5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teluk Palabuhanratu Teluk Palabuhanratu terletak di pantai selatan Jawa Barat, Kabupaten Sukabumi dengan posisi geografis 6o57’- 7o07’LS dan 106o22’-106o23’ BT dan mempunyai hubungan bebas dengan Samudera Hindia. Pantai Palabuhanratu terbagi menjadi tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Cisolok, Kecamatan Palabuhanratu, dan Kecamatan Ciemas. Perairan ini merupakan tempat bermuaranya sungai Cimadiri, Citepus, Cidadap, Cipalabuhan (Pariwono et al. 1988). Selanjutnya Pariwono et al. (1988) mengemukakan bahwa sebagian besar daratan berupa topografi berbukit dengan tingkat kesuburan cukup tinggi yang dicirikan dengan daerah dekat pantai. Topografi dasar perairan dangkal di Palabuhanratu dapat ditemukan hingga jarak 300 m dari garis pantai dan mempunyai kedalaman hingga 200 m. Semakin jauh jarak dari pantai terdapat lereng kontinen dengan kedalaman lebih dari 600 m. Arus pantai selatan Jawa ini sering berlawanan arah dengan arus di laut dalam (Samudera Hindia). Kecepatan arus pantai tersebut mencapai 75 cm/detik pada bulan Februari yang kemudian melemah dan mencapai 50 cm/detik dalam bulan April hingga Juni. Pada bulan Agustus arus pantai berubah arah menjadi ke barat dengan kecepatan arus sekitar 75 cm/detik. Sampai bulan Oktober, arah arus pantai tetap ke barat tetapi kecepatan berkurang menjadi 50 cm/detik. Kecepatan angin di Teluk Palabuhanratu berkisar antara 1-15 mil/jam. Kisaran suhu di kawasan pantai Teluk Palabuhanratu berkisar antara 25-28oC, dimana suhu rata-rata pada akhir musim timur adalah 26,57oC dan pada musim hujan sebedsar 27,78oC. Pada kedalaman 50 m, kisaran suhu berkisar antara 23,37oC pada akhir musim timur dan 28,72oC pada musim hujan. Tingkat salinitas perairan Teluk Palabuhanratu berkisar antara 32-34 ‰ (Pariwono et al. 1988).; 6 2.2 Ichthyoplankton Ichtyoplankton merupakan cabang ilmu yang membahas tentang larva ikan yang bersifat planktonik atau merupakan cabang ilmu ichthyologi yang membahas tentang stadia larva yang sifatnya sangat ditentukan oleh lingkungan terutama dalam pergerakan dan migrasinya (Sulistiono et al. 2001). Ichthyoplankton menurut Olii (2003) muncul setelah beberapa ahli membedakannya berdasarkan istilah plankton yang berarti pengembara dan ichthyes yang berarti ikan atau dengan kata lain ikan yang masih bersifat planktonis. Organisme ini dikategorikan sebagai meroplankton atau plankton sementara, dimana hanya sebagian dari hidupnya bersifat sebagai plankton. Adapun setelah dewasa mereka menjalani kehidupan sebagai perenang yang aktif yang masuk dalam kategori nekton. 2.3 Biologi Larva Ikan Menurut Sjafei et al. (1992), proses reproduksi ikan dapat dibagi menjadi dalam tiga periode, yaitu periode pre-spawning, periode spawning, dan periode postspawning. Proses pre-spawning merupakan proses berlangsungnya persiapan gonad untuk menghasilkan sperma dan sel telur. Proses spawning merupakan proses pengeluaran telur dan sperma dan pembuahan telur oleh sperma. Proses postspawning dimulai dari perkembangan telur yang telah dibuahi, penetasan telur dari pembesaran dari telur menjadi embrio, dan larva sampai menjadi ikan. Awal periode larva ditandai dengan munculnya kemampuan embrio untuk menangkap organisme makanan dari luar. Pada fase ini, struktur larva yang berkembang adalah organ pernafasan dan juga ditandai pula dengan pertumbuhan organ-organ embrio dan organ-organ larva seperti organ pernafasan pada lipatanlipatan sirip, pada daerah pektoral, tutup insang, jari-jari keran dan jelambir. Organorgan ini akan digantikan oleh organ-organ yang sama fungsinya dan akan menetap atau menghilang karena fungsinya tidak diperlukan lagi. Akhir dari periode ini adalah rangka aksial mulai terbentuk dan lipatan-lipatan sirip tengah menghilang (Sjafei et al. 1992). Selanjutnya Effendie (2002) mengemukakan bahwa larva ikan yang baru biasanya ditetaskan dalam keadaan terbalik karena kuning telurnya banyak mengandung minyak. Apabila kuning telur tersebut telah habis dihisap maka posisi 7 larva akan kembali ke awal. Larva ikan yang baru ditetaskan pergerakannya hanya sewaktu-waktu saja dengan menggerakkan bagian ekornya ke kiri dan ke kanan dengan banyak diselingi oleh waktu istirahat karena tidak dapat mempertahankan keseimbangan posisi tegak. Effendie (2002) menjelaskan, perkembangan larva dibagi menjadi dua tahap yaitu prolarva dan postlarva. Prolarva masih mempunyai kantung kuning telur, tubuhnya transparan dengan beberapa butir pigmen. Sirip dada dan ekor sudah berkembang tetapi belum sempurna bentuknya dan kebanyakan prolarva yang baru keluar dari cangkang telur ini tidak mempunyai sirip perut yang nyata melainkan hanya bentuk tonjolan saja. Mulut dan rahang belum berkembang dan ususnya masih merupakan tabung yang lurus. Sistem pernapasan dan peredaran darahnya belum sempurna. Makanannya hanya didapatkan dari sisa kuning telur yang belum habis dihisap. Masa postlarva adalah masa larva mulai dari hilangnya kantung kuning telur sampai terbentuknya organ-organ baru atau selesainya taraf penyempurnaan organorgan yang telah ada sehingga pada masa akhir dari postlarva tersebut secara morfologis sudah mempunyai bentuk yang hampir sama dengan induknya. Sirip dorsal sudah mulai dapat dibedakan, demikian juga sirip ekor yang sudah terbentuk garisnya. Pada masa ini, ikan sudah berenang lebih aktif dan kadang-kadang memperlihatkan sifat bergerombol (Effendie 2002). Tingginya tingkat kematian alami bagi telur dan larva ikan dalam suatu populasi dipengaruhi oleh faktor endogeneous dan eksogenous. Faktor endogenous memegang peranan penting untuk melindungi suatu populasi dalam mendapatkan makanan sehingga terhindar dari pemangsa dan bahaya lainnya. Faktor eksogenous berupa proses eksternal biologis dan karakter fisik lingkungan seperti kekurangan makanan, pemangsa, penyakit, parasit, polusi, racun, dan tekanan psikologis yang mungkin menyebabkan kematian individu (Sulistiono et al. 2001) Keberlangsungan hidup larva sangat tergantung pada jumlah makanan yang ada. Ketersediaan makanan sangat dipengaruhi oleh lingkungan (Laevastu and Hayes 1981). Sulistiono et al. (2001) menjelaskan bahwa ukuran mulut dan tingkat perubahan mulut merupakan hal yang sangat berpengaruh terhadap perbedaan spesifik dalam seleksi ukuran makanan. 8 2.4 Pola Distribusi Larva Ikan Pengetahuan mengenai pola distribusi larva ikan sangat penting (Brodeur and Rugen 1994). Selanjutnya pada hal yang sama Brodeur and Rugen (1994) menjelaskan pula bahwa pola distribusi vertikal dari larva ikan ada dua macam, yaitu Tipe I dengan penjelasan bahwa larva akan melakukan migrasi ke permukaan pada malam hari. Sedangkan Tipe II dari distribusi larva merupakan kebalikan dari Tipe I, yaitu larva akan cenderung ke kolom perairan saat siang hari. Laevastu and Hela (1970) memiliki pendapat lain mengenai migrasi vertikal. Menurutnya, vertikal migrasi yang dilakukan oleh larva ikan pelagis didasarkan pada beberapa fitoplankton melakukan fotosintesis untuk menghasilkan zat beracun bagi hewan pemangsa sehingga larva melakukan migrasi vertikal ke kolom perairan untuk menghindar dari zat tersebut. Lalu pada malam hari melakukan migrasi ke permukaan untuk mencari makan. 2.5 Identifikasi Larva Leis and Ewart (2000) menjelaskan terdapat empat macam cara untuk mengidentifikasi larva ikan diantaranya menggunakan literatur, metode biokimia, metode seri atau bertahap, dan metode pemeliharaan. Metode yang pertama adalah metode dengan menggunakan literatur. Dalam metode ini, proses indentifikasi dilakukan dengan menggunakan literatur atau sumber bacaan untuk menentukan jenis dari spesies larva. Metode seri merupakan metode yang banyak digunakan dalam hal identifikasi larva ikan. Namun, dalam metode ini membutuhkan banyak bahan, untuk dapat mengumpulkan larva dalam berbagai ukuran. Dalam penggunaan metode ini menyebabkan kemungkinan tercampurnya larva-larva ikan saat pengumpulan sehingga dapat mengarah terhadap salahnya dalam proses identifikasi. Metode biokimia dapat dipadukan dengan metode seri atau bertahap untuk memudahkan dalam proses identifikasi. Namun, kelemahan dari metode ini adalah tidak praktis dalam hal identifikasi larva ikan, tetapi metode ini hasil akhir dalam proses identifikasi biasanya baik (Leis and Ewart 2000). Hunter (1984) in Leis and Ewart (2000) menambahkan proses identifikasi dalam metode pemeliharaan dilakukan suatu laboratorium, dimulai dari telur yang dibuahi oleh ikan dewasa hingga larva tersebut tumbuh. Namun, dalam pemeliharaan sering tidak sesuai 9 dengan larva yang ada di alam. Kondisi laboratorium dapat merubah perkembangan larva secara normal, pigmentasi yang berbeda, proporsi tubuh, dan karakter meristik (Balxter 1984; Hunter 1984 in Leis and Ewart 2000). Selanjutnnya Leis and Ewart (2000) myomer, usus, gelembung renang, duri di kepala, mata, bentuk sirip, ukuran, morfometrik, meristik, dan pigmentasi dapat dijadikan karakteristik dalam menggambarkan larva. 2.6 Parameter Fisika 2.6.1 Cahaya Penetrasi cahaya ke dalam air sangat dipengaruhi oleh intensitas dan sudut datang cahaya, kondisi permukaan air, dan bahan-bahan yang terlarut dan tersuspensi di dalam air (Boyd 1988; Welch 1952 in Effendi 2003). Jeffries and Mills (1996) in Effendi (2003) menambahkan cahaya merupakan sumber utama dalam ekosistem perairan, cahaya memiliki dua fungsi utama, yaitu: 1. Memanasi air sehingga terjadi perubahan suhu dan berat jenis (densitas) dan selanjutnya menyebabkan terjadinya pencampuran massa dan kimia air. Perubahan suhu juga mempengaruhi tingkat kesesuaian perairan sebagai habitat bagi suatu organisme akuatik, karena setiap organisme akuatik memiliki kisaran suhu minimum dan maksimum bagi kehidupannya. 2. Merupakan sumber energi bagi proses fotosintesis alga dan tumbuhan. Cahaya merupakan faktor lingkungan yang penting untuk kehidupan ikan dan organisme akuatik lainnya (Laevastu and Hayes 1981). Menurut Laevastu and Hela (1970), cahaya memiliki pengaruh penting bagi pemijahan ikan dan bagi larva. Cahaya dapat mempengaruhi waktu kematangan gonad ikan. Pemijahan biasanya berlangsung pada kondisi dimana suhu yang tepat dan penetasan terjadi pada saat makanan melimpah. Secara tidak langsung faktor suhu sulit dipisahkan dari efek cahaya (Sullivan and Fisher 1953 in Laevastu and Hela 1970). Allen (1909) in Laevastu and Hela (1970) mengemukakan bahwa cahaya diawal musim semi mempengaruhi tingkat kelangsungan hidup dari larva. Hal ini disebabkan secara tidak langsung bahwa jumlah produksi bahan organik di perairan sangat dipengaruhi oleh cahaya. 10 Cahaya secara langsung mempengaruhi penglihatan dari ikan. Banyak ikan yang memanfaatkan cahaya untuk membantu dalam mencari makan, menerima signal untuk memijah, dan tempat berlindung. Cahaya memicu ikan untuk melakukan migrasi dan perpindahan secara vertikal ketika ingin memijah dan berpengaruh terhadap pola pertumbuhan (Laevastu and Hayes 1981). 2.6.2 Suhu Suhu merupakan suatu ukuran dari energi kintetik rata-rata dari molekul- molekul (Odum 1992). Suhu di laut merupakan salah satu faktor penting bagi kehidupan organisme di lautan, karena suhu mempengaruhi baik aktivitas metabolisme maupun perkembangbiakan dari organisme-organisme tersebut (Hutabarat and Evans 1985). Suhu air permukaan di perairan Indonesia umumya berkisar antara 28-31oC. Di lokasi tempat terjadinya penaikan massa air (upwelling) suhu permukaan bisa turun menjadi 25oC. Hal ini disebabkan karena air dingin dari lapisan bawah terangkat ke atas. Suhu air di daerah dekat pantai biasanya lebih tinggi daripada di lepas pantai (Nontji 2005). Menurut Nontji (2005), suhu air di permukaan di pengaruhi oleh kondisi meteorologi seperti curah hujan, penguapan, kelembaban udara, kecepatan angin dan intensitas radiasi matahari. King (1963) menambahkan bahwa perubahan suhu terhadap kedalaman dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu jumlah panas yang diserap, efek konduksi panas, perpindahan massa air oleh arus, pergerakan vertikal dari air. Sebaran suhu secara vertikal di perairan Indonesia umunya mempunyai pola seperti Gambar 2. Sebaran suhu secara vertikal dibedakan menjadi tiga lapisan yaitu, lapisan hangat di bagian atas, lapisan termoklin di tengah dan lapisan dingin di bagian paling bawah. Secara alami lapisan permukaan lebih hangat daripada lapisan lain karena mendapat radiasi matahari secara langsung (Nontji 2005) dan King (1963) menambahkan sebaran suhu di permukaan sangat dipengaruhi oleh distribusi sinar matahari yang diterima. Nontji (2005) mengemukakan bahwa lapisan termoklin merupakan lapisan dimana suhu menurun dengan cepat secara kedalaman. Karena suhu turun maka densitas air meningkat. Tebal lapisan termoklin bervariasi sekitar 100-200 m. Lapisan di bawah termoklin merupakan lapisan yang homogen 11 dan dingin. Makin ke bawah maka suhu akan berangsur-angsur turun hingga pada kedalaman lebih 1.000 m suhu biasanya kurang dari 5oC. Gambar 2. Sebaran vertikal suhu secara umum di Perairan Indonesia. A: Lapisan hangat; B: Lapisan termoklin; C: Lapisan Dingin (Nontji 2005) Effendi (2003) menjelaskan bahwa peningkatan suhu menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air dan mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen. Peningkatan suhu perairan sebesar 10 oC menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen dari organisme akuatik sekitar 2-3 kali lipat. Menurut Sullivan (1954) in Laevastu and Hela (1970) ikan akan memilih suhu yang sesuai kerena akan berdampak aktivitasnya. Selain itu, perubahan suhu perairan akan berdampak pada stimulus sistem syaraf ikan, proses metabolisme, dan aktivitas tubuh ikan. Peningkatan suhu merupakan faktor pengontrol dari pemijahan dan recruitment karena kebanyakan ikan memijah selama musim panas atau saat suhu meningkat (Pohlor 1984 in de Castro et al. 2005). Menurut Laevastu and Hayes (1981) setiap spesies memiliki batas suhu yang berbeda untuk melakukan pemijahan. Laevastu and Hela (1970) menambahkan bahwa pengaruh suhu sangat terlihat jelas pada kebiasaan ikan selama pemijahan dan sebelum pemijahan pun akan suhu memberikan pengaruh terhadap perkembangan kematangan gonad ikan. Suhu akan secara langsung mempengaruhi perkembangan dari telur dan larva yang 12 merupakan fase kritis dan akan mempengaruhi kemampuan mengapung (buoyancy) dari telur ikan. 2.6.3 Arus Menurut Nontji (2005) arus merupakan gerakan mengalir suatu massa air yang dapat disebabkan oleh tiupan angin, atau karena perbedaan dalam dimensitas air laut atau dapat pula disebabkan oleh gerakan bergelombang panjang. Selain itu juga bisa disebabkan karena pasang surut. Arus dibagi menjadi tiga bagian. Pertama arus yang disebabkan kerena distribusi dari densitas laut, arus yang secara langsung disebabkan oleh angin, dan disebabkan karena pasang surut (Sverdrup et al. 1960). Menurut Wibisono (2005) besar kecilnya arus disebabkan oleh berbagai faktor antara lain kecepatan angin. Kecepatan angin dapat menimbulkan gaya gesek di permukaan laut. Faktor selanjutnya adalah tahanan dasar. Walaupun sifat fisik air selalu mencari tempat yang lebih rendah, namun makin tinggi tahanan dasar maka arus akan semakin lemah. Selain itu kecepatan arus dipengaruhi oleh gaya koriolis. Efek ini timbul akibat gerak rotasi bumi dan posisi bumi dalam mengitari matahari, serta berperan dalam menetukan arah arus. Perbedaan densitas merupakan faktor yang mempengaruhi kecepatan arus. Arus ini bersama dengan drift current membentuk arus umum atau horizontal. Arus yang timbul sebagai akibat dari perbedaan suhu dan salinitas mengontrol distribusi suhu dan salinitas di samudera. Gerlach et al. (2006) menjelaskan bahwa arus laut merupakan faktor utama dalam hal penyebaran larva. Doherty (1987); Milich et al. (1992); Thorrold (1992) in Brogan (1993) menjelaskan faktor fisik seperti kecepatan arus akan mempengaruhi sistem penglihatan dari perkembangan larva, perilaku atau respon terhadap cahaya, dan kemampuan berenang. 2.6.4 Salinitas Salinitas adalah konsentrasi total ion yang terdapat dalam perairan (Boyd 1988 in Effendi 2003). Salinitas menggambarkan padatan total di dalam air, setelah 13 semua karbonat dikonversi menjadi oksida, semua bromida dan iodida digantikan oleh klorida, dan semua bahan organik telah dioksidasi (Effendi 2003). Nontji (2005) menjelaskan bahwa sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan, dan aliran sungai yang masuk ke laut. Di perairan samudera salinitas normal berkisar antara 33-37 ‰, namun kisaran salinitas tersebut bisa berubah tergantung pada masukan air tawar ke laut melalui sungai, melalui tanah, dan penguapan di bagian permukaan perairan. King (1963) menjelaskan bahwa salinitas dipengaruhi oleh musim, tekanan, angin. Salinitas di perairan laut bebas memiliki salinitas yang lebih tinggi daripada di sekitar perairan pesisir. Perbedaan salinitas tersebut disebabkan karena perairan pesisir masih dipengaruhi oleh masukan air tawar dari daratan atau dari sungai. Laevastu and Hela (1970) salinitas perairan pesisir lebih kecil karena dipengaruhi oleh dari daratan. Selain itu, salinitas berpengaruh terhadap pengaturan tekanan osmotik pada ikan dan kemampuan mengapung (buoyancy) telur ikan pelagis. Salinitas sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan biota laut. Salinitas yang mendekati optimum akan membuat larva ikan bertahan dan mengalami pertumbuhan yang optimum (Davis and Calabrese 1964). Salinitas mempengaruhi fisiologis kehidupan organisme dalam hubungannya dengan penyesuaian tekanan osmotik antara sitoplasma dengan lingkungan. Pengaruh ini berbeda pada setiap organisme baik itu fitoplankton, zooplankton, dan ichthyoplankton. Pengaruh salinitas terhadap ikan dewasa sangat kecil karena salinitas di laut relatif lebih stabil yaitu berkisar antara 30-36 ‰, sedangkan larva biasanya cepat menyesuaikan diri terhadap tekanan osmotik. Namun demikian, ikan cenderung lebih memilih air dengan kadar salinitas yang sesuai dengan tekanan osmotik tubuhnya, hal ini langsung akan sangat mempengaruhi distribusi ikan (Rahmawati 2004). Hoar and Randall (1969) menjelaskan bahwa kemampuan bertahan larva untuk bertahan terhadap salinitas tergantung pada dua faktor, yaitu kemampuan dari cairan tubuh untuk bertahan dari kondisi tidak normal melalui pengaturan tekanan osmotik dan konsentrasi cairan di dalam tubuh, yang kedua yaitu kemampuan cairan tubuh untuk mengembalikan tekanan osmotik pada kondisi yang normal. 14 2.6.5 Kekeruhan Menurut Effendi (2003), kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahanbahan yang terdapat dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut (misalnya lumpur dan pasir halus), maupun bahan anorganik dan organik yang berupa plankton dan mikroorganisme air (APHA 1976; Davis and Cornwell 1991 in Effendi 2003). Effendi (2003) menyatakan, kekeruhan yang tinggi dapat menyebabkan terganggunya sistem osmoregulasi, misalnya pernafasan dan daya lihat organisme akuatik, serta dapat menghambat penetrsi cahaya ke dalam air. Salonen et al. (2009) menyatakan bahwa kondisi dari larva sangat tergantung oleh faktor kekeruhan air. Utne-Palm (2002) in Salonen et al. (2009) kekeruhan sangat mempengaruhi siklus hidup ikan dan akan menjadi masalah dalam bagi ikan yang menggunakan penghilatannya untuk menangkap mangsa. Kekeruhan yang tinggi dapat menghambat proses migrasi dari ikan (Bell 1963 in Pauleyb et al. 1989). Selanjutnya Bianchi (1963) in Pauleya et al. (1989) menambahkan sedimen tersuspensi pada tingkat 103 ppm, oksigen terlarut dengan konsentrasi dibawah 6.9 mg/l dapat mengurangi kelangsungan hidup telur dibawah 10%.