khusus jur - Portal Garuda

advertisement
Ilmu Ushuluddin, Januari 2012, hlm. 89-102
ISSN 1412-5188
Vol. 11, No. 1
ISLAM MESIR: ASAL-USUL, PERKEMBANGAN
DAN CORAK PEMIKIRAN KEISLAMAN
Asrar Mabrur Faza
Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Hikmah Medan, Sumatera Utara
Diterima 15 Oktober 2011/Disetujui 15 Nopember 2011
Abstract
This paper raised about Islamic thought patterns that exist in Egypt.
According to the authors, the teachings of supplement Islam derived from
historical scenarios in a vulnerable time and place as in Egypt, was part of
the perspective view of Islam as a historical religion. Therefore, the arrival of Islam, the development and emergence of the Muslims in the field
of modern thought in this country has its own uniqueness. The leaders of
the Muslims during the military expansion of Egypt, from the beginning
has been offering the limits of interfaith tolerance. Some of the powerful
empires that ever existed in Egypt has contributed significantly to the construction of Islamic civilization at that time. Egyptian Islamic thinkers
both modern and contemporary style has provided the liberal Islamic
thought in that country. So that, it could be an example for other countries
in the development of Islamic thought in general.
Kata kunci: Islam Mesir, asal usul, corak pemikiran, al-Azhar
Pendahuluan
Islam tidak hanya dimaksudkan sebagai sebuah ajaran (baca: pesan
moril) yang bersumber dari nas-nas teologis saja, tetapi juga merupakan
ajaran yang bersumber dari perjalanan sejarah penganutnya. Ajaran Islam
model yang pertama ini bersifat tsâbit, tidak mengalami perkembangan
sehingga disebut ajaran pokok. Sedangkan model yang kedua bersifat
tathawwur, mengalami perkembangan seiring dengan pertumbuhan sejarah
Islam itu sendiri, sehingga dinamakan ajaran suplemen.1 Sejarah Islam
1
Term “Ajaran Suplemen” ini digunakan oleh dalam Ahmad M. Sewang, Hubungan
Antarumat Beragama di Masa Nabi Muhammad Saw.: Bahasan Buku Sîrat Nabawiyah Ibn Hisyam
(Makassar: Universitas Islam Alauddin Makassar, 2006), h. 4.
90 Ilmu Ushuluddin
Vol. 11, No. 1
sendiri dapat dibagi menjadi tiga periode, yaitu: periode klasik (650-1250),
periode pertengahan (1250-1800) dan periode modern (1800 sampai
sekarang). Masing-masing periode tidak bisa dilepaskan dari persepsi Islam sebagai agama missionaris,2 yang melakukan aktifitas penyebaran
agama. Salah satu daerah yang menjadi acuan sejarah Islam pada periode
modern adalah Mesir. Selain merupakan satu tempat yang sering disebut
dalam Alquran dan Hadis,3 Mesir juga dikenal sebagai lokasi berawalnya
kebangkitan umat Islam dalam bidang pemikiran modern.4 Oleh sebab
itu, penelusuran perkembangan Islam melalui wilayah ini sangat penting
untuk dilakukan jika melihat Islam dari “ajaran yang suplemen” tadi. Tulisan
ini akan berupaya untuk menjelaskan bagaimana perkembangan Islam dan
Pemikiran Keislaman di Mesir.
Riwayat Penamaan dan Proses Masuknya Islam di Mesir
Term Mesir, terambil dari Mishr yang bisa dijumpai dalam beberapa
ayat-ayat Alquran maupun hadis Nabi Saw. Pada awalnya disebut dengan
nama penduduknya yaitu, al-Aqbâth (plural dari qibth). Orang-orang qibth
kemudian menyebut daerahnya dengan Kemy dan Takemy, yang berarti
hitam atau tanah yang hitam. Warna “Hitam” di sini menjadi simbol
kesuburan. Sedangkan dalam teks resmi pharaonic, Mesir kuno disebut
Missionary activity atau missionary work (pelaksanaan misi) adalah merupakan arti lain
dari pada al-Da’wah, selain bidding (perintah), request (permintaan), dan call (panggilan). Lihat
Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, edited by J Milton Cowan, (London:
Wiesbaden, 1971), Cet. Ke-3, h. 283. Persepsi penulis tentang term yang digunakan di atas,
mungkin sama dengan apa yang dimaksudkan Syed Abul Hasan Ali Nadwi dalam salah satu
judul bukunya, Muslims in the West: The Message and Mission.
3
Salah satunya adalah Q.S. Yusuf/12: 99: “Maka tatkala mereka masuk ke (tempat) Yusuf,
Yusuf merangkul kedua orangtuanya, (seraya) berkata: Masuklah (Datanglah) kamu ke Mesir, insya
Allâh dalam keadaan aman”. (Riwayat Muslim dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. bersabda:
“Kamu akan menaklukkan Mesir, yaitu daerah yang dinamakan Qirât, jika kamu telah menaklukkannya,
berlaku baiklah kepada penduduknya, karena mereka punya (hak) suaka dan (perlakuan) baik”. Abû alHusayn Muslim bin al-Hajjâj bin Muslim al-Qusyayrî al-Naysâbûrî, Al-Jâmi’ al-Sahîh, Juz VII,
(Beirut: Dâr al-Jayl, t.th.), h. 190.
4
Di dalam tulisan ini, penulis akan menjadikan “Pemikiran Modern dalam Islam” ini
sebagai acuan dalam penelusuran Perkembangan Islam di Mesir, khususnya pada bidang politik
dan pemikiran keagamaan, meskipun juga memperhatikan bidang lain, tapi hanya merupakan
informasi pendukung saja.
2
ASRAR MABRUR FAZA
Islam Mesir
91
dengan Tawey yang berarti dua tanah. Karena secara geografis Mesir terbagi
kepada dua, yaitu: Tasymâ’ (dataran tinggi), dan Tsameho (permukaan laut).
Istilah ini pertama kali muncul pada tahun 4000 tahun sebelum miladiyah.
Sedangkan term Egypt (arab: al-Qâhirah), dianggap berasal dari bahasa
Yunani yaitu Aigyptus, berarti bumi yang dicintai. Nama juga yang pernah
digunakan sebagai nama sebuah perguruan tinggi pertama yang dibangun
pada masa Napoleon, Egypt University (Universitas Kairo).5
Islam pertama kali “masuk” ke wilayah Mesir, yaitu masa khilâfah
râsyidah yaitu pada pemerintahan ‘Umar bin al-Khaththâb (13 – 23 H/634
– 644 M), yang dikenal dengan prestasi ekspansinya ke beberapa wilayah,
seperti Syiria, Irak, Mesir, Persia, Palestina dan lain-lain, sehingga digelari
Amîr al-Mu’minîn (pimpinan komandan orang-orang yang beriman).6
Sebelum kedatangan umat Islam, Mesir telah dikuasai oleh Byzantium.
Panglima perang Islam saat itu yang dipegang oleh ‘Amrû bin al-’Âsh telah
lama berniat untuk melakukan penaklukan Mesir, namun karena beberapa
pertimbangan masih urung dilakukan. Jamâl ‘Abd al-Hâdî mengemukakan
beberapa alasan yang “mendesak” umat Islam pada masa Khalifah ‘Umar
bin al-Khaththâb mengadakan ekspansi ke Mesir, di antaranya adalah
semangat penyebaran Islam dan penegakan Islam sebagai aturan hidup di
bumi Tuhan, motivasi Nabi Saw. untuk menaklukkan Mesir, serta adanya
musyawarah yang dilakukan khalifah bersama para tentaranya (mu’tamar
‘askarî) dalam rangka memperluas wilayah ekspansi Islam.7
Akhirnya setelah mendapat “restu” dari Amîr al-Mukminîn, ‘Amrû
bin al-’Âsh melakukan ekspedisi ke Mesir dengan bantuan 4000 tentara.
Ekspedisi dimulai dari 18 H dengan mulai mendudukuti kota Aris serta
Pelabuhan Pelusium (al-Farama) pada tahun 19 H/640 M. Kota Babylon
yang ditundukkan pada tahun 20 H. Iskandariah juga dapat dikuasai oleh
pasukan bantuan dibawah pimpinan Ubadah bin Samit. Perjanjian damai
antara Cyrus (al-Muqawqis) dengan pasukan ‘Amrû bin al-’Âsh dengan
persyaratan, salah satu di antaranya adalah; Bangsa Arab akan tinggal di
"Sejarah Nama Mesir or Egypt” Himpunan Mahasiswa Sulawesi Tengah (Hamasah)
Kairo bs-ba.facebook. (1 Nopember 2009).
6
Mun’im Majeed, Târîkh al-Had?ârah al-Islâmiyah (Mesir: Angelo, 1965), h. 28.
7
Jamâl ‘Abd al-Hâdî, Fath Mishr (t.t.: Dâr al-Wafâ’, 1999), h. 31.
5
92 Ilmu Ushuluddin
Vol. 11, No. 1
markasnya selama gencatan senjata dan pasukan Yunani tidak akan
menyerang Iskandariah dan menjauhkan diri dari permusuhan; Umat Islam tidak akan menghancurkan gereja-gereja dan tidak boleh mencampuri
urusan umat Kristen;8 Umat Yahudi harus tetap tinggal di Iskandariah.9
Akhirnya Mesir dapat takluk di tangan ‘Amrû bin al-’Âsh. Pada
perkembangan selanjutnya dibangunlah Fustat (Mishr al-’Atîqah) sebagai
ibu kota wilayah. Kota ini juga pada akhirnya menjadi ibu kota empire
Fatimiyah.
Perkembangan dan Tipologi Pemikiran Keislaman di Mesir
1.
Era Pra-Modern
Masuknya Islam ke wilayah Mesir, sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, merupakan fase ketiga dari sejarah Mesir menurut pengamatan
para ahli sejarah. Mulai pada fase inilah perkembangan Islam mulai dapat
ditelusuri di negeri ini.10 Pada fase ini bermacam-macam empire Islam pernah
berkuasa seperti Abbasiyah, Thuluniyah, Ikhsyidiyah, Fatimiyah, Ayyubiyah
dan yang terakhir adalah Usmaniyah. Namun di sini hanya empire yang
terpenting dan mengemuka saja yang akan dipaparkan.
Salah satu empire yang pernah berkuasa di Mesir adalah Fatimiyah
yang didirikan oleh ‘Abdullâh al-Mahdî billâh. Pada masa empire Fatimiyah
inilah kota Kairo didirikan pada tanggal 17 Syakban 358 H/969 M oleh
panglima perang, Jawhar al-Siqlî. Jawhar juga kemudian mendirikan masjid
al-Azhar pada tanggal 17 Ramadhan 359 H (970 M). Sebuah masjid yang
pada akhir berubah fungsi menjadi Universitas al-Azhar.11 Kota Mesir di
8
Kebebasan beragama kaum Kristen Koptik, merasa terancam sejak empire Romawi
“bercokol” di Mesir. Sehingga mereka tidak mau dengan kedatangan umat Islam ke sana, dapat
mengulang masa kelam kebebasan beragama kembali. Sehingga perlu dicantumkan persyaratan
ini. Ibid., h. 16
9
Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab (Jakarta: Logos, 1997), h. 55.
10
Sejarah Mesir dapat dibagi tiga fase, yaitu: (1) Fase Jahili, yang dimulai sejak munculnya
raja-raja Fir’aun sampai dengan ditemukannya umat Kristen Koptik, (2) Fase Masihi, yaitu
masa Kristen Koptik sampai datangnya ekspansi Islam, dan (3) Fase Islami, yaitu ditandai
dengan munculnya beberapa empire Islam di Mesir. Muhammad Husnî Affandî al-’Âmirî,
Nuzhah al-Bâb (Mesir: al-Hilâl, 1314 H) h. 20, 21.
11
A. Mukti Ali. Ed. Ensiklopedi Islam di Indonesia, jilid II (Jakarta: Departemen Agama RI,
1988), h. 464.
ASRAR MABRUR FAZA
Islam Mesir
93
masa empire Fatimiyyah telah mulai memperlihatkan kemajuannya pada masa
al-Mu’îz dan puncaknya berada pada masa pemerintahan anaknya, al-’Azîz.
Al-Mu’îz melakukan tiga kebijakan besar saat itu, yaitu melakukan pembaharuan dalam bidang administrasi, pertumbuhan ekonomi dan toleransi
beragama dan mazhab.12
Empire selanjutnya adalah Ayyubiyah yang didirikan oleh Shalâh alDîn al-Ayyûbî, seorang jenderal dan dan pejuang Kurdi dari Tikrit (Irak).
Empire didirikannya bukan hanya di Mesir, tetapi juga di Syiria, sebagian
Yaman, Irak, wilayah Hijaz dan Diyar Bakr. S??alâh al-Dîn dikenal di dunia
umat Islam dan non-muslim (baca: Kristen) karena kepemimpinannya,
kekuatan militer, sikap pengampun kepada musuh ketika perang salib. Selain
itu dia juga dikenal sebagai seorang ulama yang memberi syarah kitab hadis
Abû Dâwud. 13 Pada masa empire Ayyubiyah, lembaga-lembaga ilmiah yang
telah dipelopori oleh Fatimiyah tetap dipertahankan, akan tetapi orientasi
keagamaan yang pada awalnya berpaham syî’î dirubah menjadi paham Suni.
Selain itu pada masa ini juga dibangun lembaga-lembaga ilmiah baru, terutama masjid yang dilengkapi dengan tempat belajar teologi dan hukum.14
Selanjutnya adalah empire Mamluk juga pernah berkuasa di Mesir.
Sebuah empire - atas prakarsa Baybars - yang pada awalnya didirikan oleh
sekelompok budak yang telah menjadi tentara karena bekal pengalaman
dalam berbagai operasi militer pada masa empire Ayyubiyah. Pada masa
ini Mesir berada pada kondisi “terselamatkan” di tengah-tengah gencarnya
serangan-serangan dari bangsa Mongol. Sehingga Mesir tetapi menjadi
pusat peradaban Islam saat itu. Meskipun tidak banyak kemajuan Islam
dicapai, akan tetapi kondisi yang aman ini dapat menjaga kokohnya
bangunan-bangunan peninggalan empire Ayyubiyah.15
2.
Era Modern
Era ini ditandai dengan ekspedisi yang dilakukan oleh pasukan
Perancis di bawah komando Napoleon Bonaparte terhadap Mesir, dengan
Philip K. Hitti, Capital Cities of Arab Islam (Minneapolis: University of Minnesota
Press, 1973), h. 118.
13
http://id.wikipedia.org/wiki/Salahuddin_Ayyubi (2 Nopember 2009)
14
Hitti, Capital Cities of Arab, h. 130.
15
http://id.wikipedia.org/wiki/Mamluk (2 Nopember 2009)
12
94 Ilmu Ushuluddin
Vol. 11, No. 1
tujuan ingin menumpas sisa-sisa empire Mamluk yang masih ada di Mesir.
Upaya Napoleon untuk dapat menguasai Mesir bukan hanya dilakukan
dengan persiapan strategi peperangan saja, tetapi dengan mengirimkan
alat-alat teknologi, yang pada akhirnya memberi kesadaranan bagi umat
Islam (baca: orang Turki) untuk mengenali kelemahan mereka setelah
dikuasai Perancis. Salah seorang Turki yang dimaksud adalah Muhammad
Ali Pasya.
Muhammad Ali Pasya (1765-1849) yang menjadi penguasa diktator
di Mesir setelah ditinggalkan oleh Perancis pada tahun 1801, dan dikenal
juga sebagai “pendiri Mesir modern”. Dalam menjalankan pemerintahannya, dia menyakini bahwa ada dua penyanggah utama pemerintahan, yaitu
kekuatan militer, yang didukung oleh kekuatan ekonomi. Dua kekuatan
inilah yang menjadi garis utama segala kebijakan yang diambilnya. Untuk
memperkuat ekonomi, dia melakukan berbagai perbaikan irigasi,
penanaman kapas, serta pembukaan sekolah pertanian pada 1836. Bahkan
melakukan nasionalisasi pemilikan tanah untuk digunakan sepenuhnya bagi
tulangpunggung perekonomian Mesir. Pada bidang militer, dia merekrut
tenaga-tenaga dari Perancis sehingga terbentuklah Nizhâm al-Jadîd sebuah
model baru angkatan bersenjata Muhammad Ali. Dia juga membuka
sekolah militer pada 1815. Selain itu dibangun juga sekolah penerjemah
pada tahun 1836, guru-gurunya banyak yang didatangkan juga dari Barat.
Dari hasil sekolah ini banyak buku diterjemahkan seperti bidang filsafat
Yunani dan tentang kebebasan berfikir, yang pada akhirnya membuka mata
penduduk Mesir untuk lebih mengenal Barat. Bahkan dia juga mengirim
311 pelajar Mesir ke Italia, Perancis, Inggris dan Austria untuk mempelajari
ilmu-ilmu kemiliteran, arsitek, kedokteran dan obat-obatan.16
Rifa’at Badawi Rafi’ al-Tahtawi (1801-1873) adalah salah satu putra
Mesir yang dikirim Muhammad Ali ke Perancis, akan tetapi ditunjuk sebagai
pemimpin (al-imâm) bagi para pelajar yang ada di sana selama lima tahun.
Setelah mahir berbahasa Perancis dan menerjemahkan buku-buku yang
Ahmad Tafsir, “Pemikiran di Zaman Modern” dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam:
Pemikiran dan Peradaban, ed.Taufik Abdullah, et.al., Jilid IV, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
t.th.), h. 397, 398. http://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Ali_dari_Mesir (2 Nopember
2009)
16
ASRAR MABRUR FAZA
Islam Mesir
95
berbahasa Perancis, diapun diangkat menjadi guru bahasa Perancis dan
penerjemah bahasa Perancis. Tak pelak lagi banyak buku yang diterjemahkannya, dengan alasan bahwa untuk mengetahui ilmu-ilmu yang membawa
Barat kepada kemajuan perlu adanya usaha-usaha penterjemahan. Dari
buku-buku yang diterjemahkannya, al-Tahtawi lebih cenderung kepada
filsafat politik. Al-Tahtawi juga aktif menulis untuk berbagai majalah dan
buku, salah satunya adalah Manâhij al-Albâb al-Mishriyya fi Mabâhij al-Adab
al-‘Ashriyya yaitu tentang sosiologi Mesir. Pemikirannya dalam bidang
pendidikan yang terkenal adalah pencanangan Kecintaan terhadap Bangsa
(hubb al-wathan) yang menyempitkan makna watan dari dunia Islam menjadi
khusus Mesir, dengan menggalang rasa cinta kepada Mesir melalui syair
yang memuji Fir’aun. Gebrakan pembaharuan pendidikan yang dilakukannya juga ditandai dengan pendapatnya bahwa para ulama harus mengetahui
ilmu-ilmu modern agar dapat menyesuaikan syari’at dengan kebutuhan
zaman modern. 17
Pemikir modern lain, adalah Jamâl al-Dîn al-Afghânî (1838-1897)
yang pertama kali datang ke Mesir pada tahun 1871. Di sini dia giat
memberikan kuliah-kuliah dan mengadakan diskusi-diskusi bersama orang-orang yang kelak akan menjadi pemikir-pemikir Islam modern yang
lain. Sebenarnya dia lebih aktif dalam aktifitas politik daripada
pengembangan ilmu pengetahuan di Mesir. Pada tahun 1879 didirikanlah
Partai Nasional (Hizb al-Wathan) atas prakarsanya. Selama delapan tahun
Al-Afghânî membangkitkan gerakan berpikir di negara ini agar mencapai
kemajuan di bidang pemikiran. Ketika berada di Perancis, dia mendirikan
al-’Urwah al-Wutsqa yang bertujuan untuk memperkuat rasa persaudaraan
Islam, dan juga telah berhasil mencetuskan gerakan pan-islam unity (persatuan
Islam). 18 Di antara pemikiran modern Islam-nya adalah bahwa Islam adalah
agama yang sesuai untuk semua bangsa, zaman, dan keadaan. Kalau ada
“kesan” pertentangan antara ajaran Islam dengan kondisi zaman, penyesuaian dapat dilakukan dengan mengadakan interpretasi baru atas ajaran IsAhmad Tafsir, “Pemikiran di Zaman Modern”, h., 398. http://islamlib.com/id/
artikel /bapak-pembaruan-pemikiran-keagamaan-mesir/ (2 Nopember 2009)
18
Ludwig W. Adamec, Historical Dictionary of Islam (Lanham, Md.: Scarecrow Press,
2001), h. 32.
17
96 Ilmu Ushuluddin
Vol. 11, No. 1
lam yang tercantum dalam Alquran dan Hadis, yaitu melalui ijtihad.
Kemunduran umat Islam menurutnya adalah karena pemahaman yang salah
terhadap qada’ dan qadhar sebagai paham fatalis. Sehingga perlu menggiring
kembali umat Islam kepada pemahaman yang sejati, yaitu qadha’ dan qadar
yang diartikan untuk memupuk keberanian dan kesabaran. Al-Afghânî
menganjurkan sistem politik yang bercorak otokrasi kepada demokrasi,
dengan bentuk negara republik. Karena otokrasi yang absolut akan
memecah belah umat Islam, sedangkan republik bisa mempersatukan umat,
inilah yang menjadi muara dari gagasan pan-islam unity.19
Seperti yang telah dinyatakan sebelumnya, bahwa al-Afghânî mengadakan diskusi dengan orang-orang yang akan menjadi pemikir Islam
modern, Muhammad Abduhlah orangnya. Muhammad Abduh (18491905), putera kelahiran Mesir yang juga merupakan alumni dari Universitas al-Azhar memiliki pemikiran-pemikiran keagamaan yang “tidak kalah
modernnya” dibandingkan pada pendahulunya. Meskipun ada titik temu
dengan yang lain, ketika mengumandangkan terus dibukanya pintu ijtihad,
serta perlu penyesuaian ajaran Islam dengan zaman modern. Selain itu juga
dia sangat menekankan penggunaan akal dalam berijtihad. Menurutnya
Alquran bukan berbicara kepada hati manusia, tetapi kepada akal manusia.
Dia menambahkan bahwa tidak sempurna iman seseorang jika tidak
berdasarkan akal. Demikian penting peranan akal dalam pemikiranpemikiran keagamaannya. Bahkan dalam menyikapi hadis ahad dia
berpendapat bahwa keimanan seseorang tidak akan diserang hanya karena
dia menolak hadis-hadis ahad yang tidak pernah didengarnya atau yang
tak dapat dibuktikan kesahihannya, meskipun pada abad pertengahan hadishadis seperti itu dinyatakan sahih.20 Abduh juga menganjurkan untuk
memasukkan ilmu-ilmu modern dalam kurikulum al-Azhar, dan sebaliknya
di pendidikan ilmu-ilmu umum perlu adanya pendalaman ilmu agama.
Pemikiran-pemikiran Abduh yang lain dituangkan dalam buku-bukunya
ataupun beberapa orang muridnya.21
Ahmad Tafsir, “Pemikiran di Zaman Modern”, h., 399.
G. H. A. Juynball, The Authenticity of The Tradition Literature Discussions in Modern
Egypt, terj. Ilyas Hasan, Kontroversi Hadis di Mesir (1890-1960) (Bandung: Mizan, 1999), h. 24-25.
21
Ahmad Tafsir, “Pemikiran di Zaman Modern”, h. 401, 401.
19
20
ASRAR MABRUR FAZA
Islam Mesir
97
Di antaranya murid Abduh yang terkenal adalah Muhammad Rasyid
Ridha (1865-1935). Pemikir - yang menguasai bahasa Arab, Turki dan
Perancis – ini juga mendapat pengaruh dari Jamâl al-Dîn al-Afghânî yang
kemudian di dijalankannya pada waktu berada di Mesir. Pendapatnya
tentang faktor kemunduran umat Islam sama dengan yang dipersepsikan
pendahulunya, Muhammad Abduh, yaitu dengan adanya penyebaran
takhayyul dan khurafat pada masyarakat Muslim saat itu. Sehingga
pandangan-pandangan seperti ini perlu diberantas. Dalam bidang pembaharuan pendidikan, dia berpendapat agar tidak selalu diajarkan pendidikan agama tapi juga perlu dimasukkan kurikulum pendidikan umum. Untuk
menghilangkan sikap kefanatikan yang umat saat itu, Rasyid Ridha
menganjurkan sikap toleransi bermazhab. Karena sikap kefanatikan hanya
akan memelihara semakin lemahnya umat.22
3.
Era Pasca-Modern (Kontemporer)
Perkembangan Islam di Mesir khususnya dalam bidang pemikiran
keagamaan di era kontemporer, juga menjadi hal yang menarik untuk ditelusuri. Karena pada era ini bermunculan pemikir-pemikir keagamaan yang
juga berasal dari al-Azhar, tetapi dalam situasi dan kondisi yang tentunya
sangat jauh berbeda dengan masyarakat Mesir di Era Modern sebelumnya.23
Walaupun demikian di sini hanya ada dua pemikir – menurut penulis sangat
refresentatif – untuk mewakili corak pemikiran Islam modern di era ini.
Salah satu tokoh yang pernah “mengukir” perdebatan pemikiran
kewahyuan di Mesir (sekitar tahun 1986) adalah Muhammad al-Ghazâli
yang merupakan alumni universitas al-Azhar dari Fakultas Ushûl al-Dîn
pada bagian Dakwah. Muhammad al-Ghazâlî adalah seorang tenaga
pengajar di berbagai perguruan tinggi, seperti di Qatar dan Pakistan. Dia
juga aktif menulis beberapa buku, salah satu buku yang mengandung
kontroversi adalah al-Sunnah al-Nabawiyah: Bayna Ahl al-Fiqh wa Ahl alHadîts. Buku ini berisikan beberapa kritikannya terhadap hadis Nabi Saw.
Ahmad Tafsir, “Pemikiran di Zaman Modern”.
Pencantuman era kontemporer disini tidak dimaksudkan untuk menambah formulasi
klasifikasi periode sejarah Islam seperti yang dikemukakan Harun Nasution sebelumnya. Tetapi
hanya sebagai pemetaan terhadap alur pemikiran modern yang mengalami perubahan dari
waktu ke waktu.
22
23
98 Ilmu Ushuluddin
Vol. 11, No. 1
Salah satu pemikirannya di bidang hadis adalah menolak hadis yang dinilainya bertentangan dengan ayat-ayat Alquran. Pendapatnya ini menimbulkan
persepsi sebagian orang bahwa Muhammad al-Ghazali mengingkari hadis.
Contoh yang dikemukakannya dalam buku tersebut adalah peristiwa ‘Aisyah
ra. (isteri Nabi saw.) yang menolak hadis yang disampaikan Abû Hurairah
bahwa Nabi saw. bersabda sesungguhnya orang mati disiksa karena tangisan
keluarganya, dengan alasan bahwa kandungan hadis ini bertentangan
dengan surah al-An’am (6) ayat 164.24
Syaikh Muhammad Sayyid Tantawi adalah grand syekh di Universitas
al-Azhar saat ini. Dia adalah merupakan tokoh yang paling kontroversial
bukan hanya di Mesir khususnya, tetapi juga di dunia Islam pada umumnya.
Salah satu isu yang paling mutakhkhir adalah larangan penggunaan niqab
(cadar) yang diusungnya. Menurut Sayyid Tantawi, niqab adalah suatu
tradisi yang tidak ada hubungannya dengan Islam. Pelarangan ini hanya
berlaku di kelas khusus perempuan baik siswa maupun guru pada instansi
pendidikan yang dipimpinnya. Bahkan menurut kabarnya yang beredar,
kebijakan ini menyusul akan berlaku di asrama universitas, demikian juga
beberapa sekolah yang berada di bawah naungan al-Azhar. Kebijakan
Sayyid Tantawi ini bersamaan dengan Peraturan dari Menteri Pendidikan
Tinggi Mesir Hani Hilal yang telah melarang cadar di lingkungan sekolah.25
Kasus lain yang menjadi “atraksi” pemikiran keagamaan Sayyid
Tantawi adalah sikapnya yang melakukan jabat tangan dengan presiden
Israel, Simon Shimon Peres dalam acara konferensi antar agama yang
digelar PBB bulan November 2009. Karena jabat tangan yang dilakukan
oleh Sayyid Tantawi memberi kesan bahwa dia “menyetujui” apa yang
dilakukan Peres terhadap pembunuhan orang-orang Palestina baru-baru
ini. Melalui kejadian ini Sayyid Tantawi mendapat kecaman dari para
anggota parlemen Mesir, kelompok oposisi bahkan dari mass media untuk
24
Muhammad al-Ghazali, al-Sunnah al-Nabawiyah: Bayna Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadîts, terj.
Muhammad al-Baqir, Studi Kritis Atas Hadis: Pemahaman Tekstual dan Kontekstual (Bandung:
Mizan, 1998), h. 11.
25
http://www.mafazaonline.com/index.php?news=747 (2 Nopember 2009)
26
http://www.eramuslim.com/berita/dunia/pimpinan-al-azhar-mesir-dituntutmundur.htm (2 Nopember 2009)
ASRAR MABRUR FAZA
Islam Mesir
99
mengundurkan dari dari jabatan pimpinan tertinggi al-Azhar, dan meminta
maaf dari apa yang telah dilakukannya itu.26
4.
Corak Perkembangan (Pemikiran) Islam di Mesir: Sebuah Analisa
“Munculnya” Islam di Mesir, diawali dari penyebutan tokoh ‘Umar
bin al-Khaththâb sebagai khalifah kedua dari khilâfah râsyidah, serta peranan
dari yang besar ‘Amrû bin al-’Âsh sebagai panglima perang. “Islam
suplemen” (baca: Islamic Teaching) yang diperankan oleh kedua tokoh ini
memberi kesan bahwa Islam yang dibawa oleh mereka adalah Islam yang
toleran, seperti yang dilihat pada perjanjian yang diajukan sebelum Mesir
ditaklukkan, yaitu tidak diperbolehkan-nya umat Islam menghancurkan
gereja-gereja dan tidak boleh mencampuri urusan umat Kristen. Bahkan
lebih daripada itu Islam yang “dianut” oleh salah satu tokoh ini, berawal
dari Islam Rasional, contohnya – pada kasus yang lain – seperti yang dialami
‘Umar bin al-Khattâb, ketika tidak membagi tanah pertanian sebagai bagian
harta rampasan perang kepada para tentara Islam pada saat itu, padahal
berdasarkan ketentuan Q.S. al-Anfâl (8) ayat 41, seharusnya mereka
mendapat bagian empat perlima dari harta tersebut, sedangkan yang lainnya
masuk ke dalam kas negara. Namun itu semua tidak dilakukan ‘Umar,
karena unsur maslahat yang lebih penting dari urusan pembagian, yaitu
keamanan daerah dari perebutan harta. Pengalaman ‘Umar ini menjadi
contoh bagaimana ‘Umar meninggalkan bunyi harfiah Alquran beralih
kepada rasionalitas pemahaman Alquran yang mengandung unsur
mashlahah (kepentingan umum) yang masih berada dibalik teks itu sendiri,
dan ini adalah merupakan satu bentuk pengalaman Islam Rasional.27
Agenda-agenda toleransi beragama atau mazhab, baik yang dilakukan
secara resmi sebagai bagian dari kebijakan politik, maupun toleransi dalam
tataran praktek yang bersifat individual penguasa, semuanya itu telah
berhasilkan dilakukan “orang-orang nomor satu” yang pernah menguasai
Mesir, yaitu seperti Al-Mu’îz pada empire Fathimiyah, dan Salâh al-Dîn alAyyûbî dari empire Ayyubiyah. Bahkan praktek toleransi yang diterapkan
Lihat kasusnya dalam Abû al-Farj ‘Abd al-Rahmân bin ‘Âlî bin Muhammad Ibn alJawzî, Manâqib ‘Umar bin al-Khaththâb, (Beirut: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyah, 1987), Cet. Ke-3, h.
92. Lihat juga http://freedominstitute.com/id/artikel/Umar-bin-Khattab-dan-Islam-Liberal/
27
100 Ilmu Ushuluddin
Vol. 11, No. 1
penguasa yang disebut terakhir ini terbilang sangat unik, karena penerapannya berada dalam situasi yang sangat kritis saat perang Salib. Sikap toleransi
ini juga yang pernah dianjurkan oleh Rasyid Ridha di era modern.
Muhammad Ali Pasya, penguasa Mesir – meskipun seorang diktator
– memiliki kebijakan-kebijakan yang mungkin dianggap maju (progressive)
saat itu. Usaha pengiriman orang Mesir ke Perancis yang dilakukannya,
demikian juga merekrut orang-orang Barat untuk menjadi tenaga pendidik
di negara Islam (baca: Islam) adalah merupakan pemikiran politis yang
progressive. Sehinga hal ini menjadi cerminan bahwa “Islam” yang
dikembangkannya bersifat progressive, atau disebut dengan Islam Progresif.
Pada masa Muhammad Ali Pasya juga sudah diperkenalkan wacana
kebebasan berfikir melalui penerjemahan beberapa buku yang dilakukannya.
Hal ini juga semakin memperkuat pandangan keislaman yang dianutnya.
Rifa’at Badawi Rafi’ al-Tahtawi melalui pandangan hubb al-wathan,
menunjukkan bahwa paham nasionalisme yang digalinya berawal dari
kondisi sosial masyarakat Mesir secara khusus. Pandangan nasionalisme
ini juga, nampaknya berbeda dengan pandangan yang dijalin atas nama:
“seakidah atau seagama” seperti yang dianut oleh mayoritas umat Islam
pada saat. “Temuan” al-Tahtawi ini juga merupakan pandangan politik
sekaligus keagamaan bersifat progresif.
Jamâl al-Dîn al-Afghânî ikut menyuarakan kesesuaian ajaran Islam
dengan kondisi zaman. Bahkan dia berpandangan bahwa jika terjadi
pertentangan ajaran Islam dengan kondisi zaman, maka perlu adanya
interpretasi baru atas ajaran Islam (baca: ijtihad baru). Pemikiran
keagamaan seperti ini, juga mengisyaratkan akan adanya “kemajuan” dalam
memahami Islam. Dengan kata lain, perlu adanya penafsiran-penafsiran
baru terhadap konsep-konsep ajaran Islam jikalau pada kenyatannya
berdampak negatif bagi umat Islam. Contoh yang dikemukakan al-Afghânî
di sini adalah persoalan qadha’ dan qadar yang diartikan umat Islam pada
saat itu sebagai paham fatalis. Tapi seharusnya persoalan qadha’ dan qadar
ini diartikan sebagai sikap untuk memupuk keberanian dan kesabaran.
Muhammad Abduh tampil dengan menggusung penggunaan akal
dalam memahami ajaran-ajaran Islam. Selain itu dari sikapnya yang
progresif juga tampak pada waktu memberikan penilaian terhadap orang
yang menolak hadis ahad, dengan beranggapan bahwa hal itu bukan
Islam Mesir
ASRAR MABRUR FAZA
101
termasuk bagian dari persoalan keimanan, sebagaimana yang dipahami
umat Islam saat itu. Sikap progresif terhadap hadis juga ditunjukkan oleh
Muhammad al-Ghazali, ketika sikapnya yang menolak hadis sahih yang
bertentangan dengan Alquran, dianggap sebagai sikap pengingkaran
terhadap hadis Nabi Saw.
Muhammad Sayyid Tantawi, juga selalu menampilkan pemahamanpemahaman terhadap agama yang kontroversial. Fenomena semua ini
membuktikan bahwa semakin “pesatnya” pemikiran-pemikiran keagamaan
yang dilakoni oleh para tokoh-tokoh agama di Mesir, sebagai gambaran
dari corak perkembangan Islam di Mesir.
Penutup
Secara umum perkembangan Islam di Mesir yang dilakukan oleh para
tokoh politik maupun keagamaan yang dianggap liberal, telah berhasil
dilakukan. Oleh karena itu, untuk bisa mengembangkan Islam di daerah
lain yang “kualitasnya” menyerupai (untuk tidak mengatakan sama) pesatnya
dengan perkembangan Islam di Mesir, perlu dilakukan oleh orang-orang
yang “berhaluan” liberal [ ]
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’ân al-Karîm
‘Abd al-Hâdî, Jamâl, (1999). Fath Mishr. t.t.: Dâr al-Wafâ’.
Adamec, Ludwig W, (2001). Historical Dictionary of Islam. Lanham, Md.:
Scarecrow Press.
al-’Âmirî, Muhammad Husnî Affandî, (1314 H). Nuzhah al-Bâb. Mesir: alHilâl.
Bosworth, C.E, (1983). Dinasti-Dinasti Islam. Bandung: Mizan.
al-Ghazali, Muhammad, (1998). Al-Sunnah al-Nabawiyah: Bayna Ahl al-Fiqh
wa Ahl al-Hadîts. Terj. Muhammad al-Baqir, Studi Kritis Atas Hadis:
Pemahaman Tekstual dan Kontekstual. Bandung: Mizan.
102 Ilmu Ushuluddin
Vol. 11, No. 1
Ibn al-Jawzî, Abû al-Farj ‘Abd al-Rahmân bin ‘Âlî bin Muhammad, (1987).
Manâqib ‘Umar bin al-Khaththâb. Cet. III; Beirût: Dâr al-Kutub al’Ilmiyah.
Juynball, G. H. A, (1999). The Authenticity of the Tradition Literature Discussions in Modern Egypt. Terj. Ilyas Hasan, Kontroversi Hadis di Mesir (18901960). Bandung: Mizan.
Mufrodi, Ali. 1997. Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. Jakarta: Logos.
al-Naysâbûrî, Abû al-Husayn Muslim bin al-Hajjâj bin Muslim al-Qusyayrî.
T.th. Al-Jâmi’ al-Shahîh. Juz VII. Beirût: Dâr al-Jayl.
Sewang, Ahmad M, (2006). Hubungan Antarumat Beragama di Masa Nabi
Muhammad Saw.: Bahasan Buku Sîrat Nabawiyah Ibn Hisyam. Makassar:
Universitas Islam Alauddin Makassar.
Tafsir, Ahmad, (T.th). “Pemikiran di Zaman Modern” dalam Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban, ed. Taufik Abdullah,
et.al., jilid IV, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.
Wehr, Hans, (1971). A Dictionary of Modern Written Arabic. edited by J Milton
Cowan. cet. III. London: Wiesbaden.
Download