Strategi pengembangan keunggulan kompetitif berbasis

advertisement
 1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penelitian-penelitian telah dilakukan untuk mengkaji pengaruh manajemen
lingkungan terhadap kinerja finansial yang merupakan ketertarikan yang alami.
Stanwick dan Stanwick (2000), Zhao (2006), Schneider (2008), Moneva dan
Ortas (2009), Bae (2009), Wingard dan Vorster (2001) memilih indikatorindikator finansial seperti ROR (Return on Revenue), ROA (Return on Asset),
OPR (Operating Revenue), ROE (Return on Equity), ROC (Return on Capital),
EVA (Economic Value Added), biaya hutang, penjualan, dan nilai saham. Pada
indikator lingkungan dan K3 (LK3), para peneliti ini memilih baik indikator
langsung lingkungan spesifik seperti konsentrasi polutan, beban pencemaran dan
indikator lingkungan tidak langsung yang bersifat umum seperti tingkat
keterbukaan lingkungan, tanggung jawab lingkungan, CSR dan efektivitas
penerapan Sistem Manajemen Lingkungan. Hasil yang diperoleh bervariasi antara
satu penelitian dengan penelitian lain. Beberapa penelitian menemukan pengaruh
positif kinerja lingkungan terhadap kinerja finansial (Stanwick dan Stanwick
2000, Schneider 2008), sebaliknya peneliti lain mendapatkan hasil kinerja
lingkungan menurunkan indikator ekonomi organisasi (Zhao 2006) seperti
anggapan banyak pihak bahwa mengelola lingkungan dan K3 hanya memberikan
beban pada perusahaan. Namun, diantaranya penelitian juga membuktikan hasil
yang netral atau tidak adanya pengaruh antara kedua variabel. Dengan kata lain,
kinerja lingkungan dan K3 belum pasti mengurangi atau meningkatkan kinerja
ekonomi perusahaan.
Kelompok peneliti lain mengamati pengaruh indikator lingkungan dan K3
tidak langsung sebagai bagian dari konstruk besar CSR dimana elemen LK3
hanya merupakan bagian yang mengkontribusi pengaruh keseluruhan. Velde et al.
(2005), Moneva dan Ortas (2009), Mc Peak dan Dai (2011) membuktikan bahwa
CSR atau isu lingkungan dan K3 yang terdapat didalamnya memberikan manfaat
ekonomi bagi perusahaan. Penggunaan variabel tidak langsung belum
menjelaskan pengaruh spesifik lingkungan atau K3 karena aspek ini hanya
merupakan bagian dari sekumpulan faktor-faktor yang disebut sebagai CSR.
Para peneliti juga memberikan perhatian pada faktor-faktor yang dapat
memberikan kinerja yang berkesinambungan (sustainable performance) dalam
kaitannya dengan keunggulan kompetitif. Penelitian dan tulisan tentang nilai
pemegang saham (shareholder value) dan nilai pemangku kepentingan
(stakeholder value) dibuat oleh Laszlo et al (2005), Loebakka dan Lewis (2009),
Schaltegger dan Figge (2000), York (2009), Reinhardt (2000), Porter dan van der
Linde (1995), Epstein dan Young (1999), Funk (2003), Hoffman (2000) dan
Srivastava et al (1998). Para peneliti menegaskan pengembangan keunggulan
kompetitif yang merupakan kinerja intangible perusahaan dicapai melalui
interaksi perusahaan dengan para pemangku kepentingan untuk meningkatkan
nilai pemegang saham (Laszlo et al 2005, Schaltegger dan Figge 2000). Reinhardt
2 (2000) menegaskan bahwa tujuan didirikannya perusahaan untuk menciptakan,
mengendalikan dan mendistribusikan ulang nilai (value).
Oleh karena itu, kebijakan lingkungan dan K3 harus cocok dengan strategi
peningkatan nilai atau mengurangi faktor resiko. Pendekatan pragmatis dengan
mendorong penerapan lingkungan dan peningkatan nilai memberikan kesempatan
perusahaan untuk meninggalkan pesaing dan peraturan pemerintah (York 2009).
Menurut Loebakka dan Lewis (2009), Pemangku kepentingan perusahaan
adalah setiap orang yang dapat mempengaruhi keluaran perusahaan atau setiap
orang yang dapat dipengaruhi oleh aktivitas perusahaan. Kedua peneliti mengutip
Freeman et al (2004) yang mengatakan bahwa teori pemangku kepentingan
merupakan penghubung utama antara praktek bisnis, kinerja dan etika. Teori
Pemangku kepentingan menyebutkan bahwa pihak-pihak yang harus
dipertimbangkan oleh perusahaan selain pemegang saham, yaitu karyawan,
pelanggan, pemasok, investor, komunitas, pemerintah, kelompok politik, asosiasi
perdagangan, dan serikat pekerja (Hoffman 2000). Dalam kaitan ini, Epstein dan
Young (1999) menyebutkan bahwa perusahaan yang berkesinambungan
(sustainable business) adalah perusahaan yang tumbuh dan memiliki pendapatan
finansial tinggi melalui faktor ekonomi, sosial dan kebutuhan para pemangku
kepentingan termasuk karyawan, pelanggan, masyarakat, penegak hukum, dan
pihak-pihak terkait lainnya. Tiga dimensi utama pembangunan berkelanjutan
adalah ekonomi, sosial dan lingkungan yang sering disebut tiga pondasi utama.
Epstein dan Young (1999) meringkas bahwa: 1) Eksekutif puncak menekankan
kewajiban etis dan akuntabilitas termasuk tanggung jawab sosial, transparansi dan
pengikatan konstruktif dengan pemangku kepentingan luar, 2) melakukan inisiatif
pemenuhan melebihi ketentuan peraturan yang berlaku, 3) komunitas finansial
yang mulai mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai kinerja finansial
menyeluruh.
Srivastava et al. (1998) ikut mengembangkan konsep pemasaran
berdasarkan nilai pemegang saham (Shareholder value) pada sektor lingkungan
yang mendorong pengamatan terhadap indikator intangible. Seperti disampaikan
oleh Fernandez (2002) bahwa ukuran-ukuran finansial berorientasi masa lalu
sedangkan besaran non finansial memberikan prediksi kinerja perusahaan di masa
depan. Penelitian-penelitian mulai melihat manfaat intangible dari masalahmasalah lingkungan dan K3 sebagai sarana untuk mencapai keunggulan
kompetitif. Seperti didefinisikan oleh CIMA (2004), pemasaran berbasis nilai
adalah suatu proses manajemen yang menghubungkan secara efektif strategi,
pengukuran dan proses operasional yang berakhir pada penciptaan nilai pemegang
saham. Han (2000) mengamati manfaat-manfaat ini sebagai bagian dari pengaruh
aspek manajemen mutu dan TQM yang lebih dulu berkembang daripada aspek
lingkungan dan K3. Terkait dengan ini, Young (2000) menemukan bahwa
kepuasan pelanggan terhadap kinerja LK3 memberikan keuntungan finansial
dalam jangka panjang. Dalam upaya melihat pengaruh aspek lingkungan dan K3,
GEMI (2004) dan Funk (2003) membuat model tentang peningkatan aset
intangible dan aset tangible yang berasal dari manajemen internal yang baik
termasuk dalam memenuhi tuntutan aspek keselamatan, kesehatan dan
lingkungan. Croft Kan (2005) mengusulkan istilah legitimasi, reputasi, dan CSR
3 dalam konstruk keunggulan kompetitif ini yang ditambahkan oleh Peters (2007)
berupa kepuasan pelanggan.
Di dalam kedua fokus penelitian tersebut, para peneliti lain tertarik
mengkaji strategi dan pilihan strategi pimpinan organisasi dalam menanggapi
tuntutan eksternal dan internal dengan sumber daya internal yang dimiliki. Jauh
sebelum penerapan SML dan SMK3 diminati oleh perusahaan, Prakash (1997)
meneliti alasan korporat yang menunjukkan perilaku mencintai lingkungan dan
menerapkan beyond compliance serta menemukan bahwa penyebabnya terletak
pada preferensi pemimpinnya. Penelitian-penelitian yang mengikuti fokus ini
antara lain Lee (2003), Wallace (2004) dan Moon (2005). Lorton (2006) dan
Loebakka (2008) mengamati strategi dari sudut pandang Ansoff dan Mc Donnel
(1990) yang memfokuskan kajian pada interelasi antara agresitivitas, tanggapan
dan postur perusahaan ketika mengalami turbulensi yang disebabkan isu
lingkungan dan K3. Kedua peneliti mengamati karakter proaktif dan reaktif yang
menjadi bentuk tanggapan organisasi. Tema pilihan pendekatan strategi ini
banyak dilakukan oleh para peneliti sesudahnya seperti Mitra et al (2008), Hong
(2009), Fraj-Andres (2009), Menguc (2010), Clemens dan Bakstran (2010), Betts
(2011) dan Kim (2012).
Dengan latar belakang uraian di atas, penelitian yang mengkaji strategi
perusahaan untuk meningkatkan kinerja LK3 dalam upaya mencapai keunggulan
kompetitif tinggi dan keuntungan ekonomi tinggi akan melengkapi penelitianpenelitian sebelumnya. Penelitian ini mengusulkan suatu model penerapan
manajemen lingkungan dan K3 yang mempengaruhi pencapaian kinerja LK3
perusahaan berdasarkan strategi yang dipilih. Selain itu, penelitian ini
menggabungkan aspek lingkungan dan K3 yang belum menjadi fokus oleh
penelitian-penelitian sebelumnya.
Masalah Manajemen
Kecelakaan kerja dan pencemaran lingkungan merupakan resiko yang harus
dihadapi oleh perusahaan. Data menunjukkan jumlah kecelakaan kerja meningkat
pada tahun 2011 sebesar 99.491 kasus atau rata-rata 414 kasus perhari
dibandingkan tahun 2010 sebesar 86.693 dan tahun 2009 sebesar 96.314 kasus.
Rincian kecelakaan kerja tahun 2010 adalah 1965 meninggal dunia, 31 cacat total,
3662 cacat fungsi, 2313 cacat sebagian dan 78.722 berhasil sembuh total (Pusat
Data Tenaga Kerja 2013). Sedangkan kasus pencemaran lingkungan mencapai
rata-rata 70 kasus setiap tahun dan diperkirakan meningkat dari tahun ke tahun
hingga 50 sampai 70 persen dibandingkan tahun 2012 (www.menlh.go.id 2012).
Dalam skala global terjadi berbagai macam kecelakaan besar yang langsung
menyebabkan kerusakan lingkungan maupun korban jiwa seperti di Bhopal
(1984), Chernobyl (1987), Exxon Valdez (1990), Piper Alpha (1989), dan British
Petroleum di Teluk Meksiko (2009). Dalam jangka panjang, kecelakaankecelakaan tersebut menyebabkan dampak negatif pada kesehatan masyarakat
luas dan karyawan perusahaan itu sendiri. Kasus Bhopal dan Chernobyl
menunjukkan bahwa dampak kesehatan pada penduduk sekitar hingga hari ini
4 masih menjadi beban yang harus ditanggung semua pihak. Selain itu, terjadinya
kasus-kasus kecelakaan besar tersebut menunjukkan fakta bahwa manajemen
yang baik melalui standarisasi aktivitas, penerapan prosedur dengan konsisten,
kepedulian dan kompetensi karyawan serta komitmen manajemen diperlukan
supaya masalah yang sama tidak terjadi.
Beberapa kasus tersebut harus diselesaikan di pengadilan dengan belasan
kasus berakhir pada pemberian hukuman pada perusahaan dalam bentuk pidana
dan penalti perdata. Ini belum termasuk penyelesaian melalui mediasi atau
penyelesaian di luar pengadilan dimana perusahaan menyetujui untuk melakukan
perbaikan yang ditentukan pihak penegak peraturan terhadap media lingkungan
yang tercemar. Sebagai contoh, perusahaan tambang emas dalam kasus Buyat
telah menyetujui pembayaran dana sebesar US$ 350 juta diluar dana tambahan
jika terbukti adanya pencemaran lingkungan. PT Adei Plantation Industri yang
terlibat kebakaran hutan di Pelalawan, Riau membayar ganti rugi Rp 9.6 miliar,
PT Palur Raya (pabrik kimia) di Surakarta membayar ganti rugi Rp 1.1 miliar dan
MT Natuna Sea (pelayaran) yang terlibat pencemaran minyak di laut membayar
ganti rugi US$ 2.6 juta (www.menlh.go.id, 2012). Kejadian ini merupakan
beberapa contoh dari daftar panjang penyelesaian masalah pencemaran dan
kecelakaan kerja. Kerugian lain yang ditanggung perusahaan adalah penghentian
operasi sementara atau permanen. Ini berarti hilangnya kesempatan bisnis dan
kerusakan citra dan reputasi perusahaan.
Dalam perannya melindungi lingkungan dan masyarakat, pemerintah di
berbagai negara terus menerus menerbitkan peraturan-peraturan baru yang
semakin ketat dan meningkatkan penegakan hukum terhadap pelanggaran atau
kelalaian yang dilakukan perusahaan (Yusof 2008). Undang-undang Pengelolaan
Lingkungan Hidup telah bermetamorfosis dari konsep pengawasan seperti
terdapat di dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1984 dan Undang-undang
Nomor 23 Tahun 1992 menjadi konsep pencegahan dan pembangunan
berkelanjutan dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009. Sejalan dengan
perubahan konsep ini dan mengikuti perkembangan pembangunan, Pemerintah
Indonesia telah menerbitkan 50 buah lebih peraturan lingkungan baru dan 15 buah
menggantikan peraturan lama. Dalam sektor Kecelakaan dan kesehatan Kerja
(K3), perusahaan harus mengikuti 5 Undang-undang, 50 peraturan pemerintah
mengenai keselamatan dan 12 mengenai kesehatan. Hal ini menunjukkan
dinamika perubahan dan pertumbuhan peraturan yang terjadi dan akan terus
berlangsung di masa depan dimana organisasi harus mampu mengikuti dan
mematuhinya. Peraturan tentang lingkungan dan K3 berkembang bersama dan
saling melengkapi yang didorong oleh kenyataan bahwa sumber dan resiko dapat
terjadi dalam suatu peristiwa kecelakaan yang sama seperti disebutkan di atas.
Kesamaan sumber resiko, peristiwa kecelakaan dan pengendaliannya mendorong
perusahaan untuk melihat aspek lingkungan dan K3 sebagai satu kesatuan.
Namun, dalam kenyataannya di Indonesia belum dapat dipastikan integrasi kedua
aspek teknis tersebut telah diterapkan dalam perencanaan dan penerapan
pengelolaan lingkungan dan K3.
Dinamika yang sama juga berlangsung dalam tataran internasional ketika
berbagai badan dunia, kelompok negara regional dan/atau usahawan-usahawan
5 menetapkan berbagai jenis kesepakatan lingkungan dan keselamatan kerja:
Protokol Montreal untuk perlindungan lapisan ozon, Protokol Kyoto untuk
perubahan iklim, Konvensi Basel terkait pengangkutan limbah bahan berbahaya
dan beracun lintas negara, dan Keputusan International Labour Organization
(ILO) Nomor 178 tentang Chemical Management. Standar Sistem Manajemen
Lingkungan International Standardization Organization (ISO) 14001 dan Sistem
Manajemen K3 Occupational Health & Safety Assessment Series (OHSAS) 18001
merupakan contoh kesepakatan yang diterima dengan sangat baik oleh dunia
internasional dan menjadi pendorong signifikan bagi upaya-upaya penerapan
perlindungan lingkungan dan proteksi keselamatan dan kesehatan kerja karyawan.
Standar ISO 14001 diterbitkan pertama kali pada tahun 1996 dan OHSAS 18001
diterbitkan pertama kali pada tahun 1998. Dalam rantai pasok produk, pemasok
harus mengikuti ketentuan Contractor Safety Management Sistem (CSMS) yang
berisi proses seleksi dan evaluasi pemasok berdasarkan kriteria lingkungan dan
keselamatan kerja. Perusahaan harus mampu mengikuti ketentuan-ketentuan yang
diterima oleh pasar seperti standar internasonal atau ketentuan-ketentuan spesifik
diwajibkan oleh pembelinya. Dalam perspektif perusahaan, terlihat bahwa
perusahaan melakukan manajemen resiko yang menggabungkan antara aspek
lingkungan (SML) dan aspek K3 (SMK3).
Standardisasi
Masyarakat internasional mendorong diterbitkannya standar-standar
internasional baik pada spesifikasi produk dan proses manajemen suatu organisasi
untuk memastikan pemenuhan spesifikasi teknis dan konsistensi pemenuhan
spesifikasi serta kinerja perusahaan. Standar internasional dikembangkan oleh
badan-badan standardisasi internasional (British Standard Institution,
International Standardization Organization, International Labour Organization,
Occupational Safety Health Association) untuk digunakan diseluruh dunia.
Adopsi standar internasional oleh suatu negara dapat menghasilkan standar
nasional yang setara dan secara substansial mirip dengan standar internasional
yang dijadikan sumber.
Beberapa standar ISO yang sangat dikenal dan diterapkan secara luas adalah
standar sistem manajemen yang memberikan suatu model untuk diikuti ketika
menyusun dan mengoperasikan suatu sistem manajemen. Semua standar ISO
merupakan hasil dari konsensus para ahli di seluruh dunia. Oleh karena itu,
melalui penerapan standar sistem manajemen, organisasi memperoleh manfaat
dari pengalaman manajemen global dan praktek-praktek terbaik. Standar-standar
ini dapat diterapkan pada organisasi, besar atau kecil, apapun jenis produk atau
jasa serta sektor kegiatannya. Sistem manajemen yang efektif memberikan
manfaat-manfaat meliputi: penggunaan sumber daya yang lebih efektif,
manajemen resiko lebih baik, peningkatan kepuasan pelanggan karena konsistensi
dalam memberikan jasa dan produk yang dijanjikan. Tabel 1 menunjukkan 5 jenis
standar sistem manajemen terkait jumlah perusahaan tersertifikasi dan jumlah
negara yang mengadopsinya.
6 Standarisasi dalam manajemen lingkungan dan K3 mencapai jumlah
pencapaian terbaik melalui sertifikasi ISO 14001 yang mencapai 250.000
perusahaan di 150 negara. Jumlah ini masih bertambah karena perusahaan yang
mengajukan sertifikasi bertambah termasuk pada sektor-sektor industri lainnya.
Banyak perusahaan menerapkan CSR berdasarkan kerangka ISO 26001 tetapi
karena standar tersebut ditetapkan sebagai pedoman atau bukan sebagai standar
sertifikasi sistem manajemen maka tidak ada kebutuhan perusahaan untuk
melakukan sertifikasi penerapan ISO 26001.
Tabel 1 Standar Internasional pada Sistem Manajemen
No
Standar sistem
manajemen
Jumlah
perusahaan
tersertifikasi
> 1.000.000
Jumlah
negara
Keterangan
1
ISO 9001 Quality
Management System
170
Terbitan 1 tahun 1987
Terbitan 2 tahun 1994
Terbitan 3 tahun 2000
Terbitan 4 tahun 2008
2
ISO 14001
Environmental
Management System
250.000
150
Terbitan 1 tahun 1996
Terbitan 2 tahun 2004
3
OHSAS 18001
Occupational Health
Safety Assessment
Series
55.000
Tidak
Terbitan 1 tahun 1999
ada
Terbitan 2 tahun 2007
informasi
4
ISO 26001
Corporate Social
Responsibity
0
0
Terbitan 1 tahun 2011
5
ISO 22001 Food
safety management
system
15.000
100
Terbitan 1 tahun 2005
Terbitan 2 tahun 2013
Sumber: www.iso.org (2014)
Good Corporate Governance
Para pemangku kepentingan lain seperti masyarakat, karyawan, investor,
perbankan, asuransi, lembaga swadaya masyarakat memberikan perhatian yang
sama terhadap praktek lingkungan dan K3 perusahaan, tetapi dengan cara dan
dampak yang berbeda bagi perusahaan. Masyarakat yang tinggal di sekitar
kegiatan menuntut untuk terbebas dari gangguan bagi sumber daya dan
kenyamanan kehidupannya yang disebabkan oleh pencemaran (air, udara, tanah,
flora, fauna, kebisingan, kebauan, getaran) dan resiko keselamatan jiwa.
7 Karyawan melalui mekanisme hubungan industrial menuntut tempat kerja yang
aman dan sehat. Pemilik modal, bank dan asuransi memasukkan kinerja
lingkungan dan K3 (LK3) dalam evaluasi finansial dan pengambilan
keputusannya.
Terkait dengan hal ini, pelaksanaan Good Corporate Governance (GCG)
sangat diperlukan untuk membangun kepercayaan masyarakat dan dunia
internasional. Menurut OECD, Good Corporate Governance adalah sistem yang
dipergunakan untuk mengarahkan dan mengendalikan kegiatan bisnis perusahaan.
Corporate governance mengatur pembagian tugas, hak dan kewajiban pihakpihak yang berkepentingan terhadap kehidupan perusahaan, termasuk pemegang
saham, dewan pengurus, para manajer, dan semua anggota stakeholders nonpemegang saham. Dengan pembagian tugas, hak, dan kewajiban serta ketentuan
dan prosedur pengambilan keputusan penting, maka perusahaan mempunyai
pegangan cara menentukan sasaran usaha (corporate objectives) dan strategi
untuk mencapai sasaran tersebut. Tabel 2 menunjukkan jenis dan jumlah
perusahaan yang menerapkan GCG pada 20 sektor industri dengan jumlah total 58
buah.
Tabel 2 Perusahaan yang menerapkan Good Corporate Governance
No
Jenis Perusahaan
Jumlah perusahaan
1 Perbankan
20
2 Tambang
12
3 Konstruksi
3
4 Manufaktur
4
5 Elektronik
2
6 Transportasi
3
7 Farmasi
3
8 Telekomunikasi
3
9 Media informasi
3
10 Energi
1
11 Jasa
3
12 Retail
1
Sumber: www.kemenperin.go.id (2014)
GCG menggunakan lima prinsip yang dijadikan pedoman bagi para pelaku
bisnis yaitu transparency, accountability, responsibility, independency dan
fairness yang diakronimkan menjadi TARIF. Ada dua prinsip yang terkait dengan
kebutuhan perusahaan dalam mengelola isu LK3-nya untuk menanggapi tuntutan
pihak-pihak eksternal, yaitu prinsip responsibility dan fairness. Responsibility
(tanggungjawab) adalah kepatuhan perusahaan terhadap peraturan yang berlaku
meliputi masalah pajak, hubungan industrial, kesehatan dan keselamatan kerja,
perlindungan lingkungan hidup an memelihara lingkungan bisnis yang konusif
bersama masyarakat. Perusahaan diharapkan mempunyai peran untuk
bertanggung jawab kepada shareholder dan stakeholders lainnya. Fairness
(kesetaraan) adalah perlakuan yang adil dalam memenuhi hak stakeholder sesuai
dengan peraturan perundangan yang berlaku termasuk peraturan tentang
8 lingkungan dan K3. Kesetaraan dapat menjadi faktor pendorong yang dapat
memonitor an memberikan jaminan perlakuan yang adil di antara beragam
kepentingan dalam perusahaan.
Realitas lingkungan eksternal yang dinamis, kompleks dan penuh tuntutan
seperti disebutkan di atas seharusnya mendorong perusahaan untuk menempatkan
masalah-masalah lingkungan dan keselamatan kerja sebagai bagian dari strategi
perusahaan. Perusahaan kemudian menerapkan Sistem Manajemen Lingkungan
ISO 14001, PROPER (Program Peringkat Kinerja Industri), Sistem Manajemen
K3, OHSAS 18001, dan CSMS, baik sistem tersebut berdiri sendiri atau
terintegrasi satu dengan lainnya. Namun demikian, pengelolaan LK3 berbagai
perusahaan di Indonesia umumnya bersifat reaktif dan bukan proaktif terhadap
tuntutan para pemangku kepentingan. Benford Jr (2008) menulis bahwa
perusahaan secara alami bersifat reaktif terhadap kebutuhan untuk menerapkan
manajemen keselamatan dan Farooqi (2011) merujuk pada perusahaan konstruksi
menyebutkan bahwa selalu ada konflik antara keselamatan dan produksi serta
biaya dimana konflik ini selalu dimenangkan oleh produksi karena memberikan
keluaran yang pasti, cepat dan manfaat yang jelas.
Menguc et al. (2010) membuktikan bahwa strategi proaktif dipengaruhi oleh
intensitas peraturan pemerintah dan sensitivitas pelanggan terhadap masalah
lingkungan. Berry dan Rondinelly (1998) menyebutkan sebelumnya bahwa
manajemen lingkungan proaktif didorong oleh pemerintah, pelanggan, karyawan
dan pesaing. Tetapi, perusahaan-perusahaan di Indonesia melihat penerapan
manajemen lingkungan dan K3 semata-mata sebagai kewajiban dan menimbulkan
biaya tambahan yang tidak terhindarkan. Jika tidak ada ketentuan dalam peraturan
tersebut, maka tidak ada kebutuhan bagi perusahaan untuk mengelola resiko LK3.
Oleh karena itu, dalam perspektif internal, strategi reaktif atau proaktif juga
tergantung pada besaran komitmen manajemen puncak terhadap masalah LK3.
Seperti yang ditemukan oleh Croft Kan (2006) bahwa manajemen yang tidak
melihat manfaat di luar keuntungan finansial tidak memiliki keinginan untuk
memilih tanggapan proaktif yang terwujud dengan mengelola resiko LK3 di atas
ketentuan minimal peraturan pemerintah. Manajemen proaktif mampu melihat
manfaat intangible dari penerapan manajemen LK3.
Manajemen LK3
Manajemen lingkungan dan K3 dirancang dan diterapkan dengan mengikuti
panduan penerapan pada AMDAL (ANDAL, RKL/RPL, UKL/UPL), PROPER,
SMK3, SML ISO 14001 dan OHSAS 18001. Jumlah perusahaan di Indonesia
yang memiliki resiko lingkungan dan keselamatan kerja mencapai lebih dari
15000 (www.kemenperin.go.id, 2014) tetapi hanya 978 perusahaan pada tahun
2011 dan 1317 perusahaan pada tahun 2012 yang mengikuti PROPER (Laporan
PROPER Periode 2011-2012). Jumlah perusahaan yang memiliki dokumen
AMDAL yang berhasil dikumpulkan adalah 1354 buah tetapi jumlah sebenarnya
lebih banyak karena data tersebut tersebar pada BLH propinsi, BLH Kabupaten
dan lembaga pemerintah lain di seluruh Indonesia. Sedangkan jumlah perusahaan
9 yang telah memperoleh sertifikat ISO 14001 dan atau OHSAS 18001 hanya
sekitar 514 buah. Hal ini berarti bahwa jumlah perusahaan yang menerapkan
sistem manajemen ini masih kecil dibandingkan jumlah keseluruhan perusahaan
yang menimbulkan resiko lingkungan dan K3.
Tabel 3 menggambarkan jenis dan jumlah industri yang beroperasi dalam 35
sektor, menerapkan AMDAL, terlibat dalam PROPER, memiliki sertifikasi ISO
14001 atau OHSAS 18001 serta terdaftar dalam Bursa Efek Jakarta.
Pengelompokkan sektor ini berdasarkan UK Standard Industrial Classification of
Economic Activities Code (2003) yang dapat digunakan sebagai panduan untuk
menentukan besaran resiko LK3 dan rujukan oleh badan sertifikasi sistem
manajemen. Misalnya, industri minyak dan gas (EAC 2) mengoperasikan proses
khas dan memiliki potensi resiko tumpahan minyak dalam skala besar yang dapat
menyebabkan kondisi darurat pada tingkat nasional, sedangkan industri tekstil
(EAC 4) mengoperasikan proses produksi manufaktur dan menimbulkan potensi
resiko dalam lingkup terbatas di sekitar perusahaan. Kondisi lingkungan eksternal
dan internal pada sektor industri mendorong tanggapan yang berbeda-beda.
Misalnya, jumlah dan intensitas resiko yang ditemui karyawan perusahaan setiap
hari pada sektor minyak dan gas yang lebih tinggi daripada sektor industri lain
telah mendorong implementasi manajemen lingkungan dan K3 yang lebih ketat.
Dalam sektor lingkungan, semua perusahaan mengelola dampak lingkungan
berdasarkan pendekatan AMDAL (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan)
karena perusahaan harus memiliki dokumen ini supaya dapat memperoleh izin
operasi. Manajemen lingkungan dengan pendekatan AMDAL terdiri dari tiga
komponen, yaitu Analisa dampak lingkungan (ANDAL) yang merupakan analisa
resiko, Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL atau UKL) yang berfungsi
sebagai praktek pengendalian operasi di lapangan, dan Rencana Pemantauan
Lingkungan (RPL atau UPL) yang merupakan kegiatan memeriksa dan memantau
besaran dampak perusahaan. Pendekatan ini mengabaikan elemen-elemen lain
dalam organisasi seperti SDM, produksi, pemeliharaan dan lain-lain karena
memfokuskan pada area akibat dari kegiatan perusahaan, bukan pada area
penyebab dampak lingkungan pada proses produksinya. Sebagian kecil dari
perusahaan tersebut mengikuti PROPER yang meminta perusahaan memenuhi
baku mutu dan persyaratan manajemen yang ditetapkan oleh KLH.
Implementasi manajemen lingkungan perusahaan terbagi menjadi dua, yaitu
pertama, perusahaan yang bertahan pada tingkat kepatuhan semata sehingga
tanggapan perusahaan berupa pemenuhan AMDAL dan ditambahkan peraturanperaturan baru yang diterbitkan pemerintah setelah perusahaan menerima
persetujuan AMDAL. Kedua, perusahaan yang mencari hasil di atas kepatuhan
(beyond compliance) sehingga menerapkan praktek manajemen lingkungan pada
area sumber penyebab resiko dengan 4R, memenuhi tuntutan pihak eksternal
diluar persyaratan hukum dengan CSR dan penghematan energi. Oleh karena itu,
implementasi manajemen lingkungan perusahaan beragam dari di bawah minimal
bagi perusahaan yang menerapkan lebih longgar dari persyaratan-persyaratan
dalam dokumen lingkungan, tepat sesuai dengan dokumen lingkungan, serta
melebihi kepatuhan terhadap dokumen lingkungan dan peraturan lingkungan yang
diterbitkan kemudian.
10 Fenomena yang sedikit berbeda ditemui pada implementasi manajemen K3.
Pada awalnya, implementasi didorong oleh standar teknis atau pedoman
penerapan spesifik pada sektor industri seperti NOSA pada sektor pertambangan,
ISRS pada sektor minyak dan gas, BSC pada petrokimia. Sektor-sektor industri
lain tidak memiliki pedoman penerapan yang bisa digunakan sebagai acuan
bekerja dengan aman. Sejalan dengan hal ini, Pemerintah Indonesia menerbitkan
peraturan-peraturan yang mewajibkan perusahaan untuk memperoleh izin-izin
operasional unit-unit operasinya (bejana tekan, alat angkat, alat angkut,
kelistrikan), membentuk organisasi K3 dan pelaporan Kinerja K3 secara periodik
pada pemerintah. Bentuk penerapan manajemen K3 ini juga bersifat parsial pada
aspek peralatan dan sebagian kecil aspek personil dan belum memasukkan
elemen-elemen lain dalam perusahaan. Kebutuhan terhadap penerapan
manajemen K3 yang lebih komprehensif mendorong ILO untuk menerbitkan
Standar ILO Guide 2001 yang menjadi acuan negara-negara dalam menetapkan
standar atau pedoman nasional masing-masing. Pemerintah Indonesia
menerbitkan PERMENAKER No 05/MEN/1996 dan Peraturan Pemerintah
Nomor 50/2012 tentang Sistem Manajemen K3 (SMK3).
Implementasi MLK3 yang merujuk pada Standar SML ISO 14001: 2004
dan OHSAS 18001: 2007 memiliki elemen-elemen yang lebih komprehensif
karena mencakup semua fungsi dalam organisasi. Elemen analisa resiko yang
menjadi penciri AMDAL dicakup pada tahapan perencanaan dengan mengaitkan
pada seluruh fungsi-fungsi lain dalam sistem atau organisasi. Pada bagian ini,
elemen sasaran fungsi, dokumentasi, tindakan perbaikan dan audit ditambahkan
yang menjadi kekuatan dan efektivitas dari sistem manajemen. Sistem manajemen
ini memasukkan elemen manusia yang umumnya dikelola oleh fungsi departemen
sumber daya manusia. Dengan kata lain, pendekatan sistem manajemen
memberikan mendayagunakan semua elemen organisasi untuk mencapai kinerja
LK3 yang tinggi.
Pendekatan Perusahaan
Pengelolaan resiko dianggap menambahkan biaya operasi yang dapat
mengurangi keuntungan usaha dan belum pasti memberikan manfaat lain seperti
peningkatan keunggulan kompetitif perusahaan. Penelitian Zhao (2006)
mendukung anggapan ini karena hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan
Sistem Manajemen Lingkungan tidak mempengaruhi pendapatan operasi tetapi
menurunkan return on revenue dan return on asset. Pada sisi yang lain, banyak
perusahaan membutuhkan untuk memasukkan isu lingkungan ke dalam isu bisnis
tetapi sedikit atau tidak ada informasi mengenai hal ini (Mitra et al 2008)
Namun demikian, beberapa perusahaan sudah mulai menerapkan strategi
lingkungan hijau dan pengutamaan keselamatan dalam proses bisnisnya.
Perusahaan-perusahaan tersebut mengintegrasikan aspek lingkungan dan K3
dalam proses utama dan membuktikan proksi bahwa pengelolaan resiko yang baik
sama dengan manajemen bisnis yang baik. Perusahaan berkategori hijau atau
emas menurut skema PROPER adalah perusahaan yang dikenal sebagai
11 perusahaan papan atas yang mampu menunjukkan kinerja di atas persyaratan
minimal peraturan (beyond compliance). Pencapaian beyond compliance
membutuhkan komitmen manajemen puncak yang diwujudkan dalam prosesproses pengendalian resiko dan pengelolaan sumber daya manusia yang baik.
Farooqi (2011) menyebut sebagai total safety management. Pengelolaan resiko
dilakukan dengan menerapkan pendekatan proaktif melalui ‘reduksi’ pada sumber
(eliminasi, substitusi, optimasi proses), 3R (reuse, recycle, dan recovery), dan
engineering.
Tabel 3 Sektor Industri dan Bentuk Manajemen Lingkungan dan K3
EAC
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
Sektor
Pertanian,
Kehutanan
Pertambangan/
Minyak & Gas
Makanan
Tekstil
Kulit dan
produk kulit
Kayu dan
produk kayu
Pulp dan
kertas
Penerbitan
Percetakan
Pengolahan
minyak
Nuklir
Kimia dan
produk kimia
Farmasi
Karet dan
produk karet
Mineral non
logam
Beton dan
semen
Logam dasar
Permesinan
dan peralatan
Listrik,
elektronik,
optik
Bangunan dan
kapal
Pesawat
terbang
Kendaraan dan
alat transpor
Manufaktur
yang belum
Jumlah
Perusahaan
Manajemen LK3
AMDAL
PROPER
SMK3
(81)
233
146
356
236
253
2746
202
Jumlah
BEJ
7
SML dan
atau
OHSAS
8
9
52
4
35
12
180
53
3
131
58
6
21
0
0
64
19
2
6
7
0
1721
12
7
0
4
0
60
30
30
9
13
6
0
0
313
0
3
19
0
0
142
0
0
3
0
0
32
0
0
6
0
314
0
78
0
92
0
32
0
123
0
14
19
177
52
49
6
41
4
0
9
19
7
1
0
21
0
0
0
0
289
25
16
3
10
4
1156
48
50
4
40
21
4
12
55
8
11
2
47
26
17
11
46
3
100
6
0
0
0
0
0
2
0
0
0
0
100
7
0
0
17
0
7
3
3
1
4
0
12 Tabel 3 Sektor Industri dan Bentuk Manajemen Lingkungan dan K3
EAC
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
Sektor
disebut
ditempat lain
Daur ulang
Pasokan listrik
Gas
Pasokan air
Kontraktor
Semua jenis
manufaktur
lain, distribusi
Hotel
Transpor,
penyimpanan,
telekomunikasi
Finansial
Komputer
Jasa
engineering
Jasa-jasa lain
Jumlah
Perusahaan
Manajemen LK3
Jumlah
BEJ
AMDAL
PROPER
SMK3
SML dan
atau
OHSAS
0
349
0
599
260
22
67
3
0
49
0
55
0
0
0
0
9
0
0
10
0
1
0
0
3
0
0
0
2
0
531
36
0
0
5
0
0
29
23
0
0
0
0
0
0
12
0
0
0
0
471
1
0
3
0
0
0
0
0
0
0
0
2
0
0
0
15647
15728
58
1354
115
978
0
121
8
514
0
90
Sumber: Laporan Hasil PROPER (2011)
Perusahaan-perusahaan pada saat ini juga mulai mengintegrasikan
manajemen lingkungan dan manajemen K3 disebabkan oleh kesamaan konsep,
unsur-unsur dan sistematika manajemennya yang mendasarkan pada PDCA (Plan
Do Check Act). Kesamaan ini mencakup kesamaan dalam sumber dan sifat resiko,
personil yang menangani dan pendekatan manajemen berdasarkan resiko.
Kebutuhan integrasi aspek lingkungan dan K3 juga didorong oleh penerbitan
Sistem Manajemen K3 menurut OHSAS 18001 yang mengikuti langsung
kerangka dan isi Sistem Manajemen Lingkungan ISO 14001.
Pilihan strategi lingkungan dan K3 serta pilihan integrasi keduanya
diharapkan dapat meningkatkan keunggulan kompetitif perusahaan dengan
terpenuhinya tuntutan para pemangku kepentingan. Selain itu, perusahaan ingin
mendapatkan manfaat finansial dengan berkurangnya timbulan limbah dan insiden
kecelakaan kerja. Fenomena ini perlu dikaji lebih jauh untuk melihat seberapa
jauh perusahaan-perusahaan tersebut menempatkan manajemen resikonya sebagai
bagian dari strategi bisnisnya. Pendekatan proaktif dengan menempatkan aspek
LK3 dalam proses bisnis dan strategi utama mungkin meningkatkan kepuasan
pelanggan, penguatan reputasi dan citra, jaminan keberlangsungan operasi,
pengurangan biaya operasi dan peningkatan penjualan.
Untuk Selengkapnya Tersedia di Perpustakaan MB-IPB
Download