13 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Status Gizi Balita Status gizi diartikan sebagai status kesehatan yang dihasilkan oleh keseimbangan antara kebutuhan dan masukan zat gizi. Status gizi sangat ditentukan oleh ketersediaan zat gizi dalam jumlah cukup dan dalam kombinasi waktu yang tepat di tingkat sel tubuh agar berkembang dan berfungsi secara normal. Status gizi ditentukan oleh sepenuhnya zat gizi yang diperlukan tubuh dan faktor yang menentukan besarnya kebutuhan, penyerapan, dan penggunaan zat-zat tersebut Kebutuhan bahan makanan pada setiap individu berbeda karena adanya variasi genetik yang akan mengakibatkan perbedaan dalam proses metabolisme. Sasaran yang dituju yaitu pertumbuhan yang optimal tanpa disertai oleh keadaan defisiensi gizi. Status gizi yang baik akan turut berperan dalam pencegahan terjadinya berbagai penyakit, khususnya penyakit infeksi dan dalam tercapainya tumbuh kembang anak yang optimal. (Triaswulan, 2012). Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi adalah konsumsi makanan dan pengguanan zat-zat gizi dalam tubuh. Tubuh yang memperoleh cukup zat-zat gizi dan digunakan secara efisien akan mencapai status gizi yang optimal. Defisiensi zat mikro seperti vitamin dan mineral memberi dampak pada penurunan status gizi dalam waktu yang lama (Soekirman, 2012). 13 Universitas Sumatera Utara 14 2.1.1. Zat Gizi yang Diperlukan Anak Balita 1. Energi Energi dalam makanan berasal dari nutrisi karbohidrat, protein, dan lemak. Setiap gram protein menghasilkan 4 kalori, lemak 9 kalori dan 13 karbohidrat 4 kalori. Distribusi kalori dalam makanan anak yang dalam keseimbangan diet (balanced diet) ialah 15% berasal dari protein, 35% dari lemak dan 50% dari karbohidrat. Kelebihan energi yang tetap setiap hari sebanyak 500 kalori, dapat menyebabkan kenaikan berat badan 500 gram dalam seminggu (Soekirman, 2012). Tabel 2.1. Angka Kecukupan Energi Untuk Anak Balita Golongan Umur Kecukupan Energi 1 990 1-3 1200 4-5 1620 Sumber: Soekirman, 2012 2. Kal/kg BB/hari 110 100 90 Protein Nilai gizi protein ditentukan oleh kadar asam amino esensial. Akan tetapi dalam praktek sehari-hari umumnya dapat ditentukan dari asalnya. Protein hewani biasanya mempunyai nilai yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan protein nabati. Protein telur dan protein susu biasanya dipakai sebagai standar untuk nilai gizi protein. Nilai gizi protein nabati ditentukan oleh asam amino yang kurang (asam amino pembatas), misalnya protein kacang-kacangan. Nilai protein dalam makanan orang Indonesia sehari-hari umumnya diperkirakan 60% dari pada nilai gizi protein telur (Soekirman, 2012). Universitas Sumatera Utara 15 Tabel 2.2. Angka Kecukupan Protein Anak Balita (gr/kgBB sehari ) Umur (tahun) 1 2 3 4 5 Sumber: Soekirman, 2012 3. Gram / hari 1,27 1,19 1,12 1,06 1,01 Lemak Lemak merupakan komponen struktural dari semua sel-sel tubuh, yang dibutuhkan oleh ratusan bahkan ribuan fungsi fisiologis tubuh (McGuire & Beerman, 2011). Lemak terdiri dari trigliserida, fosfolipid dan sterol yang masing-masing mempunyai fungsi khusus bagi kesehatan manusia. Sebagian besar (99%) lemak tubuh adalah trigliserida. Trigliserida terdiri dari gliserol dan asam-asam lemak. Disamping mensuplai energi, lemak terutama trigliserida, berfungsi menyediakan cadangan energi tubuh, isolator, pelindung organ dan menyediakan asam-asam lemak esensial (Soekirman, 2012). Tabel 2.3. Tingkat Kecukupan Lemak Anak Balita Umur 0-5 bulan 6-11 bulan 1-3 tahun 4-6 tahun Sumber : Hardinsyah, 2012 4. Gram 31 36 44 62 Vitamin dan Mineral Pada dasarnya dalam ilmu gizi, nutrisi atau yang lebih dikenal dengan zat gizi dibagi menjadi 2 macam, yaitu makronutrisi dan mikronutrisi. Makronutrisi terdiri Universitas Sumatera Utara 16 dari protein, lemak, karbohidrat dan beberapa mineral yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah yang besar. Sedangkan mikronutrisi (mikronutrient) adalah nutrisi yang diperlukan tubuh dalam jumlah sangat sedikit (dalam ukuran miligram sampai mikrogram), seperti vitamin dan mineral. Vitamin adalah zat-zat organik kompleks yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah sangat kecil. Vitamin dibagi menjadi 2 kelompok yaitu vitamin yang larut dalam air (vitamin B dan C) dan vitamin yang tidak larut dalam air (vitamin A, D, E dan K). Satuan untuk vitamin yang larut dalam lemak dikenal dengan Satuan Internasional (S.I) atau I.U (International Unit). Sedangkan yang larut dalam air maka berbagai vitamin dapat diukur dengan satuan milligram atau mikrogram. Mineral merupakan bagian dari tubuh dan memegang peranan penting dalam pemeliharaan fungsi tubuh, baik pada tingkat sel, jaringan, organ maupun fungsi tubuh secara keseluruhan, berperan dalam berbagai tahap metabolisme, terutama sebagai kofaktor dalam aktivitas enzim-enzim (Soekirman, 2012). Tabel 2.4. Tingkat Kecukupan Vitamin dan Mineral Anak Balita Umur Kalsium (mg) 0-5 bulan 200 6-11 bulan 400 1-3 tahun 500 4-6 tahun 500 Sumber : Hardinsyah, 2012 Fosfor (mg) 100 225 400 400 Zat besi (mg) 0,5 7 8 9 Vitamin A (RE) 375 400 400 450 Vitamin C (mg) 40 40 40 45 Universitas Sumatera Utara 17 2.1.2. Angka Kecukupan Gizi Angka kecukupan gizi (AKG) adalah jumlah zat-zat gizi yang hendaknya dikonsumsi setiap hari untuk jangka waktu tertentu sebagai bagian dari diet normal rata-rata orang sehat (Soekirman, 2012). Keadaan gizi seseorang merupakan gambaran apa yang dikonsumsinya dalam jangka waktu yang cukup lama. Kecukupan gizi dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, aktifitas, berat badan dan tinggi badan, genetika serta keadaan hamil dan menyusui. Anjuran kecukupan gizi adalah jumlah yang diperkirakan cukup untuk memelihara kesehatan orang pada umumnya. Kecukupan energi bayi dan balita relatif lebih besar dibandingkan dengan orang dewasa sebab pada usia tersebut pertumbuhan masih sangat pesat. Disini juga tampak bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara perempuan dan laki-laki dalam hal kebutuhan energi dan proteinnya. Kegunaan angka kecukupan gizi adalah untuk: 1. Menilai kecukupan gizi yang telah dicapai melalui konsumsi makanan bagi penduduk atau golongan masyarakat tertentu yang didapatkan dari hasil survey gizi atau makanan. 2. Perencanaan pemberian makanan tambahan balita maupun perencanaan makanan institusi. 3. Perencanaan penyediaan pangan tingkat nasional. Kekurangan salah satu zat gizi dapat menimbulkan konsekuensi berupa penyakit ataupun bila kekurangan hanya marginal atau ringan dapat menimbulkan Universitas Sumatera Utara 18 gangguan yang sifatnya lebih ringan atau menurunnya kemampuan fungsi. Bila kekurangan tersebut hanya marginal saja, tidak dijumpai penyakit defisiensi yang nyata, tetapi akan timbul konsekuensi fungsional yang lebih ringan dan kadangkadang tidak disadari kalau hal tersebut karena faktor gizi (Soekirman, 2012). 2.1.3. Faktor- faktor yang Mempengaruhi Status Gizi Balita Faktor yang secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi status gizi adalah asupan makanan dan penyakit infeksi. Berbagai faktor yang melatarbelakangi kedua faktor tersebut misalnya faktor ekonomi dan keluarga (Soekirman, 2012). 1. Ketersediaan dan Konsumsi Pangan Penilaian konsumsi pangan rumah tangga atau secara perorangan merupakan cara pengamatan langsung yang dapat menggambarkan pola konsumsi penduduk menurut daerah, golongan sosial ekonomi dan sosial budaya. Konsumsi pangan lebih sering digunakan sebagai salah satu teknik untuk memajukan tingkat keadaan gizi. Penyebab masalah gizi yang pokok di tempat paling sedikit dua pertiga dunia adalah kurang cukupnya pangan untuk pertumbuhan normal, kesehatan, dan kegiatan normal. Kurang cukupnya pangan berkaitan dengan ketersediaan pangan dalam keluarga. Tidak tersedianya pangan dalam keluarga yang terjadi terus menerus akan menyebabkan terjadinya penyakit kurang gizi (Winarto, 2002). Gizi kurang merupakan keadaan tidak sehat karena tidak cukup makan dalam jangka waktu tertentu. Kurangnya jumlah makanan yang dikonsumsi baik secara kualitas maupun kuantitas dapat menurunkan status gizi. Anak yang makanannya Universitas Sumatera Utara 19 tidak cukup maka daya tahan tubuhnya akan melemah dan mudah terserang infeksi (Winarto, 2000). 2. Infeksi Penyakit infeksi dan keadaan gizi anak merupakan 2 hal yang saling mempengaruhi. Dengan infeksi, nafsu makan anak mulai menurun dan mengurangi konsumsi makanannya, sehingga berakibat berkurangnya zat gizi ke dalam tubuh anak. Dampak infeksi yang lain adalah muntah dan mengakibatkan kehilangan zat gizi. Infeksi yang menyebabkan diare pada anak mengakibatkan cairan dan zat gizi di dalam tubuh berkurang. Kadang-kadang orang tua juga melakukan pembatasan makan akibat infeksi yang diderita dan menyebabkan asupan zat gizi sangat kurang sekali bahkan bila berlanjut lama mengakibatkan terjadinya gizi buruk. Diare merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian pada anak di negara berkembang. Sekitar 80% kematian yang berhubungan dengan diare terjadi pada 2 tahun pertama kehidupan. Penyebab utama kematian karena diare adalah dehidrasi sebagai akibat kehilangan cairan dan elektrolit melalui tinjanya. Diare menjadi penyebab penting bagi kekurangan gizi. Hal ini disebabkan oleh adanya anoreksia pada penderita diare, sehingga anak makan lebih sedikit daripada biasanya dan kemampuan menyerap sari makanan juga berkurang. Padahal kebutuhan tubuh akan makanan meningkat akibat dari adanya infeksi. Setiap episode diare dapat menyebabkan kekurangan gizi, sehingga bila episodenya berkepanjangan maka dampaknya terhadap pertumbuhan anak akan meningkat. Diare secara epidemiologik Universitas Sumatera Utara 20 didefinisikan sebagai keluarnya tinja yang lunak atau cair tiga kali atau lebih dalam satu hari. Secara klinik ada tiga macam sindroma diare. Selain diare, Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) juga merupakan salah satu panyakit infeksi yang erat kaitannya dengan masalah gizi. Tanda dan gejala penyakit ISPA ini bermacam-macam antara lain batuk, kesulitan bernafas, tenggorakan kering, pilek demam dan sakit telinga. ISPA disebabkan lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan rickettsia. Pada anak umur 12 bulan dan batuk sebagai salah satu gejala infeksi saluran pernafasan hanya memiliki asosiasi yang signifikan dengan perubahan berat badan, tidak dengan perubahan tinggi badan (Depkes RI, 2010). 3. Pengetahuan Gizi Pengetahuan tentang gizi adalah kepandaian memilih makanan yang merupakan sumber zat-zat gizi dan kepandaian dalam mengolah bahan makanan. Status gizi yang baik penting bagi kesehatan setiap orang, termasuk ibu hamil, ibu menyusui dan anaknya. Pengetahuan gizi memegang peranan yang sangat penting dalam penggunaan dan pemilihan bahan makanan dengan baik sehingga dapat mencapai keadaan gizi yang seimbang. 4. Tingkat Pendapatan Tingkat pendapatan sangat menentukan bahan makanan yang akan dibeli. Pendapatan merupakan faktor yang penting untuk menetukan kualitas dan kuantitas makanan, maka erat hubungannya dengan gizi. Keluarga dengan pendapatan terbatas kemungkinan besar akan kurang dapat memenuhi kebutuhan makanannya terutama untuk memenuhi kebutuhan zat gizi anggota keluarganya. Universitas Sumatera Utara 21 Tingkat pendapatan dapat menentukan pola makan. Pendapatan merupakan faktor yang terpenting menentukan kualitas dan kuantitas hidangan keluarga. Semakin tinggi penghasilan, semakin besar pula persentase dari penghasilan tersebut untuk membeli buah, sayur dan beberapa jenis bahan makanan lainnya (Parsiki, 2003). Pendapatan dianggap sebagai salah satu determinan utama dalam dalam diet dan status gizi. Ada kecenderungan yang relevan terhadap hubungan pendapatan dan kecukupan gizi keluarga. Hukum Perisse mengatakan jika terjadi peningkatan pendapatan, maka makanan yang dibeli akan lebih bervariasi (Parsiki, 2003). Selain itu menurut hukum ekonomi (hukum Engel) yang disebutkan bahwa mereka yang berpendapatan sangat rendah akan selalu membeli lebih banyak makanan sumber karbohidrat, tetapi jika pendapatannya naik maka makanan sumber karbohidrat yang dibeli akan menurun diganti dengan makanan sumber hewani dan produk sayuran (Soekirman, 2010). Pada tingkat keluarga, penurunan daya beli akan menurunkan kualitas dan kuantitas pangan serta aksesibilitas pelayanan kesehatan terutama sekali bagi warga kelas ekonomi bawah. Hal ini akan berdampak negatif terhadap kesehatan anak yang rentan terhadap gangguan gizi dan kesehatan. Besarnya pendapatan yang diperoleh setiap keluarga tergantung dari pekerjaan mereka sehari-hari. Pendapatan dalam satu keluarga akan mempengaruhi aktivitas keluarga dalam pemenuhan kebutuhan sehingga akan menentukan kesejahteraan keluarga termasuk dalam perilaku gizi seimbang (Yuliana, 2004). Universitas Sumatera Utara 22 5. Besar Keluarga Besar keluarga atau banyaknya anggota keluarga berhubungan erat dengan distribusi dalam jumlah ragam pangan yang dikonsumsi anggota keluarga. Keberhasilan penyelenggaraan pangan dalam satu keluarga akan mempengaruhi status gizi keluarga tersebut. Besarnya keluarga akan menentukan besar jumlah makanan yang dikonsumsi untuk tiap anggota keluarga. Semakin besar jumlah anggota keluarga maka semakin sedikit jumlah konsumsi gizi atau makanan yang didapatkan oleh masing-masing anggota keluarga dalam jumlah penyediaa makanan yang sama (Supariasa, 2002). 6. Keterjangkauan Pelayanan Kesehatan Dasar Status gizi anak berkaitan dengan keterjangkauan terhadap pelayanan kesehatan dasar. Anak balita sulit dijangkau oleh berbgai kegiatan perbaikan gizi dan kesehatan lainnya karena tidak dapat datang sendiri ke tempat berkumpul yang ditentukan tanpa diantar (Sediaoetama, 2006). Beberapa aspek pelayanan kesehatan dasar yang berkaitan dengan status gizi anak antara lain: imunisasi, pertolongan persalinan, penimbangan anak, pendidikan kesehatan anak, serta sarana kesehatan seperti posyandu, puskesmas, rumah sakit, praktek bidan dan dokter. Makin tinggi jangkauan masyarakat terhadap sarana pelayanan kesehatan dasar tersebut di atas, makin kecil risiko terjadinya penyakit gizi kurang. 7. Higiene Sanitasi Lingkungan Sanitasi lingkungan yang buruk akan menyebabkan anak lebih mudah terserang penyakit infeksi yang akhirnya dapat mempengaruhi status gizi (Poedjiadi, Universitas Sumatera Utara 23 1994). Sanitasi lingkungan sangat terkait dengan ketersediaan air bersih, ketersediaan jamban, jenis lantai rumah serta kebersihan peralatan makan pada setiap keluarga. Makin tersedia air bersih untuk kebutuhan seharihari, makin kecil risiko anak terkena penyakit kurang gizi, selain faktor tersebut di atas adalah faktor pengasuhan anak. (Soekirman, 2012). 2.1.4. Penilaian Status Gizi Menurut (Soekirman, 2012) pada dasarnya penilaian status gizi dapat dibagi dua yaitu secara langsung dan tidak langsung. 1. Penilaian status gizi secara langsung Penilaian status gizi secara lansung dapat dibagi menjadi empat penilaian yaitu : antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik. Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri secara umum digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan protein dan energi. Ketidakseimbanagan ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh (Soekirman, 2012). Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting untuk melihat status gizi masyarakat. Metode ini didasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi yang dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel (sipervicial epithelial tissues) seperti kulit, mata, rambut dan mukosa oral atau Universitas Sumatera Utara 24 pada organ-organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid (Soekirman, 2012). Metode klinis umumnya untuk survei klinis secara cepat (rapid clinical suveys). Survey ini dirancang untuk mendeteksi secara cepat tanda-tanda klinis umum dari kekurangan salah satu atau lebih zat gizi. Disamping itu digunakan untuk mengetahui tingkat status gizi seseorang dengan melakukan pemeriksaan fisik yaitu tanda (sign) dan gejala (symptom) atau riwayat penyakit. Pemeriksaan secara biokimia merupakan pemeriksaan spesimen yang diuji secara laboratorium yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang digunakan antara lain : darah, urine, tinja, dan juga beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot. Metode ini digunakan untuk suatu peringatan bahwa kemungkinan akan terjadi keadaan malnutrisi yang lebih parah lagi. Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status gizi dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur dan jaringan. Umumnya dapat digunakan dalam situasi tertentu seperti kejadian buta senja epidemik, cara yang digunakan adalah tes adaptasi gelap (Soekirman, 2012). 2. Penilaian Status Gizi Secara Tidak Langsung Penilaian status gizi secara tidak langsung dapat dibagi tiga yaitu: survei konsumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi. 1. Survei konsumsi makanan merupakan metode penentuan status gizi secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi. Universitas Sumatera Utara 25 2. Statistik vital merupakan pengukuran dengan menganalisis data beberapa statistik kesehatan seperti angka kematian bedasarkan umur, angka kesakitan dan kematian akibat penyebab tertentu. 3. Faktor ekologi digunakan untuk mengungkapkan bahwa malnutrisi merupakan masalah ekologi sebagai hasil interkasi beberapa faktor fisik, biologis, dan lingkungan budaya. 2.1.5. Status Gizi Bedasarkan Antropometri Di masyarakat, cara pengukuran status gizi yang paling sering digunakan adalah antropometri gizi. Dewasa ini dalam program gizi masyarakat, pemantauan status gizi anak balita menggunakan metode antropometri, sebagai cara untuk menilai status gizi. Antropometri berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Berbagai jenis ukuran tubuh antara lain : berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas dan tebal lemak di bawah kulit. Keunggulan antropometri antara lain alat yang digunakan mudah didapatkan dan digunakan, pengukuran dapat dilakukan berulang-ulang dengan mudah dan objektif, biaya relatif murah, hasilnya mudah disimpulkan, dan secara ilmiah diakui keberadaannya (Soekirman, 2012). 1. Parameter Antropometri (Soekirman, 2012) menyatakan bahwa antropometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan mengukur beberapa parameter. Parameter adalah ukuran tunggal dari tubuh manusia, antara lain: Universitas Sumatera Utara 26 a. Umur Faktor umur sangat penting dalam penetuan status gizi. Kesalahan penentuan umur akan menyebabkan interpretasi status gizi menjadi salah. Hasil pengukuran tinggi badan dan berat badan yang akurat, menjadi tidak berarti bila tidak disertai dengan penentuan umur yang tepat. b. Berat Badan Berat badan merupakan ukuran antropometri yang terpenting dan paling sering digunakan pada bayi baru lahir (neonates). Pada masa bayi-balita, berat badan dapat digunakan untuk melihat laju pertumbuhan fisik maupun status gizi. Berat badan merupakan pilihan utama karena parameter yang paling baik, mudah dipakai, mudah dimengerti, memberikan gambaran konsumsi energi terutama dari karbohidrat dan lemak. Alat yang dapat memenuhi persyaratan dan kemudian dipilih dan dianjurkan untuk digunakan dalam penimbangan anak balita adalah dacin (Supariasa, 2002). c. Tinggi badan Tinggi badan merupakan parameter yang penting bagi keadaan yang telah lalu dan keadaan sekarang, jika umur tidak diketahui dengan tepat. Disamping itu tinggi badan merupakan ukuran kedua terpenting, karena dengan menghubungkan berat badan terhadap tinggi badan, faktor umur dapat dikesampingkan. Pengukuran tinggi badan untuk anak balita yang sudah dapat berdiri dilakukan dengan alat pengukuran tinggi mikrotoa (microtoise) yang mempunyai ketelitian 0,1. Universitas Sumatera Utara 27 2. Indeks Antropometri Parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi. Kombinasi antara beberapa parameter disebut Indeks Antropometri. Beberapa indeks antropometri yang sering digunakan yaitu Berat Badan menurut Umur (BB/U), Tinggi Badan menurut Umur (TB/U), dan Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB). a. Berat Badan menurut Umur (BB/U) Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran massa tubuh. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Berat badan merupakan parameter antopometri yang sangat labil. Dalam keadaan normal, dimana keadaan kesehatan baik dan keseimbangan antara konsumsi dan kebutuhan zat gizi terjamin, maka berat badan berkembang mengikuti pertambahan umur. Sebaliknya dalam keadaan abnormal, terdapat 2 kemungkinan perkembanagan berat badan, yaitu dapat berkembang cepat atau lebih lambat dari keadaan normal. Berdasarkan karakteristik berat badan ini, maka indeks berat badan menurut umur digunakan sebagai salah satu cara pengukuran status gizi. Mengingat karakteristik berat badan yang labil, maka indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi seseorang saat ini (current nutrional status). Kelebihan Indeks BB/U antara lain lebih mudah dan lebih cepat dimengerti oleh masyarakat umum, baik untuk mengukur status gizi akut atau kronis, sangat Universitas Sumatera Utara 28 sensitif terhadap perubahan-perubahan kecil, dan dapat mendeteksi kegemukan. Kelemahan Indeks BB/U adalah dapat mengakibatkan interpretasi status gizi yang keliru bila terdapat edema maupun acites, memerlukan data umur yang akurat, terutama untuk anak dibawah usia 5 tahun, sering terjadi kesalahan pengukuran, seperti pengaruh pakaian atau gerakan anak pada saat penimbangan (Supariasa,2002). b. Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U) Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan, relatif kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu yang pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak dalam waktu yang relatif lama. Bedasarkan karakteristik tersebut di atas, maka indeks ini menggambarkan konsumsi protein masa lalu (Supariasa, 2002). Kelebihan indeks TB/U: a. Baik untuk menilai status gizi masa lampau b. Ukuran panjang dapat dibuat sendiri, murah, dan mudah dibawa. Kekurangan indeks TB/U: a. Tinggi badan tidak cepat naik, bahkan tidak mungkin turun b. Pengukuran relatif lebih sulit dilakukan karena anak harus berdiri tegak, sehingga diperlukan dua orang untuk melakukannya (Soekirman, 2012). Universitas Sumatera Utara 29 c. Berat Badan Menurut Tinggi Badan (BB/TB) Berat badan memiliki hubungan yang linier dengan tinggi badan. Dalam keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan tinggi badan dan kecepatan tertentu. Indeks BB/TB adalah merupakan indeks yang independent terhadap umur. Keuntungan Indeks BB/TB adalah tidak memerlukan data umur, dapat membedakan proporsi badan (gemuk, normal, dan kurus). Kelemahan Indeks BB/TB adalah tidak dapat memberikan gambaran, apakah anak tersebut pendek, cukup tinggi badan, atau kelebihan tinggi badan menurut umurnya. Dalam praktek sering mengalami kesulitan dalam melakukan pengukuran panjang/tinggi badan pada kelompok balita. Dengan metode ini membutuhkan dua macam alat ukur, pengukuran relatif lebih lama. Membutuhkan dua orang untuk melakukannya. d. Indeks Massa Tubuh Menurut Umur (IMT/U) Faktor umur sangat penting dalam menentukan status gizi. Hasil pengukuran tinggi badan dan berat badan yang akurat, menjadi tidak berarti bila tidak disertai dengan penentuan umur yang tepat. Pengukuran status gizi balita dapat dilakukan dengan indeks antropometri dan menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT) (Kemenkes, 2011). Universitas Sumatera Utara 30 Tabel 2.5. Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks Indeks Kategori Status Gizi Ambang Batas (z-Score) Berat badan menurut Umur (BB/U) Anak Umur 0-60 bulan Gizi buruk Gizi kurang Gizi baik Gizi lebih < -3 SD -3 SD sampai dengan < -2 SD -2 SD sampai dengan 2 SD >2 SD Tinggi badan menurut umur (TB/U) Anak Umur 0-60 bulan Sangat pendek Pendek Normal Tinggi < -3 SD -3 SD sampai dengan < -2 SD -2 SD sampai dengan 2 SD >2 SD Berat badan menurut Tinggi badan (BB/TB) Anak Umur 0-60 bulan Sangat kurus Kurus Normal Gemuk < -3 SD -3 SD sampai dengan < -2 SD -2 SD sampai dengan 2 SD >2 SD Indeks Massa Tubuh menurut Umur (IMT/U) Anak Umur 0-60 bulan Sangat kurus Kurus Normal Gemuk < -3 SD -3 SD sampai dengan < -2 SD -2 SD sampai dengan 2 SD >2 SD Indeks Massa Tubuh menurut Umur (IMT/U) Anak Umur 5-18 tahun Sangat kurus Kurus Normal Gemuk Obesitas < -3 SD -3 SD sampai dengan < -2 SD -2 SD sampai dengan 1 SD >1 SD sampai dengan 2 SD >2 SD Sumber : Kemenkes 2011 2.1.6. Jenis Status Gizi Anak Balita Status gizi anak balita dibedakan menjadi empat yaitu status gizi lebih status gizi baik, status gizi kurang dan buruk. 1. Status Gizi Lebih Penyakit ini bersangkutan dengan energi di dalam hidangan yang dikonsumsi relatif terhadap kebutuhan atau penggunaannya. Orang yang kelebihan berat badan biasanya dikarenakan kelebihan jaringan lemak yang tidak aktif tersebut. Kategori Universitas Sumatera Utara 31 berat badan lebih (gizi lebih) menurut WHO NCHS yaitu >+2 SD. Tetapi masih banyak pendapat di masyarakat yang mengira bahwa anak yang gemuk adalah sehat, sehingga banyak ibu yang merasa bangga kalau anaknya gemuk, dan di satu pihak ada ibu yang kecewa kalau melihat anaknya tidak segemuk anak tetangganya. Sebenarnya kekecewaan tersebut tidak beralasan, asalkan grafik pertumbuhan anak pada KMS sudah menunjukkan kenaikan yang kontinu setiap bulan sesuai lengkungan grafik pada KMS dan berada pada pita warna hijau, maka anak tersebut pasti sehat. Lebih-lebih kalau anak tersebut menunjukkan perkembangan mental yang normal. Untuk diagnosis obesitas harus ditemukan gejala klinis obesitas dan disokong dengan pemeriksaan antropometri yang jauh di atas normal. Pemeriksaan ini yang sering digunakan adalah BB terhadap tinggi badan, BB terhadap umur dan tebalnya lipatan kulit. Bentuk muka anak yang status gizi lebih atau obesitas tidak proporsional, yaitu hidung dan mulut relatif kecil, dagu ganda, dan biasanya anak lebih cepat mencapai masa pubertas (Supariasa, 2013). 2. Status Gizi Baik Status gizi baik yaitu keadaan dimana asupan zat gizi sesuai dengan adanya penggunaan untuk aktivitas tubuh. Hal ini diwujudkan dengan adanya keselarasan antara, tinggi badan terhadap umur, Berat badan terhadap umur dan tinggi badan terhadap berat badan. Menurut Achmad Djaeni S (2000) menyatakan tingkat gizi sesuai dengan tingkat konsumsi yang menyebabkan tercapainya kesehatan gizi sesuai dengan tingkat konsumsi yang menyebabkan tercapainya kesehatan tersebut. Universitas Sumatera Utara 32 Tingkat kesehatan gizi yang baik ialah kesehatan gizi optimum. Dalam kondisi ini jaringan penuh oleh semua zat gizi tersebut. Tubuh terbebas dari penyakit dan mempunyai daya tahan setinggi-tingginya. Anak yang status gizi baik dapat tumbuh dan kembang secara normal dengan bertambahnya usia. Tumbuh atau pertumbuhan berkaitan dengan masalah perubahan dalam hal besar, jumlah, ukuran atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu, yang bisa diukur dengan ukuran berat, panjang, umur tulang dan keseimbangan metabolik. Sedangkan perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dalam stuktur dan fungsi tubuh yang komplek dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan, sebagai hasil dari proses pematangan (Soetjiningsih, 2008). 3. Status Gizi Kurang dan Status Gizi Buruk Status gizi kurang terjadi karena tubuh kekurangan satu atau beberapa macam zat gizi yang diperlukan. Hal yang menyebabkan status gizi kurang karena kekurangan zat gizi yang dikonsumsi atau mungkin mutunya rendah. Gizi kurang pada dasarnya adalah gangguan pada beberapa segi kesejahteraan perorangan atau masyarakat yang disebabkan oleh tidak terpenuhinya kebutuhan akan zat gizi yang diperoleh dari makanan. Kurang gizi banyak menimpa anak khususnya anak balita yang berusia di bawah lima tahun karena merupakan golongan yang rentan serta pada fase ini kebutuhan tubuh akan zat gizi meningkat karena selain untuk tumbuh juga untuk perkembangan sehingga apabila anak kurang gizi dapat menimbulkan berbagai penyakit. Akibat status gizi kurang adalah Kekurangan Energi Protein (KEP), Universitas Sumatera Utara 33 Anemia Defisiensi Zat Besi, Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) dan Kekurangan Vitamin A (KVA). 2.2. Sosial Ekonomi Faktor sosial ekonomi meliputi data sosial yaitu, keadaan penduduk, keadaan keluarga, pendidikan, perumahan, dapur penyimpanan makanan, sumber air, kakus. Sementara data ekonomi meliputi pekerjaan, pendapatan keluarga, kekayaan, pengeluaran dan harga makanan yang tergantung pada pasar dan variasi musim (Supriasa, 2012). Menurut Dalimunthe (1995), kehidupan sosial ekonomi adalah suatu kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang menggunakan indikator umur, pendidikan, pengetahuan, pekerjaan, pendapatan, dan besar keluarga sebagai tolak ukur. 2.2.1. Umur Ibu Umur berpengaruh terhadap terbentuknya kemampuan, karena kemampuan yang dimiliki dapat diperoleh melalui pengalaman sehari-hari di luar faktor pendidikannya (Sedioetama, 2006). Umur orang tua terutama ibu yang relatif muda, cenderung untuk mendahulukan kepentingan sendiri. Sebagian besar ibu yang masih muda memiliki sedikit sekali pengetahuan tentang gizi dan pengalaman dalam mengasuh anak (Budiyanto, 2002). Dapat diasumsikan bahwa kemampuan pemilihan makanan ibu rumah tangga muda akan berbeda dengan kemampuan pemilihan makanan pada ibu rumah tangga yang telah berumur lebih tua dan pola pembelian makanan cenderung lebih berpengaruh kepada orang tuanya. Umur ibu berpengaruh Universitas Sumatera Utara 34 pada tipe pemilihan konsumsi makanan di rumah dan juga pengeluaran makanannya (Hardinsyah, 2007). Ibu yang relatif muda cenderung kurang memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam mengasuh anak sehingga umumnya mereka mengasuh dan merawat anak didasarkan pada pengalaman orang tua terdahulu. umumnya mengasuh anak hanya berdasarkan pengalaman orang tuanya dahulu. Sebaliknya pada ibu yang lebih berumur cenderung akan menerima dengan senang hati tugasnya sebagai ibu sehingga akan mempengaruhi pula terhadap kualitas dan kuantitas pengasuhan anak. Umur akan berpengaruh terhadap perilaku seseorang seiring dengan perkembangan fisik dan mental orang tersebut sehingga perilakunya akan semakin matang dengan bertambahnya umur (Gunarsa, 2000). 2.2.2. Pendidikan Ibu Tingkat pendidikan formal umumnya mencerminkan kemampuan seseorang untuk memahami berbagai aspek pengetahuan termasuk pengetahuan gizi (Hardinsyah, 2012). Pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam proses tumbuh kembang anak. Ibu yang memiliki tingkat pendidikan tinggi akan lebih mudah menerima pesan dan informasi gizi dan kesehatan anak. Orang tua yang memiliki pendidikan tinggi akan lebih mengerti tentang pemilihan pengolahan pangan serta pemberian makan yang sehat dan bergizi bagi keluarga terutama untuk anaknya (Soetjiningsih, 2004). Pendidikan formal dari ibu rumah tangga sering kali mempunyai manfaat yang positif dengan pengembangan pola konsumsi makanan dalam keluarga. Universitas Sumatera Utara 35 Beberapa studi menunjukkan bahwa jika pendidikan dari ibu meningkat maka pengetahuan nutrisi dan praktek nutrisi bertambah baik . Ibu yang berpendidikan lebih tinggi cenderung memilih makanan yang lebih baik dalam kualitas dan kuantitas dibandingkan ibu yang berpendidikan rendah (Joyomartono, 2004). 2.3. Pola Asuh Menurut Marian Zeitien (2000), pola asuh gizi adalah praktek di rumah tangga yang diwujudkan dengan tersedianya pangan dan perawatan kesehatan serta sumber lainnya untuk kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan anak. Sedangkan menurut Soekirman (2010), pola asuh adalah berupa sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal memberi makan, kebersihan, memberi kasih sayang dan sebagainya kesemuanya berhubungan dengan keadaan ibu dalam hal kesehatan (fisik dan mental). Kebutuhan Asuh pada anak merupakan kebutuhan fisik-biomedis, yang meliputi: 1. Kebutuhan terhadap pangan/gizi, yang merupakan kebutuhan terpenting untuk tumbuh kembang anak 2. Kebutuhan terhadap perawatan kesehatan dasar, yang meliputi pemberian ASI, imunisasi, penimbangan bayi/anak secara teratur, pengobatan bila bayi/anak sakit, dan lain-lain 3. Kebutuhan terhadap papan/pemukiman yang layak, yaitu rumah yang bersih dan sehat Universitas Sumatera Utara 36 4. Kebutuhan terhadap sandang, yaitu pakaian yang bersih dan rapi 5. Kebutuhan terhadap kebersihan perorangan dan lingkungan 6. Kebutuhan terhadap kesegaran jasmani, rekreasi, dan lain-lain (Maryunani, 2010). 2.3.1. Aspek Kunci Pola Asuh Gizi Adapun aspek kunci pola asuh gizi adalah : 1. Perawatan dan Perlindungan Bagi Anak Setiap orang tua berkewajiban uintuk memberikan perawatan dan perlindungan bagi anaknya. Masa lima tahun pertama merupakan masa yang akan menentukan pembentukan fisik, psikis, maupun intelengensinya sehingga masa ini mendapatkan perawatan dan perlindungan yang intensif. Bentuk perawatan bagi anak dimulai sejak bayi lahir sampai dewasa missal sejak bayi lahir yaitu memotong pusar bayi, pemberian makan dan sebagainya. Perlindungan bagi anak berupa pengawasan waktu bermain dan pengaturan tidur. 2. Praktek Menyusui dan Pemberian MP-ASI Menyusui adalah proses memberikan ASI pada bayi. Pemberian ASI berarti menumbuhkan kasih sayang antara ibu dan bayinya yang akan sangat mempengaruhi tumbuh kembang dan kecerdasan anak dikemudian hari. ASI diberikan setelah lahir biasanya 30 menit setelah lahir. Kolostrum merupakan salah satu kandungan ASI yang sangat penting yang keluar 4-6 hari pertama. Kolostrum berupa cairan yang agak kental dan kasar serta berwarna kekuning-kuningan terdiri dari banyak mineral (natrium, kalium, dan klorida) vitamin A, serta zat-zat anti infeksi penyakit diare, Universitas Sumatera Utara 37 pertusis, difteri, dan tetanus. Sampai bayi berumur 4-6 bulan hanya diberi ASI saja tanpa tambahan bahan makanan dan minuman lain. Pemberian makanan pendamping ASI harus disesuaikan dengan usia balita. Pengaturan makanan baik untuk pemeliharaan, pemulihan, pertumbuhan, serta aktifitas fisik. Makanan pendamping ASI adalah makanan yang diberikan pada bayi yang telah berusia 6 bulan atau lebih karena ASI tidak lagi memenuhi kebutuhan gizi bayi. Pemberian makanan pendamping ASI harus bertahap dan bervariasi dari mulai bentuk bubur kental, sari buah, buah segar, makanan lumat, makanan lembek dan akhirnya makanan padat. Makanan pendamping ASI diberikan pada bayi di samping ASI. Untuk memenuhi kebutuhan gizi anak balita mulai umur 3 bulan sampai umur 24 bulan. 3. Pengasuhan Psiko-Sosial Manusia sebagai makhluk sosial pada dasarnya tidak hidup sendiri-sendiri tetapi saling membutuhkan antar sesama dalam kehidupan sehari-hari. Pengasuhan psiko-sosial terwujud dalam pola interaksi dengan anak. Interaksi timbal balik antara anak dan orang tua akan menimbulkan keakraban dalam keluarga. Pengasuhan psikososial ini antara lain terdiri dari cinta dan kasih sayang serta interaksi antara ibu dan anak. Salah satu hak anak adalah untuk dicintai dan dilindungi. Anak memerlukan kasih sayang dan perlakuan yang adil dari orang tuanya. Pengasuhan psiko-sosial ini didasarkan pada frekuensi interaksi antara ibu dan anak. Meningkatkan kedekatan ibu dan anak ditentukan dengan frekuensi interaksi dan sikap sayang selalu senyum dengan anak (Marian Zeitien, 2001). Universitas Sumatera Utara 38 4. Penyiapan Makanan Makanan akan mempengaruhi pertumbuhan serta perkembangan fisik dan mental anak. Oleh karena itu makanan harus dapat memenuhi kebutuhan gizi anak. Penyiapan makanan harus dapat mencukupi kebutuhan gizi balita. Pengaturan makanan yaitu pengaturan makanan harus dapat disesuaikan dengan usia balita selain untuk mendapatkan gizi pengaturan makanan juga baik untuk pemeliharaan, pemulihan, pertumbuhan, perkembangan serta aktifitas fisiknya. Makin bertambah usia anak makin bertambah pula kebutuhan makanannya, secara kuantitas maupun kualitas. Untuk memenuhi kebutuhannya tidak cukup dari susu saja. Saat berumur 12 tahun perlu diperkenalkan pola makanan dewasa secara bertahap, di samping itu anak usia 1-2 tahun sudah menjalani masa penyapihan. Adapun pola makan orang dewasa yang diperkenalkan pada balita adalah hidangan serba-serbi dengan menu seimbang yang terdiri dari : a. Sumber zat tenaga misalkan roti, nasi, mie, dan tepung-tepungan. b. Sumber zat pembangun misalkan susu, daging, ikan, tempe, tahu dan kacangkacangan. c. Sumber zat pengatur misalkan sayur-sayuran dan buah-buahan (Soekirman, 2010). 5. Kebersihan Diri dan Sanitasi Lingkungan. Lingkungan merupakan faktor yang sangat mempengaruhi proses tumbuh kembang anak. Peran orang tua dalam membantu proses pertumbuhan dan perkembangan anak adalah dengan membentuk kebersihan diri dan sanitasi Universitas Sumatera Utara 39 lingkungan yang sehat. Hal ini menyangkut dengan keadaan bersih, rapi, dan teratur. Oleh karena itu anak perlu dilatih untuk mengembangkan sifat-sifat sehat seperti berikut ini: a. Mandi dua kali sehari. b. Cuci tangan sebelum dan sesudah tidur. c. Menyikat gigi sebelum tidur d. Membuang sampah pada tempatnya e. Buang air kecil pada tempatnya atau WC (Dina Agoes Sulistijani dan Maria Poppy Herlianty, 2001). 6. Praktek Kesehatan di Rumah dan Pola Pencarian Pelayanan Kesehatan. Bayi dan anak perlu diperiksa kesehatannya oleh bidan atau dokter bila sakit sebab mereka masih memiliki resiko tinggi untuk terserang penyakit. Adapun praktek kesehatan yang dapat dilakukan dalam rangka pemeriksaan pemantauan kesehatan adalah: a. Imunisasi Imunisasi adalah suatu upaya untuk mendapatkan kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit, dengan memasukkan kuman atau produk kuman yang sudah dilemahkan atau dimatikan. Dengan memasukkan kuman atau bibit penyakit tersebut diharapkan tubuh dapat menghasilkan Eat Anti yang pada akhirnya nanti digunakan tubuh untuk melawan kuman atau bibit penyakit yang menyerang tubuh. Imunisasi dasar adalah pemberian imunisasi awal untuk mencapai kadar kekebalan di atas ambang perlindungan. Imunisasi diberikan pada bayi antara umur Universitas Sumatera Utara 40 0-12 bulan, yang terdiri dari imunisasi BCG, DPT (1-3), Polio (1-4) Hepatitis B (1-3), dan Campak. Imunisasi lanjutan adalah imunisasi ulangan untuk mempertahankan tingkat kekebalan di atas ambang perlindungan atau untuk memperpanjang masa perlindungan (Marimbi, 2010). Tabel 2.6. Jadwal Pemberian Imunisasi Dasar Umur Jenis 0-7 hari Hepatitis B 1 bulan BCG, Polio 1 2 bulan DPT-HB-Hib 1, Polio 2 3 bulan DPT-HB-Hib 2, Polio 3 4 bulan DPT-HB-Hib 1, Polio 4, IPV 9 bulan Campak Sumber: Kemenkes RI, 2015 b. Interval Minimal untuk Jenis Imunisasi yang Sama 1 bulan 1 bulan 1 bulan - Pemantauan Pertumbuhan Balita Semua anak berhak untuk mendapatkan perhatian dan pola asuh yang baik dari orangtua berupa asupan makanan bergizi dan perilaku sehat lainnya agar balita memiliki pertumbuhan dan perkembangan yang baik sesuai umurnya. Hal-hal yang perlu diketahui dan dipahami oleh keluarga berkaitan dengan pemantauan balita adalah sebagai berikut: 1. Anak harus tumbuh dengan baik dan mengalami pertambahan berat badan yang cukup Anak sehat adalah anak yang berat badannya bertambah secara cukup. Pertambahan berat badan yang teratur merupakan ciri anak yang fisiknya tumbuh dengan baik. Pemantauan pertumbuhan anak dapat dilakukan melalui penimbangan Universitas Sumatera Utara 41 berat badan anak setiap bulan di Posyandu atau fasilitas kesehatan. Sedangkan pemantauan perkembangan dapat dilakukan minimal setiap 6 bulan sekali. Setiap anak harus memiliki Kartu Menuju Sehat (KMS). Status pertumbuhan seorang anak dapat diketahui dengan cara melihat kenaikan berat badannya dibandingkan dengan grafik pertumbuhan yang terdapat pada KMS. Setiap kali ditimbang, berat badan anak harus dicantumkan dengan tanda titik pada KMS. Setiap titik kemudian dihubungkan sehingga menghasilkan garis (grafik) yang menggambarkan kecenderungan pertumbuhan anak. Garis (grafik) yang naik menunjukkan anak tumbuh dengan baik. Garis (grafik) mendatar atau bahkan turun menunjukkan bahwa pertumbuhan anak bermasalah sehingga perlu mendapat perhatian. 2. Tindak lanjut hasil penentuan status pertumbuhan: berat badan naik, berat badan tidak naik 1 kali, berat badan tidak naik 2 kali atau berada di Bawah Garis Merah (BGM) 3. Balita perlu dirujuk ke petugas kesehatan bila tidak naik 2 kali berturut-turut dan atau berada di Bawah Garis Merah (BGM) Apabila berat badan anak tidak cukup bertambah setiap bulannya berarti: (a) anak perlu mendapatkan makanan yang lebih banyak dan bergizi, (b) anak sakit, dan (c) anak memerlukan perhatian dan perawatan. Balita perlu dirujuk ke petugas kesehatan di Puskesmas bila tidak naik 2 kali berturut-turut (2 T) dan atau berada di Bawah Garis Merah (BGM). Orangtua dan petugas kesehatan harus segera menemukan penyebab mengapa anak tidak bertambah berat badannya (Kemenkes RI, 2015). Universitas Sumatera Utara 42 2.3.2. Jenis-jenis Pola Asuh Gizi 1. Pola Asuh Demokrasi Pola Asuh Demokrasi ditandai dengan ciri-ciri suka berdiskusi dengan anak, mau mendengar keluhan anak, tidak kaku atau luwes, selalu memperhatikan perkembangan anak, memberi kesempatan untuk mandiri dan mengembangkan kontrol internalnya. 2. Pola Asuh Otoriter Orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter mempunyai ciri-ciri kaku, tegas, suka menghukum, kurang ada kasih sayang serta simpatik, tingkah laku anak dikontrol dengan ketat. 2. Pola Asuh Permisif. Orang tua yang mempunyai pola asuh permisif cenderung selalu memberikan kebebasan pada anak tanpa memberikan kontrol sama sekali, kurang kontrol, kurang membimbing, kurang tegas, kurang komunikasi, dan tidak peduli terhadap kelakuan anak ( Moh Shochib, 1998). 2.4. Status Kesehatan Status kesehatan merupakan suatu keadaan kesehatan seseorang dalam rentang sehat-sakit yang bersifat dinamis dan dipengaruhi oleh perkembangan, sosial kultural, pengalaman masa lalu, harapan seseorang tentang dirinya, keturunan, lingkungan, dan pelayanan. Menurut Blum (1974), ada empat faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan seseorang. Keempat faktor tersebut adalah: Universitas Sumatera Utara 43 1. Keturunan (genetik) Faktor keturunan adalah faktor genetik dan struktur tubuh serta penyakit tertentu yang diturunkan oleh orang tua kepada anaknya atau keturunannya. 2. Fasilitas kesehatan Fasilitas kesehatan adalah semua sarana dan sumber daya yang ada dan berpengaruh terhadap timbulnya masalah kesehatan. Kondisi ini meliputi: a. Lokasi Lokasi terkait dengan kemudahan akses oleh masyarakat. Umumnya di kotakota besar, fasilitas kesehatan lebih lengkap dibandingkan dengan daerah yang lokasinya terpencil. b. Tenaga kesehatan Ketersediaan tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan tersebut cukup memadai atau tidak. Ketenagaan ini menyangkut jumlah (kuantitas), dan mutu (kualitas). Contohnya, di setiap puskesmas harus ada minimal seorang tenaga ahli gizi dengan kualitas tamatan D-III Gizi atau minimal D-I Gizi. c. Pemanfaatan Setelah masyarakat mengetahui adanya fasilitas kesehatan, seperti puskesmas, timbul pertanyaan apakah masyarakat mau memanfaatkan fasilitas tersebut. Kadang-kadang masyarakat di daerah terpencil enggan datang ke puskesmas dan memilih tenaga kesehatan tradisional, seperti dukun, untuk minta pertolongan sehubungan dengan kesembuhan penyakitnya. Universitas Sumatera Utara 44 3. Perilaku Jenis perilaku ini ada dua macam, yaitu perilaku positif, artinya tingkah laku yang baik dan yang mendorong timbulnya timbulnya derajat kesehatan yang optimal; perilaku negatif artinya tingkah laku buruk bila ditinjau dari segi kesehatan dan menghambat tercapainya derajat kesehatan yang optimal. Faktor yang mempengaruhi perilaku: tingkat pendidikan, kepercayaan, pandangan hidup, nilai-nlai yang ada, norma-norma, serta adat-istiadat yang ada di masyarakat, dan sosial ekonomi. 4. Lingkungan Lingkungan hidup adalah segala sesuatu baik benda maupun keadaan yang berada di sekitar manusia, yang dapat memengaruhi kehidupan manusia dan masyarakat. Terkait dengan masalah kesehatan, yang dimaksud lingkungan di sini adalah segala sesuatu yang berada di sekitar kita dan berhubungan dengan kehidupan kita sebagai manusia, baik lingkungan fisik, lingkungan geologis/ekologi, maupun lingkungan sosial budaya. Diantara keempat faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan, faktor lingkungan adalah faktor yang paling besar pengaruhnya. Pada umumnya, lingkungan hidup dapat dibagi menjadi empat bagian: a. Lingkungan biologi Lingkungan biologi ini adalah organisme yang berada di sekitar manusia, seperti protozoa, bakteri, virus, lalat, tumbuhan, hewan, dan lain-lain. Universitas Sumatera Utara 45 b. Lingkungan fisik Yang termasuk lingkungan fisik adalah benda-benda yang tidak hidup, seperti keadaan tanah, perumahan, jamban keluarga, sampah, udara, dan air. Pencemaran air, tanah, dan udara dapat menimbulkan berbagai macam penyakit. c. Lingkungan ekonomi Strata ekonomi masyarakat kita dapat dilihat dari pendapatan. Ada masyarakat yang tergolong miskin, da nada masyarakat yang tergolong kaya. Masyarakat strata ekonomi miskin tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, sehingga perumahan dan tingkat sanitasinya sangat jelek. Oleh sebab itu, penyakit seperti kurang gizi, TBC, & penyakit infeksi lainnya sering kali terjadi pada masyarakat miskin. Pada masyarakat yang ekonominya baik, pola penyakit yang umum diderita adalah penyakit degenerative, seperti diabetes mellitus, jantung, dan penyakit ginjal. d. Lingkungan mental-sosial/budaya Faktor mental, yang bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa sangat erat kaitannya terhadap kesehatan, karena kesehatan tidak hanya menyangkut masalah fisik saja, tetapi juga menyangkut masalah rohani. Masalah sosial dan budaya seperti gotong-royong untuk membersihkan selokan dan lingkungan lainnya sangat menguntungkan untuk terciptanya lingkungan yang bersih. Hal itu sangat berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat. Masalah kesehatan dapat dilihat dengan berbagai macam indikator, seperti prevalensi dan insiden dari penyakit tertentu, usia harapan hidup, status gizi Universitas Sumatera Utara 46 masyarakat, dan lain-lain. Faktor perilaku dan sosial budaya mempunyai indikator yang sulit diukur, seperti penggunaan fasilitas kesehatan, tindakan-tindakan pencegahan, pola makan, dan lain-lain (Supariasa, 2013). 2.5. Landasan Teoritis Akar permasalahan gizi adalah terjadi krisis ekonomi, politik, dan sosial dalam masyarakat, sehingga menyebabkan terjadinya permasalahan kekurangan pangan, kemiskinan dan tingginya angka inflasi, dan pengangguran. Sedangkan pokok masalahnya di masyarakat adalah kuragnya pemberdayaan wanita sumber daya manusia. Rendahnya tingkat pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan. Adapun faktor tidak langsung menyebabkan kurang gizi adalah tidak cukup persediaan pangan akibat krisis ekonomi dan rendahnya daya beli masyarakat, pola asuh anak yang tidak memadai akibat dari rendahnya pengetahuan, pendidikan orangtua, dan buruknya sanitasi lingkungan dan akses ke pelayanan kesehatan dasar masih sulit sehingga berdampak terhadap pola konsumsi dan terjadinya masalah kesehatan yang secara langsung menyebabkan kurang gizi. Universitas Sumatera Utara 47 Dampak Penyebab langsung Status Gizi Tidak cukup Persediaan Pangan Penyebab Tidak langsung Infeksi Penyakit Asupan Gizi Pola asupan anak tidak memadai Sanitasi lingkungan, air bersih. Pel Kes yang tidak memadai Kurang pendidikan, pengetahuan, penghasilan, dan keterampilan ibu Kurang pemberdayaan wanita dan keluarga, kurang pemanfaatan sumber daya manusia Akar Masalah nasional Krisis ekonomi, politik, dan sosial Gambar 2.1. Faktor Masalah Gizi Sumber: UNICEF (1998) dalam Supariasa, (2013) Universitas Sumatera Utara 48 2.6. Kerangka Konsep Berdasarkan kerangka teori yang telah disebutkan di atas, ada beberapa variabel yang digunakan dalam penelitan ini. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah tingkat sosial ekonomi (umur, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, besar keluarga), pengetahuan gizi ibu dan sikap ibu, pola asuh, dan status kesehatan sedangkan variabel independennya adalah status gizi anak balita. Tingkat Sosial Ekonomi - Pendidikan, - Pekerjaan, - Penghasilan, dan - Besar keluarga - Pengetahuan gizi ibu Pola asuh - Pemberian makan - Perawatan kesehatan Status gizi anak balita berdasarkan indeks: BB/TB Status Kesehatan Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian Universitas Sumatera Utara