BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada saat ini salah satu obat analgetik-antipiretik yang paling sering digunakan adalah parasetamol. Akan tetapi, parasetamol mempunyai efek samping yang dapat menyebabkan kerusakan pada hati (hepatotoksik). Kerusakan pada sel-sel hati ini disebabkan oleh metabolit dari parasetamol, yaitu NAPQI (N-Asetil Para-Quinon Imina). Cincin inti benzena dari NAPQI bersifat elektrofilik sedangkan sel-sel hati yang bersifat nukleofilik akan berikatan dengan muatan positif NAPQI sehingga menyebabkan kerusakan sel-sel tersebut (Doerge, 1982). Senyawa MH2011 merupakan senyawa modifikasi parasetamol yang sudah terdaftar di Ditjen HAKI pada tahun 2012 dengan nomor permohonan paten P00201200964 dan dengan inventor Drs. Hari Purnomo, M.S., Apt. Pada permohonan paten tersebut telah disebutkan bahwa senyawa MH2011 mempunyai efek hepatotoksik lebih rendah dibandingkan parasetamol. Senyawa MH2011 mempunyai efek analgetik lebih poten dibanding parasetamol yang dapat dilihat dari nilai ED50, yaitu MH2011 sebesar 10,98 mg/kgBB dan parasetamol 21,26 mg/kgBB (Sofiana, 2013). Modifikasi parasetamol dilakukan pada gugus alkil yang terikat pada C karbonil. Gugus alkil (CH3) yang terikat pada C karbonil digantikan oleh gugus 4hidroksi naftalena-1-aminida yang terikat pada aminonaftol. Dengan adanya gugus 4-hidroksi naftalena-1-aminida dapat menurunkan muatan positif pada posisi orto 1 2 sehingga dapat menurunkan efek hepatotoksik, bahkan jika mungkin menghilangkannya. Hal ini sesuai dengan perhitungan komputasi muatan atom secara semi empirik dengan metode AM1 seperti terlihat berikut ini: Gambar 1. Muatan atom pada parasetamol Gambar 2. Muatan atom pada senyawa MH2011 3 Berdasarkan keterangan diatas maka semakin elektrofilik muatan pada posisi orto maka akan meningkatkan hepatotoksisitas dari senyawa modifikasi parasetamol karena atom karbon yang bermuatan positif tersebut dapat bereaksi dengan sel-sel hati yang bersifat nukleofilik sehingga sel-sel hati menjadi rusak secara irreversibel (tidak dapat pulih kembali). Dari hasil perhitungan komputasi muatan atom secara semi empirik dengan metode AM1 maka dapat diketahui bahwa senyawa MH2011 memiliki efek samping hepatotoksik yang lebih rendah dibandingkan parasetamol sehingga dapat dikatakan bahwa dalam penggunaannya MH2011 lebih aman dibandingkan parasetamol. Berdasarkan hal tersebut, maka diusulkan penelitian senyawa MH2011 yang akan diuji efek hepatotoksiknya yang dibandingkan dengan parasetamol secara in vivo pada mencit jantan galur Balb/c dengan jumlah mencit yang lebih banyak dan dosis perlakuan yang diperbanyak sehingga diharapkan hasil uji hepatotoksik yang didapat semakin tepat. A. Rumusan Masalah Apakah senyawa MH2011 mempunyai efek hepatotoksik secara in vivo yang diuji pada mencit jantan galur Balb/c berdasarkan analisis peningkatan kadar GPT plasma dan berdasar histopatologi dengan pembanding parasetamol? 4 B. Tujuan Penelitian Mengetahui adanya efek hepatotoksik pada senyawa MH2011 secara in vivo yang diuji pada mencit jantan galur Balb/c berdasarkan analisis aktivitas GPT plasma dan berdasar histopatologi dengan pembanding parasetamol. C. Manfaat Penelitian 1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang efek hepatotoksik senyawa MH2011 dibanding parasetamol secara in vivo yang diuji pada mencit jantan galur Balb/c dengan jumlah mencit yang lebih banyak dan dosis perlakuan yang lebih bervariasi. 2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi di bidang kesehatan dengan penemuan senyawa baru yang memiliki efek samping hepatotoksik yang diduga lebih rendah dibanding parasetamol sehingga nantinya dapat menjadi obat analgetik yang lebih aman dikonsumsi bagi masyarakat. D. TINJAUAN PUSTAKA 1. Karakteristik Hati Hati adalah organ terbesar kedua di tubuh (yang terbesar adalah kulit) dan kelenjar terbesar, dengan berat 1,5 kg (2,5% berat badan orang dewasa normal). Organ ini terletak dalam rongga perut di bawah diafragma. Hati merupakan organ tempat pengolahan dan penyimpanan nutrien yang diserap dari usus halus untuk dipakai oleh bagian tubuh lainnya. Hati menjadi perantara antara sistem pencernaan 5 dan darah. Kebanyakan darahnya (70-80%) berasal dari vena porta, jumlah yang lebih kecil berasal dari arteri hepatika. Seluruh materi yang diserap melalui usus tiba di hati melalui vena porta, kecuali lipid kompleks (kilomikron), yang terutama diangkut melalui pembuluh limfe. Hati dibungkus oleh stroma yaitu suatu simpai tipis jaringan ikat (kapsul Glisson) yang menebal di hilus, tempat vena porta dan arteri hepatika memasuki hati dan keluarnya duktus hepatika kiri dan kanan serta pembuluh limfe dari hati. Komponen struktural utama hati adalah sel-sel hati atau hepatosit yang berbentuk heksagonal. Sel-sel epitelnya berkelompok membentuk lempenglempeng yang saling berhubungan. Satuan struktural ini disebut lobulus hati. Celah di antara lobulus mengandung kapiler yaitu sinusoid hati. Sinusoid hati adalah celah diantara barisan hepatosit yang mengandung sinusoid kapiler (Junqueira, 2003). Kantung empedu Sinusoid Saluran empedu Vena Sentral Cabang vena portal Cabang arteri hepatika Gambar 3. Struktur hati Sinusoid Celah disse Sel endotelial Hepatosit Sel Ito Sel Kuppfer Matriks Ekstrasel Saluran empedu Normal Hepar Gambar 4. Struktur sinusoid 6 2. Tes Fungsi Hati Tes fungsi hati yang umum adalah SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase) dan SGPT (Serum Glutamic Pyruvic Transaminase). Peningkatan SGOT dan SGPT akan menunjukkan jika terjadi kerusakan atau radang pada jaringan hati. Namun, SGPT lebih spesifik terhadap kerusakan hati dibanding SGOT. Hal ini dikarenakan SGPT utamanya berada di hepar. Hepatosit pada dasarnya adalah satu-satunya sel dengan konsentrasi SGPT yang tinggi. Sedangkan ginjal, jantung, dan otot rangka mengandung kadar sedang. SGPT dalam jumlah yang lebih sedikit dijumpai di pankreas, paru, limpa, dan eritrosit. Sebaliknya, SGOT banyak dijumpai di jantung, otot rangka, ginjal, dan otak sehingga kurang spesifik sebagai parameter fungsi hati. Dalam hepatosit, SGPT ditemukan secara eksklusif dalam sitosol, sedangkan isoenzim SGOT berada pada mitokondria dan sitosol (Isselbacher dkk., 1995). SGPT mempunyai dua koenzim yaitu GPT1 dan GPT2. GPT1 ini diekspresikan utamanya pada ginjal, hati, lemak, dan jaringan jantung, sedangkan GPT2 banyak diekspresikan pada otot, lemak, otak, dan jaringan ginjal (Ozer dkk., 2007). Pengukuran aktivitas transaminase terbukti paling praktis. Transaminase termasuk SGPT dan SGOT. Sebagian besar SGOT terdapat di hati dan otot rangka, lainnya tersebar ke seluruh jaringan, sedangkan SGPT sebagian besar terdapat di hati. Oleh karena itu, SGPT merupakan petunjuk yang lebih spesifik terhadap adanya nekrosis hati daripada SGOT (Zimmerman, 1978). 7 Berbagai macam metode pengenalan zat dapat digunakan sebagai dasar pemeriksaan kimia klinik, antara lain metode fotokalorimetri mengukur warna zat yang diuji, metode turbidimetri mengukur kadar berdasarkan kekeruhan, metode nefelometri mengukur pendar sinar yang terpantul oleh partikel, metode chemiluminesense mengukur kekuatan sinar luminesens dalam menilai kadar suatu zat, metode kinetik reaksi enzimatik berdasarkan aktivitas enzim, bahkan ada yang berdasarkan reaksi antigen antibodi. Aktivitas enzim SGPT dapat ditentukan menggunakan metode kinetik reaksi enzimatik. Selain untuk menilai aktivitas enzim, reaksi kinetik enzimatik dapat pula digunakan untuk mengukur kadar substrat. Metode reaksi kinetik enzimatik yang digunakan sesuai dengan IFCC (International Federation Of Clinical Chemistry And Laboratory Medicine), terdiri dari 2 macam yaitu pertama disebut metode IFCC dengan penambahan reagen piridoksal fosfat yang biasa disebut metode "IFCC with PP" atau "substrate start", yang kedua adalah metode IFCC tanpa penambahan reagen piridoksal fosfat yang biasa disebut metode "IFCC without PP" atau "sample start". Aktivitas SGPT bergantung pada kofaktor yaitu piridoksal fosfat yang merupakan metabolit aktif dari vitamin B (piridoksal). Kekurangan vitamin B menyebabkan penurunan aktivitas SGPT (Ramaiah, 2007). Pemeriksaan berdasarkan reaksi kinetik enzimatik umumnya dipengaruhi oleh pH, suhu, waktu, dan jenis substrat. Pada metode reaksi kinetik enzimatik yang diukur adalah kecepatan enzim merombak substrat. Kecepatan reaksi ditentukan oleh kadar substrat dan aktivitas enzim. Bila aktivitas enzim berlebih, sedangkan substrat terbatas dapat terjadi "substrate depletion" dan akan diperoleh hasil 8 pengukuran yang rendah palsu. Sebaliknya bila substrat sangat berlebih sedangkan enzim terbatas dapat terjadi "substrate inhibition" dan akan diperoleh hasil pengukuran yang juga rendah palsu. Perlu diusahakan agar pembacaan dilakukan pada "zero order" yang artinya adalah pembacaan dilakukan pada saat seluruh enzim dan substrat telah bereaksi secara sempuma, dan ini bisa terjadi apabila pH, suhu, waktu, dan jenis substrat sesuai dengan yang dibutuhkan (Sardini, 2007). Pada kenaikan suhu sebesar 10ºC, aktivitas enzim akan naik sebesar dua kali lipat. Kenaikan suhu sebesar 1ºC, aktivitas enzim yang terukur sebesar 10%. Suhu harus dikontrol dengan ketat dan sebaiknya tidak boleh melebihi 0,05ºC dari suhu yang disarankan. Disarankan bahwa reaksi enzim sebaiknya dilakukan pada suhu 25 ºC, 30 ºC, dan 37 ºC (Richterich & Colombo, 1981). Dasar reaksi metode kinetik adalah mengukur perbedaan absorbansi antara dua titik selama periode waktu tertentu selama berlangsungnya reaksi. Biasanya, waktu reaksi singkat untuk menghindari bahaya degradasi enzim. Dalam prosedur metode kinetik, perbedaan absorbansi antara dua titik diambil selama tahap linear dari perkembangan tes dipertimbangkan, untuk menghasilkan ΔAbsorbansi (A). ΔAbsorbansi yang diperoleh akan dikalikan dengan faktor yang sesuai untuk perhitungan. ΔAbsorbansi, yang konsisten selama periode waktu, yang diambil untuk perhitungan. Metode kinetik ini diklasifikasikan menjadi dua yaitu Increasing Type dimana reaksi berlangsung ke arah yang positif dan absorbansi awal selalu lebih rendah dari absorbansi yang terakhir dan Decreasing Type, yang disebut juga sebagai tipe arah negatif, perbedaan antara titik terakhir dari absorbansi dan titik awal selama periode waktu tertentu selalu negatif (Anonim, 2013). 9 Untuk menentukan aktivitas GPT secara kuantitatif, plasma yang akan dianalisis direaksikan dengan kit reagen GPT yang terdiri dari dua macam reagen R1 (Tris, L-alanin, LDH) dan R2 (2-oksoglutarat, NADH). Tris pH 7,15 dalam R1 berfungsi sebagai buffer yang menjaga pH plasma selama reaksi pemeriksaan ini supaya menjaga kestabilan aktivitas GPT karena enzim sangat sensitif terhadap perubahan pH. L-alanin berfungsi sebagai asam amino yang akan diubah menjadi L-glutamat dengan memindahkan gugus amino (–NH2) ke 2-oksoglutarat yang dikatalisis oleh enzim GPT. LDH (Laktat Dehidrogenase) merupakan enzim yang akan mengkatalisis reaksi dari produk perubahan L-alanin yang dikatalis oleh GPT, yaitu piruvat, yang akan diubah menjadi laktat. NADH (Nicotinamide Adenine Nucleotide) digunakan sebagai substrat. Prinsip kerja enzim GPT adalah mengkatalisis secara reversibel transfer gugus amino dari L-alanin ke 2-oksoglutarat dalam larutan buffer menjadi piruvat dan Lglutamat sesuai persamaan (1) berikut ini : L-alanin + 2-oksoglutarat L-glutamat + piruvat (1) GPT Kemudian piruvat mengalami reduksi menjadi laktat dengan adanya LDH dan bersamaan dengan itu terjadi oksidasi NADH menjadi NAD+ dalam persamaan (2) berikut ini : Piruvat + NADH + H+ D - laktat + NAD+ LDH (2) 10 Konversi NADH menjadi NAD+ ini proporsional dengan aktivitas GPT pada sampel. Banyaknya NADH yang dioksidasi menjadi NAD+ sebanding dengan banyaknya enzim GPT. Pengukuran dilakukan pada panjang gelombang 340 nm (suhu 37ºC) karena merupakan serapan maksimal NADH. Hasil pengukuran berupa ΔAbsorbansi (A) yang nantinya akan digunakan dalam perhitungan untuk mengetahui aktivitas GPT plasma (U/L). Pembacaan absorbansi dilakukan pada menit ke-1, 2, dan 3 setelah pemberian reagen. Diperkirakan pada menit tersebut aktivitas enzim sedang berada pada puncaknya (Richterich & Colombo, 1981). Nilai normal aktivitas GPT pada manusia adalah 0 - 35 U/L (Isselbacher dkk., 1995). Sedangkan pada mencit, nilai normalnya adalah 26,40 - 60,70 U/L (Nurrochmad, 2013). 3. Metabolisme Obat Metabolisme obat biasanya dibagi menjadi dua fase yaitu fase 1 dan fase 2. Fase 1 reaksi diperkirakan untuk mempersiapkan obat untuk masuk ke fase 2. Namun, banyak senyawa dapat dimetabolisme oleh fase 2 secara langsung. Tahap 1 merupakan reaksi oksidasi, reduksi, hidrolisis, hidrasi, dan banyak reaksi kimia lainnya. Proses ini cenderung meningkatkan kelarutan obat dalam air dan dapat menghasilkan metabolit yang lebih aktif dan berpotensi beracun. Sebagian besar dari reaksi fase 2 berlangsung di sitosol dan melibatkan konjugasi dengan senyawa endogen melalui enzim transferase (Gordon & Skett, 2001). Sekelompok enzim yang terletak di membran dalam mitokondria atau retikulum endoplasma, yang 11 dikenal sebagai CYP450, memiliki peran paling penting dari metabolisme obat dalam hati (75% total metabolisme). Enzim CYP450 bukan merupakan senyawa tunggal, melainkan terdiri dari keluarga protein terkait erat 57 isoform pada manusia. Variasi genetik (polimorfisme) dalam metabolisme enzim CYP450 harus dipertimbangkan ketika pasien menunjukkan sensitivitas yang tidak biasa atau resistensi terhadap efek obat pada dosis normal. Polimorfisme juga bertanggung jawab untuk respon obat yang variabel antara pasien. Obat yang dapat menghambat enzim CYP450 disebut sebagai inhibitor. Inhibitor enzim menghambat aktivitas metabolik dari satu atau beberapa enzim CYP450. Di sisi lain, induser dapat meningkatkan aktivitas enzim CYP450 (Bibi, 2008). 4. Parasetamol Parasetamol adalah salah satu derivat anilin yang memiliki kerja analgesik dan anti piretik yang baik. Parasetamol murah, mudah diperoleh, rentang terapetiknya lebar, dan efektif dalam mengatasi demam dan nyeri. Pada saat mengalami luka, dinding sel akan rusak sehingga menghasilkan fosfolipid oleh enzim fosfolipase-A2, dimana fosfolipid ini akan diubah menjadi asam arakidonat yang berperan sebagai prekursor terbentuknya prostaglandin. Enzim COX-2 mengubah asam arakhidonat menjadi prostaglandin, Diana prostaglandin merupakan mediator nyeri. Parasetamol akan bekerja dengan menghambat pada enzim COX-2 (Hinz & Brune, 2011). Molecular Docking aksi parasetamol terhadap enzim COX menunjukkan bahwa parasetamol kuat 12 menghambat di COX-2 dengan nilai skor penambatan molekul (-165,9) dan lemah menghambat di COX-1 (-160,9) dan COX-3 (-149) (Qureshi dkk., 2011). Rekomendasi FDA untuk dosis maksimum mengkonsumsi parasetamol tidak lebih dari 4000 mg dalam jangka 24 jam bagi orang dewasa dan anak berusia di atas 12 tahun. Dosis yang direkomendasikan untuk parasetamol adalah 352–650 mg setiap 4-6 jam untuk dewasa dan 10-15 mg/kgBB (BB ≤ 50 kg) untuk anak-anak di bawah usia 12 tahun (Farrell, 2013). Pada dosis terapi, parasetamol tidak menyebabkan hepatotoksik. Ketoksikan terjadi ketika parasetamol dikonsumsi dalam jumlah yang besar disertai kondisi lain seperti puasa dan kekurangan glutation (Klaassen, 2001). FDA menyatakan bahwa konsumsi parasetamol 7,5 gram per hari atau konsumsi jangka panjang parasetamol dosis 500 mg akan menyebabkan efek samping yang dapat menyebabkan kerusakan pada hati (hepatotoksik). Pada dosis terapetik, lebih dari 90% parasetamol akan dimetabolisme menjadi glukoronida fenolik dan sulfat oleh glukoroniltransferase dan sulfotransferase dan lalu diekskresikan melalui urin. Sekitar 2% parasetamol diekskresikan melalui urin dalam bentuk utuh, sekitar 5-10% dimetabolisme oleh enzim CYP450, terutama isoenzim CYP2E1, menjadi N-asetil-p-Aminoquinon-Imina (NAPQI). NAPQI bersifat reaktif dan elektrofilik yang menyebabkan kerugian karena berikatan secara kovalen dengan protein intraseluler. Namun, reaksi NAPQI tersebut dicegah oleh glutation dan reaksi selanjutnya menghasilkan satu produk larut air yang diekskresikan ke empedu. Pada overdosis, glukoroniltransferase dan sulfotransferase sudah jenuh sehingga obat dialihkan untuk dimetabolisme oleh 13 CYP450 dan menghasilkan NAPQI dengan jumlah yang dapat menguras glutation (Chun, 2009). Berikut adalah skema untuk memperjelas metabolisme parasetamol: Gambar 5. Mekanisme metabolisme parasetamol (Anonim, 2014) NAPQI dapat mengalami resonansi pada atom-atomnya, dan resonansi ini menimbulkan muatan positif pada cincin benzen NAPQI. Atom karbon yang bermuatan positif (elektrofilik) tersebut dapat bereaksi dengan sel-sel hati yang bersifat nukleofilik sehingga sel-sel hati menjadi rusak secara irreversible (tidak dapat pulih kembali walaupun pemberian parasetamol dihentikan). O N O (Parasetamol) Gambar 6. Mekanisme pembentukan NAPQI (NAPQI) 14 Terjadinya ikatan kovalen antara NAPQI dengan sel hepar adalah pada posisi orto dari gugus fenol parasetamol seperti pada gambar di bawah ini: + Protein Cyt P450 + GSH Kematian sel S Protein Peroksida Lipid (Keseimbangan Ca terganggu) Gambar 7. Mekanisme NAPQI berikatan dengan hepatosit (Van de Straat, 1987) Agen untuk detoksifikasi NAPQI yaitu metionin, sisteamin, dan NAC (Nasetilsistein). Meskipun ketiganya mengurangi risiko kerusakan hati dalam percobaan acak, metionin, dan sisteamin menyebabkan efek lebih buruk pada gastrointestinal dan sistem saraf pusat bila dibandingkan dengan NAC. NAC sekarang diterima secara luas sebagai obat penawar paling potensial mengurangi risiko hepatotoksisitas. NAC bekerja dengan mengisi glutation, mengikat langsung ke NAPQI, dan meningkatkan konjugasi sulfat nontoksik dalam hepatosit. Angka kematian keseluruhan untuk overdosis parasetamol telah menurun dari setinggi 5 % menjadi 0,7 % dengan penggunaan NAC. Transplantasi hati adalah satu-satunya intervensi yang meningkatkan kelangsungan hidup bila ada kerusakan hati ireversibel yang menyebabkan Acute Liver Failure. NAC dapat mencegah gagal 15 hati pada pasien dengan overdosis parasetamol jika diberikan lebih awal. Ini sangat efektif dalam melindungi terhadap kerusakan hati yang parah, gagal ginjal, dan kematian jika diberikan dalam waktu 8-10 jam setelah kejadian dan dapat mengurangi keparahan kerusakan hati bahkan jika diberikan dalam waktu 16 jam setelah kejadian. Saat ini, dosis yang dianjurkan dari NAC adalah 140 mg / kg, diencerkan sampai 5 % secara oral, diikuti oleh 70 mg / kg secara oral setiap 4 jam selama 17 dosis. Untuk pasien yang tidak dapat menelan, rute intravena dapat digunakan, dengan loading dose 150 mg / kg dalam 5 % dekstrosa lebih dari 15 menit dan dosis pemeliharaan 50 mg / kg lebih dari 4 jam diikuti oleh 100 mg / kg selama 16 jam (Brok dkk., 2006). Pasien dapat diberikan NAC setelah minimal 4 jam mengalami overdosis parasetamol, bukan setelah muncul gejala overdosis. Berikut ini merupakan nomogram Rumack/Matthew yang menjelaskan tentang waktu yang tepat untuk mendapatkan pengobatan dengan NAC : 16 Gambar 8. Nomogram Rumack-Matthew parasetamol (Rumack & Matthew, 1975) Cara penggunaan nomogram ini cukup dengan mengeplotkan waktu setelah konsumsi (sumbu x) dengan kadar parasetamol dalam darah pada waktu tersebut (sumbu y). Kemudian dicari titik pertemuan keduanya. Apabila titik tersebut berada di bawah kedua garis (risk factor atau low risk) maka tidak perlu diberikan NAC karena kemungkinan hepatotoksik rendah, tetapi jika di atas kedua garis (probable risk) maka perlu diberikan NAC. Sedangkan jika berada di antara kedua garis (possible risk) tetap diberikan NAC karena kemungkinan terjadinya hepatotoksik (Dawson, 2013). 17 5. Senyawa MH2011 Senyawa MH2011 merupakan salah satu modifikasi parasetamol. yaitu dengan menggantikan gugus alkil (CH3) parasetamol yang terikat pada C karbonil dengan gugus lain sehingga terbentuklah senyawa MH2011, seperti yang terlihat pada gambar 1 dan 2 berikut: Gambar 9. Struktur parasetamol Gambar 10. Struktur senyawa MH2011 Gambar 11. Serbuk senyawa MH2011 Senyawa MH2011 atau (1-(4-hydroxynaphthalen-1-yl)-3-(4-hydroxyphenyl) urea, suatu senyawa berbahan dasar urea dikombinasikan dengan naftol dan paraaminofenol sebagai starting material. Senyawa MH2011 berwarna hitam mengkilap seperti yang terlihat pada Gambar 11, tidak berbau dan berasa pahit dengan berat molekul (BM) yaitu 294. Jika dibandingkan dengan parasetamol, 18 senyawa MH2011 bersifat lebih nonpolar. Hal ini bisa dilihat dari nilai koefisien partisi (log P) dari kedua senyawa tersebut. Log P dari MH2011 yaitu 2,73 nilainya lebih besar jika dibandingkan dengan log P parasetamol yaitu sebesar 0,28. Semakin besar nilai koefisien partisi (log P) suatu senyawa, maka semakin bersifat nonpolar senyawa tersebut sehingga semakin mudah untuk menembus membran dan prosentase obat yang diserap juga akan semakin besar (Susilowati & Handayani, 2006). Senyawa MH2011 mempunyai efek analgetik yang lebih poten dibanding parasetamol dan hal ini dapat dilihat dari nilai ED 50, yaitu MH2011 sebesar 10,98 mg/kgBB dan parasetamol 21,26 mg/kgBB yang didapat dari uji analgetik dengan metode geliat (Writhing Test) (Sofiana, 2013). 6. Molecular Docking Molecular docking (penambatan molekul) merupakan suatu metode untuk memprediksikan ikatan ligand dengan reseptor (Alvarez dkk., 2005). Penentuan aktivitas suatu ligand didasarkan pada skor penambatan molekul. Penurunan skor diindikasikan sebagai kestabilan ikatan ligand dengan reseptor, semakin kecil skor yang dihasilkan maka akan semakin stabil ikatannya sehingga dapat diprediksi semakin poten senyawa tersebut. Senyawa MH2011 sudah terdaftar di Ditjen HAKI pada tahun 2012 dengan nomor permohonan paten P00201200964 dan dengan inventor Drs. Hari Purnomo, M.S., Apt. 19 Molecular docking merupakan ilmu yang dapat mempresentasikan struktur molekul secara numerik dan dapat mensimulasi aksi molekul tersebut dengan persamaan-persamaan (Siswandono dan Soekardjo, 1995). Molecular docking merupakan proses komputasi dalam menemukan sebuah ligand yang kompatibel secara geometri dan energi dalam menempati binding site suatu protein. Program yang menyediakan aplikasi ini diantaranya adalah MOE, PLANTS, Autodock, Dock, Gold dan Argus Lab. Parameter kuat interaksi suatu ligan dan reseptor dinyatakan dalam nilai skor. Prinsip skor penambatan molekul yaitu melakukan identifikasi posisi ikatan yang tepat dengan mengkalkulasikan energi terendah. Semakin kecil skor yang dihasilkan, berarti semakin kuat interaksi yang terjadi antara ligand dan reseptor (Purnomo, 2009). Secara singkat, perhitungan tersebut dirangkum dengan rumus : ∆G bin = ∆G vdw + ∆G ikatan H + ∆G ikatan H chg + ∆G hidrofobik + ∆G deformasi 7. Hepatotoksisitas Sejumlah enzim dalam serum telah digunakan untuk membedakan dan menilai cedera hepatoseluler dan disfungsi atau obstruksi saluran empedu (Isselbacher dkk., 1995). Dua macam enzim yang sering dihubungkan dengan kerusakan sel hati termasuk golongan aminotransferase, yakni enzim-enzim yang mengkatalisis pemindahan gugusan amino secara irreversibel antara asam amino dan asam alfa 20 keto. Glutamat Oksaloasetat Transaminase (GOT) mengerjakan reaksi antara asam aspartat dan asam α-ketoglutarat, sedangkan Glutamat Piruvat Transaminase (GPT) menyelenggarakan reaksi antara alanin dengan asam α-ketoglutarat (Widmann, 1989). Kenaikan jumlah SGPT (Serum Glutamate Piruvat Transaminase) dan SGOT (Serum Glutamate Oksaloasetat Transaminase) biasanya menandakan adanya kelainan atau kerusakan hepar seperti nekrosis, sirosis, dan neoplasma. Jika ada sel hepar yang rusak maka kedua enzim tersebut akan dikeluarkan dari sel dan masuk darah sehingga kadarnya dalam darah meningkat (Widmann, 1989). Arteri hepatika a Saluran Vena empedu portal Terminal vena hepatika Saluran empedu Kanal hering Vena Sentral Arteriola Jalur Portal Parenkim Gambar 12. Pembagian zona pada lobus hati (Haschek dkk., 2010) Pada hati terdapat lobus yang dibagi menjadi tiga zona yaitu periportal (zona 1), midzonal (zona 2), dan centrilobular (zona 3). Pada zona 1 merupakan zona yang paling dekat dengan masuknya darah, zona 2 merupakan intermediet, dan zona 3 berbatasan dengan vena hepatika. Zona 1 mempunyai konsentrasi oksigen 9-13% 21 dibandingkan dengan zona 3 yang hanya 4-5% karena itu hepatosit pada zona 3 rentan mengalami kerusakan iskemik dikarenakan konsentrasi oksigen yang rendah. Begitu pula dengan garam empedu. Uptake garam empedu lebih banyak dilakukan di zona 1 sehingga ketika darah melewati zona 3 konsentrasi garam empedunya lebih sedikit. Hepatosit pada zona 1 kaya akan mitokondria yang berperan dalam oksidasi asam lemak, glukoneogenesis, dan detoksifikasi amonia menjadi urea. Selain itu, zona 1 juga tinggi akan glutation. Sedangkan pada zona 3 banyak terdapat enzim CYP450, terutama isoenzim CYP2E1 yang diinduksi oleh etanol (Klaasen, 2001). Nekrosis pada hati dibagi menjadi 3 yaitu zonal, masif, dan difus (fokal). Untuk zonal nekrosis dibagi lagi menjadi 3 bagian menurut lokasinya yaitu sentrilobuler nekrosis, midzonal nekrosis, dan periportal nekrosis (Klaasen, 2001). Zona-zona nekrosis ini berhubungan dengan mekanisme luka pada beberapa senyawa toksik (Zimmerman, 1978). Sentrilobuler nekrosis biasanya disertai dengan luka pada vena hepatika atau venula yang menyebabkan adanya komponen hemoragik pada nekrosis (Zimmerman, 1978). Pada zona sentrilobuler banyak terdapat enzim pemetabolisme obat sehingga metabolit reaktif cenderung terbentuk di zona sentrilobuler dan merusak jaringan dengan membentuk ikatan kovalen secara langsung dengan organel vital atau secara tidak langsung dengan meningkatkan lipid peroksidase dari membran asam lemak tak jenuh (Greaves, 2007). Ciri yang terdapat pada nekrosis sentrilobuler yaitu sitoplasma mengalami hipereosinofilik dimana warnanya menjadi lebih tajam dinding sitoplasma normal, inti sel 22 mengalami lisis tetapi tidak piknosis, dan dapat disertai dengan inflamasi (Thoolen dkk., 2010). Sedangkan nekrosis midzonal tidak terlalu terkenal dikarenakan areanya yang sangat tipis dan hepatositnya yang sangat bervariasi dalam hal kapasitas metabolisme dan konsentrasi oksigen. Ciri-cirinya yaitu hepatosit terlihat seperti pita yang membengkak dan hipereosinofilik, inti sel mengalami lisis, dan terdapat 2-3 hepatosit yang mengalami penebalan ditengah-tengah lobus (Thoolen dkk., 2010). Nekrosis periportal lebih sedikit terjadi dibandingkan nekrosis sentrilobuler. Zona periportal merupakan zona yang pertama kali terpapar senyawa toksik karena aliran darah pertama kali melewati zona periportal. Hepatosit pada zona periportal menerima dosis senyawa toksin yang lebih besar. Namun, paparan senyawa toksik ini masih berupa senyawa utuh yang belum mengalami biotransformasi menjadi metabolit yang kemungkinan lebih toksik dibandingkan senyawa utuhnya. Akan tetapi, pada beberapa kasus lainnya toksisitas yang terjadi pada zona periportal ini justru dikarenakan daerah metabolisme, termasuk konsentrasi oksigen yang lebih besar dibandingkan zona sentrilobuler. Perbaikan nekrosis periportal terjadi sangat cepat. Pada hewan pengerat, terdapat sel oval satu minggu setelah terjadi nekrosis akut. Penambahan jumlah sel oval dihambat ketika regenerasi hepatosit lengkap atau paling tidak separuh proses. Ciri-ciri nekrosis periportal ini yaitu hepatosit membengkak dan hipereosinofilik, inti sel mengalami lisis, dan disertai adanya inflamasi periportal (Thoolen dkk., 2010). Nekrosis masif, cirinya adalah terjadinya nekrosis pada seluruh lobus hepar dimulai dari vena sentral hingga ke daerah portal dan seringnya mempengaruhi keseluruhan lobus yang ada di hepar. Lobus yang terkena nekrosis masif tidak dapat 23 melakukan regenerasi hepatosit dikarenakan kerusakan yang menyeluruh pada lobus. Pada fase awal nekrosis masif, area hepar yang terserang akan berwarna lebih pucat dan sedikit bengkak. Beberapa hari kemudian, letak daerah yang terserang akan lebih radah dibanding jaringan yang berdekatan. Jika seluruh hepar terserang, maka hepar akan menjadi lebih kecil dan lembek. Regenerasi hepatosit dilakukan oleh area hepar yang tidak terkena nekrosis. Meskipun begitu, setelah perbaikan selesai ukuran dan bentuk hepar tidak akan normal. Nekrosis masif ini terjadi ketika hepar terpapar senyawa hepatotoksik dengan dosis yang amat tinggi atau karena reaksi idiosinkratik (Haschek dkk., 2010). Terakhir, nekrosis fokal yang banyak terjadi pada hewan pengerat disertai dengan inflamasi maupun tidak. Nekrosis fokal terjadi hanya pada 3-4 hepatosit atau kurang dari diameter 1mm, tetapi pada perkembangan nekrosis ini hepatosit yang terkena bisa lebih luas. Hepatosit terlihat berwarna lebih pucat daripada hepatosit normal. Kemungkinan penyebab terjadinya nekrosis fokal karena bakteri atau virus hepatitis dimana respons imun dan pelepasan sitokin inflamasi secara lokal terlibat (Greaves, 2007). Untuk senyawa-senyawa yang dapat menyebabkan kerusakan hepatosit, bukti adanya kerusakan dapat dilihat ≤48 jam setelah perlakuan (Maronpot dkk., 2010). Pada kejadian hepatotoksik karena parasetamol, ikatan kovalen antara NAPQI dengan protein hati merupakan mekanisme yang sudah diterima secara luas (Klaassen, 2001). Parasetamol dimetabolisme oleh enzim CYP450, terutama isoenzim CYP2E1, menjadi N-asetil-p-Aminoquinon-Imina (NAPQI). NAPQI 24 bersifat reaktif dan elektrofilik yang menyebabkan kerugian karena berikatan secara kovalen dengan protein intraseluler. Jika kebutuhan glutation tidak dipenuhi maka NAPQI akan mulai terakumulasi di hepatosit. NAPQI dapat berikatan kovalen dengan protein seluler dan memodifikasi struktur dan fungsi mereka. Kerusakan seluler ini menyebabkan penurunan aktivitas kalsium ATPase dan meningkatkan kalsium sitosol. Abnormal homeostasis kalsium seluler dapat merubah permeabilitas membran sel, menyebabkan pembentukan tonjolan yang tidak normal pada membran sel dan hilangnya integritas sel. Bukti juga menunjukkan overdosis parasetamol menyebabkan adanya disfungsi mitokondria baik karena ikatan kovalen pada protein mitokondria atau karena mekanisme lainnya. Protein mitokondria yang dimodifikasi NAPQI dan tingginya kadar kalsium sitosol dapat menekan respirasi mitokondria dan sintesis ATP, dan menginduksi stres oksidan mitokondria dengan meningkatkan produksi peroksinitrit, poten oksidan, dan agen nitrat. Peroksinitrit dapat menghasilkan ikatan kovalen tambahan pada protein seluler sehingga menyebabkan disfungsi mitokondria lebih lanjut. Pada akhirnya, perubahan permeabilitas membran menyebabkan rusaknya membran mitokondria, gangguan sintesis ATP, pelepasan protein mitokondria ke dalam sitoplasma sel, dan nekrosis onkotik hepatosit. Sistem imun pada hati juga terbukti memainkan peran penting dalam perkembangan kerusakan hati karena parasetamol. Sel endotel dalam sinusoid tidak memiliki membran basal, yang memungkinkan kesiapan akses sel imun dari aliran darah ke dasar hepatosit. Sel yang mati karena metabolit toksik parasetamol mengaktifkan sel Kuppfer (makrofag fagosit di hepar) untuk melepaskan sitokin, termasuk interleukin-12, interleukin-18, dan faktor α tumor 25 nekrosis yang mengaktifkan natural killer (NK) dan limfosit T. Aktivasi NK dan limfosit T dapat menyebabkan kerusakan hepar karena aktivitas sitotoksik, peningkatan aktivasi sel Kuppfer, dan stimulasi produksi lokal dari kemokin. Mediator inflamasi, sitokin, dan kemokin, mengambil dan mengumpulkan neutrofil dalam hati dan memperburuk cedera hati (Chun, 2009). Parasetamol biasanya menyebabkan nekrosis pada zona sentrilobuler. Hal ini dikarenakan pada zona sentrilobuler banyak terdapat enzim CYP450, utamanya CYP2E1, yang memetabolisme parasetamol menjadi NAPQI, serta zona ini hanya terdapat sedikit glutation dibanding zona periportal. Zona sentrilobuler ini juga hanya terdapat sedikit oksigen. E. LANDASAN TEORI Senyawa MH2011 merupakan salah satu modifikasi parasetamol yaitu dengan menggantikan gugus alkil (CH3) parasetamol yang terikat pada C karbonil dengan gugus 4-hidroksi naftalena-1-aminida yang terikat pada aminonaftol. Dengan adanya gugus 4-hidroksi naftalena-1-aminida dapat menurunkan muatan positif pada posisi orto sehingga dapat menurunkan efek hepatotoksik, bahkan jika mungkin menghilangkannya. Parasetamol mempunyai efek samping hepatotoksik. Hepatotoksik tersebut terjadi disebabkan oleh metabolit dari parasetamol yaitu NAPQI (N-acetyl-Pbenzoquinoneimine). Cincin inti benzen dari NAPQI bersifat elektrofilik, sedangkan sel-sel hati bersifat nukleofilik, sehingga sel-sel hati tersebut akan 26 berikatan dengan muatan positif NAPQI pada posisi orto dan terjadilah hepatotoksik (Bessems dkk., 2001). Senyawa MH2011 diprediksi mempunyai efek samping hepatotoksik yang lebih rendah dibandingkan parasetamol, hal ini disebabkan karena senyawa MH2011 disusun oleh banyak struktur benzen dibandingkan parasetamol, sehingga dapat membantu mengurangi muatan positif NAPQI pada posisi orto. Dengan kata lain, NAPQI yang dihasilkan oleh MH2011 sifat elektrofiliknya lebih rendah dibandingkan parasetamol, sehingga ikatan antara NAPQI dengan sel-sel hepar juga akan semakin rendah. Secara teori dapat dikatakan bahwa efek hepatotoksik MH2011 lebih rendah dibandingkan parasetamol. Semakin elektrofilik muatan pada posisi orto maka akan meningkatkan hepatotoksisitas dari senyawa modifikasi parasetamol karena atom karbon yang bermuatan positif tersebut dapat bereaksi dengan sel-sel hati yang bersifat nukleofilik sehingga sel-sel hati menjadi rusak secara irreversibel (tidak dapat pulih kembali). Dari hasil perhitungan komputasi muatan atom secara semi empirik dengan metode AM1 maka dapat diketahui bahwa senyawa MH2011 memiliki efek samping hepatotoksik yang lebih rendah dibandingkan parasetamol sehingga dapat dikatakan bahwa dalam penggunaannya MH2011 lebih aman dibandingkan parasetamol. 27 F. HIPOTESIS MH2011 merupakan salah satu modifikasi parasetamol yang mempunyai efek hepatotoksik yang lebih rendah secara in vivo jika dibandingkan parasetamol pada mencit jantan galur Balb/c.