mutu tersebut. Sehingga masih dapat dipergunakan bagi keperluan budidaya perikanan. Hasil pengukuran seng di air pada tahap akumulasi (Gambar IV.5) menunjukkan konsentrasi tertinggi di titik sampling KJA 1, yaitu sebesar 0,2056 mg/L. Angka ini sudah melebihi baku mutu air berdasarkan PP No.82 Tahun 2001 (untuk Kelas II dan III), yaitu sebesar 0,05 mg/L. Tingginya konsentrasi seng di Waduk Cirata disebabkan oleh menurunnya kualitas air sungai Citarum sebagai sumber air utama bagi waduk. Menurut Hadisantosa (2006) terjadi pencemaran air sungai Citarum oleh buangan industri-industri yang berada di daerah Bandung, Cimahi dan sekitarnya . Rata-rata konsentrasi tembaga di air KJA 1 sebesar 0,01035 mg/L sedangkan ratarata konsentrasi tembaga di air KJA 2 sebesar 0,0066 (Lampiran C Tabel C.3). Nilai rata-rata tembaga di kedua lokasi tersebut masih berada dibawah baku mutu PP RI No.82 Tahun 2001 (Lampiran E). Rata-rata konsentrasi seng di KJA 1 sudah melebihi baku yang ditetapkan (Lampiran E), yaitu sebesar 0,11 mg/L, akan tetapi rata-rata konsentrasi Zn di KJA 2 masih berada dibawah baku mutu, yaitu 0,0441 mg/L (Lampiran C Tabel C.3). Walaupun rata-rata konsentrasi Cu dan Zn di KJA 1 lebih besar dibandingkan dengan Cu dan Zn di KJA 2, akan tetapi secara 43 statistik tidak terdapat perbedaan konsentrasi Cu dan Zn yang signifikan antara KJA 1 dengan KJA 2 (Lampiran B Tabel B.1). Hal ini juga dipengaruhi oleh kesadahan, alkalinitas, DHL, pH, dan padatan terlarut pada kedua lokasi tersebut tidak memiliki perbedaan. Menurut Dameron dan Howe (1998) dalam lingkungan perairan, konsentrasi tembaga tergantung pada parameter-parameter tersebut selain adanya antara sedimen dan air. Gambar IV.5 Konsentrasi Cu dan Zn di air (mg/L) Waduk Cirata Keterangan: KJA 1 KJA 2 : Lokasi sampling di Cijambu, Waduk Cirata : Lokasi sampling di Jangari, Waduk Cirata IV.3.2 Konsentrasi Tembaga (Cu) dan Seng (Zn) di Ikan dan Organ ikan Tembaga (Cu) dan seng (Zn) merupakan logam yang diperlukan dalam jumlah sedikit untuk keperluan metabolisme internal tubuh ikan. Menurut Darmono (1995) distribusi dan akumulasi logam tersebut sangat berbeda-beda untuk setiap organisme air. Hal tersebut sangat tergantung pada spesies, konsentrasi logam di air, pH, fase pertumbuhan dan kemampuan untuk pindah tempat. 44 Tembaga berperan sebagai cofactor bagi sejumlah protein penting (seperti superoxide dismutase, dan ceruloplasmin). Tembaga memainkan peranan penting dalam respirasi seluler, dengan cytochrome c oxidase menjadi protein tembaga yang penting (Bury et al., 2003). Tembaga diperlukan dalam pemanfaatan besi pada proses pembentukan hemoglobin darah, dan sebagian besar krustasea dan moluska memiliki hemosianin yang mengandung tembaga sebagai pembawa oksigen utama dalam protein darah (Dameron dan Howe, 1998). Seng merupakan logam yang diperlukan bagi proses metabolisme ikan, contohnya seng terdapat pada enzim carbonic anhydrase yang mengkatalisis pembentukan asam karbon dari karbon dioksida dalam darah. Terdapat mekanisme internal tertentu pada tubuh ikan untuk mengatasi kelebihan seng di perairan. Ketika seng dalam air meningkat pada level dimana jumlah yang masuk ke organisme melalui insang melebihi keperluan maka sisanya harus diekskresikan dan proses ini memerlukan sejumlah energi. Pada suatu tingkatan dimana jumlah seng sangat banyak di perairan maka dapat saja mekanisme detoksifikasi ini tidak mencukupi sehingga seng menimbulkan efek toksik bagi ikan (Lloyd, 1992). Gambar IV.6 menunjukkan konsentrasi Cu dan Zn di ikan KJA. Pada awal periode akumulasi sudah terdapat Cu dan Zn dalam ikan (4,512 mg/kg dan 179,915 mg/kg) (Lampiran C Tabel C.4), hal ini menunjukkan bahwa terdapat Cu dan Zn pada bibit ikan dengan konsentrasi yang cukup tinggi, bahkan untuk konsentrasi Zn baik di KJA 1 (193,657 mg/kg) maupun KJA 2 (166,172 mg/kg) sudah melebihi baku mutu yang ditetapkan, yaitu sebesar 100 mg/kg (Lampiran E). Konsentrasi Cu di ikan KJA masih berada di bawah baku mutu yang ditetapkan, sebesar 20 mg/kg (Lampiran E). Rata-rata konsentrasi Cu di ikan KJA 2 (4,7733 mg/kg) lebih besar dari pada KJA 1 (3,9271 mg/kg) (Lampiran C Tabel C.4). Sedangkan konsentrasi Zn di ikan KJA telah melebihi baku mutu yang ditetapkan. Rata-rata konsentrasi Zn di ikan KJA 1 (323,3102 mg/kg) lebih besar dari pada KJA 2 (228,9655 mg/kg) (Lampiran C Tabel C.4). Analisa statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata konsentrasi Cu dan Zn di KJA 1 dengan KJA 2 (Lampiran B Tabel B.1). 45 Gambar IV.6 Konsentrasi Cu dan Zn di ikan Waduk Cirata Keterangan: KJA 1 KJA 2 : Lokasi sampling di Cijambu, Waduk Cirata : Lokasi sampling di Jangari, Waduk Cirata Konsentrasi Cu dan Zn di ikan KJA di kedua lokasi sampling cenderung berfluktuasi. Akan tetapi, peningkatan konsentrasi Cu dan Zn di air tidak selalu di ikuti oleh peningkatan konsentrasi Cu dan Zn di ikan tersebut dan sebaliknya. Hal ini menunjukkan bahwa ikan tidak hanya mengambil Cu dan Zn dari air tetapi juga dari pakan ikan yang ternyata juga mengandung Cu dan Zn. Ikan merupakan vertebrata yang unik karena dapat mengambil logam dengan dua cara, yaitu dari makanan dan dari air (Bury et al., 2003). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Komunde (2002) menemukan bahwa Oncorhynchus mykiss lebih banyak melakukan pengambilan Cu dari pakan dari pada dari air. Sun dan Jeng (1998) menemukan bahwa ikan mas dapat mengambil Zn dari pakan ikan 3 sampai 6.8 kali lebih besar dibandingkan ikan lainnya. 46 Hasil pengukuran terhadap pakan yang digunakan dalam penelitian ini menunjukkan adanya Cu dan Zn dalam konsentrasi yang besar (Gambar IV.7). Penelitian oleh Triastutiningrum (2005) juga menunjukkan hal yang serupa bahwa terdapat konsentrasi Cu pada pakan X, Y, dan Z berturut-turut sebesar 4,41 mg/kg, 12,54 mg/kg, dan 13,72 mg/kg, sedangkan untuk Zn berturut-turut adalah 62,6 mg/kg, 69,02 mg/kg, dan 90 mg/kg (Triastutiningrum, 2005). Gambar IV.7 Konsentrasi tembaga dan seng pada pakan ikan Selain logam pada ikan, penelitian ini juga mengukur logam pada beberapa organ ikan. Hasil pengukuran konsentrasi tembaga (Cu) dalam organ ikan yang diamati diperlihatkan pada Gambar IV.8 berikut. Konsentrasi tembaga terbesar di kedua lokasi sampling KJA berada di hati, diikuti oleh insang, sisik, dan konsentrasi terkecil berada di otot (hati>insang>sisik>otot). Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh Sutarto (2007) yang menunjukkan bahwa hati merupakan organ dengan konsentrasi tembaga terbesar. Menurut Kalay dan Canli (2000) penelitian-penelitian telah menunjukkan bahwa jaringan pada hati merupakan organ yang memproduksi sebagian besar protein pengikat-logam. Pemaparan logam berat menginduksi protein-protein pengikatlogam (metal-binding protein) dengan berat molekul yang rendah seperti metallothionein (MT), oleh karena hal tersebut maka konsentrasi tembaga di hati ikan lebih besar dibandingkan konsentrasi tembaga pada organ yang lain. 47 Gambar IV.8 Konsentrasi Cu pada organ ikan di Waduk Cirata Keterangan: KJA 1 KJA 2 : Lokasi sampling di Cijambu, Waduk Cirata : Lokasi sampling di Jangari, Waduk Cirata Gambar IV.9 menunjukkan konsentrasi seng pada organ-organ ikan yang diamati. Urutan konsentrasi seng mulai dari yang terbesar, berdasarkan hasil analisa statistik, yaitu hati>insang>sisik>otot. Urutan ini tidak memiliki perbedaan dengan tembaga, akan tetapi angka konsentrasi seng jauh lebih besar dibandingkan konsentrasi tembaga pada organ ikan. Hal ini dipengaruhi oleh konsentrasi seng di perairan yang lebih besar dari pada konsentrasi tembaga. Menurut Sutarto (2007) jika dalam suatu perairan memiliki konsentrasi seng dalam jumlah yang tinggi maka probabilitas seng untuk dapat masuk ke dalam tubuh ikan sangat besar dibandingkan logam lainnya atau dalam istilah lain seng memenangkan kompetisi dalam memasuki tubuh organisme. 48 Gambar IV.9 Konsentrasi seng (Zn) pada organ ikan di Waduk Cirata Keterangan: KJA 1 KJA 2 : Lokasi sampling di Cijambu, Waduk Cirata : Lokasi sampling di Jangari, Waduk Cirata Seperti halnya tembaga, konsentrasi seng terbesar pada kedua lokasi sampling berada di hati. Hal ini disebabkan oleh adanya protein pengikat logam dalam jumlah banyak di hati, seperti metallothionein (MT). MT merupakan protein yang memegang peranan penting dalam proses homeostasis dari tembaga dan seng (Campenhout et al., 2004). Pada ikan, pengeluaran dan pengaturan MT telah dipelajari pada organ-organ yang memainkan peranan utama dalam uptake dan akumulasi logam, seperti hati, ginjal, dan insang. Selain itu telah diketahui bahwa perbedaan yang signifikan terjadi pada pengaturan dan induksi MT diantara jaringan pada spesies ikan yang sama (Olsson, 1993 dalam Campenhout et al., 2004). Hasil uji statistik dengan Independent Sample T test terhadap konsentrasi tembaga di organ ikan pada tahap akumulasi menyatakan bahwa di kedua titik KJA tidak memiliki perbedaan konsentrasi tembaga di hati ikan yang signifikan (p = 0,819), 49 konsentrasi tembaga di otot ikan (p = 0,087), insang ikan (p = 0,621), dan juga sisik ikan (p = 0,411). Untuk konsentrasi seng di organ ikan hanya seng di otot yang memiliki perbedaan yang signifikan (p = 0,024) pada kedua titik di Waduk Cirata, hal ini mungkin dipengaruhi oleh perbedaan metabolisme internal pada setiap individu ikan mas. Sedangkan konsentrasi seng di hati (p =0,936), sisik (p=0,105), dan insang (p =0,113) tidak berbeda pada kedua KJA tersebut. Konsentrasi tembaga dan seng di insang ikan pada tahap akumulasi untuk lokasi Waduk Cirata tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Hal ini juga dipengaruhi oleh konsentrasi tembaga di air pada lokasi-lokasi tersebut juga tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Akumulasi tembaga di insang ikan dipengaruhi oleh konsentrasi tembaga di air, karena insang merupakan organ yang mengadakan kontak langsung dengan air sebagai tempat hidupnya melalui proses respirasi. Pada proses respirasi ikan, terjadi pengikatan tembaga bersamaan dengan pengikatan oksigen di air. Jaringan pada insang ikan terpapar langsung pada tembaga yang berada di lingkungan dalam taraf yang lebih besar dibandingan jaringan pada organ lain dan hal ini menyebabkan lebih banyak akumulasi dan adsorpsi tembaga pada insang (Kalay dan Canli, 2000). Seng dapat memasuki tubuh ikan melalui insang yang mengadsorpsi logam, kemudian diteruskan ke peredaran darah dan mensirkulasikannya ke seluruh tubuh. Menurut Lloyd (1992) jika konsentrasi dari bahan kimia toksik cukup tinggi, sel tipis pada lamela sekunder insang dapat mengalami kerusakan dan hal ini akan mempengaruhi fungsi respirasi dan regulasi garam pada insang. Konsentrasi tembaga dan seng pada sisik ikan menempati urutan ketiga setelah hati dan insang di kedua lokasi sampling (hati>insang>sisik>otot). Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat tembaga dalam jumlah yang cukup besar pada sisik ikan karena sisik juga terpapar langsung dengan kondisi lingkungan akuatik yang mengandung tembaga. Selain itu, menurut Lloyd (1992) terdapat mekanisme uptake melalui kulit ikan walaupun dalam jumlah sangat sedikit. Logam yang terikat pada partikel-partikel kecil di air dapat masuk ke tubuh ikan melalui kulit bersamaan dengan masuknya bakteri. 50 Otot ikan atau yang lebih umum dikenal sebagai daging, merupakan bagian tubuh ikan yang paling banyak di konsumsi oleh konsumen. Akumulasi tembaga pada ikan di organ ini berpotensi menyebabkan efek yang merugikan bagi konsumen ikan. Pada manusia, keracunan tembaga akan menyebabkan sirosis hati, kerusakan otak, reduksi myelin, kerusakan ginjal, dan penumpukan tembaga di kornea mata (Lenntech, 2007). Konsentrasi tembaga dan seng di otot ikan berada di urutan terendah diantara organ lain yang diperiksa (hati>insang>sisik>otot) pada kedua titik sampling. Hal ini dikarenakan pada organ ini mungkin terjadi pengaturan jumlah tembaga dan seng dimana tembaga dan seng berlebih akan ditransfer ke hati untuk proses detoksifikasi (Kalay dan Canli, 2000). Batas maksimum cemaran logam dalam makanan menurut Kep. DIRJEN Pengawasan Obat dan Makanan No:0375/B/SK/VII/89 untuk tembaga (Cu) dan seng (Zn) dalam ikan dan hasil olahannya adalah sebesar 20 mg/kg dan 100 mg/kg. Rata-rata tembaga dalam otot masih berada di bawah baku mutu tersebut, akan tetapi rata-rata tembaga dalam hati ikan di KJA (29,04 mg/kg) melebihi baku mutu yang ditetapkan tersebut, sehingga apabila dikonsumsi dalam jumlah berlebih berpotensi menimbulkan keracunan tembaga. Sedangkan rata-rata seng dalam otot masih berada di bawah baku mutu, akan tetapi rata-rata seng pada organ lainnya sudah melebihi batas maksimum yang diperbolehkan tersebut. IV.3.3 Pengaruh Perbedaan Lokasi Asal ikan KJA terhadap Proses Depurasi Tembaga (Cu) dan Seng (Zn) Konsentrasi tembaga dan seng di air pada akuarium depurasi cenderung berfluktuasi. Hal ini dipengaruhi oleh adanya proses sekresi tembaga dan seng oleh ikan mas ke lingkungan air sehingga secara umum terdapat penambahan konsentrasi tembaga di air. Secara statistik konsentrasi tembaga dan seng di akuarium asal ikan KJA tidak memiliki perbedaan yang signifikan (Tabel B.2 Lampiran B). 51 Gambar IV.10 Konsentrasi Cu dan Zn di air akuarium depurasi KJA Pada akuarium depurasi asal ikan KJA terjadi penambahan konsentrasi Cu dan Zn di air, hal ini mengindikasikan terjadinya depurasi Cu dan Zn oleh ikan ke lingkungan air. Akan tetapi ikan juga melakukan pengambilan Cu dan Zn yang ditandai dengan nilai rate uptake yang positif, hal ini menunjukkan bahwa uptake Cu dan Zn oleh ikan lebih besar dari pada depurasi Cu dan Zn. Walaupun kenyataannya terdapat banyak cara eleminasi dibandingkan rute uptake, akumulasi logam tetap lebih besar dibandingkan eleminasi logam, dikatakan jika suatu logam telah terakumulasi pada jaringan maka sangat sulit untuk mengeliminasi logam tersebut dari tubuh (Kalay dan Canli, 2000). Rata-rata penambahan Cu di air akuarium asal ikan KJA 1 lebih besar 1,45 kali dari penambahan Cu di akuarium asal ikan KJA 2 (Tabel IV.15). Sedangkan rate uptake oleh ikan di akuarium asal ikan KJA 1 sepuluh kali lebih besar dibandingkan dengan rate uptake pada asal ikan KJA 2 (Tabel IV.15). Walaupun secara statistik konsentrasi tembaga di air dan ikan pada tahap depurasi di akuarium asal ikan KJA tidak memiliki perbedaan yang signifikan, akan tetapi konsentrasi tembaga di organ sisik ikan memiliki perbedaan rata-rata konsentrasi 52 (p=0,01). Sisik merupakan organ yang terpapar langsung dengan lingkungan akuatik sehingga peningkatan tembaga pada percobaan depurasi juga menyebabkan peningkatan tembaga di sisik ikan. Selain itu sisik juga merupakan salah satu organ depurasi tembaga di ikan, yaitu melalui sekresi mukus (Kalay dan Canli, 2000). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan regulasi Cu antara ikan asal KJA 1 dengan ikan asal KJA 2. Tabel IV.15 Rate uptake (mg/kg/hari) dan peningkatan konsentrasi di air (mg/L) akuarium asal ikan KJA Rate Uptake ikan Asal ikan Cu Zn KJA 1 0.3566 26.5437 Waduk Cirata KJA 2 0.0360 5.9782 Rata-rata 0.1963 16.2609 Peningkatan Konsentrasi di air Asal ikan Cu Zn KJA 1 0.0035 0.0508 Waduk Cirata KJA 2 0.0024 0.0587 Rata-rata 0.0030 0.0548 Rata-rata rate uptake seng di ikan pada akuarium depurasi asal ikan KJA 1 empat kali lebih besar dibandingkan rate uptake seng oleh ikan dari KJA 2. Sedangkan penambahan konsentrasi seng di air pada kedua akuarium depurasi tersebut tidak memiliki perbedaan yang besar. Hal ini menunjukkan bahwa ikan asal KJA 1 lebih banyak melakukan uptake seng daripada depurasi seng dibandingkan dengan ikan dari KJA 2, yang mengindikasikan bahwa terdapat perbedaan regulasi Zn antara ikan KJA 1 dengan ikan KJA 2. Hasil analisa stitistik juga menunjukkan bahwa konsentrasi Zn di ikan (p=0,000), hati (p=0,007), sisik (p=0,000), dan insang (p=0,000) memiliki perbedaan yang signifikan antara hasil depurasi KJA 1 dan KJA 2 (Tabel B.2 Lampiran B). Jadi perbedaan lokasi asal ikan KJA tidak mempengaruhi proses depurasi Cu tapi mempengaruhi proses depurasi Zn oleh ikan. 53 IV.3.4 Pengaruh Perbedaan Variasi Berat terhadap Proses Depurasi Tembaga (Cu) dan Seng (Zn) Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata konsentrasi Cu di ikan besar pada akuarium depurasi asal KJA memiliki konsentrasi Cu yang lebih besar daripada ikan dengan ukuran lebih kecil. Semakin besar ukuran ikan, maka semakin besar pula rata-rata konsentrasi Cu di ikan. Berdasarkan analisa statistik konsentrasi Cu pada ikan di akuarium A > B > C. Besarnya rata-rata konsentrasi Cu di ikan akuarium A, B, dan C berturut-turut adalah 6,369 mg/kg, 5,486 mg/kg, dan 5,071 mg/kg. Hal ini menunjukkan bahwa ukuran ikan mempengaruhi kandungan Cu dalam tubuh ikan. Hasil analisa statistik juga menunjukkan adanya perbedaan konsentrasi Cu di ikan yang signifikan berdasarkan variasi berat. Sedangkan konsentrasi Zn di ikan tidak selalu lebih tinggi pada ikan besar atau sebaliknya, analisa statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan dari perbedaan berat ikan terhadap konsentrasi Zn. Menurut Rahmawati (2006) konsentrasi Cu pada ikan kecil umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan ikan besar. Sedangkan menurut Sutarto (2007) konsentrasi logam berat pada ikan berukuran kecil tidak selalu lebih besar konsentrasinya dibandingkan dengan konsentrasi logam berat pada ikan besar. Konsentrasi Cu dan Zn pada organ ikan juga tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (Tabel B.2 Lampiran B). Hal ini mungkin disebabkan oleh karena ikan melakukan eksresi logam, dalam arti terpisah dari hati, insang dan kulit, sehingga tidak terdeteksi pada penelitian ini. Menurut (Soto et al., 2003) ekskresi logam pada ikan secara umum adalah melewati ginjal. Fungsi utama organ ini adalah dalam osmoregulasi dalam medium inner untuk mengeliminasi kelebihan air dan elektrolit, dan ekskresi substansi toksik. Logam yang ditransformasikan dalam darah disaring dalam glomerulus dan diekskresikan lewat urine. Telah dilaporkan bahwa jumlah renal lesions yang diproduksi logam lebih sedikit dibanding dalam hati, yang berarti bahwa substansi ini cukup teregulasi dengan baik. Gambar IV. 11 dan Gambar IV.12 menunjukkan konsentrasi Cu dan Zn di air dan ikan akuarium depurasi dengan ikan yang berasal dari Waduk Cirata. Dari gambar 54 tersebut terlihat bahwa kenaikan konsentrasi Cu dan Zn di air tidak selalu diikuti oleh penurunan konsentrasi Cu dan Zn di ikan. Hal ini mengindikasikan bahwa ikan tidak hanya mengambil Cu dan Zn dari air tetapi ikan juga mengabsorbsi Cu dan Zn dari pakan (Kamunde et al., 2002; Bury et al., 2003). Rate uptake tahap depurasi pada penelitian ini menunjukkan bahwa pada akuarium depurasi asal ikan KJA sebagian besar ikan melakukan lebih banyak uptake dibandingkan dengan depurasi Cu, hanya tiga akuarium depurasi yang ikannya lebih banyak melakukan depurasi dibandingkan uptake Cu (Lampiran C Tabel C.14 dan Tabel C.16). Hal yang sama juga terjadi untuk rate uptake Zn (Lampiran C Tabel C.18 dan Tabel C.20). Selain itu, ikan dengan ukuran yang lebih besar tidak selalu memiliki rate uptake yang lebih besar dari ikan kecil dan sebaliknya. Peningkatan konsentrasi Cu dan Zn di air pada akuarium dengan ikan besar juga tidak selalu lebih besar dari ikan yang lebih kecil atau sebaliknya. Hal ini menunjukkan bahwa variasi berat tidak menyebabkan perbedaan terhadap pengaturan Cu dan Zn oleh ikan. Gambar IV.11 Konsentrasi Cu di air dan ikan akuarium depurasi asal ikan KJA Keterangan: A : Akuarium depurasi dengan berat ikan ± @250 g. B : Akuarium depurasi dengan berat ikan ± @165 g. C : Akuarium depurasi dengan berat ikan ± @125 g. 55 Gambar IV.12 Konsentrasi Zn di air dan ikan akuarium depurasi asal ikan KJA Keterangan: A : Akuarium depurasi dengan berat ikan ± @250 g. B : Akuarium depurasi dengan berat ikan ± @165 g. C : Akuarium depurasi dengan berat ikan ± @125 g. Perbedaan berat ikan tidak mempengaruhi proses depurasi. Beberapa ikan lebih banyak mengambil kembali Cu dan Zn, tapi pada satu kondisi lebih banyak mengeliminasi. Regulasi Cu dan Zn di ikan tergantung pada metabolisme internal ikan serta kebutuhan ikan terhadap Cu dan Zn. Ikan membutuhkan Cu per hari sebanyak 1-4 mg/kg berat kering pakan dan Zn sebesar 15-30 mg/kg berat kering pakan (Bury et al., 2003). IV.4 Kolam Air Deras (KAD) IV.4.1 Konsentrasi Tembaga (Cu) dan Seng (Zn) di Air Gambar IV.13 menunjukkan konsentrasi tembaga dan seng pada lokasi sampling KAD. Pada KAD konsentrasi tembaga cenderung meningkat dari sampling pertama saat ikan ditebarkan ke kolam hingga sampling minggu ke-9 sedangkan konsentrasi seng cenderung mengalami penurunan. Hal tersebut disebabkan oleh karena dalam lingkungan perairan konsentrasi tembaga dan seng juga dipengaruhi oleh kesadahan, alkalinitas, daya ionik, pH, dan padatan terlarut di perairan. 56 Nilai rata-rata (Lampiran C Tabel C.3) dan angka maksimum tembaga (0,028 mg/kg) (Lampiran C Tabel C.1) di keempat kolam tersebut masih berada di bawah baku mutu yang ditetapkan oleh PP No.82 Tahun 2001 (Lampiran E), yaitu sebesar 0,02 mg/L. Begitu pula dengan nilai rata-rata konsentrasi seng di semua KAD, masih berada dibawah baku mutu. Akan tetapi nilai maksimum seng di KAD (Lampiran C Tabel C.1) sebesar 0,0778 mg/L berada diatas baku mutu yang ditetapkan sebesar 0,05 mg/L (Lampiran E). Hasil analisa statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara konsentrasi Cu dan Zn di keempat KAD (Lampiran B Tabel B.1). Karena berbagai parameter kualitas air yang menentukan kelarutan dan konsentrasi Cu dan Zn seperti padatan terlarut (TDS), pH, DHL, dan asiditas juga tidak berbeda pada keempat KAD tersebut. Gambar IV.13 Konsentrasi tembaga dan seng di air di KAD Keterangan: KAD 1 KAD 2 KAD 3 KAD 4 : : : : Kolam air deras dengan debit kecil sebesar 0,5 L/dtk, Kolam air deras dengan debit besar sebesar 5 L/dtk, Kolam air deras dengan debit kecil sebesar 0,5 L/dtk, Kolam air deras dengan debit besar sebesar 5 L/dtk. 57 Konsentrasi seng (Zn) di semua KAD lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi tembaga (Cu). Konsentrasi Cu dan Zn di kolam air deras sangat tergantung pada kandungan Cu dan Zn sungai yang menjadi sumber airnya (dipengaruhi oleh banyaknya industri tekstil dan pelapisan logam di bantaran sungai yang menyumbang Cu dan Zn bagi sungai). Berdasarkan hasil analisa statistik rata-rata konsentrasi tembaga terbesar hingga yang terkecil, yaitu KAD 4>1>3>2. Sedangkan urutan konsentrasi seng di KAD 1>4>3>2. IV.4.2 Pengaruh Asal Bibit Ikan pada Konsentrasi Cu dan Zn di ikan dan organ ikan KAD Seperti halnya pada ikan di Waduk Cirata, pada awal tahap akumulasi juga terdapat konsentrasi Cu dan Zn di ikan KAD, hal ini menunjukkan sudah terdapat tembaga dan seng pada bibit ikan yang sama. Walaupun untuk Cu konsentrasinya masih berada di bawah baku mutu (3,446 mg/kg), akan tetapi konsentrasi Zn (141,616 mg/kg) di ikan KAD tersebut telah melebihi baku mutu yang ditetapkan. Gambar IV.14 memperlihatkan fluktuasi konsentrasi Cu dan Zn di ikan KAD berdasarkan asal bibit ikan. Gambar IV.14 Konsentrasi Cu dan Zn di ikan KAD dengan perbedaan asal bibit Keterangan: Asal bibit Cianjur Asal bibit Majalaya 58 Rata-rata konsentrasi Cu di ikan pada semua kolam masih berada di bawah baku mutu yang ditetapkan sedangkan rata-rata konsentrasi Zn sudah melebihi baku mutu. Hal ini juga dipengaruhi oleh besarnya konsentrasi Cu dan Zn di air dan juga pakan ikan. Batas maksimum cemaran logam dalam makanan menurut Kep. DIRJEN Pengawasan Obat dan Makanan No:0375/B/SK/VII/89 untuk seng (Zn) dalam ikan dan hasil olahannya adalah sebesar 100 mg/kg. Rata-rata seng dalam otot masih berada di bawah baku mutu tersebut (87,67 mg/kg), sedangkan dalam organ lainnya konsentrasi seng jauh melebihi baku mutu yang ditetapkan, yaitu sebesar 1148,199 mg/kg dalam hati, 328,58 mg/kg dalam sisik, dan seng dalam insang sebesar 698,48 mg/kg. Walaupun sebagian besar organ yang diamati memiliki konsentrasi seng di atas baku mutu, akan tetapi otot (daging) yang umum dikonsumsi oleh manusia masih berada di bawah baku mutu sehingga masih layak konsumsi. Konsentrasi Cu pada ikan di KAD 1 (3,524 mg/kg) dan KAD 2 (4,7185 mg/kg) dengan asal ikan sama dengan KJA 1 (Cianjur) lebih tinggi dari ikan KAD 3 (2,7623 mg/kg) dan KAD 4 (2,9778 mg/kg) dengan asal ikan sama dengan KJA 2 (Majalaya) pada periode awal akumulasi hingga hari ke 21, akan tetapi pada periode selanjutnya konsentrasi Cu di ikan asal Majalaya lebih tinggi dibandingkan konsentrasi Cu di ikan asal Cianjur. Hal ini menunjukkan bahwa mungkin terdapat perbedaan pengaturan Cu pada ikan-ikan yang memiliki perbedaan asal bibit tersebut. Akan tetapi untuk konsentrasi Zn di ikan tidak memiliki pola yang sama dengan konsentrasi Cu di ikan tersebut. Konsentrasi Zn pada ikan asal Cianjur tidak selalu lebih tinggi atau sebaliknya dibandingkan dengan bibit ikan dari Majalaya. Walaupun demikian, hasil analisa statistik menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan rata-rata konsentrasi Cu (p= 0,556) dan Zn (p=0,919) di ikan KAD tersebut berdasarkan perbedaan asal bibit (Tabel B.6 Lampiran B). 59 IV.4.3 Pengaruh Perbedaan Debit di Kolam Air Deras Konsentrasi Cu di ikan KAD 2 (3,7115 mg/kg) dan KAD 4 (3,5789 mg/kg) dengan debit 5 L/dtk memiliki konsentrasi yang lebih besar dibandingkan dengan kolam dengan debit 0,5 L/dtk (KAD 1 (3,2409 mg/kg) dan KAD 3 (3,114 mg/kg)). Hal ini menunjukkan bahwa ikan di KAD dengan debit yang lebih besar tersebut lebih banyak mengambil Cu, padahal konsentrasi Cu di air pada kolam debit besar tidak selalu lebih tinggi. Walaupun demikian, hasil analisa statistik tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara konsentrasi Cu di ikan pada kolam-kolam dengan perbedaan debit tersebut. Debit yang lebih besar maka arus pun lebih besar sehingga ikan harus mengeluarkan energi lebih banyak untuk pergerakan maka keperluan akan Cu untuk proses metabolisme juga lebih besar. Sedangkan konsentrasi Zn di ikan, tidak memiliki pola tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan regulasi Cu dengan Zn di ikan. Gambar IV.15 menunjukkan fenomena tersebut. Gambar IV.15 Konsentrasi Cu dan Zn di ikan KAD dengan perbedaan debit Keterangan: Akumulasi logam berat pada jaringan hewan akuatik dapat menjadi toksik ketika akumulasi mencapai level tertinggi. Tingkat akumulasi sangat tergantung pada 60 jenis logam dan spesies hewan. Efek toksik terjadi ketika proses ekskresi, metabolik, penyimpanan dan mekanisme detoksifikasi tidak lagi dapat menandingi uptake. Kapasitas ini, bagaimanapun juga bervariasi diantara spesies yang berbeda dan logam yang berbeda pula. Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa pada spesies yang berbeda logam esensial dan non-essensial dapat memproduksi efek toksik pada ikan dengan menggangggu aktivitas fisiologis, proses biokimia, pertumbuhan dan reproduksi, serta kematian (Kalay dan Canli, 2000). Gambar IV.16 menunjukkan konsentrasi Cu pada organ ikan, sedangkan Gambar IV.17 menunjukkan konsentrasi Zn pada organ ikan. Gambar IV.16 Konsentrasi tembaga pada organ ikan di kolam air deras Keterangan: KAD 1 KAD 2 KAD 3 KAD 4 : : : : Kolam air deras dengan debit kecil sebesar 0,5 L/dtk, Kolam air deras dengan debit besar sebesar 5 L/dtk, Kolam air deras dengan debit kecil sebesar 0,5 L/dtk, Kolam air deras dengan debit besar sebesar 5 L/dtk. Konsentrasi tembaga terbesar di KAD berdasarkan hasil penelitian berada di hati ikan. Tembaga merupakan logam berat yang terakumulasi di ginjal dan hati (Ariesyady dan Soemirat, 2000). Logam ini sangat beracun bagi ikan. Menurut Arillo et al. (1984) dalam Dameron dan Howe (1998) tembaga dapat mengurangi aktivitas ALAD (aminolaevulinic acid dehydratase) dalam hati, aktivitas carbonic 61 anhydrase dalam darah, kadar asam sialic insang dan rasio kontrol pernafasan dan konsumsi oksigen dalam mitokondria hati. Hati juga merupakan organ dengan konsentrasi seng terbesar pada ikan di KAD. Hal ini karena hati merupakan salah satu organ yang sangat aktif pada metabolisme ikan dan oleh karena hal tersebut, hati mengakumulasi seng lebih banyak dibandingkan otot atau organ lainnya (Kalay dan Canli, 2000; Kamunde dan Macphail, 2007). Gambar IV.17 Konsentrasi seng (Zn) pada organ ikan di kolam air deras Keterangan: KAD 1 KAD 2 KAD 3 KAD 4 : : : : Kolam air deras dengan debit kecil sebesar 0,5 L/dtk, Kolam air deras dengan debit besar sebesar 5 L/dtk, Kolam air deras dengan debit kecil sebesar 0,5 L/dtk, Kolam air deras dengan debit besar sebesar 5 L/dtk. Seng dapat menghambat pertumbuhan pada ikan, pembesaran dan pembekuan pembuluh darah kapiler, disintegrasi tubulus seminiferus pada ikan jantan, dan kerusakan oosit pada ikan betina (Simon-Hettich et al., 2001). Oleh karena itu, konsentrasinya dalam jaringan diatur sedemikian rupa. Pengaturan (regulasi) inilah yang menyebabkan konsentrasi seng dalam organ ikan mengalami fluktuasi. Pada lokasi sampling KAD, perbedaan debit tidak menyebabkan perbedaan pada konsentrasi tembaga dan seng di organ ikan secara statistik. Hal ini juga 62 dipengaruhi oleh konsentrasi tembaga di air pada kolam-kolam tersebut yang juga tidak memiliki perbedaan yang signifikan (Tabel B.1 Lampiran B). IV.4.4 Pengaruh Asal ikan dengan Perbedaan Debit terhadap Proses Depurasi Tembaga (Cu) dan Seng (Zn) Kolam air deras Pada akuarium depurasi asal KAD 1 (debit 0,5 L/dtk) sedangkan pada akuarium depurasi KAD 2 ikan berasal dari KAD dengan debit 5 L/dtk. Konsentrasi tembaga dan seng pada kedua akuarium tersebut tidak memiliki perbedaan yang signifikan secara statistik (Tabel B.2. Lampiran B). Konsentrasi tembaga dan seng di akuarium depurasi KAD cenderung mengalami peningkatan (Gambar IV.18). Konsentrasi tembaga dan seng di air akuarium depurasi KAD cenderung mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan oleh adanya kontribusi ekskresi tembaga dari ikan ke lingkungan akuatik, melalui urin dan feses, pelepasan melalui insang ataupun kelenjar mukus yang diperlihatkan dengan rate uptake ikan yang bernilai negatif. Gambar IV.18 Konsentrasi Cu dan Zn di air dan ikan akuarium depurasi KAD 63 Rata-rata konsentrasi tembaga di air akuarium depurasi asal ikan KAD 1 sebesar 0,0134 mg/L, sedangkan asal ikan KAD 2 sebesar 0,0273 mg/L. Untuk nilai ratarata Cu di air akuarium depurasi asal ikan KAD 1 masih berada dibawah baku mutu PP RI No.82 Tahun 2001 (0,02 mg/L) sedangkan untuk akuarium asal ikan KAD 2 nilai rata-rata Cu di air melebihi baku mutu tersebut. Untuk rata-rata konsentrasi Zn di air, akuarium asal ikan KAD 1 masih berada di bawah baku mutu PP RI No.82 Tahun 2001 (0,05 mg/L) sedangkan untuk akuarium asal ikan KAD 2 berada di atas baku mutu tersebut. Walaupun demikian hasil analisa statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara konsentrasi Cu dan Zn di air pada kedua akuarium depurasi KAD (Lampiran B Tabel B.1). Rata-rata peningkatan konsentrasi Cu di air pada akuarium depurasi KAD 1 tidak jauh berbeda dengan akuarium depurasi KAD 2. Akan tetapi, pada KAD 1 hasil perhitungan rate uptake menunjukkan bahwa ikan melakukan depurasi Cu sedangkan pada KAD 2 ikan melakukan uptake Cu. Hal ini menunjukkan bahwa pada KAD 1 depurasi Cu ikan lebih besar dari pada uptake sedangkan pada KAD 2 uptake ikan lebih besar dari depurasi Cu. Seperti halnya Cu, peningkatan konsentrasi Zn di air pada akuarium depurasi KAD 1 dan KAD 2 tidak memiliki perbedaan yang mencolok. Selain tu, ikan di kedua kolam melakukan depurasi, walaupun dengan angka laju yang berbeda. Walaupun ikan pada kedua kolam berasal dari KAD dengan perbedaan debit, akan tetapi tidak terdapat perbedaan yang ekstrim baik pada konsentrasi di air, ikan, organ ikan, maupun rate uptake ikan. Hal ini juga didukung dengan hasil analisa statistik yang menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan konsentrasi Cu dan Zn di air, ikan, dan organ ikan yang signifikan pada kedua kolam tersebut (Tabel B.2 Lampiran B). IV.5 Perbandingan antara KJA dengan KAD Rata-rata konsentrasi Cu (0,0093 mg/L) dan Zn (0,073 mg/L) di air KJA lebih besar dari pada konsentrasi Cu (0,0065 mg/L) dan Zn (0,037 mg/L) di KAD. Konsentrasi Cu di ikan KJA (4,35 mg/kg) juga lebih besar dari KAD (3,41 64 mg/kg), akan tetapi konsentrasi Zn di ikan KAD (294,45 mg/kg) lebih besar dari KJA (276,13 mg/kg). Gambar IV.19 menunjukkan konsentrasi Cu dan Zn di air dan ikan Waduk Cirata dan KAD. Peningkatan konsentrasi Cu dan Zn di air tidak selalu diikuti oleh kenaikan Cu dan Zn di ikan dan sebaliknya. Hal ini mengindikasikan bahwa uptake Cu dan Zn tidak selalu berasal dari air, akan tetapi juga dipengaruhi oleh kandungan Cu dan Zn di pakan ikan. Penelitian oleh Miller et al. (1993) dan Komunde et al. (2002) dalam Bury et al. (2003) menunjukkan bahwa pakan merupakan sumber Cu utama bagi rainbow trout dan ikan akan mengambil Cu dari air apabila Cu di pakan tidak mencukupi bagi kebutuhan ikan. Meskipun telah dinyatakan bahwa ekskresi merupakan sarana utama bagi ikan dalam mengkontrol homeostasis Zn, akan tetapi re-uptake Zn juga merupakan salah satu cara bagi regulasi Zn (Bury et al., 2003). Jumlah dari Zn yang diabsorpsi dari pakan akan menurun pada saat kandungan Zn di pakan meningkat. Hal ini menunjukkan adanya mekanisme bagi regulasi uptake Zn dari pakan. Akumulasi Zn branchial juga diregulasi, dan rainbow trout yang dipapari air dengan kadar Zn tinggi menunjukkan adanya perubahan dalam mekanisme uptake dimana terdapat batasan jumlah Zn yang terakumulasi dalam insang (Bury et al., 2003). Gambar IV. 19 Konsentrasi Cu dan Zn di air dan ikan KJA dan KAD 65 Untuk memperlihatkan perbedaan tingkat akumulasi yang terjadi maka dilakukan perhitungan rate uptake untuk setiap kondisi sampel. Nilai rate uptake ditunjukkan pada Tabel IV.15. Tabel IV.16.Rate uptake (mg/kg/hari) Cu dan Zn ikan Tahap Akumulasi Rate Uptake Lokasi Cu Zn KJA 1 -0,0169 2,7418 KJA KJA 2 -0,0044 1,4231 Rata-rata -0,0106 2,0824 KAD 1 -0,0013 4,1513 KAD 2 0,0086 3,4344 KAD KAD 3 -0,0066 2,0849 KAD 4 -0,0007 4,7316 -6 Rata-rata 2,209x 10 3,6005 Rate uptake Cu di KJA lebih kecil dibandingkan dengan KAD (Tabel IV.15). Ikan di KJA lebih banyak melakukan pengeluaran Cu dibandingkan mengambil Cu dari air, akan tetapi ikan di KAD melakukan uptake walaupun dalam jumlah yang sedikit. Perbedaan ini menunjukkan adanya perbedaan regulasi Cu antara ikan di KJA dengan KAD. Hasil analisa statistik juga menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara konsentrasi Cu di ikan KJA dengan KAD (Tabel B.1 Lampiran B. Sedangkan konsentrasi Zn di ikan baik di KJA maupun KAD cenderung mengalami peningkatan, hal ini menunjukkan terdapat mekanisme yang berbeda dalam pengaturan Cu dan Zn di ikan, dimana Cu dapat diregulasi lebih baik dibandingkan Zn. Konsentrasi Zn di ikan KJA dengan KAD tidak memiliki perbedaan yang signifikan secara statistik (Tabel B.1 Lampiran B). Ikan di KAD lebih banyak memerlukan energi terutama bagi aktivitas pergerakan melawan arus sehingga memerlukan lebih banyak oksigen terlarut di perairan. Pendugaan laju metabolisme biasanya dilakukan berdasarkan pendekatan laju konsumsi oksigen (Fujaya, 2002). Oleh karena itu ikan di KAD akan berusaha mengambil lebih banyak oksigen bagi proses respirasi menggerakkan operkulum insangnya lebih banyak sehingga kontak dengan air yang mengandung logam berat juga lebih banyak lebih banyak sehingga laju pengambilan Cu dan Zn di ikan KAD lebih besar dari KJA. 66 Hasil pengukuran menunjukkan konsentrasi Cu di ikan KAD cenderung menurun seiring dengan pertambahan umur dan ukuran tubuh karena dipengaruhi metabolisme ikan (proses detoksifikasi dan ekskresi) yang belum sempurna pada ikan muda, sedangkan di Waduk Cirata mengalami peningkatan pada bulan kedua (Gambar IV.19). Sun dan Jeng (1998) menyatakan bahwa untuk ikan mas dewasa, persentase berat dari otot, jaringan-jaringan rangka tubuh, organ pencernaan, dan organ-organ visceral lainnya secara berurutan adalah sekitar 49%, 45%, 0,2%0,6%, dan 5 %, akan tetapi pada ikan kecil (dengan berat kurang dari 3 gram) presentase berat adalah 40%, 53%, 2%, dan 5%. Ketika ikan berukuran kecil, persentase berat otot relatif juga sangat kecil, dan hal ini menyebabkan konsentrasi seng pada keseluruhan tubuh lebih tinggi, tapi seiring dengan pertumbuhan, persentase berat otot meningkat, oleh karena itu konsentrasi seng di tubuh lebih rendah. Akan tetapi hasil penelitian ini menunjukkan hal yang sebaliknya, maka dapat dikatakan bahwa terjadi akumulasi seng pada ikan mas. Sedangkan konsentrasi tembaga di ikan walaupun juga mengalami peningkatan (rata-rata konsentrasi 3,41 - 4,35 mg/kg berat kering), akan tetapi tidak terlalu jauh melampaui rentang konsentrasi Cu yang diperlukan oleh ikan (1 - 4 mg/kg berat kering). Kebutuhan ikan terhadap Zn berkisar antara 15 - 30 mg/kg berat kering sedangkan rata-rata konsentrasi Zn di ikan hasil pengukuran adalah 276,45 - 294,13 mg/kg berat kering. Hal ini mungkin mengindikasikan bahwa ikan dapat meregulasi Cu lebih baik dari pada Zn. Gambar IV. 20 menunjukkan konsentrasi Cu dan Zn di organ ikan KJA dan KAD. Akumulasi logam pada organ ikan bervariasi, tergantung pada rate uptake, penyimpanan dan eliminasi (Kalay dan Canli, 2000). Konsentrasi Cu dan Zn pada organ ikan di KJA dan KAD tidak memiliki perbedaan yang signifikan (Tabel B.1 Lampiran B). Tembaga dan seng merupakan logam esensial yang mengalami regulasi internal, sehingga konsentrasinya di dalam setiap organ mengalami fluktuasi. Walaupun demikian hati merupakan organ dengan konsentrasi Cu dan Zn terbesar, karena merupakan organ utama dalam metabolisme dan detoksifikasi Cu dan Zn (Kalay dan Canli, 2000; Kamunde dan Macphail, 2007). Hasil penelitian lainnya oleh Cicik (2003) terhadap ikan mas yang dipapari dengan 67 tembaga, seng dan kombinasi tembaga-seng menunjukkan bahwa akumulasi tembaga dan seng terbesar adalah di hati. Gambar IV.20 Konsentrasi Cu dan Zn di organ ikanWaduk Cirata dan KAD Perbedaan level akumulasi logam pada organ yang berbeda mungkin disebabkan oleh perbedaan aktivitas metabolik. Organ seperti hati dan insang merupakan organ yang sangat aktif dalam metabolisme ikan dan oleh karena itu akumulasi logam pada organ ini berada pada tingkat yang lebih tinggi dibandingkan organ lain seperti otot. Hal ini telah diperlihatkan pada penelitian ini dan penelitian lain dengan menggunakan spesies ikan yang lainnya (Kalay dan Canli, 2000). Pada tahap depurasi dalam penelitian ini, ikan yang digunakan berasal dari lokasi sampling KJA dan KAD setelah dibudidayakan selama 9 minggu. Ikan mas tersebut ditempatkan pada akuarium depurasi dengan sumber air berasal dari air PDAM. Tabel IV.16 berikut menunjukkan hasil pengukuran parameter kualitas air pada air PDAM yang digunakan pada percobaan depurasi. Pada tahap depurasi, idealnya ikan ditempatkan pada air dengan konsentrasi tembaga dan seng lebih rendah dari pada konsentrasi di lapangan. Akan tetapi air PDAM yang digunakan memiliki konsentrasi seng yang cukup tinggi, hal ini disebabkan oleh karena adanya unsur-unsur seng yang berikatan dengan klorida. 68 Menurut Effendi (2003) seng yang berikatan dengan klorida sangat mudah larut sehingga mempengaruhi kadar seng dalam air. Tabel IV.17 Hasil Pengukuran Parameter Kualitas air pada air PDAM Parameter Hasil Satuan pH 7.1 0 suhu 25 C DO 5 mg/L TDS 138 mg/L DHL 247 µS/cm Kesadahan (CaCO3) 68,9 mg/L COD 2,83 mg/L Asiditas 1,85 mg/L Alkalinitas 44,73 mg/L Tembaga (Cu) 0,001 mg/L Seng (Zn) 0,0662 mg/L Peningkatan konsentrasi tembaga dan seng di air terbesar terjadi pada hari pertama depurasi baik pada akuarium depurasi KJA dan KAD, akan tetapi hal ini tidak selalu diikuti oleh penurunan konsentrasi di ikan. Hal ini mengindikasikan bahwa ikan melakukan re-uptake Cu dan Zn. Mungkin depurasi akan lebih efektif bila penggantian air lebih sering dilakukan untuk mencegah pengambilan kembali Cu dan Zn oleh ikan. Menurut Murty (1986) dalam Oktaviatun (2004) penurunan konsentrasi setelah depurasi adalah sangat cepat pada 24 jam pertama dan lebih lambat setelahnya. Hal ini telah didukung oleh hasil penelitian Oktaviatun (2004) yang melakukan depurasi timbal pada ikan nila. Akan tetapi faktor perbedaan spesies ikan dan logam yang berbeda mungkin berpengaruh. Seperti yang dinyatakan oleh Kalay dan Canli (2000) bahwa eliminasi logam dipengaruhi oleh durasi, temperatur, adanya interaksi antar logam dan aktivitas metabolik hewan. Konsentrasi Cu dan Zn di air dan ikan pada akuarium depurasi dengan ikan yang berasal dari KJA dan KAD ditunjukkan pada Gambar IV.21. 69 Gambar IV. 21 Konsentrasi Cu dan Zn di air dan ikan akuarium depurasi asal ikan KJA dan KAD Peningkatan konsentrasi Cu dan Zn di air akuarium depurasi KAD lebih besar dibandingkan dengan akuarium depurasi KJA. Walaupun di akuarium depurasi KAD ikan mengalami depurasi yang lebih besar daripada uptake, akan tetapi peningkatan konsentrasi di air di KJA tetap lebih besar dibandingkan KAD. Hal ini menunjukkan bahwa ikan yang berasal dari KJA lebih banyak melakukan uptake dibandingkan depurasi, sedangkan ikan yang berasal dari KAD uptake yang dilakukan tidak sebanyak ikan dari KJA. Terdapat perbedaan regulasi Cu dan Zn pada ikan yang dibudidayakan dengan air tenang (Waduk Cirata) dan air mengalir (KAD) pada periode depurasi. Hasil analisa statistik juga menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara akuarium Cirata dengan KAD yaitu pada konsentrasi Cu di ikan, Cu di sisik, Zn di ikan, dan Zn di insang. Sisik dan insang merupakan organ uptake sekaligus juga berperan sebagai organ pengeluaran atau eliminasi Cu dan Zn (Kalay dan Canli, 2000), sehingga pada organ-organ inilah terdapat perbedaan yang signifikan pada tahap depurasi karena ikan disamping melakukan depurasi, ikan juga melakukan re-uptake Cu dan Zn. Gambar IV.22 menunjukkan 70 konsentrasi Cu dan Zn di organ ikan pada tahap depurasi dengan asal ikan KJA dan KAD. Tabel IV.18 Rate uptake (mg/kg/hari) Cu dan Zn ikan Tahap Depurasi Rate Uptake ikan Asal ikan Cu Zn KJA 1 0,3566 26,5437 Waduk Cirata KJA 2 0,0360 5,9782 Rata-rata 0,1963 16,2609 KAD 1 -0,0490 -92,8789 Kolam air deras KAD 2 0,5563 -17,0884 Rata-rata 0,2536 -54,9836 Pada tahap akumulasi urutan konsentrasi Cu dan Zn di organ ikan KJA dan KAD berturut-turut dari yang terbesar adalah hati, insang, sisik, dan otot. Sedangkan pada tahap depurasi, konsentrasi Cu di organ ikan akuarium asal ikan KJA dan KAD yang terbesar adalah hati, kemudian insang, otot, dan sisik. Hal ini mengindikasikan bahwa Cu sulit untuk dikeluarkan dari tubuh ikan, karena konsentrasi terbesarnya tetap berada di organ hati bukan pada organ pengeluaran atau eleminasi Cu seperti insang dan sisik (Kalay dan Canli, 2000). Untuk konsentrasi Zn di organ ikan akuarium depurasi asal ikan KJA urutan konsentrasi dari yang terbesar adalah hati>insang>otot>sisik, sedangkan Zn di organ ikan akuarium asal ikan KAD urutannya adalah insang>hati>sisik>otot. Urutan konsentrasi Zn di organ ikan akuarium asal ikan KAD berbeda dengan urutan konsentrasi Zn di organ ikan pada saat akumulasi di lapangan dan juga memiliki perbedaan dengan akuarium asal ikan KJA. Hal ini menunjukkan bahwa ikan yang berasal dari KAD dapat melakukan depurasi Zn lebih baik dari ikan asal KJA. Hal ini disebabkan oleh karena pada kondisi laboratorium, akuarium depurasi mengandung oksigen yang terbatas dan lebih sedikit dibandingkan pada saat di kolam air deras, sedangkan karbondioksida jumlahnya lebih banyak sehingga akan menginduksi sel-sel insang ikan untuk mensekresikan enzim carbonic anhydrase. Enzim ini mengandung seng dan berperan dalam katalisis karbondioksida menjadi HCO3 (Darmono, 1995). 71 Gambar IV.22 Konsentrasi Cu dan Zn di organ ikan akuarium depurasi asal ikan KJA dan KAD IV.6 Faktor Biokonsentrasi Konsep bioakumulasi dibuat untuk menentukan akumulasi dari substansi/elemen dalam biota yang dibandingkan dengan kehadiran substansi/elemen tersebut pada kompartemen lingkungan, seperti air, tanah atau sedimen. Rasio antara konsentrasi substansi/elemen dalam biota dan konsentrasi substansi/elemen tersebut dalam kompartemen lingkungan didefinisikan sebagai faktor biokonsentrasi (BCF) (Simon-Hettich et al., 2001). Kebanyakan logam bersifat racun, korosif seta bersifat bioakumulatif. Walaupun logam yang dikonsumsi berada dalam jumlah yang sangat kecil dan jauh di bawah baku mutu, bukan berarti substansi ini tidak memberikan efek negatif bagi suatu organisme, dikarenakan sifat bioakumulasinya tersebut (Kunaefi dan Ariesyady, 2000). Untuk mengetahui potensi bioakumulasi tembaga dan seng maka dilakukan perhitungan nilai BCF. Perhitungan BCF tersebut dilakukan hanya pada saat pengambilan sampel di lapangan. 72 Nilai BCF pada semua lokasi sampling diperlihatkan pada Tabel IV.18. Dari Tabel IV.18. dapat dilihat bahwa nilai-nilai BCF yang diperoleh sangat besar, yaitu diatas 100 dan sebagian besar berada di atas 1000. Nilai BCF untuk tembaga (Cu) berkisar antara 527 hingga 8154, sedangkan BCF untuk seng (Zn) berada pada kisaran 3953 hingga 10052. Rata-rata nilai BCF untuk Cu di KJA lebih besar daripada KAD, sedangkan untuk nilai BCF Zn di KAD lebih besar dari KJA. Hal ini menunjukkan bahwa potensi Cu untuk terakumulasi pada ikan di KJA lebih besar dibandingkan KAD, karena konsentrasi Cu di KJA juga lebih besar dibandingkan KAD. Sedangkan ikan di KAD memiliki lebih banyak potensi untuk mengakumulasi Zn dibandingkan ikan di KJA, hal ini disebabkan oleh karena ikan di KAD memiliki laju pengambilan Zn yang lebih besar dibandingkan ikan di KJA, walaupun konsentrasi Zn di air KJA lebih besar daripada KAD. Tabel IV.19 Nilai Faktor Biokonsentrasi Tahap Akumulasi BCF Lokasi Cu Zn KJA 1 735,78 3953,54 KJA KJA 2 8154,28 8148,15 Rata-rata 4445,03 6050,84 KAD 1 559,77 8731,34 KAD 2 714,02 10052,12 KAD KAD 3 578,12 8903,68 KAD 4 527,67 8809,87 Rata-rata 594,89 9124,25 Nilai-nilai BCF hasil penelitian ini melebihi rentang BCF untuk Cu dan Zn di ikan dari penelitian sebelumnya, yaitu 10-667 untuk Cu (ATSDR, 2004) dan 1000 untuk Zn (ATSDR, 2005). Kunaefi dan Ariesyady (2000) menyatakan bahwa nilai BCF yang besar tersebut mengindikasikan terjadi ketidakseimbangan antara pemasukan (uptake) dengan pengeluaran pada tubuh ikan, dimana jumlah logam berat yang masuk lebih besar daripada logam berat yang keluar sehingga terjadi penumpukan (bioakumulasi) logam di dalam tubuh ikan. Kondisi seperti ini menandakan bahwa potensi bioakumulasi tembaga dan seng pada ikan yang dibudidayakan pada kolam air deras sangat besar. 73 Angka potensi bioakumulasi yang besar tersebut menggambarkan bahwa tembaga dan seng terdapat dalam ikan pada konsentrasi yang lebih besar dari konsentrasi lingkungan akuatik. Sedangkan ikan merupakan salah satu sumber protein bagi manusia, sehingga potensi akumulasi tembaga dan seng dalam tubuh manusia menjadi sangat besar. Walaupun tembaga dan seng merupakan logam yang dibutuhkan oleh tubuh, akan tetapi apabila terdapat dalam jumlah yang terlalu banyak dan melebihi kebutuhan maka akan menimbulkan masalah kesehatan (Dameron dan Howe, 1998; Simon-Hettich et al., 2001; Lenntech, 2007). Nilai BCF Zn lebih besar dibandingkan nilai BCF Cu menunjukkan bahwa Zn lebih berpotensi untuk terakumulasi dalam ikan mas dibandingkan dengan Cu. Kedua logam ini berada dalam kelas yang sama, yaitu kelompok kelas B yang merupakan logam-logam yang terlibat dalam proses enzimatik. Aktivitas logam kelas B masuk ke dalam tubuh ikan adalah terikat dengan protein (ligand binding) (Darmono, 1995). Apabila logam dalam kelas yang sama memiliki konsentrasi terbanyak atau tinggi maka logam tersebut yang akan masuk ke dalam tubuh organisme, dalam hal ini tubuh ikan (Sutarto, 2007). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsentrasi Zn di perairan lebih besar daripada Cu dan lebih berpotensi untuk terakumulasi pada ikan. Urutan toksisitas logam terhadap ikan menurut Darmono (1995), yaitu: Hg2+ > Ag+ > Cu2+ > Zn2+ > Ni2+ > Pb2+ > Cd2+ > As3+ > Cr3+ > Sn2+ > Fe3+ > Mn2+ > Al3+ > Be2+ > Li+ Walaupun nilai potensi Zn terakumulasi di dalam tubuh ikan pada penelitian ini lebih besar daripada Cu akan tetapi Cu lebih bersifat toksik terhadap ikan dibandingkan Zn. Konsentrasi LC-50 (dengan paparan selama 48 jam) Cu terhadap ikan adalah 1 – 3,3 ppm sedangkan Zn sebesar 3,3 ppm (Darmono, 1995). Menurut Dameron dan Howe (1998) toksisitas tembaga dapat terjadi jika kelebihan tembaga menyebabkan reaksi merugikan sebagai berikut: 74 ¾ Rusaknya struktur dari tempat terikatnya logam esensial yang disebabkan oleh pemindahan (displacement of metal resulting), sebagai contoh dalam membran terjadi perubahan depolarisasi dan rusaknya reseptor atau molekul transpor. ¾ Kerusakan fungsional oleh terikatnya tembaga pada tempat penting dalam misalnya makromolekul seperti DNA atau enzim-enzim yang terutama mengandung sulfhydryl, karbosilat atau imidazoles. Hal ini akan menyebabkan kerusakan protein secara langsung, atau perubahan DNA oksidatif yang mengakibatkan berbagai perubahan fungsional, karena sejumlah besar enzim tergantung pada tembaga dan adanya kemungkinan kesalahan pembacaan kode genetik. ¾ Kerusakan seluler akibat produksi oksidaradikal oleh reaksi Fenton: Cu+ + H2O2 --> Cu2+ + OH* + OHTerlalu banyak produksi dari radikal misalnya, akan menginisiasi suatu cascade reaksi oksidasi-reduksi (stres oksidatif) yang akhirnya menyebabkan hilangnya integritas seluler. Penyebab kerusakan meliputi peningkatan level kalsium sitosolik (cytosolic calcium), kehabisan ATP, oksidasi thiol, peroksidasi lipid, kerusakan DNA dan kerusakan parah pada organel-organel seperti mitokondria dan lisosom. Pada manusia, keracunan tembaga akan menyebabkan sirosis hati, kerusakan otak, reduksi myelin, kerusakan ginjal, dan penumpukan tembaga di kornea mata. Sedangkan terlalu banyak menyerap seng (Zn) dalam tubuh dapat menyebabkan masalah kesehatan seperti keram perut, iritasi kulit, nausea dan anemia. Jumlah seng yang sangat banyak dalam tubuh dapat menyebabkan kerusakan pada pankreas dan menganggu metabolisme protein, serta menyebabkan artericlerosis (Lenntech, 2007). 75