GAKI - ETD UGM

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gangguan akibat kekurangan Iodium (GAKI) di Indonesia masih
merupakan salah satu masalah gizi utama di samping 3 masalah gizi lain yaitu
Kekurangan Energi Protein (KEP), Kekurangan Zat Besi dan Kekurangan Vitamin
A. Akibat dari kekurangan iodium ini berdampak luas dan dapat menghambat
pertumbuhan fisik dan perkembangan mental yang akan berimplikasi pada
penurunan kualitas sumber daya manusia. Efek kekurangan iodium ini dapat
menimpa pada berbagai fase kehidupan mulai dari pre natal, post natal sampai
dewasa. Manifestasi klasik dari gangguan akibat kekurangan iodium ini adalah
goiter endemik dan kretin namun selain itu juga berkaitan dengan kejadian abortus
dan lahir mati (WHO, 1985)
Survei Nasional Pemetaan GAKI tahun 1998 menunjukkan bahwa prevalensi
gondok endemik sebesar 9,8% dan sekitar 17 juta penduduk tinggal di daerah gondok
endemik dengan cakupan kapsul iodium yang rendah sehingga potensi lahir anak
kretin baru masih tinggi (Muhilal, 2000). Sementara itu berdasarkan hasil evaluasi
proyek IP GAKI tahun 2003 di 28 provinsi prevalensi gondok endemik meningkat
menjadi 11%
dengan nilai median eskresi iodium urin sebesar 229 ug/L (Depkes,
2003). Data Riskesdas tahun 2007 menunjukkan bahwa median kadar UIE diatas
kebutuhan yaitu 224 µg/L dengan 21,9% dengan kandungan UIE > 300 µg/L atau
exses. Segmen ini menurut WHO sudah beresiko untuk terjadinya abnormalitas atau
iodine induced hyperthyroidism (IIH) (WHO, 2007). Hal ini menunjukkan bahwa
2
asupan iodium sudah cukup bahkan berlebih tetapi masalah gondok masih cukup
besar di beberapa daerah serta masih muncul lahir kretin baru.
Program penanggulangan GAKI di Indonesia sudah dilakukan sejak
tahun 1970-an. Penanggulangan GAKI di Indonesia dalam jangka pendek dilakukan
dengan pemberian iodium dosis tinggi (200 mg) dalam larutan minyak kacang yang
dikemas dalam kapsul dan dikenal sebagai kapsul minyak beriodium. Iodium dosis
tinggi ini diberikan kepada ibu nifas, ibu hamil, wanita usia subur di daerah
defisiensi iodium dengan Total Goiter Rate (TGR) 20 % sedangkan untuk anak
usia sekolah (6-12 tahun) hanya diberikan untuk daerah dengan TGR 30 %
(Ditzi,2000). Program jangka panjang untuk penanggulangan GAKI adalah dengan
fortifikasi iodium pada garam dalam rangka untuk mencapai Universally Salt
Iodization (USI) (ICC/IDD, 1990).
Hasil penanggulangan GAKI jangka pendek tersebut membuahkan hasil
yang sangat signifikan tetapi mulai bermunculan masalah baru yaitu masalah
kelebihan iodium (hipertiroid). Departemen Kesehatan Republik Indonesia melalui
Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat membuat kebijakan melalui surat
edaran No. JM03.03 B V/2195/95 tentang percepatan penanggulangan GAKI pada
tanggal 3 Juli 2009 antara lain menyebutkan bahwa suplementasi kapsul minyak
beriodium dihentikan. Program penanggulangan GAKI saat ini dititik beratkan pada
penggunaan garam beriodium untuk semua seperti di beberapa negara antara lain
Guatemala,
menunjukan
bahwa
garam
beriodium
sangat
efektif
dalam
penaggulangan GAKI (Budiman, 2004). WHO merekomendasikan bahwa iodium
ditambahkan pada tingkat 20 – 40 mg iodium/kg garam, dan iodium yang
3
ditambahkan pada garam dalam bentuk kalium iodida (KI), atau kalium iodat
(KIO3). Di Indonesia berdasar SNI kadar iodium yang dianjurkan dalam garam
sebesar > 30 ppm dalam bentuk Kalium Iodat (DepKes, 2003).
Iodium dalam tubuh diperlukan untuk membentuk hormon tiroid.
Hormon ini diproduksi oleh kelenjar tiroid. Hormon tiroid berfungsi untuk
merangsang konsumsi O2 kebanyakan sel di dalam tubuh. Hormon ini juga
membantu meregulasi metabolisme lipid dan karbohidrat serta diperlukan bagi
pertumbuhan dan perkembangan yang normal. Kekurangan hormon ini dapat
menimbulkan kelainan atau hambatan tumbuh kembang pada berbagai fase
kehidupan. Manifestasi klasik dari kekurangan hormon ini adalah munculnya goiter
atau gondok dan kretin (Greenspan, 2004).
Sintesis dan sekresi hormon tiroid dikontrol oleh tiga tingkatan yang
berbeda : (1) tingkat dari hipotalamus, dengan mengubah sekresi Thyroid Releasing
Hormone (TRH), (2) tingkat hipofisis dengan menghambat dan merangsang sekresi
Thyroid Stimulating Hormone (TSH), dan (3) tingkat tiroid melalui autoregulasi
dan blokade atau perangsangan dari reseptor TSH (Guyton, 1995).
Kadar TSH dan T4 bebas (FreeT4) dapat menggambarkan fungsi tiroid
seseorang. Hal ini sesuai dengan rekomendasi American Thyroid Association yang
menyatakan bahwa pemeriksaan kadar TSH dan FreeT4 secara simultan merupakan
strategi dalam diagnosis fungsi tiroid (Eastman, 1996).
TSH merupakan faktor primer yang mengendalikan pertumbuhan sel
tiroid dan sintetis serta sekresi hormon tiroid. TSH akan berikatan dengan reseptor
TSH (TSH-R) spesifik pada membran sel tiroid dan mengaktivasi G protein-adenilil
4
siklase-cAMP dan sistem pemberian sinyal fosfolipase. Reseptor TSH merupakan
suatu glikoprotein rantai tunggal yang mengandung 744 asam amino, dengan berat
molekul 100 kDa. Gen TSH-R manusia terletak pada kromosom 14q31. TSH
mengatur mRNA TSH-R, meningkatkan jumlah reseptor TSH pada membran sel
tiroid (Greenspan, 2004).
Nilai normal TSH adalah 0,3 – 6,2 µIU/L (Human, 2004), namun
menurut American National Academy of Clinical Biochemistry, mereka mengubah
range nilai normal TSH dari 0,5 – 5,0 µIU/L menjadi 0,2 – 2,5 µIU/L. Revisi yang
sama juga dilakukan oleh American Association of Clinical Endocrinologists
(AACE) yang didasarkan bahwa 13 juta orang yang sebelumnya dinyatakan normal
tapi akhirnya didiagnose hipotiroid (AACE, 2002), sehingga nilai TSH di atas 2,5
µIU/L beresiko untuk terjadinya hipotiroid. TSH yang dihasilkan oleh kelenjar
pituitari di hipofise anterior akan merangsang kelenjar tiroid untuk mengeluarkan
hormon tiroid.
Hormon tiroid ada dua macam yaitu T3 dan T4, kedua hormon ini beredar
dalam plasma sebagian besar terikat pada protein dan berada dalam keseimbangan
dengan hormon bebas. Hormon T4 di dalam sel diubah menjadi T3 melalui
deiodinase-5’dan hal ini menunjukkan bahwa T4 merupakan suatu prohormon dan
T3 adalah bentuk hormone yang aktif. Hormon yang bebas diangkut melalui difusi
pasif maupun karier spesifik melalui membrane sel melewati sitoplasma untuk
berikatan dengan suatu reseptor spesifik pada inti sel.
Hormon T3 yang berikatan dengan reseptor menimbulkan stimulasi atau
pada beberapa kasus menimbulkan inhibisi sehingga transkripsi gen-gen ini akan
5
menimbulkan perubahan tingkat transkripsi mRNA. Perubahan dalam tingkatan
mRNA ini akan mengubah tingkatan produk protein dari gen. Protein ini kemudian
memperantarai respons hormon tiroid ( Guyton, 1995).
Reseptor hormon tiroid pada manusia termasuk golongan reseptor
nonsteroid, sekeluarga dengan reseptor untuk estrogen, progestin, Vitamin D3 dan
asam retinoat. Reseptor hormone tiroid manusia (hTR) terdapat paling tidak tiga
bentuk yaitu hTR-α1, hTR-α2 dan hTR-β1. Setiap reseptor mengandung tiga daerah
spesifik yaitu suatu daerah amino terminal yang meningkatkan aktifitas reseptor,
suatu daerah pengikat DNA sentral dengan dua jari-jari sistein-seng, dan suatu
daerah pengikat hormon terminal karboksil. Gen hTRα terletak pada kromosom 17,
sedangkan gen hTRβ terletak pada kromosom 3. Ada kemungkinan bahwa hTR-β1
dan hTR-α1 merupakan bentuk reseptor ,yang aktif secara biologik, hTR-α2 tidak
mempunyai kemampuan mengikat hormon tetapi berikatan dengan unsur respon
hormon tiroid (TRE) pada DNA dan dapat bertindak sebagai penghambat aktifitas
dari T3. Mutasi titik pada gen hTR-β yang menimbulkan reseptor T3 abnormal
merupakan penyebab sindrom generalisata terhadap hormon tiroid (Greenspan,
2004). Resistensi hormon tiroid merupakan kondisi yang diturunkan dimana
jaringan target tidak respon terhadap hormon tiroid yang ditandai dengan tidak
tersupresinya TSH dan tingginya konsentrasi hormon tiroid (Weiss, 1992).
Resistensi umum terhadap hormon tiroid atau generalized resistance to
thyroid hormon (GRTH) pertamakali digambarkan oleh Refetoff dan kawan-kawan
sebagai sindrom familial yang ditandai dengan tuli mutisme, epifises berlubanglubang, goiter dan kadar hormon tiroid tinggi abnormal dengan TSH normal.
6
Gambaran klinis pada lebih dari 200 keluarga dilaporkan sangat bervariasi
sementara kebanyakan eutiroid. Pola pewarisannya bersifat autosomal dominan
walaupun pada 10% keluarga yang diteliti bersifat resesif. Pemeriksan laboratorium
memperlihatkan peningkatan T4, FreeT4 atau T4 bebas, T3 dan TSH normal atau
meningkat (Greenspan, 2004).
Sumber iodium sebagai bahan dasar pembentukan hormon tiroid bisa
dari kapsul iodium, garam beriodium atau makanan sumber iodium seperti cumicumi, ikan laut. Asupan iodium suatu masyarakat dapat dinilai dari kadar iodium
urin (Urinary Iodine Excretion/UIE). Kadar UIE ini merupakan indikator biokimia
non invasive yang menggambarkan konsumsi iodium harian karena 90% asupan
iodium akan dikeluarkan kembali melalui urin. Distribusi kadar UIE dapat
digunakan untuk menilai asupan iodium dan status iodium populasi. Nilai normal
median UIE menurut kriteria WHO adalah 100 -199 µg/L, sehingga median di
bawah 100 µg/l menunjukkan daerah tersebut daerah kekurangan iodium (WHO,
2007).
Garam beriodium dan kapsul beriodium telah digunakan oleh pemerintah
untuk penanggulangan GAKI. Kapsul iodium yang selama ini dipakai untuk
program penanggulangan GAKI adalah Yodiol produksi Kimia Farma yang
merupakan minyak nabati beriodium efektif dalam kapsul lunak untuk mencegah
GAKI. Setiap kapsul mengandung 200 mg Iodium. Selama ini program kapsul
iodium untuk penenggulangan GAKI menggunakan dosis 200 mg sekali minum
untuk pencegahan selama 6 bulan, sedangkan dosis 400 mg sekali minum untuk
pencegahan selama 1 tahun dan penggunaan kapsul yang tidak selektif dapat
7
menimbulkan gejala hipertiroid, oleh karena itu sejak tahun 2009 program
pemberian kapsul iodium telah dihentikan karena ada efek samping munculnya
kasus-kasus hipertiroid sehingga pemerintah menginstruksikan bahwa hanya garam
beriodium yang paling tepat untuk program penanggulangan GAKI (DepKes RI,
2009). Pemberian iodium yang terus menerus beresiko menimbulkan hipertiroid
atau tirotoksikosis (Delange et al., 2001), pasca pemberian kapsul.
Penghentian
mendadak program kapsul tersebut disinyalir berpengaruh pada mekanisme regulasi
serta mekanisme fisiologis hormon tiroid dan masih dijumpai adanya lahir kretin
baru. Muncul pertanyaan masih efektifkah pemberian kapsul tersebut atau justru
program penghentian kapsul iodium sudah merupakan langkah yang tepat. Untuk
menjawab pertanyaan tersebut perlu dilakukan analisa dan penelitian mendalam
tentang dampak dan manfaat dari pemberian kapsul iodium. Tinjauan dari dampak
pemberian kapsul dapat ditinjau dari berbagai sudut, dalam hal ini peneliti ingin
meninjau dari fungsi tiroid serta dari aspek reseptor hormon tiroid dimana reseptor
ini penting dalam mekanisme regulasi hormon tiroid.
Penelitian ini merupakan penelitian 2 tahap, dimana tahap pertama melihat
perbandingan efek pemberian berbagai jenis sumber iodium terhadap fungsi tiroid
dan tahap kedua untuk melihat ada tidaknya pengaruh polimorfisme gen reseptor
hormon tiroid terhadap fungsi tiroid. Hal ini diasumsikan bahwa apabila timbul
defek pada reseptor maka meskipun ada penambahan intake iodium dari luar maka
kemungkinan tidak akan menimbulkan perubahan pada kadar hormone tiroid.
Penelitian ini juga akan melihat dari sumber iodium yang mana yang paling efektif
untuk memperbaiki fungsi tiroid.
8
B. Rumusan Masalah
Wanita Usia Subur (WUS) di daerah endemik GAKI memiliki risiko yang lebih
tinggi untuk menderita hipotiroid karena iodium digunakan tubuh untuk membentuk
hormon tiroid. Penghentian program kapsul iodium membuat garam beriodium
menjadi media utama untuk menyampaikan intervensi iodium di daerah endemik
GAKI dalam rangka program penanggulangan GAKI. Penelitian ini memberikan
intervensi beberapa sumber iodium antara lain garam beriodium, kapsul beriodium
200 mg, kapsul beriodium 400 mg serta abon ikan tuna pada Wanita Usia Subur.
Beberapa sumber iodium tersebut akan digunakan oleh tubuh untuk membentuk
hormon tiroid dengan melalui beberapa mekanisme regulasi. Berdasarkan hal tersebut
maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Apakah dengan pemberian kapsul iodium 200 mg dapat menurunkan TSH dan
menaikkan nilai FreeT4?
2. Apakah dengan pemberian kapsul iodium 400 mg dapat menurunkan nilai TSH
dan menaikkan nilai FreeT4?
3. Apakah dengan pemberian abon ikan tuna dapat menurunkan nilai TSH dan
menaikkan nilai FreeT4?
4. Berapa macam tipe polimorfisme yang terjadi pada gen hTRβ dan berapa
prevalensi kejadian polimorfisme gen hTRβ ?
5. Apakah adanya polimorfisme gen hTRβ memberikan modifier efek terhadap
regulasi hormon tiroid dan hormon TSH?
9
C. Tujuan
Tujuan Umum :
Mempelajari pengaruh sumber iodium terhadap fungsi tiroid dan melihat ada tidak
modifier effect polimorfisme gen hTRβ terhadap fungsi tiroid.
Tujuan Khusus
1. Mengukur kadar hormon FreeT4, TSH,
kadar iodium dalam urin serta
tiroglobulin pada penderita gangguan fungsi tiroid sebelum dan sesudah
pemberian kapsul iodium dosis 200 mg, dosis 400 mg serta abon ikan tuna.
2. Membandingkan kadar hormon, TSH, kadar iodium dalam urin, serta
tiroglobulin pada penderita gangguan fungsi tiroid yang mendapat kapsul
iodium dosis 200 mg, dengan yang mendapat kapsul iodium dosis 400 mg
serta yang mendapat abon ikan tuna.
3. Meneliti terjadinya polimorfisme gen hTRβ.
4. Meneliti jenis polimorfisme gen hTRβ yang terjadi.
5. Meneliti pengaruh (modifier efek) polimorfisme gen hTRβ terhadap regulasi
hormon tiroid dan TSH.
D. Manfaat
1. Sebagai masukan program penanggulangan GAKI
2. Sebagai sumbangan data dalam ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang
penyakit tiroid
3. Sebagai dasar untuk melakukan penelitian lanjutan dalam menangani gangguan
fungsi tiroid di Indonesia.
10
E. Keaslian Penelitian
Penelitian tentang intervensi kapsul iodium dan garam beriodium serta
polimorfisme gen hTRβ sudah banyak dilakukan namun masih sendiri-sendiri.
Penelitian yang berkaitan dengan keduanya yaitu melihat pengaruh polimorfisme gen
hTRβ terhadap respon individu dalam mempertahankan status iodium dan status
tiroid yang
normal
setelah intervensi berbagai sumber iodium belum pernah
dilaporkan. Penelitian intervensi kapsul iodium dan garam beriodium serta
polimorfisme gen hTRβ antara lain :
1. Budiman et al. (2004) melihat efektifitas intervensi garam beriodium melalui
rumah tangga terhadap penurunan TGR pada anak sekolah. Penelitian ini
hanya melihat perubahan pembesaran kelenjar gondok dan kadar iodium
dalam urin pada anak sekolah setelah tiga bulan intervensi garam beriodium.
2. Kartono et al. (2010) melihat status iodium dan status tiroid pada WUS
sebelum dan setelah pemberian garam beriodium selama 6 bulan. Penelitian
ini mengukur kadar iodium urin dan kadar hormon TSH pada WUS.
Penelitian ini tidak melihat adanya polimorfisme gen hTRβ.
3. Setyani et al. (2008) melihat efektifitas program pemberian kapsul iodium.
Penelitian ini tidak melihat adanya polimorfisme gen hTRβ.
4. Shuto et al. (1992) melihat adanya poin mutasi pada thyroid hormon reseptor
β yang berkaitan dengan dengan resistensi umum hormon tiroid tanpa melihat
respon individu terhadap intervensi sumber iodium.
11
5. Usala et al. (1988) melihat adanya hubungan antar gen hTRβ dengan
resistensi hormon tiroid tanpa melihat respon individu terhadap intervensi
sumber iodium.
6. Behr et al. (1992) melihat kejadian resistensi hormon tiroid berhubungan
mutasi pada dua regio triiodothyronin(T3) binding domain dari hTRβ (codon
310-347 dan 417-453).
Download