GAY DALAM DRAMA TARI ARJA MUANI I Made Wedastra1

advertisement
GAY DALAM DRAMA TARI ARJA MUANI
I Made Wedastra 1, Cokorda Bagus Jaya Lesmana 2
1
Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
2
Bagian Psikiatri RSUP Sanglah, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
PENDAHULUAN
Istilah homoseksual yang berarti orientasi seksual dimana seseorang menyukai jenis
kelamin yang sama. Homoseksual sudah sering dikenal beberapa dekade belakangan ini namun
keberadaan mereka sampai sekarang masih dipandang sebelah mata. Mereka dianggap sebagai
golongan minoritas yang sebagian besar tidak diterima dalam pergaulan di masyarakat.
Kaum homoseksual pria lazim disebut dengan istilah gay. Dalam bahasa Inggris, kata
gay berarti gembira dan ceria. Namun situasi kesehatan mental mayoritas kaum gay tidaklah
sebagus nama orientasi seksual yang menjadi identitas mereka (Partogi, 2007). Perkiraan
prevalensi homoseksual pada populasi di dunia barat modern sangat bervariasi tergantung dari
bagaimana menerjemahkan definisi homoseksual dan bagaiman cara penentuan sampelnya,
namun angka prevalensi homoseksual berkisar antara 1-10% dari populasi dan jumlahnya lebih
sedikit pada perempuan daripada laki-laki (Zietsch, et al., 2008).
Penolakan masyarakat didasarkan paham heteronormativitas, yaitu norma yang hanya
menyetujui laki-laki berpasangan dengan perempuan dan sebaliknya, bukan berpasangan
dengan sesama jenisnya. Ditambah stigma-stigma negatif terhadap kaum homoseks seperti
drugs user dan free sex; masyarakat beropini homoseksual sebatas gaya hidup modern yang
berisi perbuatan negatif yang berujung penyakit seperti HIV & AIDS. Meskipun ada gay dan
lesbian yang berprestasi (Diputra, 2007). Seorang gay dalam masyarakat Indonesia yang
homofobik dan mengagung-agungkan heteronormativitas serta maskulinitas bukanlah hal yang
mudah. Pelecehan yang dialami oleh individu gay saat menjalani hidupnya dapat menciptakan
perasaan terasing dan perlahan-lahan menggerogoti kesehatan mental mereka. Maka tidak
1
heran bahwa individu gay memiliki risiko bunuh diri tujuh kali lebih besar dibandingkan
individu heteroseksual (Partogi, 2007).
Homoseksual ataupun lesbian, menurut Jaleswari Pramodhawardani, memang sudah
terjadi pada kehidupan masyarakat tradisional di Indonesia (Indra,et al., 2003). Perilaku
homoseksual juga mewarnai kehidupan warok dalam kesenian reog di Ponorogo, Jawa Timur.
Biasanya sang warok meminang gemblak dengan mas kawin beberapa ekor sapi betina dan
sebidang tanah. Setelah dipinang, gemblak yang diartikan anak laki-laki pilihan akan dipenuhi
segala kebutuhannya, dan diperlakukan seperti seorang “istri” selain istri aslinya. Hubungan
dengan gemblak ini terjalin lantaran sang warok percaya kesaktiannya akan hilang bila
melakukan hubungan seks dengan wanita, apalagi yang bukan istrinya. Dalam seni reog,
gemblak juga punya peran sebagai penari jaranan atau jathilan yang didandani menyerupai
wanita (Indra, et al., 2003).
Contoh klasik dari pluralisme gender yang hidup di Indonesia sekarang adalah dalam
kasus Bugis. Sistem gender mereka tidak berdasarkan pembagian biner. Bahkan, lima gender
dapat dibedakan: laki-laki, perempuan, calabai, calalai dan bissu. Calabai adalah orang-orang
dengan tubuh laki-laki yang berpenampilan seperti perempuan, melakukan pekerjaan
perempuan dan kerap mempunyai pasangan laki-laki. Mereka banyak dijumpai di masyarakat
dan melakukan berbagai fungsi dalam perayaan pernikahan. Calalai jauh lebih jarang dan
kurang dikenal. Mereka adalah orang-orang dengan tubuh perempuan yang hidup bersama
pasangan perempuannya dan melakukan peran laki-laki. Mereka tidak berperan dalam upacaraupacara. Meskipun beberapa calabai menjadi bissu, kategori bissu memiliki tempat tersendiri
(Wieringa, 2010).
Di suku Asmat di Papua pada masa lampau, terdapat tradisi menyodomi anak laki-laki
yang baru akil balih. Pada suku ini terdapat kepercayaan, anak membawa sifat wanita karena
selalu mendapat cairan ibu dari sejak dalam rahim hingga menyusui. Supaya jantan, sang anak
2
harus diberi cairan laki-laki dengan melakukan ritual sodomi dengan pria seangkatan ayahnya
tapi bukan bapaknya sendiri (Indra, et al. 2003).
Sejak abad ke 20 di Bali timbulah suatu inovasi baru di arja. Dimana semua pemeran
arja adalah pria bahkan tokoh yang wanita pun dimainkan oleh pria, ini menjadi keunikan
sendiri dan sungguh menghibur. Arja ini sering di sebut Arja Muani. Arja ini disambut dengan
sangat antusias oleh masyarakat karena menghadirkan komedi segar (Peradantha, 2011).
Dalam tulisan ini akan dijabarkan tentang peranan budaya (arja muani) terhadap stigma
homoseksual di masyarakat Bali. Bagaimana para pelakon seni tari ini yang homoseksual
memandang keberadaan arja muani tersebut, apakah dengan menari atau berperan sebagai
wanita mengurangi rasa kecemasan yang ada dalam dirinya dan pandangan masyarakat
terhadap diri mereka karena keberadaan seni tari arja muani sudah dapat diterima di tengah
masyarakat Bali.
Mengenal Homoseksual
Orientasi seksual mengacu pada ketertarikan fisik, gairah, emosional, romantis, dan
seksual dalam diri seseorang terhadap orang lain (Friedman, 1994). Orientasi seksual berbeda
dengan perilaku seksual karena berkaitan dengan perasaan dan konsep diri. Namun dapat pula
seseorang menunjukkan orientasi seksual dalam perilaku mereka (Oetomo, 2001). Menurut
Stonski Huwller (1998) terdapat tiga jenis orientasi seksual yang ada yaitu:
a. Heteroseksual : aktivitas seksual dimana pasangan seksual yang dipilih berasal dari
lawan jenis
b. Biseksual: aktivitas seksual dimana pasangan seksual yang dipilih dari lawan jenis
dan sesama jenis
3
c. Homoseksual: aktivitas seksual dimana pasangan seksual yang dipilih berasal dari
sesama jenis. Pria homoseksual disebut dengan gay dan wanita homoseksual
disebut dengan lesbian.
Berdasarkan identitas gender, selain dikenal istilah perempuan dan laki-laki, juga dikenal
istilah lain (Oetomo, 1991) yaitu:
a. Transgender adalah istilah yang digunakan untuk orang berperilaku seperti gnder
lainnya dalam berpakian, gerak-gerik, dll.
b. Transvestit adalah istilah untuk orang yang mendapatkan kenikmatan ataupun
kepuasan seksual, emosional atau spiritual dari memakai pakaian gender lainnya.
c. Transeksual adalah orang yang mengalami ketidakcocokan seks biologis
bawaannya dengan seks biologis yang dirasakannya nyaman. Transeksual kadang
menjalani prosedur medis untuk mengubah seks fisiknya supaya sesuai dengan
identitas seks yang dikehendakinya melalui perawatan hormon dan operasi.
Persentuhan dan penyeberangan pada identitas waria terjadi di kelas menengah ke
bawah. Ada gay yang kadang-kadang berdandan sebagai wanita, bahkan untuk waktu yang
lama atau ketika berada di kota lain. Batas antara gay dan waria sebetulnya merupakan batas
sosiologis yang dibentuk dalam kesadaran sebagian besar kaum gay dan waria itu sendiri.
Waria merupakan tradisi transvertisme yang sejalan dengan perilaku homoseksual dalam
masyarakat nusantara yang kehilangan pelembagaan tradisionalnya sehingga muncul satu
kategori sosial baru yaitu waria (Oetomo, 1991).
Dari segi psikiatri ada dua macam homoseksual yakni:
a. Homoseksual ego sintonik : homoseks yang tidak merasa terganggu oleh orientasi
seksualnya, tidak ada konflik bawah sadar yang ditimbulkan, serta tidak ada
desakan, dorongan atau keinginan untuk mengubah orientasi seksualnya.
4
b. Homoseksual ego distonik: homoseks yang mengeluh dan merasa terganggu akibat
konflik psikis. Senantiasa tidak atau sedikit sekali terangsang oleh lawan jenis dan
hal itu menghambatnya untuk memulai dan mempertahankan hubungan
heteroseksual yang sebetulnya didambakannya (Dermatoto, 2010).
Berdasarkan skala kinsey, skala orientasi seksual itu bergradasi (Keppel & Hamilton, 1998)
sebagai berikut:
0 = heteroseksual eksklusif
1= heteroseksual lebih menonjol, homoseksual Cuma kadang-kadang.
2= heteroseksual predominan, homoseksual lebih dari kadang-kadang
3= heteroseksual dan homoseksual seimbang (biseksual)
4= homoseksual predominan, heteroseksual lebih dari kadang-kadang
5= homoseksual predominan, heteroseksual cuma kadang-kadang
6= homoseksual eksklusif.
2.2. Penyebab terjadinya homoseksual
Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya homoseksual (Demartoto, 2010), yaitu:
a. Susunan kromosom
Perbedaan homoseksual dan heteroseksual dapat dilihat dari susunan kromosomnya
yang berbeda. Misalnya pada pria yang mempunyai kromosom 48xxy, orang tersebut
tetap berjenis kelamin pria, namun pada pria tersebut mengalami kelainan pada alat
kelaminnya.
b. Ketidakseimbangan hormon
Seorang pria memiliki hormon testoteron, tetapi juga mempunyai hormon wanita yaitu
estrogen dan progesteron dalam jumlah sedikit. Bila kadar hormon progesteron dan
estrogen cukup tinggi pada tubuhnya, maka akan menyebabkan perkembangan seksual
seseorang pria mendekati karakteristik wanita.
5
c. Struktur otak
Struktur otak wanita normal dan laki-laki normal serta gay berbeda. Otak bagian kiri
dan kanan dari laki-laki normal sangat jelas terpisah dengan membran yang cukup tebal
dan tegas. Pada laki-laki gay, struktur otaknya sama dengan wanita normal yaitu antara
otak kanan dan kiri tidak begitu tegas batasnya.
d. Psikodinamik
Pada faktor ini adalah adanya gangguan perkembangan psikoseksual pada masa kanakkanak, faktor sosiokultural yaitu adanya adat-istiadat yang memberlakukan hubungan
homoseksual dengan alasan yang tidak benar.
e. Lingkungan
Lingkungan sekitar sangat berperan untuk memungkinkan dan mendorong hubungan
para pelaku homoseksual menjadi erat.
Dari semua faktor tersebut, homoseksual yang disebabkan oleh faktor biologis dan
psikodinamik memungkinkan untuk tidak dapat dirubah menjadi heteroseksual. Namun
jika seseorang menjadi homoseksual karena faktor sosiokultural dan lingkungan, maka
dapat dirubah menjadi heteroseksual, asalkan orang tersebut mempunyai tekad dan
keinginan kuat untuk menjauhi lingkungan tersebut
Homoseksualitas Dalam Masyarakat Indonesia
Menurut Dede Oetomo (2001) dalam masyarakat nusantara, perilaku homoseksual
diatur dengan bermacam-macam cara yang dapat diuraikan dengan tipologi pola
sebagai berikut:
a. Hubungan homoseksual dikenal dan diakui
Dalam pola ini, hubungan homoseksual dikenal dan diakui oleh suatu masyarakat.
Indikatornya adalah istilah yang mengacu kepada hubungan semacam itu. Pada
6
masyarakat Minangkabau tradisional dikenal hubungan antara laki-laki dewasa dan
remaja, dimana si dewasa disebut indukjawi (induk lembu) dan si remaja pasangannya
dinamakan anak jawi. Ada yang mengaitkan hubungan ini dengan kehidupan serba
laki-laki di surau atau dengan hubungan guru-murid dalam ilmu silat (Oetomo, 2001).
Apabila diperhatikan hubungan tersebut dalam kehidupan surau, maka dapat dikaitkan
dengan kebiasaan yang disebut mairilan yaitu hubungan antar santri di pondok
pesantren di Jawa (Oetomo, 2001). Mairil atau amrot-amrotan adalah kebiasaan
beberapa santri senior yang gemar ngeloni santri cilik berwajah manis (Indra, et al.,
2003). Hubungan mairilan adalah hubungan antara seorang santri dengan santri lainnya
yang lebih muda, hubungan itu mengandung aspek emosional erotik juga melibatkan
bimbingan dalam belajar, dan tolong menolong dalam kehidupan sehari-hari di pondok.
Hubungan ini sering ditemui di pedalaman dan dipandang sebagai perbuatan yang
dosanya jauh lebih kecil daripada zinah. Hubungan ini berlangsung hingga salah
seorang dan kedua santri itu siap menikah dan berkeluarga. Istri biasanya tahu siapa
yang dulu menjadi mairil suaminya dan ada kalanya hubungan erotiknya masih terus
berlangsung (Oetomo, 2001).
Pada masyarakat Madura tradisional, dua anak remaja laki-laki yang bersahabat
karib disebut dalaq. Istilah ini berasal dari kata adalaq yang berarti hubungan
genitoanal.
Di masyarakat Aceh ada hubungan homoseksual yang dilakukan oleh
uleebalang di Aceh yang sangat menyukai budak-budak remaja putra dan Nias karena
ketampanannya. Hubungan seksual juga dilaporkan ada di kalangan para pedagang
Aceh yang bermukim di pantai timur (Oetomo, 2001). Pada masa lampau, anak lakilaki Aceh setelah berusia tujuh tahun kerap tidur di meunasah (surau). Anak baru ini
sering disebut anekeh, artinya "anak pentol korek api". Saking ketatnya pembatasan
7
relasi lelaki dan wanita, sehingga terkadang pelampiasan seksual tercurah pada sesama
jenis (Indra, et al., 2003).
b. Hubungan homoseksual dilembagakan dalam rangka pencarian kesaktian dan
pemertahanan sakralitas.
Dalam pola ini, perilaku atau hubungan homoseksual diberikan sebagai alternatif
penyaluran dorongan seksual dalam rangka diharamkannya hubungan heteroseksual
karena dianggap meninggalkan pencarian kesaktian. Contoh paling khas dari
pelembagaan ini adalah hubungan warok, orang sakti dari daerah Ponorogo, Jawa
Timur dengan remaja sejenis pasangannya, gemblak, yang diperlakukannya sebagai
pengganti pasangan lawan jenis untuk hubungan seksual (Oetomo, 2001).
c.
Orang berperilaku homoseksual diberi jabatan sakral
Dalam pola ini, orang yang berperilaku homoseksual diberi jabatan sakral seperti
perantara dengan dunia arwah (antara lain pada suku Dayak Ngaju yang dikenal dengan
sebutan basir), shaman (suku Toraja Pamona), atau penjaga pusaka istana kerajaan
(antara lain pada suku Makasar, yang dikenal dengan bissu). Pelembagaan pada pola
ini lazimnya disertai adopsi peran jenis kelamin yang lain. Dalam fungsi perantara atau
shaman, menyatunya unsur kelamin laki-laki dan perempuan dipandang sebagai
keutuhan yang mencerminkan keadaan dunia arwah atau akhirat (Oetomo, 2001).
Seorang bissu mempunyai fungsi ritual yang jauh lebih penting. Dahulu mereka adalah
penjaga pusaka kerajaan dan dalam fungsi tersebut mereka dilihat sebagai biseksual,
karena pusaka-pusaka ini memerlukan persatuan dengan seks lawan jenis, sementara
seks antar-pusaka tidak dikenal. Maka bissu dianggap sebagai “pasangan hermafrodit
pusaka”(Wieringa, 2010). Dalam literatur antropologi budaya, fenomena ini dikenal
dengan istilah berdache (Oetomo, 2001).
d.
Perilaku homoseksual dijadikan bagian ritus iniasi
8
Pada beberapa suku di Pulau Irian ditemui penggunaan hubungan genitooral dan
genitoanal diantara remaja dan laki-laki dewasa sebagai bagian ritus inisasi. Alasan di
balik ritus semacam itu bermacam macam antara lain dalam rangka melengkapi
dualisme kosmologis unsur pria –wanita, timur-barat, siang-malam dan lainnya.pada
suku Marind di pantai selatan Irian Jaya atau dalam rangka membantu pencapaian
maskulinitas melalui inseminasi para remaja putra oleh laki-laki lebih dewasa pada
suku Sambia (Oetomo, 2001).
e.
Perilaku homoseksual dilembagakan dalam seni pertunjukkan
Dalam pola ini, seni pertunjukkan kadang melibatkan pemeran yang menjalankan
perilaku homoseksual, seperti pada tari Sewudati di Aceh. Tarian yang umumnya
diperagakan 15-20 pria dewasa ini disebut dalem atau aduen juga menyertakan seorang
anak laki-laki kecil nan tampan. Sang anak, disebut sadati, didandani mirip perempuan
(Indra, et al., 2003). Tarian ini diiringi puisi religius dengan tema homoerotisme atau
mengadopsi peran jenis kelamin yang lain, yang biasanya juga menjalankan perilaku
homoseksual seperti pada pertunjukkan lenong di masyarakat Betawi, tari Gandrung di
Banyuwangi, pertunjukkan Ludruk, tari Bedhaya di Jawa, pertunjukkan Sadhur di
Madura, dan tari Masri di Makasar. Rujukan serupa dapat pula dibaca dalam karya
zaman Majapahit Negarakertagama yang mengisahkan baginda Hayam Wuruk yang
gemar menari dalam pakaian perempuan di hadapan para mentrinya. Di Bali dikenal
dengan pertunjukkan drama tari yaitu arja muani. Apabila dihubungkan kebiasaan itu
dengan kebiasaan waria yang masih ada pada masa ini yang disertai dengan perilaku
homoseksual, maka tidaklah mustahil bahwa pada zaman itu perilaku homoseksual
diterima sebagai bagian seni pertunjukkan dan kehidupan pada umumnya (Oetomo,
2001).
9
Dramatari Arja Muani
Seni tari merupakan salah satu unsur kebudayaan. Menurut arkeolog R. Seokmono,
Kebudayaan adalah seluruh hasil usaha manusia, baik berupa benda ataupun hanya berupa buah
pikiran dan dalam penghidupan. Kebudayaan adalah seperangkat peraturan dan norma yang
dimiliki bersama oleh para anggota masyarakat, yang jika dilaksanakan oleh para anggotanya
akan melahirkan perilaku yang dipandang layak dan dapat di terima oleh semua masyarakat
(Putera, 2012).
Pada abad ke 20 kesenian Arja mengalami suatu inovasi, dimana semua pemeran arja
adalah pria, bahkan tokoh yang wanita pun dimainkan oleh pria. Ini menjadi keunikan sendiri
dan sungguh menghibur. Arja ini sering di sebut Arja Muani (Peradantha, 2011). Sangat
menarik bila kita lacak perkembangan dramatari opera dari Bali yang bernama arja ini. Bila
tari Bali kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat kebanyakan selalu terkait dengan agama
atau adat, tetapi arja hadir benar-benar sebagai tontonan yang sama sekali tidak terkait dengan
agama atau adat. Bila dibandingkan dengan dramatari yang lainnya, arja termasuk
pertunjukkan yang sangat digemari oleh masyarakat terutama dari kalangan menengah
kebawah. Arja memang selalu tampil dengan aroma menghibur yang penuh dengan romantika
serta humor ( Soedarsono & Narawati, 2011). Sebagai suatu bentuk teater arja merupakan seni
teater yang sangat kompleks karena merupakan perpaduan dari berbagai jenis kesenian yang
hidup di Bali, seperti seni tari, seni drama, seni vokal, seni instrumentalia, puisi, seni peran,
seni pantomim, seni busana, seni rupa dan sebagainya. Semua jenis seni yang bersatu dalam
Arja dapat saling menyatu dan padu, sehingga satu sama lain tidak saling merugikan
(Mustaqfiroh, 2012).
Sejarah perkembangan arja
Arja diduga berkembang sejak sekitar tahun 1814, yaitu pada pemerintahan I Dewa Gde
Sakti di Puri Klungkung, saat diadakannya upacara Pelebon yang dilakukan oleh I Gusti Ayu
10
Karangasem. Upacara Pelebon besar-besaran ini dihadiri oleh berbagai kalangan, termasuk
raja-raja seluruh Bali. Pada saat itu atas prakarsa I Dewa Agung Mangis asal Gianyar dan Dewa
Agung Jambe digelarkan untuk pertama kalinya Arja. Ketika itu Arja dikenal dengan nama
Dadap dan lakon yang dipertunjukkan adalah Limbur. Dadap adalah nama sejenis pohon dan
juga berarti perisai. Pohon Dadap adalah kayu sakti, sebagai lambang pembersihan atau alat
penyucian yang harus ada dalam setiap upacara di Bali. Waktu itu Arja digelar dengan tata cara
wayang lemah untuk upacara pelebon, dengan memakai dahan dadap sebagai tiang kelir.
Sejalan dengan wayang lemah maka tokoh-tokoh Arja pun dibagi menjadi dua golongan, yaitu
golongan yang baik dan yang buruk. Tembang Arja adalah tembang Lelawasan, sejenis kidung
atau tembang Gambuh. Arja tidak menggunakan gamelan dan semua tokoh diperankan oleh
pria, sehingga di Singaraja dan Gianyar disebut Arya Doyong. Menurut mereka yang
mengetahui, sejak itu arja menyebar ke seluruh Bali (Mustaqfiroh, 2012).
Tiga fase penting dalam perkembangan Arja ( Soedarsono & Narawati, 2011) adalah:

Munculnya Arja Doyong yaitu Arja yang dalam pementasannya tanpa iringan gamelan,
dimainkan oleh satu orang.

Arja Gaguntangan adalah Arja yang dalam pementasannya
memakai gamelan
Gaguntangan dengan jumlah pelaku lebih dari satu orang.

Arja Gede adalah Arja yang dalam pementasannya yang dibawakan oleh antara 10
sampai 15 pelaku dengan struktur pertunjukan yang sudah baku seperti yang ada
sekarang.
Karakteristik gerak dan tokoh arja
Pada umumnya cerita dalam pertunjukkan arja merupakan wahana untuk menyampaikan nilai
tradisional Bali yang selalu mengarah ke hal-hal didaktis yang mengacu pada hukum karma
atau perbuatan. Maka cerita yang ditampilkan selalu dengan jelas dibedakan antara yang baik
11
dan yang jahat. Ada sepuluh karakter baku dalam arja yang dalam penampilannya diatas pentas
sudah akan diketahui oleh penonton dengan mencermati penampilan fisik, ulah, serta busana
mereka. Kesepuluh tipe karakter itu terdiri dari empat peran penting serta enam orang abdi.
Semua peran penting biasanya dibawakan oleh penari wanita, sedangkan abdi ditampilkan oleh
pemain wanita dan laki-laki. Ada dua karakter yaitu karakter manis atau halus dan karakter
buduh atau keras. Yang termasuk karakter manis adalah galuh atau putri, mantri manis yaitu
pangeran muda. Adapun yang termasuk karakter buduh yaitu limbur yaitu seorang ibu yang
galak, mantri buduh atau raja yang galak. Para abdi wanita terdiri dari condong sebagai abdi
galuh, dan desak sebagai abdi limbur. Kedua abdi ini dibawakan oleh penari wanita. Adapun
dua pasang penasar, yang satu pasang adalah penasar manis dan pasangan lain adalah penasar
buduh ( Soedarsono & Narawati, 2011). Pada arja muani semua peran dimainkan oleh laki-laki
(Peradantha, 2011).
Busana dalam arja
Busana yang digunakan dalam Arja menjadi sangat penting karena menjadi penunjuk atau
merupakan identitas pemeran atas tokoh yang diwakilinya. Busana yang digunakan setiap
pemeran akan sangat mendukung kebebasan gerak dalam memerankan tokohnya. Sedangkan
tata rias lebih bersifat dukungan terhadap watak yang diwakili oleh setiap pemeran. Rias
pemegang peran pada arja walaupun bisa dikategorikan sebagai rias karakter, tetapi rias
karakter yang sederhana. Peran putri hanya sedikit mempertebal alis, memberikan penegas
pada sekeliling mata, lipstik, serta rouge pada pipi. Untuk peran putra halus menggunakan rias
yang sama dengan rias putri. Hanya bagi peran putra yang gagah serta abdi laki-laki yang
menggunakan kumis serta alis yang agak tebal. Makin tebal kumisnya menandakan karakter
tersebut lebih kasar dan galak. Busana para putri mengenakan kain panjang yang membalut
tubuh bagian bawah agak ketat yang disebut kamen eluh karena hanya dikenakan karakter
12
putri. Sedangkan karakter mantri dan penasar menggunakan celana panjang berwarna putih (
Soedarsono & Narawati, 2011).
Fungsi Arja
Menurut fungsinya Arja digolongkan ke dalam kelompok Tari Balih-balihan. Sebagai suatu
bentuk teater Arja dipengaruhi oleh Gabuh dan mempunyai uger-uger atau pola yang
mencerminkan zaman Puri. Arja menyajikan ceritera kerajaan dan perwatakannya sangat
dipengaruhi oleh adanya kasta. Arja berfungsi sebagai hiburan bagi masyarakat yang berperan
serta dalam berbagai upacara keagamaan, kemudian juga berkembang untuk kepentingan amal,
hiburan di pasar malam dan kepentingan lainnya (Mustaqfiroh, 2012).
Sebagai suatu pertunjukan Arja mempunyai makna juga untuk pendidikan. Biasanya
masyarakat sesudah menonton Arja berhari-hari akan menirukan nyanyian dan lelucon yang
ditampilkan oleh kelompok yang baru saja mereka lihat. Gerakan-gerakan lucu atau ungkapan
tentang kejadian-kejadian yang menggelitik akan mereka ulangi dalam pergaulan sehari-hari.
Dengan demikian Arja merupakan suatu media komunikasi yang sangat ampuh untuk
menyampaikan pesan-pesan pembangunan ( Soedarsono & Narawati, 2011).
Sikap dan Tindakan Masyarakat Indonesia Terhadap Homoseksualitas
a.
Pergeseran Sikap
Perilaku homoseksual dalam masyarakat nusantara sampai sekarangpun masih ada dalam
masyarakat tersebut. Sekilas memang pernyataan tersebut mudah disangsikan karena pengaruh
peradaban Barat atau Islam modernis yang diwarnai homophobia (sikap, perasaan, dan
tindakan antihomoseksualitas), maka sebagian anggota masyarakat Indonesia modern
mengharamkan pula homoseksualitas, sehingga cenderung setidak-tidaknya pada perangkat
formal rasional menganggap bahwa gejala semacam itu sudah tidak ada lagi, dulu pernah ada
13
tapi terhapus oleh modernisasi, atau bahkan tidak mengakui pernah ada. Bahkan anggota
masyarakat nusantara yang masih berpijak pada budaya tradisionalnya pun enggan untuk
mengakui adanya manifestasi perilaku homoseksual yang dilembagakannya itu. Secara
singkat, perubahan sikap dan tindakan seperti itu dan sikap menerima dan tindakan
melembagakan berubah ke arah sikap menolak dan melecehkan disebabkan oleh perubahan
moralitas yang berkaitan dengan perubahan keseluruhan tatanan nilai masyarakat ketika
menyadari bahwa peradaban barat lebih modern, lebih maju, lebih unggul dibandingkan
dengan peradaban tradisional mereka sendiri yang kuno, terbelakang, selalu kalah dan penuh
kebejatan moral. Moralitas barat waktu itu adalah moralitas zaman Victoria yang sangat
mementingkan kesalehan dan kesucian. Tradisi manifestasi perilaku homoseksual yang
dipandang biasa-biasa saja lambat laun dipandang sebagai dekadensi moral yang ikut
menyebabkan kemunduran dan kekalahan nusantara di hadapan bala tentara peradaban modern
barat (Demartoto, 2010).
Dari tahun 1973 sampai 1991 terjadi sedikit perubahan pandangan di masyarakat
terhadap perilaku homoseksual. Dari dua pertiga sampai tiga perempat secara konsisten
mengatakan hal tersebut merupakan sesuatu yang tetap salah sedangkan 10-15% mengatakan
perilaku seks tersebut tidak salah. Setelah tahun 1991 terjadi lagi perubahan sikap kearah lebih
menerima perilaku homoseksual. Dari 72% pada tahun 1991 yang mengatakan bahwa
homoseksual merupakan sesuatu yang salah menjadi hanya sekitar 44% yang mengatakan
homoseksual merupakan kesalahan pada tahun 2010 (Smith, 2011).
b. Penerimaan dan Penolakan
Pada peringkat informal masyarakat Indonesia modern cenderung lebih toleran terhadap
manifestasi modern perilaku homoseksual daripada masyarakat barat atau Asia timur.
Masyarakat Indonesia modern khususnya kelas bawah juga lebih toleran terhadap perilaku
homoseksual nongenital. Toleransi ini barangkali dapat dijelaskan sebagi akibat kurang
14
terpengaruhnya oleh modernisasi kelas bawah masyarakat Indonesia sejauh ini. Pada kelas
menengah keatas, toleransi ini kiranya dapat dihipotesiskan sebagai terusan dari toleransi yang
ada dalam masyarakat nusantara tradisional. Malah dapat dikatakan bahwa di kelas bawah
penerimaan terhadap anggota masyarakatnya yang ketahuan homoseksual cenderung lebih
manusiawi. Persekusi kepada mereka yang berperilaku homoseksual cenderung terjadi karena
yang bersangkutan melakukannya secara paksa atau dengan anak-anak (pedofilia). Itupun
harus diakui bahwa perlakuan terhadap seseorang yang ketahuan memperkosa orang sesama
jenis atau pedofilia cenderung jauh lebih ringan daripada perlakuan terhadap laki-laki dan
perempuan yang tertangkap basah melakukan hubungan seksual di luar nikah (Oetomo, 1991).
Secara formal rasional ada stigma terhadap perilaku homoseksual terutama pada kelas
menengah urban modern yang merupakan pengaruh dari homofobia barat. Pengaruh
homofobik itu, juga datang dari agama Islam dan Kristen. Di kalangan sebagian kecil ulama
Kristen ada usaha menerima orang homoseks apa adanya, setidaknya satu sekte Kristen yang
tidak ingin disebutkan identitasnya telah secara serius dan terbuka membicarakan konseling
yang terbuka bagi anggota jemaat yang homoseks (Demartoto, 2010).
c.
Pola Relasi Kaum Homoseksual
Sebagian besar kaum homoseksual cenderung menutup diri karena ketakutan mereka terhadap
penolakan dan lingkungannya. Kelompok yang tertutup ini cenderung terselubung dalam
menyalurkan dorongan seksualnya. Ada juga kelompok kaum gay yang agak terbuka. Mereka
cenderung terbuka hanya dalam kalangan tertentu saja, misal sesama homoseksual, keluarga,
atau kawan dekat. Di kota besar terdapat wadah khusus untuk menyalurkan hasrat kaum
homoseks. Tempat tersebut untuk menumpahkan rasa kebersamaan secara psikologis, senasib
dengan kelompok orang yang berorientasi seksual sama, selain itu juga sebagi tempat untuk
menyaluran hasrat biologis kaum gay. Pada kaum gay yang sudah terbuka akan kondisinya
15
mengalami gangguan cemas dan depresi lebih rendah dibandingkan dengan kelompok
heteroseksual (Juster, et al., 2013).
Berbagai macam pola hubungan seksual didapati. Sesudah usia 30 tahun, banyak
lesbian dan gay yang menikah dan hanya berperilaku homoseksual insidental. Keharusan
menikah merupakan beban pikiran terberat bagi seorang homoseks. Beban kedua adalah
ketakutan/ ketahuan oleh masyarakat terutama di tempat kerja/sekolah/kuliah dan di tempat
tinggal. Masih sedikit sekali lesbian dan gay Indonesia yang benar-benar terbuka dalam segala
konteks (Demartoto, 2010).
Wawancara dengan penari arja muani yang homoseksual
Subyek 1.
NM, pria, 33 tahun, swasta, tidak tamat S1, Hindu, Bali, belum menikah, Penebel, Tabanan.
Anak ketiga dari 3 saudara, kakak keduanya perempuan. NM menyadari dirinya menyukai
sesama jenis sejak duduk di bangku SMP, namun sudah berpenampilan beda (kemayu) sejak
kecil. Ayah dan ibu NM tidak keras dalam mengasuh dari kecil. NM juga tidak pernah
mendapat perlakuan kasar atau tidak senonoh atau trauma seksual selama tumbuh kembangnya.
NM pada awalnya agak takut kalau ketahuan suka dengan sesama jenis , namun karena
orangnya memang “cuek” dan merasa berjiwa perempuan dari kecil sehingga tidak peduli
dengan keadaan sekitar walaupun pada saat itu banyak yang menghinanya. NM merasa nyaman
dengan keadaan orientasi seksualnya ini hanya saja kadang masyarakat sekitar kurang bisa
menerima. Orang tua saat mengetahui orientasi seksual NM tidak menyalahkan namun sangat
memahami dan sangat mendukung, orang tua NM mengarahkan untuk bersekolah di
Universitas seni karena bakat seni yang dimiliki NM, namun karena keterbatasan biaya
akhirnya NM berhenti kuliah setelah KKN dan menjadi pekerja seni. NM bermain di arja muani
sebagai condong (abdi perempuan), bermain arja muani sejak tahun 2002 pada waktu itu
16
setelah melaksanakan KKN di STSI Denpasar. Dengan berperan sebagai perempuan, menurut
NM , dia bisa lebih mengekspresikan dirinya sebagai perempuan dan menjadi diri apa adanya.
Setelah perannya dikenal dan arja muani diminati masyarakat, banyak diantara orang sekitar
dan masyarakat yang antusias dan menyambut positif serta makin bertambah banyak dukungan
dari berbagai macam pihak. Tidak ada yang mencibir atau mencemooh NM lagi, NM lebih
bebas lagi mengekspresikan diri sebagai homoseksual.
Subyek 2.
KAMG, pria, 35 tahun, swasta, tidak tamat S1, belum menikah, Hindu, Bali, Selemadeg Timur,
Tabanan. Anak kedua dari 4 saudara, memiliki 1 adik laki-laki. KAMG menyadari dirinya
menyukai sesama jenis sejak duduk di bangku SMP dan sudah berpenampilan agak feminim
dari kecil. Saat masih anak-anak, orang tua KAMG terutama ayahnya sangat disiplin dalam
mendidik namun tidak sampai memukul. KAMG pernah mengalami trauma seksual saat kecil,
sebelum masuk SMP, pernah dipaksa melakukan anal dan oral sex oleh orang yang lebih besar
darinya. Sejak itu KAMG merasakan kenikmatan dalam berhubungan dengan sesama jenis.
Saat mengetahui dirinya berbeda atau menyukai sesama jenis, KAMG menjadi pemalu dan
tidak berani untuk mengungkapkannya lebih banyak dipendam, takut kalau ada yang
mengetahui dan mengejek. Namun KAMG tidak pernah merasa tertekan dengan keadaannya,
dia merasa nyaman dengan orientasi seksualnya hanya saja takut ketahuan lingkungan sekitar
terutama orang tuanya. Saat orang tua KAMG mengetahui dirinya homoseksual, orang tuanya
tidak mau menerima sama sekali, KAMG berusaha menunjukkan prestasi dalam bidang
akademis dan seni, karena hal positif yang ditunjukkan KAMG tersebut lambat laun kedua
orang tuanya menerima kondisi KAMG dan pelan-pelan mulai menerima masukan, mereka
malah mendukung penuh dan sekarang KAMG dapat berbangga dibalik kekurangannya karena
dapat menunjukkan prestasi positif di bidang seni tari. KAMG mulai menari arja muani sejak
17
tahun 2000, saat itu KAMG sedang kuliah semester 2 di IKIP PGRI Bali, namun tidak sampai
menamatkan kuliahnya karena pada saat semester 7, KAMG berhenti kuliah karena tidak dapat
mengatur jadwal kuliah dan jadwal pentas. KAMG di arja muani berperan sebagai Liku (putri
buduh). Sebagai liku, KAMG dapat mengekspresikan dirinya sendiri karena dapat berpakaian
perempuan dan berperilaku perempuan. Karena perannya dan seni arja muani sangat diterima
di masyarakat membuat masyarakat sekitar sangat mendukung KAMG, tidak ada yang
mencibir sama sekali karena mereka semua menerima kondisi KAMG dan peran yang dia
mainkan.
Subyek 3.
WT, pria, 29 tahun, Hindu, Bali, swasta, belum menikah, tamat S1, Ubud, Gianyar. Anak
pertama dari dua saudara, adik laki-laki. WT menyadari dirinya menyukai sesama jenis sudah
sejak duduk di bangku SD, saat itu pernah pacaran dengan laki-laki yang lebih besar darinya,
tapi pacaran hanya sebatas jalan bareng, saling rangkul, tidak lebih dari itu karena pada saat itu
belum mengerti apa itu homoseksual. Ayah WT sangat tegas dalam mendidik sejak kecil, dan
WT sebelum menyadari dirinya menyukai sesama jenis pernah dipaksa melakukan oral seks
beberapa kali oleh tetangganya yang jauh lebih besar dari WT. Saat mengetahui dirinya
menyukai sesama jenis, WT tidak mempermasalahkannya karena dirinya merasa nyaman
dengan keadaannya itu hanya saja lingkungan sekitar yang belum bisa menerima sehingga WT
merasa beban dan tidak bebas. WT sejak tahun 2006, saat itu masih duduk di bangku kuliah di
ISI Denpasar sudah mulai bermain dalam arja muani sebagai liku (putri buduh). Selama
bermain peran dalam arja muani tersebut, WT merasakan bisa mengekspresikan dirinya
sebagai homoseksual. Pada awalnya, saat orang tuanya mengetahui kondisi WT, mereka sangat
tidak menerima, perlu waktu yang lama dan masukan dari berbagai pihak, akhirnya mereka
malah mendukung sepenuhnya asal masih di jalan yang positif. Sejak berperan sebagai
18
perempuan di arja muani, masyarakat juga mulai bisa menerima keberadaan orientasi seksual
WT, banyak yang membanggakan WT karena mereka merasa bakat WT tersalurkan ke hal
yang positif namun beberapa masih ada saja yang mencibir kondisi WT namun karena adanya
dukungan dari orang sekitar, WT tidak memperdulikannya lagi. WT merasa bahagia karena
bisa menjadi dirinya sendiri dan masyarakat ada yang menerima kondisinya.
Wawancara dengan masyarakat
Subyek 1.
MP, pria, 25 tahun, belum menikah, mahasiswa S1, Hindu, Bali. Menurut MP, laki-laki
menarikan arja yang notabene ditarikan oleh penari perempuan tidak menjadi sebuah masalah
yang besar. Saya sangat mengapresiasi laki-laki yang menarikan tarian perempuan. Adapun
alasan-alasan saya yaitu:
Hak setiap orang untuk berekspresi. Manusia mempunyai hak dasar untuk
mengungkapkan pikiran dan perasaan mereka sebagai makhluk hidup. Salah satunya
diungkapkan dengan menari. Di zaman yang serba modern ditambah dengan pengaruh budaya
asing, tidak menjadi hal yang negatif menurut saya jika laki-laki menarikan tarian perempuan,
atau sebaliknya perempuan menarikan tarian laki-laki. Ungkapan seni dari diri, mereka
wujudkan dalam bentuk seni tari yang dimana tari merupakan seni gerak yang dapat digunakan
untuk menumpahkan isi hati. Dalam hal ini, arja muani sebagai bentuk seni drama dan tari
tidak hanya menggunakan skrip atau naskah yang sudah ditentukan, tetapi juga mereka dapat
menyisipkan bahkan dapat menumpahkan rasa, pikiran, dan suasana hati mereka dalam tarian.
Setiap
orang
mempunyai
bakat
yang
berbeda-beda.
Bakat menari dalam diri seseorang juga berbeda-beda. Ada kalanya penari mempunyai bakat
menari yang sesuai dengan gendernya. Di lain sisi, ada penari yang bakatnya cenderung
menarikan tarian lawan jenisnya, dan dia merasa nyaman dengan hal itu. Dengan bakat yang
19
dimiliki ditambah dengan lingkungan yang mendukung penari itu untuk berkembang, secara
otomatis akan dilakukan terus dan kemudian menjadi sebuah kebiasaan. Karena selain dia
menari, dia juga mengembangkan dan ikut berpartisipasi melestarikan budaya tradisi dan
sangat diperlukan sekali pada masa sekarang. Para penari arja muani walaupun menampakkan
gaya seperti wanita namun dia lebih bermartabat dibandingkan dengan menjadi psk.
Subyek 2.
WS, wanita, 56 tahun, pedagang, menikah, Hindu, Bali. Menurut WS, dia merupakan pecinta
seni arja, dari dahulu sampai sekarang rutin menonton pertunjukkan arja. Pada awal
kemunculan arja muani, WS agak aneh melihatnya karena ada laki-laki yang berperan sebagai
wanita. Namun karena sering menonton WS menjadi terbiasa dan menganggap tarian tersebut
menghibur dan membuat yang menonton menjadi senang. WS menganggap kalau arja muani
bagian dari kesenian Bali jadi tidak terlalu mempermasalahkan ada yang berperilaku seperti
wanita karena itu perannya dan kalaupun sampai kedunia nyata seperti itu tidak masalah karena
itu adalah masalah hati mereka yang penting mereka melakukan hal yang positif dan tidak
merugikan diri malah mereka membanggakan masyarakat Bali karena melestarikan seni Bali.
Kalau dilihat lebih luwes para penari arja muani dibandingkan arja yang biasanya.
Pembahasan
Pada kasus 1, menyadari dirinya homoseksual sejak duduk di bangku SMP, tidak pernah
mengalami trauma seksual selama tumbuh kembang, dan diasuh tidak keras oleh kedua orang
tuanya, namun sudah berperilaku agak feminim dari kecil. Pada kasus 2, menyadari dirinya
homoseksual sejak duduk di bangku SMP, pernah mengalami riwayat trauma seksual, ayahnya
lebih disiplin dalam mendidik, dan sudah lebih feminim sejak kecil. Pada kasus 3, menyadari
dirinya homoseksual sudah sejak sangat muda yaitu saat SD, ada riwayat trauma seksual, ayah
20
tegas dalam mendidik, dan juga berperilaku feminim sejak kecil. Dari ketiga kasus ini kita
melihat bahwa penyebabnya kemungkinan ada faktor biologis dan faktor psikodinamika yang
membuat mereka menjadi homoseksual. Karena yang berperan adalah faktor biologi dan
psikodinamika sehingga mereka sulit untuk diubah menjadi heteroseksual. Pada ketiga kasus
juga menampakkan ego sintonik karena mereka nyaman dengan kondisi orientasi mereka dan
mereka enggan untuk mengubahnya.
Pada kasus 2, pada awalnya saat mengetahui dirinya homoseksual menjadi pemalu dan
takut ketahuan masyarakat sekitar. Sedangkan pada kasus 1 dan 3, mereka lebih tidak terlalu
mempedulikan situasi sekitar, namun mereka juga belum begitu bebas mengekspresikan diri
karena masyarakat sekitar belum bisa menerima. Kaum homoseksual memiliki beberapa
ketakutan, salah satunya adalah kalau orientasi yang mereka miliki diketahui oleh orang
terdekat dan masyarakat sekitar. Masyarakat Indonesia juga banyak yang belum bisa menerima
kondisi homoseksual karena terjadi pergeseran pemahaman tentang homoseksual akibat
pengaruh dunia barat walaupun sebelumnya homoseksual ada di kebudayaan Indonesia.
Pada ketiga kasus, mereka memiliki bakat menari dan berkesenian. Mereka memakai
bakat yang mereka miliki untuk mengekspresikan diri dan orientasi seksual yang mereka miliki
dan memakai cara tersebut untuk bisa terbuka terhadap masyarakat sekitar. Mereka terjun ke
seni pertunjukan arja muani dengan mengambil peran yang biasanya dimainkan oleh
perempuan pada arja pada umumnya. Karena pada arja muani semua pemain dimainkan oleh
laki-laki. Untuk peran wanita, para pria memakai busana dan perlengkapan yang menunjukkan
identitas wanita atau putri. Ketiga kasus mengatakan diri mereka bisa lebih mengekspresikan
sisi feminim yang mereka miliki dengan peran yang mereka mainkan. Mereka menikmati apa
yang mereka lakukan dan mereka lebih terbuka akan orientasinya dan tidak pernah mengalami
kesedihan atau kecemasan akan situasi mereka. Kaum homoseksual yang sudah terbuka
memiliki kemungkinan menjadi cemas dan depresi lebih rendah dibandingkan heteroseksual.
21
Dengan menjadi pemain atau memainkan peran wanita dalam arja muani yang
merupakan bagian dari kesenian yang menjadi unsur kebudayaan Bali, ketiga kasus menjadi
lebih diterima oleh keluarga dan masyarakat sekitar. Apa yang mereka lakukan bukan dianggap
sebagai suatu aib atau hal negatif namun justru dianggap sebagai sesuatu yang positif dan
sebuah prestasi sehingga tidak ada yang mencemooh perilaku kasus atau sisi feminim mereka.
Hal ini sesuai dengan definisi kebudayaan menurut arkeolog R. Seokmono, adalah seperangkat
peraturan dan norma yang dimiliki bersama oleh para anggota masyarakat, yang jika
dilaksanakan oleh para anggotanya akan melahirkan perilaku yang dipandang layak dan dapat
di terima oleh semua masyarakat. Arja muani merupakan bagian dari kebudayaan yang
merupakan hasil ciptaan manusia dan jika dilaksanakan oleh anggotanya akan melahirkan
perilaku yang dipandang layak dan dapat diterima semua masyarakat. Sehingga penampilan
feminim dari para pelakonnya seperti pada ketiga kasus tersebut dapat diterima dan dianggap
layak oleh masyarakat sekitar. Stigma homoseksual yang selama ini melekat pada kaum
homoseksual tidak terjadi pada ketiga kasus. Masyarakat menganggap apa yang ditampilkan
pelakonnya dalam panggung dan keseharian adalah hal yang wajar karena merupakan bagian
dari kebudayaan yang dipercayai dan diterima bersama serta diturunkan ke generasi
berikutnya. Masyarakat lebih mengapresiasi para homoseksual yang berperan dalam
pelestarian budaya dibandingkan yang melakukan hal yang negatif seperti menjual diri.
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan homoseksual merupakan ketertarikan
seseorang secara seksual, gairah, romantis, dan fisik terhadap orang lain yang sama jenis
kelaminnya. Homoseksual dari dulu merupakan bagian dari budaya Indonesia dan berkembang
di tengah beberapa masyarakat Indonesia. Akibat masuknya kebudayaan barat yang lebih
bersikap homophobia menyebabkan masyarakat Indonesia memandang homoseksual sebagai
sesuatu yang salah dan pelaku homoseksual tidak berani mengungkapkan karena adanya stigma
negatif yang ada dalam masyarakat Indonesia. Muncul berbagai ketakutan dalam diri kaum
22
homoseksual terhadap pandangan masyarakat. Beberapa cara dilakukan untuk membuka jati
diri salah satunya dengan menjadi penari arja muani yang merupakan bagian kebudayaan Bali.
Kaum homoseksual yang menjadi penari arja muani mampu mengeskpresikan diri mereka dan
terbuka kepada masyarakat sekitar serta mengurangi rasa cemas dan depresi. Arja muani
merupakan hasil cipta beberapa manusia dalam masyarakat dan di lakukan oleh beberapa orang
anggota masyarakat sehingga hal tersebut dipandang layak dan dapat diterima jika dalam
perannya ada pria yang berperilaku wanita. Hal tersebut dianggap sebagai suatu prestasi dan
mengurangi stigma negatif terhadap kaum homoseksual selama ini.
Daftar Pustaka
Demartoto, A. 2010. Mengerti, memahami dan menerima fenomena homoseksual. Universitas
Sebelas Maret. Solo.
Diputra, H. 2007. Gay Bukan Penyakit. Majalah Gaya Nusantara , No 3; 9-11.
Friedman, R.C., Downey, J.L. 1994. Homosexuality. New England Journal Medicine, Vol.
331; 923-930.
Indra, S., Sawariyanto, Sujoko, Rahman, M. 2003. Hikayat Kaum Pentol Korek. Majalah
Gatra ; 34-35.
Juster, R.P., Smith, N.G., Ouellet, E., Sindi, S., & Lupien, S.J. 2013. Sexual orientation and
disclosure in relation to psychiatric symptoms, diurnal cortisol, and allostatic load.
Psychosomatic Medicine, Vol. 75.
Keppel, B. & Hamilton, A. 1998. Sexual and Affectional Orientation and Identity Scales.
Bisexual Resource Center. Boston.
Mustaqfiroh, Y.S. 2012. Teater Arja. Departemen Pendidikan. Jatinom.
Oetomo, D. 1991. Homoseksualitas di Indonesia. 1991. Majalah Prisma; 92-96.
Oetomo, D. 2001. Memberi suara pada yang bisu. Penerbit Galang Pres. Yogyakarta.
Partogi, S. 2007. Menjaga Kesehatan Mental. Majalah Gaya Nusantara , No 2; 5-8.
Peradantha, I.B.S. 2011. Revitalisasi dan Inovasi Dramatari Arja : Sebuah Harapan Baru.
Institut Seni Indonesia. Denpasar.
Putera, M.B. 2012. Pengertian Kebudayaan Menurut Ilmu Antropologi. STIA Paris. Makasar.
Smith, T.W. 2011. Public attitudes toward homosexuality. General social survey, NORC.
University of Chicago.
Soedarsono, R.M. & Narawati, T. 2011. Dramatari di Indonesia, Kontinuitas, dan Perubahan.
Gajah Mada University Press : Yogyakarta.
Stonski, H. 1998. Adolescent homosexuality. Adv. Pediatri, Vol. 45 ;107-144.
Wieringa, S.E. 2010. Keanekaragaman Gender di Asia: Pertarungan Diskursif dan Implikasi
Legal. Jurnal Gandrung, vol.1 No.2; 17-54.
23
Zietsch, B.P., Morley, K.I., Shekar, S.N., Verweij, K.J., Keller, M.C., and Macgregor, S., et al.
2008. Genetic factors predisposing to homosexuality may increase mating success in
heterosexuals. Evolution and Human Behavior, 29; 424–433.
24
Download