GAY DALAM DRAMA TARI ARJA MUANI I Made Wedastra 1, Cokorda Bagus Jaya Lesmana 2 1 Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana 2 Bagian Psikiatri RSUP Sanglah, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana PENDAHULUAN Istilah homoseksual yang berarti orientasi seksual dimana seseorang menyukai jenis kelamin yang sama. Homoseksual sudah sering dikenal beberapa dekade belakangan ini namun keberadaan mereka sampai sekarang masih dipandang sebelah mata. Mereka dianggap sebagai golongan minoritas yang sebagian besar tidak diterima dalam pergaulan di masyarakat. Kaum homoseksual pria lazim disebut dengan istilah gay. Dalam bahasa Inggris, kata gay berarti gembira dan ceria. Namun situasi kesehatan mental mayoritas kaum gay tidaklah sebagus nama orientasi seksual yang menjadi identitas mereka (Partogi, 2007). Perkiraan prevalensi homoseksual pada populasi di dunia barat modern sangat bervariasi tergantung dari bagaimana menerjemahkan definisi homoseksual dan bagaiman cara penentuan sampelnya, namun angka prevalensi homoseksual berkisar antara 1-10% dari populasi dan jumlahnya lebih sedikit pada perempuan daripada laki-laki (Zietsch, et al., 2008). Penolakan masyarakat didasarkan paham heteronormativitas, yaitu norma yang hanya menyetujui laki-laki berpasangan dengan perempuan dan sebaliknya, bukan berpasangan dengan sesama jenisnya. Ditambah stigma-stigma negatif terhadap kaum homoseks seperti drugs user dan free sex; masyarakat beropini homoseksual sebatas gaya hidup modern yang berisi perbuatan negatif yang berujung penyakit seperti HIV & AIDS. Meskipun ada gay dan lesbian yang berprestasi (Diputra, 2007). Seorang gay dalam masyarakat Indonesia yang homofobik dan mengagung-agungkan heteronormativitas serta maskulinitas bukanlah hal yang mudah. Pelecehan yang dialami oleh individu gay saat menjalani hidupnya dapat menciptakan perasaan terasing dan perlahan-lahan menggerogoti kesehatan mental mereka. Maka tidak 1 heran bahwa individu gay memiliki risiko bunuh diri tujuh kali lebih besar dibandingkan individu heteroseksual (Partogi, 2007). Homoseksual ataupun lesbian, menurut Jaleswari Pramodhawardani, memang sudah terjadi pada kehidupan masyarakat tradisional di Indonesia (Indra,et al., 2003). Perilaku homoseksual juga mewarnai kehidupan warok dalam kesenian reog di Ponorogo, Jawa Timur. Biasanya sang warok meminang gemblak dengan mas kawin beberapa ekor sapi betina dan sebidang tanah. Setelah dipinang, gemblak yang diartikan anak laki-laki pilihan akan dipenuhi segala kebutuhannya, dan diperlakukan seperti seorang “istri” selain istri aslinya. Hubungan dengan gemblak ini terjalin lantaran sang warok percaya kesaktiannya akan hilang bila melakukan hubungan seks dengan wanita, apalagi yang bukan istrinya. Dalam seni reog, gemblak juga punya peran sebagai penari jaranan atau jathilan yang didandani menyerupai wanita (Indra, et al., 2003). Contoh klasik dari pluralisme gender yang hidup di Indonesia sekarang adalah dalam kasus Bugis. Sistem gender mereka tidak berdasarkan pembagian biner. Bahkan, lima gender dapat dibedakan: laki-laki, perempuan, calabai, calalai dan bissu. Calabai adalah orang-orang dengan tubuh laki-laki yang berpenampilan seperti perempuan, melakukan pekerjaan perempuan dan kerap mempunyai pasangan laki-laki. Mereka banyak dijumpai di masyarakat dan melakukan berbagai fungsi dalam perayaan pernikahan. Calalai jauh lebih jarang dan kurang dikenal. Mereka adalah orang-orang dengan tubuh perempuan yang hidup bersama pasangan perempuannya dan melakukan peran laki-laki. Mereka tidak berperan dalam upacaraupacara. Meskipun beberapa calabai menjadi bissu, kategori bissu memiliki tempat tersendiri (Wieringa, 2010). Di suku Asmat di Papua pada masa lampau, terdapat tradisi menyodomi anak laki-laki yang baru akil balih. Pada suku ini terdapat kepercayaan, anak membawa sifat wanita karena selalu mendapat cairan ibu dari sejak dalam rahim hingga menyusui. Supaya jantan, sang anak 2 harus diberi cairan laki-laki dengan melakukan ritual sodomi dengan pria seangkatan ayahnya tapi bukan bapaknya sendiri (Indra, et al. 2003). Sejak abad ke 20 di Bali timbulah suatu inovasi baru di arja. Dimana semua pemeran arja adalah pria bahkan tokoh yang wanita pun dimainkan oleh pria, ini menjadi keunikan sendiri dan sungguh menghibur. Arja ini sering di sebut Arja Muani. Arja ini disambut dengan sangat antusias oleh masyarakat karena menghadirkan komedi segar (Peradantha, 2011). Dalam tulisan ini akan dijabarkan tentang peranan budaya (arja muani) terhadap stigma homoseksual di masyarakat Bali. Bagaimana para pelakon seni tari ini yang homoseksual memandang keberadaan arja muani tersebut, apakah dengan menari atau berperan sebagai wanita mengurangi rasa kecemasan yang ada dalam dirinya dan pandangan masyarakat terhadap diri mereka karena keberadaan seni tari arja muani sudah dapat diterima di tengah masyarakat Bali. Mengenal Homoseksual Orientasi seksual mengacu pada ketertarikan fisik, gairah, emosional, romantis, dan seksual dalam diri seseorang terhadap orang lain (Friedman, 1994). Orientasi seksual berbeda dengan perilaku seksual karena berkaitan dengan perasaan dan konsep diri. Namun dapat pula seseorang menunjukkan orientasi seksual dalam perilaku mereka (Oetomo, 2001). Menurut Stonski Huwller (1998) terdapat tiga jenis orientasi seksual yang ada yaitu: a. Heteroseksual : aktivitas seksual dimana pasangan seksual yang dipilih berasal dari lawan jenis b. Biseksual: aktivitas seksual dimana pasangan seksual yang dipilih dari lawan jenis dan sesama jenis 3 c. Homoseksual: aktivitas seksual dimana pasangan seksual yang dipilih berasal dari sesama jenis. Pria homoseksual disebut dengan gay dan wanita homoseksual disebut dengan lesbian. Berdasarkan identitas gender, selain dikenal istilah perempuan dan laki-laki, juga dikenal istilah lain (Oetomo, 1991) yaitu: a. Transgender adalah istilah yang digunakan untuk orang berperilaku seperti gnder lainnya dalam berpakian, gerak-gerik, dll. b. Transvestit adalah istilah untuk orang yang mendapatkan kenikmatan ataupun kepuasan seksual, emosional atau spiritual dari memakai pakaian gender lainnya. c. Transeksual adalah orang yang mengalami ketidakcocokan seks biologis bawaannya dengan seks biologis yang dirasakannya nyaman. Transeksual kadang menjalani prosedur medis untuk mengubah seks fisiknya supaya sesuai dengan identitas seks yang dikehendakinya melalui perawatan hormon dan operasi. Persentuhan dan penyeberangan pada identitas waria terjadi di kelas menengah ke bawah. Ada gay yang kadang-kadang berdandan sebagai wanita, bahkan untuk waktu yang lama atau ketika berada di kota lain. Batas antara gay dan waria sebetulnya merupakan batas sosiologis yang dibentuk dalam kesadaran sebagian besar kaum gay dan waria itu sendiri. Waria merupakan tradisi transvertisme yang sejalan dengan perilaku homoseksual dalam masyarakat nusantara yang kehilangan pelembagaan tradisionalnya sehingga muncul satu kategori sosial baru yaitu waria (Oetomo, 1991). Dari segi psikiatri ada dua macam homoseksual yakni: a. Homoseksual ego sintonik : homoseks yang tidak merasa terganggu oleh orientasi seksualnya, tidak ada konflik bawah sadar yang ditimbulkan, serta tidak ada desakan, dorongan atau keinginan untuk mengubah orientasi seksualnya. 4 b. Homoseksual ego distonik: homoseks yang mengeluh dan merasa terganggu akibat konflik psikis. Senantiasa tidak atau sedikit sekali terangsang oleh lawan jenis dan hal itu menghambatnya untuk memulai dan mempertahankan hubungan heteroseksual yang sebetulnya didambakannya (Dermatoto, 2010). Berdasarkan skala kinsey, skala orientasi seksual itu bergradasi (Keppel & Hamilton, 1998) sebagai berikut: 0 = heteroseksual eksklusif 1= heteroseksual lebih menonjol, homoseksual Cuma kadang-kadang. 2= heteroseksual predominan, homoseksual lebih dari kadang-kadang 3= heteroseksual dan homoseksual seimbang (biseksual) 4= homoseksual predominan, heteroseksual lebih dari kadang-kadang 5= homoseksual predominan, heteroseksual cuma kadang-kadang 6= homoseksual eksklusif. 2.2. Penyebab terjadinya homoseksual Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya homoseksual (Demartoto, 2010), yaitu: a. Susunan kromosom Perbedaan homoseksual dan heteroseksual dapat dilihat dari susunan kromosomnya yang berbeda. Misalnya pada pria yang mempunyai kromosom 48xxy, orang tersebut tetap berjenis kelamin pria, namun pada pria tersebut mengalami kelainan pada alat kelaminnya. b. Ketidakseimbangan hormon Seorang pria memiliki hormon testoteron, tetapi juga mempunyai hormon wanita yaitu estrogen dan progesteron dalam jumlah sedikit. Bila kadar hormon progesteron dan estrogen cukup tinggi pada tubuhnya, maka akan menyebabkan perkembangan seksual seseorang pria mendekati karakteristik wanita. 5 c. Struktur otak Struktur otak wanita normal dan laki-laki normal serta gay berbeda. Otak bagian kiri dan kanan dari laki-laki normal sangat jelas terpisah dengan membran yang cukup tebal dan tegas. Pada laki-laki gay, struktur otaknya sama dengan wanita normal yaitu antara otak kanan dan kiri tidak begitu tegas batasnya. d. Psikodinamik Pada faktor ini adalah adanya gangguan perkembangan psikoseksual pada masa kanakkanak, faktor sosiokultural yaitu adanya adat-istiadat yang memberlakukan hubungan homoseksual dengan alasan yang tidak benar. e. Lingkungan Lingkungan sekitar sangat berperan untuk memungkinkan dan mendorong hubungan para pelaku homoseksual menjadi erat. Dari semua faktor tersebut, homoseksual yang disebabkan oleh faktor biologis dan psikodinamik memungkinkan untuk tidak dapat dirubah menjadi heteroseksual. Namun jika seseorang menjadi homoseksual karena faktor sosiokultural dan lingkungan, maka dapat dirubah menjadi heteroseksual, asalkan orang tersebut mempunyai tekad dan keinginan kuat untuk menjauhi lingkungan tersebut Homoseksualitas Dalam Masyarakat Indonesia Menurut Dede Oetomo (2001) dalam masyarakat nusantara, perilaku homoseksual diatur dengan bermacam-macam cara yang dapat diuraikan dengan tipologi pola sebagai berikut: a. Hubungan homoseksual dikenal dan diakui Dalam pola ini, hubungan homoseksual dikenal dan diakui oleh suatu masyarakat. Indikatornya adalah istilah yang mengacu kepada hubungan semacam itu. Pada 6 masyarakat Minangkabau tradisional dikenal hubungan antara laki-laki dewasa dan remaja, dimana si dewasa disebut indukjawi (induk lembu) dan si remaja pasangannya dinamakan anak jawi. Ada yang mengaitkan hubungan ini dengan kehidupan serba laki-laki di surau atau dengan hubungan guru-murid dalam ilmu silat (Oetomo, 2001). Apabila diperhatikan hubungan tersebut dalam kehidupan surau, maka dapat dikaitkan dengan kebiasaan yang disebut mairilan yaitu hubungan antar santri di pondok pesantren di Jawa (Oetomo, 2001). Mairil atau amrot-amrotan adalah kebiasaan beberapa santri senior yang gemar ngeloni santri cilik berwajah manis (Indra, et al., 2003). Hubungan mairilan adalah hubungan antara seorang santri dengan santri lainnya yang lebih muda, hubungan itu mengandung aspek emosional erotik juga melibatkan bimbingan dalam belajar, dan tolong menolong dalam kehidupan sehari-hari di pondok. Hubungan ini sering ditemui di pedalaman dan dipandang sebagai perbuatan yang dosanya jauh lebih kecil daripada zinah. Hubungan ini berlangsung hingga salah seorang dan kedua santri itu siap menikah dan berkeluarga. Istri biasanya tahu siapa yang dulu menjadi mairil suaminya dan ada kalanya hubungan erotiknya masih terus berlangsung (Oetomo, 2001). Pada masyarakat Madura tradisional, dua anak remaja laki-laki yang bersahabat karib disebut dalaq. Istilah ini berasal dari kata adalaq yang berarti hubungan genitoanal. Di masyarakat Aceh ada hubungan homoseksual yang dilakukan oleh uleebalang di Aceh yang sangat menyukai budak-budak remaja putra dan Nias karena ketampanannya. Hubungan seksual juga dilaporkan ada di kalangan para pedagang Aceh yang bermukim di pantai timur (Oetomo, 2001). Pada masa lampau, anak lakilaki Aceh setelah berusia tujuh tahun kerap tidur di meunasah (surau). Anak baru ini sering disebut anekeh, artinya "anak pentol korek api". Saking ketatnya pembatasan 7 relasi lelaki dan wanita, sehingga terkadang pelampiasan seksual tercurah pada sesama jenis (Indra, et al., 2003). b. Hubungan homoseksual dilembagakan dalam rangka pencarian kesaktian dan pemertahanan sakralitas. Dalam pola ini, perilaku atau hubungan homoseksual diberikan sebagai alternatif penyaluran dorongan seksual dalam rangka diharamkannya hubungan heteroseksual karena dianggap meninggalkan pencarian kesaktian. Contoh paling khas dari pelembagaan ini adalah hubungan warok, orang sakti dari daerah Ponorogo, Jawa Timur dengan remaja sejenis pasangannya, gemblak, yang diperlakukannya sebagai pengganti pasangan lawan jenis untuk hubungan seksual (Oetomo, 2001). c. Orang berperilaku homoseksual diberi jabatan sakral Dalam pola ini, orang yang berperilaku homoseksual diberi jabatan sakral seperti perantara dengan dunia arwah (antara lain pada suku Dayak Ngaju yang dikenal dengan sebutan basir), shaman (suku Toraja Pamona), atau penjaga pusaka istana kerajaan (antara lain pada suku Makasar, yang dikenal dengan bissu). Pelembagaan pada pola ini lazimnya disertai adopsi peran jenis kelamin yang lain. Dalam fungsi perantara atau shaman, menyatunya unsur kelamin laki-laki dan perempuan dipandang sebagai keutuhan yang mencerminkan keadaan dunia arwah atau akhirat (Oetomo, 2001). Seorang bissu mempunyai fungsi ritual yang jauh lebih penting. Dahulu mereka adalah penjaga pusaka kerajaan dan dalam fungsi tersebut mereka dilihat sebagai biseksual, karena pusaka-pusaka ini memerlukan persatuan dengan seks lawan jenis, sementara seks antar-pusaka tidak dikenal. Maka bissu dianggap sebagai “pasangan hermafrodit pusaka”(Wieringa, 2010). Dalam literatur antropologi budaya, fenomena ini dikenal dengan istilah berdache (Oetomo, 2001). d. Perilaku homoseksual dijadikan bagian ritus iniasi 8 Pada beberapa suku di Pulau Irian ditemui penggunaan hubungan genitooral dan genitoanal diantara remaja dan laki-laki dewasa sebagai bagian ritus inisasi. Alasan di balik ritus semacam itu bermacam macam antara lain dalam rangka melengkapi dualisme kosmologis unsur pria –wanita, timur-barat, siang-malam dan lainnya.pada suku Marind di pantai selatan Irian Jaya atau dalam rangka membantu pencapaian maskulinitas melalui inseminasi para remaja putra oleh laki-laki lebih dewasa pada suku Sambia (Oetomo, 2001). e. Perilaku homoseksual dilembagakan dalam seni pertunjukkan Dalam pola ini, seni pertunjukkan kadang melibatkan pemeran yang menjalankan perilaku homoseksual, seperti pada tari Sewudati di Aceh. Tarian yang umumnya diperagakan 15-20 pria dewasa ini disebut dalem atau aduen juga menyertakan seorang anak laki-laki kecil nan tampan. Sang anak, disebut sadati, didandani mirip perempuan (Indra, et al., 2003). Tarian ini diiringi puisi religius dengan tema homoerotisme atau mengadopsi peran jenis kelamin yang lain, yang biasanya juga menjalankan perilaku homoseksual seperti pada pertunjukkan lenong di masyarakat Betawi, tari Gandrung di Banyuwangi, pertunjukkan Ludruk, tari Bedhaya di Jawa, pertunjukkan Sadhur di Madura, dan tari Masri di Makasar. Rujukan serupa dapat pula dibaca dalam karya zaman Majapahit Negarakertagama yang mengisahkan baginda Hayam Wuruk yang gemar menari dalam pakaian perempuan di hadapan para mentrinya. Di Bali dikenal dengan pertunjukkan drama tari yaitu arja muani. Apabila dihubungkan kebiasaan itu dengan kebiasaan waria yang masih ada pada masa ini yang disertai dengan perilaku homoseksual, maka tidaklah mustahil bahwa pada zaman itu perilaku homoseksual diterima sebagai bagian seni pertunjukkan dan kehidupan pada umumnya (Oetomo, 2001). 9 Dramatari Arja Muani Seni tari merupakan salah satu unsur kebudayaan. Menurut arkeolog R. Seokmono, Kebudayaan adalah seluruh hasil usaha manusia, baik berupa benda ataupun hanya berupa buah pikiran dan dalam penghidupan. Kebudayaan adalah seperangkat peraturan dan norma yang dimiliki bersama oleh para anggota masyarakat, yang jika dilaksanakan oleh para anggotanya akan melahirkan perilaku yang dipandang layak dan dapat di terima oleh semua masyarakat (Putera, 2012). Pada abad ke 20 kesenian Arja mengalami suatu inovasi, dimana semua pemeran arja adalah pria, bahkan tokoh yang wanita pun dimainkan oleh pria. Ini menjadi keunikan sendiri dan sungguh menghibur. Arja ini sering di sebut Arja Muani (Peradantha, 2011). Sangat menarik bila kita lacak perkembangan dramatari opera dari Bali yang bernama arja ini. Bila tari Bali kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat kebanyakan selalu terkait dengan agama atau adat, tetapi arja hadir benar-benar sebagai tontonan yang sama sekali tidak terkait dengan agama atau adat. Bila dibandingkan dengan dramatari yang lainnya, arja termasuk pertunjukkan yang sangat digemari oleh masyarakat terutama dari kalangan menengah kebawah. Arja memang selalu tampil dengan aroma menghibur yang penuh dengan romantika serta humor ( Soedarsono & Narawati, 2011). Sebagai suatu bentuk teater arja merupakan seni teater yang sangat kompleks karena merupakan perpaduan dari berbagai jenis kesenian yang hidup di Bali, seperti seni tari, seni drama, seni vokal, seni instrumentalia, puisi, seni peran, seni pantomim, seni busana, seni rupa dan sebagainya. Semua jenis seni yang bersatu dalam Arja dapat saling menyatu dan padu, sehingga satu sama lain tidak saling merugikan (Mustaqfiroh, 2012). Sejarah perkembangan arja Arja diduga berkembang sejak sekitar tahun 1814, yaitu pada pemerintahan I Dewa Gde Sakti di Puri Klungkung, saat diadakannya upacara Pelebon yang dilakukan oleh I Gusti Ayu 10 Karangasem. Upacara Pelebon besar-besaran ini dihadiri oleh berbagai kalangan, termasuk raja-raja seluruh Bali. Pada saat itu atas prakarsa I Dewa Agung Mangis asal Gianyar dan Dewa Agung Jambe digelarkan untuk pertama kalinya Arja. Ketika itu Arja dikenal dengan nama Dadap dan lakon yang dipertunjukkan adalah Limbur. Dadap adalah nama sejenis pohon dan juga berarti perisai. Pohon Dadap adalah kayu sakti, sebagai lambang pembersihan atau alat penyucian yang harus ada dalam setiap upacara di Bali. Waktu itu Arja digelar dengan tata cara wayang lemah untuk upacara pelebon, dengan memakai dahan dadap sebagai tiang kelir. Sejalan dengan wayang lemah maka tokoh-tokoh Arja pun dibagi menjadi dua golongan, yaitu golongan yang baik dan yang buruk. Tembang Arja adalah tembang Lelawasan, sejenis kidung atau tembang Gambuh. Arja tidak menggunakan gamelan dan semua tokoh diperankan oleh pria, sehingga di Singaraja dan Gianyar disebut Arya Doyong. Menurut mereka yang mengetahui, sejak itu arja menyebar ke seluruh Bali (Mustaqfiroh, 2012). Tiga fase penting dalam perkembangan Arja ( Soedarsono & Narawati, 2011) adalah: Munculnya Arja Doyong yaitu Arja yang dalam pementasannya tanpa iringan gamelan, dimainkan oleh satu orang. Arja Gaguntangan adalah Arja yang dalam pementasannya memakai gamelan Gaguntangan dengan jumlah pelaku lebih dari satu orang. Arja Gede adalah Arja yang dalam pementasannya yang dibawakan oleh antara 10 sampai 15 pelaku dengan struktur pertunjukan yang sudah baku seperti yang ada sekarang. Karakteristik gerak dan tokoh arja Pada umumnya cerita dalam pertunjukkan arja merupakan wahana untuk menyampaikan nilai tradisional Bali yang selalu mengarah ke hal-hal didaktis yang mengacu pada hukum karma atau perbuatan. Maka cerita yang ditampilkan selalu dengan jelas dibedakan antara yang baik 11 dan yang jahat. Ada sepuluh karakter baku dalam arja yang dalam penampilannya diatas pentas sudah akan diketahui oleh penonton dengan mencermati penampilan fisik, ulah, serta busana mereka. Kesepuluh tipe karakter itu terdiri dari empat peran penting serta enam orang abdi. Semua peran penting biasanya dibawakan oleh penari wanita, sedangkan abdi ditampilkan oleh pemain wanita dan laki-laki. Ada dua karakter yaitu karakter manis atau halus dan karakter buduh atau keras. Yang termasuk karakter manis adalah galuh atau putri, mantri manis yaitu pangeran muda. Adapun yang termasuk karakter buduh yaitu limbur yaitu seorang ibu yang galak, mantri buduh atau raja yang galak. Para abdi wanita terdiri dari condong sebagai abdi galuh, dan desak sebagai abdi limbur. Kedua abdi ini dibawakan oleh penari wanita. Adapun dua pasang penasar, yang satu pasang adalah penasar manis dan pasangan lain adalah penasar buduh ( Soedarsono & Narawati, 2011). Pada arja muani semua peran dimainkan oleh laki-laki (Peradantha, 2011). Busana dalam arja Busana yang digunakan dalam Arja menjadi sangat penting karena menjadi penunjuk atau merupakan identitas pemeran atas tokoh yang diwakilinya. Busana yang digunakan setiap pemeran akan sangat mendukung kebebasan gerak dalam memerankan tokohnya. Sedangkan tata rias lebih bersifat dukungan terhadap watak yang diwakili oleh setiap pemeran. Rias pemegang peran pada arja walaupun bisa dikategorikan sebagai rias karakter, tetapi rias karakter yang sederhana. Peran putri hanya sedikit mempertebal alis, memberikan penegas pada sekeliling mata, lipstik, serta rouge pada pipi. Untuk peran putra halus menggunakan rias yang sama dengan rias putri. Hanya bagi peran putra yang gagah serta abdi laki-laki yang menggunakan kumis serta alis yang agak tebal. Makin tebal kumisnya menandakan karakter tersebut lebih kasar dan galak. Busana para putri mengenakan kain panjang yang membalut tubuh bagian bawah agak ketat yang disebut kamen eluh karena hanya dikenakan karakter 12 putri. Sedangkan karakter mantri dan penasar menggunakan celana panjang berwarna putih ( Soedarsono & Narawati, 2011). Fungsi Arja Menurut fungsinya Arja digolongkan ke dalam kelompok Tari Balih-balihan. Sebagai suatu bentuk teater Arja dipengaruhi oleh Gabuh dan mempunyai uger-uger atau pola yang mencerminkan zaman Puri. Arja menyajikan ceritera kerajaan dan perwatakannya sangat dipengaruhi oleh adanya kasta. Arja berfungsi sebagai hiburan bagi masyarakat yang berperan serta dalam berbagai upacara keagamaan, kemudian juga berkembang untuk kepentingan amal, hiburan di pasar malam dan kepentingan lainnya (Mustaqfiroh, 2012). Sebagai suatu pertunjukan Arja mempunyai makna juga untuk pendidikan. Biasanya masyarakat sesudah menonton Arja berhari-hari akan menirukan nyanyian dan lelucon yang ditampilkan oleh kelompok yang baru saja mereka lihat. Gerakan-gerakan lucu atau ungkapan tentang kejadian-kejadian yang menggelitik akan mereka ulangi dalam pergaulan sehari-hari. Dengan demikian Arja merupakan suatu media komunikasi yang sangat ampuh untuk menyampaikan pesan-pesan pembangunan ( Soedarsono & Narawati, 2011). Sikap dan Tindakan Masyarakat Indonesia Terhadap Homoseksualitas a. Pergeseran Sikap Perilaku homoseksual dalam masyarakat nusantara sampai sekarangpun masih ada dalam masyarakat tersebut. Sekilas memang pernyataan tersebut mudah disangsikan karena pengaruh peradaban Barat atau Islam modernis yang diwarnai homophobia (sikap, perasaan, dan tindakan antihomoseksualitas), maka sebagian anggota masyarakat Indonesia modern mengharamkan pula homoseksualitas, sehingga cenderung setidak-tidaknya pada perangkat formal rasional menganggap bahwa gejala semacam itu sudah tidak ada lagi, dulu pernah ada 13 tapi terhapus oleh modernisasi, atau bahkan tidak mengakui pernah ada. Bahkan anggota masyarakat nusantara yang masih berpijak pada budaya tradisionalnya pun enggan untuk mengakui adanya manifestasi perilaku homoseksual yang dilembagakannya itu. Secara singkat, perubahan sikap dan tindakan seperti itu dan sikap menerima dan tindakan melembagakan berubah ke arah sikap menolak dan melecehkan disebabkan oleh perubahan moralitas yang berkaitan dengan perubahan keseluruhan tatanan nilai masyarakat ketika menyadari bahwa peradaban barat lebih modern, lebih maju, lebih unggul dibandingkan dengan peradaban tradisional mereka sendiri yang kuno, terbelakang, selalu kalah dan penuh kebejatan moral. Moralitas barat waktu itu adalah moralitas zaman Victoria yang sangat mementingkan kesalehan dan kesucian. Tradisi manifestasi perilaku homoseksual yang dipandang biasa-biasa saja lambat laun dipandang sebagai dekadensi moral yang ikut menyebabkan kemunduran dan kekalahan nusantara di hadapan bala tentara peradaban modern barat (Demartoto, 2010). Dari tahun 1973 sampai 1991 terjadi sedikit perubahan pandangan di masyarakat terhadap perilaku homoseksual. Dari dua pertiga sampai tiga perempat secara konsisten mengatakan hal tersebut merupakan sesuatu yang tetap salah sedangkan 10-15% mengatakan perilaku seks tersebut tidak salah. Setelah tahun 1991 terjadi lagi perubahan sikap kearah lebih menerima perilaku homoseksual. Dari 72% pada tahun 1991 yang mengatakan bahwa homoseksual merupakan sesuatu yang salah menjadi hanya sekitar 44% yang mengatakan homoseksual merupakan kesalahan pada tahun 2010 (Smith, 2011). b. Penerimaan dan Penolakan Pada peringkat informal masyarakat Indonesia modern cenderung lebih toleran terhadap manifestasi modern perilaku homoseksual daripada masyarakat barat atau Asia timur. Masyarakat Indonesia modern khususnya kelas bawah juga lebih toleran terhadap perilaku homoseksual nongenital. Toleransi ini barangkali dapat dijelaskan sebagi akibat kurang 14 terpengaruhnya oleh modernisasi kelas bawah masyarakat Indonesia sejauh ini. Pada kelas menengah keatas, toleransi ini kiranya dapat dihipotesiskan sebagai terusan dari toleransi yang ada dalam masyarakat nusantara tradisional. Malah dapat dikatakan bahwa di kelas bawah penerimaan terhadap anggota masyarakatnya yang ketahuan homoseksual cenderung lebih manusiawi. Persekusi kepada mereka yang berperilaku homoseksual cenderung terjadi karena yang bersangkutan melakukannya secara paksa atau dengan anak-anak (pedofilia). Itupun harus diakui bahwa perlakuan terhadap seseorang yang ketahuan memperkosa orang sesama jenis atau pedofilia cenderung jauh lebih ringan daripada perlakuan terhadap laki-laki dan perempuan yang tertangkap basah melakukan hubungan seksual di luar nikah (Oetomo, 1991). Secara formal rasional ada stigma terhadap perilaku homoseksual terutama pada kelas menengah urban modern yang merupakan pengaruh dari homofobia barat. Pengaruh homofobik itu, juga datang dari agama Islam dan Kristen. Di kalangan sebagian kecil ulama Kristen ada usaha menerima orang homoseks apa adanya, setidaknya satu sekte Kristen yang tidak ingin disebutkan identitasnya telah secara serius dan terbuka membicarakan konseling yang terbuka bagi anggota jemaat yang homoseks (Demartoto, 2010). c. Pola Relasi Kaum Homoseksual Sebagian besar kaum homoseksual cenderung menutup diri karena ketakutan mereka terhadap penolakan dan lingkungannya. Kelompok yang tertutup ini cenderung terselubung dalam menyalurkan dorongan seksualnya. Ada juga kelompok kaum gay yang agak terbuka. Mereka cenderung terbuka hanya dalam kalangan tertentu saja, misal sesama homoseksual, keluarga, atau kawan dekat. Di kota besar terdapat wadah khusus untuk menyalurkan hasrat kaum homoseks. Tempat tersebut untuk menumpahkan rasa kebersamaan secara psikologis, senasib dengan kelompok orang yang berorientasi seksual sama, selain itu juga sebagi tempat untuk menyaluran hasrat biologis kaum gay. Pada kaum gay yang sudah terbuka akan kondisinya 15 mengalami gangguan cemas dan depresi lebih rendah dibandingkan dengan kelompok heteroseksual (Juster, et al., 2013). Berbagai macam pola hubungan seksual didapati. Sesudah usia 30 tahun, banyak lesbian dan gay yang menikah dan hanya berperilaku homoseksual insidental. Keharusan menikah merupakan beban pikiran terberat bagi seorang homoseks. Beban kedua adalah ketakutan/ ketahuan oleh masyarakat terutama di tempat kerja/sekolah/kuliah dan di tempat tinggal. Masih sedikit sekali lesbian dan gay Indonesia yang benar-benar terbuka dalam segala konteks (Demartoto, 2010). Wawancara dengan penari arja muani yang homoseksual Subyek 1. NM, pria, 33 tahun, swasta, tidak tamat S1, Hindu, Bali, belum menikah, Penebel, Tabanan. Anak ketiga dari 3 saudara, kakak keduanya perempuan. NM menyadari dirinya menyukai sesama jenis sejak duduk di bangku SMP, namun sudah berpenampilan beda (kemayu) sejak kecil. Ayah dan ibu NM tidak keras dalam mengasuh dari kecil. NM juga tidak pernah mendapat perlakuan kasar atau tidak senonoh atau trauma seksual selama tumbuh kembangnya. NM pada awalnya agak takut kalau ketahuan suka dengan sesama jenis , namun karena orangnya memang “cuek” dan merasa berjiwa perempuan dari kecil sehingga tidak peduli dengan keadaan sekitar walaupun pada saat itu banyak yang menghinanya. NM merasa nyaman dengan keadaan orientasi seksualnya ini hanya saja kadang masyarakat sekitar kurang bisa menerima. Orang tua saat mengetahui orientasi seksual NM tidak menyalahkan namun sangat memahami dan sangat mendukung, orang tua NM mengarahkan untuk bersekolah di Universitas seni karena bakat seni yang dimiliki NM, namun karena keterbatasan biaya akhirnya NM berhenti kuliah setelah KKN dan menjadi pekerja seni. NM bermain di arja muani sebagai condong (abdi perempuan), bermain arja muani sejak tahun 2002 pada waktu itu 16 setelah melaksanakan KKN di STSI Denpasar. Dengan berperan sebagai perempuan, menurut NM , dia bisa lebih mengekspresikan dirinya sebagai perempuan dan menjadi diri apa adanya. Setelah perannya dikenal dan arja muani diminati masyarakat, banyak diantara orang sekitar dan masyarakat yang antusias dan menyambut positif serta makin bertambah banyak dukungan dari berbagai macam pihak. Tidak ada yang mencibir atau mencemooh NM lagi, NM lebih bebas lagi mengekspresikan diri sebagai homoseksual. Subyek 2. KAMG, pria, 35 tahun, swasta, tidak tamat S1, belum menikah, Hindu, Bali, Selemadeg Timur, Tabanan. Anak kedua dari 4 saudara, memiliki 1 adik laki-laki. KAMG menyadari dirinya menyukai sesama jenis sejak duduk di bangku SMP dan sudah berpenampilan agak feminim dari kecil. Saat masih anak-anak, orang tua KAMG terutama ayahnya sangat disiplin dalam mendidik namun tidak sampai memukul. KAMG pernah mengalami trauma seksual saat kecil, sebelum masuk SMP, pernah dipaksa melakukan anal dan oral sex oleh orang yang lebih besar darinya. Sejak itu KAMG merasakan kenikmatan dalam berhubungan dengan sesama jenis. Saat mengetahui dirinya berbeda atau menyukai sesama jenis, KAMG menjadi pemalu dan tidak berani untuk mengungkapkannya lebih banyak dipendam, takut kalau ada yang mengetahui dan mengejek. Namun KAMG tidak pernah merasa tertekan dengan keadaannya, dia merasa nyaman dengan orientasi seksualnya hanya saja takut ketahuan lingkungan sekitar terutama orang tuanya. Saat orang tua KAMG mengetahui dirinya homoseksual, orang tuanya tidak mau menerima sama sekali, KAMG berusaha menunjukkan prestasi dalam bidang akademis dan seni, karena hal positif yang ditunjukkan KAMG tersebut lambat laun kedua orang tuanya menerima kondisi KAMG dan pelan-pelan mulai menerima masukan, mereka malah mendukung penuh dan sekarang KAMG dapat berbangga dibalik kekurangannya karena dapat menunjukkan prestasi positif di bidang seni tari. KAMG mulai menari arja muani sejak 17 tahun 2000, saat itu KAMG sedang kuliah semester 2 di IKIP PGRI Bali, namun tidak sampai menamatkan kuliahnya karena pada saat semester 7, KAMG berhenti kuliah karena tidak dapat mengatur jadwal kuliah dan jadwal pentas. KAMG di arja muani berperan sebagai Liku (putri buduh). Sebagai liku, KAMG dapat mengekspresikan dirinya sendiri karena dapat berpakaian perempuan dan berperilaku perempuan. Karena perannya dan seni arja muani sangat diterima di masyarakat membuat masyarakat sekitar sangat mendukung KAMG, tidak ada yang mencibir sama sekali karena mereka semua menerima kondisi KAMG dan peran yang dia mainkan. Subyek 3. WT, pria, 29 tahun, Hindu, Bali, swasta, belum menikah, tamat S1, Ubud, Gianyar. Anak pertama dari dua saudara, adik laki-laki. WT menyadari dirinya menyukai sesama jenis sudah sejak duduk di bangku SD, saat itu pernah pacaran dengan laki-laki yang lebih besar darinya, tapi pacaran hanya sebatas jalan bareng, saling rangkul, tidak lebih dari itu karena pada saat itu belum mengerti apa itu homoseksual. Ayah WT sangat tegas dalam mendidik sejak kecil, dan WT sebelum menyadari dirinya menyukai sesama jenis pernah dipaksa melakukan oral seks beberapa kali oleh tetangganya yang jauh lebih besar dari WT. Saat mengetahui dirinya menyukai sesama jenis, WT tidak mempermasalahkannya karena dirinya merasa nyaman dengan keadaannya itu hanya saja lingkungan sekitar yang belum bisa menerima sehingga WT merasa beban dan tidak bebas. WT sejak tahun 2006, saat itu masih duduk di bangku kuliah di ISI Denpasar sudah mulai bermain dalam arja muani sebagai liku (putri buduh). Selama bermain peran dalam arja muani tersebut, WT merasakan bisa mengekspresikan dirinya sebagai homoseksual. Pada awalnya, saat orang tuanya mengetahui kondisi WT, mereka sangat tidak menerima, perlu waktu yang lama dan masukan dari berbagai pihak, akhirnya mereka malah mendukung sepenuhnya asal masih di jalan yang positif. Sejak berperan sebagai 18 perempuan di arja muani, masyarakat juga mulai bisa menerima keberadaan orientasi seksual WT, banyak yang membanggakan WT karena mereka merasa bakat WT tersalurkan ke hal yang positif namun beberapa masih ada saja yang mencibir kondisi WT namun karena adanya dukungan dari orang sekitar, WT tidak memperdulikannya lagi. WT merasa bahagia karena bisa menjadi dirinya sendiri dan masyarakat ada yang menerima kondisinya. Wawancara dengan masyarakat Subyek 1. MP, pria, 25 tahun, belum menikah, mahasiswa S1, Hindu, Bali. Menurut MP, laki-laki menarikan arja yang notabene ditarikan oleh penari perempuan tidak menjadi sebuah masalah yang besar. Saya sangat mengapresiasi laki-laki yang menarikan tarian perempuan. Adapun alasan-alasan saya yaitu: Hak setiap orang untuk berekspresi. Manusia mempunyai hak dasar untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan mereka sebagai makhluk hidup. Salah satunya diungkapkan dengan menari. Di zaman yang serba modern ditambah dengan pengaruh budaya asing, tidak menjadi hal yang negatif menurut saya jika laki-laki menarikan tarian perempuan, atau sebaliknya perempuan menarikan tarian laki-laki. Ungkapan seni dari diri, mereka wujudkan dalam bentuk seni tari yang dimana tari merupakan seni gerak yang dapat digunakan untuk menumpahkan isi hati. Dalam hal ini, arja muani sebagai bentuk seni drama dan tari tidak hanya menggunakan skrip atau naskah yang sudah ditentukan, tetapi juga mereka dapat menyisipkan bahkan dapat menumpahkan rasa, pikiran, dan suasana hati mereka dalam tarian. Setiap orang mempunyai bakat yang berbeda-beda. Bakat menari dalam diri seseorang juga berbeda-beda. Ada kalanya penari mempunyai bakat menari yang sesuai dengan gendernya. Di lain sisi, ada penari yang bakatnya cenderung menarikan tarian lawan jenisnya, dan dia merasa nyaman dengan hal itu. Dengan bakat yang 19 dimiliki ditambah dengan lingkungan yang mendukung penari itu untuk berkembang, secara otomatis akan dilakukan terus dan kemudian menjadi sebuah kebiasaan. Karena selain dia menari, dia juga mengembangkan dan ikut berpartisipasi melestarikan budaya tradisi dan sangat diperlukan sekali pada masa sekarang. Para penari arja muani walaupun menampakkan gaya seperti wanita namun dia lebih bermartabat dibandingkan dengan menjadi psk. Subyek 2. WS, wanita, 56 tahun, pedagang, menikah, Hindu, Bali. Menurut WS, dia merupakan pecinta seni arja, dari dahulu sampai sekarang rutin menonton pertunjukkan arja. Pada awal kemunculan arja muani, WS agak aneh melihatnya karena ada laki-laki yang berperan sebagai wanita. Namun karena sering menonton WS menjadi terbiasa dan menganggap tarian tersebut menghibur dan membuat yang menonton menjadi senang. WS menganggap kalau arja muani bagian dari kesenian Bali jadi tidak terlalu mempermasalahkan ada yang berperilaku seperti wanita karena itu perannya dan kalaupun sampai kedunia nyata seperti itu tidak masalah karena itu adalah masalah hati mereka yang penting mereka melakukan hal yang positif dan tidak merugikan diri malah mereka membanggakan masyarakat Bali karena melestarikan seni Bali. Kalau dilihat lebih luwes para penari arja muani dibandingkan arja yang biasanya. Pembahasan Pada kasus 1, menyadari dirinya homoseksual sejak duduk di bangku SMP, tidak pernah mengalami trauma seksual selama tumbuh kembang, dan diasuh tidak keras oleh kedua orang tuanya, namun sudah berperilaku agak feminim dari kecil. Pada kasus 2, menyadari dirinya homoseksual sejak duduk di bangku SMP, pernah mengalami riwayat trauma seksual, ayahnya lebih disiplin dalam mendidik, dan sudah lebih feminim sejak kecil. Pada kasus 3, menyadari dirinya homoseksual sudah sejak sangat muda yaitu saat SD, ada riwayat trauma seksual, ayah 20 tegas dalam mendidik, dan juga berperilaku feminim sejak kecil. Dari ketiga kasus ini kita melihat bahwa penyebabnya kemungkinan ada faktor biologis dan faktor psikodinamika yang membuat mereka menjadi homoseksual. Karena yang berperan adalah faktor biologi dan psikodinamika sehingga mereka sulit untuk diubah menjadi heteroseksual. Pada ketiga kasus juga menampakkan ego sintonik karena mereka nyaman dengan kondisi orientasi mereka dan mereka enggan untuk mengubahnya. Pada kasus 2, pada awalnya saat mengetahui dirinya homoseksual menjadi pemalu dan takut ketahuan masyarakat sekitar. Sedangkan pada kasus 1 dan 3, mereka lebih tidak terlalu mempedulikan situasi sekitar, namun mereka juga belum begitu bebas mengekspresikan diri karena masyarakat sekitar belum bisa menerima. Kaum homoseksual memiliki beberapa ketakutan, salah satunya adalah kalau orientasi yang mereka miliki diketahui oleh orang terdekat dan masyarakat sekitar. Masyarakat Indonesia juga banyak yang belum bisa menerima kondisi homoseksual karena terjadi pergeseran pemahaman tentang homoseksual akibat pengaruh dunia barat walaupun sebelumnya homoseksual ada di kebudayaan Indonesia. Pada ketiga kasus, mereka memiliki bakat menari dan berkesenian. Mereka memakai bakat yang mereka miliki untuk mengekspresikan diri dan orientasi seksual yang mereka miliki dan memakai cara tersebut untuk bisa terbuka terhadap masyarakat sekitar. Mereka terjun ke seni pertunjukan arja muani dengan mengambil peran yang biasanya dimainkan oleh perempuan pada arja pada umumnya. Karena pada arja muani semua pemain dimainkan oleh laki-laki. Untuk peran wanita, para pria memakai busana dan perlengkapan yang menunjukkan identitas wanita atau putri. Ketiga kasus mengatakan diri mereka bisa lebih mengekspresikan sisi feminim yang mereka miliki dengan peran yang mereka mainkan. Mereka menikmati apa yang mereka lakukan dan mereka lebih terbuka akan orientasinya dan tidak pernah mengalami kesedihan atau kecemasan akan situasi mereka. Kaum homoseksual yang sudah terbuka memiliki kemungkinan menjadi cemas dan depresi lebih rendah dibandingkan heteroseksual. 21 Dengan menjadi pemain atau memainkan peran wanita dalam arja muani yang merupakan bagian dari kesenian yang menjadi unsur kebudayaan Bali, ketiga kasus menjadi lebih diterima oleh keluarga dan masyarakat sekitar. Apa yang mereka lakukan bukan dianggap sebagai suatu aib atau hal negatif namun justru dianggap sebagai sesuatu yang positif dan sebuah prestasi sehingga tidak ada yang mencemooh perilaku kasus atau sisi feminim mereka. Hal ini sesuai dengan definisi kebudayaan menurut arkeolog R. Seokmono, adalah seperangkat peraturan dan norma yang dimiliki bersama oleh para anggota masyarakat, yang jika dilaksanakan oleh para anggotanya akan melahirkan perilaku yang dipandang layak dan dapat di terima oleh semua masyarakat. Arja muani merupakan bagian dari kebudayaan yang merupakan hasil ciptaan manusia dan jika dilaksanakan oleh anggotanya akan melahirkan perilaku yang dipandang layak dan dapat diterima semua masyarakat. Sehingga penampilan feminim dari para pelakonnya seperti pada ketiga kasus tersebut dapat diterima dan dianggap layak oleh masyarakat sekitar. Stigma homoseksual yang selama ini melekat pada kaum homoseksual tidak terjadi pada ketiga kasus. Masyarakat menganggap apa yang ditampilkan pelakonnya dalam panggung dan keseharian adalah hal yang wajar karena merupakan bagian dari kebudayaan yang dipercayai dan diterima bersama serta diturunkan ke generasi berikutnya. Masyarakat lebih mengapresiasi para homoseksual yang berperan dalam pelestarian budaya dibandingkan yang melakukan hal yang negatif seperti menjual diri. Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan homoseksual merupakan ketertarikan seseorang secara seksual, gairah, romantis, dan fisik terhadap orang lain yang sama jenis kelaminnya. Homoseksual dari dulu merupakan bagian dari budaya Indonesia dan berkembang di tengah beberapa masyarakat Indonesia. Akibat masuknya kebudayaan barat yang lebih bersikap homophobia menyebabkan masyarakat Indonesia memandang homoseksual sebagai sesuatu yang salah dan pelaku homoseksual tidak berani mengungkapkan karena adanya stigma negatif yang ada dalam masyarakat Indonesia. Muncul berbagai ketakutan dalam diri kaum 22 homoseksual terhadap pandangan masyarakat. Beberapa cara dilakukan untuk membuka jati diri salah satunya dengan menjadi penari arja muani yang merupakan bagian kebudayaan Bali. Kaum homoseksual yang menjadi penari arja muani mampu mengeskpresikan diri mereka dan terbuka kepada masyarakat sekitar serta mengurangi rasa cemas dan depresi. Arja muani merupakan hasil cipta beberapa manusia dalam masyarakat dan di lakukan oleh beberapa orang anggota masyarakat sehingga hal tersebut dipandang layak dan dapat diterima jika dalam perannya ada pria yang berperilaku wanita. Hal tersebut dianggap sebagai suatu prestasi dan mengurangi stigma negatif terhadap kaum homoseksual selama ini. Daftar Pustaka Demartoto, A. 2010. Mengerti, memahami dan menerima fenomena homoseksual. Universitas Sebelas Maret. Solo. Diputra, H. 2007. Gay Bukan Penyakit. Majalah Gaya Nusantara , No 3; 9-11. Friedman, R.C., Downey, J.L. 1994. Homosexuality. New England Journal Medicine, Vol. 331; 923-930. Indra, S., Sawariyanto, Sujoko, Rahman, M. 2003. Hikayat Kaum Pentol Korek. Majalah Gatra ; 34-35. Juster, R.P., Smith, N.G., Ouellet, E., Sindi, S., & Lupien, S.J. 2013. Sexual orientation and disclosure in relation to psychiatric symptoms, diurnal cortisol, and allostatic load. Psychosomatic Medicine, Vol. 75. Keppel, B. & Hamilton, A. 1998. Sexual and Affectional Orientation and Identity Scales. Bisexual Resource Center. Boston. Mustaqfiroh, Y.S. 2012. Teater Arja. Departemen Pendidikan. Jatinom. Oetomo, D. 1991. Homoseksualitas di Indonesia. 1991. Majalah Prisma; 92-96. Oetomo, D. 2001. Memberi suara pada yang bisu. Penerbit Galang Pres. Yogyakarta. Partogi, S. 2007. Menjaga Kesehatan Mental. Majalah Gaya Nusantara , No 2; 5-8. Peradantha, I.B.S. 2011. Revitalisasi dan Inovasi Dramatari Arja : Sebuah Harapan Baru. Institut Seni Indonesia. Denpasar. Putera, M.B. 2012. Pengertian Kebudayaan Menurut Ilmu Antropologi. STIA Paris. Makasar. Smith, T.W. 2011. Public attitudes toward homosexuality. General social survey, NORC. University of Chicago. Soedarsono, R.M. & Narawati, T. 2011. Dramatari di Indonesia, Kontinuitas, dan Perubahan. Gajah Mada University Press : Yogyakarta. Stonski, H. 1998. Adolescent homosexuality. Adv. Pediatri, Vol. 45 ;107-144. Wieringa, S.E. 2010. Keanekaragaman Gender di Asia: Pertarungan Diskursif dan Implikasi Legal. Jurnal Gandrung, vol.1 No.2; 17-54. 23 Zietsch, B.P., Morley, K.I., Shekar, S.N., Verweij, K.J., Keller, M.C., and Macgregor, S., et al. 2008. Genetic factors predisposing to homosexuality may increase mating success in heterosexuals. Evolution and Human Behavior, 29; 424–433. 24