21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai oleh pohon-pohon yang menempati suatu tempat dimana terdapat hubungan timbal balik antara tumbuhan tersebut dengan lingkungannya. Pepohonan yang tinggi sebagai komponen dasar dari hutan memegang peranan penting dalam menjaga kesuburan tanah dengan menghasilkan serasah sebagai sumber hara penting bagi vegetasi hutan (Ewusie, 1990). Pohon-pohon di hutan membentuk susunan secara vertikal yang dikenal dengan istilah stratifikasi atau pelapisan tajuk. Stratifikasi yang paling dikenal adalah pada ekosistem hutan hujan tropis. Menurut Ewusie (1990), ada 5 stratum yang terdapat pada hutan hujan tropis, yaitu : 1. Stratum A, yaitu lapisan tajuk (kanopi) hutan paling atas yang dibentuk oleh pepohonan yang tingginya lebih dari 30 m. Umumnya tajuk pohon pada stratum ini lebar, tidak bersentuhan ke arah horizontal dengan tajuk pohon lainnya dalam stratum yang sama, sehingga stratum tajuk itu berbentuk lapisan diskontinu dan dapat digunakan untuk identifikasi spesies pohon dalam suatu daerah. 2. Stratum B, yaitu lapisan tajuk kedua dari atas yang dibentuk oleh pepohonan yang tingginya 20-30 m. Bentuk tajuk pohon pada stratum B membulat atau memanjang dan tidak melebar seperti pada tajuk pohon di stratum A dan cenderung membentuk lapisan yang kontinu. 3. Stratum C, yaitu lapisan tajuk ketiga dari atas yang dibentuk oleh pepohonan yang tingginya 4-20 m. Pepohonan pada stratum ini mempunyai bentuk tajuk yang berubah-ubah tetapi membentuk suatu lapisan tajuk yang tebal. Selain itu, pada stratum C, pepohonan juga berasosiasi dengan berbagai populasi epifit, tumbuhan pemanjat dan parasit (Vickery, 1984 dalam Indriyanto, 2006). 22 4. Stratum D, yaitu lapisan tajuk keempat dari atas yang dibentuk oleh spesies tumbuhan semak dan perdu yang tingginya 1-4 m. Stratum ini ditandai oleh spesies pohon yang masih muda atau dalam fase anakan (seedling), terdapat palma-palma kecil, herba besar, dan paku-pakuan besar. 5. Stratum E, yaitu tajuk paling bawah yang dibentuk oleh spesies-spesies tumbuhan penutup tanah (ground cover) yang tingginya 0 - 1 m. Keanekaragaman spesies disini lebih sedikit dibandingkan dengan stratum lainnya. Kelompok tumbuhan yang ditemukan disini terdiri atas beberapa famili antara lain : Commelinaceae, Zingiberaceae, Acanthaceae, Araceae, dan Maranthaceae. Arief (1994) menambahkan tegakan hutan hujan tropis didominasi oleh pepohonan yang selalu hijau. Tajuk pohon hutan tropis sangat rapat, ditambah lagi adanya tumbuh-tumbuhan yang memanjat, menggantung, dan menempel pada dahan-dahan pohon, misalnya rotan, anggrek, dan paku-pakuan. Hal ini menyebabkan sinar matahari tidak dapat menembus tajuk hutan hingga ke lantai hutan, sehingga tidak memungkinkan bagi semak untuk berkembang di bawah naungan tajuk pohon kecuali spesies tumbuhan di bawah naungan. Ekosistem hutan hujan tropis juga memiliki kecepatan daur ulang yang sangat tinggi, sehingga semua komponen vegetasi hutan tidak mungkin kekurangan unsur hara. Jadi faktor pembatas di hutan tropis adalah cahaya, dan itu pun hanya berlaku bagi bagi tetumbuhan yang terletak di lapisan bawah. Tumbuhan herba dan semak yang ada dalam hutan adalah spesies-spesies yang telah beradaptasi secara baik untuk tumbuh di bawah naungan pohon (Vickery, 1984 dalam Indriyanto, 2006). 2.2 Keanekaragaman vegetasi Vegetasi yaitu kumpulan dari beberapa jenis tumbuhan yang tumbuh bersamasama pada suatu tempat dimana antara individu-individu penyusunnya terdapat interaksi yang erat, baik diantara tumbuh-tumbuhan, maupun hewan-hewan yang hidup dalam vegetasi lingkungan tersebut. Vegetasi tidak hanya kumpulan dari individu-individu tumbuhan melainkan membentuk suatu kesatuan dimana 23 individu-individunya saling tergantung satu sama lain, yang disebut sebagai suatu komunitas tumbuh-tumbuhan (Soerianegara dan Indrawan 1978). Menurut Arief (1994), hutan hujan bawah Sumatera dan Kalimantan, banyak dijumpai spesies pohon anggota dari famili Dipterocarpaceae terutama anggota genus Shorea, Dipterocarpus, Hopea, Vatica, Dryobalanops, dan Cotylelobium, sehingga hutan hujan bawah disebut juga hutan Dipterocarps. Selain famili Dipterocarpaceae, terdapat juga beberapa famili lain diantaranya Lauraceae, Myrtaceae, Myristiceae, dan Ebenaceae, serta pohon-pohon anggota genus Agathi, Kompasia, dan Dyera. Ekosistem hutan hujan bawah di Jawa dan Nusa Tenggara terdapat spesies anggota genus Altingea, Bischofia, Castanopsis, Ficus, dan Gassampinus, serta spesies-spesies pohon dari famili Leguminosae. Vegetasi campuran seperti spesies pohon Palagium spp, Pometia pinnata, Intsia spp, Diospyros spp, Koordersiodendron pinnatum, dan Canarium spp. dominan di ekosistem hutan hujan bawah daerah Sulawesi, Maluku, dan Irian Jaya. Tumbuhan merambat yang banyak dijumpai di hutan hujan bawah adalah anggota famili Apocynaceae, Araceae, dan berbagai spesies rotan (Calamus sp.). Ekosistem hutan hujan tengah yang terdapat di sebahagian Indonesia Timur, Aceh dan Sumatera Utara didominasi oleh genus Quercus, Castanopsis, Nothofagus, dan spesies pohon anggota famili Magnoliaceae. Daerah Aceh dan Sumatera Utara, ekosistem hutan hujan tengah tipe ekosistemnya agak khas dimana terdapat spesies pohon Pinus merkusii, dan di Jawa Tengah terdapat spesies pohon Albizzia montana dan Anaphalis javanica. Sementara di Jawa Timur terdapat spesies pohon Cassuarina spp. Tumbuhan famili Dipterocarpaceae hanya terdapat pada daerah dengan ketinggian 1200 mdpl (Soerianegara dan Indrawan, 1978). 2.3 Analisis Komunitas Tumbuhan Analisis komunitas tumbuhan merupakan suatu cara mempelajari susunan atau komposisi jenis dan bentuk atau sruktur vegetasi. Satuan vegetasi dalam ekologi hutan yang dipelajari berupa komunitas tumbuhan yang merupakan asosiasi konkret dari semua spesies tumbuhan yang menempati suatu habitat. Oleh 24 karena itu, tujuan yang ingin dicapai dalam analisis komunitas adalah mengetahui komposisi spesies dan struktur komunitas pada suatu wilayah yang dipelajari (Indriyanto, 2006). Struktur komunitas tumbuhan memiliki sifat kualitatif dan kuantitati (Gopal dan Bhardwaj, 1979 dalam Indriyanto, 2006). Deskripsi struktur komunitas tumbuhan dapat dilakukan secara kualitatif dengan parameter kualitatif atau secara kuantitatif dengan parameter kuantitatif. Ada beberapa parameter kualitatif dalam analisis komunitas tumbuhan yaitu: 1. Fisiognomi, adalah penampakan luar dari suatu komunitas tumbuhan yang dapat dideskripsikan berdasarkan kepada penampakan spesies tumbuhan dominan, penampakan tinggi tumbuhan, dan warna tumbuhan yang tampak oleh mata. 2. Fenologi, adalah perwujudan spesies pada setiap fase dalam siklus hidupnya. Bentuk dari tumbuhan berubah-ubah sesuai dengan umurnya, sehingga spesies yang sama dengan tingkat umur yang berbeda akan membentuk struktur komunitas yang berbeda. Spesies yang berbeda pasti memiliki fenologi yang berbeda, sehingga perbedaan keanekaragaman spesies dalam komunitas tumbuhan menimbulkan perbedaan struktur antara komunitas yang satu dengan yang lainnya. 3. Periodisitas, adalah kejadian musiman dari berbagai proses dalam kehidupan tumbuhan. Kejadian musiman pada tumbuhan dapat ditunjukkan oleh perwujudan bentuk daun dan ukurannya, masa pembungaan, masa bertunas, dan peluruhan buah atau biji. 4. Stratifikasi, merupakan distribusi tumbuhan dalam ruangan secara vertikal. 5. Kelimpahan, adalah parameter kualitatif yang mencerminkan distribusi relatif spesies organisme dalam komunitas. Kelimpahan pada umumnya berhubungan dengan densitas berdasarkan penaksiran kualitatif. Menurut penaksiran kualitatif, kelimpahan dapat dikelompokkan menjadi lima yaitu: sangat jarang, kadang-kadang atau jarang, sering atau tidak banyak, banyak atau berlimpahlimpah, dan sangat banyak atau sangat berlimpah. 25 6. Penyebaran, adalah parameter kualitataif yang menggambarkan keberadaan spesies organisme pada ruang secara horizontal. Penyebaran tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga, antara lain random, seragam, dan berkelompok. 7. Daya hidup atau vitalitas, adalah tingkat keberhasilan tumbuhan untuk hidup dan tumbuh normal, serta kemampuan untuk bereproduksi. Daya hidup akan menentukan setiap spesies organisme untuk memelihara kedudukannya dalam komunitas. 8. Bentuk pertumbuhan, adalah penggolongan tumbuhan menurut bentuk pertumbuhannya, habitat, atau menurut karakteristik lainnya. Bentuk pertumbuhan yang umum dan mudah disebut misalnya pohon, semak, perdu, herba, dan liana. Parameter kuantitatif dalam analisis komunitas tumbuhan meliputi : 1. Densitas, adalah jumlah individu per unit luas atau per unit volume atau dengan kata lain, densitas merupakan jumlah individu organisme per satuan ruang. Kerapatan sering digunakan untuk kepentingan analisis komunitas tumbuhan yang memiliki makna yang sama dengan densitas. 2. Frekuensi, digunakan untuk menyatakan proporsi antara jumlah sampel yang berisi suatu spesies tertentu terhadap jumlah total sampel. Frekuensi spesies tumbuhan adalah jumlah petak contoh tempat ditemukannya suatu spesies dari sejumlah petak contoh yang dibuat. 3. Luas penutupan (coverage), adalah proporsi antara luas tempat yang ditutupi oleh spesies tumbuhan dengan luas total habitat. Luas penutupan dapat dinyatakan dengan menggunakan luas penutupan tajuk ataupun luas bidang dasar (luas basal area). Beberapa penulis menggunakan istilah dominansi untuk menyatakan luas penutupan suatu spesies tumbuhan karena parameter tersebut merupakan bagian dari parameter yang digunakan untuk menunjukkan spesies tumbuhan yang dominan dalam suatu komunitas. 4. Indeks nilai penting (importance value index), adalah parameter kuantitatif yang dapat dipakai untuk menyatakan tingkat dominansi (tingkat penguasaan) spesies-spesies dalam suatu komunitas tumbuhan. Spesies-spesies yang dominan dalam suatu komunitas tumbuhan akan memiliki indeks nilai penting 26 yang tinggi, sehingga spesies yang paling dominan tentu saja memiliki nilai indeks nilai penting paling besar (Soegianto, 1994 dalam Indriyanto, 2006). 5. SDR (Summed Dominance Ratio) atau perbandingan nilai penting, adalah parameter yang identik dengan indeks nilai penting. Oleh karena itu, SDR juga dipakai untuk menyatakan tingkat dominansi spesies-spesies dalam suatu komunitas tumbuhan. 6. Indeks dominansi (index of dominance), adalah parameter yang menyatakan tingkat terpusatnya dominansi spesies dalam suatu komunitas 7. Indeks keanekaragaman. Keanekaragaman spesies dapat diperkirakan dengan menggunakan 3 rumus berikut yaitu indeks Shannon, indeks Margalef, dan indeks Simpson. 8. Indeks kesamaan (index of similarity), kadang-kadang diperlukan untuk mengetahui tingkat kesamaan antara beberapa tegakan, antara beberapa unit sampling atau antara beberapa komunitas yang dipelajari dan dibandingkan komposisi dan struktur komunitasnya. 9. Homogenitas suatu komunitas. Homogen tidaknya suatu komunitas tumbuhan dapat ditentukan dengan menggunakan “Hukum Frekuensi” (laws of frequency). Frekuensi dapat menunjukkan homogenitas dan penyebaran dari individu-individu spesies dalam komunitas. Menurut Raunkiaer (1934) dalam Indriyanto (2006) untuk mengetahui homogenitas suatu komunitas, nilai frekuensi tiap spesies dikelompokkan ke dalam lima kelas sebagai berikut : a. Kelas A, yaitu spesies-spesies yang mempunyai frekuensi 1-20 % b. Kelas B, yaitu spesies-spesies yang mempunyai frekuensi 21-40 % c. Kelas C, yaitu spesies-spesies yang mempunyai frekuensi 41-60 % d. Kelas D, yaitu spesies-spesies yang mempunyai frekuensi 61-80 % e. Kelas E, yaitu spesies-spesies yang mempunyai frekuensi 81-100 % Berdasarkan hukum frekuensi Raunkiaer tersebut dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : a. Jika A >B >C > = < D < E, maka spesies-spesies yang menyusun komunitas tumbuhan berdistribusi normal. 27 b. Jika E > D, sedangkan A, B, dan C rendah, maka kondisi komunitas tumbuhan homogen. c. Jika E < D, sedangkan A, B, dan C rendah, maka kondisi komunitas tumbuhan terganggu. d. Jika B, C, dan D tinggi, maka kondisi komunitas tumbuhan heterogen (Indriyanto, 2006) 2.4 Produktivitas buah di hutan Tropis Menurut Wich et al. (2011) pola produktivitas buah pada hakikatnya bervariasi diantara hutan tropis. Beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan produktivitas buah diantara benua, tempat dan diantara tipe hutan. Adanya variasi ini dipengaruhi oleh sejumlah faktor antara lain zat hara, curah hujan, perbedaan letak berdasarkan posisi garis lintang, ketinggian, dan radiasi matahari. Perbedaan karakteristik dalam produktivitas buah ini akan mempengaruhi organisme di dalamnya seperti ekologi dari hewan vertebrata, evolusinya, dan biogeografi. Penelitian Reynolds-Hogland etal. (2006) dan Greenberg et al. (2007) menemukan produktivitas buah lebih tinggi pada hutan yang umurnya lebih muda. Penelitian produktivitas tersebut berdasarkan hasil panen dari beberapa tipe hutan, termasuk tumbuhan yang terdapat di daerah pegunungan. Penelitian Greenberg et al. (2012) yang membandingkan produktivitas buah di lima tipe hutan juga menunjukkan adanya perbedaan diantara kelima tipe hutan tersebut. Adapun kelima tipe hutan yang dianalisis dalam penelitian ini meliputi hutan tua yang terdapat di daerah pegunungan, hutan di daerah yang datar, hutan yang didominasi oleh tumbuhan Pinus taeda, daerah penanaman tumbuhan Pinus palustris dan daerah penanaman benih pinus. Hasilnya menunjukkan rata-rata produksi buah pertahun paling tinggi ditemukan di daerah penanaman benih pinus, diikuti hutan daerah datar, daerah pegunungan, dan sedikit di daerah yang didominasi oleh tumbuhan Pinus taeda serta daerah penanaman Pinus palustris. Adanya perbedaan produktivitas buah diantara ke lima tipe hutan di tersebut menurut Greenberg et al. (2012) disebabkan oleh perbedaan waktu berbuah di antara jenis-jenis tumbuhan yang terdapat dalam hutan tersebut serta adanya 28 kecenderungan variasi spatial dalam produktivitas buah oleh spesies-spesies tertentu. Anwar et al. (1984) menyatakan setiap komunitas pohon menunjukkan pola produksi yang jelas. Hutan Ulu Gombak di Semenanjung Malaya menghasilkan daun-daun baru dua kali setahun dengan puncak utama pada bulan Maret sampai Juni (setelah masa-masa paling kering setiap tahun). Produksi daun yang paling rendah terjadi pada bulan Oktober sampai bulan Desember yaitu pada saat mulai masa-masa basah sampai paling basah setiap tahun. Pembungaan paling banyak terjadi sesudah masa paling kering setiap tahun, yaitu dari bulan Maret sampai bulan Juli, sehingga tidak mengherankan puncak pembuahan terjadi dari bulan Agustus sampai September, sebelum musim terbasah setiap tahun. Pembungaan berbagai pohon-pohon hutan dataran rendah dimulai dengan adanya kekurangan air. Persentase pohon-pohon yang berbuah lebih tinggi daripada pohon-pohon yang berbunga disebabkan oleh karena untuk menjadi matang, buah membutuhkan waktu yang lebih lama daripada waktu yang dibutuhkan bunga menjadi buah. Pola-pola curah hujan di kebanyakan daerah di Sumatera bagian utara sangat mirip dengan yang terdapat di Ulu Gombak, sehingga siklus pembungaan dan pembuahan diduga hampir serupa. Namun di bagian selatan Sumatera, dimana bulan-bulan paling kering biasanya terjadi pada Juni/Juli siklus tersebut rupanya akan sesuai dengan keadaan iklim tersebut. Produktivitas buah yang dihasilkan suatu tumbuhan di daerah tropis sering tidak teratur. Kebanyakan spesies pola produktivitasnya tidak dapat diprediksikan (Fenner, 1998). Milton (1991) menemukan keempat jenis Ficus (Ficus insipida, Ficusyoponensis, Ficus obtusifolia dan Ficus costaricana) menghasilkan buah sepanjang tahun. Penelitian Chapman et al. (1999) di dua tempat dari Taman Nasional Kibale, Uganda (Kanyawara dan Ngogo) mendapatkan pola produktivitas buah yang dihasilkan tipe berdasarkan pengelompokan yang dilakukan oleh Newstrom et al. (1994) antara lain subannual, dikelompokkan annual, supra-annual, menjadi beberapa irreguler dan kontinyu. Leptoyichiamildbraedii (Famili Malvaceae) termasuk kelompok Jenis subannual di 29 daerah Ngogo, sedangkan di Kanyawara dikelompokkan sebagai tumbuhan annual. Tanaman Bosqueia phoberos (Moraceae) memiliki frekuensi berbuah yang tidak teratur sehingga masuk dalam kelompok irreguler baik di Kanyawara maupun di Ngogo. Adanya perbedaaan pola produktivitas buah di kedua tempat tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain ketinggian tempat, curah hujan serta komposisi spesies diantara keduanya (Chapman et al. 1999). Vegetasi penyusun hutan pegunungan di Borneo (Gunung Kinabalu) memiliki pola produktivitas buah yang sedikit berbeda dengan penelitian Chapman et al. (1999). Berdasarkan frekuensi pembungaan dan durasi berbuah Kimura (1996) mendapatkan 6 pola produktivitas buah yang dihasilkan di Gunung Kinabalu meliputi kontinyu, biannual, annual, annual (hanya berbuah), tanpa reproduksi dan lain-lain (termasuk spesies yang berbunga tapi tidak berbuah). Hasil penelitian Kimura (1996) selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.1. berikut ini: Tabel 2.1. Jumlah buah masak yang dihasilkan di tiga lokasi Gunung Kinabalu Pola frekuensi berbuah Lokasi N c a2 a1 a1/fr nr 0 PAKA 143 10 8 7 2 5 5 PHQ 166 7 9 27 5 10 15 PORING 89 0 5 12 17 8 4 c = kontinyu, a2 = biannual, a1 = annual, a1/fr= annual (hanya berbuah), nr = tidak bereproduksi,0 = lain – lain (termasuk spesies yang berbunga tanpa berbuah),N = jumlah individu yang diamati Berdasarkan Tabel 2.1. terlihat hutan pegunungan di lokasi PAKA ditandai sedikit periode gagal berbuah, sedangkan di PHQ (dataran rendah) ditandai dengan tingginya masa gagal berbuah. Daerah berbukit (PORING) memiliki pola peralihan diantara PAKA dan PHQ. 2.5 Metode pengukuran produktivitas buah Berdasarkan penelitian Chapman et al. (1992) ada 3 metode yang digunakan dalam menentukan kelimpahan buah di hutan tropis yaitu: 1. Diameter setinggi dada. 30 Diameter pohon setinggi dada (DBH) merupakan indikator ukuran pohon, yang diasumsikan dapat mencerminkan kemampuan pohon untuk menghasilkan buah. 2. Volume tajuk. Ketinggian tajuk diukur dengan menggunakan klinometer dan bentuk tajuk ditentukan salah satu dari lima kategori : hemisphere, sphere, elliptical hemisphere, elliptical sphere, dan cone (kerucut) . Rumus volumetrik yang tepat digunakan untuk memperkirakan volume dari masing-masing bentuk tersebut . 3. Perhitungan secara Visual . Umumnya, butuh sekitar lima menit untuk membuat perkiraan secara visual . Namun, untuk pohon-pohon besar di mana kanopi itu dikaburkan oleh pohon understory, perkiraan bisa memakan waktu lebih lama . Penelitian Chapman et al. (1994) berikutnya mengukur hubungan antara kelimpahan buah dengan luasnya habitat di hutan tropis dengan menggunakan 3 metoda yang berbeda yaitu perangkap buah, jejak buah dan fenologi. Hasilnya menunjukkan estimasi kelimpahan buah berdasarkan jejak buah tidak berkorelasi dengan dua metode lainnya. Mereka berkesimpulan metode yang dapat digunakan untuk menentukan luas habitat dan kelimpahan buah tergantung pada keakuratan dari metode serta ketersediaan waktu. Keakuratan dari metode akan tampak jika studi tentang daerah jelajah (home range) dari hewan tertentu diikutkan dalam peneltian ini. Berbeda dengan Parado-Roselli (2006) yang mengukur produktivitas buah dengan menggunakan metode perangkap buah dan metode survei kanopi dalam bentuk plot. Hasilnya menunjukkan Jumlah spesies berbuah yang berasal dari survei plot kanopi adalah nyata lebih tinggi daripada yang diperoleh melalui perangkap buah, sementara 62 spesies buah yang dicatat melalui plot kanopi , hanya 28 yang tercatat saat menggunakan perangkapbuah. Hasil penelitian Parado-Roselli et al. (2006) secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 2.2 berikut ini: 31 Tabel 2.2 Jumlah spesies yang berbuah dan massa buah (Kg ha-1) berdasarkan metode perangkap buah dan survei plot dari Desember 1999 – Juni 2000 Survei Semua tahap pertumbuhan Metode plot pohon sampling kanopi Tumbuhan pemanjat & epifit Perangkap Semua tahap pertumbuhan buah pohon Total yang tidak berbuah 62 43 19 28 26∗ Tumbuhan pemanjat & epifit 2 Spesies yang tidak berbuah 46 (74,2%) 29 (46,8%) 17 (27,4%) 12∗ (42,9%) 12∗ (42,9%) 0 (0%) Total massa berbuah (kg ha- 463,1 (100%) 444,6 (96,0%) 18,5 (4,0%) 228,5 (100%) 220,6 (96,5%) 7,9 (3,5%) 1) ∗ = termasuk 8 morpho-spesies yang tidak ditentukan Mereka berpendapat data yang diperoleh berdasarkan metode perangkap buah kurang akurat dibandingkan dengan metode plot kanopi dalam menentukan pola pembuahan. Hal ini disebabkan metode perangkap buah tidak dapat mendeteksi kebanyakan epifit dan liana yang menjadi makanan bagi hewan terutama saat proses belajar mencari makan (Morellato dan Leitao-filho, 1996). Metoda perangkap buah dapat digunakan untuk bagian tertentu dari penelitian seperti ketersediaan buah bagi hewan frugivor darat, dan jarak penyebaran biji. 2.6 Fenologi Fenologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang tahap-tahap yang dialami organisme secara berkala dalam siklus hidupnya. Umumnya fenologi berkaitan dengan fase vegetatif dan generatif suatu organisme seperti pembungaan dan pembuahan pada suatu spesies tumbuhan. Fenologi tumbuhan melibatkan waktu, durasi dan kelimpahan dari kejadian yang berulang dari fenomena biologi, termasuk di dalamnya seperti peristiwa pembungaan, pembuahan, penyebaran biji, dan perkecambahan (Bustamante dan Burquez, 2008). 32 Menurut Zhao et al. (2013) fenologi tumbuhan diatur oleh 2 faktor yaitu : 1. Faktor intrinsik dari tumbuhan tersebut seperti genom, usia, dan evolusi dalam suatu komunitas tumbuhan yang berasosiasi dengan faktor biotik diantaranya aktivitas fotosintesis, penyerapan nutrien, dan mekanisme metabolisme. 2. Faktor lingkungan antara lain kompetisi, sumber makanan yang terbatas, stres, respirasi, dan faktor usia. Secara umum, sebagian variasi dalam fenologi tumbuhan terutama spesies pohon dibatasi oleh suhu rendah pada garis lintang yang tinggi dan defisit air yang menjadi ciri khas dari daerah gurun (Beaubien dan freeland, 2000; Moser et al. 2010; Visser et al. 2010; Wilczek et al. 2010). Namun demikian peranan fotoperiodisme juga sangat besar bagi spesies pohon-pohon tertentu yang terletak pada garis lintang sedang dan tinggi (Borchert dan Rivera, 2001). Sebagian para ahli juga berpendapat bahwa selain temperatur dan fotoperiodisme, hujan, penyinaran, konsentrasi nutrien tanah dapat mempengaruhi pembungaan. Variasi curah hujan dan ketersediaan air tanah pada hutan tropis dan gurun juga telah dianggap sebagai faktor abiotik utama yang mempengaruhi pola fenologi pada tumbuhan (Bustamante dan Burquez, 2008). Berdasarkan hasil percobaan yang dilakukan oleh Sherry et al. (2007)menemukan bahwa suhu mengubah dari fase reproduksi tunas, berbunga, dan berbuah di musim dingin pada tanaman annual dan perenial. Hal ini terlihat dari lima tumbuhan annual dalam penelitian ini, tiga menunjukkan siklus hidup lebih pendek dan dua tidak berubah. Sedangkan untuk tanaman perenial enam tanaman di bawah kondisi yang sama, tiga siklus hidup yang lebih panjang, satu lebih pendek, dan dua tidak berubah. Meskipun dalam beberapa kasus, fenologi penampilan tunas tidak berubah, tetapi tahap tunas itu berkepanjangan, menunda berbuah dan berbunga. Fitter dan Fitter (2002) melaporkan bahwa suhu di bulan sebelum berbunga berkorelasi dengan waktu berbunga. Merekamenemukan bahwa hampir 60%spesies dalam studi mereka yang berbunga pada Januari-April dipengaruhi 33 oleh suhu dua bulan sebelum berbunga dan spesies yang berbunga di musim panas, suhu 4 bulan sebelumnya adalah penting. Fenologi pembungaan adalah sifat kritis reproduksi tanaman karena menentukan jumlah calon pasangan dan dapat menyediakan mekanisme untuk isolasi reproduksi atau spesiasi dari waktu ke waktu. Bunga juga menyediakan sumber makanan penting bagi penyerbuk dan pengunjung lainnya, menyebabkan studi fenologi pembungaan dapat dikaji dari segi ekologi dan evolusi secara signifikan. Secara perspektif ekologi, termasuk di dalamnya (a) kompetisi potensial untuk penyerbuk jika salah satu spesies tumpang tindih dalam waktu berbunga dengan yang lain, (b) konsekuensi berbunga individu pada awal, pertengahan, atau akhir periode pembungaan suatu populasi, dan (c) konsekuensi dari perbedaan fenologi untuk produksi benih. Berdasarkan perspektif evolusi, fenologi terkait dengan urutan berbunga dalam komunitas dan isolasi reproduksi spesies berpotensi interfertile (Inouye et al. 2003). Menurut Tooke dan Battey (2010)pada tumbuhan, waktu berbunga diatur oleh suatu mekanisme yang bertindak untuk memastikan bahwa munculnya bunga terjadi pada kondisi yang cocok. Proses pembungaan di daerah beriklim sedang selaras dengan musim melalui faktor lingkungan, terutama fotoperiodisme dan suhu. Faktor ini juga berlaku untuk induksi bunga dan juga signal terhadap dormansi. Adanya pembungaan dari tumbuhan pada musim yang berbeda menunjukkan jangka waktu yang berbeda selama berbuah. Pembentukan buah terus berlanjut sampai 2-3 bulan setelah puncak waktu berbunga pada spesies yang berbeda. Namun waktu yang dibutuhkan untuk pematangan buah juga bervariasi pada tiap spesies. Tanaman Shorea yang berbunga pada musim dingin memiliki masa phenophase berbuah selama 3-4 bulan. Sementara pada tanaman Dyospyros yang berbunga di musim panas sebelum datangnya hujan menunjukkan masa phenophase berbuah paling lama yaitu sekitar 11 bulan. Umumnya sebagian besar tumbuhan, buah jatuh selama 2-3 bulan terakhir dari masa phenophase berbuah, kecuali Bungur 6 bulan. Buah biasanya jatuh semua 34 pada bulan April-juni, dua bulan sebelum hujan dimulai lagi (Singh dan Kushwaha, 2006). Tumbuhan tropika yang mengalami kekerapan berbunga 2 kali dalam setahun, masa pembungaan yang pertama lebih lama dibandingkan yang kedua. Masa berbunga yang lebih lama itu dari segi fisiologi dianggap sebagai pembungaan pertama spesies itu dalam setahun. Keadaan ini disebabkan karena masa berbunga yang lebih lama itu harus disertai adanya persediaan energi yang lebih besar, yang mungkin terjadi selama musim hujan. Hal inilah yang menyebabkan mengapa pembungaan seperti itu berlangsung pada awal musim kering (Ewusie, 1990). Hasil penelitian Bawa et al. (2003) di La Selva Costa Rica menunjukkan, banyak spesies tumbuhan yang berbunga selama beberapa waktu dalam setahun dan adanya waktu pembungaan yang bervariasi dari tahun ke tahun. Frekuensi pembungaan di La Selva, secara annual dan episodik lebih melimpah dibandingkan secara supra annual dan kontinyu dengan tingkat persentase secara berturut – turut 42,3 %, 37, 3 %, 14,1 % dan 6,2 %. Frekuensi pembungaan menurut mereka berkaitan erat dengan phylogeni. Hal ini terlihat dari penelitian mereka kebanyakan spesies dari famili Moraceae berbunga secara episodik (76,9 %), Lauraceae secara annual (75 %) dan Rubiaceae secara kontinyu (4 %). Thomas dan Lafrankie (1993) mengemukakan pendapat yang berbeda. Penelitian mereka terhadap tumbuhan dioecious dari famili Euphorbiaceae di hutan hujan tropis Malaysia menemukan adanya korelasi antara frekuensi pembungaan dengan diameter batang serta jenis kelamin bunga tersebut. Selama 2 tahun penelitian, mereka mendapatkan genus Aporusa berbunga 2 kali terutama individu – individu yang berukuran lebih besar. Berbeda dengan Baccaureaparviflora yang memiliki frekuensi berbunga yang sama walaupun diameter batang berbeda. Bunga jantan jenis Baccaurea parviflora dan Aporusamicrostachya secara signifikan lebih sering berbunga dibandingkan bunga betinanya