Jurnal Tijaroh Ekonomi ISSN: 2356-4059 STEI Bina Cipta Madani (Volume 4 No. 1 Tahun 2016) KESEIMBANGAN PASAR MENURUT TINJAUAN ISLAM MOCHAMAD ISYA (Dosen STEI Bina Cipta Madani Karawang) Abstarksi Untuk memenuhi kebutuhannya, manusia tidak bisa mendapatkannya kecuali adanya keterlibatan orang lain. Itu semua terjadi akibat dari keterbatasan manusia itu sendiri. Selain itu sudah menjadi sunatullah bahwa untuk hidup manusia bersaing antara satu dan lainnya, Allah SWTmenegaskan hal tersebut melalui firmannya dalam Alqur’an : “turunlah kamu sekalian (kebumi), sebagian kamu menjadi musuh (pesaing) bagi sebagian yang lain, dan kamu mempunyai tempat kediaman dan kesenangan (tempat mencari penghidupan) dimuka bumi sampai waktu yang telah ditentukan” (Q.S. Al-A’raf, ayat 24)1. Islam memandang bahwa dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka manusia harus berusaha (berproduksi) dengan segala macam cara yang tentunya Allah ridhoi dan halal menurut pandangan Islam. Berusaha (berporduksi) adalah ihtiyar manusia untuk mendapatkan rezki, terlepas bahwa sumber daya yang ada terbatas, oleh karenanya ihtiyar tersebut harus ditempuh secara rasional2, namun bukan berarti semua cara dilakukan sehingga tidak dibedakan antara yang halal dan yang haram. Islam sangat mendorong tentang mencari rezki dengan cara yang halal : “Rasulullah Saw. bersabda: "Wahai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Allah, dan carilah rizki dengan cara yang baik. Sesungguhnya seseorang tidak akan meninggal sehingga terpenuhi rizkinya (jatahnya), walaupun kadangkala rizki itu datang terlambat. Carilah rizki dengan cara yang baik. Ambil yang halal dan tinggalkan yang haram". (HR. Ibnu Majah). 1Firdaus Furywardana, Mudah Memahami Ekonomi Islam, Jogjakarta, Penerbit PPPS Jogjakarta, 2010, h.5 2Mohammad Hidayat, an Introduction to The Syaria Economic, Jakarta, Penerbit Zikrul Hakim, 2010, h.21 Keseimbangan Pasar Menurut Tinjauan Islam (Amru) 1 Jurnal Tijaroh Ekonomi ISSN: 2356-4059 STEI Bina Cipta Madani (Volume 4 No. 1 Tahun 2016) 1. Latar Belakang Masalah Salah satu proses mencari rezki adalah dengan berdagang (berbisnis). Bahkan Islam, sangat memberikan tempat mulia bagi para pebisnis yang jujur, Rasulullah Saw. bersabda: “Seorang pebisnis yang jujur lagi dapat dipercaya (kelak akan dikumpulkan) bersama para nabi, shiddiqin dan syuhada”. (HR. Tirmidzi). Selain itu, jalan bisnis dapat menjadi kafarat (penggugur dosa) dari dosa-dosa yang tidak dapatdigugurkan dengan jalan apapun keculai dengan cara bisnis yang benar,Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya dari sebagian dosa (yang ada), terdapat dosa-dosa yang tidak dapat dihilangkan (dihapuskan) oleh shalat, puasa, haji, dan umrah. Akan tetapi, dosa tersebut dapat dihilangkan (dihapuskan) oleh kebingungan dan kesulitan dalam mencari rizki yang halal.” (HR. Ibn ‘Asakir). Untuk mendorong ummatnya giat dalam berbisnis Islam memberikan riward (hasil maksimal) bagi para pelaku bisnis yang karena giatnya sampai terlelapRasulullah Saw. bersabda: “Barangsiapa yang tertidur karena lelah mencari rizki yang halal, maka ia tertidur dalam ampunan Allah.” (HR. Ibnu ‘Asakir). Berbicara bisnis maka tidak akan terlepas dari pasar. Berbicara pasar berarti melibatkan kegiatan bisnis itu sendiri. Dalam kegiatan bisnis tidak akan terlepas membicarakan kapital (modal) serta para pelaku transaksi bisnis. Kesemua itu dalam islam disebut dengan hubungan mu’amalah. Bahkan dalam kondisi tertentu, negara wajib terlibat atau melibatkan diri guna mengontrol pasar, misalnya mengontrol harga (intervesi harga), melakukan penimbunan (stock) agar persediaan (suplay) tetap stabil, termasuk juga menguasai suatu produk tertentu (monopoli) yang sesungguhnya dalam Islam dilarang, namun dibolehkan jika komuditas (produk) tersebut menyangkut hajat hidup orang banyak. Berbicara pasar, berarti berbicara kondisi. Pasar yang kondusif menjamin terjadinya bisnis yang baik. Untuk menciptakan pasar yang kondusif maka parapelaku bisnis harus melakukan keseimbangan pasar lewat transaksi bisnis yang benar. Kesimbangan pasar tidak dapat dicapai jika transaksi bisnis saling menzholimi dan menyakiti. Antara satu pihak dengan pihak yang lain dalam bisnis saling jegal saling terkam dan saling menjatuhkan, kondisi ini dapat menimbulkan kegamangan pasar. Sebagaimana era modern sekarang, korporasi besar bekerja seolah mesin, ia menjelma bukan sebagai lembaga manusia yang dengannya kehidupan menjadi damai justru mengubah perekonomian dunia menjadi Keseimbangan Pasar Menurut Tinjauan Islam (Amru) 2 Jurnal Tijaroh Ekonomi ISSN: 2356-4059 STEI Bina Cipta Madani (Volume 4 No. 1 Tahun 2016) timpang3. Itulah sebabnya bisnis dalam Islam sangat menjunjung keadilan, prinsip adil adalah upaya untuk mencegah kecurangan dalam bertransaksi. Dan dalam waktu panjang prinsip tersebut menjaga keberlangsungan bisnis yang menguntungkan semua pihak, yang pada akhirnya tercapailah kesejahteraan manusia bersama-sama. Sedangkan curang dalam transaksi bisnis, artinya sama dengan menempuh bisnis dengan jalan yang bathil. Allah SWT sangat melarangnya; “hai orangorang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka (ridha) diantara kamu, dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah maha penyayang kepadamu” (Q.S, an-Nisa’ ayat 29). Untuk menghindari transksi bathil Islam memberikan panduan yang benar dalam berbisnis termasuk juga menjelaskan transaksi bisnis yang dilarang, apalagi dalam hal menjaga kestabilan pasar, Islam memberikan panduan secara rinci untuk menciptakan keseimbangan pasar yang ideal. 2. Rumusan Masalah dan Tujuan Penulisan Berangkat dari latar belakang di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam tulisan ini adalah : (1) Transaksi bisnis yang dilarang dalam Islam kaitannya dengan kestabilan pasar, (2) Hikmah atas pelarangan bisnis tersebut, (3) Kapan keterlibatan pemerintah dibolehkan dalam menentukan kebijakan pasar. Sesuai dengan rumusan masalah, tujuan tulisan ini adalah; (1) Untuk menjelaskan alasan-alasan serta argumentasi bisnis-bisnis yang dilarang dalam Islam yang berkaitan dengan kesatbilan pasar. (2) Menerangkan hikmah pelarangan bisnis tersebut, (3) Menjelaskan kapan pemerintah boleh terlibat dalam pasardan mengapa harus terlibat. 3. Kerangka Teoritis Islam mendorong ummatnya dalam berusaha untuk memenuhi kebutuhannya, dengan catatan usaha yang dilakukan harus halal dan tidak terindikasi pada praktek haram. Begitu pula dalam hal bisnis, Islam memandang bahwa bisnis dan hal-hal terkait dengannya diistilahkan dengan mu’amalah. Secara teoritis, mu’amalah (hubungan bisnis) menurut teori kaidah ushuliyah adalah boleh“hukum asal segala sesuatu itu adalah mubah (boleh), kecuali jika ada dalil yang mengharamkannya”. Dengan kaidah ini, para ahli hukum Islam 3Sabri Muhammad, Mekanisme Zakat & Permodalan Masyarakat Miskin, Pengantar Untuk Rekonstruksi Kebijakan Pertumbuhan Ekonomi”, Malang, Penerbit Bahetra Perss, 2006, h.7 Keseimbangan Pasar Menurut Tinjauan Islam (Amru) 3 Jurnal Tijaroh Ekonomi ISSN: 2356-4059 STEI Bina Cipta Madani (Volume 4 No. 1 Tahun 2016) bersama para pakar serta praktisi bisnis dapat melakukan ijtihad untuk menghasilkan produk-produk bisnis sesuai dengan tuntutan dan perkembangan serta kebutuhan zaman. Dalam praktek bisnis, diperlukan tempat untuk bertransaksi dan pasar adalah tempat yang cocok untuk berbisnis. Pasar didefinisikan sebagai tempat yang mempertemukan antara permintaan (pembeli) dengan penawaran (penjual) untuk setiap jenis komuditas (produk) atau sumber daya4. Peran pasar dalam bisnis cukup vital, oleh sebab itu maka pasar terus berkembang. Hingga sekarang, pasar terbagi dalam tiga kategori yakni; (1) Pasar komuditi, (2) Pasar Uang dan (3) Pasar Modal dan (4) Pasar gelap (black market). Pasar komuditi adalah pasar riil dimana transaksi antara permintaan (pembeli) dan penawaran (penjual) bertemu dalam satu tempat dimana barang-barang atau produk-produk yang ditransaksikan sangat beragam dapat ditemukan disana. Umumnya pada pasar ini komuditas yang ditransaksikan adalah kebutuhan sehari-hari yang dibutuhkan oleh rumah tangga. Sedangkan pasar uang diistilahkan dengan pasar valas dimana produk yang ditransaksikan adalah mata uang saja. Pasar modal adalah pasar yang menyediakan capital (modal) dalam bentuk surat berharga seperti obligasi dan saham. Adapun pasar gelap (black market) adalah bentuk penyimpangan pasar, dimana transaksi yang dilakukan antara permintaan dan penawaran muncul akibat dari distorsi pasar yang dilakukan oleh spekulan yang Islam melarangnya. Pelarangan dalam Islam disebut dengan An-nahyu, secara kaidah usul fiqih, ditegaskan bahwa Annahyu attahrimu maknanya “setiap pelarangan berarti pengharaman”. 4. Pembahasan 4.1 Transaksi bisnis yang dilarang dalam Islam kaitannya dengan kestabilan pasar Untuk menciptakan kondisi pasar yang stabil, Islam melarang beberapa transaksi bisnis yang akan dibahas sebagai berikut : 1. Pelarangan Riba Secara bahasa, riba berarti ziyaadah tambahan, maksudnya ialah tambahan atas modal baik sedikit maupun banyak, adapun makna lain adalah berkembang atau tinggi. Riba juga dimaknai dengan subur, sebagaimana yang tertuang dalam Alqurán surat Al-Hajj ayat 5:“dan kamu Lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan 4Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islami, Jakarta, Penerbit IIIT Indonesia, 2003, h.8 Keseimbangan Pasar Menurut Tinjauan Islam (Amru) 4 Jurnal Tijaroh Ekonomi ISSN: 2356-4059 STEI Bina Cipta Madani (Volume 4 No. 1 Tahun 2016) menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah”.Menurut syara’, riba merupakan tambahan yang didapatkan atas harta pokok5. Fiqih Islam mendefinisikan riba sebagai tambahan sejumlah uang atau barang tanpa imbalan apapun dalam sebuah transaksi. Dalam sejarah,riba telah dikenal sejak zaman babilonia, dan di kota Tha’if penduduk dari bani Tsaqif yang berada 75 mil dari Madinah telah mempraktekkan riba, terutama dikalangan yahudinya. Praktek ini terjadi dikarenakan perdagangan yang dilakukan hanya bersifat musiman, sehingga income (pendapatan) yang diperoleh pedagang hanya pada musim dagang. Disaat mereka nganggur maka mereka melakukan hutang untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarga sampai musim dagang datang. Pada saat itu golongan (suku) yang memiliki modal (capital) suka memberikan pinjaman modal dengan sayarat saat mengembalikannya disertai dengan tambahan (interest rate), dan menurut mereka memberikan pinjaman modal disertai dengan penambahan saat mengembalikannya juga sebuah usaha mendagangkan harta yang dimiliki. Dalam kajian fikih, penggolongan riba menjadi tiga bagian yakni : (1) Riba Jahiliyah, (2) Riba Nasiah dan (3) Riba Fadhal. Riba Jahiliyah adalah hutang yang dibayar melebihi dari pokok pinjaman karena si peminjam tidak mampu mengembalikan pinjaman pada waktu yang ditetapkan. Riba jahiliyah ini adalah riba yang sering dan lazim dilakukan masyarakat jahiliyah pra Islam, sehingga riba jenis ini dianggap sebagai sebenar-benar riba, sehingga Rasulullah SAW dalam haji wada’ menyebutkan riba jenis ini sebagai haram dalam khutbah wada’nya, bahkan dalam khutbah wada’tersebut Rasulullah sempat menyebutkan pelaku riba yang harus segera menyudahi perilaku riba yakni Abbas bin Abdul Muthollib sebagaimana di sebutkan dalam Bidayatul mujtahid pada pembahasan jual beli riba “ingatlah bahwasannya riba jahiliah pada hari ini telah dihapuskan, dan riba yang pertama aku hapus adalah riba Abbas Bin Abdil Muthollib”. Menurut Ibnu Jarir ath-Thabari, bahwa riba pada masa jahiliyah adalah dalam pelipatgandaan uang dan umur hewan. Seseorang yng berhutang, bila tiba masa pembayarannya, akan ditemui oleh debitor dan berkata padanya, “bayarlah hutangmu, atau engkau tambah untukku jumlah hutangmu”. Maka apabila kreditor memiliki sesuatu untuk pembayarannya, maka ia melunasinya, dan bila tidak, dan jika hutangnya adalah seekor hewan ternak, maka ia membayarnya setelah mampu dengan seekor hewan yang lebih tua usianya dari yang pernah dipinjamnya. Apabila yang dipinjamnya berumur setahun dan telah memasuki 5Said Saád Marthon, Al-Madkhal Li al-Fikri Al-Iqtishaad Fi al-Islaam, Maktabah Ar-riyadh, Riyadh-Saudi Arabia, 2001, edisi Indonesia oleh Ahmad Ikhrom dan Dimyauddin, Ekonomi Islam Di Tengah Krisis Ekonomi Global, Jakarta, Penerbit Zikrul Hakim, Jakarta, 2004. h.121 Keseimbangan Pasar Menurut Tinjauan Islam (Amru) 5 Jurnal Tijaroh Ekonomi ISSN: 2356-4059 STEI Bina Cipta Madani (Volume 4 No. 1 Tahun 2016) tahun kedua (binti makhádah) dijanjikannya membayar dengan binti labun yakni yang berusia dua tahun masuk tahun ketiga, dan demikian selanjutnya. Riba pada masa jahiliyah dilakukan oleh seorang yang kaya dimana ia didatangi atau mendatangi orang-orang yang berhutang padanya lalu menawarkan atau ditawari jumlah kewajiban pembayaran hutang sebagai imbalan penundaan waktu pembayaran. Dan karena kreditor dalam kesulitan, maka ia terpaksa menerima syarat itu6. Riba nasiah disebut juga riba duÿun, yaitu riba yang timbul akibat utang piutang yang tidak memenuhi kriteria untung muncul bersama resiko (al-ghunmu bil ghurmi) dan hasil usaha muncul bersama biaya (al-kharaj bid dhaman). Untung (al-ghunmu) dan hasil usaha (al-kharaj) muncul hanya karena berjalannya waktu. Padahal dalam bisnis selalu ada kemungkinan untung atau rugi. Memastikan sesuatu (apalagi memastikan keuntungan yang tidak disertai kegiatan usaha riil) adalah diluar wewenang manusia, dan hal itu merupakan bentuk kezhaliman. Pertukaran kewajiban menanggung beban (exchange of liability) ini dapat menimbulkan tindakan zalim terhadap salah satu atau kedua pihak, atau pihakpihak lain yang terlibat dalam transaksi7.Sementara dalam fiqih sunnah disebutkan bahwa riba nasiah adalah pertambahan bersyarat yang diterima pemberi hutang dari orang yang berhutang karena penangguhan atas pembayaran 8.Dalam prakteknya riba nasiah ini disimulasikan pada orang yang berhutang namun terlambat dalam membayar hutangnya sehingga karena keterlambatannya tersebut maka ia dikenakan beban tambahan (denda) akibat dari pelunasan yang terlambat tersebut. Jenis riba seperti ini diharamkan dalam Islam baik oleh Alqurán, sunnah dan Ijma’ulama. Riba Fadhal yaitu riba yang timbul akibat pertukaran barang sejenis yang tidak memenuhi kriteria sama kualitasnya (mitslan bi mistlin), sama kuantitasnya (sawa-an bi sawa-in) dan sama waktu penyerahannya (yadan bi Yadin) 9 . Pada prakteknya transasksi ini digambarkan seperti tukar menukar 1 Kg gandum dengan 2 Kg gandum yang serah terimanya secara langsung ataupun 6 M. Quraish Shihab, TAFSIR AL-MISHBÁH : Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qurán, Jakarta, Penerbit Lentera hati, Vol.1, Surah al-Fatihah-Surah Albaqarah, 2007,h.593 7 Adiwarman Karim, Bank Syariáh: Analisa Fiqih dan Keuangan,Jakarta, Karim Business Consulting, 2006, h.36 8 Sayyid Sabiq, Fiqhu Al-Sunnah, Darul Fath, 2004, Ed Indonesia oleh Nor Hasanuddin Lc, Jakarta, Penerbit Pena Pundi Aksara, 2006, h.175. Keseimbangan Pasar Menurut Tinjauan Islam (Amru) 6 Jurnal Tijaroh Ekonomi ISSN: 2356-4059 STEI Bina Cipta Madani (Volume 4 No. 1 Tahun 2016) ditangguhkan namun kualitas diantara gandum tersebut tidak sama, begitu pula dalam hal menjual uang satu dirham lalu mendapatkan gantinya berupa uang senilai dua dirham sebagaimana yang dituangkan dalam sebuah hadist Rasululah SAW yang diriwayatkan oleh Said al-Khudri bahwa Nabi SAW bersabda, “Janganlah kalian menjual satu dirham dengan dua dirham, sesungguhnya aku takut kalian berbuat riba”. Riba Fadhal bisa terjadi dalam transaksi barter (tukar menukar barang dengan barang) prakteknya seolah jual beli namun bukan. Dalam hal mekanisme pertukaran barang (barter) tersebut Rasulullah memberikan penegasan atas barang pokok (mata uang dan bahan pangan) sebagai alat tukar untuk tidak dipraktekkan sebagai riba sebagaimana yang disampaikan Abu Said bahwa Rasulullah bersabda ”emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum dan garam dengan garam sama banyak dan sama-sama diserahkan dari tangan ketangan, barang siapa menambahkannya atau meminta tambahan sungguh ia telah berbuat riba.pengambil dan pemberi sama”. (H. Riwayat Bukhori dan Ahmad). Riba didalam Islam dilarang. Menurut Muhammad Mustafa al-maragi (1881-1945), proses pengharaman Riba dalam Islam dilakukan secara bertahap sebagaimana proses pengharaman khamar. Tahap pertama Allah belum melarang Riba secara tegas, hanya menyatakan bahwa Riba dalam ayat ini bersifat negativ dimana pelaku Riba mengharapkan keuntungan belaka, dan bagi Allah justru riba tidak menguntungkan sama sekali, beda dengan sedekah dimana Allah akan membuatnya untung. Perihal pelarangan tahap pertama ini Allah sebut dalam Alqurán surat Arrum ayat 39 yang berbunyi:“dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)”. Ayat ini dianggap sebagai ayat pertama yang berbicara tentang riba. Menurut mufasir ayat ini termasuk dalam golongan ayat makiyyah (ayat yang diturunkan dalam periode makkah). Sehingga ditengarai bahwa ayat ini menyindir atau menyinggung kebiasaan penduduk thaíf yang melakukan praktek riba lewat pinjam meinjamkan uang, yang mana jika pada tempo mengembalikannya kreditur tidak mampu mengembalikan maka modal yang dipinjam harus disertai tambahan. Begitu pula dalam meminjamkan hewan, jika pada tempo tertentu tidak dapat mengembalikannya, maka harus dikembalikan dengan jenis hewan yang sama namun usianya berbeda, jika dipinjam usianya masih setahun maka yang dikembalikan usianya harus yang berjalan tahun kedua dan seterusnya. 9Rini, Masa Depan Perbankan Syariah, Jurnal Equilibrium Ekonomi dan Kemasyarakatan, Volume 2 (MeiAgustus), 2004 Keseimbangan Pasar Menurut Tinjauan Islam (Amru) 7 Jurnal Tijaroh Ekonomi ISSN: 2356-4059 STEI Bina Cipta Madani (Volume 4 No. 1 Tahun 2016) Pada tahap kedua Allah telah memberi isyarat tentang keharaman riba melalui kecaman terhadap prkatek riba di kalangan masyarakat yahudi, hal ini tercantum dalam Alqurán surat Al-Nisa’ayat 161 sebagai berikut:“dan disebabkan mereka memakan riba, Padahal Sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih”. Pada tahap kedua ini praktek riba dikalangan yahudi ditengarai sebuah cara untuk memakan harta manusia dengan cara bathil, padahal orang yahudi mengetahui bahwa riba diharamkan. Adapun kebathilan disini mengingat orang-orang yang sangat butuh dana dimanfaatkan oleh orang yang berlebih harta dengan cara membantu mereka yang butuh tersebut lewat pemberian hutang tetapi disyaratkan dengan member imbalan lewat bunga yang mesti dibayarkan selain modal pokok yang dipinjam. Pada tahap ke tiga Allah mengharamkan salah satu bentuk riba, yaitu yang bersifat berlipat ganda dengan larangan yang tegas. Hal ini Allah sebutkan dalam Alqurán surat Ali Imran Ayat 130 sebagai berikut:“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”. Dan pada tahap keempat Allah mengharamkan riba secara total dengan segala bentuknya. Hal ini dituangkan dalam Alqurán surat Albaqarah ayat : 275, 276, 278 sebagai berikut:“orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghunipenghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (275), “Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah. dan Allah tidak menyukai Setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa”.[276].“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. (278) 2. Pelarangan Ihtikar Ihtikar dimaknai sebagai rekayasa pasar, prakteknya dengan cara membuat entry barier, yakni menghambat produsen lain masuk pasar agar terjadi pemain Keseimbangan Pasar Menurut Tinjauan Islam (Amru) 8 Jurnal Tijaroh Ekonomi ISSN: 2356-4059 STEI Bina Cipta Madani (Volume 4 No. 1 Tahun 2016) tunggal dipasar (monopoli). Selain itu ihtikar disebut juga sebagai penimbunan (menimbun barang /stock) tapi tujuannya bukan untuk persediaan melainkan agar terjadi kelangkaan barang. Dengan terjadinya kelangkaan barang maka harga akan naik, disatu sisi permintaan cukup tinggi sementara disisi lain barang langka akibatnya harga melambung tinggi melebihi harga standart dipasar. Ada juga ihtikar justru dengan membanjiri pasar dengan produk tertentu agar harga yang semula tinggi dapat kembali stabil hingga masarakat dapat menjangkaunya. Ihtikar selalu terkait dengan spekulasi, sebagi contoh para spekulan menyiarkan kabar bahwa kebutuhan bahan pokok (sembako) meningkat dibulan Ramadhan, namun persediaan menipis. Akibatnya terjadi peningkatan permintaan. Aksi borong terjadi, muncullah kelangkaan bahan pokok. Dalam kondisi tersebut, spekulan telah menimbun barang karena menunggu harga melambung, saat bahan pokok langka dipasaran dan harga sudah melambung, saat itulah spekulan mengeluarkan bahan pokok yang telah ditimbunnya kepasar, tujuannya adalah mencari untung sebesar-besarnya dengan memanfaatkan sutuasi pasar yang tidak stabil. Bisnis dimasukkan dalam kategori ihtikar jika memenuhi beberapa 10 syarat : 1. Mengupayakan terjadinya kelangkaan barang baik dengan caramenimbun barang atau mengenakan entery barier. 2. Menjual dengan harga yang lebih tinggi dari harga standart dibandingkan dengan harga sebelum munculnya kelangkaan, 3. Mengambil keuntungan yang sangat tinggi dibandingkan keuntungan sebelum poin 1 dan 2. Islam melarang ihtikar, sebagaimana Rasulullah telah melarangnya dalam hadist sebagai berikut; dari Saidbin al Musyyab dari Ma’mar bin Abdullah al Adawi bahwa Rasulullah SAW bersabda “tidaklah orang melakukan ihtikar itu kecuali ia berdosa” (H.R Muslim, Ahmad, Abu Dawud). 3. Pelarangan Talaqqi Rukban Talaqqi rukban adalah menyongsong komoditas perdagangan sebelum tiba dipasar. Seluruh ulama jumhur sepakat mengharamkan jual beli talaqqi rukban dengan beberapa alasan: (1) Kerugian bagi rombongan pedagang, (2) Kerugian bagi pebisnis (pedagang) yang berada di pasar, (3) Kerugian bagi kedua-duanya. Talaqqi rukban (menyongsong pedagang yang sedang menuju pasar diluar pasar tujuan) sering lebih condong pada spekulasi harga. Ini disebabkan pedagang tidak mengetahui secara pasti harga yang beredar dipasaran. Terlepas bahwa praktek talaqqi rukban terjadi pada saat informasi harga susah didapat karena minimnya 10Muhammad Sholahuddin, Lukman Hakim,Lembaga ekonomi & keuangan Syari’ah Kontemporer, Surakarta, Muhammadiyah University Press, 2008,h.25 Keseimbangan Pasar Menurut Tinjauan Islam (Amru) 9 Jurnal Tijaroh Ekonomi ISSN: 2356-4059 STEI Bina Cipta Madani (Volume 4 No. 1 Tahun 2016) alat komunukasi (seperti zaman dulu), namun pelarangan bisnis dengan cara talaqqi rukban tetap relefan. Pelarangan talaqqi rukban sendiri berdasarkan pada hadist Rasulullah; Abu Hurairah berkata, bersabda Rasulullah SAW; “Sesungguhnya Nabi SAW melarang talaqqi (menyongsong komoditi sebelum masuk pasar”. (H. R. Bukhori). Terdapat hadist lain, dari Ibnu Umar; Rasulullah bersabda “Janganlah engkau dapatkan barang dagangan kecuali jika barang tersebut sudah tiba dan turun dipasar”. (H.R Bukhori). 4. Hikmah atas pelarangan bisnis tersebut Sebenarnya masih terdapat beberapa transaksi bisnis yang dilarang Islam kaitannya dengan kesetabilan pasar agar keseimbangan pasar tetap terjaga, seperti dilarangnya jual beli tadlis (terdapat unsur menipu), maysir (perjudian), jual beli patung (ashnam) dan beberapa lagi lainnya. Akan tetapi pembahasan tentang pelarangan tiga jenis transaksi diatas lebih untuk membatasi dan urgensinya masalah yang terkait langsung dengan materi yang sedang dibahas. Hikmah dilarangnya bisnis dengan sistem riba (rate), Ihtikar (monopoli/penimbunan), talaqqi rukban tidak lain adalah agar terciptanya keadilan diantara sesama manusia. Keadilan disini adalah dalam hal berusaha. Usaha yang berimbang dibuktikan dengan resiko rugi dan keuntungan sama-sama dipikul. Sedangkan dalam Riba misalnya, keberimbangan antara pemilik modal dengan pelaku bisnis (penjual) tidak ada, bagi pemilik modal keuntungan dengan pasti didapat sedangkan penerima modal tidak dapat dipastikan keuntungannya.Sekalipun dalam bisnisnya pedagang beruntung, akan tetapi keuntungannya relatif lebih kecil dibanding pemodal. Dalam hal lebih luas, riba dapat menghambat investasi, karena semakin tinggi tingkat bunga dalam masyarakat, maka semakin kecil kecenderungan masyarakat untuk berinvestasi. Dan riba dianggap penyebab inflasi tinggi sebab riba memberi andil dalam pertambahan biaya produksi. Dengan biaya produksi yang tinggi tentu akan memaksa pengusaha untuk menjual produknya dengan harga tinggi, dan gilirannya akan mengundang inflasi akibat melemahnya daya beli konsumen. Imbas negatif lainnya adalah pada perilaku (kejiwaan) dimana Alqur’an menggambarkan bahwa pelaku riba berperangai seperti orang kemasukan setan dikarenakan kebingungannya sendiri dalam mengeruk keuntungan finansial. Sehingga kemudian pelaku riba kehilangan keimanannya dan dimasukkan oleh Allah SWT kedalam golongan orang-orang kafir. Keseimbangan Pasar Menurut Tinjauan Islam (Amru) 10 Jurnal Tijaroh Ekonomi ISSN: 2356-4059 STEI Bina Cipta Madani (Volume 4 No. 1 Tahun 2016) Dalam kondisi kejiawaan seperti ini, akan memunculkan akibat-akibat lain, seperti kasus City Bank dimana dalam menagih utang yang terus membengkak karena beban bunga (riba) mengakibatkan pemodal (pemberi hutang/ city bank) menagihnya dari orang yang dihutangi dengan cara-cara kasar, bahkan sampai dengan mengorbankan nyawa orang lain. Begitu pula dalam kasus ihtikar, kelangkaan barang yang terjadi akibat dari ulah spekulan, menyebabkan bisnis tidak stabil. Dan sangat tidak adil jika kemudian para spekulan adalah merupakan pedagang besar. Kemampuan modal yang dimilikinya dapat mematikan pedagang kecil, karena pedagang dengan modal kecil tidak akan mempu bersaing dalam disparitas harga. Dalam hal talaqqi rukban, hikmah pelarangannya lebih kepada untuk memastikan perjumpaan pedagang dipasar dengan konsumen, sehingga tidak terjadi kemandekan pasar. Bayangkan, jika pedagang yang seharusnya dipagi hari telah memasuki pasar dan membawa barang dagangannya untuk melayani konsumen ternyata telah dihadang oleh sekelompok orang yang sengaja melakukan itu dengan tujuan untuk memborong dagangannya dan berniat untuk dijual kembali dipasar sementara harga yang disepakati tidak sesuai harga pasar, alangkah ruginya pedagang. Sedangkan pembeli yang berniat menjualnya kembali dipasar bebas menentukan harga barang dagangannya sendiri yang tentunya dengan harga tinggi. Konsep keadilan dalam transaksi bisnis adalah merupakan konsep dasar dihampir seluruh sistem bisnis yang dianut dalam Islam. Adil disini adalah sesuai dengan harapan pebisnis dan sesuai dengan harapan konsumen. 5. Kapan keterlibatan pemerintah dibolehkan dalam menentukan kebijakan pasar. Ada kalanya kondisi pasar tidak terkendali, hal tersebut bisa terjadi karena banyak faktor, sebut saja paceklik, bencana alam, atau juga karena embargo eknomi dari pihak lain. Dalam kondisi seperti ini, pemerintah boleh mengintervensi pasar baik melakukan ihtikar (penimbunan/stock/monopoli), memaksa spekulan menjual barang dagangannya dengan harga murah atau membanjiri pasar dengan produk yang sangat dibutuhkan masarakat terutama makanan. Dimasa Rasulullah telah terjadi ihtikar, dimana ketika ummat Islam di blokade di lembah Abu Thalib diperbukitan Mekkah selama hampir tiga tahun. Kaum muslimin hanya sesekali turun gunung untuk membeli sedikit keperluan, sampai kemudian tercapai kesepakatan damai antara Nabi Muhammad dan kaum muslimin dengan kaum kafir Quraish. Sayangnya kendatipun terjadi perdamaian, kaum kafir quraish tetap mematok harga pasar dengan harga tinggi. Bahkan Abu Keseimbangan Pasar Menurut Tinjauan Islam (Amru) 11 Jurnal Tijaroh Ekonomi ISSN: 2356-4059 STEI Bina Cipta Madani (Volume 4 No. 1 Tahun 2016) Lahab selaku pimpinan kaum kafir quraish menyerukan; “naikkan harga agar pengikut Muhammad tidak dapat membeli”. Bahkan untuk tetap mempertahankan harga tetap tinggi Abu Lahab membeli barang dengan harga lebih tinggi11. Dimasa Umar Bin Khattab r.a, pernah terjadi kelangkaan barang di Madinah, sehingga harga membumbung tinggi, dalam mengatasi hal tersebut, maka Umar mengimpor barang dari Mesir, sehingga Madinah kebanjiran barang, dan akibatnya harga menjadi stabil kembali. Begitupula ketika terjadi paceklik di Hijaz, dimana musim paceklik hanya terjadi di daerah tersebut saja, akibatnya terjadi kelangkaan barang. Umar tidak menetapkan harga di pasar, tetapi Umar mengimpor barang dari Syam, sehingga kemudian barang-barang yang dibutuhkan membanjiri Hijaz sehingga berdampak pada penurunan harga. Menurut Ahmed Ibn Ishaq Yaqubi, dalam keadaan kekurangan barang kebutuhan pokok, pemerintah dapat memaksa pedagang yang menahan barangnya untuk menjual barangnya dipasar12. Pada saat harga beras melonjak dipasar pada tahun 1997 karena krisis moneter yang melanda Indonesia, pemerintah melalui BULOG melakukan impor beras besar-besaran, tujuannya untuk menurunkan harga sembako yang telah membumbung tinggi. Begitupun ketika BBM mentah melonjak naik, pemerintah melakukan interfensi harga dengan melakukan subsidi terhadap beberapa produk BBM, gunanya untuk mengendalikan harga BBM yang semangkin meningkat. Intinya, pada produk-produk bahan makanan pokok, kebutuhan yang menjadi hajat hidup orang banyak, maka pemerintah dapat melakukan intervensi pasar manakala harga tidak stabil (tidak terjangkau masyarakat karena tingginya harga). 5. Kesimpulan Islam mendorong pada ummatnya untuk melakukan ikhtiyar dalam memenuhi hajat hidupnya, ikhtiyar itu bisa dalam bentuk berusaha (bisnis). Akan tetapi Islam memberikana landasan agar bisnis yang dijalankan berjalan diatas prinsip keadilan, adil bagi pelaku bisnis dan bagi konsumen, dan adil diantara sesama pelaku bisnis yang terlibat. Pasar sebagai sarana bertemunya unsur bisnis harus dalam kondisi stabil baik harga dan ataupun keberadaan barang (stock). Karena ketidak stabilan pasar, maka akan menimbulkan distorsi harga dan kelangkaan, akibatnya harga tidak 11Ja’far Subhani, AR-risalah (terjemahan the Massage), Jakarta, Lentera hati, 2000 12Ahmed ibn Ishaq Yaqubi, Alyaqubi History, Vol. 2. 1983, h. 42-43, Keseimbangan Pasar Menurut Tinjauan Islam (Amru) 12 Jurnal Tijaroh Ekonomi ISSN: 2356-4059 STEI Bina Cipta Madani (Volume 4 No. 1 Tahun 2016) terkendali. Untuk mewujudkan hal tersebut, Islam melarang bisnis yang melanggar prinsip keadilan seperti dilarangnya Riba, ihtikar dan talaqqi rukban. Pengharaman itu didasari oleh Alqur’an dan Assunah sebagai landasan hukum tertinggi dalam Islam. Gunanya untuk mencegah terjadinya pelanggaranpelanggaran dan kerusakan moral para pebisnins itu sendiri.Wallahu a’lam Bi Shawwab. DAFTAR PUSTAKA Furywardana, Firdaus, Mudah Memahami Ekonomi Islam, Jogjakarta, Penerbit PPPS Jogjakarta, 2010 Hidayat, Mohammad, an Introduction to The Syaria Economic, Jakarta, Penerbit Zikrul Hakim, 2010 Karim, Adiwarman, Ekonomi Mikro Islami, Jakarta, Penerbit IIIT Indonesia, 2003 Karim, Adiwarman, Bank Syariáh: Analisa Fiqih dan Keuangan, Jakarta, Karim Business Consulting, 2006 Muhammad, Sabri, Mekanisme Zakat & Permodalan Masyarakat Miskin, Pengantar Untuk Rekonstruksi Kebijakan Pertumbuhan Ekonomi”, Malang, Bahetra Perss, 2006 Marthon, Said Saád, Al-Madkhal Li al-Fikri Al-Iqtishaad Fi al-Islaam, Maktabah Ar-riyadh, Riyadh-Saudi Arabia, 2001, edisi Indonesia oleh Ahmad Ikhrom dan Dimyauddin, Ekonomi Islam Di Tengah Krisis Ekonomi Global, Jakarta, Penerbit Zikrul Hakim, 2004 Rini, Masa Depan Perbankan Syariah, Jurnal Equilibrium Ekonomi dan Kemasyarakatan, Volume 2 (Mei-Agustus), 2004 Subhani, Ja’far, AR-risalah (terjemahan the Massage), Jakarta, Lentera hati, 2000 Shihab, M. Quraish, TAFSIR AL-MISHBÁH : Pesan, Kesan dan Keserasian alQurán, Jakarta, Penerbit Lentera hati, Vol.1, Surah al-Fatihah-Surah Albaqarah, 2007 Keseimbangan Pasar Menurut Tinjauan Islam (Amru) 13 Jurnal Tijaroh Ekonomi ISSN: 2356-4059 STEI Bina Cipta Madani (Volume 4 No. 1 Tahun 2016) Sabiq,Sayyid, Fiqhu Al-Sunnah, Darul Fath, 2004, Ed Indonesia oleh Nor Hasanuddin Lc, Jakarta, Penerbit Pena Pundi Aksara, 2006 Sholahuddin, Muhammad, Hakim Lukman, Lembaga ekonomi & keuangan Syari’ah Kontemporer, Surakarta, Muhammadiyah University Press, 2008 Keseimbangan Pasar Menurut Tinjauan Islam (Amru) 14