BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara dengan biodiversitas yang sangat tinggi memiliki beragam ekosistem. Salah satu jenis ekosistem tersebut diantaranya adalah hutan mangrove. Berdasarkan hasil inventarisasi dan identifikasi pada tahun 2006 oleh RLPS, luas total hutan mangrove di Indonesia diperkirakan 7,7 juta ha (Santoso, 2011). Secara umum, hutan mangrove merupakan asosiasi tumbuhan berkayu yang selalu tergenang oleh air laut dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove terdapat dua jenis yaitu mangrove sejati (true mangrove) dan mangrove ikutan (associate mangrove). Menurut (Setiawan dkk. 2004), Tumbuhan true mangrove merupakan tumbuhan yang sepenuhnya berhabitat di kawasan pasang surut, secara morfologi beradaptasi dengan lingkungan yang ada di kawasan pasang surut. Contoh tumbuhannya yakni; Avicennia, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Nypa fruticans, Rhizophora, dan Sonneratia. Menurut (Bengen, 2002), hutan mangrove yang merupakan komunitas vegetasi pantai memiliki karakteristik yang umumnya tumbuh di daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir, daerahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun hanya tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove, menerima pasokan air tawar yang cukup 1 dari darat, terlindung dari gelombang arus besar dan arus pasang surut yang kuat. Pertumbuhan mangrove dipengaruhi beberapa faktor lingkungan seperti kondisi tanah, salinitas, temperatur, curah hujan dan pasang surut. Kadar garam atau salinitas memiliki pengaruh yang besar dalam penyusunan vegetasi mangrove. Menurut karakteristik morfologinya dalam manajemen garam, tanaman mangrove dibagi ke dalam dua kelompok besar. Kelompok pertama adalah spesies yang mensekresi garam (jenis sekresi/secreting species) yang memiliki kelenjar garam di daunnya atau rambut garam untuk menghilangkan kelebihan garam. Yang kedua adalah spesies non-sekresi (non-scereting species) yang tidak memiliki fitur morfologi tersebut untuk ekskresi kelebihan garam (Scholander et al., 1962; Tomlinson, 1986). Setiap jenis organisme mempunyai kisaran toleransi yang berbeda terhadap faktor-faktor lingkungan. Tanaman yang mempunyai kisaran toleransi yang luas memiliki ketahanan terhadap kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan, yang dalam kondisi tertentu disebut sebagai cekaman (stress) lingkungan. Kondisi tersebut antara lain adalah cekaman kekeringan, kelembaban air, suhu tinggi, suhu rendah, dan kadar garam tinggi (Salisbury, 1995). B. gymnorrhiza juga memiliki tingkat toleransi terhadap faktor-faktor lingkungan terutama kadar garam atau salinitas. Apabila tingkat salintas tidak sesuai dengan kebutuhan B. gymnorrhiza maka pertumbuhannya akan terhambat. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui 2 salinitas B. gymnorrhiza yang sesuai. Dengan mengetahui tingkat salinitas yang sesuai maka dapat digunakan untuk menciptakan peluang membudidayakan tanaman B. gymnorrhiza walaupun lokasinya jauh dari hutan payau. 1.2 Permasalahan Informasi tentang kemampuan adaptasi tanaman mangrove terhadap lingkungan di masyarakat umum masih sangat terbatas. Padahal informasi tersebut sangatlah penting sebagai landasan untuk turut serta dalam budidaya jenis tanaman mangrove. Faktor lingkungan yang sangat berpengaruh adalah salinitas, maka perlu dilakukan penelitian tingkat salinitas yang paling baik untuk pertumbuhan jenis mangrove khususnya tanaman B. gymnorrhiza. 1.3 Tujuan Penelitian 1. Mengetahui pengaruh tingkat salinitas terhadap pertumbuhan semai B. gymnorrhiza. 2. Mengetahui pengaruh tingkat salinitas terhadap persen hidup semai B. gymnorrhiza. 1.4 Manfaat Penelitian Memberi informasi pada masyarakat yang akan melakukan budidaya Tancang tentang salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan semai Tancang yaitu salinitas. 3