2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumput Laut Rumput laut secara biologi termasuk salah satu anggota alga yang merupakan tumbuhan berklorofil. Rumput laut terdiri dari satu atau banyak sel, berbentuk koloni, hidupnya bersifat bentik di daerah perairan yang dangkal, berpasir, berlumpur atau berpasir dan berlumpur, daerah pasut, jernih dan biasanya menempel pada karang mati baik terbentuk secara alamiah atau buatan. Alga mempunyai bentuk bermacam-macam, seperti benang atau tumbuhan tinggi. Ciri utamanya adalah tidak mempunyai akar, batang, dan daun yang dinding selnya dilapisi lendir. Alga bersifat autotrof, yaitu dapat hidup sendiri tanpa tergantung makhluk lain. Proses pertumbuhan rumput laut sangat bergantung pada sinar matahari untuk melakukan proses fotosintesis. Rumput laut dikelompokan menjadi empat kelas berdasarkan pigmen yang dikandungnya yaitu Chlorophyceae (ganggang hijau), Rhodophyceae (ganggang merah), Paeophyceae (ganggang coklat), dan Chrysophyceae (ganggang keemasan) (Winarno 1990). Rumput laut terutama ganggang merah dan ganggang coklat merupakan komoditas yang sangat penting karena zat-zat yang dikandungnya. Zat kimia yang terkandung dalam alga merah adalah agar, karaginan dan alginat. Jenis rumput laut yang ada di Indonesia selain mengandung agar dan karaginan juga mengandung pigmen fikobilin. Pigmen ini terdiri dari fikoeritrin dan fikosianin yang merupakan cadangan makanan berupa karbohidrat (Indriani dan Emi 1999). Rumput laut banyak mengandung trace element khususnya iodium yang konsentrasinya lebih tinggi dari tumbuhan. Rumput laut juga mengandung serat yang telah dimanfaatkan sebagai bahan pangan alamiah, karbohidrat, protein, sedikit lemak, abu dan mineral seperti natrium dan kalsium (Winarno 1990). Rumput laut sebagai bahan pangan merupakan komoditas yang dapat dikembangkan karena ekosistem di daratan tidak dapat memenuhi kebutuhan makanan bagi populasi manusia yang pesat pertambahannya dari tahun ke tahun. Penggunaan rumput laut untuk memenuhi berbagai kebutuhan menjadikan berkembangnya industri yang melibatkan jutaan manusia. Perkembangan industri pengolahan rumput laut di Indonesia juga terlihat makin pesat. 5 2.1.1 Biologi Eucheuma cottonii Sinonim untuk Eucheuma cottonii adalah Kappaphycus alvarezii, namun Eucheuma cottonii lebih dikenal dalam dunia perdagangan nasional maupun internasional. Jenis ini mulanya didapat dari Perairan Sabah (Malaysia) dan Kepulauan Sulu (Filipina) kemudian dikembangkan ke berbagai negara sebagai tanaman budidaya. Di Indonesia seluruh produksinya berasal dari budidaya, antara lain dikembangkan di Jawa, Bali, NTB, Sulawesi dan Maluku (DKP 2006) Gambar 1 menyajikan salah satu jenis Eucheuma yang sudah lama dibudidayakan oleh para nelayan di pesisir. Gambar 1. Jenis alga merah Eucheuma cottonii (images.google.co.id) Ciri-ciri fisik dari Eucheuma sp adalah mempunyai thallus, kasar, agak pipih dan bercabang dua atau tiga, ujung-ujung percabangan ada yang runcing dan tumpul dengan permukaan bergerigi, agak kasar dan berbintil Noor (1991). Adapun warna dari rumput laut ini biasanya hijau, kuning kecoklatan hingga merah ungu (Afrianto dan Liviawati 1993). Eucheuma cottonii tumbuh melekat pada substrat dengan alat perekat berupa cakram, cabang pertama dan kedua tumbuh membentuk rumpun yang rimbun dengan ciri khusus mengarah ke arah datangnya sinar matahari. Cabangcabang tersebut ada yang memanjang atau melengkung seperti tanduk. Eucheuma sp termasuk rumput laut yang telah berhasil dibudidayakan dengan syarat memiliki tingkat salinitas antara 32-35 per mil, pH perairan berkisar antara 6-8 dengan suhu air antara 24-30 0C (Atmadja et al. 1996). 6 Klasifikasi Eucheuma cottonii menurut Atmadja et al. (1996) adalah sebagai berikut. Divisi : Thallophyta Kelas : Rhodophyceae Ordo : Floridiophycidae Famili : Gigartinales Genus : Selieriaceae Spesies : Eucheuma cottonii 2.1.2 Manfaat dan kandungan Eucheuma cottonii Jenis rumput laut yang sering dipakai dalam industri pangan Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum. Eucheuma cottonii mengandung karaginan (kappa karaginan) dan Eucheuma spinosum menghasilkan iota karaginan. Rumput laut dapat dijadikan sebagai sumber gizi karena mengandung serat, mineral, vitamin, protein, karbohidrat, lemak dan komposisi kimia lainnya yang diperlukan oleh tubuh dalam mempertahankan kesehatannya. Rumput laut Eucheuma cottonii dapat digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan nata karena mengandung senyawa polisakarida/hidrokoloid yang bermanfaat untuk kesehatan dan serat yang tinggi dibandingkan dengan jenis rumput laut lain (69,3 g/100 g berat kering). Pemanfaatan hidrokoloid rumput laut ini dari tahun ke tahun bertambah bahkan terjadi kecenderungan perubahan dari pemanfaatan senyawa hidrokolid lain ke senyawa hidrokoloid dari rumput laut. Fungsi utama polisakarida rumput laut dalam formulasi produk pangan dan non pangan adalah sebagai emulsifier, pensuspensi, pengental dan stabilisator. Kemampuannya dalam membentuk gel yang baik karena kandungan polisakarida yang dimilikinya yaitu karaginan (kappa karaginan). Kappa karaginan mempunyai kemampuan membentuk gel pada saat larutan panas mendingin. Proses ini bersifat reversibel, artinya gel mencair pada pemanasan dan cairan membentuk gel kembali pada pendinginan (Glicksman 1983). Nata rumput laut yang dihasilkan dari rumput laut tidak mempunyai nilai gizi yang berarti karena struktur karaginan yang dimiliki berupa polisakarida kompleks yang sukar dicerna dan sebagian besar kandungan nata ini adalah selulosa. Selain daya cernanya rendah, kandungan kalorinya pun sangat rendah. 7 Sumbangan gizi yang cukup bermakna dari rumput laut terutama dari jenis alga merah dan alga coklat adalah kandungan mineralnya (makro dan mikro). Alga merah dan alga coklat tersebut banyak mengandung mineral seperti natrium, kalium, serat, dan magnesium dengan komposisi yang sangat baik untuk kesehatan tubuh. Komposisi kimia rumput laut jenis Eucheuma cottonii dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi kimia rumput laut jenis Eucheuma cottonii. (Rata-rata) Komposisi Kimia Nilai Air (%) 83,3 Protein (%) 0,7 Lemak (%) 0,2 Abu (%) 3,4 Serat makanan tidak larut (g/100g) 58,6 Serat makanan larut (g/100g) 10,7 Serat total serat makanan (g/100g) 69,3 Mineral Zn (mg/g) 0,01 Mineral Mg (mg/g) 2,88 Mineral Ca (mg/g) 2,80 Mineral K (mg/g) 87,10 Mineral Na (mg/g) 11,93 Sumber: Santoso (2004) Kandungan utama rumput laut segar adalah air yang mencapai 80-90 %, sedangkan kadar protein dan lemaknya sangat kecil. Kadar lemak rumput laut sangat rendah, tetapi susunan asam lemaknya sangat penting bagi kesehatan. Lemak rumput laut mengandung asam lemak omega-3 dan omega-6 dalam jumlah yang cukup tinggi. Kedua asam lemak ini merupakan asam lemak yang penting bagi tubuh terutama sebagai pembentuk membran jaringan otak. Dalam 100 g rumput laut kering mengandung asam lemak omega-3 berkisar antara 128-1.629 mg dan asam lemak omega-6 berkisar 188-1.704 mg (Winarno 1990). 8 2.2 Definisi Nata Istilah nata berasal dari Bahasa Spanyol yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin sebagai natare, yang berarti terapung-apung. Makanan olahan dari sari kelapa ini mulai diperkenalkan di Indonesia sekitar tahun 1987. Teknologi pengolahan produk ini berasal dari Fillipina. Nata dapat dibuat dari air kelapa, santan kelapa, tetes tebu (molases), limbah cair tahu, atau sari buah (nanas, melon, markisa, pisang, jeruk, jambu biji, dan lain-lain). Pemberian nama nata tergantung dari bahan baku yang digunakan (Saragih 2004). Nata adalah biomassa yang sebagian besar terdiri dari selulosa, berbentuk agar dengan lapisan berwarna putih. Lapisan ini adalah massa mikroba berkapsul dari selulosa. Lapisan nata mengandung sisa media yang sangat asam. Rasa dan bau masam tersebut dapat dihilangkan dengan perendaman dan perebusan dengan air. Nata adalah produk fermentasi oleh bakteri Acetobacter xylinum pada substrat yang mengandung sukrosa. untuk melakukan aktivitasnya. Bakteri tersebut membutuhkan nitrogen Acetobacter xylinum yang ditumbuhkan pada media dengan kadar sukrosa tinggi akan menggunakan sebagian glukosa untuk aktivitas metabolisme dan sebagian lagi diuraikan menjadi suatu polisakarida yang dikenal dengan extracellular sellulosa berbentuk gel. Polisakarida itulah yang disebut nata. Nata merupakan komoditi ekspor ke negara-negara Eropa, makanan ini juga membantu penderita diabetes sebagai makanan berkalori rendah (keluargamustafa.wordpress.com). Nata tidak hanya dibuat dari air kelapa, tetapi buah lain pun dapat digunakan. Nata merupakan makanan hasil fermentasi Acetobacter xylinum yang merubah komponen sukrosa dalam medium menjadi konsistensi berbentuk gel pada permukaan media (Herman 1979). Gel tersebut dihasilkan oleh kemampuan Acetobacter xylinum membentuk kapsul di luar dinding sel bakteri secara terusmenerus dan menebal menjadi konsentrasi yang kokoh. Pembentukan gel terjadi karena adanya enzim-enzim yang mampu mengoksidasi asam asetat yang disertai dengan pembentukan CO2 dan H2O yang menyebabkan gel terapung di permukaan media. Acetobacter xylinum mampu mengubah 19 % sukrosa dalam media menjadi selulosa berupa benang yang bersama polisakarida berlendir 9 membentuk jaringan yang secara terus-menerus menjadi nata (Thimann dan Kenneth 1964). 2.2.1 Nata rumput laut Nata de cottonii adalah produk yang dibuat dari rumput laut Eucheuma cottonii. Rumput laut ini merupakan rumput laut penghasil karaginan yang mempunyai fungsi sebagai bahan baku industri farmasi, tekstil, cat dan lain-lain selain diolah menjadi berbagai produk pangan seperti cendol, sirup, dodol, manisan, dan puding. Modifikasi produk yang dapat menyajikan bentuk yang lain dari bahan bakunya adalah nata. Rumput laut jenis Eucheuma cottonii merupakan salah satu alternatif yang dapat digunakan sebagai media bagi pertumbuhan bakteri pembentuk nata (Acetobacter xylinum). Komponen sukrosa yang terdapat di dalam media akan diubah menjadi substansi yang menyerupai gel dan terbentuk di permukaan media oleh bakteri tersebut. Seperti halnya industri nata de coco, maka industri nata rumput laut ini dapat diterapkan pada skala kecil karena peralatan, proses dan teknologi yang sederhana sehingga terjangkau. Nata de cottonii mempunyai kandungan nutrisi yang lebih baik dari nata de coco seperti kandungan lemak 0,23 % dan protein 0,57 % serta serat makanan 4,5 % (Isti 2005). Sebagai sumber serat makanan, nata de cottonii mempunyai kadar total serat makanan yang cukup tinggi. Nata rumput laut yang sudah pernah dibuat dari jenis yang lain adalah nata Gracillaria oleh Apit pada tahun 2007. 2.2.2 Bahan-bahan pembuatan nata rumput laut (a) Sukrosa Sukrosa atau gula merupakan senyawa organik yang paling ekonomis digunakan dan mudah dicerna di dalam tubuh sebagai kalori. Selain itu sukrosa juga berfungsi sebagai pengawet makanan. Sukrosa merupakan senyawa kimia disakarida yang tergolong ke dalam karbohidrat, mempunyai rasa manis dan larut dalam air (Winarno 1991). Sukrosa yang dipakai dalam pembuatan nata pada umumnya adalah gula pasir yang berfungsi sebagai sumber karbon (energi). Banyaknya sukrosa yang ditambahkan dalam pembuatan nata de coco bervariasi, salah satunya adalah sebanyak 80 g untuk setiap 1 liter air kelapa (suaramerdeka.com). Sukrosa paling 10 baik digunakan bagi pertumbuhan dan perkembangan bibit nata. Adapun dari segi warna yang paling baik digunakan adalah sukrosa putih. Sukrosa yang berwarna coklat akan mempengaruhi penampakan nata sehingga kurang menarik. Sukrosa yang berwarna putih akan menghasilkan nata berwarna putih bersih. Saat pembuatan bibit nata de coco, jumlah sukrosa yang ditambahkan adalah 30 g per liter air kelapa yang digunakan (Saragih 2004) dan 10 % pada pembuatan nata rumput laut, sedangkan dalam pembuatan makanan, sukrosa dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme dan menurunkan aktivitas air dalam bahan pangan (Buckle et al. 1985). Selama pemanasan, sebagian sukrosa akan terurai menjadi glukosa dan fruktosa (Winarno 1991). Penambahan sukrosa yang berlebih dalam pembuatan nata dapat menyebabkan terganggunya aktivitas bakteri, mengakibatkan banyak sukrosa yang diubah menjadi asam, penurunan pH secara drastis, dan merugikan industri nata. Semakin banyak sukrosa yang ditambahkan, akan semakin banyak sukrosa yang mengalami browning, sehingga warna media semakin gelap karena terperangkap dalam struktur serat nata yang transparan. Penambahan sukrosa yang terlalu sedikit menyebabkan bibit nata menjadi tidak tumbuh normal dan nata yang terbentuk tidak dapat dihasilkan secara maksimal (Pambayun 2002). (b) Dimetil amino fosfat (DAP) Penggunaan DAP adalah sebagai pengganti ammonium sulfat atau yang biasa dikenal dengan urea. Fungsi DAP sama halnya dengan ammonium sulfat (urea) yaitu sebagai sumber nitrogen yang merangsang pertumbuhan dan aktivitas bakteri Acetobacter xylinum. Sumber nitrogen yang dapat digunakan untuk mendukung pertumbuhan aktivitas bakteri nata dapat berasal dari nitrogen organik seperti ekstrak yeast dan protein maupun nitrogen anorganik seperti ammonium sulfat dan ammoniun fosfat. Sumber nitrogen anorganik sangat murah dan fungsinya tidak kalah jika dibandingkan dengan sumber nitrogen organik. Kelebihan sumber nitrogen anorganik adalah murah, mudah larut dan selektif bagi mikroorganisme lain. Penambahan sumber nitrogen yang berlebihan dapat menurunkan nilai rendemen dan pH karena adanya ion SO42- yang bersifat asam sehingga aktivitas bakteri terganggu (Mashudi 1993). 11 (c) Asam asetat glasial Asam asetat atau asam cuka digunakan untuk menurunkan pH atau meningkatkan keasaman air kelapa. Asam asetat yang baik adalah asam asetat glasial 99,8 %. Asam asetat dengan konsentrasi rendah dapat digunakan dalam pembuatan nata, namun untuk mencapai tingkat keasaman yang diinginkan yaitu pH 4-5 dibutuhkan jumlah yang banyak sehingga tidak ekonomis. Dosis penggunaan asam asetat dalam pembuatan nata de coco sekitar 5 ml/liter air kelapa hingga diperoleh pH 4,0-4,5 (Saragih 2004). Pembuatan nata agar menggunakan asam asetat glasial sebanyak 0,75 % (w/v) (BPPMHP 2005). Digunakannya asam asetat glasial (cuka biang) karena apabila digunakan cuka dengan konsentrasi lebih rendah, maka asam cuka yang ditambahkan harus lebih banyak sehingga terjadi penambahan volume yang cukup besar. (d) Starter nata Acetobacter xylinum merupakan starter yang lebih produktif dari jenis starter lainnya. Starter dengan konsentrasi 5-10 % (v/v) merupakan konsentrasi yang ideal dalam pembuatan nata. Dianjurkan volume starter tidak kurang dari 5 % volume media nata (goarticles.com). Starter nata adalah bibit nata yang telah diinokulasikan sehingga siap digunakan dalam pembuatan nata. Pemakaian starter yang terlalu banyak tidak dianjurkan karena tidak ekonomis. Umumnya starter disiapkan dalam botol sirup yang berwarna jernih sehingga mutu starter dapat di lihat dengan mudah. Biasanya starter siap pakai setelah di inkubasi selama 4-7 hari, tergantung pada kondisi bibit. Bibit yang dipakai adalah biakan bakteri Acetobacter xylinum dalam media air kelapa. Penggunaan biang cair hendaknya hanya lima sampai enam kali peremajaan. Pendinginan starter dapat memperpanjang masa simpan, karena selama pendinginan pertumbuhan mikroba dapat dicegah atau diperlambat (Fardiaz dan Wijandi 1985). Aktivitas enzim di dalam sel mikroba menurun dengan semakin menurunnya suhu, akibatnya pertumbuhan sel juga terhambat. Starter yang telah di tambahkan ke dalam medium, massa sel bakteri akan segera menyesuaikan diri dengan lingkungan medium barunya. Tahap ini disebut dengan fase stasioner dimana tidak terjadi perbanyakan diri. Sel-sel bakteri akan memperbesar ukuran dirinya dan menghasilkan berbagai sistem enzim yang diperlukan dalam 12 pertumbuhannya (Thimann dan Kenneth 1964). Asam yang dihasilkan oleh salah satu mikroba selama fermentasi biasanya akan menghambat perkembangbiakan mikroba lain. Penurunan nilai pH medium kultur bakteri nata berperan terhadap daya hambat pertumbuhan mikroba pembusuk. Bakteri nata sangat sensitif terhadap pencemaran mikroba. Kontaminan yang kerap mengganggu pertumbuhan bakteri nata adalah kapang (terutama Famili Aspergillus dan Penicillum), bakteri batang (Famili Bacillus) dan kapang berwarna merah. pencemaran mikroba dapai dicegah apabila semua peralatan produksi, bahan dan lingkungan unit usaha dijaga kebersihannya (Saragih 2004). 2.2.3 Bakteri pembentuk nata Bakteri yang digunakan dalam pembuatan nata pada umumnya adalah Acetobacter xylinum. Acetobacter xylinum mempunyai ciri-ciri antara lain gram negatif, obligat aerobik, berbentuk batang (media asam), membentuk kapsul (media basa), bersifat nonmotil dan tidak membentuk spora (Widia 1984). Pertumbuhan bakteri ini dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain pH, suhu, sumber nitrogen dan sumber karbon. Sumber karbon dapat berupa sukrosa dari berbagai macam jenis seperti glukosa, sukrosa, fruktosa, dan lainnya. Asam asetat glasial digunakan untuk menurunkan pH media yang akan dipakai (Herman 1979). Sel Acetobacter xylinum dalam media asam berbentuk batang sedangkan dalam media alkali berbentuk oval (Alaban 1962). Bakteri Acetobacter xylinum dapat tumbuh dan berkembang membentuk nata karena adanya kandungan air sebanyak 91,23 %, protein 0,29 %, lemak 0,15 %, karbohidrat 7,27 % serta abu 1,06 % di dalam air kelapa. Selain itu terdapat juga nutrisi-nutrisi berupa sukrosa, dekstrase, fruktose dan vitamin B kompleks yang terdiri dari asam nikotinat 0,01µg, asam patrotenat 0,52 µg, biotin 0,02 µg, riboflavin 0,01 µg, dan asam folat 0,003 µg per ml. Nutrisi-nutrisi tersebut merangsang pertumbuhan Acetobacter xylinum untuk membentuk nata de coco (Palungkun 1998). Bakteri ini mengubah sekitar 19 % sukrosa menjadi selulosa. Selulosa yang terbentuk di dalam medium tersebut adalah hasil sekresi seluler dari Acetobacter xylinum dengan menggunakan sukrosa sebagai bahan utama dan sumber energi. Selulosa tersebut berupa benang-benang yang bersama-sama 13 polisakarida berlendir membentuk suatu jalinan yang terus menebal menjadi lapisan nata (Thimann dan Kenneth 1964). Karakteristik fisiologi Acetobacter xylinum antara lain tidak mampu mencairkan gelatin, tidak memproduksi H2S, pada suhu 65–70 0C bersifat thermal death point. Sifat khas Acetobacter xylinum apabila ditumbuhkan pada medium yang mengandung sukrosa dan asam akan membentuk lapisan selulosa yang dikenal sebagai nata (Alaban 1962). Pertumbuhan Acetobacter xylinum membutuhkan vitamin-vitamin tertentu dari vitamin B kompleks atau campuran asam-asam amino yang cukup dilengkapi dengan zat organik, nitrogen, dan vitamin. Acetobacter xylinum memperoleh energi dengan cara mengoksidasi sukrosa dan alkohol dengan dissimilasi anaerob (yaitu proses penguraian zat untuk membebaskan energi tanpa adanya oksigen). Energi yang timbul dari proses perombakan sukrosa oleh Acetobacter xylinum kemudian digunakan untuk menjalankan metabolisme dalam sel bakteri tersebut (Soeseno 1984). Beberapa spesies dari Acetobacter seperti Acetobacter capsulatus dan Acetobacter viscosus dapat menghasilkan polisakarida, tetapi bukan selulosa melainkan tergolong semacam dekstran (Dimaguilla 1967). 2.2.4 Tahap pembuatan nata Fermentasi nata terdiri dari tiga tahap, yaitu pemeliharaan biakan murni Acetobacter xylinum, pembuatan starter, fermentasi. Tahap fermentasi dilakukan pada media cair yang telah diinokulasikan dengan starter. Fermentasi berlangsung pada kondisi aerob. Fermentasi dilangsungkan sampai nata yang terbentuk cukup tebal. Ukuran tersebut tercapai setelah 10 hari. Proses fermentasi diakhiri pada hari ke-15 (keluargamustafa.wordpress.com). Proses pengolahan nata menggunakan suhu panas dan peralatan yang akan digunakan harus disterilisasikan dulu melalui perebusan. Perebusan dilakukan untuk membunuh mikroba-mikroba yang akan mencemari produk yang dihasilkan (Astawan dan palupi 1991). Penuangan media ke dalam wadah fermentasi sebaiknya pada saat cairan dalam keadaan panas dengan tujuan selain untuk sterilisasi wadah juga untuk menghindari kontak antara cairan dengan tangan atau bagian lain dari kulit manusia. Wadah yang sudah diisi dengan cairan harus segera 14 ditutup kemudian didinginkan sampai mencapai suhu ruang selama semalam (Pambayun 2002). Tanda awal pertumbuhan bakteri nata pada medium cair yang mengandung gula adalah timbulnya kekeruhan setelah inkubasi selama 24 jam pada suhu kamar. Setelah 36-48 jam, suatu lapisan tembus cahaya terbentuk dipermukaan medium dan secara bertahap akan menebal membentuk lapisan yang lebih kompak (Lapuz et al 1967). Ketebalan nata disebabkan karena meningkatnya produksi selulosa dengan daya peningkatan jumlah glukosa dalam media (Yoneda 2003). Selama fermentasi berlangsung wadah tidak boleh diganggu atau digoyang karena pertumbuhan nata akan terganggu. Bila fermentasi di goyang, maka akan menghasilkan nata dengan bentuk yang berlapis-lapis dan saling terpisah. Pemanenan dilakukan setelah fermentasi berlangsung selama 14 hari. Lembaran nata yang sudah bersih kemudian direndam dalam air selama 2-3 hari untuk menghilangkan asam dan setiap hari diganti dengan air baru (Astawan dan palupi 1991). 2.2.5 Kondisi dan media pertumbuhan nata Kualitas nata yang baik akan terpenuhi apabila media yang digunakan memenuhi standar kualitas bahan nata dan prosesnya dikendalikan dengan cara yang benar berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan aktivitas Acetobacter xylinum yang digunakan. Rasio antara karbon dan nitrogen yang diatur secara optimal dan prosesnya terkontrol dengan baik, maka semua cairan yang dipakai akan berubah menjadi nata tanpa meninggalkan residu sedikitpun (atmajaya.ac.id) Syarat media nata antara lain mempunyai sumber karbon dapat berupa gula, sumber nitrogen dapat berupa penambahan urea/ZA, mineral dan vitamin yang mendukung pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum. kondisi lingkungan juga sangat berpengaruh karena bakteri Acetobacter xylinum memiliki kondisi optimum lingkungannya untuk tumbuh dengan baik, yaitu suhu, pH, cahaya dan oksigen (one.indoskripsi.com) Banyak faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangbiakan bakteri nata. Media yang digunakan dalam pembuatan nata juga harus 15 mengandung senyawa nitrogen, vitamin dan mineral. Derajat keasaman (pH) yang paling baik untuk pertumbuhannya adalah 4–4,5 dengan suhu ruangan tempat fermentasi berkisar 28–30 0C (Saragih 2004). Berikut adalah parameter yang digunakan dalam memproduksi nata agar dapat menghasilkan keadaaan yang optimum. Kondisi optimum pertumbuhan nata disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Kondisi optimum untuk memproduksi nata pada media air kelapa Parameter Alaban (1962) Sumber karbon Sukrosa Sumber nitrogen Nitrogen organik Keasaman (pH) Suhu 4,0 – 5,0 28 – 32 0C Asam asetat glasial Starter 2–4% 10 – 20 % Lama inkubasi 15 hari 16 Badan Standarisasi Nasional 01-4317-1996 menetapkan kriteria-kriteria mutu yang harus dipenuhi dalam produksi nata dalam kemasan sebagaimana disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Standar Mutu Produk Nata Dalam Kemasan (SNI 01-4317-1996) No Jenis uji Satuan Persyaratan 1. • Keadaan -Bau - Normal -Rasa - Normal -Warna - Normal 2. Bahan asing - Tidak boleh ada 3. Bobot tuntas % min 50 4. Jumlah Sukrosa % min 15 5. Serat makanan % maks 4,5 6. Pemanis buatan -Sakarin - Tidak boleh ada -Siklamat - Tidak boleh ada 7. Pewarna tambahan Sesuai SNI 01-0222-1995 8. Pengawet Sesuai SNI 01-0222-1995 9. Cemaran logam 10. Timbal (Pb) mg/kg maks 0.2 11. Tembaga (Cu) mg/kg maks 2 12. Seng (Zn) mg/kg maks 5-0 13. Timah (Sn) g/kg 40,0 / 250,0 * 14. Cemaran arsen (Ar) mg/kg maks 0,1 = Dikemas dalam kaleng. 2.2.6 Kandungan gizi nata agar, nata de coco dan nata komersial Nilai gizi nata sangat rendah sekali karena kandungan terbesarnya adalah air yang mencapai 98 %. Produk ini dapat dipakai sebagai sumber makanan rendah energi untuk keperluan diet. Nata juga mengandung serat (dietary fiber) yang sangat dibutuhkan tubuh dalam proses fisiologi. Produk ini dapat membantu penderita diabetes dan memperlancar proses pencernaan dalam tubuh. Nata mengandung beberapa zat gizi yang diperlukan oleh tubuh sebagai makanan 17 tambahan yang dapat menjaga kesehatan tubuh manusia. Berikut ini adalah kandungan gizi dari nata rumput laut dan nata de coco yang dianalisis oleh BPPMHP tahun 2005 serta kandungan gizi nata komersil. Komposisi gizi ketiga produk nata tersebut dapat dilihat pada Tabel 4 dan Tabel 5. Tabel 4. Informasi nilai gizi nata de coco (takaran saji 180 g) Kandungan Gizi % AKG Lemak total 0 g 0% Protein 0 g 72 g Total karbohidrat 35 g 11 % Serat pangan 2 g 8% Sodium / natrium 5 mg 1% Sumber: Inaco, nata de coco 2009 Tabel 5. Kandungan nutrisi nata agar dan nata de coco Nata Agar Nata de No Kandungan Nutrisi (%) Coco (%) 1. Kadar air (%) 86,7 83,56 Total serat makanan (%) 4,5 5,2 2. -Serat makanan tak larut 1,93 1,9 -Serat makanan larut 2,57 3,61 3. Elastisitas (mm) 3,36 1,76 4. Kekerasan (g) 355,11 3624,18 5. Chewiness (g) 540,64 792,43 Sumber: Isti 2005 2.3 Serat Nata Sebagian besar kandungan nata adalah serat berupa selulosa. Selulosa nata tersebut diproduksi oleh bakteri. Serat yang dihasilkan oleh bakteri pada umumnya sama dengan serat yang terbentuk di dalam dinding sel tanaman, hanya terbentuknya tidak di dalam dinding sel bakteri, tetapi di luar sel tersebut (Sri 1992). Selulosa membentuk massa yang bergumpal pada permukaan medium. Sel menerima molekul-molekul glukosa, bergabung dengan lemak membentuk penyokong yang terdapat pada membran sel, lalu keluar bersama-sama enzim yang menggabungkan sisa heksosa menjadi serat. Pembentukan serat ini terlihat dengan timbulnya suatu area kecil pada permukaan medium. Lemaknya kemudian diserap kembali oleh sel bakteri (Thimann dan Kenneth 1964). 18 Kelebihan serat dari bakteri adalah mempunyai sifat fisika kimia yang relatif tetap dan dapat diproduksi dalam jumlah yang besar tanpa tergantung pada musim. Kelebihan serat nata adalah dapat diproduksi baik dengan kultur diam maupun kocok, tergantung dari sifat serat yang diinginkan. Serat-serat selulosa kebanyakan tidak mengandung fitat sehingga cocok untuk digunakan sebagi produk dietary supplement, karena fitat dapat mengganggu proses penyerapan vitamin dan mineral dalam usus. Nata terbentuk karena sel-sel bakteri menggabungkan molekul-molekul glukosa dengan asam lemak membentuk prekursor pada membran sel. Prekursor ini selanjutnya dikeluarkan dalam bentuk ekskresi dan dengan bantuan enzim mempolimerisasikan glukosa menjadi selulosa di luar sel bakteri (kapsul). Pembentukan kapsul oleh bakteri biasanya terjadi karena kondisi lingkungan yang ekstrim seperti keasaman media (Laily et al. 2003). 2.4 Serat Makanan Serat adalah makanan berbentuk karbohidrat kompleks yang banyak terdapat pada dinding sel tanaman pangan. Serat makanan adalah bagian dari bahan pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh enzim-enzim pencernaan. Serat makanan ini terdiri dari dinding sel tanaman yang sebagian besar mengandung tiga macam polisakarida yaitu selulosa, zat pektin dan hemiselulosa, selain itu juga mengandung zat yang bukan karbohidrat yaitu lignin. Mutu serat makanan dapat dilihat dari komposisi komponen serat makanan. Komponen serat makanan terdiri dari komponen yang larut (soluble dietary fiber) dan komponen yang tidak larut (total dietary fiber). Sepertiga dari serat makanan total adalah serat makanan yang larut, sedangkan kelompok terbesarnya merupakan serat yang tidak larut (Irwansyah 2003) Serat makanan umumnya berasal dari serat buah dan sayuran atau sedikit yang berasal dari biji-bijian dan serealia. Serat makanan terdiri dari serat kasar (crude fiber) dan serat makanan (dietary fiber). Serat kasar adalah serat yang secara laboratorium dapat menahan asam kuat atau basa kuat. Serat makanan adalah bagian dari makanan yang tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim pencernaan. Kadar serat kasar selalu lebih rendah dibandingkan dengan serat makanan, karena asam kuat dan basa kuat mempunyai kemampuan yang lebih 19 besar untuk menghidrolisis komponen-komponen makanan dibandingkan dengan enzim pencernaan (Sulaeman et al. 1993). Serat dalam makanan digolongkan menjadi dua golongan, yaitu tidak larut seperti selulosa dan hemiselulosa yang terdapat hampir di semua jenis bahan pangan nabati khususnya buah dan sayuran. Serat yang larut adalah pektin yang banyak terdapat dalam buah-buahan (Siagian 2003) Berbeda jenis serat berbeda pula khasiatnya. Serat yang tidak dapat larut seperti selulosa dan hemiselulosa baik untuk kesehatan usus, memperlancar keluarnya feses, mencegah wasir dan baik untuk mengontrol berat badan. Serat larut baik untuk menurunkan kadar kolesterol dan sukrosa darah sehingga lebih tepat untuk kesehatan jantung dan mengurangi resiko diabetes (Faisal 2002).