PENDAHULUAN Latar Belakang Potensi peternakan di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sangat besar yang ditunjukkan oleh populasi ternak ruminansia khususnya, sebanyak 700 363 ekor ruminansia besar (sapi dan kerbau), dan 571 014 ekor ruminansia kecil (kambing dan domba). Pulau Timor merupakan salah satu daerah di NTT yang memiliki populasi ternak tertinggi yaitu 427 343 ekor ruminansia besar dan 178 427 ekor ruminansia kecil atau sekitar 61% dan 31% dari populasi ternak di NTT (Ditjennak 2007). Kendala utama pengembangan adalah ketersediaan dan kualitas pakan. Kondisi alam yang kering (8 – 9 bulan kering) mengakibatkan kontinuitas ketersediaan pakan sangat fluktuatif sehingga pertumbuhan ternak sangat tergantung pada musim. Padang penggembalaan umum seluas 24 382.04 ha (Ditjennak 2007) yang merupakan tulang punggung sumber pakan ruminansia utamanya, hanya bisa diandalkan selama kurang lebih 3 - 4 bulan. Hasil penelitian Bamualim et al. (1993) menunjukkan bahwa pada musim kemarau, bobot ternak di P. Timor akan mengalami penyusutan sebanyak 50% dari bobot yang dicapai selama musim hujan. Dalam keadaan demikian memaksimumkan sumber pakan lokal merupakan solusi terbaik. Salah satu pakan lokal yang cukup dikenal masyarakat setempat adalah Putak. Putak diperoleh dari isi (empulur) batang pohon gewang (Corypha elata robx) dan telah lama digunakan sebagai pakan sumber karbohidrat meski dalam jumlah terbatas. Menurut perkiraan sekitar 5 – 10% dari luasan padang penggembalaan yang ada di P.Timor ditumbuhi pohon gewang. Nulik et al. (1988) melaporkan bahwa dengan tinggi pohon rata-rata 13 meter (12.9 ± 3.3 ) dapat dihasilkan sebanyak 663 ± 124 kg putak basah atau 396 kg berat kering (kadar air 40%). Sebagai pakan, putak sangat potensial karena ketersediaannya cukup disamping tidak bersaing dengan manusia karena tidak digunakan untuk makanan manusia. Penggunaan putak sebagai pakan belum maksimal akibat keterbatasan nutrisi yang dikandungnya seperti, protein yang rendah ( 2.23%) serta serat kasar 2 tinggi (12.04%), disamping unsur-unsur nutrien lainnya yang juga minim tetapi kandungan energinya tinggi (4 210 kkal/g) (Ginting 2000). Upaya yang telah dilakukan guna memaksimalkan pengguaan putak sebagai pakan telah dilakukan melalui penelitian misalnya, melalui suplementasi urea sebagai sumber nitrogen bagi ternak ruminansia selama musim kemarau (Bamualim et al. 1993, Kana Hau et al. 1993). Pembuatan produk pemasakan putak-urea (Purea) yang dilakukan Wie Lawa (1996) dapat meningkatkan kecernaan in vitro. Penelitian pengolahan secara biologis yakni fermentasi putak oleh Saccharomyces cereviciae sebagaimana dilaporkan hasilnya oleh Ginting (2000), nyata meningkatkan kadar protein kasar putak dari 2.23 % menjadi 8.94% meski tidak berpengaruh terhadap penurunan kadar serat kasar (12.02% vs 11.97%) setelah diinkubasi selama 14 hari dengan respon pertumbuhan terbaik dari ternak babi adalah pada penggunaan 10% menggantikan jagung. Pengolahan biologi yang bertujuan meningkatkan kualitas suatu bahan sebagai pangan maupun pakan telah lama dikenal dan dilakukan, namun sejauh ini hanya dengan penggunaan kultur tunggal. Padahal menurut Hesseltine (1991), fermentasi biakan campuran dapat memberikan hasil yang lebih menguntungkan dibanding biakan tunggal karena komponen metabolit yang dihasilkan masingmasing mikroba dalam substrat yang sama akan saling menunjang dan melengkapi kebutuhan lingkungan yang baik bagi pertumbuan mikroba-mikroba tersebut. Penerapan teknologi kultur campuran pada prinsipnya adalah meniru kondisi hidup mikroorganisme pada habitat alaminya. Pada habitat alaminya, organisme yang hidup bersama memiliki hubungan yang bisa saling merugikan dan juga saling menguntungkan atau tidak saling mempengaruhi. Kondisi tersebut yang ingin diadopsi dalam penelitian penerapan kultur campuran. Trichoderma reesei merupakan salah satu jenis kapang yang banyak diteliti terutama karena kemampuannya menghasilkan enzim selulase seperti endoglukanase dan selobiohidrolase tetapi sedikit memproduksi selobiase (Panda et al. 1989, Juhasz et al. 2003, Pakula et al. 2005). Aspergillus niger memiliki kemampuan lebih dalam menghasilkan enzim selobiase atau β-glukosidase dibanding T.reesei (Panda et al. 1989, Saha 1991) disamping itu kapang juga 3 menghasilkan banyak macam enzim ekstraseluler, seperti α-amilase, glukoamilase, α- dan β- glukosidase serta selulase (Saha 1991), oleh karena itu sering digunakan dalam pengolahan pangan untuk pengkayaan protein dari bahan berpati (Moo-Young 1983). Menurut Hesseltine (1991) bahwa kultur campuran memungkinkan penggunaan substrat yang bervariasi dalam hal komposisi bahan sehingga akan memungkinkan mikroba selulolitik tidak hanya menggunakan selulosa saja tetapi juga pati maupun gula. Kapang selulolitik bersama-sama kapang pengguna pati dan gula akan memberikan proses yang lebih efisien dalam menghasilkan biomassa yang lebih tinggi dalam waktu yang lebih singkat. Hasil-hasil penelitian kultur campuran yang pernah dilakukan menunjukkan hasil yang lebih baik dibanding kultur tunggal, dalam hal biomassa sel maupun produk fermentasi. Seperti yang dilaporkan oleh Correa et al. (1999), bahwa jumlah biomassa sel dan aktifitas enzim-enzim selulase lebih tinggi pada biakan campuran T. reesei dan A. niger dibanding kultur tunggal dengan substrat bagas tebu. Selanjutnya Saha (1991) menggunakan kultur campuran A.niger dan S.cereviciae pada substrat kentang menghasilkan etanol yang lebih tinggi. Panda et al. (1989) melaporkan, laju pertumbuhan kapang T. reesei dan A. wentii lebih baik pada biakan campuran daripada biakan terpisah. Demikian juga Viesturs et al. (1980) yang dikutip Moo-Young (1983) memperoleh kadar protein murni 18% pada jerami gandum yang difermentasi oleh T.liqnorum dan Candida lipolytica selama 5 hari pada suhu inkubasi 30oC, sedangkan T. liqnarum sendiri hanya menghasilkan 11%. Teknologi fermentasi merupakan teknologi yang murah dan aman dalam menjawab masalah keterbatasan nutrisi terutama protein substrat dan telah banyak dilakukan baik dalam penelitian maupun di masyarakat terutama menggunakan kultur tunggal. Sedangkan kultur campuran yang juga dapat memberi hasil yang lebih baik karena dapat memaksimumkan peran masing-masing mikrob dalam proses fermentasi guna mendapatkan hasil yang lebih baik dan waktu yang singkat, belum umum dilakukan. 4 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk : a. Mengkaji kemampuan T reesei dan A. niger secara kultur tunggal dalam memperbaiki kualitas nutrien putak terutama kadar protein dan serat kasar. b. Mengkaji kemampuan T reesei dan A. niger secara kultur campuran dalam memperbaiki kualitas nutrien putak terutama kadar protein dan serat kasar serta pengaruhnya terhadap fermentabilitas in vitro. c. Mengkaji respon ternak kambing lokal jantan terhadap penggunaan putak terfermentasi dengan kultur campuran T reesei dan A. niger sebagai pakan penyusun konsentrat berdasarkan parameter pertumbuhan, jumlah konsumsi ransum dan nutrien serta kecernaan nutrien, efisiensi penggunaan ransum. Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah : 1. Fermentasi putak dengan kapang A.niger maupun T.reesei secara tunggal dapat meningkatkan kualitas putak 2. Kultur campuran A.niger dan T.reesei akan lebih baik kemampuannya dalam meningkatkan kualitas putak fermentasi dibanding dengan kultur tunggal 3. Penggunaan putak hasil fermentasi sebagai pakan akan memberi respon positif terhadap pertumbuhan ternak. Manfaat Penelitian Dari penelitian ini diharapkan dapat : 1. Memberi informasi mengenai manfaat putak yang difermentasi sebagai sumber pakan baru yang prospektif 2. Memberi informasi tentang keuntungan fermentasi menggunakan kultur campuran, sebagai alternatif teknologi tepat guna tentang pemanfaatan pakan lokal