BAB 1- BAB 4

advertisement
BAB 2
GEOLOGI DERAH PENELITIAN
2.1 Geologi Regional
2.1.1 Fisiografis Regional Cekungan Sumatra Tengah
Secara fisiografis (Gambar 2.1.), Cekungan Sumatra Tengah berada diantara
Cekungan Sumatra Utara dan Cekungan Sumatra Selatan. Dibatasi oleh Dataran Tinggi
Asahan pada bagian utara dan baratlaut, Tinggian Tiga Puluh pada bagian tenggara, Paparan
Sunda di sebelah timur, dan Bukit Barisan pada bagian barat dan baratdaya (Heidrick dan
Aulia, 1993).
Gambar 2.1. Fisiografi Cekungan Sumatra Tengah (Heidrick dan Aulia, 1993).
10
2.1.2 Struktur Geologi Regional Cekungan Sumatra Tengah
Cekungan Sumatra Tengah terbentuk oleh karena adanya penunjaman secara miring
(oblique subduction) lempeng Samudra Hindia ke bawah lempeng Benua Asia. Penunjaman
ini mengakibatkan terjadinya gaya tarikan pada Cekungan Sumatra Tengah yang merupakan
cekungan belakang busur (Eubank dan Makki, 1981). Gaya tarikan ini menyebabkan
terbentuknya beberapa block faulting yang membentuk graben, half graben dan horst
(Mertosono dan Nayoan, 1981).
Selain itu, pada Cekungan Sumatra Tengah ini terdapat pula gaya kompresi yang
dihasilkan oleh suatu sistem sesar geser dekstral sebagai akibat dari oblique subduction di
bagian barat daya Pulau Sumatra. Pola struktur utama pada Cekungan Sumatra Tengah dapat
dikelompokkan menjadi 2 (dua) bagian, yaitu pola utara – selatan untuk struktur – struktur
yang tua dan pola barat laut – tenggara untuk struktur – struktur yang lebih muda (Mertosono
dan Nayoan, 1974). Menurut Eubank dan Makki (1981) terdapat sesar – sesar berarah utara –
selatan yang berumur paleogen yang teraktifkan kembali selama fase kompresi pada kala
Pliosen – Pleistosen.
Struktur pada Cekungan Sumatra Tengah terbentuk dari beberapa fase yang berbeda,
mulai dari kurun Mesozoikum sampai akhir zaman Tersier. Pada kurun Mesozoikum Tengah
terjadi deformasi yang menyebabkan batuan Paleozoikum termetamorfosakan, terpatahkan,
terlipatkan dan disertai intrusi granit. Pada Kapur Akhir hingga Tersier Awal terbentuk
struktur akibat gaya tarik dan menghasilkan graben – graben berarah relatif utara – selatan
(De Coster, 1974 dalam Heidrick dan Aulia 1993). Heidrick dan Aulia membahas secara
lebih rinci perkembangan struktur di Cekungan Sumatra Tengah dengan membagi sesar dan
lipatan yang ada menjadi 4 (empat) episode pembentukan, yaitu F0, F1, F2, dan F3. F0
terbentuk sebelum zaman Tersier (Gambar 2.2.). Berikut ini adalah gambaran perkembangan
tektonik pada Cekungan Sumatra Tengah.
11
Gambar 2.2. Perkembangan Tektonik Tersier Cekungan Sumatra Tengah (Heidrick dan Aulia, 1993).
a. Episode F0 (Pra-Tersier)
Batuan dasar Pra-Tersier di Cekungan Sumatra Tengah terdiri dari lempeng –
lempeng benua dan samudera yang berbentuk mozaik. Orientasi struktur pada batuan dasar
memberikan efek pada lapisan sedimen Tersier yang terletak diatasnya dan kemudian
mengontrol arah tarikan dan pengaktifan ulang yang terjadi setelah itu. Pola struktur tersebut
disebut sebagai elemen struktur F0.
b. Episode F1 (26 Ma – 50 Ma)
Episode F1 terjadi pada kala Eosen – Oligosen yang disebut juga rift phase.
Pada episode ini terjadi deformasi akibat dari rifting dengan arah strike timur laut, diikuti
oleh reaktifisasi struktur – struktur tua. Akibat terjadi tumbukan Lempeng Samudera Hindia
terhadap Lempeng Benua Asia pada 45 Ma terbentuklah suatu sistem rekahan transtensional
12
yang memanjang ke arah selatan dari Cina bagian selatan ke Thailand dan Malaysia hingga
Sumatra dan Kalimantan Selatan (Heidrick dan Aulia, 1993).Perekahan inilah yang
membentuk serangkaian horst dan graben di Cekungan Sumatra Tengah. Horst dan graben ini
kemudian menjadi danau tempat diendapkannya sedimen Kelompok Pematang. Pada akhir
F1 terjadi peralihan dari perekahan menjadi penurunan cekungan ditandai oleh pembalikan
struktur yang lemah, denudasi dan pembentukan daratan peneplain.
c. Episode F2 (13 Ma – 26 Ma)
Episode F2 terjadi pada kala Miosen Awal – Miosen Tengah. Pada kala
Miosen Awal terjadi fase amblesan (sag phase), diikuti oleh pembentukan dextral wrench
fault secara regional dan pembentukan zona rekahan transtensional. Pada struktur tua yang
berarah utara – selatan terjadi pelepasan energi, sehingga terbentuk sesar listrik, sesar normal,
graben, dan half graben. Struktur yang terbentuk berarah relatif barat laut – tenggara. Pada
episode F2 ini, Cekungan Sumatra Tengah mengalami transgresi dan sedimen – sedimen dari
Kelompok Sihapas diendapkan.
d. Episode F3 (13 Ma – Recent)
Episode F3 terjadi pada kala Miosen Tengah – Resen disebut juga Barisan
Compressional Phase. Pada episode ini terjadi pembalikan struktur akibat gaya kompresi
yang menghasilkan reverse dan thrust fault di sepanjang jalur wrench fault yang terbentuk
sebelumnya. Proses kompresi ini terjadi bersamaan dengan pembentukan dextral wrench fault
di sepanjang Bukit Barisan. Struktur – struktur yang terbentuk umumnya berarah barat laut –
tenggara. Pada Episode F3 ini pula Cekungan Sumatra Tengah mengalami regresi dan
sedimen – sedimen Fornasi Petani diendapkan, diikuti pengendapan sedimen – sedimen
Formasi Minas secara tidak selaras.
13
Gambar 2.3. Perkembangan tektonik Cekungan Sumatra Tengah pada fase F2 dan F3 (Heidrick dan
Turlington, 1994).
Sejarah tektonik Cekungan Sumatra Tengah secara umum dapat disimpulkan menjadi
beberapa tahap, yaitu:
a. Terjadi konsolidasi basement pada zaman Yura, terdiri dari struktur yang
berarah baratlaut – tenggara
b. Basement terkena aktivitas magmatisme dan erosi selama zaman Yura
akhir dan zaman Kapur
c. Terjadi tektonik ekstensional selama Tersier Awal dan Tersier Tengah
(Paleogen) menghasilkan sistem graben berarah utara – selatan dan
baratlaut – tenggara. Berkaitan dengan paleogeomorfologi Cekungan
Sumatra Tengah yaitu perubahan lingkungan pengendapan dari lingkungan
14
darat rawa, hingga lingkungan lakustrin, dan ditutup oleh kondisi
lingkungan fluvial – delta pada akhir fase rifting.
d. Selama deposisi berlangsung saat Oligosen Akhir hingga Miosen Awal
yang mengendapkan batuan reservoir utama dari Kelompok Sihapas,
tektonik Sumatra relatif tenang. Sedimen klastik diendapkan yang berasal
dari daratan Sunda dan dari arah timurlaut meliputi Semenanjung Malaya.
Proses akumulasi sedimen dari arah timur laut Pulau Sumatra menuju
cekungan didukung oleh struktur – struktur yang berarah utara-selatan.
Kondisi sedimentasi pada pertengahan Tersier ini lebih dipengaruhi oleh
fluktuasi muka air laut global (eustasi) yang menghasilkan episode
sedimentasi transgresif dari kelompok Sihapas dan Formasi Telisa, ditutup
oleh episode sedimentasi regresif yang menghasilkan Formasi Petani
e. Saat akhir Miosen Akhir volkanisme meningkat dan tektonik kembali
intensif dengan rezim kompresi mengangkat pegunungan Barisan di arah
barat daya cekungan. Pegunungan Barisan ini menjadi sumber sedimen
pengisi cekungan selanjutnya. Arah sedimentasi pada Miosen akhir di
Cekungan Sumatra Tengah berjalan dari arah selatan menuju utara dengan
kontrol struktur – struktur berarah utara – selatan.
f. Tektonik Plio – Pleistosen yang bersifat kompresif mengakibatkan
terjadinya inversi –inversi struktur basement membentuk sesar – sesar naik
dan lipatan yang berarah Baratlaut – Tenggara. Tektonik ini juga
menghasilkan ketidakselarasan regional antara Formasi Minas dan endapan
alluvial kuarter terhadap formasi – formasi yang berada dibawahnya.
15
2.1.3 Tektonostratigrafi Regional Cekungan Sumatra Tengah
Gambar 2.4. Kolom Tektonostratigrafi Cekungan Sumatra Tengah (Heidrick dan Aulia, 1993).
Stratigrafi regional Cekungan Sumatra Tengah terdiri dari beberapa unit formasi
(Gambar 2.4.). Dan urutannya dari tua ke muda yaitu batuan dasar (basement), Kelompok
Pematang, Kelompok Sihapas, Formasi Petani, dan Formasi Minas.
a. Batuan Dasar (Basement)
Batuan dasar (basement) berumur Pra-Tersier berfungsi sebagai
landasan Cekungan Sumatra Tengah . Eubank dan Makki (1981) serta
16
Heidrick dan Aulia (1993) menyebutkan bahwa batuan dasar Cekungan
Sumatra Tengah terdiri dari batuan berumur Mesozoikum dan batuan
metamorf karbonat berumur Paleozoikum – Mesozoikum. Batuan tersebut dari
timur ke barat terdiri dari 3 (tiga) satuan litologi, yaitu Mallaca Terrane,
Mutus Assemblage, dan Greywacke Terrane.
Mallaca Terrane
Disebut juga Quartzite Terrane, litologinya terdiri dari kuarsit, argilit,
batugamping kristalin serta intrusi pluton granodioritik dan granitik yang
berumur Jura. Kelompok ini dijumpai pada coastal plain, yaitu pada bagian
timur dan timur laut Cekungan Sumatra Tengah.
Mutus Assemblage
Merupakan zona sutura yang memisahkan antara Mallaca Terrane dan
Greywacke Terrane. Kelompok ini terletak di sebelah barat daya coastal plain.
Litologinya terdiri dari baturijang radiolaria, meta-argilit, serpih merah,
lapisan tipis batugamping dan batuan beku basalt serta sedimen laut dalam
lainnya.
Greywacke Terrane
Disebut juga Deep Water Mutus Assemblage. Tersusun dari litologi
greywacke, pebbly mudstone, dan kuarsit. Kelompok ini terletak di bagian
barat dan baratdaya Kelompok Mutus.
b. Kelompok Pematang
Kelompok ini diendapkan secara tidak selaras di atas batuan dasar
(Eubank dan Makki, 1981). Pada kelompok ini ditemukan fosil ostracods,
fresh water gastropods, spores, pollen, dinoflagellates, algae, serta
ketidakhadiran foraminifera maka kelompok ini disimpulkan diendapkan di
lingkungan nonmarine dengan suasana lembab dan tropis (Heidrick dan Aulia,
1993). Kehadiran Magnastiatites howardii dekat dasar suksesi lempung –
mudstone mengindikasikan umur Oligosen dan mengindikasikan potensi umur
Eosen untuk Formasi Lower Red Bed. Florschuetza trilobata yang terdapat
17
pada interval Formasi Upper Red Bed juga mengindikasikan umur Oligosen
(Yarmanto et al., 1996). Tektonik yang berhubungan dengan syndepositional
wrench berpengaruh kuat pada sedimentasi dan bagian yang dicirikan oleh
perubahan fasies secara lateral dan vertikal secara tiba – tiba. Berdasarkan
litologinya, Kelompok Pematang dibagi menjadi 3 (tiga) formasi, yaitu:
Formasi Lower Red Bed, Formasi Brown Shale, dan Formasi Upper Red Bed.
Formasi Lower Red Bed
Formasi ini tersusun atas litologi batulumpur (mudstone), batulanau,
batupasir, dan sedikit konglomerat. Formasi ini diendapkan pada lingkungan
darat dengan sistem pengendapan kipas alluvial dan berubah secara lateral
menjadi lingkungan fluvial dan lakustrin.
Formasi Brown Shale
Formasi ini tersusun atas serpih berlaminasi baik, kaya akan material
organik, berwarna coklat – hitam mengindikasikan lingkungan pengendapan
dengan kondisi air tenang seperti lakustrin. Pada bagian yang lebih dalam
dijumpai perselingan batupasir yang diperkirakan diendapkan oleh mekanisme
arus turbidit.
Formasi Upper Red Bed
Dijumpai ekivalen secara lateral dengan Formasi Brown Shale. Terdiri
dari serpih, batubara, dan sedikit batupasir yang diendapkan pada lingkungan
lakustrin.
c. Kelompok Sihapas
Kelompok ini diendapkan secara tidak selaras diatas Kelompok
Pematang. Kelompok ini merupakan endapan yang terbentuk dengan proses
sedimentasi
sistem
delta
makrotidal
agradasi
dan
progradasi
yang
berinterkalasi dengan lapisan tipis marine shelf highstand shale (Yarmanto
dkk., 2006). Sedimen Kelompok Sihapas relatif tersebar luas di seluruh
cekungan dengan Formasi Marine Telisa di bagian atas menunjukkan bagian
18
puncak dari transgresi (Yarmanto dan Aulia, 1988). Kelompok ini terdiri dari
Formasi Menggala, Formasi Bangko, Formasi Bekasap, dan Formasi Duri.
Formasi Menggala
Merupakan bagian terbawah dari Kelompok Sihapas. Litologinya
terdiri dari batupasir konglomeratan berselang – seling dengan batupasir halus
sampai sedang. Diendapkan pada saat Miosen Awal pada lingkungan fluvial
channel.
Formasi Bangko
Formasi ini berumur Miosen Awal yang diendapkan selaras di atas
Formasi Menggala. Litologinya berupa serpih abu – abu yang bersifat
gampingan (calcareous shale) berseling dengan batupasir halus-sedang dan
batugamping yang diendapkan pada lingkungan estuarine-intertidal. Formasi
ini berfungsi sebagai tudung (seal) bagi batupasir di bawahnya. Batupasir
dalam Formasi Bangko merupakan reservoir yang bernilai dan telah
diproduksi yang memiliki ketebalan dari 80 ft hingga 300 ft.
Formasi Bekasap
Formasi ini terdiri dari batupasir sedang-kasar dengan kandungan
glaukonit di bagian atasnya serta sisipan serpih, batugamping tipis, dan lapisan
batubara. Formasi ini berumur Miosen Awal yang diendapkan selaras di atas
Formasi Bangko.
Formasi Duri
Formasi ini diendapkan secara selaras di atas Formasi Bekasap dan
merupakan bagian teratas dari Kelompok Sihapas. Litologinya tersusun atas
suatu seri batupasir yang terbentuk pada lingkungan neritik dalam – deltaik di
bagian utara dan tengah cekungan. Seri tersebut dicirikan oleh batupasir
berbutir halus sampai sedang yang secara lateral menjadi batupasir laut dalam
dari Formasi Telisa. Formasi ini berumur Miosen Tengah.
19
d. Formasi Telisa
Formasi ini berumur Miosen Awal – Miosen Tengah dan diendapkan
secara selaras di atas Formasi Bangko. Litologinya tersusun atas suksesi
batuan sedimen yang didominasi oleh serpih dengan sisipan batulanau yang
bersifat gampingan, berwarna abu kecoklatan dan terkadang dijumpai
batugamping. Lingkungan pengendapannya berupa neritik sampai non-marine
(Dawson, et. Al, 1997). Formasi ini dikenal sebagai tudung (seal) dari
reservoir Kelompok Sihapas di Cekungan Sumatra Tengah.
e. Kelompok Petani
Formasi Petani berumur Miosen Tengah – Pliosen. Formasi ini
diendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Telisa dan Kelompok Sihapas.
Formasi Petani diendapkan mulai dari lingkungan laut dangkal, pantai dan ke
atas sampai lingkungan delta yang menunjukkan regresi laut. Litologinya
terdiri dari batupasir, batulempung, batupasir galukonitan, dan batugamping.
Komposisi dominan batupasir pada Formasi Petani yaitu kuarsa, berbutir halus
sampai kasar, umumnya tipis dan mengandung sedikit lempung yang secara
umum mengkasar ke atas.
f. Formasi Minas
Formasi ini merupakan endapan Kuarter yang diendapkan secara tidak
selaras di atas Formasi Petani. Tersusun atas pasir dan kerikil, pasir kuarsa
lepas berukuran halus sampai sedang serta limonit berwarna kuning. Formasi
ini berumur Plistosen dan diendapkan pada lingkungan fluvial – alluvial.
Pengendapan yang terus berlanjut sampai sekarang menghasilkan endapan
alluvium yang berupa campuran kerikil, pasir, dan lempung.
2.2 Geologi Daerah Penelitian
2.2.1 Sejarah Lapangan Dahlia
Lapangan Dahlia ditemukan pada September tahun 1971 dan mulai diproduksi
pada tahun 1974 pada sumur pertamanya dengan rating 2858 BFPD (Barrel Fluid Per Day).
Lapangan Dahlia berlokasi 120 km arah baratlaut dari ibukota provinsi Riau, Pekanbaru.
20
Penemuan sumur pertama Dahlia, menjumpai minyak setebal 57 ft pada
reservoir Bekasap “A” dan Bangko “B”. Kesuksesan penemuan ini dilanjutkan dengan
delineasi dan pengembangan sumur untuk menemukan OWC (Oil Water Contact), batas –
batas reservoir, dan mengoptimalkan produksi lapangan.
Hasil dari delineasi sumur, Lapangan Dahlia terdiri dari 2 blok, yaitu blok
barat dan blok timur. Blok barat hanya memiliki oil pay zone pada reservoir Telisa tanpa ada
akumulasi minyak di reservoir Bekasap dan Bangko, sedangkan blok timur memiliki oil pay
zone pada reservoir Bekasap dan Bangko tanpa ada akumulasi di reservoir Telisa.
2.2.2 Struktur Lapangan Dahlia
Berdasarkan peta struktur kedalaman yang didapat (Gambar 2.5.), penulis
menginterpretasikan bahwa Lapangan Dahlia ini merupakan lapangan yang memiliki
perangkap struktur antiklin yang berarah baratlaut – tenggara dan disertai sesar – sesar minor
yang berarah barat – timur. Dari struktur antiklin tersebut, penulis menginterpretasikan terjadi
tegasan utama yang berarah baratlaut-tenggara yang membentuk struktur antiklin tersebut.
Bila dikaitkan dengan struktur geologi regional Cekungan Sumatra Tengah, struktur pada
lapangan telitian terbentuk pada fasa tektonik F3, yaitu terjadi gaya kompresi dengan gaya
tegasan utama berarah baratlaut-tenggara yang membentuk sesar utama (Sesar Kotabatak).
Sesar utama inilah yang mengakibatkan Lapangan Dahlia memiliki perangkap struktur
antiklin. Lokasi daerah penelitian secara regional dapat dilihat pada gambar 2.6.
21
Gambar 2.5. Peta struktur kedalaman Top Formasi Bangko “B” dengan penampang A-A’.
Lapangan Dahlia
Gambar 2.6. Lokasi Lapangan Dahlia pada sruktur regional.
22
2.2.3 Stratigrafi Lapangan Dahlia
Gambar 2.7. Korelasi sumur pada penampang A-A’.
Fokus Studi
Gambar 2.8. Stratigrafi daerah penelitian (Heidrick dan Aulia, 1993).
23
Lapangan telitian ini terdiri dari formasi – formasi yang sudah dijelaskan pada
bab geologi regional Cekungan Sumatra Tengah (Gambar 2.4.), yaitu terdiri dari Formasi
Bangko (terbagi atas Formasi Bangko dan Formasi Bangko “B”), Formasi Bekasap (terdiri
dari Formasi Bekasap “A”), dan Formasi Telisa (terbagi atas Formasi Telisa Reservoir Equiv
dan Formasi Telisa 600). Penelitian ini difokuskan pada Formasi Bangko “B” (Gambar 2.8.).
a. Batuan Dasar
Batuan dasar pada lapangan ini merupakan Kelompok Mutus yang terdiri dari
argillite.
b. Kelompok Pematang
Kelompok pematang terdiri atas 3 formasi yaitu Formasi Lower Red Bed,
Formasi Brown Shale dan Formasi Upper Red Bed.
c. Formasi Bangko
Formasi ini terdiri dari batulempung karbonatan yang berlapis dengan
batupasir halus.
d. Formasi Bekasap
Formasi ini tersusun atas batupasir berbutir halus dengan bioturbasi. Secara
keseluruhan batupasir ini memiliki sisipan batulanau dan batulempung yang
menjadi pembatas antar zona-zona reservoir yang terdapat pada formasi ini.
Formasi ini diendapkan pada lingkungan estuarine – shallow marine.
e. Formasi Telisa
Formasi ini diendapkan pada lingkungan laut dangkal hingga laut terbuka yang
tersusun atas batulanau glaukonitik dan batupasir sangat halus. Formasi ini
merupakan batuan tudung dalam kerangka sistem petroleum di lapangan ini.
24
Download