11 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Faktor Penentu

advertisement
11
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Faktor Penentu Pertumbuhan Ekonomi
Teori mengenai pertumbuhan ekonomi akan memberikan gambaran
mengenai faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Teori ekonomi
Neoklasik Solow menjelaskan mengenai pengaruh persediaan modal, tenaga kerja,
dan kemajuan teknologi terhadap ouput.
Fungsi produksi agregat dapat
membantu menggambarkan mengenai hal tersebut. Mula-mula akan dibahas
mengenai pertumbuhan ouput yang dipengaruhi oleh modal dan tenaga kerja
tanpa memasukkan teknologi. Fungsi produksi agregat dapat ditulis sebagai
berikut:
Y = F(K,L) ………………………………………………………………….. (2.1)
Model pertumbuhan Solow mengasumsikan adanya constant return to
scale ketika input dianalisis secara bersamaan. Namun, ketika input dianalisis
secara terpisah maka asumsi yang digunakan adalah diminishing return to scale
(Todaro dan Smith, 150:2006). Pada mulanya peningkatan modal per tenaga kerja
akan meningkatkan output per kapita, akan tetapi ketika penambahan modal terus
dilakukan output meningkat lebih rendah (diminishing marginal product of
capital).
Output per kapita, y
y = f(k)
y
k
Sumber : Dornbusch, Fischer, dan Startz (62:2008)
Gambar 7. Fungsi Produksi per Kapita
k
12
Fungsi produksi tanpa memasukkan unsur kemajuan teknologi dilakukan
untuk penyederhanaan, sehingga tidak dapat dilihat pertumbuhan jangka panjang
pada perekonomian secara lebih lengkap. Kemajuan teknologi merupakan variabel
eksogen dalam teori ekonomi neoklasik Solow. Untuk melihat hal itu dalam teori
pertumbuhan neoklasik Solow, dengan memasukkan kemajuan teknologi,
persamaan fungsi agregat dapat ditulis sebagai berikut (Mankiw, 212:2006) :
Y = F(K, L x E) ……………………………………………………………… (2.2)
E merupakan variabel yang mewakili efisiensi tenaga kerja, yaitu pengetahuan
mengenai metode produksi. Pendidikan atau keahlian serta kesehatan tenaga kerja
dapat
meningkatkan efisiensi tenaga
kerja.
Kemajuan teknologi dapat
meningkatkan efisiensi tenaga kerja ketika contohnya, teknologi komputer dipakai
pada proses produksi dalam bidang manufaktur untuk proses perakitan pada akhir
abad dua puluh (Mankiw, 212:2006).
Peningkatan jumlah pekerja efektif akibat peningkatan teknologi tersebut
mampu meningkatkan output. Akan tetapi peningkatan jumlah pekerja efektif
tidak berarti menunjukkan peningkatan input atau tenaga kerja. Jumlah pekerja
dapat sama dengan waktu yang lalu, tetapi dengan kemajuan teknologi yang
dikuasai tenaga kerja saat ini, ketersediaan tenaga kerja efektif menjadi bertambah.
Maka dari itu, dari persamaan di atas dapat dinyatakan bahwa pertumbuhan output
ditentukan oleh modal (K) dan jumlah pekerja efektif (L x E).
Efisiensi tenaga kerja sebagai bagian dari modal tidak dijelaskan dalam
model dasar Solow, padahal dalam beberapa hal modal manusia serupa dengan
modal fisik. Modal manusia mampu memberikan peningkatan kemampuan untuk
memproduksi ouput. Modal manusia yaitu berupa ilmu pengetahuan dan keahlian
yang dimiliki pekerja dari kegiatan pendidikan seperti on the job training dan
pendidikan formal lainnya. Pada model Solow, E merupakan modal manusia yang
bergabung dengan variabel tenaga kerja. Sementara yang dimaksud dengan
menggunakan modal manusia di atas adalah menganalisis modal manusia dengan
terpisah dari variabel tenaga kerja, yaitu sebagai bentuk baru dari modal (K).
Dengan demikian, E hanya mencerminkan teknologi dan modal manusia tidak
merupakan bagian di dalamnya (Mankiw, 222:2006).
13
Mankiw (222:2006) menyatakan bahwa pada kenyataannya, modal yang
ada tidak hanya merupakan jenis modal pada model neoklasik Solow saja, yaitu
tabungan. Akan tetapi, jalan raya, jembatan, sistem pembuangan air, pabrik,
komputer, dan robot juga merupakan bentuk lain dari modal yang ada di dunia.
Oleh sebab itu, pengembangan terhadap fungsi produksi dilakukan oleh para
ekonom untuk meneliti faktor-faktor yang diperkirakan berpengaruh dalam proses
perekonomian di dunia atau di suatu wilayah.
2.2
Konvergensi
Teori ekonomi neoklasik berpendapat bahwa perekonomian akan bergerak
menuju steady state atau kondisi mapan, pergerakan tersebut ditentukan oleh
tingkat teknologi, tingkat investasi termasuk modal manusia dan modal fisik,
tingkat pertumbuhan penduduk, serta tingkat depresiasi modal manusia dan modal
fisik. Pergerakan perekonomian menuju kondisi mapan terjadi saat tingkat
teknologi dan tabungan yang dimiliki suatu perkeonomian tinggi dan tingkat
pertumbuhan populasi serta depresiasi yang terjadi rendah, dan sebaliknya.
Perbedaan tingkat tabungan, tingkat teknologi, tingkat pertumbuhan populasi,
serta perbedaan karakteristik lainnya antarnegara atau antardaerah menyebabkan
setiap perekonomian tidak memiliki tingkat kondisi mapan yang sama.
Peningkatan pendapatan per kapita hanya akan terjadi sebesar tingkat
teknologinya ketika suatu perekonomian telah berada pada kondisi mapannya
(Valdés, 62-63:2003).
Valdés (2003) lebih lanjut memberikan ilustrasi mengenai konvergensi
menuju kondisi mapan (Gambar 8). Jika suatu perekonomian berada di bawah
kondisi mapannya (jalur C), maka pertumbuhan pendapatan per kapita akan lebih
besar dari pada tingkat teknologi. Sedangkan jika perekonomian berada di atas
kondisi mapannya (jalur D), maka perekonomian akan bergerak menuju kondisi
mapan dengan pertumbuhan pendapatan per kapita yang lebih kecil dari tingkat
teknologinya. Jalur B menunjukkan perekonomian yang telah berada pada kondisi
mapan, pada posisi tersebut pertumbuhan ekonomi akan tumbuh sebesar tingkat
teknologinya.
14
Sumber : Valdés (63:2003)
Gambar 8. Konvergensi Menuju Kondisi Mapan
Terdapat dua kosep konvergensi, yaitu σ convergence dan β convergence.
Konsep yang pertama fokus pada dispersi yang dapat diukur dengan misalnya,
standard deviasi dari logaritma pendapatan atau produk per kapita antardaerah.
Jika nilainya menunjukkan penurunan antarwaktu maka konvergensi pendapatan
terjadi. Namun, jika nilainya tidak menunjukkan penurunan maka konvergensi
tidak terjadi. Sedangkan konsep yang kedua menyatakan perekonomian miskin
mampu mengejar (catch up) perekonomian kaya dalam hal pendapatan atau
produk per kapita (Barro dan Sala-i Martin, 462:2004).
Konsep β convergence dapat dibedakan menjadi dua, yaitu absolute
convergence dan conditional convergence. Konvergensi absolut terjadi ketika
pengukuran konvergensi didasarkan pada tingkat pendapatan awal saja.
Sedangkan konvergensi kondisional menambahkan beberapa variabel kontrol.
Variabel kontrol ini merupakan karakteristik yang menentukan tingkat kondisi
mapan masing-masing perekonomian. Dengan demikian konvergensi kondisional
menyatakan bahwa perekonomian akan berkonvergen pada kondisi mapan
masing-masing yang dipengaruhi oleh berbagai variabel kontrol seperti tingkat
tabungan dan pertumbuhan populasi (Barro dan Sala-i Martin, 17:2004).
15
2.3
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
PDRB serupa dengan Produk Domestik Bruto (PDB). PDB merupakan
output barang dan jasa yang dihasilkan dalam suatu perekonomian pada suatu
negara (nasional), termasuk pendapatan warga negara asing di dalam negeri
(Mankiw, 28:2006). Sedangkan PDRB menunjukkan output barang dan jasa yang
dihasilkan oleh perekonomian di suatu daerah (regional). Terdapat dua jenis
PDRB yaitu, PDRB atas dasar harga berlaku dan PDRB atas dasar harga konstan.
PDRB atas dasar harga berlaku menghitung nilai tambah ouput dengan
menggunakan harga pada tahun berjalan. Sedangkan PDRB atas dasar harga
konstan menghitung nilai tambah ouput menggunakan harga tahun dasar tertentu.
Maka dari itu, pada PDRB atas dasar harga konstan, pengaruh perbedaan harga
antarwaktu telah dihilangkan.
Pergeseran dan struktur perekonomian dapat dilihat dari PDRB atas dasar
harga berlaku. Dengan demikian, dapat diketahui bagaimana kemampuan sumber
daya ekonomi suatu daerah untuk menghasilkan output pada tahun tersebut.
Sedangkan PDRB atas dasar harga konstan berguna untuk melihat pertumbuhan
ekonomi dari tahun ke tahun. Pertumbuhan ekonomi tersebut dapat dilihat secara
keseluruhan atau sektoral (BPS Propinsi Banten, 10-12:2008).
2.4
Infrastruktur
Terdapat beragam definisi berkaitan dengan infrastruktur, diantaranya
adalah
definisi infrastruktur dalam The McGraw-Hill Dictionary of Modern
Economics (Greenwald, 297:1973), yakni:
“The foundation underlying a nation’s economy (transportation and communications
systems, power facilities, and other public services) upon which the degree of economic activity
(industry, trade, etc) depends.”
Definisi lainnya untuk infrastruktur pada Kamus Istilah Ekonomi (Rochaety dan
Tresnati, 163:2005), yaitu:
“Pelayanan kepada masyarakat dalam skala besar seperti air, jalan raya, kereta api,
sistem penerbangan, telepon, komunikasi radio, dan lain-lain.”
Salim (48:2000) menyatakan bahwa infrastruktur terdiri dari infrastruktur
fisik berupa listrik, air minum, transportasi, dan telekomunikasi, sedangkan
infrastruktur sosial terdiri dari pendidikan, latihan, dan kesehatan. Selain itu,
16
Ramelan (5-6:1997) menjelaskan secara lebih rinci, bahwa terdapat dua jenis
infrastruktur pembangunan yaitu infrastruktur ekonomi dan infrastruktur sosial.
Infrastruktur ekonomi berupa infrastruktur fisik yang digunakan masyarakat
ataupun pada proses produksi, seperti tenaga listrik, telekomunikasi, perhubungan,
irigasi, air bersih
dan sanitasi, serta pembuangan limbah. Sedangkan yang
dimaksud dengan infrastruktur sosial adalah kesehatan dan pendidikan.
Selanjutnya ia menyatakan bahwa infrastruktur fisik termasuk sebagai social
overhead
capital,
penambahannya
akan
meningkatkan
produktivitas
perekonomian.
Pembangunan berbagai jenis infrastruktur dapat memberikan dampak
multiplier terhadap perekonomian. Infrastruktur fisik menjadi komponen modal
dalam faktor produksi yang penambahannya dapat menciptakan produktivitas
marjinal. Untuk mendukung terjadinya konvergensi diperlukan pembangunan
yang berkaitan dengan peningkatan kuantitas maupun kualitas infrastruktur di
masing-masing daerah, khususnya di daerah yang lebih miskin agar mampu
mengejar ketertinggalannya terhadap daerah kaya.
2.4.1 Jalan
Pembangunan infrastruktur transportasi dapat memberikan peningkatan
keunggulan daya saing suatu daerah. Sistem transportasi yang efisien akan
memecahkan permasalahan distribusi biaya tinggi. Hal tersebut terjadi karena
sistem transportasi yang efisien tersebut membuat proses mobilitas barang dan
manusia menjadi cepat, aman, dan murah. Selanjutnya, ekspor dapat meningkat
dengan adanya biaya komoditi yang murah di pasar internasional.
Transportasi yang baik akan menarik investor dan menciptakan lapangan
pekerjaan serta meningkatkan konsumsi masyarakat. Akhirnya pendapatan daerah
meningkat dan pengeluaran pemerintah untuk pembangunan daerah dapat
meningkat pula. Secara keseluruhan hal tersebut akan meningkatkan pertumbuhan
ekonomi daerah yang dilihat dari peningkatan PDRB (Bappenas, 2003). Hal
tersebut lebih lanjut dapat dilihat pada Gambar 9.
Sebagai salah satu infrastruktur transportasi, jalan merupakan sarana
transportasi yang digunakan dalam mendukung transportasi jangka pendek dalam
17
suatu pulau atau propinsi. Sejak Otonomi Daerah (Otda) diberlakukan,
perencanaan, pemeliharaan, dan pelaksanaan pembangunan jaringan jalan provinsi,
kabupaten, kota, dan desa merupakan wewenang pemerintah daerah. Dengan
demikian, pemerintah daerah saat ini memiliki peran yang lebih besar dalam
mengelola infrastruktur daerahnya masing-masing. Daerah yang memiliki
infrastruktur jalan yang baik, tentu lebih memiliki kesempatan untuk
mengembangkan perekonomian wilayahnya dan sebaliknya. Oleh sebab itu,
perbedaan ketersediaan infrastruktur jalan dapat memengaruhi perbedaan
kemampuan daerah dalam menjalankan aktivitas ekonominya, selanjutnya hal itu
dapat menjadi pendorong kesenjangan perekonomian antardaerah.
Sistem Transportasi
Daya Saing Wilayah
Investasi (I)
Ekspor (X)
Lapangan Kerja
Pendapatan Pemerintah
Konsumsi (C)
Pembiayaan
Pemerintah (G)
Pembangunan Wilayah
PDRB = C+I+G+nX
Sumber : Bappenas (123:2003)
Gambar 9. Peran Sektor Transportasi dalam Pembangunan Wilayah
2.4.2 Listrik
Selain jalan, energi merupakan hal penting yang dibutuhkan dalam
berbagai aktivitas. Kemajuan suatu daerah akan meningkatkan kebutuhan
terhadap energi listrik. Kebutuhan listrik juga meningkat seiring dengan
perubahan dunia yang menjadi semakin modern.
Berbagai alat rumah tangga dan telekomunikasi saat ini penggunaannya
tergantung pada kesediaan listrik. Industri membutuhkan listrik untuk berproduksi,
18
sehingga investasi di bidang industri akan berkaitan dengan jaminan ketersediaan
listrik. Beberapa rumah tangga juga menjalankan usaha, sehingga mereka
membutuhkan listrik untuk berproduksi. Penduduk yang memiliki akses listrik
mampu bekerja dan beraktivitas lebih lama. Kelancaran sistem transportasi pun
tidak luput dari kebutuhan terhadap listrik, traffic light akan menjalankan
tugasnya berdasarkan ketersediaan listrik yang mengalir. Daerah yang memiliki
akses konsumsi listrik yang baik akan memiliki peluang lebih besar dalam
menjalankan kegiatan, baik ekonomi maupun non-ekonomi. Daerah tersebut akan
memiliki produktivitas yang lebih baik dari pada daerah yang minim akan akses
listrik.
Ketersediaan listrik yang berkelanjutan sangat dibutuhkan dengan semakin
tergantungnya berbagai aktivitas terhadap energi listrik. Pengelolaan listrik dan
penyalurannya di Indonesia sebagian besar dilakukan oleh PT. PLN. Perusahaan
milik negara ini bertugas untuk menjamin ketersediaan listrik bagi seluruh
masyarakat. Dengan demikian, pelanggan listrik di Indonesia bergantung pada
kemampuan PT. PLN dalam menghasilkan dan menyalurkan listrik.
2.4.3 Air Bersih
Ketersediaan air bersih merupakan hal yang tidak dapat diabaikan dalam
perekonomian. Air bersih merupakan barang ekonomi karena penggunaannya
membutuhkan kompetisi. Kompetisi tersebut terjadi karena air bersih merupakan
sumberdaya yang terbatas dan penting. Oleh karena itu, air merupakan barang
yang diperlukan untuk menciptakan kehidupan yang berkelanjutan. Hal tersebut
merupakan beberapa prinsip Dublin yang dikemukakan pada UN Conference on
Environment and Development (UNCED) Tahun 1992 di Rio de Janeiro (Bouhia,
8:2001).
Pentingnya permasalahan air membuat pemerintah mengeluarkan UU
Republik Indonesia No.7 Tahun 2004 mengenai Sumber Daya Air. Undangundang tersebut menjelaskan mengenai segala hal yang berkaitan dengan
penyediaan, pengelolaan, dan pemanfaatan air. Pemerintah menegaskan bahwa
sumber daya air mempunyai fungsi sosial, lingkungan hidup, dan ekonomi. Pada
undang-undang tersebut juga tertulis bahwa negara menjamin hak setiap orang
19
untuk mendapatkan air untuk memenuhi kehidupan yang sehat, bersih, dan
produktif.
Fungsi sosial dari air bersih dapat berkaitan dengan kesejahteraan
masyarakat yang bisa tercermin dari kesehatannya. Penduduk yang sehat mampu
bekerja dengan baik dan menghasilkan pendapatan bagi kehidupannya. Daerah
dengan akses air bersih yang minim, memiliki kesempatan yang terbatas dalam
melakukan salah satu upaya menjaga kesehatan masyarakatnya. Pada sisi ekonomi,
air bersih bisa digunakan bagi berbagai industri untuk berproduksi.
Akses terhadap air bersih yang berkelanjutan menjadi salah satu dari target
Millenium Development Goals 2015 (Todaro dan Smith, 31:2006). Penekanan
pentingnya akses air bersih oleh lembaga dunia, yakni United Nations
Development Programme (UNDP) bertujuan agar kesenjangan penyediaan
kebutuhan dasar bagi kesejahteraan manusia dapat secepatnya dihilangkan. Maka
dari itu, pemerintah pusat dan daerah melalui departemen terkait serta pihak
lainnya harus mampu menjamin ketersediaan air bersih dan penyalurannya bagi
seluruh masyarakat di berbagai daerah, khususnya daerah yang lebih miskin agar
masyarakatnya memiliki kesempatan meningkatkan kesehatannya untuk dapat
bekerja dengan lebih produktif.
2.4.4 Fasilitas Kesehatan
Pembangunan sumber daya manusia dapat berbentuk pembangunan di
bidang kesehatan. Masyarakat yang sehat diharapkan dapat bekerja lebih
pruduktif, sehingga mampu menghasilkan output atau pendapatan dengan baik.
Selain itu, masyarakat yang sehat senantiasa memiliki angka harapan hidup yang
tinggi. Angka harapan hidup merupakan salah satu poin yang digunakan dalam
Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Investasi pada bidang kesehatan dapat berupa perbaikan dan ataupun
penambahan sarana dan prasarana kesehatan. Rumah sakit dan puskesmas
merupakan infrastruktur kesehatan yang dapat diakses oleh masyarakat.
Pembangunan dan perbaikan kedua infrastruktur tersebut merupakan salah satu
upaya yang dapat dilakukan untuk menjamin ketersediaan pelayanan kesehatan
bagi masyarakat. Dengan begitu, daerah dengan infrastruktur kesehatan yang
20
cukup diharapkan lebih mampu memberikan pelayanan kesehatan yang memadai
kepada masyarakatnya.
2.5
Penelitian Terdahulu
Konsumsi energi dalam kehidupan, terutama di era modern menjadi
kebutuhan yang tidak dapat dihindari. Rumah tangga dan industri membutuhkan
energi untuk melakukan berbagai aktivitas harian dan ekonomi. Lorde, Waithe,
dan Francis (2010) meneliti hubungan antara GDP riil dan konsumsi energi
berupa listrik di Barbados. Penelitiannya menunjukkan bahwa konsumsi energi
baik oleh residensial maupun oleh kelompok non-residensial (sektor perhotelan,
industri, dan bisnis) memberikan pengaruh yang signifikan dalam menggerakkan
pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Terdapat hubungan kausalitas
bidirectional antara GDP riil dan konsumsi energi total pada jangka panjang.
Akan tetapi pada jangka pendek, hanya ada satu hubungan kausalitas yaitu
konsumsi energi total memengaruhi GDP riil dan tidak untuk sebaliknya.
Setiadi (2006) menganalisis pengaruh pembangunan infrastruktur dasar
terhadap pendapatan per kapita di Pulau Sumatera periode 1983-2003. Variabel
yang digunakan adalah panjang jalan per luas wilayah propinsi tanpa
memerhitungkan kondisi jalan, jumlah telepon tetap per kapita, produksi listrik
per kapita, investasi (PMA dan PMDN) per kapita, serta indeks pendidikan
penduduk. Hasil analisis menunjukkan bahwa infrastruktur jalan tidak
memberikan pengaruh terhadap pendapatan per kapita. Sedangkan investasi non
infrastruktur, indeks pendidikan, telepon, dan listrik berpengaruh signifikan pada
pendapatan per kapita.
Penelitian mengenai pengaruh infrastruktur terhadap pertumbuhan
ekonomi dan pendapatan per kapita di Kawasan Barat Indonesia (KBI) periode
1995-2006 dilakukan oleh Prasetyo (2008). Variabel yang digunakan adalah
panjang jalan sesuai kondisi baik dan sedang per kapita, energi listrik terjual per
kapita, kapasitas air bersih disalurkan per kapita, investasi per kapita, dan dummy
otonomi daerah. Hasilnya menunjukkan bahwa infrastruktur listrik dan jalan
berpengaruh siginifikan terhadap pertumbuhan ekonomi yang dinyatakan oleh
PDRB ADHK per kapita dan pendapatan per kapita yang dinyatakan oleh PDRB
21
atas dasar harga berlaku per kapita. Sedangkan air tidak berpengaruh signifikan
terhadap pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita. Penelitian tersebut
juga menganalisis ketimpangan di KBI menggunakan Indeks Williamson dan
Klassen Typologi. Nilai indeks ketimpangan antarpropinsi di KBI dari Tahun
1995-2007 cukup besar yaitu 0,59-0,73. Nilai tersebut meningkat pada awal masa
otonomi daerah dan menurun pada tahun-tahun setelahnya. Pada periode 20002007 tanpa DKI Jakarta, Riau, dan Aceh, hasil tipologi klassen menunjukkan
bahwa Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Jawa Barat berada pada kuadran 1,
Sumatera Selatan, Jawa Timur, dan Bali di kuadran 2, Jambi dan Bengkulu di
kuadran 3, dan Lampung, Jawa Tengah, dan D.I. Yogyakarta di kuadran 4.
Manasan dan Mercado (1999) meneliti konvergensi pendapatan di Filipina.
Hasil estimasi mereka menunjukkan bahwa konvergensi telah terjadi selama
1975-1997. Konvergensi terjadi lebih cepat saat sektor pertanian tumbuh lebih
besar dari sektor industri dan sebaliknya. Agarwalla dan Pangotra (2011)
menemukan bahwa proses divergensi pendapatan pada Tahun 1980-2006 terjadi
di India. Sedangkan jika analisis dibagi menjadi daerah khusus dan non khusus,
konvergensi sigma terjadi di daerah khusus dan divergensi terjadi di daerah non
khuhus. Analisis konvergensi kondisional dengan metode cross section yang
melibatkan tingkat tabungan, pertumbuhan tenaga kerja, dan depresiasi
menunjukkan divergensi terjadi di India. Sedangkan jika analisis kembali
dipisahkan, maka dapat dilihat konvergensi antardaerah khusus terjadi dan
divergensi terjadi antardaerah non-khusus. Adapun analisis panel menunjukkan
bahwa konvergensi pendapatan terjadi di India.
Krismanti (2011) meneliti ketimpangan di Pulau Jawa menggunakan
koefisien variasi Williamson dan konvergensi pendapatan kabupaten/kota di pulau
Jawa dengan menggunakan FD-GMM. Selain itu ia juga meneliti faktor-faktor
yang memengaruhi ketimpangan wilayah, termasuk infrastruktur, di Pulau Jawa.
Analisis ketimpangan dengan koefisien variasi Williamson dan konvergensi
menggunakan dua jenis variabel dependen yaitu PDRB per kapita atas dasar harga
konstan 2000 dan pengeluaran rumah tangga per kapita. Variabel independen
yang digunakan untuk meneliti konvergensi adalah investasi dan tenaga kerja.
22
Ketimpangan yang terjadi di Pulau Jawa pada pendekatan PDRB yaitu
sebesar 0,94 sampai 0,98. Namun angka tersebut mencerminkan penurunan
selama periode pengamatan. Sedangkan hasil estimasi dengan pendekatan kedua
menunjukkan nilai koefisien variasi Williamson yang lebih kecil, yaitu antara 0,29
sampai 0,44. Hasil estimasi konvergensi PDRB per kapita kabupaten/kota di
Pulau Jawa menunjukkan konvergensi tidak terjadi. Sedangkan hasil estimasi
konvergensi dengan pendekatan pengeluaran rumah tangga per
kapita
kabupaten/kota di Pulau Jawa menunjukkan bahwa konvergensi terjadi di Pulau
Jawa dengan tingkat konvergensi 107,28 persen. Kecepatan yang cukup tinggi
tersebut disebabkan karena konvergensi dilihat dari sisi rumah tangga.
Analisis faktor yang memengaruhi ketimpangan wilayah kabupaten/kota
antarpropinsi di Pulau Jawa juga dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu
koefisien variasi Williamson dari PDRB per kapita dan pengeluaran rumah tangga
per kapita. Adapun variabel independen yang digunakan untuk menganalisis
ketimpangan wilayah adalah pengeluaran rutin pemerintah, share pertanian
terhadap PDRB atas dasar harga konstan 2000, share manufaktur terhadap PDRB
atas dasar harga konstan 2000, share jumlah tenaga kerja yang berpendidikan
SMA ke atas terhadap jumlah tenaga kerja, jumlah puskesmas, jumlah energi
listrik yang terjual kepada konsumen, volume air bersih yang disalurkan PDAM
kepada konsumen, dan panjang jalan yang berkondisi baik dan sedang untuk
Tahun 2001-2009. Pada analisis faktor yang memengaruhi ketimpangan wilayah,
propinsi DKI Jakarta dikecualikan dari pengamatan. Hasil analisis menunjukkan
bahwa listrik dan air meningkatkan ketimpangan PDRB antarwilayah. Sedangkan
dengan pendekatan koefisien variasi Williamson dari pengeluaran rumah tangga,
tenaga kerja berpendidikan SMA ke atas merupakan variabel yang meningkatkan
ketimpangan antarwilayah di Pulau Jawa.
Infrastruktur merupakan variabel yang berpengaruh positif dan signifikan
terhadap pertumbuhan ekonomi di wilayah Eropa. Selain itu, infrastruktur juga
berpengaruh dalam membentuk proses konvergensi pendapatan (Del Bo, Florio,
dan Manzi, 2010). Infrastruktur berupa panjang jalan dan jumlah sambungan
telepon seluler, beserta variabel modal manusia dan tenaga kerja, serta stok kapital
secara signifikan memengaruhi pertumbuhan regional dan
konvergensi.
23
Konvergensi terjadi dengan kecepatan sekitar 2 persen per tahun. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa infrastruktur merupakan variabel yang penting
dalam menutup kesenjangan antardaerah di Eropa.
Penelitian mengenai infrastruktur dan konvergensi di Indonesia dilakukan
oleh Margono (2009), ia menganalisis pengaruh infrastruktur terhadap
konvergensi pertumbuhan ekonomi di Indonesia periode 1995-2005. Metode yang
digunakan adalah fixed effect pada data panel. Adapun variabel yang digunakan
berupa investasi (PMA dan PMDN) per kapita, jumlah tenaga kerja tamat SMA
dan universitas per kapita, panjang jalan (kondisi baik dan sedang) per kapita,
kapasitas air bersih per kapita, kapasitas listrik terpasang per kapita, jumlah
sambungan telepon induk per kapita, pertumbuhan jumlah penduduk, dummy
otonomi daerah, dan dummy krisis. Hasil analisis α-convergence dan βconvergence menunjukkan adanya konvergensi pertumbuhan ekonomi di
Indonesia. Pada analisis conditional convergence, variabel tenaga kerja,
infrastruktur telepon, air, dan jalan, serta dummy otonomi daerah (Otda)
berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Sedangkan dummy krisis
dan pertumbuhan penduduk memiliki elatisistas negatif dan signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi. Variabel investasi (PMA dan PMDN) serta listrik tidak
signifikan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Waktu untuk menutup
setengah kesenjangan awal adalah 14 tahun hingga 34 tahun.
2.6
Kerangka Pemikiran
Pertumbuhan ekonomi merupakan sesuatu yang ingin dicapai setiap
daerah. Hal tersebut menunjukkan pembangunan di suatu daerah. PDRB
merupakan besaran yang dapat memerlihatkan pertumbuhan ekonomi daerah yang
tercermin dari proses penciptaan nilai tambah. Daerah dengan sumber input
produksi yang melimpah dan berkualitas akan memberikan nilai tambah yang
besar.
Akan tetapi kepemilikan terhadap sumber input produksi, sarana, dan
prasarana masing-masing daerah berbeda satu sama lain. Hal itu bisa
mengakibatkan
perbedaan
kemampuan
antardaerah
untuk
meningkatkan
pendapatan dan kemudian akan menimbulkan kesenjangan perekonomian
24
antardaerah. Kesenjangan pendapatan antardaerah dapat menimbulkan berbagai
masalah kriminalitas, konflik antarmasyarakat, migrasi yang tinggi dari daerah
miskin ke daerah yang maju, dan dalam konteks kenegaraan akan menimbulkan
kepercayaan masyarakat
terhadap pemerintah berkurang, sehingga akan
mengancam keutuhan suatu negara.
Pemerintah dapat melakukan berbagai program untuk mendorong
perkonomian daerah yang miskin agar mampu mengejar ketertinggalannya
terhadap perekonomian daerah yang maju. Pengejaran perkonomian yang miskin
terhadap perekonomian yang sudah maju disebut konvergensi. Konvergensi
pendapatan terjadi ketika pertumbuhan ekonomi daerah miskin lebih besar
daripada pertumbuhan ekonomi yang telah maju atau kaya.
Pulau Sumatera merupakan wilayah yang memiliki nilai PDRB ADHK
tertinggi setelah Pulau Jawa. Akan tetapi nilai PDRB yang besar tersebut tidak
terdistribusi merata dalam kepemilikannya. Propinsi yang berkontribusi cukup
besar terhadap PDRB ADHK total Pulau Sumatera adalah Propinsi Sumatera
Utara. Sementara beberapa propinsi lainnya, yaitu Propinsi Bengkulu, Propinsi
Kep. Bangka Belitung, dan Propinsi Jambi merupakan daerah yang sumbangan
PDRB ADHK nya terhadap PDRB ADHK total Pulau Sumatera paling rendah.
Salah satu penyebab kesenjangan dapat disebabkan oleh perbedaan
ketersediaan sarana dan prasarana, seperti ketersediaan infrastruktur, baik
infrastruktur sosial maupun infrastruktur ekonomi. Infrastruktur yang memadai
dan layak dapat menjadi pendorong perekonomian suatu daerah. Selain itu,
ketersediaan infrastruktur tersebut akan menarik minat investasi. Perbedaan
ketersediaan infrastruktur antardaerah dapat menyebabkan perbedaan kemampuan
daerah dalam menciptakan pendapatan, sehingga menimbulkan kesenjangan.
Dengan demikian, penyediaan infrastruktur, khususnya di daerah yang miskin,
penting untuk dilakukan.
Ukuran terhadap kesenjangan pendapatan dilihat pada perbedaan
kepemilikan PDRB riil per kapita. Pada Tahun 2010 di Pulau Sumatera,
perbedaan PDRB per kapita ADHK antarpropinsi dapat terlihat. Hal ini dapat
memicu kekhawatiran terhadap munculnya dampak negatif dari kesenjangan di
waktu yang akan datang. Maka dari itu, penelitian ini akan menganalisis proses
25
konvergensi pendapatan yang terjadi di Pulau Sumatera. Selain itu, akan dilihat
pula pengaruh infrastruktur jalan, air, listrik, dan kesehatan terhadap proses
konvergensi.
Dampak infrastruktur terhadap perekonomian dan ketimpangan telah
dilakukan pada berbagai penelitian. Hasil yang ditunjukkan sangat beragam.
Secara teori, infrastruktur adalah modal yang dapat berpengaruh positif terhadap
perekonomian. Ketersediannya yang tidak merata dapat mencerminkan perbedaan
akses terhadap sarana dan prasarana yang dimiliki antardaerah. Hal itu,
selanjutnya dapat menciptakan perbedaan kemampuan antardaerah untuk
menghasilkan pendapatan di daerahnya. Dengan demikian, ketersediaan
infrastruktur di daerah yang miskin diharapkan dapat membantu kelancaran dan
peningkatan
perekonomian
daerah
tersebut
dan
kemudian
mengurangi
kesenjangan antarwilayah.
Pada penelitian ini akan dilihat bagaimana pengaruh infrastruktur serta
variabel penjelas lainnya berupa jumlah tenaga kerja terhadap konvergensi
pendapatan dan perekonomian di Pulau Sumatera. Infrastruktur tersebut berupa
energi listrik yang dilihat dari jumlah energi listrik terjual oleh PLN, jumlah air
yang didistribusikan oleh PDAM, panjang jalan berkondisi baik dan sedang baik
jalan negara, propinsi, maupun kabupaten/kota, dan jumlah fasilitas kesehatan
berupa jumlah rumah sakit serta puskesmas.
Analisis konvergensi dilakukan terhadap data panel pada sembilan
propinsi di Pulau Sumatera yaitu Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau,
Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, dan Kepulauan Bangka Belitung
dalam rentang Tahun 2003-2010. Metode analisis yang digunakan adalah analisis
data panel dinamis berupa Sys-GMM. Software yang digunakan adalah STATA
12 dan Microsoft Excel. Hasil analisis akan memerlihatkan proses konvergensi
pendapatan dan signifikansi pengaruh tenaga kerja serta infrastruktur terhadap
konvergensi pendapatan dan perekonomian. Selanjutnya, hasil tersebut digunakan
dalam menganalisis saran yang dapat berupa implikasi kebijakan bagi pihak
terkait
dalam
rangka
mendukung
proses
konvergensi
dan
mendorong
perkonomian di Pulau Sumatera. Ilustrasi kerangka pemikiran pada penelitian ini
dapat dilihat pada Gambar 10.
26
Pulau Sumatera memiliki kontribusi
PDRB terbesar setelah Pulau Jawa.
Namun, kontribusi PDRB tersebut
tidak merata antarpropinsi.
Ketidakmerataan
penyediaan infrastruktur
dapat menjadi salah satu
penyebab kesenjangan.
Ketersediaan dan akses
infrastruktur di Pulau
Sumatera belum merata.
Analisis proses konvergensi pendapatan
di Pulau Sumatera dan pengaruh
infrastruktur pada konvergensi
menggunakan Sys-GMM.
Terjadi
Tidak
Saran dan kebijakan bagi pihak terkait
untuk mengurangi kesenjangan.
Gambar 10. Kerangka Pemikiran
27
2.7
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan tinjauan literatur maka dapat dirumuskan beberapa hipotesis,
yakni:
1) Konvergensi pendapatan terjadi di Pulau Sumatera dengan semakin
berkurangnya
ketimpangan
regional
yang
ditunjukkan
dengan
laju
konvergensi yang positif.
2) Infrastruktur dan faktor lainnya berupa jumlah penduduk yang bekerja
merupakan faktor yang memengaruhi proses konvergensi pendapatan di Pulau
Sumatera selama periode penelitian.
Download