BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk sosial yang berarti bahwa manusia tidak akan mampu hidup sendiri tanpa adanya kehadiran manusia yang lain di lingkungannya. Dalam kehidupannya, manusia selalu membutuhkan orang lain, mulai dari keluarga, kerabat maupun orang lain yang tak dikenal namun berjasa baginya yaitu seperti petani, jasa transportasi, penjual makanan, petugas kebersihan dan sebagainya. Tanpa manusia lainnya, individu tentu tidak akan mampu melakukan semuanya secara sendiri. Perilaku saling membutuhkan dan tolong menolong ini dalam istilah psikologi disebut dengan perilaku prososial. Perilaku prososial adalah tindakan sukarela yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang untuk menolong orang lain tanpa mengharapkan imbalan apa pun atau perasaan telah melakukan kebaikan (Sears, 1991). Perilaku prososial digambarkan sebagai suatu tingkah laku yang mempunyai akibat konsekuensi positif bagi pasangan interaksi (Staub, 1984). Menurut Twenge, dkk (2007) perilaku prososial tergantung pada kepercayaan bahwa salah satu bagian dari sebuah komunitas di mana orang saling berusaha untuk membantu, untuk mendukung, dan kadang-kadang untuk mencintai satu sama lain. Oleh karena itu, ketika orang merasa dikecualikan, kecenderungan mereka untuk melakukan perilaku seperti itu menjadi berkurang atau dihapuskan. 1 2 Pada kenyataannya, sering ditemukan perilaku individu yang bertolak belakang dengan perilaku prososial. Individu menunjukkan sikap ketidakpeduliannya terhadap orang-orang disekitarnya. Misalnya Gunawan & Setyorini (2007) menemukan banyak relawan yang meninggalkan tugasnya tanpa alasan yang jelas. Selain itu, terdapat juga beberapa relawan yang berada di lapangan hanya melihat relawan lain yang sedang membantu atau membantu ketika dimintai bantuan saja. Berdasarkan hasil wawancara peneliti yang dilakukan di lingkungan MAN 1 Yogyakarta misalnya saat ada seorang teman yang mengerjakan piket harian, banyak siswa lainnya yang hanya melihat dan tidak membantu temannya tersebut mengerjakan piket hariannya karena mereka tidak piket di hari itu, dan ketika ada teman yang sakit, masih kurangnya keinginan beberapa siswa untuk menjenguk temannya yang sakit tersebut. Demikian pula bila ada teman yang minta tolong diajari mata pelajaran tertentu yang tidak mereka mengerti, maka seringkali siswa yang dimintai tolong tersebut menolak untuk membantu dengan berbagai alasan. Hal tersebut bila tidak diatasi bisa menyebabkan semakin rendahnya sikap ketidak pedulian mereka terhadap orang lain yang nantinya dapat mengakibatkan mereka tumbuh menjadi orang yang memiliki sifat individual tinggi dan tidak suka menolong tanpa pamrih. Perilaku prososial yang tinggi pada anak khususnya remaja ditemukan menyebabkan anak memiliki hubungan yang sangat baik dengan teman sebayanya dari pada anak yang memiliki prososial yang rendah (Clark & Ladd dalam Knafo & Plomin, 2000). Suatu penelitian yang dilakukan oleh Adams, Snowling, Hennessy dan Kind (1999) menemukan bahwa peningkatan perilaku prososial 3 berhubungan positif terhadap prestasi anak dalam membaca dan aritmatika. Selain itu, menurut Myers (2005), individu yang memiliki sikap menolong dan melakukan kebaikan maka akan cenderung berperilaku baik dalam hal apapun. Perilaku prososial pada remaja memiliki dampak yang penting bagi kehidupan remaja itu sendiri. Pada saat remaja, individu akan selalu dihadapkan dengan suatu permasalahan yang berkaitan dengan kebutuhan dirinya sebagai proses penyesuaian diri terhadap lingkungannya. Usia remaja pula merupakan kesempatan untuk meningkatkan kualitas hubungan interpersonalnya, karena pada usia remaja perubahan interaksi sosial mereka mencapai puncaknya, khususnya saat mereka memasuki sekolah menengah atas (Hurlock, 1997). Namun, saat ini dikalangan remaja yang timbul justru banyak permasalahan. Masalah yang berkaitan dengan remaja diantaranya adalah menyangkut pertumbuhan fisik, agama, akhlak, masa depan serta interaksi antara orangtua dan lingkungan sosialnya (Panuju & Umami, 1999). Hadirnya perilaku prososial yang tinggi pada diri remaja akan membantu individu terhindar dari masalah tersebut. Sebaliknya jika remaja memiliki perilaku prososial yang rendah, dapat menimbulkan berbagai permasalahan pada remaja seperti penurunan partisipasi remaja dalam pelayanan sosial terkait dengan kegagalan, perilaku membolos, suspensi dari sekolah, drop out dari sekolah, masalah-masalah terkait kedisiplinan, dan kehamilan (Eccles & Barber, 1999). Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku prososial, diantaranya adalah self gain, personal values, dan empathy (Dayakisni & Hudaniah, 2003). Menurut Batson, dkk (1997), egoisme dan simpati sama-sama berfungsi untuk 4 mempengaruhi perilaku menolong, dari segi egoisme, perilaku menolong dapat mengurangi ketegangan diri sendiri, sedangkan dari segi simpati, perilaku menolong dapat mengurangi penderitaan orang lain, sedangkan gabungan dari keduanya dapat menjadi empati, yaitu ikut merasakan penderitaan orang lain sebagai penderitaanya sendiri. Campbell (dalam Sears, 1994) juga menjelaskan bahwa faktor sosial dapat menentukan perilaku prososial individu. Adanya evolusi sosial, yaitu perkembangan sejarah dan kebudayaan atau peradaban manusia dapat menjelaskan perilaku prososial dasar, mulai dari pemeliharaan orangtua terhadap anaknya sampai menolong orang asing yang mengalami kesulitan. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa empati merupakan variabel mediator bagi perilaku pososial dengan variabel-variabel lainnya. Misalkan penelitian yang dilakukan oleh Krevans dan Gibbs (1996) menemukan bahwa empati menengahi hubungan antara disiplin orangtua dan perilaku prososial anakanak. Penelitian lain yang dilakukan oleh Robert dan Strayer (1996) menemukan bahwa empati juga menengahi hubungan antara ekspresi emosional dengan perilaku prososial. Empati adalah kondisi emosi dimana seseorang merasakan apa yang dirasakan orang lain seperti dia mengalaminya sendiri, dan apa yang dirasakannya tersebut sesuai dengan perasaan dan kondisi orang yang bersangkutan (Hurlock, 1999). Meskipun empati merupakan respon yang bersifat emosi namun juga melibatkan keterampilan kognitif seperti kemampuan untuk mengenali kondisi emosi orang lain dan kemampuan mengambil peran (Feshbach dalam Eisenberg, 1987). Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Toi dan Batson (Eisenberg, 5 1987) menyatakan bahwa empati dan perilaku prososial juga berkaitan dalam lingkup kehidupan sehari-hari. Orang-orang yang membantu orang Yahudi dari Nazi ketika diwawancara menjelaskan motif mereka membantu, lebih dari separuh menyatakan bahwa mereka membantu karena rasa empati dan simpati dengan kondisi para korban (Oliner & Oliner dalam Eisenberg, 1987). Penelitian yang akan dilakukan berfokus pada keterkaitan antara pengasuhan orangtua yang berorientasi kepada kedisiplinan induktif dengan perilaku prososial yang dimediasi oleh empati. Teori Hoffman (Krevan & Gibbs, 1996) mengidentifikasi dua dimensi empati sebagai fitur penting dalam membangun empati: (a) respon empati, yaitu frekuensi dan bentuk dasar dari tanggapan empati; (b) jatuh tempo empati, yaitu kematangan kognitif yang menginformasikan respon emosional anak kepada orang lain. Penelitian yang dilakukan oleh Zahn-Waxler (Krevan & Gibbs, 1996) menemukan bahwa genetik dan komponen lingkungan terlibat dalam perkembangan empati. Komponen lingkungan yang dimaksud meliputi orangtua, saudara, teman sebaya, dan lainlain. Grusec & Goodnow (1994) berpendapat bahwa praktik disiplin orangtua dapat membantu anak-anak menginternalisasi nilai-nilai moral orangtua. Jadi, bagaimana orangtua menyampaikan nilai-nilai mereka dan bagaimana anak-anak menafsirkannya mempengaruhi internalisasi nilai-nilai moral, yang kemudian dapat mempengaruhi perilaku moral mereka. Induksi orangtua mengacu penggunaan penalaran orangtua dan penjelasan, yaitu orang tua mengkomunikasikan harapan atau aturan untuk anak-anak mereka dengan cara penalaran yang kemudian menghadiri kematangan berfikir pada anak (Maccoby & 6 Martin dalam Shen, Carlo & Knight, 2013). Penelitian yang lain menunjukkan bahwa hubungan yang sehat antara orangtua dan anak memberikan kontribusi untuk pengembangan kompetensi dan keterampilan sosial, seperti pengembangan empati (perwakilan penanggapan emosional) dan kapasitas pengambilan perspektif (memahami situasi lain), yang kemudian hal tersebut dapat menimbulkan perilaku prososial (Guzman & Carlo, 2004). Orangtua yang suka memberikan hukuman atau bertindak kasar pada anak cenderung berakibat anak memiliki prososial yang rendah dibandingkan orangtua yang memiliki empati yang tinggi pada anak (Hoffman dalam Eisenberg, Fabes & Spinrad, 2007). Hoffman (dalam Lopez, Bonenberger, dan Schneider, 2001) memberikan dasar teoritis untuk peran teknik disiplin orangtua dalam pengembangan penalaran moral dan empati. Lebih lanjut, Hoffman (dalam Lopez, Bonenberger, dan Schneider, 2001) berpendapat bahwa pengembangan penalaran moral bergantung pada pengembangan norma internalisasi, yaitu kemampuan untuk menekan kebutuhan yang tidak pantas dan menggantinya dengan perilaku yang diterima secara sosial tanpa memperhatikan sanksi eksternal. Penelitian lain yang ditemukan oleh Krevans & Gibbs (1996) menyatakan bahwa anak-anak dengan orangtua induktif yang lebih empatik, dan anak yang memiliki empati yang tinggi akan menyebabkan anak memiliki prososial yang tinggi pula. Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa peran keluarga terutama orangtua dapat meningkatkan empati yang mendorong anak dapat lebih berperilaku prososial atau dengan kata lain orangtua berpengaruh terhadap perilaku prososial yang dimediasi dengan empati. 7 B. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui adanya peranan disiplin induktif orangtua terhadap perilaku prososial yang dimediasi dengan empati. C. Manfaat Penelitian 1. Secara Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menguatkan teori-teori yang sudah ada dan memberikan sumbangan terhadap ilmu psikologi terutama psikologi perkembangan dan psikologi sosial. 2. Secara Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan ilmu pemahaman terhadap para orangtua bahwa peran orangtua dapat meningkatkan empati pada anak yang mendorong anak berperilaku prososial. D. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai disiplin induktif orangtua (parent’s inductive discipline) dan perilaku prososial (prosocial behavior) sudah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Salah satu penelitian yang membahas mengenai variabel disiplin induktif orangtua dan perilaku prososial adalah penelitian yang dilakukan oleh Abelman (1986) yang berjudul “Children's Awareness of Television's Prosocial Fare: Parental Discipline as an Antecedent”. Penelitian ini meneliti mengenai hubungan antara disiplin orangtua dan kesadaran anak terhadap beban prososial televisi. Dalam penelitian ini terdapat dua jenis gaya disiplin 8 orangtua, yaitu induksi dan sensitisasi yang diekstraksi dari literatur tentang perkembangan moral anak-anak dan diterapkan ke pembelajaran sosial dari televisi. Hasil dalam penelitian ini menunjukkan bahwa anak-anak dari orangtua yang induktif lebih memiliki kesadaran yang lebih besar dari beban prososial televisi dan menunjukkan kecenderungan yang lebih besar untuk melakukan solusi konflik prososial daripada anak-anak yang orangtuanya hanya dengan menggunakan kepekaan. Selanjutnya penelitian yang membahas tentang empati dan perilaku prososial. Barr dan Alessandro (2007) melakukan penelitian kuantitatif dengan menggunakan 158 partisipan dewasa (63 laki-laki dan 95 perempuan). Penelitian ini menggunakan skala “the school culture scale” oleh Allesandro dan Sadh (1997). Perilaku prososial menggunakan skala “the self-report altruism scale” oleh Rushton, Chrisjohn, dan Fekken (1981). Hasil penelitian menunjukkan bahwa budaya sekolah, empati, dan perilaku prososial menunjukkan hubungan yang signifikan yang artinya empati memiliki hubungan penting dengan perilaku prososial. Penelitian yang menggunakan empati sebagai variabel mediasi cukup banyak, salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Carlo, Ginley, Hayes, dan Martinez (2011). Penelitian yang berjudul “Empathy as mediator of the relations between parent and peer attachment and prosocial behavior and physically aggression behavior in Mexican American college students” mengkaji hubungan antara kelekatan orangtua dan teman sebaya terhadap perilaku agresif yang dimediasi oleh empati. Secara umum penelitian ini menghasilkan bahwa 9 empati mampu memediasi hubungan kelekatan orangtua dan teman sebaya dengan perilaku agresif pada anak laki-laki dengan kuat sementara pada wanita tidak. Penelitian lainnya juga pernah dilakukan oleh Carlo, Knight, dan Shen (2013) dengan judul penelitian “Relations Between Parental Discipline, EmpathyRelated Traits, and Prosocial Moral Reasoning: A Multicultural Examination”. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif dengan menggunakan kuesioner dan dilakukan di sekolah dasar Arizona dan Chung Hwa, Taiwan. Subyek dalam penelitian ini sebanyak 504 subyek dengan pengelompokan subyek yaitu 106 etnis Eropa – Amerika, 202 etnis Meksiko – Amerika, and 196 etnis Taiwan. Subyek yang digunakan dalam penelitian ini adalah subyek dengan rata-rata usia 9-13 tahun pada kelompok subyek etnis Eropa – Amerika dan Meksiko – Amerika. Sedangkan pada kelompok subyek etnis taiwan memiliki rata-rata usia 10-11 tahun. Hasil dari penelitian ini ditemukan bahwa ada hubungan antara pola asuh induktif orangtua dengan perilaku prososial yang di mediasi oleh empati. Berdasarkan penjabaran diatas, dapat disimpulkan bahwa sudah pernah ada penelitian yang meneliti mengenai hubungan antara disiplin induktif orangtua dengan perilaku prososial yang dimediasi oleh empati. 1. Keaslian Topik Topik yang digunakan dalam penelitian adalah “Peranan Disiplin Induktif Orangtua terhadap Perilaku Prososial yang dimediasi oleh Empati” dengan menggunakan disiplin induktif orangtua sebagai variabel independen, perilaku prososial sebagai variabel dependen, dan empati sebagai variabel mediator. Topik 10 penelitian yang hampir sama sebelumnya pernah dilakukan di beberapa negara dengan subyek yang beragam pula, namun penelitian dengan topik dan subyek yang digunakan dalam penelitian ini belum pernah dilakukan. 2. Keaslian Teori Teori prososial yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori prososial yang dikemukakan oleh Carol & Randall (1991), teori empati yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori empati yang dikemukakan oleh Davis (1983), dan teori disiplin induktif orangtua yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori yang dikemukakan oleh Fauchier dan Straus (2007). 3. Keaslian Subjek Penelitian ini menggunakan subjek siswa sekolah menengah atas yang memiliki orangtua yang masih utuh. 4. Keaslian Alat Ukur Alat ukur yang digunakan untuk mengukur perilaku prososial adalah adaptasi terhadap alat ukut Prosocial Tendencies Measures yang dikembangkan oleh Carlo dan Randall (2002) sedangkan untuk alat ukur disiplin induktif orangtua adalah adaptasi terhadap alat ukur The Dimension of Discipline Inventory yang dikembangkan berdasarkan teori dari Fauchier dan Straus (2007). Empati sendiri menggunakan adaptasi alat ukur Interpersonal Reactivity Index (1983) yang dikembangkan oleh Davis M. H.