WACANA PEMBAHARUAN HUKUM Pluralisme Hukum: Hak Asasi M Hukum dalam sejarah politik merupakan istilah yang per definisi dimonopoli oleh bingkai negara bangsa. Karena itu, ketika merumuskan apa dan di mana beradanya hukum, jawaban politik selalu menunjuk negara sebagai tempatnya. Tetapi bagaimana jika hukum diperiksa dalam tataran empirik? Konferensi Pluralisme Hukum Internasional ke-15 yang berlangsung di Fakultas Hukum, Universitas Indonesia sejak 29 Juni-2 Juli 2006 memberi banyak jawaban. Bernad Steny Program Officer Critical Perspective on Law, HuMa 46 FORUM KEADILAN: N0. 12, 16 JULI 2006 Pluralisme Sosial dan Pabrik Hukum Salah satu pemikiran penting dalam pluralisme hukum adalah bahwa hukum lahir dari kemajemukan sosial. Hukum tidak hanya state order yang diproduksi oleh negara tetapi juga social order yang dihasilkan oleh masyarakat dalam hubungan sosial. Kenyataan memang menunjukkan bahwa sebagian besar bentangan hidup seseorang berada di antara sekian banyak jenis pengaturan, entah aturan agama, aturan keluarga, aturan pembagian lahan parkir, maupun aturan sekolah yang semuanya tidak semata-mata dihasilkan negara sebagai organisasi kekuasaan terbesar tetapi muncul dari institusi setempat (lokal) atau bahkan individu yang saling berhubungan satu sama lain. Dalam hal ini, peraturan-peraturan yang disebut dengan social order tersebut dalam banyak hal justru telah mengambil peran sentral untuk membuat tatanan yang semrawut menjadi lebih teratur. Artinya, dari segi fungsi aturan-aturan tersebut memiliki peran yang sama dengan aturan negara. Namun demikian, masing-masing aturan sosial merupakan produk yang dihasilkan dari hubungan sosial baik di dalam masyarakat itu sendiri maupun dengan kelompok lain. Karena itu, aturan-aturan tersebut boleh jadi tumpang tindih, saling mempengaruhi, saling berhubungan, saling mendukung satu sama lain. Pada titik itu, kuasa sebuah aturan menjadi relatif. Bisa jadi, dalam sebuah komunitas nelayan atau masyarakat adat, negara sangat dominan dalam ketentuan pidana, tetapi sangat lemah dalam hukum perkawinan. Demikian sebaliknya, hukum masyarakat adat mungkin sangat lemah dalam urusan administrasi tetapi sangat kuat dalam hubungan dengan tanah. Karena itu, poin terpentingnya adalah tidak ada klaim pengaturan yang sungguh-sungguh absolut atas semua jenis hubungan sosial. Absolutisme hukum tertentu pada semua level kehidupan merupakan penyangkalan secara langsung atas realitas plural yang terjadi di lapangan. Sementara, bila kita mencermati lebih jauh, apa yang terjadi dalam pengalaman empirik seringkali terlepas dari prediksi dan harapan di atas kertas. Pengalaman tersebut nampak dalam berbagai negosiasi antara polisi dan pelaku kejahatan atau pelanggaran, antara jaksa, hakim dan koruptor. Di sana hukum negara menjadi arena negosiasi dimana kepastian telah menjadi ketidakpastian ganda. Untuk itu, negara berdasarkan hukum (rule of law) perlu dikritisi lagi lewat banyak pertanyaan: hukum yang mana, lembaga mana dan bahkan dalam kasus apa rule of law sungguh-sungguh diterapkan. Artinya, tidak semua kasus bisa diselesaikan dengan tuntas dan sempurna hanya oleh hukum negara karena hukum lain pun telah berperan sangat efektif dalam menyelesaikan banyak kasus dalam kehidupan bermasyarakat. Hak-Hak Asasi Manusia dan Localized Namun demikian, pertanyaan penting terhadap pluralisme hukum adalah di mana posisi nilai-nilai HAM yang sifatnya universal dalam aturan-aturan lokal yang dipercaya memiliki cara pengaturan sendiri-sendiri. Di sini ada kecemasan bahwa memberikan pembenaran ilmiah atas pemberlakuan hukum lokal, sekaligus pada kesempatan yang sama boleh mengingkari hak-hak asasi manusia yang sifatnya universal. Kerjasama Forum Keadilan dan HuMa Manusia & Localism Pemikiran pluralisme hukum dalam hal tertentu memang sarat dengan relativisme tetapi dalam hal lain relativisme itu merupakan universalisme di dalam dirinya sendiri. Misalnya, konsep free and prior informed consent (FPIC – persetujuan bebas tanpa paksa) yang terdapat dalam Convention on Biological Diversity juga terdapat dalam komunitas-komunitas adat (lokal). Dalam suatu komunitas misalnya, pemanfaatan terhadap sumber daya alam di dalam wilayah adatnya harus didahului oleh ritual memohon restu yang Illahi. Demikian halnya jika mereka bergerak ke luar dari komunitasnya, sejumlah proses untuk meminta ijin dari komunitas tetangga dilakukan agar tidak terjadi konflik. Artinya, prinsip-prinsip hubungan yang didasari oleh penghargaan atas hak komunitas lain yang sangat kuat terdapat dalam FPIC juga terpatri secara mendalam dalam beberapa komunitas lokal (adat). Tulisan ini tidak hendak menyatakan bahwa universalisme HAM dengan sendirinya terdapat dalam nilai-nilai lokal, tetapi bahwa nilai-nilai lokal pun bisa menjadi universal karena kesamaan pandangan antarkomunitas manusia. Di sisi lain, pertanyaan-pertanyaan kritis tentang politik universalisme HAM perlu disampaikan karena peta politik internasional menunjukkan bahwa atas nama HAM yang sama, George Bush telah membombardir Irak dan Afganistan dengan mengorbankan jutaan nyawa penduduk sipil. Dengan demikian, kritisisme terhadap HAM menjadi salah satu poin untuk menunjukkan bahwa sesuatu yang kelihatannya ideal selalu dilokalisasikan secara berbeda oleh masing-masing pihak tergantung pada tujuan apa nilai-nilai ideal itu diarahkan. Indonesia pun telah meratifikasi sekian banyak konvensi dan perjanjian HAM Internasional, tetapi penegakkan HAM belum seefektif seperti harapan banyak hukum Internasional tersebut. Selain itu, kasus pelanggaran HAM tidak kurang-kurang dari hari ke hari. Bahkan, di beberapa daerah sejumlah produk hukum dengan mengacu pada tata nilai mayoritas tertentu dikeluarkan atas nama HAM. Dalam hal ini, konteks lokal Indonesia telah menerjemahkan HAM yang universal untuk kepentingan dan tujuan berbeda. Karena itu, Prof. Dr. Gordon Woodman yang hadir dalam konferensi ini mengusulkan dipakainya istilah universal standard yang sifatnya lebih persuasive sebagai pengganti istilah universal human rights yang cenderung menjadi normatif sehingga dalam banyak kesempatan telah menjadi alat paksaan negaranegara adidaya seperti Amerika untuk mengontrol dan menguatkan dominasinya atas negara-negara lain. Namun, sebagus apapun usulan tersebut, bahaya sebuah konsep harus diperiksa dalam hubungannya dengan keberlanjutan hidup manusia (sustain of human beings). Bahaya itu muncul di dalam Kerjasama Forum Keadilan dan HuMa diri konsep itu sendiri tetapi juga seringkali hadir pada level operasionalisasi. Di sana segala pembenaran dan tujuan individu atau kelompok bisa tertampung secara efektif. Karena itu, pelokalan nilai-nilai universal mengandung keuntungan sekaligus kerugian di dalam dirinya sendiri. Istilah keberlanjutan hidup manusia sendiri juga boleh jadi licin seliat belut karena selalu dihubungkan dengan HAM yang sudah ditafsirkan ke dalam berbagai tujuan. Pikiran aplikatif dari kritik terhadap universalisme HAM adalah bahwa tuntutan komunitas lokal seperti masyarakat adat, petani, nelayan yang berhubungan dengan sumber daya alam harus ditempatkan pada pelokalan nilai-nilai HAM universal. Di sana hak untuk hidup, terus-menerus diperjuangkan dan harus diperhitungkan sebagai perwujudan interpretasi HAM terhadap sustain of human beings di Indonesia. Pengabaian terhadap perjuangan tersebut menguliti dirinya sendiri untuk menunjukkan HAM seperti apa yang sedang bergulat dalam konteks lokal di Indonesia. Peran Negara Pluralisme hukum tidak pernah menghakimi hukum negara sebagai hukum yang buruk, atau sebuah konsep pembangkangan terhadap hukum negara. Karena itu, anggapan bahwa pluralisme hukum membahayakan legitimasi hukum negara merupakan kritik yang salah arah. Pluralisme hukum adalah alat untuk memberikan gambaran secara obyektif terhadap negara tentang lapangan sosial yang lebih plural, lebih dari kesederhanaan pasal-pasal hukum yang telah didesain untuk menjawab persoalan-persoalan sosial. Sesuatu yang perlu ditindaklanjuti dari konsep ini adalah mengintegrasikan pluralisme hukum yang dipotret dengan sangat dalam oleh konsep ini dalam ruangruang kebijakan, sehingga wilayah sosial yang beragam tidak merasa diabaikan atau bahkan secara sengaja dikucilkan oleh kebijakan. Di sana sesungguhnya peran negara, membuat pluralisme hukum menjadi hidup dalam berbagai kebijakannya. Dalam banyak kasus, hukum adat atau lokal telah menghadirkan identitas suatu komunitas, sehingga keberadaannya adalah darah dan daging komunitas tersebut. Karena itu, penyangkalan atas berbagai jenis pengaturan yang telah ditetapkan oleh hukum adat tersebut, sekaligus merupakan penghilangan atas identitas lokal mereka. Jika negara tidak menegosiasikan kepentingannya sendiri dengan mempertimbangkan eksistensi hukum lokal itu dalam mata kebijakan mereka, maka kita bisa memprediksikan terjadinya konflik yang akan melibatkan seluruh energi komunitas tersebut. Proses menuju konflik bahkan konfliknya sendiri sudah dan sedang meletup secara parsial dan mulai membesar di beberapa wilayah di Indonesia. ❏ FORUM KEADILAN: N0. 12, 16 JULI 2006 47