BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1
Landasan Teori dan Konsep
2.1.1
Teori keagenan
Teori keagenan adalah teori yang mengungkapkan hubungan antara
pemilik (principal) dan manajemen (agent) dalam bentuk kontrak kerjasama.
Pemilik memberi perintah kepada agen untuk melakukan suatu jasa atas nama
pemilik dan memberi wewenang kepada agen untuk membuat keputusan yang
terbaik (Belkoui, 2001). Teori agensi mengasumsikan bahwa semua individu
bertindak atas kepentingan mereka sendiri. Pemegang saham sebagai prinsipal
diasumsikan hanya tertarik kepada hasil keuangan yang bertambah atau investasi
mereka di perusahaan. Para agen diasumsikan termotivasi untuk memaksimalkan
kompensasi yang diterima dalam hubungan tersebut. Hal ini menimbulkan adanya
konflik kepentingan antara agen dan prinsipal.
Pihak agen memiliki informasi internal perusahaan dan prospek
perusahaan di masa yang akan datang yang lebih dibandingkan dengan prinsipal,
oleh karena itu manajer sudah seharusnya selalu memberikan sinyal mengenai
kondisi perusahaan kepada pemilik. Sinyal yang dapat diberikan oleh manajer
yakni melalui pengungkapan informasi akuntasi seperti laporan keuangan.
Laporan keuangan merupakan hal yang sangat penting bagi pengguna eksternal
karena kelompok ini berada dalam kondisi yang paling besar ketidakpastiannya.
Adanya ketidakseimbangan penguasaan informasi yang dimiliki antara pihak
10
manajemen dan prinsipal dapat menjadi pemicu munculnya suatu kondisi yang
disebut asimetri informasi dengan asumsi bahwa individu-individu manajemen
bertindak untuk memaksimalkan kepentingan diri sendiri, inilah yang mendorong
manajemen untuk bertindak oportunis atau memperoleh keuntungan pribadi.
Menurut Brigham dan Houston (2006) hubungan keagenan dapat timbul di
antara.
1) Pemegang saham dengan manajer
Masalah keagenan dapat timbul jika manajer menempatkan tujuan dan
kesejahteraan mereka sendiri pada posisi yang lebih tinggi dari kepentingan
pemegang saham. Masalah keagenan potensial terjadi bila proporsi
kepemilikan atas saham perusahaan kurang dari seratus persen sehingga
manajer cenderung bertindak untuk mengejar kepentingannya sendiri dan
bukan memaksimalkan nilai perusahaan dalam mengambil keputusan
pendanaan. Tindakan manajer yang opoturnistik tersebut akan mempertinggi
cost perusahaan dan mengurangi kemakmuran pemegang saham.
2) Pemegang saham (melalui manajer) dengan kreditur
Kreditur memiliki klaim atas sebagian dari arus kas perusahaan untuk
pembayaran bunga dan pokok utang. Mereka memiliki klaim atas aset
perusahaan saat perusahaan mengalami kebangkrutan. Pada saat perusahaan
mengalami kebangkrutan, keputusan harus segera diambil untuk mengatasi
kondisi tersebut, yaitu apakah akan melikuidasi perusahaan dengan menjual
seluruh aset atau melakukan reorganisasi. Manajemen perlu segera bertindak
dan
khususnya
manajer
memilih
11
mereorganisasi
dengan
tujuan
mempertahankan pekerjaannya. Keputusan manajer ini tentu saja berdampak
pada pemegang saham atau kreditur atau kedua belah pihak tersebut. Kreditur
pada umumnya menghendaki likuidasi perusahaan sehingga mereka dapat
segera menarik dananya dengan cepat. Di lain pihak, manajemen
menginginkan
perusahaan
tetap
eksis
sehingga
mereka
memilih
mereorganisasi perusahaan. Pada saat bersamaan, pemegang saham
kemungkinan mencoba mencari pengganti manajer lama yang mau dibayar
lebih rendah meskipun proses tersebut membutuhkan waktu yang lama.
Konflik kepentingan antara agen dan prinsipal dapat diminimalkan melalui
beberapa cara. Menurut Masdupi (2005) mengemukakan cara-cara untuk
mengatasi masalah keagenan antara lain :
1) Meningkatkan kepemilikan manajerial
Dengan adanya kepemilikan manajerial saham maka manajer akan merasakan
langsung manfaat dari keputusan yang diambil dan juga merasakan langsung
manfaat dari keputusan yang diambil dan juga merasakan apabila ada
kerugian yang timbul sebagai konsekuensi dari pengambilan keputusan yang
salah.
2) Pendekatan pengawasan eksternal
Pendekatan ini dilakukan melalui penggunaan utang. Adanya utang akan
dapat mengendalikan penggunaan free cash flow secara berlebihan oleh
manajer karena perusahaan harus melakukan pembayaran atas bunga dan
pokok pinjaman secara periodik serta mematuhi ketentuan pada perjanjian
utang.
12
3) Institutional investor sebagai monitoring agent
Adanya kepemilikan saham oleh investor institusional seperti perusahaan
asuransi, bank, perusahaan investasi dan kepemilikan oleh institusi lain akan
mendorong peningkatan pengawasan yang lebih optimal terhadap kinerja
manajemen.
2.1.2
Manajemen laba
Terdapat beberapa pandangan mengenai manajemen laba. Secara umum
para pelaku ekonomi menganggap manajemen laba sebagai suatu kecurangan
manajerial, karena aktivitas rekayasa manajerial ini dilaksanakan dengan tujuan
untuk menyesatkan dan merugikan pihak lain yang menggunakan laporan
keuangan sebagai sumber informasi untuk mengetahui segala sesuatu mengenai
perusahaan. Sementara bagi akademisi, termasuk para peneliti menilai bahwa
manajemen laba bukanlah suatu kecurangan, karena aktivitas rekayasa manajerial
ini merupakan dampak dari luasnya prinsip akuntansi yang berterima umum.
Manajemen laba sebagai bentuk dari manipulasi laporan keuangan, hingga
saat ini belum mempunyai batasan mengenai definisi dari manajemen laba.
Menurut Scott (2009 : 403) mendefinisikan manajemen laba sebagai pilihan bagi
manajer atas kebijakan akuntansi dari berbagai kebijakan yang diperbolehkan
dalam standar, untuk mencapai tujuan khusus. Wolk et al. (dalam Astuti, 2005)
menyatakan bahwa manajemen laba merupakan suatu intervensi dalam proses
pelaporan keuangan eksternal dengan maksud untuk memperoleh keuntungan
pribadi. Manajemen laba intinya tidak harus dikaitkan dengan upaya untuk
13
memanipulasi data atau informasi akuntansi, tetapi lebih condong dikaitkan
dengan pemilihan metode akuntansi untuk mengatur keuntungan yang bisa
dilakukan karena memang diperkenankan menurut kebijakan akuntansi.
Scott (2009: 337) menyebutkan beberapa motivasi manajemen untuk melakukan
manajemen laba, yaitu.
1) Bonus Purpose
Manajer yang memiliki informasi atas laba bersih akan bertindak secara
oportunistik untuk melakukan manajemen laba dengan memaksimalkan laba
saat ini.
2) Political Motivation
Manajemen laba digunakan untuk mengurangi laba yang dilaporkan karena
adanya tekanan publik yang mengakibatkan pemerintah menetapkan
peraturan yang lebih ketat.
3) Taxation Motivation
Motivasi penghematan pajak menjadi motivasi manajemen laba yang paling
nyata. Berbagai metode akuntansi digunakan dengan tujuan penghematan
pajak pendapatan.
4) Pergantian CEO
CEO yang mendekati masa pensiun akan cenderung menaikan pendapatan
untuk meningkatkan bonus mereka. Jika kinerja perusahaan buruk, maka akan
memaksimalkan pendapatan agar tidak diberhentikan.
14
5) Initial Public Offering (IPO)
Perusahaan yang akan go public belum memiliki nilai pasar dan
menyebabkan manajer perusahaan yang akan melakukan go public
melakukan manajemen laba dalam prospectus mereka dengan harapan dapat
menaikkan harga saham perusahaan.
6) Pentingnya Memberi Informasi kepada Investor
Informasi mengenai kinerja perusahaan harus disampaikan kepada investor
sehingga pelaporan laba perlu disajikan agar investor tetap menilai bahwa
perusahaan tersebut dalam kinerja yang baik.
Teknik manajemen laba menurut Setiawati dan Na'im, 2000 dapat
dilakukan dengan tiga teknik yaitu.
1) Memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi akuntansi.
Manajemen dapat memengaruhi laba melalui perkiraan terhadap estimasi
akuntansi antara lain estimasi tingkat piutang tak tertagih, estimasi kurun
waktu depresiasi aset tetap atau amortisasi aset tak berwujud, estimasi
biaya garansi dan lain-lain.
2) Mengubah metode akuntansi.
Manajemen laba dapat dilakukan dengan mengubah metode akuntansi yang
digunakan untuk suatu transaksi. Contohnya mengubah metode depresiasi
aset tetap, dari metode depresiasi angka tahun ke metode depresiasi garis
lurus yang digunakan untuk mencatat suatu transaksi.
15
3) Menggeser periode biaya atau pendapatan.
Manajemen laba dapat dilakukan dengan menggeser periode atau pendapatan.
Contohnya mempercepat atau menunda pengeluaran untuk penelitian dan
pengembangan sampai pada periode akuntansi berikutnya, mempercepat atau
menunda pengeluaran promosi sampai periode berikutnya, mempercepat atau
menunda pengiriman produk ke pelanggan, mengatur saat penjualan aset
tetap yang sudah tidak dipakai.
Manajemen laba memiliki pola-pola tertentu di dalam praktiknya. Menurut
(Scott, 2009:383) manajemen laba dilakukan dengan pola sebagai berikut.
1) Taking a bath
Pola manajemen laba yang melaporkan laba pada periode berjalan dengan
nilai yang sangat rendah atau sangat tinggi.
2) Income minimization
Pola manajemen ini seperti taking a bath tapi tidak lebih ekstrim
dibandingkan dengan pola taking a bath. Menjadikan laba di periode berjalan
lebih rendah dari pada laba sesungguhnya.
3) Income maximization
Pola manajemen laba ini berkebalikan dengan income minimization.
Melaporkan laba lebih tinggi dari pada laba sesungguhnya.
4) Income smoothing
Pola manajemen laba yang paling menarik yaitu dengan cara melaporkan
tingkatan laba yang cenderung berfluktualisasi yang normal pada periodeperiode tertentu.
16
Deteksi manajemen laba adalah suatu cara untuk memprediksi kualitas
suatu laba berkaitan dengan kemampuannya menghasilkan aliran kas di masa
mendatang. Secara umum ada tiga cara yang telah dihasilkan para peneliti untuk
mendeteksi manajemen laba yaitu.
1) Model Berbasis Aggregate Accrual
Model berbasis aggregate accrual yaitu model
yang
digunakan
untuk
mendeteksi aktivitas rekayasa dengan menggunakan discretionary accruals
sebagai proksi manajemen laba. Model ini pertama kali dikembangkan oleh
Healy (1985), De Angelo (1986), dan Jones (1991). Selanjutnya Dechow,
Sloan, dan Sweeney (1995) mengembangkan model Jones menjadi model
Jones
yang
dimodifikasi
(modified
Jones
model).
Model-model
ini
menggunakan total akrual dan model regresi untuk menghitung akrual yang
diharapkan dan akrual yang tidak diharapkan (Sulistyanto, 2008:211).
2) Model Berbasis Specific Accruals
Model yang berbasis akrual khusus yaitu pendekatan yang menghitung akrual
sebagai proksi manajemen laba dengan mengunakan item atau komponen
laporan keuangan tertentu dari industri tertentu, misalnya piutang tak tertagih
dari sektor industri tertentu atau cadangan kerugian piutang dari industri
asuransi (Sulistyanto, 2008:213).
3) Model Berbasis Distribution of Earnings After Management
Model distribution of earnings dikembangkan oleh Burgtahler dan Dichev,
Degeorge, Patel, dan Zeckhauser, serta Myers dan Skinner. Pendekatan ini
dikembangkan dengan melakukan pengujian secara statistik terhadap
17
komponen-komponen laba untuk mendeteksi faktor-faktor yang mempengaruhi
pergerakan laba. Model ini terfokus pada pergerakan laba disekitar benchmark
yang dipakai, misalkan laba kuartal sebelumnya, untuk menguji apakah
incidence jumlah yang berada di atas maupun di bawah benchmark telah
didistribusikan
secara
merata,
atau
merefleksikan
ketidakberlanjutan
kewajiban untuk menjalankan kebijakan yang telah dibuat (Sulistyanto,
2008:214).
Pengukuran manajemen laba dalam penelitian ini menggunakan model
Jones yang dimodifikasi (modified Jones model). Model ini lebih mampu
mendeteksi tingkat manajemen laba dibandingkan dengan model estimasi lain
karena memberikan hasil yang lebih akurat. Model ini mempunyai standar eror
hasil regresi estimasi nilai total akrual yang paling kecil dibandingkan dengan
model lainnya (Dechow et al, 1995).
2.1.3 Diversifikasi operasi
Melihat kondisi pasar saat ini, perusahaan perusahaan berusaha untuk
mendapat pangsa pasar yang baru dan memperluas pangsa pasar yang ada dengan
memberikan peluang-peluang yang lebih baik sehingga perusahaan tetap memiliki
keunggulan bersaing dibandingkan dengan perusahaan lainnya. Salah satunya
dengan melakukan diversifikasi operasi.
Perusahaan yang melakukan diversifikasi operasi bergerak pada lebih dari
satu lini bisnis (multi bisnis). Diversifikasi operasi yang dimaksud terdapat dalam
PSAK No.5 Tahun 2013 (Revisi 2009) tentang segmen operasi disebut sebagai
18
segmen usaha. Segmen usaha adalah komponen perusahaan yang dapat dibedakan
dalam menghasilkan produk atau jasa (baik produk atau jasa individual maupun
kelompok produk atau jasa terkait) dan komponen itu memiliki risiko dan imbalan
yang berbeda dengan risiko dan imbalan segmen lain dimana informasi
keuangannya dibuat secara terpisah.
Standar pelaporan segmen ini telah ditetapkan oleh PSAK No. 5 Tahun
2013 (Revisi 2009) dimana tujuan dari standar tersebut adalah untuk memberikan
informasi mengenai perbedaan jenis aktivitas bisnis perusahaan dalam membantu
pengguna laporan keuangan untuk memahami kinerja perusahaan dengan lebih
baik, menilai lebih baik kemungkinan aliran kas masa depan, dan membuat
pertimbangan lebih informatif mengenai perusahaan secara keseluruhan
(Radebaugh dan Street dalam Indriastuti, 2012).
Menurut PSAK No.5 Tahun 2013 (Revisi 2009) faktor – faktor yang
dipertimbangkan dalam menentukan terkait atau tidaknya produk atau jasa,
meliputi.
1) Karakteristik produk atau jasa.
2) Karakteristik proses produksi.
3) Jenis atau golongan pelanggan (produk atau jasa).
4) Metode pendistribusian produk atau penyediaan jasa.
5) Jika praktis, karakteristik iklim regulasi, misalnya dalam perbankan, asuransi,
atau public utilities.
PSAK No.5 Tahun 2013 (Revisi 2009) tentang segmen operasi
menyebutkan bahwa segmen operasi adalah suatu komponen dari entitas.
19
1) Yang terkait dalam aktivitas bisnis dalam menghasilkan pendapatan dan
menimbulkan beban.
2) Hasil operasi yang secara reguler dievaluasi oleh pembuat keputusan operasi
untuk menilai segmen individual dan membuat keputusan mengenai sumber
daya yang akan dialokasikan ke dalam segmen.
3) Ketika informasi keuangan terpisah tersedia yang dihasilkan oleh atau
berdasarkan sistem internal.
PSAK No. 5 Tahun 2013 (Revisi 2009) menyatakan bahwa kriteria
segmen yang akan dilaporkan harus memenuhi syarat kualitatif, yaitu telah
teridentifikasi sebagai segmen operasi atau hasil dari dua agregasi atau lebih dan
memenuhi satu dari batasan kuantitatif berikut.
1) Pendapatan yang dilaporkan adalah 10% atau lebih dari pendapatan total dari
semua segmen yang dilaporkan.
2) Jumlah absolut dari laba atau rugi yang dilaporkan adalah 10% atau lebih dari
gabungan laba atau rugi yang dari semua segmen operasi.
3) Jika aset adalah 10% atau lebih dari aset gabungan semua operasi.
Diversifikasi operasi dalam penelitian ini diperoleh dari pengungkapan
perusahaan sesuai dengan laporan segmen operasi entitas induk dan perusahaan
anak dalam catatan atas laporan keuangan perusahaan. Diversifikasi operasi
dihitung berdasarkan jumlah segmen operasi atau segmen usaha yang dimiliki dan
dilaporkan oleh perusahaan.
20
2.1.4
Leverage
Leverage adalah rasio total utang dibandingkan total aset. Leverage
menunjukan berapa banyak utang yang digunakan untuk membiayai aset-aset
perusahaan. Manajemen keuangan mengartikan leverage sebagai penggunaan
sumber dana yang memiliki beban tetap, dengan harapan akan memberikan
tambahan keuntungan yang lebih besar dari pada beban tetapnya, sehingga
keuntungan pemegang saham bertambah. Rasio leverage menggambarkan sumber
dana operasi yang digunakan oleh perusahaan. Rasio leverage juga menunjukan
risiko yang dihadapi perusahaan, semakin besar risiko yang dihadapi oleh
perusahaan maka ketidakpastian untuk menghasilkan laba dimasa depan juga akan
makin meningkat dan juga untuk memprediksi keuntungan yang kemungkinan
bisa diperoleh bagi investor jika berinvestasi pada suatu perusahaan.
Rasio-rasio leverage yang mengukur seberapa banyak dana yang di supply
oleh pemilik perusahaan dalam proporsinya dengan dana yang diperoleh dari
kreditor perusahaan, mempunyai beberapa implikasi (Husnan, 2008:70).
1) Para pemberi kredit akan melihat kepada modal sendiri, yang merupakan
dana yang di supply oleh pemilik perusahaan, untuk melihat batas keamanan
pemberian kredit.
2) Dengan menggunakan hutang pemilik mendapatkan manfaat dana tanpa harus
kehilangan kendali atas perusahaan.
3) Apabila perusahaan mendapatkan keuntungan yang lebih besar daripada
beban bunga atas proporsi dana yang dibelanjai dengan pinjaman, maka
keuntungan bagi pemilik modal sendiri makin besar.
21
Di dalam prakteknya rasio-rasio leverage dihitung dengan dua cara.
Pertama dengan memperhatikan data yang ada di neraca, untuk mengetahui
seberapa banyak dana pinjaman digunakan dalam perusahaan. Kedua, mengukur
risiko hutang dari laporan rugi laba, yaitu seberapa banyak beban tetap hutang
(bunga ditambah dengan pokok pinjaman) bisa ditutup oleh laba operasi.
1) Total Utang dengan Total Aset
Rasio total hutang dengan total aset umumnya disebut sebagai rasio hutang
(debt ratio), mengukur persentase penggunaan dana yang berasal dari
kreditor. Semakin tinggi rasio ini maka semakin besar risiko yang dihadapi,
dan investor akan meminta tingkat keuntungan yang semakin tinggi. Rasio
yang tinggi juga menunjukkan proporsi modal sendiri yang rendah untuk
membiayai aset.
2) Times Interest Earned
Rasio time interest earned dihitung dengan membagi laba sebelum bunga dan
pajak dengan beban bunga. Rasio ini mengukur seberapa jauh laba bisa
berkurang tanpa menyulitkan perusahaan karena perusahaan tidak mampu
membayar beban bunga tahunan. Ketidakmampuan ini bisa membawa
kesulitan keuangan yang serius karena secara hukum pemberi pinjaman bisa
mempertimbangkan kemungkinan kebangkrutan bagi perusahaan.
3) Fixed Charge Coverage Rasio
Fixed Charge Coverage Rasio ini mirip dengan rasio times interest earned
tetapi lebih lengkap, karena mempertimbangkan sewa peralatan (lease of
assets) yang merupakan kontrak jangka panjang. Yang dimaksud dengan
22
sewa (lease) di sini adalah apabila perusahaan menggunakan suatu aset
dengan tidak membelinya, tetapi sekedar menyewanya.
Menurut hipotesis utang / ekuitas (Debt / Equity Hypothesis) manajer akan
berusaha untuk menghindari perjanjian utang dengan memilih metode-metode
akuntansi yang dapat meningkatkan laba. Berkaitan dengan leverage, salah satu
alternatif sumber dana perusahaan selain menjual saham di pasar modal adalah
melalui sumber dana eksternal berupa utang. Utang yang dipergunakan secara
efektif dan efisien akan meningkatkan nilai perusahaan. Herry dan Hamin (dalam
Tarjo, 2008) menunjukkan bahwa leverage menyebabkan peningkatan nilai
perusahaan. Tapi bila dilakukan dengan dalih menarik perhatian para kreditur,
maka justru memicu bagi manajer untuk melakukan manajemen laba (Achmad et
al, 2007).
Menurut Verawati (2012) utang merupakan perjanjian antara perusahaan
sebagai debitur dengan kreditur. Dalam perjanjian utang ini, ada kepentingan
perusahaan untuk dinilai positif oleh kreditur dalam hal kemampuan membayar
utangnya. Terdapat kemungkinan bahwa adanya perjanjian kontrak utang memicu
manajemen untuk meningkatkan laba dengan tujuan memperlihatkan kinerja
positif pada kreditur sehingga memperoleh suntikan dana atau untuk memperoleh
penjadwalan kembali pembayaran utang.
Besarnya rasio leverage dalam penelitian ini diperoleh dari perbandingan
total utang perusahaan dengan total aset yang dimiliki perusahaan. Data ini
didapatkan dalam laporan posisi keuangan perusahaan dari entitas induk dan
perusahaan anak
23
2.1.5 Kepemilikan manajerial
Kepemilikan manajerial yaitu kepemilikan saham suatu perusahaan oleh
pihak manajemen. Kepemilikan manajer dapat diukur dari presentase kepemilikan
saham oleh manajer perusahaan atas perusahaan yang bersangkutan.
Semakin besar kepemilikan manajemen dalam perusahaan maka
manajemen akan cenderung untuk berusaha meningkatkan kinerjanya untuk
kepentingan pemegang saham dan untuk kepentingan dirinya sendiri (Siallagan
dan Machfoedz, 2006). Dengan adanya kepemilikan manajerial, manajemen tidak
hanya berfungsi sebagai pengelola perusahaan namun juga sebagai pemegang
saham. Kepemilikan manajemen terhadap saham perusahaan dipandang dapat
menyelaraskan potensi perbedaan kepentingan antara pemegang saham luar
dengan manajemen (Jensen dan Meckling, 1976). Sehingga permasalahan
keagenan diasumsikan akan hilang apabila seorang manajer bertindak sekaligus
sebagai seorang pemilik.
Pendekatan keagenan menganggap struktur kepemilikan manajerial
sebagai suatu instrument atau alat yang digunakan untuk mengurangi konflik
keagenan diantara beberapa klaim terhadap sebuat perusahaan. Pendekatan
ketidakseimbangan informasi memandang mekanisme struktur kepemilikan
manajerial sebagai suatu cara untuk mengurangi ketidakseimbangan informasi
antara pemegang saham dengan manajemen perusahaan melalui pengungkapan
informasi didalam perusahaan. Besar kecilnya jumlah kepemilikan saham
manajerial
dalam
perusahaan
dapat
mengindikasikan
adanya
kesamaan
kepentingan antara manajemen dengan pemegang saham. Dengan demikian dapat
24
disimpulkan bahwa manajer yang mempunyai kepemilikan saham di perusahaan
akan cenderung bertindak sesuai dengan kepentingan pemegang saham karena
terdapat kesamaan kepentingan antara keduanya.
Kepemilikan manajerial dalam penelitian ini diperoleh dalam catatan atas
laporan keuangan perusahaan dari entitas induk dan perusahaan anak pada bagian
modal saham dengan cara menghitung jumlah persentase saham yang dimiliki
oleh manajer dan dewan komisaris perusahaan.
2.2
Hipotesis Penelitian
Berikut ini akan dibahas mengenai hipotesis penelitian sebagai dugaan
sementara atas permasalahan yang ingin diuji dalam penelitian ini.
2.2.1 Pengaruh diversifikasi operasi pada manajemen laba
Perusahaan yang terdiversifikasi industri beroperasi pada segmen-segmen
bisnis yang berbeda. Manajemen perusahaan dengan segmen bisnis yang beragam
diduga pula memiliki peluang untuk melakukan manajemen laba (Indraswari,
2010) Perusahaan yang terdiversifikasi kurang transparan bila dibandingkan
perusahaan yang terfokus (Rodriguez-Perez dan Van Hemmen, 2010).
Thomas (2002) menyatakan sebuah hipotesis, yaitu hipotesis transparansi
yang mengaitkan antara diversifikasi dengan manajemen laba yang menyatakan
bahwa perusahaan yang terdiversifikasi memiliki transparansi yang rendah jika
dibandingkan dengan perusahaan yang tidak terdiversifikasi, karena mereka
memiliki struktur yang lebih kompleks, ini membuat manajer memiliki dapat
mengambil keputusan dengan ujuan untuk memaksimalkan keuntungan
25
pribadinya. Akibat perusahaan bergerak pada lebih dari satu segmen usaha
perusahaan juga riskan terhadap misalokasi investasi. Hal ini sejalan dengan
penelitian Indraswari (2010) yang menyatakan bahwa manajemen perusahaan
dengan segmen bisnis yang beragam terbukti melakukan manajemen laba dengan
arah menaikan laba. Berdasarkan penjelasan tersebut maka hipotesis yang
diajukan adalah :
H1 : Diversifikasi operasi berpengaruh positif pada manajemen laba
2.2.2
Pengaruh leverage pada manajemen laba
Leverage dapat menjadi tolak ukur mengenai manajemen laba yang
dilakukan perusahaan. Perusahaan dengan tingkat leverage yang tinggi berarti
memiliki liabilitas yang lebih besar jika dibandingkan dengan aset yang dimiliki,
hal ini mengakibatkan risiko dan tekanan yang besar pada perusahaan. Watts dan
Zimmerman (dalam Lupitasari, 2012) menyatakan bahwa manajer di perusahaan
yang berutang kemungkinan meningkatkan laba yang dilaporkan untuk
meningkatkan daya tawar perusahaan dalam negosiasi utang, mengurangi
kekhawatiran kreditur dan untuk mendapat kelonggaran batas kredit.
Shanti dan Yudhanti (2007), Tarjo (2008) dan Chin et al. (2009)
menemukan bahwa perusahaan yang memiliki financial leverage tinggi akibat
besarnya liabilitas dibandingkan aset yang dimiliki perusahaan, diduga melakukan
manajemen laba karena perusahaan terancam default, yaitu tidak dapat memenuhi
kewajiban membayar liabilitas pada waktunya. Berdasarkan penjelasan tersebut
maka hipotesis yang diajukan adalah :
26
H2 : Leverage berpengaruh positif pada manajemen laba
2.2.3
Pengaruh kepemilikan manajerial pada manajemen laba
Secara teoritis ketika kepemilikan manajemen rendah, maka insentif
terhadap kemungkinan terjadinya perilaku oportunistik manajer akan meningkat.
Beberapa penelitian mendukung bahwa manipulasi terhadap laba juga sering
dilakukan oleh manajemen. Shleifer dan Vishny (1997) menyatakan bahwa
kepemilikan saham yang besar dari segi nilai ekonomisnya memiliki insentif
untuk memonitor. Penyusunan laporan keuangan dilakukan oleh manajemen yang
lebih mengetahui kondisi di dalam perusahaan, kondisi tersebut dapat
menimbulkan masalah karena manajemen sebagai pihak yang memberikan
informasi tentang kinerja perusahaan dievaluasi dan dihargai berdasarkan laporan
yang dibuatnya sendiri (Dechow et al, 1995) Laba yang kurang berkualitas bisa
terjadi karena dalam menjalankan bisnis perusahaan, manajemen bukan
merupakan pemilik perusahaan. Pemisahan kepemilikan ini akan dapat
menimbulkan konflik dalam pengendalian dan pelaksanaan pengelolaan
perusahaan yang menyebabkan para manajer bertindak tidak sesuai dengan
keinginan para pemilik.
Adanya kepemilikan manajerial, manajemen tidak hanya berfungsi sebagai
pengelola perusahaan namun juga sebagai pemegang saham. Kepemilikan
manajemen terhadap saham perusahaan dipandang dapat menyelaraskan potensi
perbedaan kepentingan antara pemegang saham luar dengan manajemen (Jensen
dan Meckling, 1976). Sehingga permasalahan keagenan diasumsikan akan hilang
27
apabila seorang manajer bertindak sekaligus sebagai seorang pemilik. Besar
kecilnya jumlah kepemilikan saham manajerial dalam perusahaan dapat
mengindikasikan adanya kesamaan kepentingan antara manajemen dengan
pemegang saham. Semakin besar kepemilikan manajemen dalam perusahaan
maka manajemen akan cenderung untuk berusaha meningkatkan kinerjanya untuk
kepentingan pemegang saham dan untuk kepentingan dirinya sendiri (Siallagan
dan Machfoedz, 2006).
Sejalan dengan pandangan di atas hasil penelitian yang dilakukan oleh
Ujiantho dan Pramuka (2007), Indirastuti (2012) serta Mahariana dan Ramantha
(2014) menemukan bahwa terdapat pengaruh yang negatif antara kepemilikan
manajerial terhadap manajemen laba. Berdasarkan penjelasan tersebut maka
hipotesis yang diajukan adalah :
H3: Kepemilikan manajerial berpengaruh negatif pada manajemen laba
28
29
Download