TINJAUAN PUSTAKA Penyakit Infeksi Koi Herpesvirus (KHV) Ikan

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Penyakit Infeksi Koi Herpesvirus (KHV)
Ikan mas (Cyprinus carpio) adalah ikan yang dibudidayakan secara luas
sebagai bahan makanan. Sebanyak 1.5 juta metrik ton diproduksi terutama di Asia
maupun Eropa (www.fao.org). Budidaya ikan mas memberikan sumbangan protein
untuk penduduk yang berdiam di Asia, Eropa dan Timur Tengah (Aoki et al. 2007).
Koi herpesvirus diidentifikasi pertama kali tahun 1998 yang menyebabkan
kematian massal pada ikan mas budidaya di Israel (Gilad et al. 2002) dan Amerika
Serikat (Gray et al. 2002). Carp nephritis and gill necrosis virus (CNGV) adalah nama
awal virus yang berasal dari virus DNA yang morfologinya mirip dengan anggota
kelompok Herpesviridae yang nama lainnya adalah koi herpesvirus dan Cyprinid
herpesvirus (Dishon et al. 2005).
Nama lain dari virus KHV adalah Cyprinid
Herpesvirus 3 atau CyHV-3 (Aoki et al. 2007). Virus ini masuk ke Indonesia pada
tahun 2002 melalui perdagangan ikan koi (Sunarto et al. 2004).
Dari percobaan kohabitasi antara ikan sehat dan ikan terinfeksi KHV yang
dilakukan oleh Hutoran et al. (2005) diperoleh hasil bahwa ikan yang sakit mengalami
ganggunan berupa gerakan yang tidak terkoordinasi dan berenang tidak beraturan
yang merupakan tanda-tanda adanya gangguan saraf (neurological disorder).
Gangguan ini diperjelas dengan berkurangnya frekuensi gerakan ekor dan kehilangan
keseimbangan pada beberapa ikan. Penyebaran penyakit ini melalui air dan bersifat
sangat menular.
Menilik dari nama gejala penyakit yang ditimbulkan, virus ini memang
menginfeksi terutama pada bagian insang dan ginjal ikan. Dari kajian histopatologi
pada insang, tampak jelas bahwa virus ini mengakibatkan inflamasi pada renal tubul
ginjal dan mengakibatkan sel-sel yang terinfeksi mengalami pembentukan badan
inklusi pada inti selnya. Kajian histopatologi insang ikan yang sakit menunjukkan
bahwa terdapat sel-sel inflamasi di insang dan epitel insang mengalami hiperplasia.
Kajian dengan menggunakan indirect immunofluorescen microscopy
terhadap
insang, ginjal, otak dan hati menunjukkan bahwa virus KHV terakumulasi pada insang
dan ginjal (Pikarsky et al. 2005).
Keberadaan
virus pada
ikan
dapat
dideteksi
secara
cepat
dengan
menggunakan metode PCR ( Gray et al. 2002; Gilad et al. 2002) dan menggunakan
metode LAMP (loop- mediated isothermal amplification)(Soliman & El-Matbouli 2005).
Metode LAMP tidak memerlukan mesin PCR dalam mengamplifikasi DNA, akan tetapi
memerlukan Bst DNA polymerase, dua primer inner, dua primer outer dan dua primer
loop untuk mengamplifikasi DNA.
Reaksi dilakukan pada suhu 65 oC selama 60
menit. Dari 50 ekor ikan sampel yang diperiksa dengan PCR, 37 ekor dinyatakan
positif KHV sedang 13 ekor negatif. Melalui metode LAMP semua sampel dinyatakan
positif.
Virus KHV (Koi Herpesvirus)
Nama herpes berasal dari bahasa Yunani yaitu herpein yang berarti kronis /
laten / infeksi yang selalu terjadi. Sebanyak 100 macam herpesvirus telah diisolasi.
Virus ini memiliki ukuran DNA genom yang besar mencapai 235 kbp dan tersusun
dari 35 polipeptida. Secara umum kelompok herpesvirus ini berukuran 180-200 nm,
memiliki amplop yang tersusun dari glikoprotein. Pada bagian antara amplop dan
kapsid terdapat tegument yang tersusun dari protein. Kapsid berbentuk ikosahedral
dengan diameter 95-105 nm. Pada bagian pusat terdapat DNA yang dikelilingi oleh
nukleokapsid. Bentuk DNA genom kelompok herpesvirus adalah berutas ganda yang
berukuran 130-230 kbp (www.herpes.org).
Struktur virus herpes dapat dilihat pada gambar berikut ini:
Gambar 1. Penampang melintang kelompok herpesvirus
(pathmicro.med.sc.edu/virol/herpes)
Koi herpesvirus merupakan virus DNA utas ganda yang memiliki 31 polipeptida
dan delapan protein glikosilat dimana 12 polipeptidanya memiliki berat molekul yang
sama dengan CHV (cyprinid herpesvirus) dan 10 polipeptidanya sama dengan CCV
9
(channel catfish virus). KHV memiliki kapsid simetri ikosahedral dengan diameter
100-110 nm, sedangkan virion matang memiliki amplop yang longgar sehingga ukuran
diameternya menjadi 170-230 nm.
Selain itu juga terdapat benang-benang
penyangga seperti struktur tegument pada permukaan inti yang mirip dengan
kelompok Herpesvirus (Pokorova et al. 2005).
Hutoran et al. (2005) melaporkan bahwa virus yang diisolasi dari ikan mas
yang mengalami kematian massal di Israel memiliki ukuran DNA genom besar yaitu
277 kbp, lebih besar dari ukuran DNA genom kelompok Herpesviridae. Penemuan
yang lain adalah hanya sebagian kecil fragmen yaitu 16-45 bp yang mirip dengan
beberapa DNA genom virus yang lain. Karakter koi herpesvirus yang dilaporakan dari
penelitian Hutoran adalah:
1. Virus sangat menular
2. Transmisi melalui air
3. Terinduksi menjadi penyakit apabila temperatur tertekan sehingga berada
pada level 18-24 oC, baik pada skala penelitian di laboratorium (indoor)
maupun di kolam (outdoor)
4. Memiliki inang yang terbatas yaitu ikan mas dan koi
5. Tidak dapat dipropagasi pada epitelioma pappilosum cell (EPC), tetapi dapat
dipropagasi pada koi fin cell (KFC)
6. Morfologi dan diameter konsisten sesuai dengan herpesvirus meskipun
kadang-kadang pada bagian inti virus (core)
berisi massa non-simetri
berukuran kecil
7. Analisis terhadap sekuen fragmen DNA tidak menunjukkan adanya kesamaan
dengan genom virus yang sudah diketahui
8. Virus memiliki molekul DNA utas ganda yang sangat besar yaitu 277 kbp, lebih
besar dibanding dengan genom herpesvirus yang sudah ada.
Penyebaran KHV sejak awal ditemukan dan penyebarannya di empat benua di
dunia seperti dilaporkan oleh Crane et al. (2004) dapat dilihat pada tabel berikut.
10
Tabel 1. Penyebaran virus KHV di empat benua di dunia
Sumber: Crane et al. (2004)
Adapun gambar virus KHV yang diambil dari koi fin cell dan diamati dengan
mikroskop elektron ditunjukkan oleh Gambar 2.
Gambar 2.
Koi herpesvirus yang diambil dari koi fin cell, diamati dengan
mikroskop electron yang memperlihatkan adanya kapsid berbentuk
simetri ikosahedral (tanda panah pada gambar A) dan beramplop (tanda
panah pada gambar B), diwarnai dengan pewarnaan negative
phosphotungstat 2 % (Hutoran et al. 2005)
11
Crane et al. (2004) melaporkan bahwa virus KHV memiliki sensitifitas terhadap
kondisi fisika-kimia. Namun penelitian berikutnya secara detil masih perlu dilakukan
untuk mengungkap kondisi fisika-kimia yang berpengaruh terhadap sensitifitas virus.
Tabel 2. Sensitivitas KHV terhadap kondisi fisika dan kimia
Sensitifitas/Kerentanan Terhadap Kondisi Fisika-Kimia
Temperatur
Infektifitas virus hilang setelah berada pada suhu
35 oC selama dua hari atau pada suhu 60 oC
selama 30 menit
pH
Bahan kimia
Infektifitas hilang pada pH <3 atau pH>11
Sensitif terhadap kloroform (diasumsikan sensitive
juga terhadap bahan pelarut lemak yang lain)
Desinfektan
Desinfektan yang dianjurkan merujuk pada
ketetapan Office International des Epizooties, OIE
(2003), perlu diteliti lebijh lanjut
Kelangsungan hidup
Virus dapat bertahan hidup di air selama 20 jam
dan lebih lama pada kolam dengan kondisi buruk,
ada yang menyebutkan juga bahwa virus hanya
mampu bertahan paling lama empat jam.
Sumber: Crane et al. (2004)
KHV merupakan virus yang baru dikenal keberadaannya ketika menyebabkan
kematian massal pada budidaya ikan mas dan Koi di Israel tahun 1998. Sebelum
disekuensing, KHV masih diberi nama CNGV (carp nephritis and gill necrosis virus)
(Dishon et al. 2005) dan masih diduga merupakan anggota family Herpesviridae
karena kemiripannya dengan family Herpesviridae yaitu berupa DNA berutas ganda
yang dibungkus oleh kapsid ikosahedral , lapisan protein tegument dan amplop virus
yang tersusun oleh glikoprotein.
Berdasarkan data yang ada di GeneBank, dari
seluruh KHV yang ada sekarang baru terdapat tiga genom virus yang sudah
disekuensing secara lengkap (genom).
Tiga genom KHV tersebut berasal dari
Jepang, Israel dan Amerika Serikat (Aoki et al. 2007). Genom KHV memiliki ukuran
sekitar 295 kbp dengan perincian sebesar 295.271 bp untuk KHV dari Jepang,
295.146 bp untuk KHV dari Amerika Serikat dan 295.138 bp untuk KHV yang berasal
dari Israel. Dari ukuran tersebut tampak ada perbedaan jumlah basa nitrogen dan
bervariasi untuk masing-masing strain/serotype virus dimana KHV dari Jepang
memiliki ukuran genom yang paling besar diikuti Amerika Serikat dan Israel.
Namun demikian KHV masih meragukan apabila digolongkan ke dalam family
Herpesviridae karena memiliki ukuran molekul yang cukup besar yang waktu itu
12
diduga sebesar 277 kb ketika diketahui pertama kali, lebih besar dari ukuran molekul
anggota family Herpesviridae yang sudah ada yaitu 125-245 kb.
Di samping itu
kegagalan dalam membuktikan adanya hubungan kekerabatan (secara genetik)
antara KHV dengan family Herpesviridae juga menyebabkan keraguan uuntuk
memasukkan KHV ke dalam family ini. Setelah disekuensing oleh Aoki et al. (2007)
baru dapat dipastikan bahwa KHV memang bagian dari family Herpesviridae. KHV
memiliki hubungan erat dengan Cyprinid Herpesvirus 1 dan 2 (CyHV-1 dan CyHV-2)
yang menyebabkan penyakit carp pox dan hematopoietic necrosis pada ikan mas
koki (gold fish).
Selain itu KHV juga memiliki kekerabatan dengan Ictalurid
herpesviridae (IcHV-1) dan ranid HV-1 (penyebab tumor pada katak). Selanjutnya
KHV telah diusulkan secara formal ke dalam anggota Alloherpesviridae dengan nama
spesies Cyprinid Herpesvirus 3 atau disingkat menjadi CyHV-3 (Aoki et al. 2007).
Vaksin DNA pada Ikan
Ikan adalah organisme yang mudah terifeksi penyakit yang diakibatkan oleh
parasit, bakteri, cendawan dan virus apabila dibudidayakan dalam sistem terkontrol.
Penanggulangan penyakit dengan menggunakan bahan kimia termasuk antibiotik
memberikan dampak yang tidak baik bagi lingkungan maupun manusia yang
mengonsumsinya. Penyakit yang disebabkan oleh virus relatif lebih ditangani karena
tidak ada treatmen komersial maupun kemoterapetan yang ekonomis yang
bermanfaat dalam penanggulangan penyakit infeksi KHV. Oleh karena itu langkahlangkah yang perlu dilakukan adalah langkah yang bersifat profilaksis misalnya
vaksinasi dan diagnosis penyakit dalam rangka pencegahan terjadinya wabah
penyakit (Leong et al. dalam www.nps.ars.usda.gov).
Vaksinasi mampu meningkatkan produktifitas ikan salmon secara signifikan di
Norwegia. Produksi ikan salmon pada tahun 1987 sebesar 65,000 metrik ton dan
meningkat menjadi 700,000 metrik ton pada tahun 2007. Penggunaan vaksin juga
mereduksi penggunaan antibiotik dari 48,500 kg menjadi 649 kg (Gravningen &
Berntsen 2008).
Vaksin yang pertama kali dikembangkan pada budidaya ikan adalah vaksin
terhadap penyakit bakterial pada tahun 1970.
Vaksin mulai diintroduksikan ke
lingkungan akuakultur pada awal tahun 1980. Adanya vaksin ini ikut meningkatkan
secara signifikan dalam pertumbuhan industri budidaya serta penerimaan konsumen
terhadap ikan yang dibudidayakan. Hal ini disebabkan karena berkurangnya dampak
13
terhadap lingkungan serta peningkatan mutu bahan pangan dari ikan karena adanya
minimalisasi dalam penggunaan antibotik (Lorenzen & LaPatra 2005).
Vaksin virus untuk ikan jarang dijual secara komersial. Di Amerika Serikat
sendiri agak sulit untuk mendapatkan lisensi peredaran karena prosesnya panjang
dan biayanya mahal serta efikasi vaksin yang tidak konsisten. Kendala yang lain
adalah masalah keamanan vaksin virus yang diatenuasi masih dipertanyakan karena
memiliki potensi untuk bangkit kembali dan menginfeksi inang yang divaksinasi
(Leong et al. dalam www.nps.ars.usda.gov).
Berkembangnya penyediaan vaksin
untuk menanggulangi penyakit yang diakibatkan oleh viral haemorrhagic septicaemia
virus (VHSV), infectious haematopoietic necrosis virus (IHNV), infectious pancreatic
necrosis virus (IPNV) dan infectious salmon anemia virus (ISAV) cukup memberikan
perlindungan bagi budidaya ikan salmon. Di sisi lain, penumbuhan virus bakal vaksin
di sel kultur ikan memerlukan biaya yang tidak sedikit. Untuk efisiensi biaya budidaya
maka vaksin DNA perlu dikembangkan lebih lanjut. Pada level eksperimen vaksin ini
dapat melawan virus dengan tingkat paling efisien. Vaksin ini berbasis pada plasmid
DNA yang membawa sisipan gen misalnya glikoprotein dan disertai dengan promoter
dan terminator/polyA untuk keperluan ekspresi di ikan (Lorenzen & LaPatra 2005).
Hirono (2005) mengelompokkan perkembangan vaksin pada ikan menjadi tiga
generasi. Generasi pertama adalah vaksin konvensional yang dibagi menjadi dua
kelompok yaitu vaksin yang diinaktivasi/dimatikan (inactivated vaccine) dan vaksin
hidup yang dilemahkan (live attenuated vaccine).
Vaksin generasi kedua adalah
vaksin protein rekombinan (recombinant protein vaccine) dan vaksin generasi ketiga
adalah vaksin DNA (DNA vaccine).
Vaksin yang diinaktivasi memiliki keuntungan tidak ada resiko infeksi
sedangkan kelemahannya adalah biaya produksi mahal, pada beberapa kasus tidak
ada respon kekebalan yang ditimbulkan, serta daya tahan yang ditimbulkan relatif
singkat.
Vaksin yang dilemahkan memiliki keuntungan yaitu mampu menginduksi
tanggap kebal humoral dan seluler serta memiliki daya proteksi dalam waktu relatif
lama. Kelemahan vaksin yang dilemahkan adalah memungkinkan terjadinya infeksi.
Keuntungan vaksin protein rekombinan adalah biaya produksi tidak mahal serta dapat
diproduksi
secara
massal,
sedangkan
kelemahannya
adalah
tidak
mampu
mengaktivasi kekebalan seluler. Vaksin DNA memiliki keuntungan yaitu tidak
menimbulkan resiko infeksi, mudah dikembangkan dan diproduksi, bersifat stabil dan
14
mampu mengaktivasi sistem kekebalan baik humoral maupun seluler, sedang
kelemahannya adalah terbatasnya protein yang bersifat imunogenik.
Lorenzen dan LaPatra (2005) memaparkan bahwa ikan rainbow trout yang
divaksinasi dengan DNA glikoprotein VHS (viral haemorrhagic septicaemia)
memperlihatkan proteksi total yang merupakan komplementasi antara respon imun
non-spesifik dan respon imun spesifik. Respon imun non-spesifik bekerja pada lebih
awal, setelah peranannya menurun digantikan oleh respon spesifik .
Proteksi ini
dipresentasikan
percentage
dengan
kelangsungan
hidup
relatif
(relative
survival=RPS) (Gambar 3).
Gambar 3. Skema proteksi non-spesifik dan spesifik ikan rainbow trout yang
divaksinasi dengan vaksin DNA menggunakan gen glikoprotein
VHS
Vaksin DNA Penyandi Glikoprotein
Vaksin DNA untuk menanggulangi IHNV (Infectious Hematopoietic Necrosis
Virus) adalah vaksin DNA pertama yang dikembangkan pada ikan salmon. Dari uji
gen nucleoprotein (N), phosphoprotein (P), matriks protein (M) , non-virion protein (NV
protein dan glikoprotein (G) yang disisipkan ke dalam vaksin plasmid maka
glikoprotein (G) saja yang bersifat imunogenik sehingga mampu menginduksi respon
imun pada ikan rainbow trout Onchorhyncus mykiss. Proteksi yang sama ditunjukkan
juga oleh gen G yang disisipkan pada vaksin plasmid dan divaksinasikan pada ikan
salmon Atlantik Salmo salar. Ikan divaksinasi dengan dosis 0.1, 1.0 dan 2.5 µg. Satu
bulan kemudian ikan diuji tantang dengan virus IHHNV.
Dari percobaan tersebut
didapatkann hasil bahwa netralisasi dan pembentukan antibodi yang protekstif dapat
diinduksi oleh glikoprotein. Namun demikian produksi antibodi dapat dibuktikan pada
percobaan ikan dengan ukuran yang lebih besar ( Lapatra et al. 2001). .
15
Aplikasi vaksin DNA yang mengandung sisipan gen glikoprotein dapat
menginduksi terbentuknya alpha/beta interferon pada ikan rainbow trout yang diuji
tantang setelah 30 atau 70 hari setelah vaksinasi. Proteksi yang diberikan cukup lama
karena respon imun yang terbentuk bersifat spesifik yaitu terhadap gen G. Vaksin
DNA menginduksi perlindungan antiviral yang bersifat non-spesifik pada mulanya
yang dimediasi oleh alpha/beta interferon, berikutnya baru terbentuk respon imun
yang bersifat spesifik.
Vaksin DNA dengan menggunakan gen glikoprotein untuk
mencegah penyakit IHHNV pada ikan rainbow tout mampu memberikan proteksi
secara signifikan empat hari setelah vaksinasi. Uji tantang setelah 28 hari vaksinasi
memberikan rentang yang paling tinggi antara kematian ikan kontrol dan ikan
perlakuan, dibandingkan dengan uji tantang pada 1, 7, 14 dan 21 hari (Kim et al.
2000).
Vaksin DNA untuk penyakit infeksi SVCV (spring viremia carp virus) yang
mengandung gen glikoprotein lengkap (full length) menghasilkan nilai relative percent
survival (RPS) sebesar 48% (primer tidak disebutkan). Perlakuan vaksinasi 10 µg
pada penelitian ini dapat menginduksi respon kekebalan berperantara sel (CMI=cell
mediated immunity), namun antibody tidak terdeteksi. Penelitian tentang vaksin DNA
untuk SVCV
pada ikan mas merupakan penelitian yang pertama kali dilakukan
(Kanellos et al. 2006).
Vaksin DNA untuk penyakit SVCV asal Amerika Utara pada ikan koi
menggunakan gen glikoprotein menghasilkan nilai RPS sebesar 50-88%. Penelitian
ini merupakan penelitian pertama yang dilaporkan berhasil dilakukan pada ikan koi.
Penelitian ini membuktikan bahwa vaksin DNA untuk penyakit SVCV (pSGnc) dapat
menginduksi terbentuknya proteksi yang bersifat spesifik. Hasil penelitian tersebut
sekaligus memvalidasi potensi pSGnc yang dapat digunanakan dalam pencegahan
penyakit SVCV (Emmenegger & Kurath 2008).
Konstruksi Vaksin
Tahap pertama dalam memproduksi vaksin DNA adalah mengidentifikasi dan
mengklon antigen protektif yang berasal dari patogen. Plasmid yang menjadi agen
dalam vaksinasi diproduksi dalam kultur bakteri dan dimurnikan. Vaksin diberikan ke
sel yang menjadi mesin untuk memproduksi protein G, sesuai dengan gen yang
diklon. Setelah glikoprotein diproduksi maka tubuh akan mengenali adanya protein /
antigen asing yang masuk ke dalam tubuh. Setelah dideteksi oleh sistem imun ikan
16
maka tubuh memberikan reaksi dengan terbentuknya antibodi yang homolog. Skema
tentang konstruksi singkat plasmid untuk vaksin dapat dilihat dalam ilustrasi yang
diwakili oleh vaksin DNA dari kelompok Rhabdovirus berikut ini (Lorenzen & LaPatra
2005).
Gambar. 4. Skema gambaran partikel Rhabdovirus (a), vaksin plasmid (b)
dan protein G virus
Kontruksi plasmid dilakukan dengan menyisipkan gen ke dalam plasmid yang
mengandung promoter tertentu. Beberapa jenis promoter yang sudah diisolasi dan
sudah dicoba pada beberapa spesies ikan oleh beberapa peneliti adalah promoter
cytomegalovirus (CMV) dari virus manusia, elongation factor-1α (EF-1α) dari ikan
medaka, β-actin dari ikan medaka dan myosin light chain-2 (Mylz-2) dari ikan zebra
(Alimuddin 2003). Berdasarkan penelitian pada ikan zebra, promoter β-actin dan
Mylz-2 menunjukan aktivitas lebih kuat dibandingkan
EF-1α. Sedangkan
CMV
menunjukan aktivitas lebih rendah. Hal ini dikarenakan promoter CMV berasal dari
virus manusia dimana ada kemungkinan bahwa tidak semua elemen cis-acting-nya
dikenali oleh faktor trans-acting dari ikan zebra. Sedangkan promoter lainnya yang
berasal dari ikan menunjukan aktivitas yang tinggi. Promoter β-actin merupakan
17
promoter yang bersifat house-keeping yaitu akan selalu aktif dalam siklus hidupnya.
Selain bersifat house-keeping, β-actin juga mempunyai sifat ubiquitous (Hacket 1993),
dimana promoter ini akan aktif dimana-mana dan constitutive (Volckaert et al. 1994)
yang berarti bahwa promoter ini bisa aktif tanpa diberikan rangsangan dari luar seperti
suhu dan hormon.
Promoter β-actin dari ikan medaka dilaporkan dapat aktif pada spesies yang
sama, sekerabat atau berbeda jenis dengan asal promoter, seperti pada ikan rainbow
trout (Yoshizaki 2001), ikan zebra (Alimuddin et al. 2005), ikan nila (Kobayashi et al.
2007), ikan lele (Ath-thar 2007), dan ikan mas (Purwanti
2007).
Penggunaan
promoter β-actin pada konstruksi vaksin DNA KHV memiliki peluang besar untuk
mengaktivasi gen glikoprotein pada ikan mas.
Metode transfer vaksin DNA adalah hal yang penting ketika dikaitkan dengan
aplikasi di lapangan (Leong et al. dalam www.nps.ars.usda.gov).
Transfer vaksin
pada mamalia menggunakan strategi injeksi intramuscular (IM) dengan gene-gun.
Teknik ini sebenarnya efektif dalam menginduksi terbentuknya respon imun pada
ikan, akan tetapi teknologi ini terlalu mahal apabila diaplikasikan pada budidaya ikan.
Injeksi intramuscular (IM) sederhana plasmid DNA yang telah dimurnikan dalam buffer
netral lebih efisien diterapkan di ikan daripada di hewan tipe yang lain (Lorenzen &
LaPatra 2005). Meskipun aplikasi melalui injeksi IM merupakan metode yang dapat
dipertimbangkan dalam vaksinasi, akan tetapi pengembangan aplikasi dengan
metode yang lain perlu terus dikembangkan misalnya melalui perendaman atau
melalui pencampuran dengan pakan (edible vaccine) dengan mempertimbangkan
keamanan bagi lingkungan (Leong et al. dalam www.nps.ars.usda.gov.)
Kajian yang dilakukan terhadap distribusi dan ekspresi vaksin DNA terhadap
lymphocystis disease virus (LCDV) pada ikan sebelah menunjukkan hasil bahwa
plasmid yang mengandung vaksin terdistribusi pada otot bekas penyuntikan, otot yang
berseberangan dengan lokasi penyuntikan, usus, insang, limpa, ginjal depan, hati dan
gonad setelah vaksinasi selama tujuh hari. Hasil tersebut diperoleh melalui kajian
PCR maupun RT-PCR.
Konstruksi vaksin tersebut membawa gen gfp (gene
fluorescent protein) dimana fluoresensi dapat diamati pada otot bekas penyuntikan,
otot yang berseberangan dengan bekas penyuntikan, usus, insang, limpa, ginjal
depan dan hati pada jam ke-36 setelah vaksinasi. Pada hari ke-60 fluoresensi menjadi
lebih
lemah,
namun
demikian
tetap
terdeteksi
90
hari
setelah
vaksinasi.
18
Terdistribusinya vaksin DNA
pada beberapa organ yang lain dapat memproduksi
antigen yang dapat menginduksi kekebalan spesifik ikan (Zheng et al. 2006).
Respons Imun pada Ikan
Ikan memiliki respon imun humoral maupun seluler sebagaimana vertebrata
yang lain. Ikan dan mamalia memiliki kesamaan dan perbedaan imunitas (Tabel 3).
Tabel 3. Perbedaan antara imunitas ikan dan mamalia
Parameter
Keadaan biotik
Rentang suhu
Lingkungan primer
Metabolisme
Keragaman humoral
Ig isotope
Ig gene rearrangement
Keragaman non spesifik
Performa keseluruhan
Afinitas antibodi
Respon antibodi
Respon memori
Pematangan afinitas
Suhu rendah
Organ Limfoid
Jaringan hematopoietic
Timus
Kelenjar limfoid
Jaringan
limfoid
yang
berasosoasi dengan usus
Pusat Germinal
Ikan
Mamalia
-2 – 35 oC
Air
Poikiloterm
36.5 – 37.5 oC
Udara
Homoioterm
IgM, IgD? (teleostei)
IgM, IgX/IgR, IgW, NAR(C)
(condrichthyes), IgM redoks
Multiseluler
(condrichthyes
dan beberapa teleostei)
C3 (teleostei)
IgM, IgA, IgD, IgE, IgG
Rendah
Perlahan
Lemah
Rendah atau tidak ada
Ketergantungan tinggi, respon
immunosuppressive (hanya
pada ikan poikiloterm)
Tinggi
Cepat
Kuat
Tinggi
Ketergantungan rendah
Ginjal
depan
(teleostei),
epigonal,
organ
Leydig,
jaringan meningeal, orbital,
jaringan
hematopoietic
subcranial (condrichthyes)
Involusi tergantung spesies,
dipengaruhi musim
Tidak ada
Tidak terorganisir, kumpulan
limfoid
Tidak
ada
(pusat
melanomakrofag?),
sel
dendrite kemungkinan ada
Sumsum tulang belakang
Translocon
Tidak ada bentuk C3
Involusi
Ada
Terorganisir
Ada
Sumber: Tort et al. (2003)
Respons Imun Non-Spesifik
Ikan memiliki sistem pertahanan tubuh yang bersifat non-spesifik maupun
spesifik (Tort et al. 2003). Sebelum berhasil menginvasi inangnya, maka patogen
19
harus berhadapan terlebih dahulu dengan barier pertahanan tubuh yang bersifat fisik
dan kimiawi. Patogen harus menembus barikade lendir/mucus yang ada di bagian
tubuh paling luar.
Lendir ini memiliki kemampuan untuk menggumpalkan antigen
secara kimiawi. Setelah itu patogen harus mampu menerobos kulit maupun melewati
sisik terlebih dahulu untuk ikan yang bersisik. Setelah bagian ini lolos maka pathogen
harus berhadapan dengan sistem pertahanan non-spesifik lainnya dalam tubuh (Tort
et al. 2003).
Sistem pertahanan yang bersifat non-spesifik terdiri atas pertahanan seluler
dan humoral. Pertahanan non spesifik seluler melibatkan makrofag, granulosit, nonspecific cytotoxic cells (NCC).dan cell-line. Makrofag dan granulosit merupakan sel
fagositik yang bersifat motil yaitu dapat bergerak ke seluruh bagian-bagian tubuh.
Makrofag dan granulosit dapat ditemukan atau diisolasi dari darah, organ limfoid yaitu
ginjal depan dan rongga peritoneal (peritoneal cavity) Granulosit terdiri atas neutrofil
dan eosinofil, sedangkan basofil jarang ditemukan. Non-specific cytotoxic cells (NCC)
pada ikan identik dengan natural killer (NK) cells pada mamalia. Sel ini bertugas
untuk melisis sel kanker pada mamalia, sedangkan di ikan berfungsi untuk
menghadapi parasit. Sel ini dapat ditemukan di darah, jaringan limfoid, usus dan ginjal
depan. Cell line leukosit ini jarang ditemukan.
Cell line ini berperanan dalam
melakukan fagositosis. Pertahanan non spesifik humoral diperankan oleh lisozim,
komplemen, interferon, protein C-reaktif, transferin dan lektin (Iwama & Nakanishi
1996).
Lisozim dapat ditemukan di lendir/mucus, serum dan telur. Zat ini berfungsi
untuk membantu mendegradasi lapisan peptidoglikan pada dinding sel bakteri baik
gram positif maupun gram negatif. Lisozim juga mendorong aktifitas fagositosis yaitu
sebagai opsonin atau secara langsung mengaktifkan leukosit polimorfonuklear
(neutrofil) dan makrofag. Neutrofil juga berisi sebagian besar myeloperoksidase yang
terlibat dalam aktifitas bakterisidal (Mohanty et al. 2007). Lisozim merupakan salah
satu respon alamiah (innate) yang dapat terinduksi dengan cepat (Tort et al. 2003).
Komplemen adalah sebutan yang diberikan untuk rangkaian 20 protein yang
bersama dengan pembentuk bekuan darah, fibrinolisin dan pembentukan kinin,
membentuk salah satu sistem-sistem pemacu enzim yang ditemukan dalam plasma.
Sistem-sistem ini secara karakteristik menghasilkan suatu reaksi cepat, berkekuatan
tinggi terhadap suatu fenomena berjenjang di mana hasil satu reaksi akan menjadi
pemecah substansi berikutnya secara enzimatik (Roitt 2003).
Komplemen pada
20
mamalia berbeda dengan ikan. Mamalia hanya punya satu isoform molekul C3 yang
dikode oleh satu loci, sementara ikan mengekspresikan beberapa isoform C3 aktif.
Ikan trout (Onchoryncus mykiss) dan medaka (Oryzias latipes) mengekspresikan tiga
isoform
C3,
ikan
seabrem
(Sparus
aurata)
dan
mas
(Cyprinus
carpio)
mengekspresikan lima isoform C3 serta ikan zebra (Danio rerio) memiliki tiga loci
yang mengkode tiga isoform C3 (Tort et al. 2003).
Interferon adalah protein atau glikoprotein yang dapat menghambat replikasi
virus.
Pada mamalia terdapat tiga tipe interferon
yaitu interferon α, β, dan Ә.
Interferon α dan β terdapat pada ikan bertulang sejati dan tidak terdapat pada
kelompok lainnya.
Interferon Ә disekresikan oleh leukosit yang berasal dari ginjal
depan ikan. Protein C-reaktif adalah protein pertama yang tampak pada plasma
manusia dan hampir semua hewan (termasuk invertebrata dan moluska) ketika terjadi
kerusakan jaringan, infeksi atau inflamasi. Protein ini berperanan dalam melakukan
presipitasi polisakarida C (CPS=C-polysaccharides) yang terdapat pada dinding sel
bakteri (Iwama & Nakanishi 1996).
Protein C-reaktif berukuran 118 kDa dengan
koefisien sediimentasi 6.5 S dan memperlihatkan mobilitas tipe β pada medan
elektroforesis (Ingram 1980). Faktor ini akan meningkat jumlahnya pada fase akut
suatu penyakit infeksi mikrobial dan akan mengikat fosforil-kolin dari glikopeptida
dinding sel bakteri, cendawan dan parasit (Rijkers 1982).
Transferin adalah glikoprotein pengikat besi (Fe) yang berperanan dalam
transport Fe mulai dari absorbsi, penyimpanan, dan pemanfaatannya pada semua
vertebrata (Iwama & Nakanishi 1996). Berat molekul transferin tergantung spesies
ikan. Berat molekul transferin pada ikan mas 58-70 kDa, sedang pada ikan dogfish
75-80 kDa.
Transferin mempunyai aktifitas antimikrobial yang menghambat
pemanfaatan metal oleh bakteri, mengangkut Fe dari situs penyerapannya di usus
dan perombakan Hb ke berbagai lokasi penyimpanan (Ingram 1980).
Lektin adalah perantara respon imun yang penting pada vertebrata tingkat
tinggi.
Protein ini memiliki kemampuan untuk mengikat karbohidrat yang terlibat
dalam perlekatan ke dinding sel. Lektin memblokir perlekatan patogen ke dinding sel
sehingga invasi dapat digagalkan. Lektin juga terlibat dalam menginduksi mekanisme
respon imun yang lain misalnya mengaktifasi komplemen (Tort et al. 2003). Lektin
pernah ditemukan terdapat dalam serum darah ikan salmon yang berperan dalam
melakukan
opsonisasi
terhadap
bakteri
Aeromonas
salmonicida.
Lektin
21
meningkatkan aktifitas bakterisidal dan aktifitas makrofag dalam memfagositosis
bakteri A.salmonicida (Ewart et al. 2001).
Respons Imun Spesifik
Sistem pertahanan spesifik dibedakan menjadi dua macam yaitu yang bersifat
seluler dan humoral. Sistem pertahanan spesifik seluler diperankan oleh kekebalan
berperantara sel (cell mediated immunity/CMI) dalam hal ini limfosit Tc, sedangkan
pertahanan spesifik humoral diperankan oleh antibodi (Tort et al. 2003).
Kekebalan berperantara sel
(CTL=cytotoxic lymphocyte).
pada mamalia diperankan oleh sel Tcytotoxic
Sel T ini memiliki molekul CD8 pada permukaannya
untuk berinteraksi dengan molekul major histocompatibility complex kelas I (MHC I)
pada permukaan sel APC (antigen presenting cell) yang menyajikan antigen (Hirono
2005). Sel Tc ini akan mencari sel-sel yang mengalami kelainan fisiologis untuk
dihancurkan. Tujuan pembungihangusan ini adalah untuk menghindari penyebaran
penyakit (Kuby 1997).
Roitt (2003) memaparkan bahwa kekebalan berperantara sel (seluler)
melibatkan limfosit Tc yang dihasilkan di kelenjar timus yang bekerjasama dengan NK
(natural killer= non specific cytitoxic cells/NCC) dalam menghancurkan sel yang
mengalami kelainan. Ruang lingkup sel NK ini terbatas sehingga perlu bantuan
antibodi untuk mengahancurkan sel yang terinfeksi parasit intraseluler yaitu virus.
Antibodi menyelimuti sel yang terinfeksi virus sementara NK yang memiliki reseptor
khusus terhadap antibodi berikatan dengan antibodi. Antibodi akan membawa sel NK
mendekat ke sel sasaran dengan membentuk suatu jembatan. Sel NK yang diaktifkan
oleh kompleks antigen-antibodi mampu membunuh sel terinfeksi melalui mekanisme
ekstraseluler. Pembunuhan sel ini bersifat non-spesifik. Pembunuhan sel terinfeksi
virus yang bersifat spesifik dilakukan oleh sel Tc. Sel ini berhubungan dengan sel
target dengan bantuan molekul major histocompatibility complex (MHC) kelas I.
Melalui pengenalan terhadap antigen permukaan ini maka sel-sel sitotoksik datang
untuk membuat kontak yang lebih intim dengan sel target.
Sel sitotoksik juga
melepaskan Ә-interferon yang membantu memperkecil peluang penyebaran virus ke
sel-sel yang lainnya yang berdekatan. Sel sitotoksik melakukan pembumihangusan
sel target sehingga penyebaran virus dapat dihentikan.
Kekebalan spesifik humoral dilakukan oleh antibodi. Pembentukan antibodi
diawali dengan terjadinya interaksi antara antigen dengan makrofag.
Interaksi ini
22
terdeteksi oleh sel Thelper dan sel T ini memberikan sinyal melalui sitokin/interleukin
kepada sel B untuk melakukan prolifareasi. Sel B yang telah mengalami proliferasi
menghasilkan antibodi yang sesuai dengan antibodi yang menginduksinya (Roitt
2003).
Mamalia memiliki beberapa kelas antibodi/immunoglobulin (Ig yaitu IgA, IgD,
IgE IgG dan IgM. Ikan bertulang sejati memiliki kelas Ig yang terbatas yaitu IgM. IgM
ini berukuran 800 kD (Tort et al. 2003), dengan koefisien sedimentasi 16 S dan
berbentuk monomer, tetramer dan pentamer (Walczak 1985).
Semua kelas Ig
mengandung karbohidrat yang terikat pada atom C dari rantai H. Dalam proses
pengikatan karbohidrat seperti manosa, galaktosa, fukosa pada situs asparagin, serin
atau treonin diperlukan enzim N-asetil-glukosamin-asparagin transglikosilase. Ikatan
karbohidrat ini diperlukan untuk meningkatkan kelarutan Ig, mencegah degradasi
katabolik dan mempermudah sekresi antibodi dari sel pembentuknya. Ig M merupakan
makroglobulin dimana kestabilan struktur molekulnya dilakukan oleh rantai J.
Klasifikasi Ig tersebut didasarkan atas sifat fisiko-kimia, kandungan karbohidrat dan
komposisi asam amino molekul Ig (Rosenshein et al. 1985).
Antibodi berfungsi sebagai adaptor yang secara intrinsik mampu mengaktifkan
sel komplemen dan merangsang sel-sel fagosit, serta mengikat mikroba penyerang.
Adaptor mempunyai tiga bagian utama, dua bagian berkaitan dengan komplemen dan
fagosit (fungsi biologis) dan satu bagian khusus untuk mengikat mikroorganisme
(fungsi pengenalan eksternal)
(Roitt 2003).
Mekanisme kerja antibodi dilakukan
melalui netralisasi, presipitasi dan aglutinasi, opsonisasi dan fungsi berperantara
komplemen.
Netralisasi dilakukan dengan cara memblokir pada bagian reseptor
antigen atau bagian yang aktif secara enzimatik.
Netralisasi dilakukan dengan
interaksi antara antibodi dengan antigen sehingga menghasilkan kompleks antigenantibodi. Terjadinya kompleks ini memudahkan terjadinya fagositosis.
Dalam
peranannya sebagai penetral antigen, maka antibodi berfungsi sebagai presipitin yang
mengendapkan antigen, agglutinin yang menggumpalkan antigen dan opsonin yang
berguna untuk melapisi antigen sehingga mudah difagositosis. Proses terjadinya
ikatan antara antibodi dengan antigen mengawali kerjasama antara antibodi dengan
komplemen. Komplemen berperan dalam rangkaian reaksi yang berjenjang dengan
melibatkan komplemen lain dan menimbulkan reaksi peradangan (Iwama & Nakanishi
1996).
23
Download