BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan merupakan

advertisement
21
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hutan
Hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai oleh pohon-pohon
yang menempati suatu tempat dimana terdapat hubungan timbal balik antara
tumbuhan tersebut dengan lingkungannya. Pepohonan yang tinggi sebagai
komponen dasar dari hutan memegang peranan penting dalam menjaga kesuburan
tanah dengan menghasilkan serasah sebagai sumber hara penting bagi vegetasi
hutan (Ewusie, 1990).
Pohon-pohon di hutan membentuk susunan secara vertikal yang dikenal
dengan istilah stratifikasi atau pelapisan tajuk. Stratifikasi yang paling dikenal
adalah pada ekosistem hutan hujan tropis. Menurut Ewusie (1990), ada 5 stratum
yang terdapat pada hutan hujan tropis, yaitu :
1. Stratum A, yaitu lapisan tajuk (kanopi) hutan paling atas yang dibentuk oleh
pepohonan yang tingginya lebih dari 30 m. Umumnya tajuk pohon pada
stratum ini lebar, tidak bersentuhan ke arah horizontal dengan tajuk pohon
lainnya dalam stratum yang sama, sehingga stratum tajuk itu berbentuk lapisan
diskontinu dan dapat digunakan untuk identifikasi spesies pohon dalam suatu
daerah.
2. Stratum B, yaitu lapisan tajuk kedua dari atas yang dibentuk oleh pepohonan
yang tingginya 20-30 m. Bentuk tajuk pohon pada stratum B membulat atau
memanjang dan tidak melebar seperti pada tajuk pohon di stratum A dan
cenderung membentuk lapisan yang kontinu.
3. Stratum C, yaitu lapisan tajuk ketiga dari atas yang dibentuk oleh pepohonan
yang tingginya 4-20 m. Pepohonan pada stratum ini mempunyai bentuk tajuk
yang berubah-ubah tetapi membentuk suatu lapisan tajuk yang tebal. Selain itu,
pada stratum C, pepohonan juga berasosiasi dengan berbagai populasi epifit,
tumbuhan pemanjat dan parasit (Vickery, 1984 dalam Indriyanto, 2006).
22
4. Stratum D, yaitu lapisan tajuk keempat dari atas yang dibentuk oleh spesies
tumbuhan semak dan perdu yang tingginya 1-4 m. Stratum ini ditandai oleh
spesies pohon yang masih muda atau dalam fase anakan (seedling), terdapat
palma-palma kecil, herba besar, dan paku-pakuan besar.
5. Stratum E, yaitu tajuk paling bawah yang dibentuk oleh spesies-spesies
tumbuhan penutup tanah (ground cover)
yang tingginya 0 - 1 m.
Keanekaragaman spesies disini lebih sedikit dibandingkan dengan stratum
lainnya. Kelompok tumbuhan yang ditemukan disini terdiri atas beberapa
famili antara lain : Commelinaceae, Zingiberaceae, Acanthaceae, Araceae, dan
Maranthaceae.
Arief (1994) menambahkan tegakan hutan hujan tropis didominasi oleh
pepohonan yang selalu hijau. Tajuk pohon hutan tropis sangat rapat, ditambah lagi
adanya tumbuh-tumbuhan yang memanjat, menggantung, dan menempel pada
dahan-dahan pohon, misalnya rotan, anggrek, dan paku-pakuan. Hal ini
menyebabkan sinar matahari tidak dapat menembus tajuk hutan hingga ke lantai
hutan, sehingga tidak memungkinkan bagi semak untuk berkembang di bawah
naungan tajuk pohon kecuali spesies tumbuhan di bawah naungan.
Ekosistem hutan hujan tropis juga memiliki kecepatan daur ulang yang
sangat tinggi, sehingga semua komponen vegetasi hutan tidak mungkin
kekurangan unsur hara. Jadi faktor pembatas di hutan tropis adalah cahaya, dan
itu pun hanya berlaku bagi bagi tetumbuhan yang terletak di lapisan bawah.
Tumbuhan herba dan semak yang ada dalam hutan adalah spesies-spesies yang
telah
beradaptasi
secara
baik
untuk
tumbuh di
bawah naungan pohon
(Vickery, 1984 dalam Indriyanto, 2006).
2.2 Keanekaragaman vegetasi
Vegetasi yaitu kumpulan dari beberapa jenis tumbuhan yang tumbuh bersamasama pada suatu tempat dimana antara individu-individu penyusunnya terdapat
interaksi yang erat, baik diantara tumbuh-tumbuhan, maupun hewan-hewan yang
hidup dalam vegetasi lingkungan tersebut. Vegetasi tidak hanya kumpulan dari
individu-individu tumbuhan melainkan membentuk suatu kesatuan dimana
23
individu-individunya saling tergantung satu sama lain, yang disebut sebagai suatu
komunitas tumbuh-tumbuhan (Soerianegara dan Indrawan 1978).
Menurut
Arief (1994),
hutan hujan bawah Sumatera dan Kalimantan,
banyak dijumpai spesies pohon anggota dari famili Dipterocarpaceae terutama
anggota genus Shorea, Dipterocarpus, Hopea, Vatica, Dryobalanops, dan
Cotylelobium, sehingga hutan hujan bawah disebut juga hutan Dipterocarps.
Selain famili Dipterocarpaceae, terdapat juga beberapa famili lain diantaranya
Lauraceae, Myrtaceae, Myristiceae, dan Ebenaceae, serta pohon-pohon anggota
genus Agathi, Kompasia, dan Dyera. Ekosistem hutan hujan bawah di Jawa dan
Nusa Tenggara terdapat spesies anggota genus Altingea, Bischofia, Castanopsis,
Ficus, dan Gassampinus, serta spesies-spesies pohon dari famili Leguminosae.
Vegetasi campuran seperti spesies pohon Palagium spp, Pometia pinnata, Intsia
spp, Diospyros spp, Koordersiodendron pinnatum, dan Canarium spp. dominan di
ekosistem hutan hujan bawah daerah Sulawesi, Maluku, dan Irian Jaya.
Tumbuhan merambat yang banyak dijumpai di hutan hujan bawah adalah anggota
famili Apocynaceae, Araceae, dan berbagai spesies rotan (Calamus sp.).
Ekosistem hutan hujan tengah yang terdapat di sebahagian Indonesia Timur,
Aceh dan Sumatera Utara didominasi oleh genus Quercus, Castanopsis,
Nothofagus, dan spesies pohon anggota famili Magnoliaceae. Daerah Aceh dan
Sumatera Utara, ekosistem hutan hujan tengah tipe ekosistemnya agak khas
dimana terdapat spesies pohon Pinus merkusii, dan di Jawa Tengah terdapat
spesies pohon Albizzia montana dan Anaphalis javanica. Sementara di Jawa
Timur terdapat spesies pohon Cassuarina spp. Tumbuhan famili Dipterocarpaceae
hanya terdapat pada daerah dengan ketinggian 1200 mdpl (Soerianegara dan
Indrawan, 1978).
2.3 Analisis Komunitas Tumbuhan
Analisis komunitas tumbuhan merupakan suatu cara mempelajari susunan
atau komposisi jenis dan bentuk atau sruktur vegetasi. Satuan vegetasi dalam
ekologi hutan yang dipelajari berupa komunitas tumbuhan yang merupakan
asosiasi konkret dari semua spesies tumbuhan yang menempati suatu habitat. Oleh
24
karena itu, tujuan yang ingin dicapai dalam analisis komunitas adalah mengetahui
komposisi spesies dan struktur komunitas pada suatu wilayah yang dipelajari
(Indriyanto, 2006).
Struktur komunitas tumbuhan memiliki sifat kualitatif dan kuantitati (Gopal
dan Bhardwaj, 1979 dalam Indriyanto, 2006). Deskripsi struktur komunitas
tumbuhan dapat dilakukan secara kualitatif dengan parameter kualitatif atau
secara kuantitatif dengan parameter kuantitatif. Ada beberapa parameter kualitatif
dalam analisis komunitas tumbuhan yaitu:
1. Fisiognomi, adalah penampakan luar dari suatu komunitas tumbuhan yang
dapat dideskripsikan berdasarkan kepada penampakan spesies tumbuhan
dominan, penampakan tinggi tumbuhan, dan warna tumbuhan yang tampak
oleh mata.
2. Fenologi, adalah perwujudan spesies pada setiap fase dalam siklus hidupnya.
Bentuk dari tumbuhan berubah-ubah sesuai dengan umurnya, sehingga spesies
yang sama dengan tingkat umur yang berbeda akan membentuk struktur
komunitas yang berbeda. Spesies yang berbeda pasti memiliki fenologi yang
berbeda, sehingga perbedaan keanekaragaman spesies dalam komunitas
tumbuhan menimbulkan perbedaan struktur antara komunitas yang satu dengan
yang lainnya.
3. Periodisitas, adalah kejadian musiman dari berbagai proses dalam kehidupan
tumbuhan. Kejadian musiman pada tumbuhan dapat ditunjukkan oleh
perwujudan bentuk daun dan ukurannya, masa pembungaan, masa bertunas,
dan peluruhan buah atau biji.
4. Stratifikasi, merupakan distribusi tumbuhan dalam ruangan secara vertikal.
5. Kelimpahan, adalah parameter kualitatif yang mencerminkan distribusi relatif
spesies organisme dalam komunitas. Kelimpahan pada umumnya berhubungan
dengan densitas berdasarkan penaksiran kualitatif. Menurut penaksiran
kualitatif, kelimpahan dapat dikelompokkan menjadi lima yaitu: sangat jarang,
kadang-kadang atau jarang, sering atau tidak banyak, banyak atau berlimpahlimpah, dan sangat banyak atau sangat berlimpah.
25
6. Penyebaran, adalah parameter kualitataif yang menggambarkan keberadaan
spesies organisme pada ruang secara horizontal. Penyebaran tersebut dapat
dikelompokkan menjadi tiga, antara lain random, seragam, dan berkelompok.
7. Daya hidup atau vitalitas, adalah tingkat keberhasilan tumbuhan untuk hidup
dan tumbuh normal, serta kemampuan untuk bereproduksi. Daya hidup akan
menentukan setiap spesies organisme untuk memelihara kedudukannya dalam
komunitas.
8. Bentuk pertumbuhan, adalah penggolongan tumbuhan menurut bentuk
pertumbuhannya, habitat, atau menurut karakteristik lainnya. Bentuk
pertumbuhan yang umum dan mudah disebut misalnya pohon, semak, perdu,
herba, dan liana.
Parameter kuantitatif dalam analisis komunitas tumbuhan meliputi :
1. Densitas, adalah jumlah individu per unit luas atau per unit volume atau
dengan kata lain, densitas merupakan jumlah individu organisme per satuan
ruang. Kerapatan sering digunakan untuk kepentingan analisis komunitas
tumbuhan yang memiliki makna yang sama dengan densitas.
2. Frekuensi, digunakan untuk menyatakan proporsi antara jumlah sampel yang
berisi suatu spesies tertentu terhadap jumlah total sampel. Frekuensi spesies
tumbuhan adalah jumlah petak contoh tempat ditemukannya suatu spesies dari
sejumlah petak contoh yang dibuat.
3. Luas penutupan (coverage), adalah proporsi antara luas tempat yang ditutupi
oleh spesies tumbuhan dengan luas total habitat. Luas penutupan dapat
dinyatakan dengan menggunakan luas penutupan tajuk ataupun luas bidang
dasar (luas basal area). Beberapa penulis menggunakan istilah dominansi untuk
menyatakan luas penutupan suatu spesies tumbuhan karena parameter tersebut
merupakan bagian dari parameter yang digunakan untuk menunjukkan spesies
tumbuhan yang dominan dalam suatu komunitas.
4. Indeks nilai penting (importance value index), adalah parameter kuantitatif
yang dapat dipakai untuk menyatakan tingkat dominansi (tingkat penguasaan)
spesies-spesies dalam suatu komunitas tumbuhan. Spesies-spesies yang
dominan dalam suatu komunitas tumbuhan akan memiliki indeks nilai penting
26
yang tinggi, sehingga spesies yang paling dominan tentu saja memiliki nilai
indeks nilai penting paling besar (Soegianto, 1994 dalam Indriyanto, 2006).
5. SDR (Summed Dominance Ratio) atau perbandingan nilai penting, adalah
parameter yang identik dengan indeks nilai penting. Oleh karena itu, SDR juga
dipakai untuk menyatakan tingkat dominansi
spesies-spesies dalam suatu
komunitas tumbuhan.
6. Indeks dominansi (index of dominance), adalah parameter yang menyatakan
tingkat terpusatnya dominansi spesies dalam suatu komunitas
7. Indeks keanekaragaman. Keanekaragaman spesies dapat diperkirakan dengan
menggunakan 3 rumus berikut yaitu indeks Shannon, indeks Margalef, dan
indeks Simpson.
8. Indeks kesamaan (index of similarity), kadang-kadang diperlukan untuk
mengetahui tingkat kesamaan antara beberapa tegakan, antara beberapa unit
sampling atau antara beberapa komunitas yang dipelajari dan dibandingkan
komposisi dan struktur komunitasnya.
9. Homogenitas suatu komunitas. Homogen tidaknya suatu komunitas tumbuhan
dapat ditentukan dengan menggunakan “Hukum Frekuensi” (laws of
frequency). Frekuensi dapat menunjukkan homogenitas dan penyebaran dari
individu-individu spesies dalam komunitas. Menurut Raunkiaer (1934) dalam
Indriyanto (2006) untuk mengetahui homogenitas suatu komunitas, nilai
frekuensi tiap spesies dikelompokkan ke dalam lima kelas sebagai berikut :
a.
Kelas A, yaitu spesies-spesies yang mempunyai frekuensi 1-20 %
b.
Kelas B, yaitu spesies-spesies yang mempunyai frekuensi 21-40 %
c.
Kelas C, yaitu spesies-spesies yang mempunyai frekuensi 41-60 %
d.
Kelas D, yaitu spesies-spesies yang mempunyai frekuensi 61-80 %
e.
Kelas E, yaitu spesies-spesies yang mempunyai frekuensi 81-100 %
Berdasarkan hukum frekuensi Raunkiaer tersebut dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut :
a.
Jika A >B >C > = < D < E, maka spesies-spesies yang menyusun
komunitas tumbuhan berdistribusi normal.
27
b.
Jika E > D, sedangkan A, B, dan C rendah, maka kondisi komunitas
tumbuhan homogen.
c.
Jika E < D, sedangkan A, B, dan C rendah, maka kondisi komunitas
tumbuhan terganggu.
d.
Jika B, C, dan D tinggi, maka kondisi komunitas tumbuhan heterogen
(Indriyanto, 2006)
2.4 Produktivitas buah di hutan Tropis
Menurut Wich et al. (2011) pola produktivitas buah pada hakikatnya bervariasi
diantara hutan tropis. Beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan
produktivitas buah diantara benua, tempat dan diantara tipe hutan. Adanya variasi
ini dipengaruhi oleh sejumlah faktor antara lain zat hara, curah hujan, perbedaan
letak berdasarkan posisi garis lintang, ketinggian, dan radiasi matahari. Perbedaan
karakteristik dalam produktivitas buah ini akan mempengaruhi organisme di
dalamnya seperti ekologi dari hewan vertebrata, evolusinya, dan biogeografi.
Penelitian Reynolds-Hogland etal. (2006) dan Greenberg et al. (2007)
menemukan produktivitas buah lebih tinggi pada hutan yang umurnya lebih
muda. Penelitian produktivitas tersebut berdasarkan hasil panen dari beberapa tipe
hutan, termasuk tumbuhan yang terdapat di daerah pegunungan.
Penelitian Greenberg et al. (2012) yang membandingkan produktivitas buah
di lima tipe hutan juga menunjukkan adanya perbedaan diantara kelima tipe hutan
tersebut. Adapun kelima tipe hutan yang dianalisis dalam penelitian ini meliputi
hutan tua yang terdapat di daerah pegunungan, hutan di daerah yang datar, hutan
yang didominasi oleh tumbuhan Pinus taeda, daerah penanaman tumbuhan Pinus
palustris dan daerah penanaman benih pinus. Hasilnya menunjukkan rata-rata
produksi buah pertahun paling tinggi ditemukan di daerah penanaman benih
pinus, diikuti hutan daerah datar, daerah pegunungan, dan sedikit di daerah yang
didominasi oleh tumbuhan Pinus taeda serta daerah penanaman Pinus palustris.
Adanya perbedaan produktivitas buah diantara ke lima tipe hutan di tersebut
menurut Greenberg et al. (2012) disebabkan oleh perbedaan waktu berbuah di
antara jenis-jenis tumbuhan yang terdapat dalam hutan tersebut serta adanya
28
kecenderungan variasi spatial dalam produktivitas buah oleh spesies-spesies
tertentu.
Anwar et al. (1984) menyatakan setiap komunitas pohon menunjukkan pola
produksi yang jelas. Hutan Ulu Gombak di Semenanjung Malaya menghasilkan
daun-daun baru dua kali setahun dengan puncak utama pada bulan Maret sampai
Juni (setelah masa-masa paling kering setiap tahun). Produksi daun yang paling
rendah terjadi pada bulan Oktober sampai bulan Desember yaitu pada saat mulai
masa-masa basah sampai paling basah setiap tahun. Pembungaan paling banyak
terjadi sesudah masa paling kering setiap tahun, yaitu dari bulan Maret sampai
bulan Juli, sehingga tidak mengherankan puncak pembuahan terjadi dari bulan
Agustus sampai September, sebelum musim terbasah setiap tahun. Pembungaan
berbagai pohon-pohon hutan dataran rendah dimulai dengan adanya kekurangan
air. Persentase pohon-pohon yang berbuah lebih tinggi daripada pohon-pohon
yang berbunga disebabkan oleh karena untuk menjadi matang, buah
membutuhkan waktu yang lebih lama daripada waktu yang dibutuhkan bunga
menjadi buah. Pola-pola curah hujan di kebanyakan daerah di Sumatera bagian
utara sangat mirip dengan yang terdapat di Ulu Gombak, sehingga siklus
pembungaan dan pembuahan diduga hampir serupa. Namun di bagian selatan
Sumatera, dimana bulan-bulan paling kering biasanya terjadi pada Juni/Juli siklus
tersebut rupanya akan sesuai dengan keadaan iklim tersebut.
Produktivitas buah yang dihasilkan suatu tumbuhan di daerah tropis sering
tidak teratur. Kebanyakan spesies pola produktivitasnya tidak dapat diprediksikan
(Fenner, 1998). Milton (1991) menemukan keempat jenis Ficus (Ficus insipida,
Ficusyoponensis, Ficus obtusifolia dan Ficus costaricana) menghasilkan buah
sepanjang tahun.
Penelitian Chapman et al. (1999) di dua tempat dari Taman Nasional
Kibale, Uganda (Kanyawara dan Ngogo) mendapatkan pola produktivitas buah
yang
dihasilkan
tipe
berdasarkan
pengelompokan yang dilakukan oleh Newstrom et al. (1994)
antara lain
subannual,
dikelompokkan
annual,
supra-annual,
menjadi
beberapa
irreguler
dan
kontinyu.
Leptoyichiamildbraedii (Famili Malvaceae) termasuk kelompok
Jenis
subannual di
29
daerah
Ngogo, sedangkan di Kanyawara dikelompokkan sebagai tumbuhan
annual. Tanaman Bosqueia phoberos (Moraceae) memiliki frekuensi berbuah
yang tidak teratur sehingga masuk dalam kelompok irreguler baik di Kanyawara
maupun di Ngogo. Adanya perbedaaan pola produktivitas buah di kedua tempat
tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain ketinggian tempat, curah
hujan serta komposisi spesies diantara keduanya (Chapman et al. 1999).
Vegetasi penyusun hutan pegunungan di Borneo (Gunung Kinabalu)
memiliki pola produktivitas buah yang sedikit berbeda dengan
penelitian
Chapman et al. (1999). Berdasarkan frekuensi pembungaan dan durasi berbuah
Kimura (1996) mendapatkan 6 pola produktivitas buah yang dihasilkan di Gunung
Kinabalu meliputi kontinyu, biannual, annual, annual (hanya berbuah), tanpa
reproduksi dan lain-lain (termasuk spesies yang berbunga tapi tidak berbuah).
Hasil penelitian Kimura (1996) selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.1. berikut
ini:
Tabel 2.1. Jumlah buah masak yang dihasilkan di tiga lokasi Gunung Kinabalu
Pola frekuensi berbuah
Lokasi
N
c
a2
a1
a1/fr
nr
0
PAKA
143
10
8
7
2
5
5
PHQ
166
7
9
27
5
10
15
PORING 89
0
5
12
17
8
4
c = kontinyu, a2 = biannual, a1 = annual, a1/fr= annual (hanya berbuah),
nr = tidak bereproduksi,0 = lain – lain (termasuk spesies yang berbunga tanpa
berbuah),N = jumlah individu yang diamati
Berdasarkan Tabel 2.1. terlihat hutan pegunungan di lokasi PAKA ditandai
sedikit periode gagal berbuah, sedangkan
di PHQ (dataran rendah) ditandai
dengan tingginya masa gagal berbuah. Daerah berbukit (PORING) memiliki pola
peralihan diantara PAKA dan PHQ.
2.5 Metode pengukuran produktivitas buah
Berdasarkan penelitian Chapman et al. (1992) ada 3 metode yang digunakan
dalam menentukan kelimpahan buah di hutan tropis yaitu:
1.
Diameter setinggi dada.
30
Diameter pohon setinggi dada (DBH) merupakan indikator ukuran pohon,
yang
diasumsikan
dapat
mencerminkan
kemampuan
pohon
untuk
menghasilkan buah.
2.
Volume tajuk.
Ketinggian tajuk diukur dengan menggunakan klinometer dan bentuk tajuk
ditentukan salah satu dari lima kategori : hemisphere, sphere, elliptical
hemisphere,
elliptical sphere, dan cone (kerucut) . Rumus volumetrik yang
tepat digunakan untuk memperkirakan volume dari masing-masing bentuk
tersebut .
3.
Perhitungan secara Visual .
Umumnya, butuh sekitar lima menit untuk membuat perkiraan secara visual .
Namun, untuk pohon-pohon besar di mana kanopi itu dikaburkan oleh pohon
understory, perkiraan bisa memakan waktu lebih lama .
Penelitian Chapman et al. (1994) berikutnya mengukur hubungan antara
kelimpahan buah dengan luasnya habitat di hutan tropis dengan menggunakan 3
metoda yang berbeda yaitu perangkap buah, jejak buah dan fenologi. Hasilnya
menunjukkan estimasi kelimpahan buah berdasarkan jejak buah tidak berkorelasi
dengan dua metode lainnya. Mereka berkesimpulan metode yang dapat digunakan
untuk menentukan luas habitat dan kelimpahan buah tergantung pada keakuratan
dari metode serta ketersediaan waktu. Keakuratan dari metode akan tampak jika
studi tentang daerah jelajah (home range) dari hewan tertentu diikutkan dalam
peneltian ini.
Berbeda dengan Parado-Roselli (2006) yang mengukur produktivitas buah
dengan menggunakan metode perangkap buah dan metode survei kanopi dalam
bentuk plot. Hasilnya menunjukkan Jumlah spesies berbuah yang berasal dari
survei plot kanopi adalah nyata lebih tinggi daripada yang diperoleh melalui
perangkap buah, sementara 62 spesies buah yang dicatat melalui plot kanopi ,
hanya 28 yang tercatat saat menggunakan
perangkapbuah. Hasil penelitian
Parado-Roselli et al. (2006) secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 2.2 berikut
ini:
31
Tabel 2.2 Jumlah spesies yang berbuah dan massa buah (Kg ha-1) berdasarkan
metode perangkap buah dan survei plot dari Desember 1999 – Juni 2000
Survei
Semua tahap
pertumbuhan
Metode
plot
pohon
sampling
kanopi
Tumbuhan
pemanjat
& epifit
Perangkap
Semua tahap
pertumbuhan
buah
pohon
Total
yang
tidak
berbuah
62
43
19
28
26∗
Tumbuhan
pemanjat
& epifit
2
Spesies
yang
tidak
berbuah
46
(74,2%)
29
(46,8%)
17
(27,4%)
12∗
(42,9%)
12∗
(42,9%)
0
(0%)
Total
massa
berbuah
(kg ha-
463,1
(100%)
444,6
(96,0%)
18,5
(4,0%)
228,5
(100%)
220,6
(96,5%)
7,9
(3,5%)
1)
∗ = termasuk 8 morpho-spesies yang tidak ditentukan
Mereka berpendapat data yang diperoleh berdasarkan metode perangkap
buah kurang akurat dibandingkan dengan metode plot kanopi dalam menentukan
pola pembuahan. Hal ini disebabkan metode perangkap buah tidak dapat
mendeteksi kebanyakan epifit dan liana yang menjadi makanan bagi hewan
terutama saat proses belajar mencari makan (Morellato dan Leitao-filho, 1996).
Metoda perangkap buah dapat digunakan untuk bagian tertentu dari penelitian
seperti ketersediaan buah bagi hewan frugivor darat, dan jarak penyebaran biji.
2.6 Fenologi
Fenologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang tahap-tahap yang dialami
organisme secara berkala dalam siklus hidupnya. Umumnya fenologi berkaitan
dengan fase vegetatif dan generatif suatu organisme seperti pembungaan dan
pembuahan pada suatu spesies tumbuhan. Fenologi tumbuhan melibatkan waktu,
durasi dan kelimpahan dari kejadian yang berulang dari fenomena biologi,
termasuk di dalamnya seperti peristiwa pembungaan, pembuahan, penyebaran
biji, dan perkecambahan (Bustamante dan Burquez, 2008).
32
Menurut Zhao et al. (2013) fenologi tumbuhan diatur oleh 2 faktor yaitu :
1.
Faktor intrinsik dari tumbuhan tersebut seperti genom, usia, dan evolusi
dalam suatu komunitas tumbuhan yang berasosiasi dengan faktor biotik
diantaranya aktivitas fotosintesis, penyerapan nutrien, dan mekanisme
metabolisme.
2.
Faktor lingkungan antara lain kompetisi, sumber makanan yang terbatas,
stres, respirasi, dan faktor usia.
Secara umum, sebagian variasi dalam fenologi tumbuhan terutama spesies
pohon dibatasi oleh suhu rendah pada garis lintang yang tinggi dan defisit air yang
menjadi ciri khas dari daerah gurun (Beaubien dan freeland, 2000; Moser et al.
2010; Visser et al. 2010; Wilczek et al. 2010).
Namun demikian peranan
fotoperiodisme juga sangat besar bagi spesies pohon-pohon tertentu yang terletak
pada garis lintang sedang dan tinggi (Borchert dan Rivera, 2001). Sebagian para
ahli juga berpendapat bahwa selain temperatur dan fotoperiodisme, hujan,
penyinaran, konsentrasi nutrien tanah dapat mempengaruhi pembungaan. Variasi
curah hujan dan ketersediaan air tanah pada hutan tropis dan gurun juga telah
dianggap sebagai faktor abiotik utama yang mempengaruhi pola fenologi pada
tumbuhan (Bustamante dan Burquez, 2008).
Berdasarkan hasil percobaan yang dilakukan oleh Sherry et al.
(2007)menemukan bahwa suhu mengubah dari fase reproduksi tunas, berbunga,
dan berbuah di musim dingin pada tanaman annual dan perenial. Hal ini terlihat
dari lima tumbuhan annual dalam penelitian ini, tiga menunjukkan siklus hidup
lebih pendek dan dua tidak berubah. Sedangkan untuk tanaman perenial enam
tanaman di bawah kondisi yang sama, tiga siklus hidup yang lebih panjang, satu
lebih pendek, dan dua tidak berubah. Meskipun dalam beberapa kasus, fenologi
penampilan tunas tidak berubah, tetapi tahap tunas itu berkepanjangan, menunda
berbuah dan berbunga.
Fitter dan Fitter (2002) melaporkan bahwa suhu di bulan sebelum berbunga
berkorelasi dengan waktu berbunga. Merekamenemukan bahwa hampir
60%spesies dalam studi mereka yang berbunga pada Januari-April dipengaruhi
33
oleh suhu dua bulan sebelum berbunga dan spesies yang berbunga di musim
panas, suhu 4 bulan sebelumnya adalah penting.
Fenologi pembungaan adalah sifat kritis reproduksi tanaman karena
menentukan jumlah calon pasangan dan dapat menyediakan mekanisme untuk
isolasi reproduksi atau spesiasi dari waktu ke waktu. Bunga juga menyediakan
sumber makanan penting bagi penyerbuk dan pengunjung lainnya, menyebabkan
studi fenologi pembungaan dapat dikaji dari segi ekologi dan evolusi secara
signifikan. Secara perspektif ekologi, termasuk di dalamnya (a) kompetisi
potensial untuk penyerbuk jika salah satu spesies tumpang tindih dalam waktu
berbunga dengan yang lain,
(b) konsekuensi
berbunga individu pada awal,
pertengahan, atau akhir periode pembungaan suatu populasi, dan (c) konsekuensi
dari perbedaan fenologi untuk produksi benih. Berdasarkan perspektif evolusi,
fenologi terkait dengan urutan berbunga dalam komunitas dan isolasi reproduksi
spesies berpotensi interfertile (Inouye et al. 2003).
Menurut Tooke dan Battey (2010)pada tumbuhan, waktu berbunga diatur
oleh suatu mekanisme yang bertindak untuk memastikan bahwa munculnya bunga
terjadi pada kondisi yang cocok. Proses pembungaan di daerah beriklim sedang
selaras dengan musim melalui faktor lingkungan, terutama fotoperiodisme dan
suhu. Faktor ini juga berlaku untuk induksi bunga dan juga signal terhadap
dormansi.
Adanya
pembungaan
dari
tumbuhan
pada
musim
yang
berbeda
menunjukkan jangka waktu yang berbeda selama berbuah. Pembentukan buah
terus berlanjut sampai 2-3 bulan setelah puncak waktu berbunga pada spesies
yang berbeda. Namun waktu yang dibutuhkan untuk pematangan buah juga
bervariasi pada tiap spesies. Tanaman Shorea yang berbunga pada musim dingin
memiliki masa phenophase berbuah selama 3-4 bulan. Sementara pada tanaman
Dyospyros yang berbunga di musim panas sebelum datangnya hujan
menunjukkan masa phenophase berbuah paling lama yaitu sekitar 11 bulan.
Umumnya sebagian besar tumbuhan, buah jatuh selama 2-3 bulan terakhir dari
masa phenophase berbuah, kecuali Bungur 6 bulan. Buah biasanya jatuh semua
34
pada bulan April-juni, dua bulan sebelum hujan dimulai lagi (Singh dan
Kushwaha, 2006).
Tumbuhan tropika yang mengalami kekerapan berbunga 2 kali dalam
setahun, masa pembungaan yang pertama lebih lama dibandingkan yang kedua.
Masa berbunga yang lebih lama itu dari segi fisiologi dianggap sebagai
pembungaan pertama spesies itu dalam setahun. Keadaan ini disebabkan karena
masa berbunga yang lebih lama itu harus disertai adanya persediaan energi yang
lebih besar, yang mungkin terjadi selama musim hujan. Hal inilah yang
menyebabkan mengapa pembungaan seperti itu berlangsung pada awal musim
kering (Ewusie, 1990).
Hasil penelitian Bawa et al. (2003) di La Selva Costa Rica menunjukkan,
banyak spesies tumbuhan yang berbunga selama beberapa waktu dalam setahun
dan adanya waktu pembungaan yang bervariasi dari tahun ke tahun. Frekuensi
pembungaan di La Selva, secara annual dan episodik lebih melimpah
dibandingkan secara supra annual dan kontinyu dengan tingkat persentase secara
berturut – turut 42,3 %, 37, 3 %, 14,1 % dan 6,2 %. Frekuensi pembungaan
menurut mereka berkaitan erat dengan phylogeni. Hal ini terlihat dari penelitian
mereka kebanyakan spesies dari famili Moraceae berbunga secara episodik
(76,9 %), Lauraceae secara annual (75 %) dan Rubiaceae secara kontinyu (4 %).
Thomas dan Lafrankie (1993) mengemukakan pendapat yang berbeda.
Penelitian mereka terhadap tumbuhan dioecious dari famili Euphorbiaceae di
hutan hujan tropis Malaysia menemukan adanya korelasi antara frekuensi
pembungaan dengan diameter batang serta jenis kelamin bunga tersebut. Selama 2
tahun penelitian, mereka mendapatkan genus Aporusa berbunga 2 kali terutama
individu
–
individu
yang
berukuran
lebih
besar.
Berbeda
dengan
Baccaureaparviflora yang memiliki frekuensi berbunga yang sama walaupun
diameter batang berbeda. Bunga jantan jenis Baccaurea parviflora dan
Aporusamicrostachya secara signifikan lebih sering berbunga dibandingkan
bunga betinanya
Download