HIV - Universitas Sumatera Utara

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Human Immunodeficiency Virus (HIV)
2.1.1
Definisi HIV
Russel mendefinisikan HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus
yang secara progresif merusak
sel-sel darah putih yang disebut Limfosit (sel T
CD4+) yang tugasnya menjaga sistem kekebalan tubuh karena sistem kekebalan
tubuh karena sistem kekebalannya rusak. Orang yang terkena virus ini akan menjadi
rentan terhadap infeksi. Meskipun kedokteran telah dapat memperlambat laju
perkembangan virus ini, namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan.
Saat ini yang ada hanyalah menolong penderita untuk mempertahankan tingkat
kesehatan tubuhnya (Keliat, 2014).
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyebabkan
penyakit AIDS yang termasuk kelompok retrovirus. Seseorang yang terinfeksi HIV,
akan mengalami infeksi seumur hidup. Kebanyakan orang dengan HIV/AIDS
(ODHA) tetap asimtomatik (tanpa tanda dan gejala dari suatu penyakit) untuk jangka
waktu lama. Meski demikian, sebetulnya mereka telah dapat menulari orang lain.
AIDS adalah singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome. “Acquired”
artinya tidak diturunkan, tetapi didapat; “Immune” adalah sistem daya tangkal atau
kekebalan tubuh terhadap penyakit; “Deficiency” artinya tidak cukup atau kurang;
dan “Syndrome” adalah kumpulan tanda dan gejala penyakit. AIDS adalah bentuk
lanjut dari infeksi HIV, yang merupakan kumpulan gejala menurunnya sistem
11
Universitas Sumatera Utara
12
kekebalan tubuh. Infeksi HIV berjalan sangat progresif merusak sistem kekebalan
tubuh, sehingga penderita tidak dapat menahan serangan infeksi jamur, bakteri atau
virus. Kebanyakan orang dengan HIV akan meninggal dalam beberapa tahun setelah
tanda pertama AIDS muncul bila tidak ada pelayanan dan terapi yang diberikan
(Permenkes No. 51/2013).
2.1.2
Tanda dan Gejala HIV
Orang yang terinfeksi HIV dapat tetap tanpa gejala dan tanda (asimtomatik)
untuk jangka waktu cukup panjang bahkan sampai 10 tahun atau lebih. Namun orang
tersebut dapat menularkan infeksinya kepada orang lain. Kita hanya dapat
mengetahui bahwa orang tersebut terinfeksi HIV dari pemeriksaan laboratorium
antibodi HIV serum. Sesudah jangka waktu tertentu, yang bervariasi dari orang ke
orang, virus memperbanyak diri secara cepat dan diikuti dengan perusakan sel
limfosit T CD4 dan sel kekebalan lainnya sehingga terjadilah gejala berkurangnya
daya tahan tubuh yang progresif. Progresivitas tergantung pada beberapa faktor
seperti: usia kurang dari 5 tahun atau di atas 40 tahun, infeksi lainnya, dan faktor
genetik (Permenkes No. 51/2013).
Gejala orang yang terinfeksi HIV menjadi AIDS bisa dilihat dari 2 gejala
yaitu gejala mayor (umum terjadi) dan gejala minor (tidak umum terjadi) (Noviana,
2013):
1. Gejala Mayor
a. Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan.
b. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan.
c. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan.
Universitas Sumatera Utara
13
d. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis.
e. Demensia/HIV ensefalopati.
2. Gejala Minor
a. Batuk menetap lebih dari 1 bulan.
b. Dermatitis generalisata.
c. Adanya herpes zostermultisegmental dan herpes zoster berulang.
d. Herpes simpleks kronis progresif.
e. Limfadenopati generalisata.
f. Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita.
g. Retinitis virus sitomegalo.
h. Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan.
2.1.3 Perjalanan Infeksi HIV
Sesudah HIV memasuki tubuh seseorang, maka tubuh akan terinfeksi dan
virus mulai mereplikasi diri dalam sel orang tersebut (terutama sel limfosit T CD4
dan makrofag). Virus HIV akan mempengaruhi sistem kekebalan tubuh dengan
menghasilkan antibodi untuk HIV. Masa antara masuknya infeksi dan terbentuknya
antibodi yang dapat dideteksi melalui pemeriksaan laboratorium adalah selama 2-12
minggu dan disebut masa jendela (window period). Selama masa jendela, pasien
sangat infeksius, mudah menularkan kepada orang lain, meski hasil pemeriksaan
laboratoriumnya masih negatif. Hampir 30-50% orang mengalami masa infeksi akut
pada masa infeksius ini, di mana gejala dan tanda yang biasanya timbul adalah:
demam, pembesaran kelenjar getah bening, keringat malam, ruam kulit, sakit kepala
dan batuk (Permenkes No. 51/2013).
Universitas Sumatera Utara
14
Infeksi, penyakit, dan keganasan dapat terjadi pada individu yang terinfeksi
HIV. Penyakit yang berkaitan dengan menurunnya daya tahan tubuh pada orang yang
terinfeksi HIV, misalnya infeksi tuberkulosis (TB), herpes zoster (HSV), oral hairy
cell leukoplakia (OHL), oral candidiasis (OC), papular pruritic eruption (PPE),
Pneumocystis carinii pneumonia (PCP), cryptococcal meningitis (CM), retinitis
Cytomegalovirus(CMV), dan Mycobacterium avium (MAC) (Permenkes No.
51/2013).
Waktu antara HIV masuk ke dalam tubuh sampai gejala pertama AIDS
disebut juga masa inkubasi HIV adalah bervariasi antara setengah tahun sampai lebih
dari tujuh tahun. HIV (antigen) hanya dapat dideteksi dalam waktu singkat kira-kira
setengah bulan sampai dengan 2,5 bulan sesudah HIV masuk tubuh. Untuk membantu
menegakkan diagnosis pemeriksaan mencari KOV tidak dianjurkan karena mahal,
memakan waktu lama dan hanya dapat ditemukan dalam waktu terbatas. Tubuh
memerlukan waktu untuk dapat menghasilkan antibodi. Waktu ini rata-rata 2 bulan,
ini berarti bahwa seseorang dengan infeksi HIV dalam 2 bulan pertama diagnosisnya
belum dapat ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium berdasarkan penentuan
antibodi. Lama waktu 2 bulan ini disebut Window Period (Noviana, 2013).
2.1.4 Penularan HIV
Menurut Permenkes No. 51/2013 bahwa Human immunodeficiency virus
(HIV) dapat masuk ke tubuh melalui tiga cara, yaitu melalui:
1. Hubungan seksual
Penularan melalui hubungan seksual adalah cara yang paling dominan dari semua
cara penularan. Penularan melalui hubungan seksual dapat terjadi selama
Universitas Sumatera Utara
15
sanggama laki-laki dengan perempuan atau laki-laki dengan laki-laki. Sanggama
berarti kontak seksual dengan penetrasi vaginal, anal, atau oral antara dua
individu. Risiko tertinggi adalah penetrasi vaginal atau anal yang tak terlindung
dari individu yang terinfeksi HIV. Kontak seksual oral langsung (mulut ke penis
atau mulut ke vagina) termasuk dalam kategori risiko rendah tertular HIV.
Tingkatan risiko tergantung pada jumlah virus yang ke luar dan masuk ke dalam
tubuh seseorang, seperti pada luka sayat/gores dalam mulut, perdarahan gusi, dan
atau penyakit gigi mulut atau pada alat genital.
2. Pajanan oleh darah, produk darah, atau organ dan jaringan yang terinfeksi
Penularan dari darah dapat terjadi jika darah donor tidak ditapis (uji saring) untuk
pemeriksaan HIV, penggunaan ulang jarum dan semprit suntikan, atau
penggunaan alat medik lainnya yang dapat menembus kulit. Kejadian di atas dapat
terjadi pada semua pelayanan kesehatan, seperti rumah sakit, poliklinik,
pengobatan tradisional melalui alat penusuk/jarum, juga pada pengguna napza
suntik (penasun). Pajanan HIV pada organ dapat juga terjadi pada proses
transplantasi jaringan/organ di fasilitas pelayanan kesehatan.
3. Penularan dari ibu ke anak
Lebih dari 90% anak yang terinfeksi HIV didapat dari ibunya. Virus dapat
ditularkan dari ibu yang terinfeksi HIV kepada anaknya selama hamil, saat
persalinan dan menyusui. Tanpa pengobatan yang tepat dan dini, setengah dari
anak yang terinfeksi tersebut akan meninggal sebelum ulang tahun kedua.
Universitas Sumatera Utara
16
Virus HIV hanya dapat ditemukan dalam cairan tubuh yaitu dalam darah
termasuk darah haid dan darah plasenta pada wanita, air mani/cairan lain yang keluar
dari alat kelamin laki-laki kecuali air seni dan cairan vagina. HIV dapat ditularkan
melalui (Pinem, 2009):
1. Hubungan seksual (homoseksual, biseksual dan heteroseksual).
Diperkirakan sekitar 95% penularan terjadi melalui hubungan
seksual, baik
melalui vagina, anal maupun oral.
2. Parentral
a. Transfusi darah yang tercemar HIV
b. Penularan melalui jarum suntik atau alat kedokteran yang tidak steril.
c. Penularan melalui alat-alat tusuk lainnya.
d. Transplantasi organ tubuh.
3. Penularan perinatal
Penularan perinatal adalah penularan dari ibu yang terinfeksi HIV kepada bayi
yang dilahirkannya yang dapat terjadi selama kehamilan berkisar sekitar 5-10%,
pada saat persalinan sekitar 10-20% dan pada masa nifas (saat menyusui) sekitar
10-20%. Bila ibunya mengidap HIV, dan ibu telah menunjukkan gejala AIDS,
kemungkinan bayi yang dilahirkan tertular HIV menjadi 50%.
2.1.5
Faktor yang Berperan dalam Penularan HIV dari Ibu ke Anak
Berdasarkan Permenkes No. 51/2013 ada tiga faktor utama yang berpengaruh
pada penularan HIV dari ibu ke anak, yaitu faktor ibu, bayi/anak, dan tindakan
obstetrik.
Universitas Sumatera Utara
17
1. Faktor Ibu
a. Jumlah virus (viral load)
Jumlah virus HIV dalam darah ibu saat menjelang atau saat persalinan dan
jumlah virus dalam air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya sangat
mempengaruhi penularan HIV dari ibu ke anak. Risiko penularan HIV
menjadi sangat kecil jika kadar HIV rendah (kurang dari 1.000 kopi/ml) dan
sebaliknya jika kadar HIV di atas 100.000 kopi/ml.
b. Jumlah sel CD4
Ibu dengan jumlah sel CD4 rendah lebih berisiko menularkan HIV ke
bayinya. Semakin rendah jumlah sel CD4 risiko penularan HIV semakin
besar.
c. Status gizi selama hamil
Berat badan rendah serta kekurangan vitamin dan mineral selama hamil
meningkatkan risiko ibu untuk menderita penyakit infeksi yang dapat
meningkatkan jumlah virus dan risiko penularan HIV ke bayi.
d. Penyakit infeksi selama hamil
Penyakit infeksi seperti sifilis, Infeksi Menular Seksual, infeksi saluran
reproduksi lainnya, malaria, dan tuberkulosis, berisiko meningkatkan jumlah
virus dan risiko penularan HIV ke bayi.
e. Gangguan pada payudara
Gangguan pada payudara ibu dan penyakit lain, seperti mastitis, abses, dan
luka di puting payudara dapat meningkatkan risiko penularan HIV melalui
ASI.
Universitas Sumatera Utara
18
2. Faktor Bayi
a. Usia kehamilan dan berat badan bayi saat lahir
Bayi lahir prematur dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) lebih rentan
tertular HIV karena sistem organ dan sistem kekebalan tubuhnya belum
berkembang dengan baik.
b. Periode pemberian ASI
Semakin lama ibu menyusui, risiko penularan HIV ke bayi akan semakin
besar.
c. Adanya luka di mulut bayi
Bayi dengan luka di mulutnya lebih berisiko tertular HIV ketika diberikan
ASI.
3. Faktor obstetrik
Pada saat persalinan, bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir. Faktor
obstetrik yang dapat meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke anak selama
persalinan adalah:
a. Jenis persalinan
Risiko penularan persalinan per vaginam lebih besar daripada persalinan
melalui bedah sesar (sectio caesaria).
b. Lama persalinan
Semakin lama proses persalinan berlangsung, risiko penularan HIV dari ibu
ke anak semakin tinggi, karena semakin lama terjadinya kontak antara bayi
dengan darah dan lendir ibu.
Universitas Sumatera Utara
19
c. Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan meningkatkan risiko
penularan hingga dua kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari 4
jam.
d. Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan forseps meningkatkan risiko
penularan HIV karena berpotensi melukai ibu atau bayi.
Penularan HIV dari ibu ke anak pada umumnya terjadi pada saat persalinan
dan pada saat menyusui. Risiko penularan HIV pada ibu ya ng tidak mendapatkan
penganan PPIA saat hamil diperkirakan sekitar 15-45%. Risiko penularan 15-30%
terjadi pada saat hamil dan bersalin, sedangkan peningkatan risiko transmisi HIV
sebesar 10-20% dapat terjadi pada masa nifas dan menyusui.
2.1.6
Pencegahan HIV
1. Pencegahan Primer
Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya agar orang sehat tetap sehat
atau mencegah orang sehat menjadi sakit. Pencegahan primer merupakan hal yang
paling penting, terutama dalam hal merubah perilaku. Beberapa hal yang perlu
diperhatikan antara lain (Kemenkes RI, 2012):
a. Pencegahan dilakukan dengan tindakan seks yang aman dengan pendekatan
“ABC” yaitu Abstinence, artinya absen seks ataupun tidak melakukan hubungan
seks bagi orang yang belum menikah merupakan metode paling aman untuk
mencegah penularan penyakit menular seksual HIV melalui hubungan seksual.
Jika tidak memungkinkan pilihan kedua adalah Be Faithful, artinya tidak
berganti-ganti pasangan. Jika kedua hal tersebut tidak memungkinkan juga, maka
Universitas Sumatera Utara
20
pilihan berikutnya adalah penggunaan kondom secara konsisten (Use Condom).
Pencegahan ini menggunakan konsep ABCDE yakni:
1) A (Abstinence) yakni tidak melakukan hubungan seksual bagi yang belum
menikah.
2) B ( Be faithful) yakni bersikap setia kepada satu pasangan seksual.
3) C (Condom) yakni menggunakan kondom pada saat hubungan seksual.
4) D (Drug no) yakni tidak menggunakan narkoba.
5) E (Equipment) yakni menggunakan peralatan yang bersih, steril, sekali pakai,
dan tidak bergantian.
b. Berhenti menjadi pengguna NAPZA terutama narkotika suntikan, atau
mengusahakan agar selalu menggunakan jarum suntik yang steril serta tidak
menggunakannya secara bersama-sama.
c. Sarana pelayanan kesehatan harus dipahami dan diterapkan kewaspadaan
universal (universal precaution) untuk mengurangi risiko penularan HIV melalui
darah. Kewaspadaan universal ini meliputi cuci tangan dengan sabun dan air
mengalir sebelum dan sesudah melakukan tindakan perawatan, penggunaan alat
pelindung yang sesuai untuk setiap tindakan, pengelolaan alat kesehatan bekas
pakai dengan melakukan dekontaminasi, desinfeksi dan sterilisasi dengan benar.
d.
Pencegahan penyebaran melalui darah dan donor darah dilakukan dengan
skrining adanya antibodi HIV, demikian pula semua organ yang didonorkan,
serta menghindari transfusi, suntikan, jahitan dan tindakan invasif lainnya yang
kurang perlu.
Universitas Sumatera Utara
21
e.
WHO mencanangkan empat strategi untuk mencegah penularan vertikal dari ibu
kepada anak yaitu dengan cara mencegah jangan sampai wanita terinfeksi HIV
dan AIDS. Apabila sudah terinfeksi HIV dan AIDS mengusahakan supaya tidak
terjadi kehamilan. Bila sudah hamil dilakukan pencegahan supaya tidak menular
dari ibu kepada bayinya dan bila sudah terinfeksi diberikan dukungan serta
perawatan bagi ODHA dan keluarganya.
2. Pencegahan Sekunder
Infeksi HIV menyebabkan menurunnya sistem imun secara progresif sehingga
muncul berbagai infeksi oportunistik yang akhirnya dapat berakhir pada kematian.
Sementara itu, hingga saat ini belum ditemukan obat maupun vaksin yang efektif,
sehingga pengobatan HIV dan AIDS dapat dibagi dalam tiga kelompok sebagai
berikut (Kemenkes RI, 2012):
a. Pengobatan suportif yaitu pengobatan untuk meningkatkan keadaan umum
penderita. Pengobatan ini terdiri dari pemberian gizi yang baik, obat simptomatik
dan pemberian vitamin.
b. Pengobatan infeksi oportunistik merupakan pengobatan untuk mengatasi berbagai
penyakit infeksi dan kanker yang menyertai infeksi HIV dan AIDS. Penanganan
terhadap infeksi oportunistik ini disesuaikan dengan jenis mikroorganisme
penyebabnya dan diberikan terus menerus.
c. Pengobatan antiretroviral (ARV) yang bekerja langsung menghambat kinerja
enzim protease yang terbukti bermanfaat memperbaiki kualitas hidup, menjadikan
infeksi oportunistik menjadi jarang dan lebih mudah diatasi sehingga menekan
Universitas Sumatera Utara
22
morbiditas dan mortalitas dini. Tetapi ARV belum dapat menyembuhkan pasien
HIV dan AIDS ataupun membunuh HIV.
3. Pencegahan Tersier
Orang yang didiagnosa HIV biasanya banyak menerima diskriminasi saat
membutuhkan pengobatan HIV ataupun bantuan dari fasilitas rehabilitasi obat, selain
itu juga dapat mendatangkan trauma emosi yang mendalam bagi keluarganya. ODHA
perlu diberikan dukungan berupa dukungan psikososial agar penderita dapat
melakukan aktivitas seperti semula/seoptimal mungkin. Untuk mencegah semakin
meningkatnya angka kejadian Penyakit Menular Seksual HIV dan AIDS, maka perlu
dilakukan beberapa pencegahan, yaitu (Kemenkes RI, 2012):
a. Memutuskan rantai penularan infeksi PMS.
b. Mencegah berkembangnya PMS serta komplikasinya.
c. Tidak melakukan hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan.
d. Menggunakan kondom saat berhubungan seksual.
Ada beberapa program yang dianjurkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO)
dan telah diterapkan di beberapa negara untuk dilaksanakan secara bersama-sama,
yaitu (Mawar, 2009):
a. Pendidikan kesehatan reproduksi untuk remaja dan dewasa muda.
b. Program penyuluhan sebaya untuk berbagai kelompok sasaran (peer group
education).
c. Program kerja sama dengan media cetak dan elektronik.
d. Paket pencegahan komprehensif untuk pecandu narkotika.
e. Program pendidikan agama.
Universitas Sumatera Utara
23
f. Program promosi kondom di lokalisasi pelacuran dan panti pijat.
g. Pelatihan ketrampilan hidup.
h. Program pengadaan tempat-tempat untuk test HIV dan konseling.
i. Dukungan untuk anak jalanan dan pengentasan prostitusi anak.
j. Program pencegahan dengan pengobatan, perawatan dan dukungan untuk ODHA.
k. Program pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dengan pemberian obat
AZT.
2.2 Program PPIA (Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak)
Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) adalah upaya yang
bertujuan untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke anak secara komprehensif dan
terintegrasi
dengan
program-program
yang berkaitan
dengan
pengendalian
HIV/AIDS. Program ini bertujuan untuk mecegah penularan HIV dari ibu ke bayi,
karena seorang ibu yang mengidap HIV dapat menularkan HIV kepada bayi selama
proses kehamilan, persalinan, maupun menyusui.7,27,31 Infeksi HIV pada bayi
sebagian besar diakibatkan anak tertular dari ibunya. Selain itu, PPIA juga bertujuan
untuk mengurangi dampak epidemi HIV terhadap ibu dan bayi. Infeksi HIV yang
menjadi epidemi dapat mengakibatkan menurunnya produktivitas dan peningkatan
beban biaya hidup akibat morbiditas dan mortalitas dari ibu dan bayi (Kemenkes,
2013).
Upaya untuk mencegah transmisi HIV dari ibu ke anak dilakukan secara
komprehensif melalui 4 komponen/prong yakni (Kemenkes, 2013):
Universitas Sumatera Utara
24
1. Pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduktif.
2. Pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan dengan HIV.
3. Pencegahan penularan HIV dari ibu hamil ke bayi yang dikandungnya.
4. Pemberian dukungan psikologis, sosial, dan perawatan kepada ibu dengan HIV
beserta anak dan keluarganya.
Prong pertama bertujuan untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke anak
bahkan sebelum terjadinya hubungan seksual. Sehingga perempuan muda tidak akan
terkena infeksi HIV dan ketika hamil tidak menularkan HIV kepada bayi yang
dikandungnya.
Prong kedua dilakukan dengan melakukan perencanaan kehamilan. Perencaan
tersebut mencakup aspek medis dan sosial. Pada aspek medis, perlu dipertimbangkan
viral load dan kadar CD4 pada ibu. Pada aspek sosial, pasangan harus sudah
memahami resiko dan konsekuensi dari kehamilan, persalinan, dan pengasuhan anak.
Selain itu, diperlukan pula persetujuan dari keluarga untuk menghindari penelataran
anak dimasa mendatang (Kemenkes, 2013).
Prong ketiga dapat dilakukan dengan beberapa cara seperti layanan ANC yang
terpadu termasuk penawaran dan tes HIV, diagnosis HIV, pemberian terapi
antiretroviral, persalinan yang aman, tatalaksana pemberian makanan bagi anak,
pemberian profilaksis antiretroviral pada anak, dan pemeriksaan diagnostik HIV pada
anak. Sedangkan untuk prong keempat, dapat dilakukan dengan memberikan
dukungan medis keperawatan pada ibu, bayi, dan keluarga untuk menjaga ibu dan
bayi tetap sehat. Selain itu, dilakukan pula dukungan psikososial pada ibu dan
Universitas Sumatera Utara
25
keluarga. Hal ini penting karena masih terdapatnya stigma dan diskriminasi pada
Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) (Kemenkes, 2013).
2.2.1
Tantangan dan Hambatan
Dalam melaksanakan program PPIA terdapat berbagai tantangan dan
hambatan yang dapat mempengaruhi pelaksanaan program. Beberapa hambatan
(kelemahan) diantaranya yaitu (Kemenkes, 2013):
1. Program PPIA belum mendapat perhatian cukup dari para pemangku
kepentingan,
2. Belum tersosialisasinya kebijakan nasional PPIA dan pedoman pelaksanaannya
3. PPIA belum dilaksanakan secara komprehensif (prong 1, 2, 3 dan 4); dan belum
terintegrasi sepenuhnya kedalam kegiatan rutin KIA
4. Masih terbatasnya Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang menyediakan pelayanan
PPIA termasuk ketersediaan bahan pendukung
5. Tenaga kesehatan masih belum memadai
6. Stigma dan diskriminasi
Stigma sering kali menyebabkan terjadinya diskriminasi dan pada gilirannya
akan mendorong munculnya pelanggaran HAM bagi ODHA dan keluarganya. Stigma
dan diskriminasi memperparah epidemi HIV & AIDS. Orang dengan HIV/AIDS
(ODHA) di Indonesia hingga kini masih merasakan adanya stigma dan dikriminasi.
2.2.2
Kebijakan Pelayanan PPIA
Kebijakan pelayanan PPIA Tahun 2013-2017 adalah sebagai berikut:
1. Pelayanan pencegahan penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) diintegrasikan
pada layanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Keluarga Berancana (KB) dan
Universitas Sumatera Utara
26
Konseling Remaja di setiap jenjang pelayanan kesehatan dengan ekspansi secara
bertahap dan melibatkan peran swasta, LSM dan komunitas.
2. PPIA dalam pelayanan KIA merupakan bagian dari Program Nasional
Pengendalian HIV-AIDS dan IMS.
3. Setiap perempuan yang datang ke layanan KIA-KB dan remaja harus
mendapatkan informasi mengenai PPIA.
4. Di daerah epidemi HIV meluas dan terkonsentrasi, tenaga kesehatan di fasilitas
pelayanan kesehatan wajib menawarkan tes HIV kepada semua ibu hamil secara
inklusif pada pemeriksaan laboratorium rutin lainnya saat pemeriksaan antenatal
atau menjelang persalinan.
5. Di daerah epidemi HIV rendah, penawaran tes HIV oleh tenaga kesehatan
diprioritaskan pada ibu hamil dengan IMS dan TB. Pemeriksaan dilakukan secara
inklusif dengan pemeriksaan laboratorium rutin lainnya saat pemeriksaan
antenatal atau menjelang persalinan.
6. Daerah yang belum mempunyai tenaga kesehatan yang mampu/berwenang
memberikan pelayanan PPIA, dapat dilakukan dengan cara:
a. Merujuk ibu hamil ke fasilitas pelayanan HIV yang memadai
b. Pelimpahan wewenang (task shifting) kepada tenaga kesehatan lain yang
terlatih. Penetapan daerah yang memerlukan task shifting petugas, diputuskan
oleh kepala dinas kesehatan setempat
7. Setiap ibu hamil yang positif HIV wajib diberi obat ARV dan mendapatkan
pelayanan perawatan, dukungan dan pengobatan lebih lanjut (PDP)
Universitas Sumatera Utara
27
8. Kepala Dinas Kesehatan merencanakan ketersediaan logistik (obat dan tes HIV)
berkoordinasi dengan Ditjen PP&PL Kemenkes.
9. Pelaksanaan
Persalinan,
baik
pervaginam
atau
per
abdominan
harus
memperhatikan indikasi obstetrik ibu dan bayinya serta harus menerapkan
kewaspadaan standar.
Sesuai dengan kebijakan program bahwa makanan terbaik untuk bayi adalah
pemberian ASI secara eksklusif 0-6 bulan. Untuk itu maka Ibu dengan HIV perlu
mendapat konseling laktasi dengan baik sejak perawatan antenatal pertama sesuai
dengan pedoman. Namun apabila ibu memilih lain (susu formula), maka ibu,
pasangannya dan keluarga perlu mendapat konseling makanan bayi yang memenuhi
persyaratan teknis.
2.2.3
Strategi PPIA
1. PPIA dilaksanakan di seluruh Indonesia dengan ekspansi bertahap.
2. Semua fasilitas pelayanan kesehatan harus dapat memberikan pelayanan PPIA.
3. Perlu adanya jejaring pelayanan PPIA sebagai bagian dari Layanan Komprehensif
Berkesinambungan (LKB).
4. Melibatkan peran swasta, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) maupun
komunitas secara keseluruhan.
5. Daerah menetapkan wilayah yang memerlukan task shifting.
6. Ketersediaan logistik (obat dan pemeriksaan task shifting).
2.2.4
Target dan Sasaran
Sampai dengan saat ini, layanan PPIA di Indonesia tersedia di 31 provinsi
dengan jumlah fasilitan pelayanan kesehatan PPIA sebanyak 92 RS dan 13 Puskemas.
Universitas Sumatera Utara
28
Selain itu, masih terdapat beberapa layanan swasta dan atau NGO yang memberikan
layanan untuk masyarakat disekitarnya.
Semua puskesmas memberikan Pelayanan PPIA komprehensif sesuai dengan
ketersediaan sarana dan prasarana di puskesmas masing masing. Pengembangan ke
seluruh puskesmas akan dilaksanakan secara bertahap. Prong 1 dan 2 dikembangkan
ke seluruh puskesmas, sedangkan prong-3 dan 4 dikembangkan di puskesmas dengan
sarana dan prasarana khusus, dilengkapi dengan jejaring ke semua puskesmas dalam
wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan. Pengembangan dilakukan bertahap
dengan prioritas pada daerah epidemi HIV meluas, sedangkan untuk daerah epidemi
HIV terkonsentrasi, minimal 5 Puskesmas di setiap Kabupaten/Kota mampu
melaksanakan pelayanan rujukan PPIA.
Pengembangan PPIA akan dilaksanakan dengan mempertimbangkan rencana
pengembangan LKB. Pada fase awal pengembangan PPIA dan LKB, akan dilakukan
sesuai dengan rencana pengembangan yang sudah ada. Pada akhirnya nanti, seluruh
PPIA akan menjadi bagian integral dari LKB.
2.3 Peran Petugas Kesehatan dalam Layanan Tes HIV
Layanan Tes HIV atas Inisiatif Pemberi Pelayanan Kesehatan dan Konseling
(TIPK) merupakan kebijakan pemerintah untuk dilaksanakan di layanan kesehatan
sehingga semua petugas kesehatan harus menganjurkan tes HIV setidaknya pada ibu
hamil, pasien TB, pasien yang menunjukkan gejala dan tanda klinis diduga terinfeksi,
pasien dari kelompok berisiko (penasun, PSK-pekerja seks komersial, LSL–lelaki
seks dengan lelaki), pasien IMS dan seluruh pasangan seksualnya. Pelaksanaan tes
Universitas Sumatera Utara
29
HIV perlu disesuaikan dengan prinsip bahwa pasien sudah mendapatkan informasi
yang cukup dan menyetujui untuk tes HIV dan semua pihak menjaga kerahasiaan.
Terkait dengan PPIA layanan konseling atas inistiatif petugas ini dilakukan
dalam pemeriksaan Ante Natal Care (ANC), dengan kegiatan:
1. Informasi pra tes (termasuk penawaran tes) dan tes HIV bagi ibu hamil
Kegiatan ini dilakukan sebelum tes bagi ibu hamil yang belum mengetahui status
HIV-nya. Kegiatan ini dilakukan pada saat pemeriksaan ANC pertama sampai
menjelang persalinan. Melalui informasi diharapkan ibu hamil dapat memahami
manfaat tes bagi dirinya serta janin yang dikandungnya dan mengurangi
kecemasannya sehingga ibu dapat memutuskan apakah akan melakukan tes atau
tidak. Pendekatan yang dilakukan dalam TIPK adalah pendekatan Option Out.
2. Konseling dan Tes HIV bagi pasangannya
Secara ideal konseling dan tes HIV juga dilakukan kepada pasangan ibu hamil
yang melakukan pemeriksaan.
3. Konseling pasca testing
Setelah menerima hasil tes, baik bagi ibu hamil dan pasangannya yang
mendapatkan hasil positif maupun negatif harus mendapatkan konseling pasca
testing. Penanggungjawab kegiatan: Direktorat Kesehatan Ibu dan Subdit AIDS.
Peran petugas kesehatan dapat dibagi atas (Baziad dan Prawirohardjo, 2003):
1. Peran Petugas Kesehatan sebagai Motivator
Motivator menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 2008) adalah
orang (perangsang) yang menyebabkan timbulnya motivasi pada orang lain untuk
melaksanakan sesuatu; pendorong; penggerak.
Universitas Sumatera Utara
30
2. Peran Petugas Kesehatan sebagai Edukator
Peran petugas kesehatan dalam memberikan informasi juga sangat berpengaruh
bagi ibu hamil dalam menjalani tes HIV. Peran seperti memberikan penyuluhan
atau pembagian brosur-brosur atau selebaran mengenai apa manfaat tes HIV dan
apa akibat bila ternyata ibu hamil mengidap HIV terutama bagi janin yang
dikandungnya akan sangat berperan bagi ibu hamil Besarnya peran petugas
kesehatan akan sangat membantu ibu dalam mewujudkan kemauannya menjalani
tes HIV.
3. Peran Petugas Kesehatan Sebagai Fasilitator
Peran lain petugas kesehatan adalah memfasilitasi (sebagai orang yang
menyediakan fasilitas), memberi semua kebutuhan ibu saat menjalani tes HIV.
Petugas kesehatan harus membuka layanan konsultasi di fasilitas kesehatan
seperti puskesmas atau menyediakan sarana informasi seperti poster, brosur
ataupun selebaran yang berguna bagi ibu hamil dalam memberikan pengetahuan
mengenai HIV dan tes HIV. Jika hal ini sudah dipenuhi, maka kemauan ibu hamil
menjalani tes HIV akan terwujud.
2.4
Perilaku Kesehatan
2.4.1
Definisi Perilaku Kesehatan
Perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati
bahkan dapat dipelajari. Skinner dalam Azwar (2010), seorang ahli psikologi
merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap
stimulus (rangsangan dari luar). Namun dalam memberikan respon sangat tergantung
Universitas Sumatera Utara
31
pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan. Faktor-faktor
yang membedakan respon terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan
perilaku. Determinan perilaku dibedakan menjadi dua yaitu :
1. Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan
yang bersifat given atau bawaan, misalnya tingkat kecerdasan, tingkat emosional,
jenis kelamin dan sebagainya.
2. Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial,
budaya, ekonomi, politik dan sebagainya. Faktor lingkungan ini merupakan faktor
dominan yang mewarnai perilaku seseorang.
Menurut Green (2005), perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang
(organisme) terhadap stimulus atau objek yang memiliki unsur-unsur perilaku dengan
sakit dan penyakit, perilaku peningkatan dan pemeliharaan kesehatan (health
promotion behaviour), perilaku pencegahan penyakit (health prevention behaviour),
perilaku pencarian pengobatan (health seeking behaviour), perilaku terhadap sistem
pelayanan kesehatan, perilaku terhadap makanan, dan minuman, serta perilaku
terhadap lingkungan. Untuk lebih jelasnya dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Perilaku terhadap sakit dan penyakit
Perilaku terhadap sakit dan penyakit merupakan respons internal dan eksternal
seseorang dalam menanggapi rasa sakit dan penyakit, baik dalam bentuk respon
tertutup (sikap, pengetahuan) maupun dalam bentuk respons terbuka (tindakan
nyata).
Universitas Sumatera Utara
32
2. Perilaku peningkatan dan pemeliharaan kesehatan (health promotion behaviour)
Perilaku seseorang untuk memelihara dan meningkatkan daya tahan tubuh
terhadap masalah kesehatan.
3. Perilaku pencegahan penyakit (health prevention behaviour)
Segala tindakan yang dilakukan seseorang agar dirinya terhindar dari penyakit,
misalnya imunisasi pada balita, melakukan 3M dll.
4. Perilaku pencarian pengobatan (health seeking behaviour)
Perilaku ini menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat menderita
penyakit dan/atau kecelakaan, mulai dari mengobati sendiri (self-treatment)
sampai mencari bantuan ahli.
5. Perilaku pemulihan kesehatan (health rehabilitation behaviour)
Pada proses ini, diusahakan agar sakit atau cacat yang diderita tidak menjadi
hambatan sehingga individu yang menderita dapat berfungsi optimal secara fisik,
mental dan sosial.
6. Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan
Perilaku ini merupakan respons individu terhadap sistem pelayanan kesehatan
modern dan atau tradisional.
7. Perilaku terhadap makanan
Perilaku ini meliputi pengetahuan, sikap, dan praktik terhadap makanan serta
unsur-unsur yang terkandung di dalamnya (gizi, vitamin) dan pengolahan
makanan.
Universitas Sumatera Utara
33
8. Perilaku terhadap kesehatan lingkungan
Perilaku ini merupakan upaya seseorang merespons lingkungan sebagai
determinan agar tidak memengaruhi kesehatannya.
2.4.2
Model Perilaku Kesehatan
Terdapat berbagai macam model perilaku kesehatan yang digunakan untuk
menggambarkan perilaku pemanfaatan pelayanan, model-model tersebut adalah
(Ilyas, 2012):
1. Model Andersen dan Anderson
Model ini merupakan suatu model kepercayaan kesehatan yang disebut sebagai
model perilaku pemanfaatan pelayanan kesehatan. Adapun faktor-faktor yang
mempengaruhi adalah: predisposisi, kemampuan, dan kebutuhan.
2. Model Demografi
Pada model ini variabel yang digunakan berdasarkan umur, jenis kelamin, status
perkawinan dan besarnya keluarga. Variabel tersebut digunakan sebagai indikator
yang memengaruhi utilisasi pelayanan kesehatan.
3. Model Struktur Sosial
Pada model ini variabel yang digunakan adalah pendidikan, pekerjaan dan etnis.
Variabel-variabel tersebut mencerminkan status sosial dari individu atau keluarga
di dalam masyarakat dan dapat pula menggambarkan gaya hidup individu dan
keluarga.
4. Model Sosial Psikologis
Pada model ini variabel yang digunakan adalah pengetahuan, sikap dan keyakinan
individu
dalam
memanfaatkan
pelayanan
kesehatan.
Variabel
tersebut
Universitas Sumatera Utara
34
memengaruhi individu untuk mengambil keputusan dan bertindak dalam
menggunakan pelayanan kesehatan.
5. Model Sumber Daya Keluarga
Pada model ini variabel yang digunakan adalah pendapatan keluarga dan cakupan
mengenai pelayanan kesehatan. Variabel tersebut dapat mengukur kesanggupan
dari setiap individu atau keluarga untuk memperoleh pelayanan kesehatan.
6. Model Sumber Daya Masyarakat
Pada model ini variabel yang digunakan adalah pelayanan kesehatan dan sumbersumber di dalam masyarakat.
7. Model Organisasi
Pada model ini variabel yang digunakan adalah pencerminan perbedaan bentukbentuk pelayanan kesehatan.
8. Teori Health Believe Model (HBM)
Model perilaku kesehatan Health Believe Model (HBM) dari Becker &
Rosenstock didasarkan pada empat elemen persespsi yaitu: i) Perceived
suscepilbility: penilalan individu mengenai kerentanan mereka terhadap suatu
penyakit; ii) Perceived seriousness: penilaian individu mengenai seberapa serius
kondisi dan konsekuensi yang ditimbulkan oleh penyakit tersebut; iii) Perceived
barriers: penilaian individu mengenai besar hambatan yang ditemui untuk
mengadopsi perilaku kesehatan yang disarankan, seperti hambatan fmansial, fisik,
dan psikososial; dan iv) Perceived benefits: penilaian individu mengenai
keuntungan yang didapat dengan mengadopsi perilaku kesehatan yang
disarankan.
Universitas Sumatera Utara
35
Menurut Azwar (2010), model hubungan perilaku ada yang menyatakan
bahwa perilaku adalah fungsi karakteristik individu dan lingkungan. Karakteristik
individu meliputi berbagai variabel seperti motif, nilai-nilai, sifat kepribadian dan
sikap yang saling berinteraksi pula dengan faktor-faktor lingkungan dalam
menentukan perilaku. Faktor lingkungan memiliki kekuatan besar dalam menentukan
perilaku, bahkan kadang-kadang kekuatannya lebih besar dari pada karakteristik
individu. Hal inilah yang menjadikan prediksi perilaku lebih kompleks. Secara
sederhana, teori ini mengatakan bahwa seseorang akan melakukan suatu perbuatan
apabila ia memandang perbuatan itu positif dan bila ia percaya bahwa orang lain
ingin agar ia melakukannya. Dalam teori perilaku terencana keyakinan-keyakinan
berpengaruh pada sikap terhadap perilaku tertentu pada norma-norma subjektif dan
pada kontrol perilaku yang dia hayati. Ketiga komponen ini berinteraksi dan menjadi
determinan bagi intense yang pada gilirannya akan menentukan apakah perilaku yang
bersangkutan akan dilakukan atau tidak.
Dalam penelitian ini, konsep kemauan ibu hamil untuk mengikuti test HIV
yang merupakan salah satu wujud perilaku kesehatan, sehingga bisa digunakan teori
Green (2005), bahwa faktor-faktor yang memengaruhi perilaku kesehatan yaitu
faktor predisposisi, pemungkin dan penguat.
1. Faktor Predisposisi
Faktor-faktor ini mencakup mengenai pengetahuan dan sikap masyarakat
terhadap kesehatan, tingkat pendidikan, dan tingkat sosial/ekonomi.
Universitas Sumatera Utara
36
2. Faktor Pemungkin
Faktor-faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas
kesehatan bagi masyarakat.
3. Faktor Penguat
Faktor-faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh
agama, sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan, termasuk
juga undang-undang, peraturan-peraturan baik dan pusat maupun pemerintah
daerah yang terkait dengan kesehatan.
2.5
Faktor-faktor yang Memengaruhi Kemauan Ibu untuk Tes HIV
Adapun faktor-faktor yang memengaruhi kemauan ibu untuk tes HIV antara
lain:
1. Umur
Demissie, et al. (2009) mengatakan bahwa perilaku ibu hamil untuk mengikuti tes
HIV tidak hanya berhubungan dengan umur, namun berhubungan dengan
pekerjaan, pengetahuan,
persepsi risiko, persepsi manfaat dan keterlibatan
suami.
2. Pendidikan
Wanita yang berpendidikan akan lebih terbuka terhadap ide-ide baru dan
perubahan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang proposional karena
manfaat pelayanan kesehatan akan mereka sadari sepenuhnya (Anindita, 2012).
Notoatmodjo mangatakan bahwa pada umumnya makin tinggi pendidikan
seseorang makin mudah menerima informasi (Notoatmodjo, 2010). Paoli, et al
Universitas Sumatera Utara
37
(2004) mengatakan bahwa perilaku ibu hamil untuk mengikuti tes HIV tidak
hanya berhubungan dengan pendidikan, namun berhubungan dengan persepsi
kerentanan, persepsi keparahan, persepsi halangan, petunjuk berperilaku dan
keterlibatan suami.
3. Pengetahuan
Hasil penelitian Asmauryanah (2014) menunjukkan ada hubungan pengetahuan,
sikap, peran suami dan peran petugas kesehatan dengan upaya ibu hamil dalam
pencegahan penularan HIV ke bayi. Demissie, et al (2009) yang mengatakan
bahwa ada hubungan antara pengetahuan dan perilaku untuk tes HIV. Teori
Green (2005) bahwa pengetahuan merupakan antesenden dari perilaku yang
menyediakan alasan utama atau motivasi untuk berperilaku tersebut. Sehingga
apabila ibu hamil memiliki pengetahuan yang baik tentang HIV&AIDS dan VCT
maka akan memotivasi ibu untuk melakukan tes HIV.
4. Dukungan Suami
Ditekemena (2010) menyatakan bahwa salah satu faktor ibu hamil dalam upaya
pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi adalah peran suami. Keterlibatan
suami dalam pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dalam mengendalikan
infeksi HIV ke bayi sangat menguntungkan karena pengambilan keputusan ibu
didiskusikan bersama suami.
Penelitian Paoli (2004) dan penelitian Demissie, et al (2009) menunjukkan bahwa
keterlibatan/dukungan suami berhubungan dengan perilaku untuk tes, karena
suami merupakan pengambil keputusan. Partisipasi suami akan mendukung ibu
hamil untuk datang ke pelayanan kesehatan ibu dan anak, serta membantu ibu
Universitas Sumatera Utara
38
hamil pada saat-saat penting, seperti menentukan apakah ingin menjalani tes HIV,
mengambil hasil tes, menggunakan obat ARV, ataupun memilih makanan bayi
agar tidak tertular HIV. Teori Green mengatakan bahwa faktor penguat adalah
faktor-faktor yang akan datang dari perilaku yang memberikan penghargaan
(reward) atau perangsang untuk perilaku tersebut dan menyumbang kelangsungan
dan pengulangan perilaku tersebut, di antaranya adalah dukungan suami
(Green,2005).
5. Dukungan Bidan
Teori Green mengatakan bahwa faktor-faktor yang akan datang dari perilaku yang
memberikan penghargaan (reward) atau perangsang untuk perilaku tersebut dan
menyumbang kelangsungan dan pengulangan perilaku tersebut, di antaranya
adalah dukungan bidan (Green, 2005).
6. Dukungan Kader
Hasil penelitian Legiati (2012) menunjukkan bahwa ada hubungan antara
dukungan kader dengan perilaku tes. Hal ini sesuai dengan teori Green (2005)
yang mengatakan bahwa faktor-faktor yang akan datang dari perilaku yang
memberikan penghargaan (reward) atau perangsang untuk perilaku tersebut dan
menyumbang kelangsungan dan pengulangan perilaku tersebut, diantaranya
adalah dukungan kader.
7. Kerentanan
Teori Health Belief Model bahwa seseorang akan bertindak untuk mengobati atau
mencegah penyakit jika merasa dirinya rentan terhadap penyakit tersebut,
termasuk akibat dari pekerjaan suami yang berisiko terhadap penularan HIV
Universitas Sumatera Utara
39
(Sarwono, 2007). Paoli, et al (2004) mengatakan persepsi terhadap kerentanan
berhubungan dengan perilaku untuk tes HIV.
8. Manfaat VCT
Penelitian Aini (2005) menunjukkan bahwa alasan ibu hamil melakukan tes
adalah adanya manfaat VCT. Mereka merasa dengan VCT dapat melindungi ibu
dan bayi, mendapatkan pengobatan dan perubahan perilaku. Hal ini sesuai dengan
teori Health Belief Model yang mengatakan bahwa manfaat yang dirasakan
menunjukkan keyakinan individu untuk berperilaku (Sarwono, 2007).
9. Stigma dan Diskriminasi
Stigma sering kali menyebabkan terjadinya diskriminasi dan pada gilirannya akan
mendorong munculnya pelanggaran HAM bagi ODHA dan keluarganya. Stigma
dan diskriminasi memperparah epidemi HIV & AIDS.Orang dengan HIV/AIDS
(ODHA) di Indonesia hingga kini masih merasakan adanya stigma dan
dikriminasi. Pemahaman kebanyakan orang masih keliru keliru tentang HIV &
AIDS. AIDS dianggap sebagai penyakit yang berbahaya, karena sampai saat ini
belum ditemukan obat yang dapat menyembuhkan. Masalah HIV & AIDS
dianggap hanya masalah bagi mereka yang mempunyai perilaku seks yang
menyimpang. HIV & AIDS seringkali dikaitkan dengan masalah mereka yang
dinilai tidak bermoral, pendosa dan sebagainya.
Diskriminasi dalam memperoleh akses kesehatan saat ini justru lebih sering
dilakukan oleh para tenaga kesehatan. Sering terjadi, fasilitas pelayanan kesehatan
yang diharapkan memberikan perawatan dan dukungan, pada kenyataannya
merupakan tempat pertama orang mengalami stigma dan diskriminasi. Bahkan
Universitas Sumatera Utara
40
beberapa tenaga kesehatan/fasilitas pelayanan kesehatan secara terang-terangan
menolak memberikan pelayanan kesehatan ketika mengetahui pasien yang
ditangani positif HIV/AIDS. Contoh diskriminasi meliputi petugas kesehatan di
fasilitas pelayanan yang menolak memberikan pertolongan persalinan kepada ibu
Hamil HIV karena takut tertular HIV, fasilitas pelayanan kesehatan hanya mau
menolong persalinan apabila dilengkapi dengan sarana dan alat pertolongan
persalinan yang berlebihan, membakar sarana dan alat yang digunakan setelah
meolong persalinan ibu HIV. Diskriminasi ini timbul antara lain karena
disebabkan karena banyak tenaga kesehatan yang belum paham dan mendapat
informasi yang lengkap dan benar mengenai HIV/AIDS, sehingga stigma dan
diskriminasi juga menghambat upaya pencegahan dengan membuat orang takut
untuk melakukan pemeriksaan tes HIV untuk mengetahui apakah mereka
terinfeksi atau tidak.
Satu upaya dalam menanggulangi adanya diskriminasi terhadap ODHA adalah
meningkatkan pemahaman tentang HIV & AIDS di masyarakat, khususnya di
kalangan petugas kesehatan, dan terutama pelatihan tentang perawatan
(Kemenkes, 2013).
Stigma terhadap ODHA akan berdampak terhadap upaya pencegahan HIV seperti
orang akan enggan untuk melakukan tes HIV karena takut akan mendapatkan
stigma apabila hasil tesnya positif (UNAIDS, 2002).
Universitas Sumatera Utara
41
2.6
Landasan Teori
Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) adalah upaya yang
bertujuan untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke anak secara komprehensif dan
terintegrasi
dengan
program-program
yang berkaitan
dengan
pengendalian
HIV/AIDS. Berdasarkan data RAN-PPIA bahwa di Indonesia infeksi HIV merupakan
salah satu penyakit menular yang dikelompokkan sebagai faktor yang dapat
mempengaruhi kematian ibu dan anak. Meskipun berbagai upaya telah dilaksanakan
selama beberapa tahun, masih perlu upaya peningkatan cakupan pelaksanaan program
PPIA yang terintegrasi di layanan KIA sejalan dengan perkiraan peningkatan beban.
Salah satu hambatan dalam pelaksanaannya adalah pengetahuan, keterampilan dan
motivasi tenaga kesehatan masih belum memadai (Kemenkes RI, 2013).
Dalam penelitian ini, konsep kemauan ibu hamil untuk mengikuti test HIV
yang merupakan salah satu wujud perilaku kesehatan, sehingga bisa digunakan teori
Green (2005), bahwa faktor-faktor yang memengaruhi perilaku kesehatan yaitu
faktor predisposisi seperti pengetahuan, sikap masyarakat terhadap kesehatan, tingkat
pendidikan, dan tingkat sosial/ekonomi; faktor pemungkin seperti ketersediaan sarana
dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat; dan faktor penguat seperti
sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, sikap dan perilaku para petugas
termasuk petugas kesehatan, termasuk juga undang-undang, peraturan-peraturan baik
dan pusat maupun pemerintah daerah yang terkait dengan kesehatan.
Salah satu faktor yang berhubungan dengan tes HIV pada ibu hamil adalah
peran petugas kesehatan. Menurut Baziad dan Prawirohardjo (2003), peran petugas
kesehatan dapat dibagi atas:
Universitas Sumatera Utara
42
1. Peran Petugas Kesehatan sebagai Motivator
Motivator menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 2008) adalah
orang (perangsang) yang menyebabkan timbulnya motivasi pada orang lain untuk
melaksanakan sesuatu; pendorong; penggerak. Peran petugas kesehatan sebagai
motivator adalah memberikan dorongan atau keyakinan kepada ibu hamil agar
mau mengikuti tes HIV.
2. Peran Petugas Kesehatan sebagai Edukator
Peran petugas kesehatan dalam memberikan informasi juga sangat berpengaruh
bagi ibu hamil dalam menjalani tes HIV. Peran seperti memberikan penyuluhan
atau pembagian brosur-brosur atau selebaran mengenai apa manfaat tes HIV dan
apa akibat bila ternyata ibu hamil mengidap HIV terutama bagi janin yang
dikandungnya akan sangat berperan bagi ibu hamil Besarnya peran petugas
kesehatan akan sangat membantu ibu dalam mewujudkan kemauannya menjalani
tes HIV.
3. Peran Petugas Kesehatan sebagai Fasilitator
Peran lain petugas kesehatan adalah memfasilitasi (sebagai orang yang
menyediakan fasilitas), memberi semua kebutuhan ibu saat menjalani tes HIV.
Universitas Sumatera Utara
43
2.7
Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan landasan teori, maka peneliti dapat merumuskan kerangka
konsep sebagai berikut :
Variabel Bebas
Variabel Terikat
(Y)
(X)
Peran Tenaga Kesehatan
sebagai:
1. Motivator
2. Edukator
3. Fasilitator
(Baziad dan Prawirohardjo,
2003)
Test HIV pada
Ibu Hamil
Karakteristik Ibu Hamil:
1. Tingkat Pendidikan
2. Pengetahuan
3. Dukungan Suami
4. Stigma
(Green, 2005; Kemenkes,
2013; UNAIDS, 2002)
Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian
Universitas Sumatera Utara
Download