7 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Ekstremitas Bawah Anatomi

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Ekstremitas Bawah
Anatomi ekstremitas bawah terdiri atas tulang pelvis, femur, tibia, fibula,
tarsal, metatarsal, dan tulang-tulang phalangs.
2.1.1 Pelvis
Pelvis terdiri dari sepasang tulang panggul (hip bone) yang merupakan tulang
pipih. Tulang pinggul terdiri atas 3 bagian utama yaitu ilium, pubis dan ischium.
Ilium terletak di bagian superior dan membentuk artikulasi dengan vertebra
sakrum, ischium terletak di bagian inferior-posterior, dan pubis terletak di bagian
inferior-anterior-medial. Bagian ujung ilium disebut sebagai puncak iliac (iliac
crest). Pertemuan antara pubis dari pinggul kiri dan pinggul kanan disebut simfisis
pubis. Terdapat suatu cekungan di bagian pertemuan ilium-ischium-pubis disebut
acetabulum, fungsinya adalah untuk artikulasi dengan tulang femur.
2.1.2 Femur
Pada bagian proksimal berartikulasi dengan pelvis dan dibagian distal
berartikulasi dengan tibia melalui condyles. Di daerah proksimal terdapat prosesus
yang disebut trochanter mayor dan trochanter minor, yang dihubungkan oleh garis
intertrochanteric. Di bagian distal anterior terdapat condyle lateral dan condyle
medial untuk artikulasi dengan tibia, serta permukaan untuk tulang patella. Di
bagian distal posterior terdapat fossa intercondylar.
7
8
2.1.3 Tibia
Tibia merupakan tulang tungkai bawah yang letaknya lebih medial dibanding
dengan fibula. Di bagian proksimal, tibia memiliki condyle medial dan lateral di
mana keduanya merupakan facies untuk artikulasi dengan condyle femur.
Terdapat juga facies untuk berartikulasi dengan kepala fibula di sisi lateral. Selain
itu, tibia memiliki tuberositas untuk perlekatan ligamen. Di daerah distal tibia
membentuk artikulasi dengan tulang-tulang tarsal dan malleolus medial.
2.1.4 Fibula
Fibula merupakan tulang tungkai bawah yang letaknya lebih lateral dibanding
dengan tibia. Di bagian proksimal, fibula berartikulasi dengan tibia. Sedangkan di
bagian distal, fibula membentuk malleolus lateral dan facies untuk artikulasi
dengan tulang-tulang tarsal.
2.1.5 Tarsal
Tarsal merupakan 7 tulang yang membentuk artikulasi dengan fibula dan di
proksimal dan dengan metatarsal di distal.Terdapat 7 tulang tarsal, yaitu calcaneus
(berperan sebagai tulang penyanggah berdiri), talus, cuboid, navicular, dan
cuneiform (1, 2, 3).
2.1.6 Metatarsal
Metatarsal merupakan 5 tulang yang berartikulasi dengan tarsal di proksimal
dan dengan tulang phalangs di distal. Khusus di tulang metatarsal 1 (ibu jari)
terdapat 2 tulang sesamoid.
9
2.1.7 Phalangs
Phalangs merupakan tulang jari-jari kaki.Terdapat 2 tulang phalangs di ibu
jari dan 3 phalangs di masing-masing jari sisanya. Karena tidak ada sendi pelana
di ibu jari kaki, menyebabkan jari tersebut tidak sefleksibel ibu jari tangan.
Gambar 2.1 Anatomi ekxtermitas bawah
2.2 Analgesia Preventif
Seiring dengan dipahaminya bahwa sensitisasi sentral tidak hanya
berkaitan dengan nyeri saat dilakukan insisi, melainkan juga berkaitan dengan
luka selama operasi dan inflamasi pascabedah. Fokus perhatian dialihkan dari
masalah waktu pemberian analgesia ke konsep pencegahan (analgesia preventif).
Istilah analgesia preventif menegaskan fakta bahwa neuroplastisitas sentral terjadi
10
oleh input nosisepsi sebelum, selama dan setelah pembedahan sehingga
pendekatan preventif bertujuan meminimalkan sensitisasi yang diinduksi oleh
rangsangan perioperatif yang timbul sebelum, operasi, intraoperatif dan pasca
operatif (katz dkk. 2011).
Katz (2008), baru-baru ini membandingkan outcome dari penelitian dengan
pendekatan yang dirancang untuk membuktikan pencegahan hipersensitif dari
nyeri. Dia melaporkan bahwa cara preventif analgesia menghasilkan efek yang
positif lebih sering dibandingkan preemtif. Hal ini menggambarkan bahwa
pencegahan yang menyeluruh terhadap sensitisasi (tidak disebabkan oleh luka
sayatan tetapi juga karena trauma inflamasi) memiliki klinis yang lebih baik.
Gambar 2.2 Perbandingan cara pemberian analgesia dengan penekanan pada
pencegahan sensitisasi saraf selama perioperatif. Tipe nyeri tanpa intervensi
ditujukan pada gambar A, dimana tergambar nyeri saat awal pembedahan dan
selanjutnya berkembang menjadi hipersentifiti. Gambar B, analgesia diberikan
setelah sensitisasi dapat menurunkan nyeri sedikit tetapi tidak memiliki
keuntungan jangka panjang. Pada gambar C, analgesia diberikan sebelum
pembedahan membatasi nyeri dari mulai rangsangan dan menurunkan
hipersensitifit selanjutnya. Yang paling efektif adalah pada gambar D dimana
analgesia diberikan sebelum pembedahan dan dilanjutkan selama masa
perioperatif.
11
2.3 C-Reactive Protein
C-reactive protein (CRP) merupakan anggota dari protein pentraxin. Istilah
CRP dikenalkan oleh Tillet dan Francis pada tahun 1930, disebabkan senyawa ini
dapat bereaksi dengan polisakarida C somatik dari streptococus pneumonia.
Kadarnya akan meningkat 100x dalam 24-48 jam setelah terjadi luka jaringan.
Sebelas tahun kemudian, Mac Leod dan Avery mengenalkan istilah “fase akut”
pada serum penderita infeksi akut, untuk menunjukkan sifat CRP (Whicher J.
1999). CRP disintesa di dalam hati. Peningkatan sintesa CRP dalam sel-sel
parenkim hati oleh IL-1 karena rangsangan makrofag. CRP dapat meningkat
seratus kali atau lebih dan berperan dalam imunitas non-spesifik yang dengan
bantuan ion kalsium dapat mengikat berbagai molekul antara lain fosforilkolin
yang ditemukan pada permukaan bakteri dan jamur, kemudian menggerakkan
sistem komplemen dan membantu merusak mikroorganisme patogen dengan cara
opsonisasi dan dengan meningkatkan fagositosis. Selain itu CRP menimbulkan
reaksi terhadap platelet serta membantu proses pelepasan lemak dalam proses
jaringan mati. CRP menjadi aktif sebelum perubahan spesifik terjadi dalam proses
yang patologis. Batas CRP dalam serum meningkat dalam enam sampai sembilan
jam pascainfeksi atau kerusakan jaringan dan tetap meningkat setelah satu sampai
tiga hari. Perluasan dan lamanya CRP meningkat berkembang sesuai beratnya
reaksi peradangan akut. Peningkatan CRP hingga beberapa ratus mg/L merupakan
penanda infeksi berat seperti meningitis, sepsis atau pyelonephritis (Whicher J.
1999).
12
Sekresi meningkat kuantitasnya dalam 6 jam pada stimulus akut inflamasi.
Konsentrasi plasma dapat meningkat paling sedikit 2 kali lipat tiap 8 jam dan
mencapai puncak setelah 50 jam. Pada orang sehat, CRP terdapat dalam plasma
dalam jumlah yang sangat kecil (±0,8 mg/L) tetapi kadarnya dapat meningkat
cepat hingga 300-500 mg/L dalam waktu 48 jam saat terjadi infeksi dan inflamasi.
Waktu paruh biologi CRP adalah 19 jam, yang akan berkurang hingga 50% per
hari setelah stimulus fase akut dihilangkan. Konsentrasi CRP dapat kembali
normal pada penyakit-penyakit inflamasi kronis seperti
sistemic lupus
eritematousus (SLE), dermatomiosistis, kolitis ulseratif dan leukemia.
Perbaikan reaksi inflamasi umum memerlukan waktu sekitar 1-2 minggu
dimana kadar CRP kembali normal. Salah satu keuntungan CRP adalah
merupakan petanda reaksi inflamasi yang lebih cepat daripada Erythrocyte
Sedimentation Rate (ESR) dan leukositosis. Akan tetapi peningkatan ESR dan
jumlah hitung leukosit juga dapat ditemukan pada keadaan lain yang tidak
berhubungan dengan inflamasi. Sehingga CRP merupakan penanda inflamasi
yang lebih cepat dapat digunakan dan lebih sensitif (Lorentz, 1990).
13
Gambar 2.3 C-Reactive Protein sebagai penanda reaksi inflamasi (Rhodes, 2011)
2.4 Leukosit
Leukosit adalah sel darah yang mengandung inti, disebut juga sel darah putih.
Rata-rata jumlah leukosit dalam darah manusia normal adalah 5000-9000/mm3
(Effendi Z, 2003). Terdapat dua jenis leukosit, yaitu:
1.
2.
Agranuler:
-
Limfosit: sel kecil, sitoplasma sedikit.
-
Monosit: sel agak besar, mengandung sitoplasma lebih banyak.
Granuler: Neutrofil, Basofil, dan Asidofil (atau eosinofil) yang dapat
dibedakan dengan afinitas granula terhadap zat warna netral, basa dan
asam. Granula dianggap spesifik bila ia secara tetap terdapat dalam
jenis leukosit tertentu dan pada sebagian besar precursor (pra zatnya).
Leukosit mempunyai peranan dalam mempertahankan seluler dan humoral
organsme terhadap zat-zat asing. Leukosit dapat melakukan gerakan amuboid dan
14
melalui mekanisme diapedesis leukosit dapat meninggalkan kepiler dengan
menerobos antara sl-sel endotel dan menembus ke dalam jaringan penyambung
(Effendi Z., 2003).
Hidup sel leukosit tidak lama dan jumlahnya yang diperlukan ditempat
inflamasi dipertahankan oleh infulk sel-sel baru dari persediaan di sumsum tulang.
Pada infeksi akut neutrofil dalam sirkulasi dapat meningkat dengan segera,
peningkatan tersebut disebabkan oleh migrasi netrofil ke sirkulasi dari sumsum
tulang dan persediaan marginal intravasuler. Persediaan marginal ini merupakan
sel-sel yang untuk sementara menempel pada dinding vaskuler. Komposisi
leukosit adalah 45% dalam sirkulasi dan 55% marginal, atas pengaruh IL-1. TNFα dan endotoksin leukosit dari sumsum tulang dikerahkan ke sirkulasi. Monosit
hanya memiliki persediaan sedikit dalam sumsum tulang, mobilisasi monosit ke
sirkulasi memerlukan waktu yang lebih lama untuk membagi diri dari sel asalnya.
Monosit pada keadaan normal mempunyai tempat pemanen di dalam jaringan
berupa makrofag. Eosinofil juga disimpan sebagai persediaan dalam sumsum
tulang
dan marginal dalam vaskuler. Eosinofil mempunyai komponen yang
prominen, terutamaa pada jaringan ikat dibawah epitel seperti saluran nafas.
Sel-sel sistem imun non spesifik seperti sel mast, basophil, limfosit,
eosinophil dan makrofag jaringan berperan dalam inflamasi, beberapa diantaranya
menimbulkan vasodilatasi dan edema serta meningkatkan adhesi neutrophil dan
monosit ke endotel. Vasodilatasi meningkatkan persediaan darah untuk
memberikan lebih banyak molekul dan sel yang diperlukan untuk memerangi anti
gen yang mencetuskan inflamasi. Kerusakan jaringan langsung disebabkan oleh
15
cedera atau endotoksin yang dilepaskan mikroba menimbulkan pelepasan
mediator seperti prostaglandin dan leukotrien yang meningkatkan permeabilitas
vaskuler. Sel mast dapat diaktifkan oleh kerusakan jaringan dan mikroba melalui
komplemen (jalur alternatif atau klasik) dan komplek IgE allergen atau
neuropeptida, mediator inflamasi yang dilepas menimbulkan vasodilatasi.
Endotoksin mikroba mengaktifkan makrofag untuk melepas TNF-α dan IL-1
dengan sifat vasodilatasi. Hasil pelepasan berbagai mediator tersebut adalah
mengendurkan sel-sel endotel, peningkatan adhesi monosit dan keluarnya sel-sel
jaringan sekitar untuk memakan mikroba, Sel endotel mengkerut bila terjadi
inflamasi, sehingga molekul besar dapat melewati dinding vaskuler.
Penyebab peningkatan jumlah leukosit didasari dua penyebab dasar yaitu.
pertama merupakan reaksi yang tepat dari sumsum tulang normal terhadap
stimulasi eksternal yaitu infeksi, inflamasi (nekrosis jaringan, infark, luka bakar,
arthritis), stres (over exercise, kejang, kecemasan, anestesi, obat (kortikosteroid),
trauma (splenektomi), anemia hemolitik. Kedua adalah efek dari kelainan sumsum
tulang primer, leukemia akut, leukemia kronis, kelainan mieloproliperatif.
2.5 Anestesi Epidural
Anestesi epidural merupakan suatu teknik blok neuroaksial sentral. Ruang
epidural pertama kali digambarkan oleh Corning pada tahun 1901 dan anestesi
epidural telah digunakan pada manusia pada tahun 1921 oleh Fidel Pages. Pada
tahun 1945, Tuohy memperkenalkan jarum yang paling umum digunakan untuk
anestesi epidural. Anestesi epidural dapat digunakan sebagai suatu anestesi,
16
sebagai suatu adjuvant analgetik pada anestesi umum dan untuk analgesia
pascabedah pada prosedur-prosedur operasi ekstremitas bawah, pelvis, perineum,
abdomen bawah, dan mungkin saja dapat dikerjakan pada prosedur-prosedur
pembedahan thorak dan abdomen atas. Kelebihan anestesi epidural adalah
kemampuan untuk memelihara anestesi kontinu setelah penempatan kateter
epidural, jadi membuatnya pantas untuk digunakan dalam prosedur-prosedur
pembenahan yang berdurasi panjang. Anestesia epidural dihasilkan dengan
menyuntikkan obat anestesi lokal kedalam ruang epidural di daerah lumbal atau
thorakal.
Blokade epidural menghasilkan blokade sistim saraf simpatis, analgesia atau
anestesia sensorik dan blokade motorik yang tergantung pada dosis, kosentrasi
atau volume anestesi lokal setelah pemberian melalui jarum atau kateter ke plana
neuroaksila.
2.5.1 Anatomi ruang epidural
Ruang epidural diameternya kurang lebih 0,5 cm dan paling lebar didaerah
L2. Dibatasi oleh duramater disebelah dalam, dimana kantong duramater berakhir
di S2 kira-kira 1 cm dibawah dan medial dari level spina iliaka posterior superior
(SIPS), bagian posterior dibatasi oleh ligamentum flavum. Permukaan anterior
lamina dan processus artikularis. Bagian anterior dibatasi oleh ligamentum
longitudinal
posterior
yang
membungkus
tulang
vertebra
dan
discus
intervertebralis. Bagian lateral dibatasi oleh foramen intervertebralis terdiri dari
lemak dan jaringan limfe maupun pembuluh vena epidural, yang paling banyak
dalam bagian lateral ruang tersebut. Vena tidak mempunyai katup dan
17
berhubungan dengan pembuluh vena intracranial, karena itu obat anestesi lokal
atau udara dapat langsung naik ke otak. Vena menjadi distensi pada keadaan
batuk, mengedan atau gravida aterm, sehingga ruangan ini mengecil pada keadaan
tersebut.
Gambar 2.4 Anatomi ruang epidural
2.5.2 Kontraindikasi teknik epidural
Kontraindikasi Absolut
-
Pasien menolak
-
Koagulopathy
-
Infeksi/peradangan di derah suntikan
-
Peningkatan tekanan intrakranial
-
Syok hipovolemia berat
-
Stenosis aorta berat
18
-
Stenosis mitral berat
Kontraindikasi relatif
-
Pasien tidak kooperatif
-
Sepsis
-
Gangguan neurologis
-
Kelainan anatomi tulang belakang
2.5.3 Tehnik pemasangan epidural
1.
Posisi pasien posisi duduk atau lateral dekubitus.
2.
Tusukan jarum epidural biasanya dikerjakan pada ketinggian L3-L4, karena
jarak antara ligamentum flavum dan duramater pada ketinggian ini adalah
yang terlebar. analgesia epidural thoracalis dapat dilakukan pada abdomen
bagian atas dengan dosis analgesia lokal yang lebih kecil.
3.
Jarum epidural yang digunakan ada dua macam
a.
Jarum ujung tajam (Crawford). Untuk dosis tunggal.
b.
Jarum ujung khusus (Tuohy). Untuk pemandu memasukkan kateter
keruang epidural. Jarum ini biasanya ditandai setiap cm.
4.
Metode: Baik metode dari midline maupun paramedian, jarum sebaiknya
masuk keruang epidural pada midline, sebagai ruang yang paling luas dan
mengurangi resiko pada penusukan vena epidural, arteri spinalis, atau akar
saraf spinalis semuanya melewati bagian lateral ruang epidural.
5.
Ruang epidural dimasuki setelah ujung jarum melewati ligamentum flavum
dan menimbulkan tekanan negatif pada ruang epidural. Metode untuk
identifikasi ini dibagi dalam dua kategori :
19
a.
Tehnik loss of resistance.
Tehnik ini menggunakan semprit kaca atau plastik rendah resistensi yang
diisi oleh udara atau NaCl sebanyak ± 3 ml. Setelah diberikan anestetik
lokal pada tempat suntikan, jarum epidural ditusukkan sedalam 1-2 cm .
Kemudian udara atau NaCl disuntikkan perlahan-lahan secara terputusputus (intermiten) sambil mendorong jarum epidural sampai terasa
menembus jaringan keras (ligamentum flavum) yang disusul hilangnya
resistensi. Setelah yakin ujung jarum berada dalam ruang epidural,
dilakukan uji dosis (test dose).
Gambar 2.5Teknik loss of resistance
b.
Tehnik hanging drop.
Persiapan sama seperti tehnik hilangnya resistensi, tetapi pada tehnik ini
hanya menggunakan jarum epidural yang diisi NaCl sampai terlihat ada
tetes NaCl yang menggantung. Dengan mendorong jarum epidural
perlahan-lahan secara lembut sampai terasa menembus jaringan keras
yang kemudian disusul oleh terdorongnya tetes NaCl keruang epidural.
20
Setelah yakin ujung jarum berada dalam ruang epidural dilakukan uji
dosis (test dose).
Gambar 2.6 Tehnik hanging drop
6.
Pemasangan kateter :
Kateter dimasukkan sepanjang 2-5 cm kedalam ruang epidural. Pasien dapat
mengalami parastesia secara tiba-tiba yang bersifat sementara, bila keadaan
ini menetap maka kateter seharusnya dicabut dari jarum. Jika kateter harus
dicabut, kateter dan jarum harus dibuka bersama-sama. Jika kateter telah
dimasukkan,jarum dicabut perlahan-lahan, kateter ini ditarik sampai sekitar 25 cm didalam ruang epidural.
7
Tes Dosis
Karena analgesia epidural termasuk menginjeksikan sejumlah besar obat
anestesik lokal, pemasangan kateter mesti berada pada tempat yang benar.
Aspirasi dari spuit, jika ada darah atau CSS, kateter epidural ditarik kembali
dan ditempatkan ditempat yang lain. Walaupun tidak ada darah atau CSS
dalam kateter, pemberian obat intravaskuler dan intratekal tidak bisa diterima,
jadi tes dosis selalu diperlukan. Uji anestetik lokal untuk epidural dosis
tunggal dilakukan setelah ujung jarum diyakini berada dalam ruang epidural
21
dan untuk dosis berulang (kontinyu) melalui kateter. Hal ini terdiri dari 3
mlanestetik lokal dari konsentrasi yang sama untuk anestesi spinal dan
mengandung 15 µg epinefrin (lidokain 1,5 % dan epinefrin 1 : 200.000 yang
sering digunakan). Tak ada efek setelah beberapa menit, kemungkinan besar
letak jarum atau kateter benar.
-
Jika terjadi blokade spinal, menunjukkan obat masuk keruang
subarachnoid karena terlalu dalam.
-
Jika terjadi peningkatan laju nadi sampai 20-30 %, kemungkinan obat
masuk vena epidural.
8.
Cara penyuntikan :
Setelah diyakini posisi jarum atau kateter benar, suntikkan anestetik lokal
secara bertahap setiap 3-5 menit sebanyak 3-5 ml sampai tercapai dosis total.
Suntikan terlalu cepat menyebabkan tekanan dalam ruang epidural mendadak
tinggi, sehingga menimbulkan peninggian tekanan intrakranial, nyeri kepala
dan gangguan sirkulasi pembuluh darah epidural.
9. Dosis maksimal dewasa muda sehat 1,6ml/segmen yang tentunya bergantung
pada konsentrasi obat. Pada manula dan neonatus dosis dikurangi sampai 50
% dan pada wanita hamil dikurangi sampai 30 % akibat pengaruh hormon
dan mengecilnya ruang epidural akibat banyaknya vaskularisasi darah dalam
ruang epidural.
10. Uji keberhasilan epidural.
Keberhasilan analgesia epidural :
a.
Tentang blok simpatis diketahui dari perubahan suhu.
22
b.
Tentang blok sensorik dari uji tusuk jarum.
c.
Tentang blokade motorik dari skala bromage.
2.5.4 Komplikasi
Komplikasi analgesia epidural hampir sama dengan analgesia spinal. Ada
beberapa resiko tambahan, yaitu :
1. Toksisitas anestetik lokal.
Dosis anestetik besar yang digunakan pada anestesi epidural menentukan
resiko terhadap cepat dan lambatnya toksisitas. Reaksi toksisitas segera
diakibatkan oleh pemberian secara langsung anestetik lokal secara
intravaskuler, dan reaksi toksisitas lambat mengikuti absorbsi dari
anestetik lokal. Pasien mungkin mengeluh rasa pahit pada lidah, sakit
kepala berat, mendenging, irritability, kejang-kejang, hipotensi dan
hilangnya kesadaran. Dengan penambahan epinefrin kedalam obat-obatan
akan mengurangi absorbsi obat pada ruang epidural.
2. Punksi duramater dengan jarum besar.
Resiko sakit kepala yang mengikuti punksi duramater yang tidak hati-hati
sangat besar, karena diameter jarum epidural yang digunakan lebih besar.
Jika duramater dipunksi dengan jarum epidural ada empat tindakan yang
dapat diambil :
-
Kateter subarachnoid dapat dilewatkan untuk memberikan analgesia
spinal kontinyu. Semua perawatan untuk pasien harus dimengerti
bahwa ini adalah kateter spinal, bukan kateter epidural, sehingga lebih
sedikit volume anestetik lokal yang diperlukan. Dapat terjadi high atau
23
total spinal bila disuntikkan lebih dari 7 ml obat analgesia lokal. Dosis
anestetik tunggal dapat diberikan untuk membuat analgesia spinal.
-
Jarum dapat ditarik, dan analgesia epidural dicoba di interspace yang
lain. Dalam situasi ini dosis anestetik yang dibutuhkan lebih sedikit
untuk memperoleh tingkat yang diinginkan sebab punksi duramater
membiarkan anestetik lokal masuk keruang subarachnoid.
-
Jarum dapat ditarik keruang epidural dan epidural kateter dilewatkan
pada tempat yang sama. Jika kateter epidural ditempatkan dengan
tepat mengikuti punksi duramater, profilaksis blood patch dapat
dilakukan lewat kateter.
3. Trauma langsung batang spinal mungkin dapat terjadi jika injeksi epidural
diatas L2.
4. Perdarahan terbuka, perforasi pada satu vena epidural oleh jarum akan
mengakibatkan perdarahan tiba-tiba. Jarum seharusnya dibuka dan
direposisi pada interspace yang berbeda.
2.5.5 Mekanisme kerja
Anestesi lokal yang ditempatkan pada epidural lumbal atau ruang sacral
kaudal menyebabkan terjadinya anestesi epidural melalui mekanisme :
1. Anestesi lokal berdifusi melalui lapisan duramater memasuki cairan
cerebro spinalis untuk bekerja pada percabangan saraf dan medulla
spinalis sama halnya jika diinjeksikan langsung pada ruang subarachnoid
lumbal untuk memberikan anestesi spinal.
24
2. Anestesi lokal juga berdifusi kedalam area paravertebral melalui foramina
intervertebralis menyebabkan terjadinya blok saraf paravertebralis
multipel.
Proses difusi lambat ini berlangsung 15 sampai 30 menit yang menunda
terjadinya onset anestesi sensoris setelah pemberian anestesi lokal pada
ruang epidural. Intensitas blok sensorik dan motorik sangat kurang dan
analgesia menjalar secara segmental dan blokade selektif dapat tercapai.
3. Penelitian pelacak radioaktif menunjukkan bahwa anestesi lokal pada
subarachnoid dan epidural bereaksi secara tepat di tempat yang sama, yaitu
kornu spinalis, kumpulan saraf spinal dan permukaan korda spinalis pada
kedalaman 1 mm atau lebih, tergantung pada kelarutan lemak dari suatu
anestesi lokal.
4. Keuntungannya adalah bahwa pada analgesia epidural secara fisik
duramater tidak ditembus oleh jarum, maka sakit kepala akibat dari
kebocoran cairan serebrospinalis tidak terjadi dan bahaya meningitis juga
dikurangi.
5. Kerugiannya adalah bahwa pada ruang epidural ada pembuluh darah dan
berisi lemak. Proporsi terbesar dari dosis anestetik lokal epidural diambil
oleh lemak ekstradural dan absorbsi vaskuler dan hanya sedikit obat yang
ada untuk aksi blok neural. Kerugian lain adalah jaringan epidural lebih
bereaksi terhadap benda asing dibandingkan dengan ruang subarachnoid
yang tersembunyi.
25
6. Perbedaan lain dari anestesi spinal
adalah lebih besarnya dosis yang
dibutuhkan untuk anestesi epidural sehingga terjadi absorbsi sistemik
anestesi lokal yang lebih substansial.
7. Penentuan level blokade epidural dapat berbeda-beda tergantung dari :
a. Volume anestetik lokal. Untuk induksi blokade digunakan dosis
maksimal 1,6 ml anestetik lokal persegmen sampai setinggi segmen
yang diinginkan. Pasien umur tua, pasien hamil, dan pasien dengan
tekanan intra abdominal yang meningkat diperlukan volume anestetik
lokal lebih sedikit untuk mencapai distribusi yang diinginkan.
b. Kecepatan injeksi. Injeksi yang cepat menghasilkan blok yang kurang
dibanding yang lambat, injeksi bertahap kira-kira 0,5 ml/detik.
c. Posisi pasien. Pasien duduk tegak dapat menyebabkan penyebaran
blokade kearah kaudal lebih besar.
d. Penyebaran blokade epidural. Penyebaran blokade lebih cepat kearah
cephalad dari pada ke arah caudal. Kondisi ini nampaknya paling
sering disebabkan oleh perbedaan ukuran antara lumbal inferior yang
besar dan akar saraf sakralis dibanding akar saraf thoraks yang lebih
kecil. Penyebaran mencapai puncak 20-30 menit. Bila anestetik
dihabiskan untuk dua dermatom, penambahan sepertiga sampai
setengah dari jumlah anestetik lokal semula akan diperoleh anestesi
yang adekuat. Bila menggunakan analgesia epidural dan analgesia
umum bersama-sama, penambahan dosis diberikan pada interval
waktu yang sesuai dengan karakteristik obat anestesi lokal.
26
8. Obat-obat untuk anestesi epidural.
a.
Anestetik lokal.
Pilihan obat anestetik lokal untuk analgesia epidural ditentukan oleh
lamanya prosedur operasi dan intensitas blok motorik yang
dikehendaki.
-
Lidokain. sering dipergunakan untuk anestesi epidural karena
memiliki kemampuan difusi yang bagus melalui jaringan.
Umumnya digunakan 1-2 %, dengan mula kerja 10 menit dan
relaksasi otot baik. Satu persen blokade sensorik baik tanpa
blokade motorik. Satu setengah persen lazim digunakan untuk
pembedahan. Dua persen untuk relaksasi blokade motorik.
-
Bupivakain sering dipilih jika diperlukan anestesi epidural yang
lebih lama, tapi tidak bisa digunakan pada prosedur yang
membutuhkan blok motoris (relaksasi) untuk setiap blok sensorik.
Konsentrasi 0,5 % tanpa epinefrin, analgesianya > 180 menit.
Volume yang digunakan < 20 ml.
b.
Epinefrin
Penambahan epinefrin (5µg/ml) kedalam anestetik lokal yang
diinjeksikan kedalam ruang epidural tidak hanya memperpanjang
efeknya dengan cara menekan absorsi sistemik, menurunkan
konsentrasi obat dalam darah dan juga mengurangi keracunan
sistemik. Sejumlah kecil epinefrin diabsorbsi dari ruang epidural yang
27
akan membentuk efek beta adrenergik, penurunan tahanan pembuluh
darah dan peningkatan denyut jantung.
2.5.6 Efek fisiologis
1.
Blokade neural
Penyuntikan anestetik lokal dalam ruang epidural bereaksi secara langsung
pada akar saraf yang berlokasi pada bagian lateral ruang epidural, akar saraf
ini ditutupi oleh lapisan duramater dan selanjutnya memasuki CSS setelah
menembus duramater. Onset blok lebih lambat dari anestesi spinal dan
intensitas blok sensorik dan motorik sangat kurang. analgesia menjalar secara
segmental dan blokade selektif dapat dicapai.
2.
Kardiovaskuler
Hipotensi akibat blokade simpatik adalah sama pada anestesi spinal. Hanya
efeknya lebih lambat dari analgesia spinal. Dosis yang besar dari anestesi
lokal yang digunakan dapat diabsorbsi secara sistemik, diikuti oleh terjadinya
depresi miokard. Epinefrin yang ditambahkan pada anestesi lokal dapat
diabsorbsi dan memberikan efek takikardia dan hipertensi.
3.
Anestesi epidural mengurangi terjadinya thrombosis vena dan embolisme
pulmoner pada pembedahan ortopedi. Hal ini mungkin akibat peningkatan
perfusi ekstremitas inferior. Selanjutnya terdapat kecenderungan terjadinya
penurunan koagulasi, penurunan agregasi platelet dan perbaikan fungsi
fibrinolitik sepanjang anestesi epidural.
4.
Respirasi. Pada daerah yang lebih rendah tidak memberikan efek pada
ventilasi. Makin tinggi blok pada daerah thoraks, paralisis otot interkostal
28
makin tinggi. Apneu yang terjadi mungkin menunjukkan paralysis iskemia
pada pusat ventilasi di medulla spinalis akibat hipotensi yang diikuti dengan
penurunan aliran darah serebral.
5.
Gastrointestinal. Pengaruh simpatik pada saluran cerna (T5-L1) adalah
menurunnya peristaltik, mempertahankan tonus otot spingter dan melawan
kerja nervus vagus. Dengan blok simpapatik, kerja nervus vagus yang
dominan, menyebabkan peningkatan peristaltik, sehingga dapat terjadi mual
dan muntah. Pengosongan lambung tidak dipengaruhi, jarang terjadi distensi
lambung dan usus selama operasi.
6.
Hati. Aliran darah ke hati menurun dengan menurunnya tekanan darah arteri.
Namun demikian, karena hati mengambil oksigen dari aliran darah arteri yang
masuk ke hati, sehingga tidak terjadi iskemia. Enzim-enzim hati tidak
dipengaruhi.
7.
Traktus urinarius. Kecuali selama terjadi hipotensi, aliran darah ginjal
dipertahankan selama blok sentral oleh autoregulasi. Oleh karena itu,
produksi urine tidak dipengaruhi. Tonus otot buli-buli menurun dan terjadi
retensi urine akut .
8.
Metabolik dan endokrin. Nyeri dan pembedahan menyebabkan aktifitas
simpatik yang menghasilkan respons hormonal dan metabolik. Katekolamin
dikeluarkan dari medulla adrenal. Blokade simpatik pada T5 menghambat
baik bagian komponen neural pada stresrespons. Selanjutnya memblok
afferen simpatik medulla adrenal maupun blokade jalur simpatik dan somatik
29
yang membawa nyeri. Menyebabkan menurunnya tekanan darah, stres
myocardial dan hiperglikemia.
9.
Termoregulasi. Vasodilatasi pada ekstremitass bawah merupakan predisposisi
terjadinya hypothermia, terutamaa jika tungkai bawah terbuka.
2.6 Parecoxib
2.6.1 Farmakokinetik
Parecoxib adalah jenis obat dalam sediaan injeksi yang larut air. Beredar
dipasaran dengan merk dagang Dynastat™ dalam kemasan 20 mg dan 40 mg.
Obat ini merupakan prodrug dari valdecoxib, suatu generasi kedua dari COX-2
inhibitor selektif. Konversi secara cepat di hepar oleh enzim hidrolisis menjadi
bentuk aktif yaitu valdecoxib. Metabolitnya juga merupakan COX-2 inhibitor
selektif yang lemah, yang selanjutnya dimetabolisme oleh jalur non-cytochrome
P-450 menjadi metabolit glukoronide, dan di ekresi melalui ginjal (Cheer dkk.
2001).
Sebelumnya telah disebutkan bahwa COX bertanggung jawab terhadap
sintesa prostaglandin. Terbagi atas 2 bentuk isoform yaitu COX-1 dan COX-2.
COX-2 adalah bentuk isoform yang diinduksi oleh sitokin proinflamasi dan paling
berperan pada sintesa prostanoid yang merupakan mediator nyeri inflamasi dan
demam. Pada dosis terapeutik bekerja menghambat secara selektif COX-2 baik di
sentral maupun perifer. Pemberian dosis 40 mg iv akan memberikan efek
analgesia dalam waktu 7-13 menit namun efek analgesia klinis terlihat dalam
kurun waktu 23-29 menit dan mencapai puncak efek setelah 2 jam paska
30
pemberian. Memiliki waktu paruh 8 jam dan akan memanjang jika ada gangguan
fungsi hepar. Ikatan dengan protein sangat tinggi yaitu hingga 98% (Padi dkk.
2004).
Parecoxib adalah pro-drug tak aktif yang diberikan secara parenteral yang
mengalami hidrolisis amida cepat in-vivo menjadi penghambat COX-2 yang aktif
secara farmakologis (Ibrahim dkk. 2002). Valdecoxib dimetabolisme primer
menjadi 1-hidroksivaldecoxib oleh enzim sitokrom P450 hepar. Karena parecoxib
dan valdecoxib keduanya merupakan inhibitor P450, maka ada potensi bahwa
penghambat
COX-2
ini
menghambat
metabolisme
obat
lain.
Efek
menguntungkan penghambat COX-2 menyebabkan penggunaan luas obat ini
untuk berbagai indikasi terutama untuk kondisi yang berkaitan dengan inflamasi
dan nyeri.
A
Gambar 2.7 Struktur kimia parecoxib (Dikutip dari Ibrahim dkk., 2002. Effects of
parecoxib, a parenteral COX-2-spesific inhibitor, on the pharmacokinetics and the
pharmacodynamics of propofol. Anesthesiology 2002;96(1);88-95)
2.6.2 Farmakodinamik
Efektifitas penghambat COX-2 selektif (coxibs) secara umum ditujukan pada
penghambatan enzim siklooksigenase yang merubah asam arakidonat (sejenis
31
lipid yang merupakan turunan dari membrane fosfolipid) menjadi zat peradangan
prostaglandin. Enzim fosfolipase A2 membebaskan asam lemak bebas dari
membran fosfolipid dan mengatur alur ketersediaan dari asam arakhidonat untuk
pembentukan prostaglandin. Prostaglandin E2 (PGE2) secara bermakna
meningkatkan nyeri yang dihasilkan oleh mediator perangsang nyeri seperti
bradikinin atau histamin (Simmons dkk, 2004). PGE2 memberikan kontribusi
kepada sensitisasi perifer dan hiperalgesia dengan cara berikatan pada reseptor
protein-g berpasangan yang mana meningkatkan level dari cAMP pada nosiseptor.
Peradangan perifer dimediasi melalui IL1β saraf spinal, perangsangan COX-2,
peningkatan PGE2 saraf spinal.PGE2 berinteraksi dengan reseptor pada terminal
sentral dari nosiseptor dan menghasilkan sensitisasi sentral. Perangsangan PGE2
pada reseptor prostaglandin pada dorsal horn, meningkatkan pembukaan dari
saluran NMDA, penguatan efek eksitasi dari efek glutamat. Hal ini menjelaskan
bahwa penghambat COX memperkuat efek penghilang nyerinya dengan cara
memodulasi nosisepsi baik pada perifer maupun pada daerah sentral (Svennson
dan Yaksh, 2002). Juga terdapat bukti yang kuat untuk efek peran pronosiseptif
dari PGI2 pada nyeri inflamasi (Zeilhofer dan Brune, 2006). Produksi PGI2 yang
dikatalisasi oleh COX-1 kelihatannya ikut berperan pada nyeri peritoneal
(Simmons dkk. 2004). Juga COX-1 meningkat pada saraf spinal setelah trauma
perifer (Zhu dkk. 2005).
Obat anti inflamasi non steroid menghambat siklooksigenase pada perifer dan
sentral (Zhu dkk. 2005), begitu juga halnya terhadap COX-2 pada sistem saraf
pusat (SSP), dan secara perifer di jaringan yang terluka dan meradang. Obat-obat
32
golongan coxib akan secara selektif menghambat COX-2 di jaringan perifer dan di
SSP. Golongan coxib juga menghambat inducible nitric oxide synthase (iNOS),
nitric oxide (NO) yang bertugas sebagai mediator inflamasi dan juga molekul
sinyal intraselular yang terlibat dalam sensitisasi dari sel saraf (Fermor dkk,
2002). Inhibisi dari COX-2 menurunkan stimulasi PGE2 dari prostaglandin
reseptor di kornu posterior dan oleh sebab itu menurunkan pembukaan jalur
NMDA dan efek eksitasi dari glutamat (Svennson dan Yaksh, 2002).
Penghambat COX-2 berguna dalam manajemen pasien yang mengalami nyeri
yang disebabkan oleh osteoartritis, artritis reumatoid, gout akut, dan dismenore.
Efikasi penghambat COX-2 untuk nyeri dental sudah terbukti. Nyeri berasosiasi
dengan kondisi muskuloskeletal dapat diobati secara efektif oleh penghambat
COX-2 (White, 2002). Analgesia pascabedah yang dihasilkan oleh penghambat
COX-2 mirip dengan OAINS non selektif konvensional (Gilron dkk. 2003).
Keuntungan primer penghambat COX-2 bila dibandingkan dengan OAINS nonselektif adalah tidak adanya efek pada fungsi platelet dan perdarahan sehingga
memungkinkan untuk diberikan preoperatif dan paska operatif. Terlebih lagi,
penghambat COX-2 dapat digunakan (berdasarkan data pengobatn kronis pada
pasien artritis) untuk pasien dengan riwayat gastritis atau ulkus lambung yang
tidak dapat menerima OAINS konvensional. Penghambat COX-2 dapat menjadi
alternatif yang lebih aman dari OAINS non-selektif karena dapat ditoleransi oleh
pasien asma.Insidensi efek samping gastrointestinal (ulkus lambung dan
duodenum) menurun sekitar 50% pada pasien yang diterapi dengan penghambat
selektif COX-2 (Bombardier, 2002). Penghambat COX-2 tidak memiliki efek
33
pada agregasi platelet, waktu perdarahan atau kehilangan darah pascabedah.
Resiko terjadinya episode trombotik atau infark miokard dapat meningkat pada
pasien yang mendapat terapi penghambat COX-2 (Mukherjee dkk, 2001). Hal ini
mungkin
karena
inhibitor
COX-2
selektif
menekan
prostaglandin
I2
(vasoprotektif) tanpa mempengaruhi tromboksan A2 (prokoagulan). Prostaglandin
memodulasi tekanan darah sistemik dengan berdasarkan pada efek terhadap tonus
vaskular dalam otot polos arteriolar dan kontrol terhadap volume cairan
ekstraselular.
Penggunaan penghambat selektif COX-2 secara luas pada kasus perioperatif,
tidak menemukan komplikasi renal dan kardiovaskular pada penggunaannya
secara singkat pada pasien dengan kasus bedah non kardiak pada pasien sehat.
Tetapi, pada pasien bedah kardiak, walaupun digunakan secara singkat,
penggunaan coxib meningkatkan resiko dari komplikasi yang ada (Nusmeier dkk,
2005). Reaksi alergi pada senyawa sulfonamida adalah kontraindikasi pada
beberapa coxib yang mengandung senyawa sulfonamida (celecoxib dan
valdecoxib). Reaksi alergi pada bidang dermatologis yang serius terjadi pada
pemberian regimen ini pada individu yang sesuai (Marques dkk, 2004).
34
Gambar 2.8 Produksi dan jalur prostaglandin dan tromboxan (diikutip dari:
Fitzgerald GA, Patrono C. The Coxibs, selective inhibitors of cyclooxygenase-2.
N Engl J Med 2001; 345(6): 433-40.)
Download