Katalog Dalam Terbitan. Kementerian Kesehatan RI 614 Indonesia. Kementerian Kesehatan RI. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Provinsi DKI Jakarta 2013.—Jakarta : Ind Kementerian Kesehatan RI.2013 ISBN 978-602-235-538-0 1. Judul I.HEALTH SERVICES – ORGANIZATION AND ADMINISTRATION II. HEALTH PLANNING III. HEALTH POLICY Cetakan Pertama, Desember 2013 Hak Cipta dilindungi oleh Undang Undang All right reserved Kementerian Kesehatan RI, Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Provinsi DKI Jakarta 2013 Penulis : Basuki Budiman, dkk Layout : Andi Maharany Patta Katy Desain Sampul : Suci Wiji Lestari Editor C-1 Jakarta : Susilowati Herman, Nurul Puspasari Lembaga Penerbitan Badan Litbangkes, 2013, 220 hlm. Uk 21 cm x 29,7 cm Diterbitkan oleh : Lembaga Penerbitan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI Anggota IKAPI No. 468/DKI/XI/2013 Jl. Percetakan Negara No 29 Jakarta 10560 Kotak Pos 1226 Telepon : (021) 4261088 Ext.123 Faksimilie (021) 4243933 Email: [email protected]; Website: terbitan.litbang.depkes.go.id Didistribusikan oleh : Tim Riskesdas 2013 Copyright (C) 2013 pada Lembaga Penerbitan Badan Litbangkes Jakarta Sanksi Pelanggaran Undang undang Hak Cipta 2002 1. Barang siapa dengan sengaja tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) 2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil Hak Cipta Sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun/atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) 614.407 2 Ind r POKOK POKOK HASIL RISET KESEHATAN DASAR PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2013 Penulis: DR. Ir. Basuki Budiman, MSPH Dr. Makassari Dewi Elisa Diana Julianti, SP, MSi Drg. Tince A Yovita, M.Kes Eddy Purwanto, ST., MKM BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN RI TAHUN 2013 2 KATA PENGANTAR Assalamu‘alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat, taufik dan hidayahNya, sehingga Riskesdas 2013 telah selesai dilaksanakan. Riskesdas merupakan kegiatan riset kesehatan dasar berbasis masyarakat, yang dilaksanakan secara berkala. Riskesdas menghasilkan indikator kesehatan yang dapat dimanfaatkan untuk perencanaan pembangunan kesehatan. Hasil akhir Riskesdas 2013 disajikan dalam dua buku yaitu buku 1: Pokok-Pokok Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013 Provinsi DKI Jakarta, buku 2: Riskesdas 2013 Dalam Angka Provinsi DKI Jakarta. PokokPokok Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013 berisi hasil analisis variabel utama pembangunan kesehatan, dilengkapi dengan filosofi, teori dan justifikasi pengumpulan variabel dan indikator. Riskesdas 2013 dalam Angka menyajikan hasil lebih rinci dalam bentuk tabel. Kedua buku ini merupakan satu kesatuan, pembaca disarankan membaca buku 1 untuk mendapatkan gambaran komprehensif mengenai Riskesdas, buku 2 untuk memperoleh informasi lebih rinci. Analisis disajikan secara deskriptif dan kecenderungan untuk melihat perubahan indikator 2007 – 2013. Informasi kecenderungan dapat dimanfaatkan program untuk mengevaluasi strategi yang telah diterapkan, sehingga dapat diidentifikasi kemajuan kinerja provinsi dan perbaikan yang dibutuhkan. Laporan Riskesdas 2013 dapat diunduh melalui website Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan www.litbang.depkes.go.id Ucapan terima kasih yang tulus kami sampaikan kepada Gubernur, Bupati, Walikota, Dinas Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Poltekkes, Perguruan Tinggi, Lembaga Penelitian Daerah, dan berbagai institusi yang membantu kelancaran Riskesdas 2013. Kontribusi semua pihak dari tahap persiapan, pembuatan instrumen, pengumpulan dan analisis data serta penulisan laporan sangat kami apresiasi. Ungkapan serupa juga kami tujukan kepada para koordinator wilayah beserta jajaran administratornya, para penanggung jawab operasional, para enumerator di lapangan, sehingga pelaksanaan Riskesdas 2013 dapat berjalan lancar. Semoga laporan ini dapat dimanfaatkan bagi para pembaca dan semoga Allah SWT melimpahkan barokahNya kepada kita. Jakarta, 29 November 2013 Kepala Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI dr. Siswanto, DTMH i KATA SAMBUTAN KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN RI Dalam lima tahun terakhir ini Pembangunan Kesehatan telah diperkuat dengan tersedianya data dan informasi yang dihasilkan oleh Riset Kesehatan Dasar atau Riskesdas. Tiga Riskesdas telah dilaksanakan di Indonesia, masing–masing pada tahun 2007, 2010, dan 2013. Riskesdas 2013 berbasis komunitas, mencakup seluruh provinsi di Indonesia dan menghasilkan data serta informasi yang bermanfaat bagi para pengelola dan pelaksana pembangunan kesehatan. Dengan adanya data dan informasi hasil Riskesdas, maka perencanaan dan perumusan kebijakan kesehatan serta intervensi yang dilaksanakan akan semakin terarah, efektif dan efisien. Saya minta agar segenap pengelola dan pelaksana pembangunan kesehatan memanfaatkan data dan informasi yang dihasilkan Riskesdas dalam merumuskan kebijakan dan mengembangkan program kesehatan, demi terwujudnya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi–tingginya. Saya juga mengundang para pakar perguruan tinggi, para pemerhati kesehatan, para peneliti Badan Litbangkes, dan para anggota APKESI (Asosiasi Peneliti Kesehatan Indonesia) untuk mengkaji hasil Riskesdas 2013, guna mengindentifikasi asupan bagi peningkatan Pembangunan Kesehatan dan penyempurnaan Sistem Kesehatan Nasional. Dengan demikian dapat dikembangkan tatanan kesehatan yang semakin baik bagi Rakyat Indonesia. Ucapan selamat dan apresiasi saya sampaikan kepada para responden, enumerator, para penanggung jawab teknis Badan Litbangkes dan Poltekkes, para penanggung jawab operasional dari Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota, para pakar dari universitas dan Badan Pusat Statistik, serta semua pihak yang terlibat dalam Riskesdas 2013 ini. Peran dan dukungan anda sangat penting dalam mendukung upaya menyempurnakan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi Pembangunan Kesehatan di negeri ini. Semoga buku ini bermanfaat. Billahi taufiq wal hidayah, Wassalamu‘alaikum Wr. Wb. Jakarta, 1 Desember 2013 Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI Dr. dr. Trihono, MSc ii RINGKASAN EKSEKUTIF Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 telah dilaksanakan di 33 Provinsi, 497 Kabupaten/Kota di Indonesia. Pelaksanaan Riskesdas di DKI Jakarta mencakup wilayah Kota Jakarta Pusat, Utara, Barat, Selatan, Timur dan Kabupaten Kepulauan Seribu. Tujuan riskesdas adalah menyediakan data berdasarkan bukti untuk perencanaan program kesehatan di tingkat Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota sesuai dengan keterwakilan jumlah sampel yang berbeda. Pelaksanaan Riskesdas 2013 di Provinsi DKI Jakarta mencakup 209 Blok Sensus (BS), 5225 rumah tangga (RT) dan 16343 anggota rumah tangga (ART), yang dilaksanakan oleh 34 tim setempat dibawah koordinasi peneliti Badan Litbang Kesehatan, Kemenkes RI. Berbagai informasi telah dikumpulkan dan hasil tersebut disajikan dalam ringkasan dibawah ini. Akses Pelayanan 1. Sekitar ¾ warga DKI Jakarta mengetahui enam dari delapan fasilitas kesehatan (faskes) yang ditanyakan. Puskesmas paling banyak diketahui oleh semua lapisan status ekonomi masyarakat. Rumah Sakit (RS) dan Rumah Bersalin (RB)/Bidan lebih banyak diketahui oleh kelompok status ekonomi menengah ke atas. Pos persalinan desa (polindes), pos kesehatan desa (poskesdes) dan pos kesehatan pesatren (poskestren) tidak dikenal oleh warga DKI Jakarta. 2. Untuk mencapai faskes yang terdekat, warga Kepulauan Seribu (52,0%) menggunakan lebih dari satu moda transport. Di daratan, warga Jakarta Selatan dan Jakarta Barat terbanyak menggunakan moda transport lebih dari satu. Pilihan jenis moda transport yang digunakan terbanyak adalah sepeda motor dan kendaraan umum. Kedua jenis moda ini paling banyak digunakan oleh kelompok status ekonomi menengah bawah dan terbawah. Proporsi pemakai kendaraan umum berhubungan secara negatif dengan kuintil indeks kepemilikan (status ekonomi). Semakin tinggi kategori indeks semakin rendah menggunakan moda transportasi kendaraan umum. Waktu yang dipergunakan untuk mencapai Puskesmas/Pustu pada umumnya kurang dari 15 menit, untuk ke RS pemerintah ½ jam dengan biaya kurang dari Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah). Farmasi Dan Pelayanan Kesehatan Tradisional 3. Lebih dari separuh (56,4; 30,2-67,3%) rumah tangga DKI Jakarta mempunyai simpanan 2-3 jenis obat di rumah. Obat bebas paling banyak disimpan(87,4; 81,7-89,2%), bahkan obat antibiotik (27,8; 14,923,3%) dan obat keras (26,1; 22,2-34,6%) juga ditemukan. Sebagian besar obat yang disimpan dalam kondisi baik, namun ditemukan 3,9% obat yang disimpan dalam kondisi tidak baik. Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat tradisional juga cukup besar (21,9; 1,2-23,5%). Penggunaan obat keras dan antibiotika tidak menurut resep sehingga dapat membahayakan kesehatan pengguna, apalagi obat yang masih tersisa 47 %. Obat tersebut dibeli dari toko obat/warung. 4. Warga DKI Jakarta yang pernah mendengar tentang obat generik (OG) cukup banyak (65,9; 62,469,7%). Namun demikian, masih sedikit (14,9;11,6-18,2%) yang berpengetahuan benar. Banyak warga yang mempunyai persepsi OG adalah obat murah (88,8%), obat program pemerintah (71,7%), dan obat untuk pasien miskin (49,7%). Sumber informasi OG dari media cetak dan elektronik lebih banyak di akses oleh rumah tangga dengan kuintil indeks kepemilikan yang lebih tinggi. iii 5. Warga DKI yang pernah menggunakan Yankestrad sebesar 31 (17,0-36,2) persen (Tabel. 7.2.3.1). Jenis Yankestrad yang dimanfaatkan oleh rumah tangga terbanyak adalah keterampilan tanpa alat (77,8%) dan ramuan (49,0%). Alasan memanfaatkan yankestrad beragam, antara lain untuk kebugaran, tradisi, lebih manjur, murah, coba-coba, bahkan karena sudah putus asa memanfaatkan pengobatan konvensional. Penyakit Tidak Menular 6. Data penyakit tidak menular didapat melalui pertanyaan/wawancara responden tentang penyakit tidak menular yang terdiri dari: (1) asma (2) penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) (3) kanker (4) DM (5) hipertiroid (6) hipertensi (7) jantung koroner (8) gagal jantung (9) stroke (10) gagal ginjal kronis (11) batu ginjal (12) penyakit sendi/rematik. Jenis pertanyaan meliputi: besaran PTM yang didiagnosis tenaga kesehatan, besaran PTM berdasarkan keluhan/gejala tertentu yang dialami oleh responden dan onset PTM yang didiagnosis tenaga kesehatan atau yang dialami responden. Data penyakit asma/mengi/bengek dan kanker diambil dari responden semua umur; untuk penyakit paru obstruksi kronis umur > 30 tahun; untuk penyakit kencing manis/diabetes melitus, hipertiroid, hipertensi/tekanan darah tinggi, penyakit jantung koroner, penyakit gagal jantung, penyakit ginjal, penyakit sendi/rematik/encok dan stroke ditanya pada umur > 15 tahun 7. Proporsi penderita asma di DKI Jakarta sebesar 5,2 persen; PPOK 2,7 % dan Kanker 19 per 10000 penduduk. Asma ditemukan kelompok usia produktif (15-54 tahun), proporsi PPOK dan kanker banyak ditemukan pada perempuan berusia 50 tahunke atas. Sebaran penyakit pada kelompok jenis pekerjaan, tingkat pendidikan dan status ekonomi tampaknya tidak berbeda. 8. Penyakit hipertensi, diabetes mellitus (DM) dan hipertiroid ditemukan di DKI Jakarta cukup tinggi. Proporsi hipertensi yang diperoleh dari hasil wawancara hampir setengahnya dibanding perolehan proporsi dengan pengukuran objektif (alat). Namun demikian, pola proporsi penyakit cukup konsisten menurut wilayah dan karakteristik. Proporsi penyakit ditemukan semakin besar pada kelompok usia tua dan berbanding terbalik dengan tingkat pendidikan. Proporsi relatif sama untuk jenis kelamin, jenis pekerjaan dan status ekonomi. Hipertensi ditemukan sejak pada usia muda (< 25 tahun). 9. Proporsi penyakit jantung koroner (PJK), gagal jantung dan stroke yang ditemukan dengan terdiagnosa dokter dan gejala lebih besar dibandingkan hanya dengan terdiagnosa dokter saja. Proporsi PJK ditemukan 7/1000, gagal jantung 2/1000 dan strok 10/10000 jika hanya dengan diagnosa tenaga kesehatan, tetapi jika kombinasi dengan gejala proporsinya secara berurutan 16/1000; 3/1000 dan 15/10000. Strok ditemukan pada kelompok usia muda (<25 tahun) sama seperti hipertensi. Proporsi besar ditemukan pada kelompok pendidikan rendah (tidak sekolah dan tidak tamat SD) dan tidak bekerja. 10. Penyakit sendi (encok) terdiagnosa dokter dengan gejala ditemukan (21,8%) hampir tiga kali lipat dibandingkan hanya dengan terdiagnosa dokter saja (8,9%). Sebaran penyakit sendi ditemukan di semua kota tetapi tidak untuk penyakit gagal ginjal kronis dan batu ginjal. Di Kepulauan Seribu gagal ginjal kronis dan batu ginjal tidak terjawab kemungkinan karena fasilitas kesehatan tidak tersedia. Proporsi ketiga penyakit ini ditemukan semakin besar pada kelompok umur yang lebih tua, proporsi penderita perempuan lebih besar, tetapi berbanding terbalik dengan tingkat pendidikandan status ekonomi. Proporsi ketiga ini tampaknya tidak berkaitan dengan jenis pekerjaan. iv Penyakit Menular 11. Data penyakit menular yang dikumpulkan dalam Riskesdas 2013 terbatas pada beberapa penyakit, yaitu penyakit yang ditularkan melalui udara (infeksi saluran pernapasan atas/ISPA, pneumonia, dan tuberkulosis), penyakit yang ditularkan oleh vektor (malaria), penyakit yang ditularkan melalui makanan, air, dan lewat penularan lainnya(diare dan hepatitis). Penyakit-penyakit tersebut berhubungan dengan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM), indikator MDG‘s dan program pengendalian hepatitis di Indonesia yang pertama kali dilakukan di dunia. 12. ISPA yang terdiagnosa dokter rerata setengah dari yang terdiagnosa dan gejala. Perbedaan ini dapat menunjukkan kekurang-pedulian penderita terhadap penyakitnya. Penderita menganggap ringan penyakitnya sehingga tidak berobat ke dokter atau tenaga kesehatan. Petugas pelayanan kesehatan tingkat primer mungkin sulit untuk menegakkan diagnosa pneumonia. 13. Responden yang dicurigai (suspected) TB dengan gejala batuk berdarah sekitar setengah dari gejala batuk lebih dari dua minggu. Proporsi penderita dengan gejala batuk berdarah hampir sama dengan proporsi penderita TB yang didiagnosis tenaga kesehatan setelah satu tahun sakit. TB adalah penyakit yang mudah menular, namun belum semua penderita (68,9%) tercakup layanan kesehatan dengan OAT. 14. Kesehatan perorangan (hygiene) dapat dicerminkan dari proporsi penyakit yang ditularkan melalui makanan, air dan lainnya. Upaya perbaikan hygiene perorangan selama lima tahun terakhir belum membuahkan hasil yang memuaskan. Proporsi penderita hepatitis dan diare pada semua kelompok umur tahun 2013 naik 0,2 persen dibandingkan dengan keadaan tahun 2007 untuk hepatitis (2007; 0,6 dan 2013: 0,8%) dan 0,6 persen untuk diare (2007; 8,0 dan 2013: 8,6%). 15. Malaria di DKI Jakarta merupakan masalah laten terkait dengan masalah sanitasi dan ekonomi. Dalam lima tahun terakhir penderita malaria secara klinis meningkat (Tahun 2007: 0,51%; Tahun 2013: 2,0%). Kelompok petani/nelayan/buruh dan tidak bekerja tercatat sebagai pederita tertinggi dan proporsi penderita berbanding terbalik dengan status ekonomi, proporsi penderita malaria terbesar di kelompok ekonomi terrendah dan sebaliknya proporsi penderita malaria terkecil di status ekonomi teratas. Sepertiga proporsi penderita malaria mendapatkan obat dalam 24 jam pertama dan 81,6 persen dari proporsi itu minum obat ACT program selama tiga hari. v Kesehatan Lingkungan 16. Air untuk keperluan rumah tangga menggunakan sumur pompa dan PDAM, kecuali warga Kepulauan Seribu yang menggunakan air hujan. Kebutuhan air untuk keperluan rumah tangga antara 100-300 per liter per hari. Untuk air minum utama, warga banyak menggunakan air kemasan dan air isi ulang. Sebesar 96,3 persen kualitas air minum dengan penilaian secara komposit termasuk baik. 17. Proporsi rumah tangga yang mengelola sampah kurang baik (dibuang sembarangan dan tidak pada tempatnya) masih cukup besar terutama di Kepulauan Seribu yang membuang sampah ke laut (36,8%). Masih delapan persen rumah tangga yang tidak memilik tempat sampah. 18. Dalam hal membuang air besar, pada umumnya rumah tangga memiliki fasilitas buang air besar (BAB), namun masih ada sebagian anggota rumah tangga yang BAB di sembarang tempat (0,4%) terutama di Kepulauan Seribu (16,2%). Bagi warga dari kelompok ekonomi terbawah tampak paling banyak menggunakan fasilitas BAB milik bersama atau umum. Kemungkinan terjadi pencemaran bersumber tinja masih besar karena tempat pembuangan akhir tinja yang tidak saniter juga masih besar. 19. Pencegahan penyakit yang bersumber serangga (nyamuk) secara sehat yang dilakukan rumah tangga sebesar 25 persen. Cara lainnya seperti penggunaan obat nyamuk baik bakar, semprot (cair), rapelen cukup berisiko terhadap kesehatan. 20. Sekitar setengah jumlah rumah tangga DKI yang menguasai bangunan tempat tinggal, sepertiga jumlah rumah tangga kontrak dan sewa. Rumah tangga yang menguasai bangunan tempat tinggal berkaitan dengan status ekonomi. Pengetahuan, Sikap Dan Perilaku 21. Sebagian pesar rumah tangga BAB dengan benar (98,9%) dan sebesar 59,2 persen mencuci tangan dengan benar. Perilaku BAB yang dianggap benar adalah bila penduduk melakukannya di jamban. Mencuci tangan yang benar adalah bila penduduk mencuci tangan dengan sabun sebelum menyiapkan makanan, setiapkali tangan kotor (antara lain memegang uang, binatang, berkebun), setelah buang air besar, setelah menceboki bayi/anak, setelah menggunakan pestisida/insektisida, dan sebelum menyusui bayi 22. Proporsi perokok di DKI Jakarta sebesar 23,2 persen dan terbanyak di Kepulauan Seribu dengan perokok setiap hari 29,4 persen dan kadang-kadang merokok 2,3 persen. Perokok aktif setiap hari pada umur 30-34 tahun sebesar 31,1 persen, umur 35-39 tahun 29,9 persen. 23. Proporsi aktivitas fisik tergolong kurang aktif secara umum adalah 44,2 persen. Kriteria 'kurang aktif' adalah individu yang tidak melakukan aktifitas fisik baik sedang ataupun berat. Proporsi penduduk DKI Jakarta dengan perilaku sedentari 3-5,9 jam adalah 39,0 persen. Perilaku sedentari adalah perilaku duduk-duduk atau berbaring dalam sehari-hari baik di tempat kerja (kerja di depan computer, membaca, dll), di rumah (nonton TV, main game, dll), di perjalanan/transportasi (bis, kereta, motor), tetapi tidak termasuk waktu tidur. Pengurangan aktifitas sedentari sampai dengan < 3 jam dapat meningkatkan umur harapan hidup sebesar 2 tahun. 24. Mengonsumsi makanan/minuman manis, asin, berlemak, dibakar/panggang, diawetkan, berkafein, dan berpenyedap adalah perilaku berisiko penyakit degeneratif. Perilaku konsumsi makanan berisiko dikelompokkan sering apabila penduduk mengonsumsi makanan tersebut satu kali atau lebih setiap vi hari. Proporsi penduduk DKI Jakarta dengan konsumsi makanan/minuman berisiko manis, berlemak, penyedap dan berkafein sangat tinggi. 25. Konsumsi makanan berbahan dasar terigu cukup tinggi, paling banyak makanan roti, diikuti biscuit dan mi instan. Semua wilaya DKI mengonsumsi roti lebih dari 20 persen sedangkan mi paling banyak dikonsumsi di Jakarta Utara. Roti dan biscuit disukai semua kalangan penduduk. Mi instan banyak dikonsumsi pada kelompok ekonomi bawah, pekerja dalam bidang nelayan, buruh dan petani. 26. Proporsi konsumsi mi instan menurut status ekonomi besar di kelompok bawah dan semakin kecil pada kelompok atas; besar proporsi berkebalikan pada konsumsi roti dan biskuit. 27. Proporsi PHBS baik terbesar pada rumah tangga dengan status ekonomi teratas (69,2%) dan terkecil pada indeks kepemilikan terbawah (45,5%) lebih tinggi pada rumah tangga dengan indeks kepemilikan (41,5%) dibandingkan di perdesaan (22,8%). Status Gizi 28. Proporsi gizi buruk anak berusia kurang dari lima tahun (balita) di DKI Jakarta mengalami stagnan pada angka sekitar 2,8 persen. Masalah gizi buruk mungkin bukan lagi masalah kesehatan masyarakat dan klinis, tetapi sudah menjadi masalah sosial. Interversi gizi buruk seharusnya memfokuskan pada masalah ekonomi yaitu keterjaminan keluarga mengakses makanan seimbang dan pelayanan kesehatan. 29. Masalah gizi buruk pada anak berusia di bawah lima tahun di DKI Jakarta sekaligus mencerminkan masalah kerawanan ibu hamil karena dilihat dari karakteristiknya gizi buruk sudah terjadi sejak bayi kurang dari enam bulan. Masalah gizi buruk bukan lagi masalah gizi klinis, atau kesehatan masyarakat, tetapi sudah menjadi masalah sosial yang pendekatannya terfokus pada masalah pengentasan kemiskinan. 30. Proporsi kependekan DKI Jakarta tahun 2013 adalah 27,5 persen, jauh di bawah rerata nasional (37,5%). Masalah kependekan ditemukan besar terutama di kabupaten Kepulauan Seribu dan Jakarta Barat. Pergeseran status kependekan tampak dari kategori sangat pendek ke kategori pendek. 31. Secara umum dapat dikatakan bahwa masalah gizi pada anak berusia balita di DKI Jakarta adalah akut dan dialami oleh Jakarta Selatan, Jakarta Barat dan Jakarta Utara. Jakarta Barat juga menghadapi masalah gizi yang kronis. Kepulauan Seribu menghadapi masalah gizi yang kronis. 32. Proporsi kependekan anak berusia 5-12 tahun sebesar 19,2 persen jauh lebih baik daripada angka nasional (30,7%). Semakin bawah posisi rumah tangga berada di kelompok kuintil proporsi kependekan cenderung semakin besar. Menurut karakteristiknya, kependekan berkaitan dengan status ekonomi. Masalah kurang berat pada anak berusia balita tampaknya berlanjut pada kelompok usia berikutnya (512 tahun) bahkan di daerah yang sama dengan pola masalah kurang berat yang sama diidentifikasi pada anak berusia balita dan anak berusia 5-12 tahun. 33. Di samping masalah kurang berat, masalah obesitas juga sudah mulai tampak terutama pada kelompok kuintil teratas. Proporsi obese pada kelompok anak berusia 5-12 tahun sebesar 14,0 persen lebih besar dibandingkan angka nasional (8,0%). Semua wilayah di DKI Jakarta proporsinya di atas 10 persen. vii 34. Proporsi kependekan pada remaja umur 13 -15 tahun di DKI Jakarta sebesar 22,8 persen. Semakin bertambah usia proporsi kependekan ternyata relatif sama besar. Proporsi kekurusan pada remaja umur 13-15 tahun sebesar 9,0 persen dengan rentang terendah 6,6 persen di Jakarta Selatan dan tertinggi 13,6 persen di Jakarta Utara. Masalah obesitas pada kelompok ini belum menjadi masalah (< 10%). Proporsi obese terbesar di Jakarta Selatan (8,7%) dan terkecil di Kepulauan Seribu (2,5%). Jika masalah obesitas diantisipasi dari masalah kegemukan, maka semua kabupaten/kota sudah harus menyusun program intervensinya. 35. Proporsi kependekan sebesar 20,4 persen di bawah angka nasional (31,4%).yang terdiri dari 4,5 persen sangat pendek dan 15,9 persen pendek. Rentang proporsi adalah 11,5 (Jakarta Pusat) dan 29,7 persen (Jakarta Barat). Proporsi kependekan di DKI Jakarta tampak kronis karena proporsi kependekan di atas 20 persen sudah dimulai sejak bayi kurang dari enam bulan. Hal ini berarti masalah kependekan bukan lagi masalah kesehatan saja tetapi sudah menjadi masalah sosial yang perlu melibatkan sektor lainnya. 36. Proporsi kekurusan pada remaja umur 16 – 18 tahun di DKI Jakarta sebesar 11,1 persen, terdiri dari 2,3 persen sangat kurus dan 8,8 persen kurus. Proporsi terkecil di Kepulauan Seribu (6,9%) dan terbesar di Jakarta Selatan (17,8%). Proporsi kekurusan di DKI Jakarta lebih besar dari angka nasional. Di samping itu, proporsi kegemukan sebesar 11,5 persen dengan rentang proporsi terkecil sebesar 6,9 persen di Jakarta Utara dan terbesar 15,7 persen (di Jakarta Timur). Proporsi kegemukan hampir dua kali lipat dari angka nasional. Masalah kekurusan seiring dengan masalah kependekan tetapi DKI juga sudah mulai menghadapi masalah kegemukan. Hal ini lebih menegaskan masalah gizi seimbang belum membumi di masyarakat atau belum merupakan prioritas hidup/life style keluarga. 37. Masalah kurus pada laki-laki (11,5%) lebih banyak daripada perempuan (7,0%). Masalah kegemukan terutama obesitas pada perempuan lebih banyak dijumpai (40,8%). Proporsi kegemukan lebih besar dari angka nasional. Obesitas pada perempuan muncul sejak usia 20 tahun, proporsinya meningkat mencapai terbesar pada usia 55 tahun, kemudian proporsi mengecil pada usia 65 tahun atau lebih. Masalah kegemukan pada orang dewasa terjadi di semua wilayah, tetapi tidak untuk masalah kekurusan pada laki-laki yaitu di Jakarta Timur, Jakarta Selatan dan Jakarta Utara. 38. Obesitas sentral dengan parameter Lingkar Perut (LP) dianggap sebagai faktor risiko yang erat kaitannya dengan beberapa penyakit sindroma metabolik/kronis. Proporsi obesitas sentral untuk tingkat nasional adalah 26.6 persen, di DKI Jakarta sebesar 36,3 persen dengan rentang proporsi terkecil di Kepulauan Seribu (28,1%) dan terbesar di Jakarta Selatan (42,1%)/. Proporsi obesitas sentral pada perempuan (51,6%) jauh lebih besar dibanding proporsi pada laki-laki (20,8%). Di DKI Jakarta obesitas tampak tidak terkait dengan pendidikan, jenis pekerjaan dan status ekonomi walau proporsi terbesar pada kelompok pendidikan terendah, kelompok kepala keluarga yang berpendidikan rendah dan kelompok kuintil teratas. 39. Wanita usia subur berisiko KEK jika LILA kurang dari 23,5 cm. Proporsi WUS yang berisiko KEK untuk yang hamil 14,8 persen. Di Kepulauan Seribu, Jakarta Pusat dan Jakarta Barat tidak dapat disajikan angka proporsinya karena responden wanita hamil terlalu kecil atau tidak terjaring. Proporsi wanita tidak hamil berisiko KEK sebesar 14,8 persen dengan rentang terkecil di Kepulauan Seribu (7,7%) dan terbesar di Jakarta Selatan (18,4). Secara kasar tampaknya berkaitan dengan proporsi bayi berusia kurang dari enam bulan yang pendek dan kurang gizi. Wanita hamil yang berisiko KEK berpendidikan SMP atau lebih tinggi, sebagian besar bekerja, dan cenderung berasal dari status ekonomi yang baik. Namun pola proporsinya menurut tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan tidak jelas. viii WUS tidak hamil yang berisiko KEK besar tampak pada kelompok pendidikan SMA atau lebih tinggi dan pada kelompok kuintil teratas. Pada kelompok jenis pekerjaan, risiko paling besar pada WUS yang tidak bekerja Kesehatan Anak Dan Imunisasi 40. Anak berusia 12-59 bulan di DKI Jakarta yang telah memperoleh imunisasi dasar lengkap sebesar 63,4 persen dengan rentang terbesar di Kepulauan Seribu (89,9%) dan terkecil di Jakarta Barat (51,0%). Proporsi anak yang tidak diimunisasi sebesar 2,3 persen dan terbesar di Jakarta Pusat 5,4 persen. Anak yang tidak diimunisasi terutama berasal dari keluarga buruh/nelayan (3,0%), Kepala rumah tangga berpendidikan SLP tamat (5,2%), dan status ekonomi menengah ke bawah. 41. Polio_4 merupakan jenis imunisasi yang paling rendah (76,7%) diperoleh anak 12-23 bulan dan BCG yang tertinggi (90,9%). Secara nasional, jenis imunisasi yang terendah diperoleh adalah DPT-HB_3 (75,6%). Di DKI Jakarta, proporsi imunisasi DPT_HB_3 di atas angka nasional, namun di Jakarta Barat proporsinya paling rendah (62,3%). Di Kepulauan Seribu semua jenis imunisasi dasar dapat diperoleh dengan proporsi maksimum (100%). 42. Proporsi kunjungan neonates pertama (KN_1) besar dan semakin kecil pada kunjungan berikutnya, pada tiap kelompok karakteristik rumah tangga. Namun di dalam kelompok karakteristik terdapat variasi. Pada kelompok tingkat pendidikan dan status ekonomi proporsi KN tampak semakin besar. 43. Tampaknya telah terjadi penurunan perawatan tali pusar dengan alkohol/betadin (aseptic) sejak tahun 2010. (78,9% pada tahun 2010 menjadi 67,7% pada tahun 2013). Sedangkan pada perawatan tali pusar dengan tidak diberi perlakuan apapun mengalami peningkatan (11,6% menjadi 22,2%). 44. Proposi ibu mulai memberikan ASI kepada bayinya pada periode waktu kuarang dari satu jam sebesar 41,9 persen dan mulai pemberian pada periode waktu lebih dari 48 jam (2 hari sesudah melahirkan) sebesar 11,3 persen. Dalam dua tahun terakhir, proporsi mulai memberikan ASI masih cukup besar (sekitar 28 persen). Kesehatan Reproduksi 45. Proporsi kehamilan terbesar pada kelompok umur 20-34 tahun terutama kelompok 25-29 tahun. Kelompok umur di bawah 20 tahun ditemukan sebesar 0,4 persen dan di atas 35 tahun sebesar 5,2 persen. Proporsi WUS kawin yang mengaku tidak pernah menggunakan alat KB sebesar 15,5 persen dan yang sedang menggunakan alat/cara KB sebesar 59,7 persen. 46. Contraceptive Prevalence Rate (CPR) cara modern dan cara lain, masing-masing mendekati angka 60 persen. Cara suntik paling banyak disukai WUS kawin, disusul pil KB. Cara tradisional sudah banyak ditinggalkan. Penggunaan kondom oleh suami sebesar 1,1 persen. Penggunaan kondom oleh suami di Kepulauan Seribu 0 persen dan Jakarta Utara 1,5 persen. 47. Pelayan KB modern terutama bidan, proporsinya sebesar 67,2%; sedangkan dokter spesialis kandungan dan kebidanan sebesar 11,0 %. Dokter umur dan perawat masing-masing 7,8 dan 0,3 persen. Pemasangan alat KB modern sebagian besar dilakukan di tempat bidan praktek (54,6%) dan yang paling jarang dilakukan di tempat tim KB/medis keliling (0,8%). 48. Proporsi Kelahiran yang melakukan K1 sebesar 97,9 persen dengan cakupan ANC K1 ideal sebesar 86,9 persen, K4 78,3 dan ANC minimal empat kali sebesar 91,1 persen.Selaras dengan layanan KB, ix tempat pemberian layanan ANC terbesar dilakukan di tempat bidan praktek (45,6%) dan rumah sakit (17,8%). Tempat praktek bidan lebih disukai oleh semua kelompok pendidikan, sedangkan RS cenderung hanya kelompok berpendidikan SLA ke atas. Menurut kategori status ekonomi, tempat bidan disukai semua kelompok ekonomi, sedang RS cenderung hanya kelompok atas dan menengah atas. 49. Sebesar 90,5 persen kelahiran dari ibu hamil yang mengonsumsi Pil Zat Besi/pil tambah darah. Menurut responden, 43,7 persen mengaku mengkonsumsi selama 90 hari atau lebih, tapi sebesar 21,4 persen tidak ingat jumlah hari mengonsumsi pil zat besi. 50. Sebagian besar (72,0%) wanita bersalin mengaku memiliki buku KIA walaupun hanya 29,5 persen yang mampu menunjukkan bukunya. Hasil observasi isian buku, mengindikasikan 65,5 persen tidak pernah digunakan. 51. Sekitar 89.2 persen persalinan dilakukan secara normal, sesar sebesar 9,8 persen. Sesar dilakukan pada wanita yang berusia 35 tahun atau lebih tua, tidak sekolah (63,5%) atau berpendidikan tinggi (32,5 %), para pegawai dan rumah tangga yang mampu. Penolong persalinan (dengan kualifikasi tertinggi) terbesar adalah Bidan (61,8%) dan dokter kebidanan dan kandungan (35,7%). Dukun masih berperan (1,8%) terutama di Jakarta Utara (6,6%) dan Kepulauan Seribu (3,9%). Pengguna jasa dukun terutama keluarga ekonomi terbawah dan berpendidikan tamat SD atau kurang. Tempat persalinan yang dipilih adalah Rumah Bersalin/Klinik/Tempat praktek tenaga kesehatan (47,2%) dan Rumah sakit ( RS, 33,6%). RS banyak dipilih wanita hamil berusia berumur 35 tahu atau lebih tua, berpendidikan tinggi, dan secara ekonomi mampu; sedang RB/klinik/praktek nakes lebih banyak dipilih wanita hamil berumur muda (< 35 tahun). 52. Pasca melahirkan, pelayanan kesehatan nifas secara lengkap sebesar 55,5 persen. Pelayanan yang diterima pada 6 jam-3 hari pertama sebesar 90,3 persen pelayanan pada periode 7-28 hari dan 29-45 hari masing-masing 76,7 dan 68,3 persen. Secara umum tidak ada berbedaaan pelayanan yang mencolok menurut karakteristik wanita pasca bersalin. Kesehatan Gigi Dan Mulut 53. Proporsi warga DKI Jakarta yang bermasalah gigi dan mulut (gimul) sebesar 29,1 persen, namun effective medical demand-(EMD)-nya sangat rendah (9,1%). Proporsi warga yang bermasalah gimul terbesar di Jakarta Timur dan terendah di Jakarta Barat. Perbedaan masalah gigi dan mulut menurut karakteristik warga tampaknya kurang beragam. Di antara pelaku berobat gigi, proporsi berobat ke dokter gigi terpilih yang terbesar (76,3%), tetapi masih ada yang berobat pada tukang gigi (1,6%). 54. Hampir semua responden (98,1%) mengaku gosok gigi setiap hari, tetapi hanya 3,5 persen yang menggosok gisi dengan benar. Gosok gigi pada waktu mandi, baik pagi dan sore, banyak dilakukan responden, gosok gigi sebelum tidur kurang dari separuh (43,3%) dan hanya sedikit yang gosok gigi sesudah makan (pagi, 4,9%; siang, 5,5%) dan sesudah bangun pagi (5,2%). Perilaku ini kurang beragam menurut karakteristik responden. 55. Tingkat keparahan kerusakan gigi permanen ddigambarkan dengan indeks DMF-T. Indeks DMF-T DKI Jakarta sebesar 3,82 dengan nilai masing-masing: kerusakan gigi belubang (D-T) =1,09; tanggal (M-T) =2,49; dan ditambal (F-T)=0,32; yang berarti setiap warga DKI Jakarta mengalami kerusakan gigi sebanyak 4 gigi. x Cedera 56. Proporsi cedera di DKI Jakarta sebesar 9,7 persen, proporsi terbesar ditemukan di Jakarta Timur (13,4%) dan terkecil di Kepulauan Seribu (3,7 %). Penyebab cedera terbanyak yaitu sepeda motor (44,7%) dan jatuh (40,9%). Penyebab cedera transportasi sepeda motor tertinggi ditemukan pada Jakarta Barat (53,0%) dan terendah di Kepulauan Seribu (17,4 %). Adapun untuk transportasi darat lain proporsi tertinggi terdapat di Jakarta Selatan (10,6%) dan terendah ditemukan di Jakarta Timur (4,0%). Proporsi jatuh tertinggi di Kepulauan Seribu (62,5%) dan terendah di Jakarta Pusat (32,0%). 57. Lecet/memar adalah jenis cedera terbanyak dijumpai yaitu 75,5 persen, terkilir dan luka robek masingmasing 28,4 dan 18,1 persen. Anak berusia di bawah lima tahun paling banyak mengalami cedera memar dan patah tulang pada kelompok usia 45-54 tahun, Gangguan Jiwa Berat Dalam Keluarga 58. Proporsi gangguan jiwa berat dalam keluarga di DKI Jakarta sebesar 1,1 per 1000 warga. Proporsi tertinggi ditemukan di Jakarta Timur (2,2%) dan teredah di Jakarta Pusat (tidak dijumpai kasus). Sebagai perbandingan, angka prevalensi seumur hidup skizofrenia di dunia bervariasi berkisar 1-18 kasus per 1000 penduduk. Beberapa kepustakaan menyebutkan secara umum angka prevalensi skizofrenia sebesar 10 kasus per 1000 penduduk. 59. Gangguan mental emosional penduduk yang berusia 15 tahun atau lebih ditemukan 4,4 per 100 penduduk. Jakarta Timur proporsinya tertinggi dan terendah di Kepulauan Seribu. Disabilitas 60. Proporsi disabilitas sedang sampai sangat berat di DKI sebesar delapan persen, bervariasi dari yang tertinggi di Jakarta Pusat dan Jakarta Utara (9,9%) dan yang terendah di Kepulauan Seribu(7,0 %). Rerata hari produktif hilang adalah rerata lama hari seseorang tidak dapat berfungsi optimal dalam satu bulan, karena disabilitas. Rerata hari produktif warga DKI Jakarta tidak dapat berfungsi optimal selama 6,07 hari dengan rentang terendah 3,26 hari (di Jakarta Selatan) dan tertinggi 10,30 hari (di Jakarta Timur). Kesehatan Indera 61. Proporsi ketersediaan kaca mata atau lensa kontak di DKI Jakarta paling tinggi ditemukan di Jakarta Timur (28,6%). Severe Low vision dan kebutaan paling banyak di Jakarta timur (1,1% dan 0,8%). Proporsi tertinggi katarak juga di Jakarta timur (1,3%). Alasan tidak melakukan operasi katarak yang paling banyak disebabkan oleh ketidaktahuan kalau responden menderita katarak (29,9%). 62. Proporsi gangguan pendengaran dan ketulian pada responden berusia 5 tahun atau lebih ditemukan sebesar 1,1 dan 0,1 persen. Proporsi gangguan pendengaran terbesar di Jakarta Pusat dan terkecil di Jakarta Barat. Proporsi ketulian hampir merata di semua wilayah. Pembiayaan Kesehatan 63. Lebih dari 2/3 warga DKI Jakarta mengaku tidak mempunyai jaminan kesehatan, kecuali di Kepulauan Seribu yang memiliki jaminan kesehatan daerah (jamkesda). Warga wilayah lain tersebar dalam enam xi penyelenggara jaminan kesehatan (Askes/ASABRI; Jamsostek, Askes suasta, Jamkesmas, Jamkesda, Perusahaan). 64. Perilaku mengobati sendiri banyak dilakukan oleh warga Jakarta Timur (43,6%) dengan biaya Rp 5000,-. Biaya pengobatan sendiri paling tinggi Rp 10.000,- terutama dilakukan oleh warga Jakarta Pusat. Menurut status ekonomi, biaya sebesar Rp 10 000,- dikeluarkan oleh rumah tangga yang mampu. 65. Rawat jalan banyak dilakukan oleh warga Kepulauan Seribu dengan biaya Rp 30.000,- sedangkan warat inap dapat menghabiskan biaya Rp 13.000.000,-. Biaya rawat jalan tertinggi dikeluarkan oleh warga Jakarta Timur yaitu sebesar Rp 100.000,66. Hampir 60 persen warga mengeluarkan biaya sendiri untuk rawat jalan dan warga yang menikmati jamkesda sebesar 17,3 persen. Warga yang menikmati jamkesda umumnya berasal dari ekonomi menengah ke bawah, walaupun ditemukan sekitar 15,8 persen berasal dari keluarga ekonomi menengah atas dan atas. Untuk rawat inap, sumber pembiayaan sekitar 17,1 persen, namun warga dari ekonomi terbawah hanya 2,5 persen menikmati biaya rawat inap. xii DAFTAR ISI Hal Kata Pengantar Kata Sambutan Ringkasan Eksekutif Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Bagan/Gambar Daftar Singkatan I Latar belakang Pertanyaan Penelitian II Tujuan Penelitian III Manfaat dan Luaran Penelitian a. Manfaat b. Luaran IV Kerangka Konsep V Metode Riskesdas 1. Disain dan jenis penelitian 2. Tempat dan waktu 3. Populasi dan sampel 4. Besar sampel 5. Data yang dikumpulkan 6. Instrumen dan prosedur pengumpulan data 7. Tenaga pengumpul data 8. Ujicoba instrumen dan manajemen data 9. Pengumpulan data 10. Pelatihan 11. Manajemen dan analisis data VI Pengorganisasian VII Hasil 7.1 Akses dan Pelayanan Kesehatan Keberadaan fasilitas kesehatan Keterjangkauan fasilitas kesehatan 7.2 Farmasi dan Pelayanan Kesehatan Tradisional Obat dan Obat Tradisional Pengetahuan rumah tangga tentang Obat Generik Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Tradisional 7.3 Penyakit Tidak Menular Asma Penyakit paru Obstruktif kronis (PPOK) Kanker Diabet mellitus xiii i ii iii xiii xvi xxv xxvi 1 2 2 2 2 3 4 4 4 4 5 5 7 8 9 9 9 10 11 11 13 13 13 15 22 22 29 31 33 35 36 36 38 7.4 7.5 7.6 7.7 7.8 7.9 Penyakit hipertiroid Hipertensi/Tekanan Darah Tinggi Penyakit jantung Penyakit jantung koroner Penyakit gagal jantung Stroke Penyakit ginjal Penyakit sendi/rematik/encok Penyakit Menular ISPA Pneumonia Tuberkolosis Hepatitis Diare Malaria Kesehatan Lingkungan Sampah Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Perilaku Higienis Penggunaan Tembakau Perilaku Aktifitas Fisik Perilaku Konsumsi Buah dan Sayur Perilaku Konsumsi Makanan Tertentu Konsumsi Makanan Olahan dari Tepung Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Status Gizi Status Gizi Balita Status Gizi Anak Berusia 5-18 tahun Status Gizi Orang Dewasa Risiko Kurang Energi Kronis pada Wanita berusia 15-49 tahun dan Wanita Hamil Konsumsi Garam Beriodium Kesehatan Anak dan Imunisasi Status Imunisasi Kunjungan neonatal Perawatan Tali Pusar Pola Pemberian ASI Sunat Perempuan Kesehatan Reproduksi Kehamilan Pelayanan Program Keluarga Berencana Pelayanan Kesehatan Masa Kehamilan; Persalinan dan Nifas xiv 38 38 40 40 41 41 43 43 45 46 46 48 50 51 52 57 61 66 66 66 69 72 72 74 76 79 79 88 98 101 103 103 105 109 111 113 114 116 117 118 128 7.10 Kesehatan Gigi dan Mulut Effective Medical Demand Perilaku Gosok Gigi 7.11 Cedera Proporsi Cedera dan Penyebabnya Jenis Cedera Tempat Terjadinya Cedera 7.12 Gangguan Jiwa Berat dalam Keluarga Gangguan Jiwa Berat Gangguan Mental Emosional 7.13 Disabilitas 7.14 Kesehatan Indera Kesehatan Mata Kesehatan Telinga 7.15 Pembiayaan Kesehatan Kepemilikan dan Pemanfaatan Jaminan Kesehatan Sumber Pembiayaan Kepustakaan xv 144 144 147 151 151 154 156 158 159 159 160 163 163 166 168 168 173 177 DAFTAR TABEL 5.1 Alokasi Jumlah Sampel Blok Sensus, Tim, Rumah tangga dan Individu DKI Jakarta 6 7.0 Respons Rate Blok Sensus, Rumah Tangga & Individu di DKI Jakarta. Riskesdas 2013 7.1.1 Proporsi pengetahuan rumah tangga tentang keberadaan jenis fasilitas kesehatan menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 14 7.1.2 Proporsi pengetahuan rumah tangga menurut status ekonomi, Riskesdas 2013 13 tentang keberadaan fasilitas kesehatan 14 7.1.3 Proporsi rumah tangga yang dapat menggunakan moda transportasi menuju rumah sakit pemerintah menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 16 7.1.4 Proporsi rumah tangga yang dapat menggunakan moda transportasi menuju rs pemerintah menurut status ekonomi, Riskesdas 2013 16 7.1.5 Proporsi rumah tangga yang dapat menggunakan moda transportasi menuju puskesmas atau puskesmas pembantu menurut kabupaten/Kota, Riskesdas 2013 16 7.1.6 Proporsi rumah tangga yang dapat menggunakan moda transportasi menuju puskesmas atau puskesmas pembantu menurut status ekonomi, Riskesdas 2013 16 7.1.7 Proporsi waktu tempuh rumah tangga menuju rumah sakit pemerintah menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 17 7.1.8. Proporsi waktu tempuh rumah tangga menuju rumah sakit pemerintah menurut status ekonomi, Riskesdas 2013 17 7.1.9. Proporsi waktu tempuh rumah tangga menuju puskesmas atau puskesmas pembantu menurut kabupaten/kota,Riskesdas 2013 18 7.1.10 Proporsi waktu tempuh rumah tangga menuju puskesmas atau puskesmas pembantu menurut status ekonomi, Riskesdas 2013 18 7.1.11 Proporsi waktu tempuh rumah tangga menuju posyandu menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 19 7.1.12 Proporsi waktu tempuh rumah tangga menujuposyandu menurut status ekonomi, Riskesdas 2013 19 7.1.13 Proporsi waktu tempuh rumah tangga menuju polindes menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 19 7.1.14 Proporsi waktu tempuh rumah tangga menuju polindes menurut status ekonomi, Riskesdas 2013 20 7.1.15 Proporsi biaya transportasi rumah tangga menuju rumah sakit pemerintahmenurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 20 7.1.16 Proporsi biaya transportasi rumah tangga menuju rumah sakit pemerintah menurut status ekonomi, Riskesdas 2013 21 7.1.17 Proporsi biaya transportasi rumah tangga menuju puskesmas atau puskesmas pembantu menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 21 7.1.18 Proporsi biaya transportasi rumah tangga menuju puskesmas atau puskesmas pembantu menurut menurut status ekonomi, Riskesdas2013 21 xvi 7.1.19 Proporsi biaya transportasi rumah tangga menuju posyandu menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 22 7.1.20 Proporsi biaya transportasi rumah tangga menuju posyandu menurut status ekonomi, Riskesdas 2013 22 7.2.1 Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat, dan rerata jumlah obat yang disimpan menurut kabupaten/kota, Riskesdas2013 24 7.2.2 Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat, dan rerata jumlah obat yang disimpan menurut status ekonomi, Riskesdas2013 24 7.2.3 Proporsi rumah tangga berdasarkan jenis obat yang disimpan menurut kabupaten/kota, Riskesdas2013 25 7.2.4 Proporsi rumah tangga berdasarkan jenis obat yang disimpan menurut status ekonomi, Riskesdas2013 25 7.2.5 Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat keras dan antibiotika tanpa resep menurut kabupaten/kota, Riskesdas2013 26 7.2.6 Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat keras dan antibiotika tanpa resep menurut status ekonomi, Riskesdas2013 26 7.2.7 Proporsi rumah tangga berdasarkan sumber mendapatkan obat dan ot menurut kabupaten/kota, Riskesdas2013 26 7.2.8 Proporsi rumah tangga berdasarkan sumber mendapatkan obat menurut status ekonomi, Riskesdas 2013 27 7.2.9 Proporsi rumah tangga berdasarkan kabupaten/kota, Riskesdas 2013 status obat yang disimpan menurut 27 7.2.10 Proporsi rumah tangga berdasarkan status obat yang disimpan menurut status ekonomi, Riskesdas 2013 28 7.2.11 Proporsi rumah tangga berdasarkan kabupaten/kota, Riskesdas 2013 kondisi obat yang disimpan menurut 28 7.2.12 Proporsi rumah tangga berdasarkan kondisi obat yang disimpan ekonomi, Riskesdas 2013 menurut status 29 7.2.13 Proporsi rumah tangga yang mengetahui dan berpengetahuan benar tentang obat generik (OG) menurut kabupaten/kota, Riskesdas2013 29 7.2.14 Proporsi rumah tangga yang mengetahui dan berpengetahuan benar tentang obat generik (OG) menurut status ekonomi, Riskesdas 2013 30 7.2.15 Proporsi rumah tangga berdasarkan persepsi tentang obat generik (OG) menurut status ekonomi, Riskesdas 2013 30 7.2.16 Proporsi rumah tangga berdasarkan sumber informasi menurut status ekonomi, Riskesdas 2013 tentang obat generik (OG) 31 7.2.17 Proporsi rumah tangga yang pernah memanfaatkan Yankestrad dalam 1 tahun terakhir dan jenis yankestrad yang dimanfaatkan menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 32 7.2.18 Proporsi rumah tangga yang pernah memanfaatkan yankestrad dalam 1 tahun terakhir dan jenis Yankestrad yang dimanfaatkan menurut status ekonomi, Riskesdas 2013 32 7.2.19 Proporsi rumah tangga berdasarkan Yankestrad, Riskesdas 2013 7.3.1 alasan utama terbanyak memanfaatkan 33 Proporsi penyakit asma, PPOK, dan kanker menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 xvii 36 7.3.2 Proporsi penyakit asma, PPOK dan kanker menurut karakteristik responden, Riskesdas 2013 37 7.3.3 Proporsi diabetes, hipertiroid pada umur ≥ 15 tahun dan hipertensi pada umur ≥ 18 tahun menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 39 7.3.4 Proporsi diabetes, Riskesdas 2013 hipertiroid, hipertensi menurut karakteristik responden, 40 7.3.5 Proporsi penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan stroke pada umur ≥ 15 tahun menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 41 7.3.6 Proporsi penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan stroke pada umur ≥ 15 tahun menurut karakteristik responden, Riskesdas 2013 42 7.3.7 Proporsi penyakit gagal ginjal kronis, batu ginjal, dan sendi pada umur ≥ 15 tahun menurut kabupaten/kota, Riskesdas2013 44 7.3.8 Proporsi penyakit gagal ginjal kronis, batu ginjal, dan sendi pada umur ≥ 15 tahun menurut karakteristik responden, Riskesdas 2013 45 7.4.1 Period Prevalence ISPA dan pneumonia kabupaten/kota, Riskesdas 2013 serta prevalensi pneumonia menurut 47 7.4.2 Karakteristik penduduk ISPA dan Pneumonia, Riskesdas 2013 47 7.4.3 Diagnosis, pengobatan obat program, dan gejala TB menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 48 7.4.4 Karakteristik penduduk yang didiagnosis, diobati dengan obat program, dan gejala TB, Riskesdas 2013 49 7.4.5 Proporsi jenis hepatitis menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 7.4.6 Prevalensi hepatitis, insiden dan period prevalence diare menurut kaabupaten/kota, Riskesdas 2013 51 7.4.7 Karakteristik penduduk dengan hepatitis dan diare, Riskesdas 2013 52 7.4.8 Insiden dan prevalensi malaria menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 53 7.4.9 Karakteristik responden dengan malaria, Riskesdas 2013 54 50 7.4.10 Pengobatan malaria dengan obat program dan pengobatan responden sendiri menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 55 7.4.11 Karakteristik responden Riskesdas 2013 malaria dengan obat program dan pengobatan sendiri, 56 7.5.1. Proporsi jenis sumber air untuk keperluan rumah tangga menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 57 7.5.2 Proporsi jenis sumber air untuk keperluan rumah tangga menurut status ekonomi, Riskesdas 2013 58 7.5.3 Konsumsi air per hari menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 58 7.5.4 Proporsi jenis sumber air minum menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 59 7.5.5 Proporsi jenis sumber air minum menurut status ekonomi, Riskesdas 2013 59 7.5.6. Proporsi kualitas fisik air minum menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 60 7.5.7 Proporsi kualitas fisik air minum menurut status ekonomi, Riskesdas 2013 61 7.5.8 Proporsi kepemilikan tempat sampah menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 61 xviii 7.5.9 Proporsi kepemilikan tempat sampah menurut status ekonomi, Riskesdas 2013 7.5.10 Proporsi cara pengelolaan sampah menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 62 62 7.5.11 Proporsi cara pengelolaan sampah rumah tangga menurut status ekonomi, Riskesdas 2013 63 7.5.12 Proporsi penggunaan fasilitas buang air besar menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 63 7.5.13 Proporsi penggunaan fasilitas buang air besar menurut status ekonomi, Riskesdas 2013 64 7.5.14 Proporsi tempat pembuangan akhir tinja menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 64 7.5.15 Proporsi tempat pembuangan akhir tinja menurut status ekonomi, Riskesdas 2013 64 7.5.16 Proporsi rumah tangga dalam berperilaku mencegahan gigitan nyamuk menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 65 7.5.17 Status penguasaan bangunan tempat tinggal yang ditempati menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 65 7.5.18 Status penguasaan bangunan tempat tinggal yang ditempati menurut status ekonomi, Riskesdas 2013 66 7.6.1 Proporsi penduduk umur ≥ 10 tahun yang berperilaku benar dalam buang air besar dan cuci tangan menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 67 7.6.2 Proporsi kebiasaan merokok penduduk umur ≥ 10 tahun menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 67 7.6.3 Proporsi kebiasaan merokok penduduk umur ≥ 10 tahun menurut karakteristik, Riskesdas 2013 68 7.6.4 Rerata jumlah batang rokok yang dihisap penduduk umur ≥10 tahun menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 69 7.6.5 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun yang mempunyai kebiasaan mengunyah tembakau menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 69 7.6.6 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun sesuai jenis aktivitas fisik menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 70 7.6.7 Proporsi penduduk ≥10 tahun berdasarkan aktifitas sedentari menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 70 7.6.8. Proporsi penduduk ≥10 tahun berdasarkan aktivitas sedentari menurut karakteristik, Riskesdas 2013 71 7.6.9 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun dengan perilaku konsumsi tertentu menurut kota, Riskesdas 2013 72 7.6.10 Proporsipenduduk umur ≥10 tahun dengan konsumsi makanan minuman tertentu menurut karakteristik, Riskesdas 2013 73 7.6.11 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun dengan perilaku konsumsi makanan olahan dari tepung menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 74 7.6.12 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun dengan perilaku konsumsi makanan olahan dari tepung menurut karakteristik, Riskesdas 2013 75 7.6.13 Proporsi rumah tangga yang memenuhi kriteria perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) baik menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 78 7.7.1 Proporsi status gizi balita BB/U menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 xix 81 7.7.2. Proporsi status gizi balita BB/U menurut karakteristik responden, Riskesdas 2013 83 7.7.3 Proporsi status gizi balita TB/U menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 84 7.7.4 Proporsi status gizi balita TB/U menurut karakteristik responden, Riskesdas 2013 85 7.7.5 Proporsi status gizi balita BB/TB menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 86 7.7.6 Proporsi status gizi balita BB/TB menurut karakteristik responden, Riskesdas 2013 87 7.7.7 Proporsi balita menurut tiga indikator status gizi dan kabupaten/kota, Riskesdas 2013 88 7.7.8 Proporsi status gizi TB/U usia 5 – 12 tahun menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 89 7.7.9 Proporsi status gizi TB/U usia 5–12 tahun menurut karakteristik responden, Riskesdas 2013. 90 7.7.10 Prevalensi status gizi IMT/U usia 5 – 12 tahun menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 90 7.7.11 Prevalensi status gizi IMT/U usia 5 – 12 tahun menurut karakteristik responden, Riskesdas 2013 91 7.7.12 Proporsi status gizi TB/U remaja berusia 13 – 15 tahun menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 92 7.7.13 Proporsi status gizi TB/U usia 13 – 15 tahun menurut karakteristik responden, Riskesdas 2013 93 7.7.14 Proporsi kekurusan IMT/U usia 13 – 15 tahun menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 93 7.7.15 Proporsi kekurusan IMT/U usia 13-15 tahun menurut karakteristik responden, Riskesdas 2013 94 7.7.16 Proporsi status Riskesdas 2013 gizi TB/U usia 16 – 18 tahun menurut kabupaten/kota, 95 7.7.17 Prevalensi status gizi TB/U usia 16 – 18 tahun menurut karakteristik responden, Riskesdas 2013 96 7.7.18 Prevalensi status gizi IMT/U usia 16 – 18 tahun menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 97 7.7.19 Prevalensi status gizi IMT/U usia 16 – 18 tahun menurut karakteristik responden, Riskesdas 2013 97 7.7.20 Proporsi status gizi penduduk dewasa (>18 tahun) berdasarkan IMT menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 98 7.7.21 Proporsi status gizi penduduk dewasa (>18 tahun) berdasarkan IMT menurut karakteristik, Riskesdas 2013 99 7.7.22 Prevalensi obesitas sentral pada penduduk umur 15 tahun ke atas menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 100 7.7.23 Prevalensi obesitas sentral pada penduduk umur 15 tahun keatas menurut karakteristik responden, Riskesdas 2013 100 7.7.24 Proporsi Wanita Usia Subur yang berisiko Kurang Energi Kronik menurut kabupaten/kota Riskesdas 2013 101 7.7.25 Proporsi Wanita Usia Subur yang berisiko Kurang Energi Kronik menurut karateristik, Riskesdas 2013 102 7.7.26 Proporsi rumah tangga yang mengonsumsi garam beriodium berdasarkan hasil tes cepat di kabupaten/kota, Riskesdas 2013 103 xx 7.8.1 Proporsi imunisasi dasar lengkap pada anak umur 12-59 bulan menurut kota/kota, Riskesdas 2013 107 7.8.2 Proporsi imunisasi dasar lengkap pada anak umur 12-59 bulan menurut karakteristik, Riskesdas 2013 107 7.8.3 Proporsi imunisasi dasar pada anak umur 12-59 bulan menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 108 7.8.4 Proporsi imunisasi dasar pada anak umur 12-59 bulan menurut karakteristik, Riskesdas 2013 108 7.8.5. Proporsi kunjungan neonatal pada anak anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik, Riskesdas 2013 110 7.8.6 Proporsi kunjungan neonatal lengkap (KN1, KN2, KN3) pada anak anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik, Riskesdas 2013 111 7.8.7 Proporsi cara perawatan tali pusar pada bayi baru lahir menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 112 7.8.8 Proporsi proses mulai menyusu pada anak usia 0-23 bulan menurut kabupaten/kota, Riskesdas2013 113 7.8.9 Proporsi proses mulai menyusui kepada bayi baru lahir menurut karakteristik, Riskesdas 2013 114 7.8.10 Proporsi pernah disunat pada kabupaten/kota, Riskesdas2013 anak perempuan usia 0-11 tahun menurut 115 7.8.11 Proporsi pernah disunat pada anak perempuan usia 0 - 11 tahun yang menurut karakteristik, Riskesdas 2013 115 7.9.1 Indikator utama, unit analisis dan jumlah sampel yang digunakan Blok Kesehatan Reproduksi, Riskesdas 2013 117 7.9.2 Proporsi penduduk sedang hamil dari laporan rumah tangga menurut kelompok umur, Riskesdas 2013 118 7.9.3 Proporsi WUS kawin menurut penggunaan alat/cara KB saat ini dan indikator CPR menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 119 7.9.4a Proporsi penggunaan KB cara modern menurut jenis cara/alat KB dan kabupaten/kota, Riskesdas 2013 119 7.9.4b Proporsi penggunaan KB cara tradisional menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 7.9.5 119 Distribusi persentase WUS kawin menurut penggunaan alat/cara KB saat ini dan indikator CPR menurut karakteristik, Riskesdas 2013 120 7.9.5a Distribusi penggunaan KB saat ini menurut jenis cara/alat KB dan karakteristik, Riskesdas 2013 121 7.9.5b Distribusi penggunaan KB saat ini menurut jenis cara/alat KB dan karakteristik, Riskesdas 2013 122 7.9.6 Proporsi WUS kawin yang menggunakan alat/cara KB modern berdasarkan kandungan hormon dan jangka waktu efektivitas KB menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 123 7.9.7 Proporsi WUS kawin yang menggunakan alat/cara KB modern berdasarkan kandungan hormon dan jangka waktu efektivitas alat KB modern menurut karakteristik, Riskesdas 2013 124 xxi 7.9.8 Distribusi persentase WUS kawin yang menggunakan alat/cara KB modern menurut tempat mendapatkan pelayanan alat kontrasepsi dan kabupaten/kota, Riskesdas 2013 125 7.9.9 Distribusi persentase WUS kawin yang menggunakan alat/cara KB modern menurut tempat mendapatkan pelayanan alat kontrasepsi menurut karakteristik, Riskesdas 2013 125 7.9.10 Proporsi tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan KB menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 126 7.9.11 Proporsi tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan KB menurut karakteristik, Riskesdas 2013 126 7.9.12 Proporsi WUS kawin yang beralasan tidak KB menurut karakteristik, Riskesdas 2013 127 7.9.13 Proporsi melakukan dan cakupan ANC menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 129 7.9.14 Proporsi melakukan dan cakupan ANC menurut karakteristik, Riskesdas 2013 130 7.9.15 Proporsi tenaga kesehatan pemberi layanan ANC menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 131 7.9.16 Proporsi tenaga kesehatan pemberi layanan ANC dan karakteristik, Riskesdas 2013 131 7.9.17 Proporsi tempat pemberi layanan ANC menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 132 7.9.18 Proporsi tempat pemberi layanan ANC menurut karakteristik, Riskesdas 2013 132 7.9.19 Proporsi ibu hamil yang mengonsumsi pil zat besi dan jumlah hari mengonsumsi menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 133 7.9.20 Proporsi ibu hamil yang mengonsumsi pil zat besi dan jumlah hari mengonsumsi menurut karakteristik, Riskesdas 2013 134 7.9.21 Proporsi Kepemilikan dan observasi isian buku KIA menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 136 7.9.22 Proporsi Kepemilikan dan observasi buku KIA menurut karakteristik, Riskesdas 2013 136 7.9.23 Proporsi cara persalinan menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 137 7.9.24 Proporsi cara persalinan menurut karakteristik, Riskesdas 2013 137 7.9.25 Proporsi kualifikasi tertinggi penolong persalinan menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 138 7.9.26 Proporsi kualifikasi tertinggi penolong persalinan menurut karakteristik, Riskesdas 2013 139 7.9.27 Proporsi kualifikasi terendah penolong persalinan menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 140 7.9.28 Proporsi kualifikasi terendah penolong persalinan menurut karakteristik, Riskesdas 2013 140 7.9.29 Proporsi tempat bersalin persalinan menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 141 7.9.30 Proporsi tempat bersalin persalinan menurut karakteristik, Riskesdas 2013 142 7.9.31 Proporsi responden yang mendapat pelayanan kesehatan ibu nifas dari riwayat kelahiran menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 143 7.9.32 Proporsi responden yang mendapat pelayanan kesehatan ibu nifas dari riwayat kelahiran menurut karakteristik, Riskesdas 2013 143 7.10.1 Proporsi warga yang bermasalah gigi dan mulut dalam 12 bulan terakhir sesuai effective medical demand menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 145 7.10.2 Proporsi warga bermasalah gigi dan mulut dalam 12 bulan terakhir menurut karakteristik, Riskesdas 2013 146 xxii 7.10.3 Proporsi penduduk berobat gigi berdasarkan jenis tenaga pelayanan menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 147 7.10.4 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun menyikat gigi setiap hari dan berperilaku benar menyikat gigi menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 148 7.10.5 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun menyikat gigi setiap hari dan berperilaku benar menyikat gigi menurut karakteristik, Riskesdas 2013 149 7.10.6 Komponen D, M, F dan Index DMF-T menurut karakteristik, Riskesdas 2013 150 7.11.1 Prevalensi cedera dan penyebabnya menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 152 7.11.2 Proporsi cedera dan penyebabnya menurut karakteristik, Riskesdas 2013 153 7.11.3 Proporsi jenis cedera menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 155 7.11.4 Proporsi jenis cedera menurut karakteristik, Riskesdas 2013 155 7.11.5 Proporsi tempat terjadinya cedera menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 156 7.11.6 Proporsi tempat terjadinya cedera menurut karakteristik, Riskesdas 2013 157 7.12.1 Prevalensi gangguan jiwa berat menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 159 7.12.2 Prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk berumur 15 tahun ke atas (berdasarkan Self Reporting Questionnaire-20)* menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 160 7.13.1 Proporsi tingkat kesulitan menurut komponen disabilitas, Indonesia 2013 161 7.13.2 Indikator disabilitas menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 161 7.13.3 Indikator disabilitas menurut karakteristik, Riskesdas 2013 162 7.14.1 Proporsi koreksi refraksi, kebutaan, dan severe low vision pada responden ≥ 6 tahun tanpa/dengan koreksi optimal menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 166 7.14.2 Proporsi katarak dan tiga alasan utama belum menjalani operasi katarak pada responden semua umur menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 166 7.14.3 Prevalensi gangguan pendengaran dan ketulian responden umur 5 tahun keatas sesuai tes konversasi menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 167 7.15.1 Proporsi kepemilikan jaminan kesehatan menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 169 7.15.2 Proporsi kepemilikan jaminan kesehatan menurut karakteristik, Riskesdas 2013 170 7.15.3 Proporsi penduduk yang mengobati sendiri sebulan terakhir dan besaran median biaya menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 171 7.15.4 Proporsi penduduk yang mengobati sendiri sebulan terakhir dan besaran median biaya menurut status ekonomi, Riskesdas 2013 172 7.15.5 Proporsi pemanfaatan rawat jalan dan rawat inap beserta biaya median yang dikeluarkan menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 172 7.15.6 Proporsi pemanfaatan rawat jalan dan rawat inap beserta median biaya yang dikeluarkan menurut karakteristik, Riskesdas 2013 173 7.15.7 Proporsi sumber biaya untuk rawat jalan menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 174 7.15.8 Proporsi sumber biaya untuk rawat jalan menurut status ekonomi, Riskesdas 2013 174 7.15.9 Sumber biaya yang dipakai untuk pengobatan rawat inap menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 175 xxiii 7.15.10 Sumber biaya yang dipakai untuk pengobatan rawat inap menurut status ekonomi, Indonesia 2013 176 xxiv DAFTAR BAGAN/GAMBAR No. Gambar Nama Bagan/Gambar Hal Bagan 1 Kerangka konsep 4 Gambar 2 Sampel Riskesdas 2013 (oleh BPS) 6 Bagan 3 Jumlah Sampel Yang Digunakan Untuk Analisis Penyakit Tidak Menular (PTM) Gambar 7.1 Proporsi rumah tangga memenuhi kriteria perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) baik menurut status ekonomi, Riskesdas 2013 78 Gambar 7.2 Status gizi anak balita BB/U hasil Riskesdas 2007, 2010 dan 2013 82 Gambar 7.3 Status gizi anak balita TB/U hasil Riskesdas 2007, 2010 dan 2013 84 Gambar 7.4 Status gizi anak balita BB/TB hasil Riskesdas 2007, 2010 dan 2013 86 Gambar 7.5 Proporsi kependekan menurut kelompok umur 95 Gambar 7.6 Jumlah sampel dan indikator kesehatan anak di provinsi DKI Jakarta, Riskesdas 2013 105 Gambar 7.7 Kecenderungan imunisasi lengkap pada anak umur 12-59 bulan, Indonesia tahun 2007, 2010, dan 2013 106 Gambar 7.8 Kecenderungan perawatan tali pusar bayi baru lahir Indonesia 2010 dan 2013 Gambar 7.9 Proporsi umur pertama ketika disunat pada anak perempuan usia 0 - 11 tahun, Riskesdas 2013 116 Gambar 7.10 Proporsi penduduk semua umur yang bermasalah gigi dan mulut serta mendapat perawatan, dan EMD, Indonesia 2013 145 Gambar 7.11 Kecenderungan prevalensi cedera dan penyebabnya, Indonesia 2007 dan 2013 154 Gambar 7.12 Prevalensi kebutaan pada responden umur≥6 tahun tanpa/dengan koreksi optimal menurut provinsi, Indonesia 2007-2013 xxv 34 112 164 DAFTAR SINGKATAN µg/L ACT ADA Amanat Persalinan ANC ANC 4x + : : : : : : APN ART Asabri ASI Askes BAB Babel Badan Litbangkes Balita BB BB/TB BB/U BBLR BP BPS BS Buku KIA CPR D D1 D3 DG Dinkes DKI DM DO EIU EKG EMD FKM G GAKI GATS GDP GDPP GDS GGK Hb HDL HIV/ AIDS : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : ICCIDD : microgram per Liter Artemisinin-based combination therapy American Diabetes Assocation Menyambut Persalinan Agar Aman dan Selamat Antenatal care proporsi kelahiran yang mendapat pelayanan kesehatan ibu hamil minimal 4 kali tanpa memperhitungkan periode waktu pemeriksaan. Asuhan Persalinan Normal Anggota Rumah Tangga Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Air Susu Ibu Asuransi kesehatan Buang air besar Bangka Belitung Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Bawah lima tahun Berat Badan Berat badan/Tinggi Badan Berat badan/umur Berat Badan Lahir Rendah Balai Pengobatan Badan Pusat Statistik Blok Sensus Buku Kesehatan Ibu dan Anak Contraceptive Prevalence Rate Diagnosis dokter/tenaga kesehatan Diploma 1 Diploma 3 Diagnosis atau gejala Dinas Kesehatan Daerah Khusus Ibukota Diabetes Mellitus Diagnosis tenaga kesehatan atau minum obat sendiri Eksresi Iodium Urin Elektro Kardio Gram Effective Medical Demand Fakultas Kesehatan Masyarakat Gejala klinis spesifik penyakit Gangguan Akibat Kekurangan Iodium Global Adults Tobacco Survey Glukosa Darah Puasa Glukosa Darah Pasca Pembebanan Glukosa Darah Sewaktu Gagal ginjal kronik Hemoglobin High-Density Lipoprotein Human Immunodeficiency Virus Infection / Acquired Immunodeficiency Syndrome International Council for Control of Iodine Deficiency xxvi ICF IFCC IMD IMT Indeks DMF-T IPKM ISPA IU IUD Jamkesda Jamkesmas Jamsostek JMP JNC JPK K1 : : : : : : : : : : : : : : : : K1 ideal : K4 : Kadinkes Kasie litbang Kasie Litbangda Kasie puldata Kasubdin Katim KB KDRT KEK KEPK Kepmenkes Kespro KF : : : : : : : : : : : : : KIA KIO3 KIPI KK KLB KMS KN Korwil Lansia LDL LH LiLA Linakes : : : : : : : : : : : : : Disorders International Classification of Functioning International Federation of Clinical Chemistry Inisiasi Menyusu Dini Indeks Massa Tubuh Penjumlahan dari D(Decay), M(Missing), F(Filling)-T (teeth) Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat Infeksi Saluran Pernapasan Akut International Unit Intra Uterine Device Jaminan Kesehatan Daerah Jaminan Kesehatan Masyarakat Jaminan Sosial Tenaga Kerja Joint Monitoring Programme Joint National Committee Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Proporsi kelahiran yang mendapat pelayanan kesehatan ibu hamil minimal 1 kali tanpa memperhitungkan periode waktu pemeriksaan Proporsi kelahiran yang mendapat pelayanan kesehatan ibu hamil pertama kali pada trimester 1 Proporsi kelahiran yang mendapat pelayanan kesehatan ibu hamil selama 4 kali dan memenuhi kriteria 1-1-2 yaitu minimal 1 kali pada trimester 1, minimal 1 kali pada trimester 2 dan minimal 2 kali pada trimester 3. Kepala Dinas Kesehatan Kepala Seksi Penelitian dan Pengembangan Kepala Seksi Penelitian dan Pengembangan Daerah Kepala Seksi Pengumpulan Data Kepala Sub Dinas Ketua Tim Keluarga Berencana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Kurang Energi Kronis Komisi Etik Penelitian Kesehatan Keputusan Menteri Kesehatan Kesehatan Reproduksi Pelayanan kesehatan yang diberikan pada ibu selama periode 6 jam sampai 42 hari setelah melahirkan. Kesehatan Ibu dan Anak Kalium Iodat Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi Kepala Keluarga Kejadian Luar Biasa Kartu Menuju Sehat Kunjungan Neonatal Koordinator Wilayah Lanjut usia Low-Density Lipoprotein Lahir Hidup Lingkar Lengan Atas Persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan (dokter xxvii LM LP MDGs Menkes MI MKJP MPASI Nakes NCEP-ATP III : : : : : : : : : NLIS Non MKJP OAT OG OT P4K : : : : : : PB PBTDK PCA PD3I PDBK PERDAMI PERHATI : : : : : : : Permenkes Perpres PHBS PJK PM PMT PNS Polindes Poltekkes Poskesdes Poskestren Posyandu PPI Ppm PPS PPOK PSU PT PTI PTM PUS Puskesmas Pustu PWS KIA RB RDT : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : spesialis kebidanan dan kandungan, dokter umum dan bidan) Lahir Mati Lingkar Perut Millennium Development Goals Menteri Kesehatan Missing Indeks Metode Kontrasepsi Jangka Panjang Makanan Pendamping Air Susu Ibu Tenaga Kesehatan National Cholesterol Education Program- Adult Treatment Panel III Nutrition Landscape Information System Non Metode Kontrasepsi Jangka Panjang Obat Anti Tuberkulosis Obat Generik Obat Tradisional Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi Panjang Badan Pusat Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan Principal Component Analysis Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi Penanggulangan Daerah Bermasalah Kesehatan Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung Tenggorok Indonesia Peraturan Menteri Kesehatan Peraturan Presiden Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Penyakit Jantung Koroner Penyakit Menular Pemberian Makanan Tambahan Pegawai Negeri Sipil Pondok Bersalin Desa Politeknik Kesehatan Pos Kesehatan Desa Pos Kesehatan Pesantren Pos Pelayanan Terpadu Program Pengembangan Imunisasi Part per million Probability Proportional To Size Penyakit Paru Obstruksi Kronis Primary Sampling Unit Perguruan Tinggi Performance Treatment Index Penyakit Tidak Menular Pasangan Usia Subur Pusat Kesehatan Masyarakat Puskesmas Pembantu Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak Rumah Bersalin Rapid Diagnostic Test xxviii RI Riskesdas RKD RPJMN RS RT RTI SD/MI SDM SKN SKRT SLTA SLTP SMA/MA SMP/MTS SP 2010 SPK SRQ STIKES Susenas TB TB TB/U TGT TKP TNI/Polri U UI UKBM UNAIR UNHAS UNICEF USI UU WG WHO WHODAS 2 WUS Yankestrad : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : Republik Indonesia Riset Kesehatan Dasar Riskesdas Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Rumah Sakit Rumah Tangga Required Treatment Index Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah Sumber Daya Manusia Sistem Kesehatan Nasional Survei Kesehatan Rumah Tangga Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah Sekolah Menengah Pertama/MadrasahTsanawiyah Sensus Penduduk 2010 Standar Pelayanan Kebidanan Self Reporting Questionnaire Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Survei Sosial Ekonomi Nasional Tinggi Badan Tuberkulosis Tinggi badan/Umur Toleransi Glukosa Terganggu Tempat Kejadian Perkara Tentara Nasional Indonesia/ Kepolisian RI Ukur Universitas Indonesia Upaya kesehatan Bersumberdaya Masyarakat Universitas Airlangga Universitas Hasanuddin United Nations Children’s Fund Universal Salt Iodization Undang – Undang Washington Group World Health Organization WHO Disability Assessment Schedule 2 Wanita Usia Subur Pelayanan Kesehatan Tradisional xxix I. LATAR BELAKANG Visi Kementerian Kesehatan adalah “Masyarakat Sehat yang mandiri dan berkeadilan. Sedangkan misinya adalah meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat madani; melindungi kesehatan masyarakat dengan menjamin tersedianya upaya kesehatan yang paripurna, merata, bermutu, dan berkeadilan; menjamin ketersediaan dan pemerataan sumberdaya kesehatan; dan menciptakan tata kelola kepemerintahan yang baik”1. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) merupakan Riset Kesehatan berbasis komunitas berskala nasional sampai tingkat kabupaten/kota yang dilakukan secara berkala. Riskesdas ini dilaksanakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Badan Litbangkes) Kementerian Kesehatan RI dengan kerangka sampel yang diperoleh dariBadan Pusat Statistik (BPS). Lima sampai enam tahun dianggap interval yang tepat untuk menilai perkembangan status kesehatan masyarakat, faktor risiko, dan perkembangan upaya pembangunan kesehatan. Keunggulan Riskesdas terletak pada jumlah sampel yang digunakan, yang mampu menggambarkan situasi di tingkat nasional provinsi, dan kabupaten/kota. Riskesdas mengumpulkan data spesifik kesehatan dimana tenaga pelaksana pengumpul data berlatar-belakang pendidikan minimal D3 kesehatan. Dalam Riskesdas dilakukan berbagai pengukuran dan pemeriksaan, seperti berat badan, tinggi/panjang badan, lingkar perut, lingkar lengan atas, tajam penglihatan, kesehatan gigi, tekanan darah, haemoglobin dan gula darah. pengambilan specimen darah dan urin juga dilakukan untuk menilai parameter terkait dengan faktor risiko penyakit. Pada tahun 2007 Badan Litbangkes telah melakukan Riskesdas pertama. Data yang dikumpulkan meliputi semua indikator kesehatan utama, yaitu status kesehatan (penyebab kematian, angka kesakitan, angka kecelakaan, angka disabilitas, dan status gizi), kesehatan lingkungan (lingkungan fisik), konsumsi rumah tangga, pengetahuan-sikap-perilaku kesehatan (Flu Burung, HIV/AIDS, perilaku higienis, penggunaan tembakau, minum alkohol, aktivitas fisik, perilaku konsumsi makanan) dan berbagai aspek mengenai pelayanan kesehatan (akses, cakupan, mutu layananan, pembiayaan kesehatan). Sekitar 33.000 sampel serum, bekuan darah, dan sediaan apus telah pula dikumpulkan, untuk uji lanjutan di laboratorium Badan. Hasil Riskesdas 2007 telah dimanfaatkan oleh penyelenggara program, terutama Kementerian Kesehatan; oleh Bappenas, untuk evaluasi program pembangunan termasuk pengembangan rencana kebijakan pembangunan kesehatan jangka menengah (RPJMN 2010-2014), dan oleh beberapa kabupaten/kota dalam merencanakan, mengalokasikan anggaran, melaksanakan, memantau dan mengevaluasi program-program kesehatan berbasis bukti (evidence-based planning). Komposit beberapa indikator Riskesdas 2007 juga telah digunakan sebagai model Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) di Indonesia untuk melihat peringkat Kabupaten/Kota. Pada tahun 2010, untuk kepentingan memberikan informasi terkait indikator MDGs bidang kesehatan, dilakukan Riskesdas yang sampelnya menggambarkan situasi di tingkat provinsi dan nasional. Data Riskesdas 2010 mencakup indikator: penyakit menular (Malaria,TBC Paru), status gizi, kesehatan reproduksi, kesehatan bayi dan balita, serta faktor-faktor yang mempengaruhi, seperti sanitasi lingkungan, pengetahuan dan perilaku kesehatan (HIV, Merokok), konsumsi makan individu dan akses pelayanan kesehatan. Dilakukan juga pemeriksaan darah di lapangan untuk Malaria dengan metode RDT dan Pemeriksaan. Entri data dilakukan di lapangan pada semua blok sensus. 1 Dalam persiapan pelaksanaan Riskesdas 2013, dilakukan evaluasi Riskesdas 2007 dan Riskesdas 2010 untuk memutuskan informasi yang perlu dikumpulkan. Diperhatikan pula beberapa pertanyaan yang perlu dikoreksi, dikurangi, atau ditambah untuk pelaksanaan Riskesdas 2013. Selain itu manajemen data, termasuk waktu pelaksanaan pengumpulan data dan entri data menjadi pertimbangan untuk memperbaiki response rate rumah tangga dan anggota rumah tangga. Beberapa data dan informasi program yang berkaitan dengan data IPKM dan indikator MDG dikumpulkan kembali dalam Riskesdas 2013. Riskesdas 2013 sangat penting untuk dilaksanakan mengingat informasi hasil Riskesdas 2013 akan dijadikan dasar untuk menilai keberhasilan pelaksanaan pembangunan jangka menengah 2010-2014. Selain itu, juga sebagai sarana untuk mengevaluasi perkembangan status kesehatan masyarakat Indonesia di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota dalam enam tahun terakhir, termasuk perubahan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi status kesehatan masyarakat di tiap tingkat wilayah pemerintahan, dan perkembangan upaya pembangunan kesehatannya. Pertanyaan Penelitian a. Bagaimanakah pencapaian status kesehatan masyarakat di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota pada tahun 2013? b. Apa dan bagaimana faktor-faktor yang melatarbelakangi status kesehatan masyarakat di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten? c. Apakah telah terjadi perubahan masalah kesehatan spesifik di setiap provinsi dan kabupaten/kota dibanding tahun 2007? d. Faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya perubahan masalah kesehatan? e. Bagaimana korelasi antar faktor terhadap status kesehatan? II. TUJUAN RISKESDAS Tujuan Umum: Menyediakan informasi berbasis bukti untuk perumusan kebijakan pembangunan kesehatan di berbagai tingkat administrasi. Tujuan Khusus: a. Menyediakan informasi untuk perencanaan kesehatan termasuk alokasi sumber daya di berbagai tingkat administrasi. b. Menyediakan peta status dan masalah kesehatan di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota pada tahun 2013. c. Menyediakan informasi perubahan status kesehatan masyarakat yang terjadi dari 2007 ke 2013. d. Menilai kembali disparitas wilayah kabupaten kota menggunakan IPKM. e. Mengkaji korelasi antar faktor yang menyebabkan perubahan status kesehatan. III. MANFAAT DAN LUARAN RISKESDAS A. Manfaat Penelitian 1. Untuk kabupaten/kota: a. Mampu menyusun perencanaan program lebih akurat sesuai perkembangan masalah kesehatan dalam enam tahun terakhir. b. Mempunyai bahan advokasi yang berbasis bukti. c. Mampu merencanakan dan melaksanakan survei kesehatan lanjutan di wilayahnya. 2 2. Untuk provinsi dan pusat: a. Mampu memetakan perubahan masalah kesehatan dan menajamkan prioritas pembangunan kesehatan antar wilayah. b. Mempunyai bahan advokasi yang berbasis bukti. c. Mampu merencanakan penelitian lanjutan sesuai dengan permasalahan kesehatan. 3. Untuk Peneliti a. Sebagai sumber data untuk analisis lebih lanjut. b. Sebagai sumber data untuk pengembangan indeks kesehatan. 4. Untuk Institusi Pendidikan a. Sebagai sumber data untuk bahan penulisan tugas akhir. b. Sebagai sumber data untuk analisis lebih lanjut dikaitkan dengan sumber data lainnya. B. Luaran Penelitian Tersedianya data kesehatan berdasarkan karakteristik masyarakat sebagai berikut: a. Status kesehatan: prevalensi penyakit menular, penyakit tidak menular, penyakit jiwa, penyakit bawaan, cedera, status disabilitas, gigi dan mulut, indera mata dan pendengaran, kesehatan reproduksi, kesehatan bayi dan balita, status gizi, hematologi dan kimia darah. b. Pengetahuan dan perilaku kesehatan: perilaku higienis, penggunaan tembakau, frekuensi makan, aktivitas fisik, konsumsi buah-sayur, perilaku penggunaan obat-obat tradisional, dan penggunaan garam iodium. c. Status sanitasi lingkungan rumah tangga d. Upaya pelayanan kesehatan: pembiayaan kesehatan, akses dan pelayanan kesehatan, cakupan pelayanan kesehatan ibu dan anak. 3 IV. KERANGKA KONSEP Untuk menjawab pertanyaan penelitian pada Riskesdas 2013, dikembangkan kerangka konsep penelitian yang merupakan modifikasi dari Sistem Kesehatan WHO dan HL. Blum sebagai berikut FUNGSI SISTEM KESEHATAN TUJUAN SISTEM KESEHATAN VISI, MISI, STRATEGI DANKEBIJAKAN BEYOND HEALTH : PENDIDIKAN, PEKERJAAN. STATUS EKONOMI, PSP_KESEHATAN FARMASI DAN PELAYANAN KESEHATAN TRADISIONAL MANAJEMEN SUMBERDAYA AKSES PELAYANAN KESEHATAN PEMBIAYAAN KESEHARAN DERAJAT KESEHATAN PEMERATAAN & KEADILAN PEMBIAYAAN KESEHATAN KESEHATAN LINGKUNGAN Tidak dikumpulkan datanya Bagan 1. Kerangka Konsep V. METODE RISKESDAS 1. Disain dan Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan survei berskala nasional, dengan disain potong lintang (cross-sectional), nonintervensi/observasi, deskriptif dan analitik. Pengumpulan dan pemeriksaan data dan spesimen dilakukan di lapangan dan laboratorium. 2. Tempat dan Waktu Penelitian ini mencakup seluruh provinsi (33 provinsi), kabupaten/kota (497 kabupaten/kota) di Indonesia yang dilaksanakan mulai dari persiapan sampai dengan analisis lanjut: Januari 2012 – Desember 2014. 4 3. Populasi dan Sampel Populasi Riskesdas adalah semua rumah tangga di Indonesia. Sampel untuk Riskesdas adalah rumahtangga terpilih di Blok Sensus (BS) menurut kerangka sample yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dengan metode PPS (probability proportional to size) menggunakan linear systematic sampling. Tahapan yang dilakukan: a. BPS memilih Blok Sensus yang telah menjadi ’Master Sampling’ untuk kepentingan survei yang terkait dengan komunitas. Digunakan Daftar Wilayah Pencacahan (Wilcah) Sensus Penduduk (SP) 2010 yang terpilih untuk SUSENAS berisi informasi banyaknya rumah tangga hasil listing SP 2010, muatan blok sensus dominan, informasi daerah sulit dan tidak sulit serta klasifikasi desa/ kelurahan. b. Dari listing tersebut, dilakukan listing blok sensus (BS) dari setiap Wilayah terpilih (Primary Sampling Unit/PSU). c. Pemilihan rumah tangga biasa (tidak termasuk panti asuhan, barak polisi/militer, penjara, dsb.) dari setiap BS yang terpilih di atas dilakukan berdasarkan listing hasil pencacahan lengkap SP 2010 yang sudah dimutakhirkan (secondary sampling unit/SSU). Jumlah yang dipilih sebanyak 30 rumah tangga secara sistematik. d. Dari 30 rumah tangga terpilih selanjutnya dipilih 25 rumah tangga sebagai sampel utama dan 5 rumah tangga sebagai sampel cadangan yang dapat digunakan apabila sampel utama tidak ditemukan (rumah tangga pindah). Proses pemilihan 30 rumah tangga sampel dilakukan dengan aplikasi penarikan sampel yang telah dikembangkan oleh BPS. e. Penentuan 25 rumah tangga sebagai sampel utama adalah untuk mengantisipasi multi indikator yang ada di Riskesdas 2013 dan meminimalisir relative standard error, maka dilakukan sampling 25 rumah tangga di setiap BS terpilih. f. Dari 30 rumah tangga yang sudah ditetapkan, tidak dapat digantikan dengan rumah tangga lain. Seluruh anggota rumah tangga terpilih merupakan unit observasi/pengamatan dalam rumah tangga, sesuai dengan kuesioner yang telah disiapkan. Sasaran Responden untuk anggota rumah tangga sesuai dengan variabel yang dikumpulkan (lihat kuesioner RKD13.RT dan RKD13.INDIV). 4. Besar sampel Besar sampel ditentukan berdasarkan keterwakilan wilayah. Keterwakilan kabupaten berdasarkan perhitungan sampel diperlukan sebanyak 300.000 rumah tangga yang akan diperoleh dari 12.000 BS. Keterwakilan provinsi diperlukan sampel sebanyak 75.000 rumah tangga dari 3000 BS. Sedangkan keterwakilan Nasional diperlukan sampel sebanyak 25.000 Rumah tangga dari 1000 BS. Blok Sensus terpilih tersebar di 33 Provinsi (497 Kabupaten/Kota). Selain pemilihan BS di atas, akan dipilih juga sebanyak 15% dari BS sampel Nasional (150 BS). Validasi dilakukan untuk mempertahankan kualitas pengumpulan data. Validasi hanya dilakukan 5 pada 10 rumah tangga per blok sensus yang dipilih secara acak dari 25 rumah tangga yang sudah dilakukan pengumpulan data. Untuk jelasnya alur, proses, dan jumlah BS serta sampel rumah tangga untuk masing-masing keterwakilan dapat dilihat pada gambar 2. SAMPEL RISKESDAS 2013 (OLEH BPS) • Kabupaten-12.000 BS Validasi Kabupaten penyajian sampai domain kabupaten/kota. • Provinsi – 3000 BS penyajian sampai domain provinsi, subsampel dari Modul IPKM. VALIDASI • Nasional – 1000 BS penyajian level nasional, subsampel dari Modul MDG’s. • Nasional Provinsi Validasi, 150 BS 10 Untuk DKI Jakarta jumlah BS sebanyak 209 yang mencakup 4684 rumah tangga dan 13 766 individu. Pelaksanaan pengumpulan data dilaksanakan oleh 34 tim yang dipimpin oleh 10 Penanggungjawab Teknis Propoinsi (PJT Prop). Para PJT Prop adalah para peneliti dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Badan Litbang Kes), Kemenkes. Secara rinci menurut kota dipaparkan pada Tabel 5.1. Tabel 5.1 Alokasi Jumlah Sampel Blok Sensus, Tim, Rumah tangga dan Individu DKI Jakarta No Kota 1 2 3 4 5 6 Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI Jakarta Jumlah Sampel Blok Sensus Tim Rumah Tangga Individu 10 42 45 32 42 38 2 7 7 5 7 6 250 1050 1125 800 1050 950 822 2958 3548 2587 3580 2848 209 34 5225 16 343 6 5. Data yang Dikumpulkan Jenis data yang dikumpulkan secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran A: Instrumen. Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari blok pertanyaan sebagai berikut: Rumah tangga Blok I: Pengenalan Tempat Blok II: Keterangan Rumah tangga Blok III: Keterangan Pengumpul Data Blok IV: Keterangan Anggota Rumah tangga Blok V: Akses dan Pelayanan Kesehatan Blok VI: Farmasi dan Pengobatan Tradisional Blok VII : Gangguan Jiwa Berat Dalam Keluarga Blok VIII: Kesehatan Lingkungan Blok IX: Pemukiman dan Ekonomi Individu : Blok X : Keterangan wawancara Blok XI : Identitas individu A. Penyakit Menular (untuk semua umur) B. Penyakit Tidak Menular (untuk semua umur; > 15 th; >30 th) C. Cedera (untuk semua umur) D. Gigi dan Mulut (untuk semua umur; >12 th) E. Disabilitas/Ketidakmampuan (>15 th) F. Kesehatan Jiwa (>15th) G. Pengetahuan, sikap dan perilaku (>10 th) H. Pembiayaan Kesehatan (untuk semua umur) I. Kesehatan Reproduksi (Perempuan berusia 10-54 th) J. Kesehatan Anak dan Imunisasi (a. 0-59 bln; b. 0-23 bln; c. 0-11 th) K. Pengukuran dan Pemeriksaan K01. Pengukuran Berat Badan (untuk semua umur) K02. Pengukuran Panjang/Tinggi Badan(untuk semua umur) K03. Pengukuran Lingkar Lengan Atas (WUS 15-49 th/ ibu hamil) K04. Pengukuran Lingkar Perut (> 15 th kecuali ibubhamil) K05.Tekanan Darah (lengan kiri ART>15 th) L. Pemeriksaan mata (< 5 th;visus > 6 th; permukaan mata: semua umur) M. Pemeriksaan THT (observasi > 2 th; konversasi > 5 th) N. Pemeriksaan Status gigi permanen (> 12 th) O. Pemeriksaan darah, urine, dan air Pemeriksaan Hemoglobin – deteksi cepat di lapangan Pemeriksaan Gula darah – deteksi cepat di lapangan Pemeriksaan Malaria – deteksi cepat di lapangan Menyiapkan serum dari spesimen darah – sentrifuse – dikirim ke laboratorium pusat untuk pemeriksaan lebih lanjut: kimia klinis, dan serologi Pemeriksaan Urin: kadar iodium (6-12 th; perempuan berusia 15-49 th) Pemeriksaan air rumah tangga(sub sampel) 7 6. Instrumen dan Prosedur Pengumpulan Data Instrumen yang digunakan adalah instrumen Riskesdas 2007 yang disempurnakan, disebut instrumen Riskesdas 2013. Pengembangan instrumen kuesioner dilakukan berdasarkan indikator yang telah disepakati di tingkat global seperti Millennium Development Goals (MDGs), Grand Strategy Kesehatan, Standar Pelayanan Minimal (SPM), maupun masukan dari Unit Utama Kementerian Kesehatan. Instrumen dan peralatan terdiri dari: a. Daftar Sampel Blok Sensus b. Daftar Sampel Rumah Tangga – DSRT 2013 (akan tersedia pada tahun 2013, 1 bulan sebelum pengumpulan data berdasarkan hasil pemutakhiran rumah tangga listing Sensus Penduduk 2010 dari BS terpilih) c. Formulir RKD13.RT dan formulir RKD13.INDIV d. Peralatan medis (pengukur tekanan darah, alat pemeriksaan refraksi, alat pemeriksaan telinga, alat pemeriksaan gigi). e. Peralatan antropometri (alat ukur tinggi dan panjang badan, timbangan berat badan digital, meteran untuk mengukur lingkar perut dan lingkar lengan atas – LILA). f. Gambar obat malaria g. Gambar anak cacat/kelainan bawaan h. Iodina Tes untuk pemeriksaan iodium pada garam tingkat rumah tangga i. Alat peraga aktivitas fisik, dan jenis rokok j. Peralatan dan bahan pengambilan darah perifer k. Prosedur penggunaan RDT dan pembuatan apusan darah tebal malaria serta interpretasinya l. Peralatan dan bahan pemeriksaan spesimen biomedis (darah dan urine). m. Peralatan manajemen data: Laptop, CD, flashdisk, program data entri Cara Pengumpulan Data dilakukan dengan metode: a. Wawancara b. Observasi c. Pemeriksaan Fisik d. Pengukuran e. Pemeriksaan Biomedis Rincian cara pengumpulan data terdapat di buku pedoman (terlampir pedoman pengisian kuesioner, pedoman pengukuran dan pemeriksaan, dan pedoman pemeriksaan specimen biomedis). Waktu yang tersita untuk wawancara, pengukuran, dan pemeriksaan seluruh anggota rumah tangga berkisar antara 2-3 jam, tergantung dari besarnya rumah tangga. Kunjungan kepada responden dapat dilakukan beberapa kali menurut kesepakatan responden dengan pengumpul data. Pengumpulan data direncanakan dilakukan sejak tanggal 1 Mei – 7 Juli 2013. 8 7. Tenaga Pengumpul Data Pengumpulan data yang dilakukan di BS dilakukan oleh tim yang terdiri dari 5 orang yaitu: a) Satu orang ketua tim sekaligus sebagai koordinator lapangan b) Empat orang pewawancara, sekaligus melakukan pengukuran dan pemeriksaan Setiap tim bertanggung jawab pada 6 BS yang akan diselesaikan dalam waktu 50 hari (2 bulan). Jumlah total tim pengumpul data diperkirakan 2000 tim yang akan menyelesaikan 12,000 BS. Sebaran tim per kota dihitung berdasarkan jumlah BS di masing-masing kabupaten. Pengumpulan data di Kota didampingi oleh seorang penanggungjawab kota (PJT kota) yang membawahi beberapa (paling sedikit dua) tim pengumpul data. Kualifikasi tenaga pengumpul data adalah sebagai berikut: a. Ketua tim: tenaga kesehatan dengan minimal kriteria lulus D3 kesehatan dengan variasi bidang kedokteran, keperawatan, dan kebidanan b. Pengumpul data: tenaga kesehatan dengan minimal kriteria lulus D3 kesehatan dengan variasi bidang kedokteran, keperawatan, kebidanan, kesehatan masyarakat, gizi, sanitasi lingkungan, promosi kesehatan, analis kesehatan (khusus untuk pemeriksaan/pengambilan darah). Petugas pengumpul data diharapkan juga berpengalaman menggunakan komputer, karena semua data yang dikumpulkan akan langsung di entri ke komputer pada waktu yang bersamaan. 8. Ujicoba Instrumen dan Manajemen Data Uji coba lapangan Riskesdas 2013 dilakukan untuk mendapatkan metodologi pengumpulan data yang efektif dan efisien. Ujicoba dilakukan dua kali. Ujicoba pertama di Sumatera Utara dengan memilih 4 BS yaitu 2 BS daerah sulit dan 2 BS daerah tidak sulit pada bulan Juli 2012. Ujicoba kedua di Kabupaten Bogor dengan memilih 2 BS. Uji coba bertujuan untuk menilai fisibilitas dan validitas alat, seperti pengukur tinggi/panjang badan, berat badan, tensimeter digital, pemeriksaan specimen biomedis. Selain itu, dinilai juga lamanya waktu digunakan untuk wawancara, tingkat kesulitan serta kualifikasi tenaga pengumpul data. Dalam proses uji coba 2012 dipelajari seluruh proses mulai dari persiapan pelatihan, pengumpulan data, manajemen dan analisis data. Pada Riskesdas 2013 seluruh proses manajemen data mulai dari pengumpulan data sampai editing data, coding serta entri dilakukan di lapangan. Dengan proses ini diharapkan data dari lapangan sudah siap untuk dilakukan cleaning dan analisis. Pengumpulan data secara paperless merupakan bagian yang diujicobakan untuk melihat kemungkinan dapat dilakukan pada daerah sulit atau tidak sulit. 9. Pengumpulan Data Riskesdas 2013 telah mengumpulkan data sampai menggambarkan situasi tingkat kabupaten untuk sebagian besar parameter kesehatan masyarakat. Beberapa parameter kesehatan masyarakat dikumpulkan untuk menggambarkan situasi tingkat Provinsi. Parameter terkait specimen biomedis, dan beberapa pemeriksaan klinis untuk menggambarkan situasi tingkat Nasional. Seluruh proses pengumpulan data dilakukan oleh tenaga kesehatan terlatih minimal dengan tingkat pendidikan D3 Kesehatan. Selama proses pengumpulan data dilakukan, penanggungjawab 9 Kabupaten dan Provinsi memfasilitasi kelancaran pengumpulan data di lapangan. Disamping itu, tim validasi menilai proses pelaksanaan pengumpulan data di lapangan sebagai salah satu bentuk penjaminan mutu data. Tim validasi berasal dari institusi perguruan tinggi yaitu FKM-UI, FKM UNHAS dan FKM UNAIR. 10. Pelatihan Pelatihan Master of Trainer (MOT) Pelatihan MOT adalah pelatihan orang-orang yang ditugaskan untuk mengkoordinir perencanaan dan pelaksanaan Riskesdas 2013 di provinsi (penanggungjawab teknis provinsi/PJT provinsi). Pelaksanaan MOT didahului dengan penyusunan modul dan kurikulum pelatihan MOT, TOT dan pelatihan pengumpul data, yang dilaksanakan bersama dengan Badan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Kemenkes RI., pada bulan Januari 2013 Tujuan MOT: 1. Untuk memperoleh keseragaman dalam perencanaan dan pelaksanaan di provinsi (termasuk pengorganisasian lapangan, rekrutmen tenaga, dan manajemen data). 2. Untuk memperoleh keseragaman dalam pemahaman materi kuesioner, pemeriksaan, pengukuran, dan manajemen data. 3. Untuk memperoleh keseragaman dalam metode pelatihan tenaga pelatih pengumpul data dan pelatih manajemen data. 4. Untuk memperoleh keseragaman dalam pemahaman proses administrasi dan logistik. MOT dilaksanakan di Cisarua-Puncak Kabupaten Bogor. Pelatihan Training of Trainers (TOT) Pelatihan TOT ditujukan kepada penanggungjawab tingkat kabupaten/kota (PJT kabupaten/ kota) dan supervisor tim tingkat kabupaten/kota. Tujuan dari TOT: 1. Untuk memperoleh keseragaman dalam perencanaan dan pelaksanaan di kabupaten (termasuk pengorganisasian lapangan, rekrutmen tenaga, dan manajemen data). 2. Untuk memperoleh keseragaman dalam pemahaman materi kuesioner, pemeriksaan, pengukuran, dan manajemen data. 3. Untuk memperoleh keseragaman dalam metode pelatihan tenaga pelatih pengumpul data dan pelatih manajemen data. 4. Untuk memperoleh keseragaman dalam pemahaman proses administrasi dan logistik, termasuk pengiriman data (elektronik dan lembar kuesioner) ke pusat. TOT dilaksanakan di tempat yang ditentukan oleh masing-masing kordinator wilayah. Pelatihan pelaksanaan Riskesdas untuk penanggungjawab kabupaten diselenggarakan di Hotel Panjang Jiwo, Kabupaten Bogor. Pelatihan Pengumpul dan Manajemen Data Pelatihan pengumpul data ditujukan kepada yang direkrut sebagai pengumpul data, pengukur, dan pemeriksaan (fisik dan spesimen), sesuai kualifikasi. Dalam pelatihan ini termasuk juga pelatihan ketua tim pengumpul data serta mekanisme kerjasama tim pengumpul data. 10 11 Tujuan pelatihan pengumpul dan manajemen data di lapangan: 1. Untuk memperoleh keseragaman dalam pemahaman materi kuesioner, pemeriksaan, pengukuran, dan manajemen data. 2. Untuk memperoleh kesepakatan antar anggota tim mengenai pembagian tugas, jadual dan mekanisme pelaksanaan. 3. Untuk memperoleh kesepakatan tentang mekanisme pengelolaan data di lapangan. 4. Untuk memperoleh kesepakatan tentang mekanisme pengaturan administrasi dan logistik. Pelatihan pengisian kuesioner, pengukuran dan pemeriksaan untuk pengumpul data wilayah DKI Jakarta diselenggarakan di Hotel Grand Mutiara, Cipayung-Mega Mendung-Cisarua, Kabupaten Bogor. Di samping enumerator (134 orang), tim PJT Kota (10 rang) sebagai pelatih, tim Propinsi Kesmas dan biomedis (PJT, SAL, PJO panitia), pelatihan juga mengikutsertakan PJO kabupaten, pendamping biomedis dari tiap blok Sensus Biomedis. 11. Manajemen dan Analisis Data Data hasil wawancara, pemeriksaan dan pengukuran tiap tim diedit oleh ketua tim masing-masing. Selanjutnya dilakukan coding dan entri data di lapangan. Data yang telah dientri dikirim melalui PJT kabupaten/kota ke Badan Litbang Kesehatan melalui email atau CD/flashdisk. Di Badan Litbangkes data disatukan, dilakukan verifikasi akhir, cleaning, pembobotan dan analisis data. Lembar kuesioner dikumpulkan pada Tim Pelaksana tingkat Kabupaten untuk selanjutnya dikirim ke Badan Litbangkes untuk disimpan selama 5 tahun. Analisis awal tingkat nasional akan dilakukan di tingkat pusat. Data yang telah bersih, akan dianalisis oleh PJT provinsi masing-masing. Analisis data di tingkat Kabupaten/Kota berupa frekuensi distribusi dan tabulasi silang terhadap berbagai variabel. Untuk data yang representatif pada tingkat provinsi, akan dianalisis di tingkat provinsi. Badan Litbangkes melakukan analisis di tingkat pusat untuk membandingkan indikator kesehatan antar provinsi, profil kesehatan nasional dan membuat analisis kecenderungan, membandingkan dengan hasil Riskesdas 2007, survei sejenis, target RPJMN dan MDG, dan bila perlu membandingkan dengan hasil survei serupa di negara lain. VI. PENGORGANISASIAN Dasar hukum keseluruhan proses mulai dari persiapan sampai diseminasi dan utilisasi Riskesdas 2013 adalah berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 113/Menkes/SK/III/2012, tanggal 13 Maret 2012 tentang Tim Riset Kesehatan Nasional berbasis Komunitas tahun 2012 – 2014. Organisasi persiapan pelaksanaan Riskesdas 2013 dikukuhkan dengan Surat Keputusan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan No. HK.02.04/2/744/2012, tanggal 30 Januari 2012 tentang Tim Persiapan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2012. Organisasi pengumpulan data Riskesdas 2013 adalah sebagai berikut: 12 1. Di tingkat pusat dibentuk Tim Penasehat, Penanggung jawab dan Tim Pengarah, Tim Pakar, Tim Teknis (Penanggungjawab Blok), Tim Manajemen dan Tim Riset Wilayah : a) Tim Penasehat terdiri dari Menkes dan Wakil Menkes, Kepala BPS, dan Pejabat eselon I Kemkes, Pejabat eselon I BPS, Pejabat eselon I BPS. b) Penanggungjawab dan wakil adalah Kabadan dan Sekertaris Badan Litbangkes. c) Tim Pengarah terdiri dari Pejabat eselon II dilingkungan Badan Litbangkes. d) Tim Pakar terdiri dari para ahli di bidangnya masing-masing. e) Tim Teknis terdiri dari Pejabat eselon III dan Peneliti di lingkungan Badan Litbangkes. f) Tim Manajemen terdiri dari Pejabat eselon II, eselon III Badan Litbangkes g) Tim Riset Wilayah membentuk Koordinator Wilayah (korwil), setiap korwil mengkoordinir beberapa provinsi. 2. Di tingkat provinsi akan dibentuk Tim Pelaksana Riskesdas Provinsi: Tim Pelaksana di tingkat provinsi diketuai oleh Kadinkes Provinsi, Kasubdin Bina Program, Peneliti Badan Litbangkes, dan Kasie Litbang/ Kasie Puldata Dinkes Provinsi. 3. Di tingkat kabupaten/kota akan dibentuk Tim Pelaksana Riskesdas Kabupaten/Kota : Tim Pelaksana di tingkat kabupaten/ kota diketuai oleh Kadinkes Kabupaten, Kasubdin Bina Program tingkat kabupaten, Peneliti Badan Litbangkes, dan Kasie Litbangda. Di tingkat kabupaten/kota akan dibentuk tim pengumpul dan manajemen data. Banyaknya tim pengumpul dan manajemen data tergantung pada jumlah Blok Sensus (BS) di kabupaten/kota tersebut. Setiap tim pengumpul data mencakup 6 BS. Tiap tim pengumpul data terdiri dari 5 orang yang diketuai oleh seorang ketua tim (Katim). Kualifikasi tim pengumpul dan manajemen data termasuk Katim. Tenaga pengumpul dan manajemen data direkrut dari Poltekkes, STIKES, Universitas (Fakultas Kesehatan Masyarakat, Fakultas Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Fakultas Kedokteran Gigi), dll. Pada kondisi yang tidak memungkinkan, khususnya untuk mendapatkan tenaga Enumerator yang jumlahnya sangat besar, maka staf Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Puskesmas dapat menjadi Enumerator dengan persetujuan atasan masing – masing yang dibuktikan dengan surat bebas tugas dari atasan. Untuk kelancaran tugas pengumpulan data dibuat surat pernyataan kesediaan (kontrak kerja) seluruh petugas dari tingkat Pusat sampai tingkat Pengumpul data (Enumerator) Sosialisasi dan rekruitmen tenaga akan dilakukan mulai bulan November 2012. 13 VII. HASIL Jumlah rumah tangga di DKI Jakarta yang bersedia diwawancara (respons rate) sebanyak 85,6 % dari 5225 rumah tangga yang dikunjungi. Sedangkan jumlah individu yang berhasil diwawancara sebanyak 13 766 (84,2%) dari target 16 343 orang. Responden yang menolak untuk berpartisipasi beralasan responden sudah memeriksakan diri/mempunyai dokter langganan di luar negeri, pengalaman pahit sebelumnya. Beberapa saat sebelum dilakukan pengumpulan data ada oknum yang mengaku dari LSM tertentu mendatangi responden yang pada ujung-ujungnya meminta sumbangan. Hal demikian ini membuat responden menolak terhadap kedatangan petugas untuk melakukan wawancara. Selain itu responden individu tidak berpartisipasi karena bekerja pulang malam walau enumerator sudah mencoba menyesuaikan diri dengan waktu yang tersedia. Hasil yang disajikan dalam Buku_1 ini merupakan Pokok-pokok Hasil Riskesdas 2013. Hasil yang lebih rinci disajikan di Buku_2 Riskesdas 2013 Provinsi DKI Jakarta dalam Angka 1 2 3 4 5 6 Tabel 7.0. Respons Rate Blok Sensus, Rumah Tangga dan Individu di DKI Jakarta. Riskesdas 2013 Respons Rate Kabupaten/ Kota tim Blok Sensus Rumah tangga Individu a1 b1 c1 a2 b2 c2 a3 b3 c3 Kepulauan Seribu 2 10 10 100,0 250 249 99,6 822 822 100,0 Jakarta Selatan 7 42 41 97,6 1050 826 78.7 2938 1934 63,4 Jakarta Timur 7 45 45 100,0 1125 963 85,6 3548 2848 80,3 Jakarta Pusat 5 32 32 100,0 800 773 96,6 2587 2009 77,7 Jakarta Barat 7 42 42 100,0 1050 1005 95,7 3580 3328 93,0 Jakarta Utara 6 38 38 100,0 950 868 91,4 2848 2825 99,2 DKI Jakarta 34 209 208 99,5 5225 4684 85,6 16343 13766 84,2 a1,a2,a3 = sampel; b1= ditemukan; b2,b3= diwawancara; c1,c2,c3 = reit respon 7.1 AKSES PELAYANAN KESEHATAN Keberadaan fasilitas kesehatan Keberadaan fasilitas kesehatan yang ditanyakan kepada responden rumah tangga terdiri dari keberadaan rumah sakit pemerintah, rumah sakit swasta, puskesmas atau puskesmas pembantu, praktek dokter atau klinik, praktek bidan atau rumah bersalin, poyandu, poskesdes atau poskestren dan posyandu. Pada Tabel 7.1.1 menunjukkan keberadaan fasilitas kesehatan diketahui rumah tangga. Sekitar ¾ jumlah penduduk mengetahui keberadaan semua fasilitas kesehatan yang ditanyakan kecuali Poskesdes/poskestren dan polindes. Keberadaan Puskesmas adalah fasilitas kesehatan yang paling banyak diketahui masyarakat (94,1). Poskesdes atau Poskestren merupakan salah satu bentuk Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM, baca: kemandirian masyarakat), sehingga keberadaannya tergantung kepada peran masyarakat atau pondok pesantren. Di Kepulauan Seribu keberadaan puskesmas paling banyak diketahui (100%) rumah tangga. Di wilayah DKI Jakarta lainnya fasilitas kesehatan sangat beragam namun puskesmas paling banyak diketahui. Yang paling tidak diketahui adalah polindes dan poskesdes/poskestren. Kedua fasilitas kesehatan ini mungkin memang tidak ada di wilayah tersebut. Seperti halnya faskes selain puskesmas di Kabupaten Kepulauan Seribu, tampaknya tidak ada. Responden mengenal faskes selain puskesmas di luar Kepulauan Seribu. Walaupun faskes yang ditanyakan adalah faskes yang terdekat, namun oleh sebagian responden faskes di ―daratan‖-pun dianggap dekat. 14 Tabel 7.1.1 Proporsi pengetahuan rumah tangga tentang keberadaan jenis fasilitas kesehatan menurut kabupaten/kota, Riskesdas2013 Kabupaten/Kota RS Pemerintah RS Swasta Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI Jakarta 32,2 76,6 84,8 73,5 71,0 77,9 77,5 13,5 79,5 86,3 75,9 73,6 73,3 78,7 Keberadaan fasilitas kesehatan Praktek Praktek Pusk/ Posyandokter/ bidan / Pustu du klinik RB 100,0 19,6 43,8 90,5 95,3 77,6 68,3 80,2 95,4 87,2 80,6 85,4 95,8 71,5 57,1 78,1 89,2 78,4 60,6 55,5 95,5 69,8 64,9 70,3 94,1 78,5 68,4 74,6 Poskesdes/ poskestren Polindes 0,2 0,1 0,1 1,1 0,2 0,5 0,3 0,0 0,0 0,0 0,9 0,0 0,3 0,1 Tabel 7.1.2 memperlihatkan diketahuinya keberadaan faskes menurut kuintil indeks kepemilikan. Indeks kepemilikan adalah upaya pendekatan status ekonomi berdasarkan barang berharga yang dimiliki rumah tangga. Barang berharga termasuk mobil, TV, AC, dll. Indeks Kepemilikan menggantikan Indeks Pengeluaran untuk konsumsi keluarga. Riskesdas 2013 tidak mengumpulkan data pengeluaran tersebut. Proporsi rumah tangga diurutkan dari proporsi yang terkecil hingga terbesar kemudian dibagi lima kelipatan 20 persen. Nilai Persentil kuintil nasional dijadikan rujukan pembagian status kepemilikan terbawah (kuintil I) dan teratas (kuintil V). Proporsi rumah tangga dengan kriteria terbawah cenderung terendah mengetahui keberadaan RS Pemerintah (67,2%), RS Suasta (63,8%) dan Praktek dokter/klinik (70,4%) dan praktek dokter klinik 70,4 persen. Sedangkan rumah tangga dengan indeks kepemilikan tertinggi memiliki pengetahuan yang tinggi terhadap fasilitas rumah sakit pemerintah (82,5%) dan rumah sakit swasta (87,5%). Pada fasilitas kesehatan puskesmas/pustu dan posyandu terjadi sebaliknya, rumah tangga dengan kuintil teratas memiliki pengetahuan yang rendah mengenai sebanyak 89,9 persen dan 66,4 persen. Tabel 7.1.2 Proporsi pengetahuan rumah tangga tentang keberadaan fasilitas kesehatan menurut status ekonomi, Riskesdas 2013 Status Ekonomi RS Pemerintah RS Swasta Keberadaan fasilitas kesehatan Praktek Praktek Pusk/ dokter/ bidan / Posyandu Pustu klinik RB Kuintil Indeks kepemilikan Terbawah 67,2 63,8 94,9 MenengahBawah 73,4 73,9 95,2 Menengah 81,2 81,6 95,4 Menengah Atas 80,1 82,6 95,2 Teratas 82,5 87,5 89,9 Status ekonomi didekati dengan indeks kepemilikan 70,4 74,1 78,7 81,8 85,3 15 62,0 67,4 73,9 72,1 64,5 71,5 76,2 79,1 78,6 66,4 Poskesdes/ poskestren Polindes 0,4 0,3 0,4 0,2 0,2 0,2 0,2 0,2 0,0 0,1 Keterjangkauan fasilitas kesehatan Keterjangkuan fasilitas kesehatan dalam riskesdas 2013 ini dilihat dari aspek moda transportasi, waktu tempuh (dalam satuan menit) dan biaya transportasi menuju fasilitas kesehatan. Moda transportasi yang digunakan menuju fasilitas kesehatan tersebut berupa mobil pribadi, kendaraan umum, jalan kaki, sepeda motor, sepeda, perahu, transportasi udara (kecuali ke posyandu, poskesdes dan polindes) dan lainnya, yang menggunakan lebih dari satu moda transportasi. Dalam penyajian hasil bahwa moda transportasi tersebut dibedakan menurut fasilitas kesehatan yang ada. Waktu tempuh menuju fasilitas kesehatan dihitung dalam bentuk menit menurut pengetahuan rumah tangga. Kemudian waktu tempuh dibedakan dalam empat kategori yaitu ≤15 menit; 16 – 30 menit; 31-60 menit dan > 60 menit. Sedangkan biaya transportasi menuju fasilitas kesehatan dalam mata uang rupiah dibuat 4 kategori yaitu ≤ 10.000; >10.000 – 50.000; >50.000 – 200.000 dan >200.000. Sebesar 15,1 persen warga DKI Jakarta menggunakan lebih dari satu moda transport untuk mencapai faskes yang terdekat. Proporsi terbesar adalah Warga Kepulauan Seribu (52,0%). Di DKI Jakarta daratan, warga Jakarta Selatan terbanyak menggunakan lebih dari satu moda. Tabel 7.1.3 memberi fakta penggunaan jenis moda transport untuk menuju faskes terdekat menurut pengetahuan responden. Responden terbanyak menggunakan sepeda motor (39,3%), diikuti kendaraan umum (35,2%) dan lebih dari 1 moda transportasi (15,1%). Tabel 7.1.3 Proporsi rumah tangga yang dapat menggunakan moda transportasi menuju rumah sakit pemerintah menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Moda transportasi Trans Lebih Kabupaten/ Kota Mobil Kendaraan Jalan Sepeda Sepeda perahu portasi Lainnya dari 1 pribadi umum kaki motor udara moda Kepulauan Seribu 0,0 10,6 32,0 1,8 1,3 2,3 0,0 0,0 52,0 Jakarta Selatan 8,3 26,7 1,7 38,2 0,2 0,0 0,0 0,0 25,0 Jakarta Timur 5,7 36,9 4,0 39,6 0,7 0,0 0,0 0,2 12,8 Jakarta Pusat 4,2 38,6 7,9 25,6 0,1 0,0 0,0 2,9 20,8 Jakarta Barat 11,0 31,6 0,1 52,6 0,3 0,0 0,0 0,0 4,5 Jakarta Utara 4,5 48,1 0,8 31,8 0,0 0,0 0,0 0,4 14,3 DKI Jakarta 7,1 35,2 2,6 39,3 0,3 0,0 0,0 0,4 15,1 Tabel 7.1.4 memberikan informasi karakteristik responden yang menggunakan moda transportasi. Menurut kuintil indeks kepemilikan rumah tangga yang menggunakan sepeda motor proporsi besar pada penduduk menengah atas 49,8 persen dan menengah. Rumah tangga dari kelompok indeks kepemilikan pada proporsi paling kecil (17,3 persen). Untuk penggunaan kendaraan umum pada penduduk dengan indeks kepemilikan terbawah 57,0 persen dan teratas 20,6 persen. Sedangkan yang menggunakan lebih dari 1 moda transportasi pada penduduk terbawah 21,7 persen dan teratas 7,6 persen. Tabel 7.1.5 pengetahuan rumah tangga yang menggunakan moda transportasi menuju puskesmas atau puskesmas pembantu menurut provinsi terbanyak menggunakan sepeda motor 34,9 persen; jalan kaki 34,7 persen; kendaraan umum 19,3 persen; lebih dari 1 moda transportasi 7,4 persen; mobil pribadi 2,5 persen; sepeda 0,7 persen; dan lainnya 0,4 persen. 16 Tabel 7.1.4 Proporsi rumah tangga yang dapat menggunakan moda transportasi menuju RS pemerintah menurut status ekonomi, Riskesdas 2013 Moda transportasi Status Ekonomi mobil pribadi Kuintil Indeks kepemilikan Terbawah 0,0 Menengah bawah 0,6 Menengah 0,3 Menengah atas 1,8 Teratas 29,6 kendaraan umum jalan kaki sepeda motor sepeda perahu trans portasi udara lainnya lebih dari 1 moda 57,0 42,6 35,9 29,3 20,6 3,3 3,1 2,3 2,3 2,1 17,3 31,5 48,5 49,8 39,1 0,5 0,7 0,1 0,0 0,5 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,1 0,4 0,5 0,4 0,5 21,7 21,2 12,3 16,3 7,6 Tabel 7.1.5 Proporsi rumah tangga yang dapat menggunakan moda transportasi menuju puskesmas atau puskesmas pembantu menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Moda transportasi mobil pribadi kendaraan umum jalan kaki sepeda motor sepeda perahu transportasi udara lainnya lebih dari 1 moda Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara 0,0 2,5 2,0 2,3 3,7 1,8 0,0 10,9 20,6 16,9 25,6 24,1 76,4 38,1 34,1 49,0 21,6 38,0 9,4 35,1 36,1 23,2 44,9 27,5 0,2 0,1 1,3 1,0 0,7 0,5 0,4 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 1,1 0,0 0,5 0,8 0,0 1,0 12,5 13,2 5,4 6,9 3,5 7,0 DKI Jakarta 2,5 19,3 34,7 34,9 0,7 0,0 0,0 0,4 7,4 Kabupaten/ Kota Tabel 7.1.6 Proporsi rumah tangga yang dapat menggunakan moda transportasi menuju puskesmas atau puskesmas pembantu menurut status ekonomi, Riskesdas 2013 Moda transportasi Status Ekonomi mobil pribadi Kuintil Indeks kepemilikan Terbawah 0,0 Menengah bawah 0,5 Menengah 0,2 Menengah atas 0,5 Teratas 11,4 kendaraan umum jalan kaki sepeda motor sepeda perahu transportasi udara lainnya lebih dari 1 moda 29,8 21,9 19,8 15,0 12,6 41,0 37,1 31,3 35,1 30,6 18,5 30,5 41,1 41,7 38,4 1,2 1,3 0,6 0,2 0,5 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,5 0,5 0,3 0,3 0,3 9,0 8,2 6,7 7,2 6,2 Jika dilihat dari moda transportasi sepeda motor menurut kota terbanyak di Jakarta Barat 44,9 persen, kemudian disusul Jakarta Timur 36,1 persen dan Jakarta Selatan 35,1 persen, sedangkan terendah di Kepulauan Seribu 9,4 persen. Rumah tangga yang menggunakan kendaraan umum terbanyak di Jakarta Barat 25,6 persen, Jakarta Utara 24,1 persen dan Jakarta Timur 20,6 persen, sedangkan 17 terendah di Kepulauan Seribu 0,0 persen. Rumah tangga yang menggunakan lebih dari 1 moda transportasi terbanyak di Jakarta Selatan (13,2%) dan Kepulauan Seribu (12,5%), sedangkan terendah di Jakarta Barat (3,5%). Tabel 7.1.6 menjelaskan tentang pengetahuan rumah tangga yang menggunakan moda transportasi menuju puskesmas atau puskesmas pembantu menurut karakteristik tipe daerah dan kuintil indeks kepemilikan. Penggunaan sepeda motor di perkotaan 57,3 persen dan perdesaan 63,7 persen. Penggunaan kendaraan umum menuju puskesmas pada indeks kepemilikan teratas 12,6 persen dan pada indeks kepemilikan terendah 29,8 persen. Tabel 7.1.7 waktu tempuh menuju rumah sakit pemerintah ≤ 15 menit sebesar 23,1 persen,16-30 menit 46,5 persen, 31-60 menit 25,7 persen dan >60 menit 4,7 persen. Jika dilihat waktu tempuh ≤ 15 menit, maka terbanyak di Jakarta Pusat 39,2 persen dan terendah di Jakarta Utara 12,1 persen. Pada waktu tempuh 16-30 menit menuju rumah sakit pemerintah,proporsi terbesar di Jakarta Barat(51,9%) dan paling kecil di Kepulauan Seribu (23,6%). Pada waktu tempuh 31-60 menit, terbesar di Jakarta Utara (34,1%) dan tetrkecil di Kepulauan Seribu (3,4%). Untuk waktu tempuh >60 menit terbesar di Kepulauan Seribu 39,2 persen dan terendah di Jakarta Pusat 2,8 persen. Tabel 7.1.7 Proporsi waktu tempuh rumah tangga menuju rumah sakit pemerintah menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara ≤ 15’ 33,8 17,6 30,3 39,2 20,0 12,1 Waktu tempuh (menit) 16-30’ 31-60’ 23,6 3,4 46,1 30,7 42,2 24,5 48,1 9,9 51,9 22,3 48,0 34,1 >60’ 39,2 5,6 3,0 2,8 5,9 5,8 DKI Jakarta 23,1 46,5 4,7 Kabupaten/ Kota 25,7 Tabel 7.1.8. menunjukkan menurut kuintil indeks kepemilikan dengan waktu tempuh 16-30 menit pada penduduk teratas 43,0 persen dan terbawah 49,1,2 persen. Waktu tempuh rumah tangga menuju rumah sakit pemerintah >60 menit pada penduduk terbawah 6,6 persen dan teratas 4,5 persen. Tabel 7.1.8 Proporsi waktu tempuh rumah tangga menuju rumah sakit pemerintah menurut karakteristik, Riskesdas 2013 Status Ekonomi Kuintil Indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas ≤ 15’ Waktu tempuh (menit) 16-30’ 31-60’ >60’ 20,3 21,7 22,9 23,0 26,5 49,1 43,8 46,0 51,1 43,0 6,6 5,7 3,4 4,1 4,5 18 24,0 28,8 27,7 21,8 26,0 Tabel 7.1.9 memberi informasi tentang waktu tempuh rumah tangga menuju pukesmas dan puskesmas pembantu di DKI Jakarta terbanyak dengan waktu ≤ 15’sejumlah 80,1 persen dan terendah dengan waktu >60 menit sejumlah 0,2 persen. Jika dilihat data menurut kota di DKI Jakarta dengan waktu tempuh ≤ 15‘ terbanyak di Jakarta Pusat sejumlah 88,5 persen dan terendah di Kepulauan Seribu sejumlah 54,7 persen. Untuk waktu tempuh 16-30‘ terbanyak di Kepulauan Seribu sejumlah 42,9 persen dan terendah di Jakarta Pusat sejumlah 10,9 persen. Waktu tempuh 31-60‘ terbanyak di Jakarta Barat 4,1 persen dan terendah di Jakarta Pusat sejumlah 0,3 persen. Untuk waktu tempuh >60‘, terbanyak di Kepulauan Seribu sejumlah 0,6 persen dan terendah di Jakarta Timur 0,0 persen. Tabel 7.1.10 memberi informasi tentang waktu tempuh rumah tangga menuju Puskesmas atau Puskesmas pembantu dilihat dari Status Ekonomi kuintil indeks kepemilikan. Pada rumah tangga di DKI Jakarta dengan kuintil indeks kepemilikan dengan waktu tempuh ≤ 15‘ penduduk teratas 83,1 persen dan terbawah 75,9 persen. Waktu tempuh 16-30‘ pada penduduk terbawah 21,1 persen dan teratas 14,9 persen. Sedangkan dengan waktu tempuh >60‘ penduduk terbawah 0,5 persen dan teratas 0,0 persen. Tabel 7.1.9 Proporsi waktu tempuh rumah tangga menuju puskesmas atau Puskesmas Pembantu menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Kabupaten/Kota Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI Jakarta ≤ 15’ 54,7 78,8 82,1 88,5 76,3 78,2 80,1 Waktu tempuh (menit) 16-30’ 31-60’ 42,9 1,7 19,0 2,0 16,9 1,0 10,9 0,3 19,1 4,1 20,5 0,8 17,9 1,8 >60’ 0,6 0,1 0,0 0,3 0,4 0,4 0,2 Tabel 7.1.10 Proporsi waktu tempuh rumah tangga menuju Puskesmas atau Puskesmas pembantu menurut status ekonomi, Riskesdas 2013 Status Ekonomi Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas ≤ 15’ Waktu tempuh (menit) 16-30’ 31-60’ 75,9 76,8 80,4 83,1 83,1 21,1 21,5 17,6 15,4 14,9 2,5 1,8 1,7 1,2 1,9 >60’ 0,5 0,3 0,3 0,0 Tabel 7.1.11 waktu tempuh rumah tangga menuju Posyandu masih didominasi ≤ 15 menit sejumlah 97,6 persen dan disusul pada 16-30 menit sejumlah 2,1 persen. Jika dilihat waktu ≤ 15‘, terbanyak di Jakarta 19 Selatan 99,2 persen dan terendah di Kepulauan Seribu 91,3 persen. Waktu tempuh 16-30‘ terbanyak di Kepulauan Seribu 8,6 persen dan terendah di Jakarta Selatan 0,2 persen. Tabel 7.1.12 menampilkan waktu tempuh rumah tangga menuju posyandu menurut kuintil indeks kepemilikan. Waktu tempuh ke posyandu ≤ 15 menit, pada penduduk dengan kuintil indeks kepemilikan teratas 99,1 persen dan terbawah 96,9 persen. Waktu tempuh ke posyandu 16-30 menit pada penduduk terbawah 3,0 persen dan menengah teratas serta teratas masing masing 0,9 persen. Tabel 7.1.11 Proporsi waktu tempuh rumah tangga menuju posyandu menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Kabupaten/ Kotai Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI Jakarta ≤ 15’ 91,3 99,2 95,6 98,9 98,7 97,3 97,6 16-30’ 8,6 0,2 4,3 1,1 1,2 2,7 2,1 Waktu tempuh (menit) 31-60’ 0,0 0,5 0,0 0,1 0,0 0,0 0,1 >60’ 0,1 0,2 0,1 0,0 0,2 0,0 0,1 Tabel 7.1.12 Proporsi waktu tempuh rumah tangga menuju posyandu menurut status ekonomi, Riskesdas 2013 Status Ekonomi Kuintil Indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas ≤ 15’ 16-30’ 96,9 97,6 97,0 97,6 99,1 3,0 2,3 2,1 2,4 0,9 Waktu tempuh (menit) 31-60’ 0,0 0,0 0,5 0,0 0,0 >60’ 0,0 0,2 0,3 0,0 0,0 Tabel 7.1.13 menunjukkan data waktu tempuh rumah tangga menuju polindesdi Jakarta Pusat dan Jakarta Barat. Di Jakarta Pusat waktu tempuh ke polindes ≤ 15 menit sebanyak 100 persen, sedangkan di Jakarta Utara 53,5 persen. Waktu tempuh ke polindes 16-30 menit hanya ada di Jakarta Utara sebesar 46,5 persen. Tabel 7.1.13 Proporsi waktu tempuh rumah tangga menuju polindes menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Kabupaten/ Kota Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI Jakarta ≤ 15’ 0,0 0,0 0,0 100,0 0,0 53,5 88,9 16-30’ 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 46,5 11,1 20 Waktu tempuh (menit) 31-60’ 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 >60’ 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 Tabel 7.1.14 waktu tempuh rumah tangga menuju polindes ≤ 15 menit pada kuintil indeks kepemilikan teratas 100 persen dan terbawah 53,5 persen. Waktu tempuh rumah tangga menuju polindes 16-30 menit, hanya terdapat pada kuintil indeks kepemilikan terbawah 46,5%. Tabel 7.1.15 menunjukkan biaya transportasi yang harus dikeluarkan rumah tangga menuju rumah sakit pemerintah. Biaya transportasi di DKI Jakarta didominasi oleh biaya sebesar ≤ Rp.10.000 sejumlah 83,1 persen; > Rp.10.000 - Rp.50.000 sejumlah 15,7 persen; >Rp.50.000-Rp.200.000 sejumlah 1,1 persen dan > Rp.200.000 sejumlah 0,1 persen. Pada biaya transportasi ≤ Rp.10.000 menurut kota terbanyak di Jakarta Timur 91,1 persen dan terendah di Kepulauan Seribu 54,3 persen. Tabel 7.1.14 Proporsi waktu tempuh rumah tangga menuju polindes menurut status ekonomi, Riskesdas 2013 Status Ekonomi Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas ≤ 15’ 16-30’ 53,5 100,0 100,0 0,0 100,0 46,5 0,0 0,0 0,0 0,0 Waktu tempuh (menit) 31-60’ 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 >60’ 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 Tabel 7.1.15 Proporsi biaya transportasi rumah tangga menuju rumah sakit pemerintah menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Kabupaten/ Kota Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI Jakarta ≤ 10.000 54,3 84,1 91,1 75,3 70,8 86,2 83,1 Biaya transportasi (rupiah) >10.000 – 50.000 >50.000 – 200.000 4,7 7,0 15,5 0,4 8,2 0,7 23,6 1,1 25,6 3,0 13,1 0,7 15,7 1,1 > 200.000 34,0 0,0 0,0 0,0 0,6 0,0 0,1 Tabel 7.1.16 memberi informasi tentang biaya transportasi menuju rumah sakit pemerintah menurut Status Ekonomi rumah tangga. Jika dilihat dari kuintil indeks kepemilikan dengan biaya ≤ Rp. 10.000, proporsi pada penduduk menengah atas 76,2 persen dan terbawah 82,1 persen. Sedangkan pada biaya transportasi > Rp.10.000 – Rp.50.000 pada penduduk terbawah 17,7 persen dan menengah teratas 19,9 persen. 21 Tabel 7.1.16 Proporsi biaya transportasi rumah tangga menuju rumah sakit pemerintah menurut status ekonomi, Riskesdas 2013 Status Ekonomi ≤ 10.000 Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah 82,1 Menengah bawah 86,9 Menengah 86,2 Menengah atas 83,9 Teratas 76,2 Biaya transportasi (rupiah) >10.000 – 50.000 >50.000 – 200.000 17,7 13,1 12,6 15,6 19,9 > 200.000 0,2 0,0 1,1 0,3 3,6 0,0 0,0 0,0 0,3 0,3 Tabel 7.1.17 memberi informasi tentang biaya transportasi sekali jalan menuju puskesmas. Di DKI Jakarta terbanyak pada besaran biaya ≤ Rp.10.000 (97,9%). Menyusul biaya transportasi antara >Rp.10.000 – Rp.50.000 sebanyak 2,0 persen. Tabel 7.1.17 Proporsi biaya transportasi rumah tangga menuju Puskesmas atau Puskesmas pembantu menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Kabupaten/ Kota Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI Jakarta ≤10.000 92,9 99,0 99,1 96,5 95,6 98,0 97,9 Biaya transportasi (rupiah) >10.000 – 50.000 >50.000 – 200.000 7,1 1,0 0,9 3,5 0,0 4,2 0,2 2,0 2,0 0,0 > 200.000 Tidak menjawab 0,0 0,0 Tabel 7.1.18 menurut kuintil indeks kepemilikan, biaya transportasi ≤ Rp.10.000, maka penduduk menengah atas 98,8 persen dan terbawah 95,6 persen. Biaya transportasi antara > Rp. 10.000 – Rp.50.000 pada penduduk terbawah 4,4 persen dan menengah atas 1,1 persen. Tabel 7.1.18 Proporsi biaya transportasi rumah tangga menuju Puskesmas atau Puskesmas pembantu menurut status ekonomi, Riskesdas2013 Status Ekonomi Kuintil Indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas ≤ 10.000 95,6 96,5 97,7 98,8 97,0 Biaya transportasi (rupiah) >10.000 – 50.000 >50.000 – 200.000 4,4 3,5 2,3 1,1 3,0 0,0 0,0 0,0 0,1 0,0 > 200.000 Tidak menjawab 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 Tabel 7.1.19 menampilkan biaya transportasi rumah tangga sekali jalan menuju posyandu menurut kota di DKI Jakarta terbanyak dengan biaya ≤ Rp.10.000 (99,9%) dan antara >Rp.10.000 – Rp.50.000 (0,1%). Pengeluaran >Rp.10.000 – Rp.50.000 jika dilihat per kota hanya terdapat di Jakarta Pusat (0,1%), Jakarta Barat (0,6%), dan Jakarta Utara (0,1%). 22 Tabel 7.1.19 Proporsi biaya transportasi rumah tangga menuju Posyandu menurut kabupaten/kota, Riskesdas2013 Kabupaten/ Kota Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Kota Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI Jakarta ≤ 10.000 100,0 100,0 100,0 99,9 99,4 99,9 99,9 Biaya transportasi (rupiah) >10.000 – 50.000 >50.000 – 200.000 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,1 0,0 0,6 0,0 0,1 0,0 0,1 0,0 > 200.000 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 Tidak menjawab 0,0 0,0 Tabel 7.1.20 menunjukkan proporsi biaya transportasi yang dikeluarkan rumah tangga menuju ke posyandu menurut kuintil indeks kepemilikan. Biaya transportasi ≤ Rp.10.000 pada penduduk menengah bawah dan menengah atas masing-masing 100 persen, penduduk terbawah dan menengah masingmasing 99,9%, sedangkan pada penduduk teratas 99,6%. Tabel 7.1.20 Proporsi biaya transportasi rumah tangga menuju Posyandu menurut status ekonomi, Riskesdas2013 Status Ekonomi ≤ 10.000 Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah 99,9 Menengah bawah 100,0 Menengah 99,9 Menengah atas 100,0 Teratas 99,6 Biaya transportasi (rupiah) >10.000 – 50.000 >50.000 – 200.000 0,1 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,1 0,4 > 200.000 Tidak menjawab 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 7.2. FARMASI DAN PELAYANAN KESEHATAN TRADISIONAL Pengumpulan data riskesdas 2013 tentang Farmasi dan Pelayanan Kesehatan Tradisional bertujuan: 1. Memperoleh informasi tentang nama dan jenis obat/obat tradisional (OT) yang tersedia (disimpan) di rumah tangga, pemanfaatannya, sumber, dan kondisi obat/OT, guna menilai kerasionalan penggunaannya untuk swa-medikasi. 2. Memperoleh informasi tentang pengetahuan masyarakat terhadap obat generik (OG)dan sumber informasi tentang OG. 3. Memperoleh informasi tentang jenis, pemanfaatan dan alasan utama memanfaatkan pelayanan kesehatan tradisional oleh masyarakat. Obat dan Obat Tradisional (OT) di Rumah Tangga Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara kepada kepala Rumah Tangga (RT) atau Anggota Rumah Tangga (ART) yang paling mengetahui soal penggunaan obat di RT. Yang dimaksud menyimpan obat dan/atau obat tradisional untuk pengobatan sendiri (swa-medikasi) adalah obat/OT yang disimpan untuk mengatasi keluhan atau mengobati penyakit tanpa berkunjung ke dokter, dan tanpa mempertimbangkan 23 apakah obat/OT masih digunakan atau tidak. Enumerator (pengumpul data) diminta untuk memeriksa/ melakukan observasi pada kotak/wadah/kemasan obat/OT di rumah tangga. Definisi Obat (UU no. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan): Obat adalah bahan atau paduan bahan yang siap digunakan untuk memengaruhi atau menyelidiki secara fisiologi atau keadaan patologi, dalam rangka menetapkan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia. Definisi Obat Tradisional (UU no.36 Tahun 2009 tentang kesehatan): Obat Tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat (contoh: obat tradisional kemasan pabrik seperti jamu Pegal Linu Jago, jamu Nyonya Meneer, jamu Sidomuncul, Tolak Angin, Antangin JRG,Diapet, Pil Sendi Borobudur, Pro Urat, Kiranti, Imboos, Stimuno dll) dan bahan dalam bentuk simplisia/tanaman obat yang sudah dikeringkan baik berupa ramuan dari pengobat tradisional (Battra maupun Shinshe). Pada survei ini termasuk ramuan jamu segar siap minum (diperoleh dari pedagang jamu keliling/jamu gendong) yang pada saat pengumpulan data tersedia untuk diminum pada hari itu juga (tidak lebih dari 12 jam penyimpanan). Bahan tanaman obat yang masih segar, misalnya Tanaman Obat Keluarga (TOGA) tidak termasuk dalam survei ini. Obat keras adalah obat yang memiliki logo pada kemasan obat berupa lingkaran merah dengan tanda K, dan/atau tulisan ―HARUS DENGAN RESEP DOKTER‖ yang tercetak pada kemasan obat (strip, blister). Obat bebas /obat bebas terbatas adalah obat yang memiliki logo pada kemasan obat berupa lingkaran hijau. Suplemen (supplement), vitamin/multivitamin, termasuk jenis (kategori) Obat Bebas, meskipun pada kemasannya tidak ada logo obat bebas/bebas terbatas seperti: Redoxon, CDR, Ester C, Natur E, Supradyn, Hemaviton. Obat antibiotika adalah obat yang diketahui dan dikenali bahwa obat yang diobservasi termasuk jenis obat antibiotika, (sesuai Daftar Obat Antibiotika Oral/Alat Peraga pada saat survai), disertaiadanya logo obat keras, dan/atau pada kemasan terdapat tulisan ―HARUS DENGAN RESEP DOKTER‖. Obat „telanjang‟ , maksudnya jika obat/OT tidak dikemas dalam kemasan asli pabrik, atau obat dikemas namun tidak jelas/tidak dikenalilogonya atau tanpa logo,tetapi pada etiket tertulis nama obat/kegunaan obat (misalnya―obat alergi‖, ―puyer demam‖, ―obat batuk, sesak‖). Obat tradisional adalah obat yang memiliki logo pada kemasannya berupa gambar daun atau tulisan ―JAMU‖ atau obat tradisional bukan kemasan pabrik yang sudah jelas dari tampilan fisiknya. Termasuk jenis OT adalah jamu, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka. Tabel. 7.2.1.menjelaskan proporsi rumah tangga yang menyimpan obat dan rerata jumlah obat yang disimpan menurut kota di DKI JakartaTahun 2013. Rumah tangga dihitung menyimpan jenis obat tertentu (obat keras, obat bebas, antibiotika, obat tradisional, atau obat tidak teridentifikasi) jika rumah tangga tsb menyimpan satu jenis untuk setiap kelompok jenis obat. Misal: jika rumah tangga menyimpan antibiotika A, B dan C; obat keras K dan L, maka untuk jenis antibiotic rumah tangga dihitung satu dan untuk obat keras rumah tangga dihitung satu. Rata–rata warga DKI Jakarta menyimpan obat sebesar 56,4 persen. Kota yang paling banyak menyimpan obat dan memiliki rerata jumlah item obat adalah Jakarta Timur (67,3% dengan rerata jumlah 2,32). Proporsi angka penyimpanan obat di DKI Jakarta termasuk cukup tinggi karena lebih dari separuh warga (56,4%.)menyimpan obat di rumah tangganya dan sudah melampaui angka nasional yaitu 35,2 persen. 24 Tabel 7.2.1. Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat, dan rerata jumlah obat yang disimpan menurut kabupaten/kota, Riskesdas2013 Menyimpan obat Kabupaten/ Kota Ya (%) Rerata jumlah jenis obat Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara 30,2 57,4 67,3 55,2 47,3 48,8 2,32 2,81 3,30 3,04 2,29 2,94 DKI Jakarta 56,4 2,9 Indonesia 35,2 2,9 Tabel. 7.2.2 Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat, dan rerata jumlah obat yang disimpan menurut status ekonomi, Riskesdas2013 Menyimpan obat Status Ekonomi Ya (%) Rerata jumlah jenis obat Kuintil Indeks kepemilikan Terbawah 44,0 2,7 Menengah bawah 51,6 2,6 Menengah 56,5 2,9 Menengah atas 60,5 3,0 Teratas 66,1 3,7 Sedangkan untuk proporsi rumah tangga yang menyimpan obat dan rerata jumlah obat yang disimpan menurut Status Ekonomi di DKI Jakarta dapat dilihat bahwa semakin tinggi tingkat kuintil indeks kepemilikan maka semakin tinggi pula proporsi rumah tangga yang menyimpan obat. Begitu pula dengan rerata jumlah jenis obat yang disimpan di rumah tangga. Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat, dan rerata jumlah jenis obat yang disimpan menurut Status Ekonomi dapat dilihat pada tabel. 7.2.2 berikut. Tabel. 7.2.3 menunjukkan bahwa Obat bebas merupakan obat yang paling banyak disimpan di DKI Jakarta 87,4%. Antibiotika dan obat keras termasuk jenis obat yang paling sedikit disimpan di Rumah tangga DKI Jakarta (18,4% dan 26,1%). Antibiotika paling banyak disimpan rumah tangga di Kepulauan Seribu (23,3%). Begitu pula dengan obat keras paling banyak terdapat di rumah tangga di Kepulauan Seribu (34,6%). Sedangkan obat tradisional dan obat yang tidak teridentifikasi/obat telanjang paling banyak ditemukan di Jakarta Timur (23,5% dan 8,6%). 25 Tabel. 7.2.3 Proporsi rumah tangga berdasarkan jenis obat yang disimpan menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Obat Obat tidak Kabupaten/ Kota Obat keras Obat bebas Antibiotika tradisional teridentifikasi Kepulauan Seribu 34,6 83,6 23,3 1,2 2,5 Jakarta Selatan 22,2 88,3 14,9 22,5 1,8 Jakarta Timur 29,9 88,3 21,9 23,5 8,6 Jakarta Pusat 32,1 81,7 22,1 22,4 8,0 Jakarta Barat 22,7 86,1 15,1 16,4 2,3 Jakarta Utara 24,2 89,2 17,7 24,0 2,2 DKI Jakarta 26,1 87,4 18,4 21,9 4,8 Indonesia 35,7 82,0 27,8 15,7 6,4 Tabel. 7.2.4 menyajikan data tentang Proporsi Rumah tangga berdasarkan Jenis Obat dan OT yang disimpan menurut kuintil indek kepemilikan. Dari data menunjukkan bahwa justru rumah tangga yang terbanyak menyimpan jenis antibiotika adalah Kuintil Indeks Kepemilikan terbawah yaitu 26,3%. Sedangkan obat tradisional paling banyak disimpan oleh rumah tangga Kuintil Indeks Kepemilikan Teratas (26,7%). Obat Keras paling banyak disimpan Menengah atas 29,8%. Obat bebas paling banyak disimpan oleh Menengah dan menengah atas (91,3% dan 91,0%). Tabel 7.2.4 Proporsi rumah tangga berdasarkan jenis obat yang disimpan menurut status Ekonomi, Riskesdas 2013 Obat Obat Obat tidak Status Ekonomi Obat keras Antibiotika bebas tradisional teridentifikasi Kuintil indeks kepemilikan Terbawah 28,6 78,9 26,3 22,5 3,6 Menengah bawah 26,4 85,8 15,9 17,5 6,3 Menengah 21,9 91,3 17,4 22,4 4,8 Menengah atas 29,8 85,6 17,3 19,6 5,8 Teratas 24,7 91,0 18,0 26,7 3,3 Tabel. 7.2.5 menggambarkan bahwa untuk DKI Jakarta baik obat keras maupun antibiotik sama-sama memiliki angka yang tinggi dalam hal penggunaan obat tanpa resep (85,1 %dan 89,1%). Adapun seluruh kota juga memiliki angka yang tidak terlalu jauh berbeda dalam hal penggunaan obat antibiotika dan obat keras tanpa resep. Kota Jakarta Selatan merupakan pengguna antibiotik (92,7%) dan obat keras (88,6%) tanpa resep terbanyak di Provinsi DKI Jakarta. Untuk penggunaan obat keras dan antibiotika tanpa resep DKI Jakarta masih lebih tinggi diatas angka nasional. Tabel 7.2.6 menunjukkan proporsi rumah tangga yang menyimpan obat keras dan antibiotika tanpa resep menurut Status Ekonomi di DKI Jakarta tahun 2013. Berdasarkan Tabel 7.2.6 dapat dilihat bahwa indeks kepemilikan kuintil teratas merupakan pengguna obat keras dan antibiotika tanpa resep terbanyak yaitu 88,0% dan 90,8%. 26 Tabel 7.2.5 Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat keras dan antibiotika tanpa resep menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Jenis obat tanpa resep Obat keras Antibiotika 70,8 79,0 88,6 92,7 84,0 86,6 79,0 85,9 85,9 91,0 84,8 88,3 85,1 89,0 81,9 86,1 Kabupaten/ Kota Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI Jakarta Indonesia (dalam %) Tabel 7.2.6 Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat keras dan antibiotika tanpa resep menurut status ekonomi, Riskesdas 2013 Jenis obat tanpa resep Status Ekonomi Obat keras Antibiotika Kuintil indeks kepemilikan Terbawah 84,5 85,7 Menengah bawah 83,9 89,5 Menengah 87,8 87,8 Menengah atas 80,9 89,8 Teratas 88,0 90,8 Tabel. 7.2.7 Proporsi rumah tangga berdasarkan sumber mendapatkan obat dan ot menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Sumber Obat Kabupaten/Kota Toko obat/ Yankes Apotek Nakes Lain-lain* warung formal Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI Jakarta 6,6 39,2 50,6 33,3 37,8 41,6 42,5 37,0 61,1 48,0 52,9 50,8 52,1 52,8 43,4 9,9 19,5 25,4 17,0 15,7 16,7 29,9 7,0 9,2 7,3 8,0 9,6 11,8 3,7 4,2 3,1 3,6 2,8 6,5 3,8 4,3 Indonesia 41,1 37,2 16,8 23,4 Lain – lain : sumber obat diperoleh dari pemberian orang lain, pelayanan kesehatan tradisional dan Penjual OT keliling, Sumber Obat rumah tangga (Apotek, Toko Obat dst.) dihitung jika di rumah tangga tsb. ada/menyimpan satu saja obat yang diperoleh dari sumber obat tersebut 27 Tabel. 7.2.7 memberikan gambaran tentang Proporsi Rumah tangga berdasarkan Sumber Mendapatkan Obat dan OT Menurut Kota. Rumah tangga mendapatkan obat di Toko obat/warung (52,8%) dari pada apotik (42,5%), Yankes formal (16,7%) dan Nakes (8,3%). Di Kepulauan Seribu paling banyak obat didapat dari yankes formal (43,4%), sedangkan di Jakarta barat (50,8%), Jakarta utara(52,1%), Jakarta selatan(61,1%), dan Jakarta Pusat (52,9%)obat paling banyak didapat dari Toko obat/warung. Hanya Jakarta Timur yang obatnya paling banyak didapat dari apotek (50,6%). Tabel 7.2.8 tentang proporsi rumah tangga berdasarkan sumber mendapatkan obat menurut Status Ekonomi di DKI Jakarta tahun 2013 menunjukkan bahwa yang paling banyak mendapatkan obat dari apotek adalah kuintil indeks kepemilikan teratas (55,3%). Sedangkan yang paling banyak mendapatkan obat dari toko obat/warung adalah rumah tangga dari kelompok indeks kepemilikan menengah (58,6%). Rumah tangga dari kelompok kuintil indeks kepemilikan terbawah mendapatkan obat dari Yankes formal (25,4%). Tabel 7.2.8 Proporsi rumah tangga berdasarkan sumber mendapatkan obat menurut status ekonomi, Riskesdas 2013 Sumber Obat Status Ekonomi Toko obat/ Yankes Apotek Nakes Lain-lain* warung formal Kuintil Indeks kepemilikan Terbawah 26,4 52,2 25,4 10,5 5,8 Menengah bawah 35,6 54,4 18,6 10,6 4,5 Menengah 40,7 58,6 15,4 8,5 4,8 Menengah atas 44,8 50,2 17,7 8,4 3,8 Teratas 55,3 49,3 11,1 5,3 4,3 Tabel 7.2.9 Proporsi rumah tangga berdasarkan status obat yang disimpan menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Status obat di rumah tangga(%) Kabupaten/ Kota Sedang digunakan Untuk persediaan Obat sisa Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara 47,4 26,7 32,7 23,6 25,2 35,1 38,1 60,3 59,8 55,7 46,5 54,7 24,4 36,4 41,0 40,8 44,5 36,3 DKI Jakarta 29,3 56,4 39,8 INDONESIA 32,1 42,2 47,0 Status obat di rumah tangga dihitung jika ada satu saja obat di rumah tangga yang statusnya dinyatakan sedang digunakan, untuk persediaan, atau sisa 28 Dari tabel 7.2.9 menunjukkan bahwa status obat yang disimpan di rumah tangga paling banyak adalah sebagai obat untuk persediaan (56,4%). Sedangkan status obat yang sedang digunakan hanya 29,3%. Adapun status obat sisa sebesar 39,8%. Begitu juga untuk kota-kota di DKI Jakarta (Jakarta barat, Timur, Utara, Selatan, dan Pusat) sebagian besar juga menyimpan obat sebagai persediaan. Hanya kepulauan seribu yang sebagian besar menyimpan obat yang berstatus sedang digunakan (47,4%). Tabel 7.2.10 menyajikan data tentang proporsi rumah tangga berdasarkan status obat yang disimpan menurut Status Ekonomi di DKI Jakarta tahun 2013. Menurut Status Ekonomi kuintil indeks kepemilikan dapat diketahui bahwa seluruh tingkat kuintil indeks kepemilikan sebagian besar memiliki status obat yang disimpan sebagai obat persediaan. Sedangkan untuk obat yang sedang dipergunakan paling banyak berada di kuintil indeks kepemilikan menengah atas (32,2%). Untuk status obat sebagai persediaan paling banyak di kuintil indeks kepemilikan teratas (66,3%). Adapun obat sisa paling banyak terdapat di indekas kepemilikan menengah (42,8%). Tabel 7.2.10 Proporsi rumah tangga berdasarkan status obat yang disimpan menurut status ekonomi, Riskesdas 2013 Status obat di rumah tangga (%) Status Ekonomi Sedang digunakan Untuk persediaan Obat sisa Kuintil indeks kepemilikan Terbawah 31,9 46,2 39,8 Menengah bawah 31,3 50,9 40,8 Menengah 27,1 55,7 42,8 Menengah atas 32,2 56,5 38,7 Teratas 25,6 66,3 37,5 Tabel 7.2.11 menunjukkan Proporsi rumah tangga berdasarkan kondisi obat yang disimpan menurut kota di DKI Jakarta tahun 2013. Dari data tersebut menunjukkan bahwa pada rumah tangga di DKI Jakarta kondisi obat yang baik (97,5%) lebih banyak daripada kondisi yang tidak baik (2,5%) . Seluruh kota di DKI Jakarta diatas 95% memiliki kondisi obat yang baik. Tabel 7.2.11 Proporsi rumah tangga berdasarkan kondisi obat yang disimpan menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Kondisi obat di rumah tangga*) Kabupaten/ Kota Baik Tidak baik Kepulauan Seribu 97,2 2,8 Jakarta Selatan 97,8 2,2 Jakarta Timur 98,2 1,8 Jakarta Pusat 98,0 2,0 Jakarta Barat 95,5 4,5 Jakarta Utara 97,3 2,7 DKI Jakarta 97,5 2,5 Indonesia 96,1 3,9 *) Kondisi obat di Rumah tangga dihitung jika ada satu saja obat di rumah tangga yang kondisinya dinyatakan baik atau tidak baik. 29 Berdasarkan data pada tabel 7.2.1.12 tentang Proporsi rumah tangga berdasarkan kondisi obat yang disimpan menurut Status Ekonomi di DKI Jakarta tahun 2013 menunjukkan bahwa walaupun kondisi obat di seluruh tingkat kuintil indeks kepemilikan yang baik lebih banyak dari pada yang tidak baik, namun dapat diperhatikan bahwa kuintil indeks kepemilikan terendah merupakan pemilik obat dalam kondisi obat tidak baik yang paling tinggi (3,7%). Tabel 7.2.12 Proporsi rumah tangga berdasarkan kondisi obat yang disimpan menurut Status Ekonomi, Riskesdas 2013 Kondisi obat di rumah tangga Status Ekonomi Baik Tidak baik Kuintil indeks kepemilikan Terbawah 96,3 3,7 Menengah bawah 97,2 2,8 Menengah 96,7 3,3 Menengah atas 97,0 3,0 Teratas 99,4 0,6 Pengetahuan Rumah tangga Tentang Obat Generik (OG) Tabelpada sub-blok ini menyajikan informasi rumah tangga yang mengetahui atau pernah mendengar dan ‘berpengetahuan benar‘, serta persepsi mengenai OG. Definisi rumah tangga ’berpengetahuan benar’ tentang OG adalah rumah tangga mengetahui bahwa obat generik merupakan obat yang khasiatnya sama dengan obat bermerek dan tanpa menggunakan merek dagang. Selain itu pada subblok ini juga disajikan proporsi rumah tangga berdasarkan sumber informasi OG. Tabel 7.2.13 Proporsi rumah tangga yang mengetahui dan berpengetahuan benar tentang obat generik (OG) menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Kabupaten/Kota Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI Jakarta Mengetahui tentang OG 63,3 69,7 62,8 66,5 62,4 65,8 65,9 Pengetahuan tentang OG Benar Salah 12,8 87,2 14,4 85,6 14,6 85,4 18,2 81,8 16,3 83,7 11,6 88,4 14,9 85,1 Tabel 7.2.13 menunjukkan bahwa di DKI Jakarta terdapat 65,9 persen rumah tangga yang mengetahui atau pernah mendengar mengenai OG. Dari jumlah tersebut, sebagian besar (85,1%) tidak memiliki pengetahuan yang benar tentang OG. Tabel 7.2.14 menunjukkan semakin tinggi status ekonomi, semakin tinggi proporsi rumah tangga dengan pengetahuan benar tentang OG. Tabel 7.2.15 menunjukkan 88,8 persen rumah tangga mempunyai persepsi OG sebagai obat murah dan 71,7 persen obat program pemerintah. Sejumlah 47 persen rumah tangga mempersepsikan OG 30 berkhasiat sama dengan obat bermerek. Persepsi tersebut perlu di promosikan lebih gencar untuk mendorong penggunaan OG lebih luas dan lebih baik dimasyarakat. Proporsi rumah tangga dengan persepsi bahwa OG adalah obat yang dapat dibeli di warung dan obat tanpa merek dagang, paling rendah masing-masing 21,0 persen dan 21,6 persen, padahal persepsi obat tanpa merek dagang adalah salah satu persepsi benar yang diharapkan diketahui masyarakat luas. Tabel 7.2.14 Proporsi rumah tangga yang mengetahui dan berpengetahuan benar tentang obat generik (OG) menurut status ekonomi, Riskesdas 2013 Status Ekonomi Kuintil indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas Mengetahui tentang OG 47,9 53,4 66,3 68,2 77,9 Pengetahuan tentang OG Benar Salah 9,4 13,9 14,4 14,2 19,1 90,6 86,1 85,6 85,8 80,9 Tabel 7.2.15 Proporsi rumah tangga berdasarkan persepsi tentang obat generik (OG) menurut status ekonomi, Riskesdas 2013 Persepsi rumah tangga tentang OG Obat Obat Khasiat Obat Dapat Status Ekonomi Obat Obat bagi tanpa sama dg program dibeli di gratis murah pasien merek obat ber pemerinwarung miskin dagang merek tah Kuintil indeks kepemilikan Terbawah 53,9 83,7 52,0 20,3 15,0 45,7 69,0 Menengah bawah 40,7 89,6 51,3 20,5 18,9 42,1 67,7 Menengah 47,9 91,3 53,6 20,8 21,2 46,8 71,4 Menengah atas 39,9 88,2 45,8 21,4 22,2 43,8 70,0 Teratas 40,8 88,8 47,8 22,3 26,5 53,8 77,5 31 Tabel 7.2.16 Proporsi rumah tangga berdasarkan sumber informasi tentang obat generik (og) menurut status ekonomi, Riskesdas 2013 Sumber informasi tentang OG Status Ekonomi Media Media Tenaga Kader, Teman, Pendidikan cetak elektronik kesehatan toma kerabat Kuintil Indeks kepemilikan Terbawah 11,6 44,8 62,4 9,6 18,5 3,6 Menengah bawah 14,6 47,7 61,4 10,3 16,2 3,3 Menengah 17,9 52,2 64,6 9,9 21,6 1,1 Menengah atas 18,6 50,9 63,0 9,4 17,6 3,2 Teratas 34,3 61,1 64,3 9,4 19,8 7,0 Sumber informasi tentang OG di DKI Jakarta paling banyak diperoleh dari tenaga kesehatan (63,3%). Informasi oleh tenaga kesehatan ini, juga merata pada semua kuintil status ekonomi (Tabel 7.2.16). Sumber informasi OG dari media cetak dan elektronik lebih banyak di akses oleh rumah tangga dengan kuintil indeks kepemilikan yang lebih tinggi. Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Tradisional (Yankestrad) Pelayanan Kesehatan Tradisional (Yankestrad) terdiri dari empat jenis, yaitu Yankestrad ramuan (pelayanan kesehatan yang menggunakan jamu, aromaterapi, gurah, homeopati dan spa), keterampilan dengan alat (akupunktur, chiropraksi, kop/bekam, apiterapi, ceragem, dan akupresur), keterampilan tanpa alat (pijat-urut, pijat-urut khusus ibu/bayi, pengobatan patah tulang, dan refleksi), dan keterampilan dengan pikiran (hipnoterapi, pengobatan dengan meditasi, prana, dan tenaga dalam). Sub-blok ini menyajikan informasi rumah tangga yang pernah memanfaatkan Yankestrad dalam satu tahun terakhir, jenis-jenis Yankestrad yang dimanfaatkan serta alasan utama memanfaatkannya. Tabel 7.2.17 menunjukkan proporsi rumah tangga yang memanfaatkan Yankestrad tertinggi di Jakarta Timur (36,2%), disusul oleh Jakarta Utara (33,3%) dan Jakarta Selatan (32,1%), sedangkan terendah di KKepulauan Seribu (17,0%). Proporsi rumah tangga yang memanfaatkan Yankestrad ramuan tertinggi di Jakarta Utara (68,1%) dan yang terendah di Kepulauan Seribu (19,9%). Proporsi rumah tangga yang memanfaatkan Yankestrad keterampilan dengan alat tertinggi di Jakarta Timur(26,8%) dan terendah di Jakarta Utara (9,6%). Proporsi rumah tangga yang memanfaatkan Yankestrad keterampilan tanpa alat tertinggi di Kepulauan Seribu (94,6%) dan terendah di Jakarta Utara (46,4%). Proporsi rumah tangga yang memanfaatkan Yankestrad keterampilan dengan pikiran tertinggi di Kepulauan Seribu (18,7%) dan terendah di Jakarta Barat (0,8%), 32 Tabel 7.2.17 Proporsi rumah tangga yang pernah memanfaatkan Yankestrad dalam 1 tahun terakhir dan jenis Yankestrad yang dimanfaatkan menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Kabupaten/ Kota Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI Jakarta Pernah memanfaatkan yankestrad 17,0 32,1 36,2 17,5 27,7 33,3 31,0 Jenis Yankestrad Keterampilan Ramuan 19,9 28,2 37,7 33,4 61,7 68,1 44,7 Dengan alat Tanpa alat Dengan pikiran 16,3 22,6 26,8 22,2 16,9 9,6 20,7 94,6 66,8 68,1 60,8 60,6 46,4 62,3 18,7 3,6 1,6 6,7 0,8 0,9 2,1 Tabel 7.2.18 Proporsi rumah tangga yang pernah memanfaatkan Yankestrad dalam 1 tahun terakhir dan jenis Yankestrad yang dimanfaatkan menurut status ekonomi, Riskesdas 2013 Status Ekonomi Kuintil Indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas Pernah memanfaatkan yankestrad 26,1 28,9 29,8 31,7 37,4 Jenis Yankestrad Keterampilan Ramuan 54,0 56,6 44,6 46,0 29,9 Dengan alat Tanpa alat Dengan pikiran 10,8 14,6 21,2 24,5 26,6 53,8 57,1 65,7 61,3 68,9 2,5 3,7 0,4 1,6 2,8 Tabel 7.2.18 menunjukkan proporsi rumah tangga yang memanfaatkan Yankestrad ramuan tertinggi pada kuintil menengah bawah (56,6%) dan terendah pada kuintil teratas (29,9%). Pemanfaatan yankestrad dengan alat tertinggi pada kuintil teratas (26,6%) dan terendah pada kuintil terbawah (10,8%). Yankestrad dengan pikiran terbanyak dimanfaatkan pada kuintil menengah bawah (3,7%) disusul oleh kuintil teratas (2,8%) dan terbawah (2,5%). 33 Tabel 7.2.19 Proporsi rumah tangga berdasarkan alasan utama terbanyak memanfaatkan Yankestrad, Riskesdas 2013 Jenis Yankestrad Menjaga kesehatan, kebugaran Yankestrad ramuan Keterampilan dengan alat Keterampilan tanpa alat Keterampilan dengan pikiran 53,0 31,0 49,1 10,2 Alasan memanfaatkan Yankestrad Tradisi, Lebih CobaPutus kepermanjur coba asa cayaan 11,2 13,6 14,1 38,3 17,5 18,1 19,5 3,8 4,3 21,7 3,9 6,7 1,8 2,9 1,5 0,0 Biaya murah 4,6 5,0 5,6 4,1 Tabel 7.2.19 memperlihatkan alasan utama terbanyak pemanfaatan berbagai Yankestrad oleh rumah tangga. Yankestrad ramuan, keterampilan dengan alat, dan keterampilan tanpa alat sebagian besar dimanfaatkan rumah tangga dengan alasan utama ‗menjaga kesehatan, kebugaran‘. Proporsi rumah tangga dengan alasan utama ‗coba-coba‘ cukup tinggi untuk Yankestrad keterampilan dengan alat (21,7%), perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya dampak negatif dari penggunaan alat yang belum terstandardisasi. Alasan utama karena ‗tradisi kepercayaan‘ terlihat dominan pada pemanfaatan Yankestrad keterampilan dengan pikiran (38,3%). 7.3.PENYAKIT TIDAK MENULAR Penyakit tidak menular (PTM) adalah penyakit kronis, tidak ditularkan dari orang ke orang. PTM mempunyai durasi yang panjang dan perkembangan yang umumnya lambat. Empat jenis PTM utama menurut WHO adalah penyakit kardiovaskular (penyakit jantung koroner, gagal jantung, stroke), kanker, diabetes (DM) dan penyakit pernafasan kronis (asma dan penyakit paru obstruksi kronis). Tujuan Riskesdas 2013 dalam Blok PTM adalah untuk memperoleh gambaran penduduk dengan penyakit tidak menular. Data penyakit tidak menular didapat melalui pertanyaan/wawancara responden tentang penyakit tidak menular yang terdiri dari: (1) asma (2) penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) (3) kanker (4) DM (5) hipertiroid (6) hipertensi (7) jantung koroner (8) gagal jantung (9) stroke (10) gagal ginjal kronis (11) batu ginjal (12) penyakit sendi/rematik. Jenis pertanyaan meliputi:besaran PTM yang didiagnosis tenaga kesehatan, besaran PTM berdasarkan keluhan/gejala tertentu yang dialami oleh responden dan onset PTM yang didiagnosis tenaga kesehatan atau yang dialami responden. 34 Besar sampel yang digunakan dalam analisis Penyakit Tidak Menular (PTM) dapat dilihat pada Bagan 7.3.1. Total sampel riskesdas : 13.766 (L: 6.543& P: 7.223) Asma, Kanker (SU= 13.766) (L: 6.543& P: 7.223) PPOK (≥30 tahun= 7.441) (L: 3.372& P: 4.039) Kanker cervix (P= 7.223) DM, Hipertiroid, Hipertensi (W), PJK, Gagal Jantung, Stroke, GGK, Batu Ginjal, Sendi (≥15 tahun= 10.278) (L: 4.791& P: 5.487) Hipertensi (W & U) ≥18 tahun L: 4.490 (W), 4.382 (U) P: 5.184 (W), 5.126(U) Kanker prostat (L= 6.543) Kanker selain cervix & prostat (semua umur= 13.766) (L: 6.543& P: 7.223) Catatan: SU = semua umur: W = wawancara: U = ukur; L = laki-laki; P = perempuan Bagan 3 Jumlah Sampel Yang Digunakan Untuk Analisis Penyakit Tidak Menular (PTM) Prevalensi penyakit adalah gabungan kasus penyakit yang pernah didiagnosis tenaga medis/kesehatan dan kasus yang mempunyai riwayat gejala PTM. Data penyakit asma/mengi/bengek dan kanker diambil dari responden semua umur, untuk penyakit paru obstruksi kronis umur > 30 tahun, untuk penyakit kencing manis/diabetes melitus, hipertiroid, hipertensi/tekanan darah tinggi, penyakit jantung koroner, penyakit gagal jantung, penyakit ginjal, penyakit sendi/rematik/encok dan stroke ditanya pada umur > 15 tahun. Riwayat penyakit ditanyakan mengenai umur mulai serangan atau tahun pertama didiagnosis, sedangkan pertanyaan gejala ditanyakan mengenai pernah atau dalam kurun waktu 1 bulan mengalami gejala. Hipertensi dinilai melalui 2 cara yaitu wawancara dan pengukuran. Untuk hipertensi wawancara, ditanyakan mengenai riwayat didiagnosis oleh nakes, dan kondisi sedang minum obat anti-hipertensi saat diwawancara. Untuk hipertensi berdasarkan hasil pengukuran, dilakukan pengukuran tekanan darah/tensi menggunakan alat pengukur/tensimeter digital. Setiap responden diukur tensinya minimal 2 kali. Jika hasil pengukuran ke-dua berbeda ≥10 mmHg dibanding pengukuran pertama, maka dilakukan pengukuran ke-tiga. Dua data pengukuran dengan selisih terkecil dengan pengukuran terakhir dihitung reratanya sebagai hasil ukur tensi.Terdapat beberapa perbedaan pertanyaan dalam kuesioner Riskesdas (RKD) 2013 dibandingkan RKD 2007. Untuk kasus asma pada RKD 2007 ditanyakan apakah pernah didiagnosis asma oleh tenaga kesehatan, kemudian untuk yang menjawab tidak, dilanjutkan dengan pertanyaan apakah ada mengalami gejala asma seperti sesak dengan disertai mengi, dada rasa tertekan di pagi hari atau waktu lainnya? Pada 35 RKD 2013 pertanyaan asma berdasarkan pertanyaan yang lebih komplit, seperti sesak yang timbul bila terpapar udara dingin/rokok/debu/infeksi/kelelahan/alergi obat/makanan, ada gejala mengi/sesak lebih berat malam hari atau menjelang pagi/ gejala hilang dengan atau tanpa pengobatan. PPOK hanya ada pada RKD 2013. Pertanyaan PPOK berdasarkan gejala meliputi sesak, batuk berdahak, dan merokok dengan Indek Brinkman ≥ 200, sesak bertambah ketika beraktifitas dan bertambah dengan meningkatnya usia. Pertanyaan kanker pada RKD 2007, apakah pernah didiagnosis tumor/kanker oleh tenaga kesehatan? Hasilnya dinilai agak bias karena pembengkakan seperti lipoma sering disebut tumor oleh masyarakat. RKD 2013 menanyakan apakah pernah didiagnosis kanker oleh dokter. Pertanyaan tentang hipertiroid dalam RKD 2007 tidak ada, pada RKD 2013 ditanyakan apakah pernah didiagnosis hipertiroid oleh dokter? Prevalensi yang didapat berdasar pertanyaan tentu akan lebih rendah dari kenyataan sebenarnya karena biasanya penduduk berobat ke tenaga medis setelah ada gejala dimana penyakit sebenarnya sudah berlanjut. Tekanan darah pada waktu RKD 2007 diukur dengan tensimeter digital IA2 dan sesuai pedoman, pengukuran dilakukan pada lengan kanan. RKD 2013 mengggunakan tensimeter IA1 karena IA2 diskontinu dan sesuai pedoman, diukur pada lengan kiri. Orang Indonesia umumnya menggunakan lengan kanan yang lebih banyak gerak dari pada lengan kiri dantelah diketahui hasil pengukuran lengan kanan akan lebih tinggi 1 – 4 mmHg dari pada lengan kiri. Pada RKD 2007 pertanyaan penyakit jantung digabung (kongenital/jantungkoroner/gagaljantung/ jantung reumatik, dll) yaitu apakah pernah didiagnosis penyakit jantung oleh tenaga kesehatan? Pada RKD 2013 pertanyaan berupa apakah pernah didiagnosis menderita penyakit jantung koroner oleh dokter? Bagi yang belum terdiagnosis dilanjutkan dengan pertanyaan gejala sesuai kriteria ―Rose Quesionnaire”. Untuk penyakit gagal jantung pertanyaan yang diajukan adalah apakah pernah didiagnosis penyakit gagal jantung oleh dokter? Bagi yang belum terdiagnosis dilanjutkan dengan pertanyaan gejala terkait gagal jantung. Pada RKD 2013 juga terdapat pertanyaan apakah pernah didiagnosis penyakit gagal ginjal kronis dan batu ginjal oleh dokter? Pertanyaan untuk stroke dan rematik sama dengan tahun 2007 yaitu apakah pernah didiagnosis oleh tenaga kesehatan dan dilanjutkan dengan pertanyaan gejala terkait penyakit. Informasi hasil analisis penyakit tidak menular (PTM) meliputi (1) asma (2) PPOK (3) kanker (4) DM (5) hipertiroid (6) hipertensi (7) jantung koroner (8) gagal jantung (9) stroke (10) gagal ginjal kronis (11) batu ginjal (12) penyakit sendi/rematik disajikan dalam bentuk tabel. Untuk beberapa penyakit, ditambahkan bentuk grafik kecenderungan 2007 dan 2013. Tabel menunjukkan prevalensi nasional dan provinsi, serta Status Ekonomi sosiodemografi. Istilah D dalam tabel berarti telah didiagnosis tenaga kesehatan atau dokter, D/G adalah hasil diagnosis ditambah gejala (yang belum terdiagnosis). Untuk kasus hipertensi berdasarkan diagnosis nakes diberi inisial D, dan gabungan kasus hipertensi berdasarkan diagnosis nakes dengan kasus hipertensi berdasarkan riwayat sedang minum obat hipertensi sendiri diberi istilah DO (diagnosis/minum obat sendiri), hasil berdasarkan pengukuran diberi inisial U. Kecenderunganprevalensi penyakit dalam RKD 2007 dan 2013 (DM, hipertensi, stroke, dan sendi/rematik) disajikan dalam bentuk grafik. 7.3.1.Asma Asma merupakan gangguan inflamasi kronik di jalan napas. Dasar penyakit ini adalah hiperaktivitas bronkus dan obstruksi jalan napas. Gejala asma adalah gangguan pernapasan (sesak), batuk produktif terutama pada malam hari atau menjelang pagi,dan dada terasa tertekan. Gejala tersebut memburuk pada malam hari, adanya alergen (seperti debu, asap rokok), sedang menderita sakit seperti demam. 36 Gejala hilang dengan atau tanpa pengobatan. Didefinisikan sebagai asma jika pernah mengalami gejala sesak napas yang terjadi pada salah satu atau lebih kondisi: terpapar udara dingin dan/atau debu dan/atau asap rokok dan/atau stres dan/atau flu atau infeksi dan/atau kelelahan dan/atau alergi obat dan/atau alergi makanan dengan disertai salah satu atau lebih gejala : mengi dan/atau sesak napas berkurang atau menghilang dengan pengobatan dan/atau sesak napas berkurang atau menghilang tanpa pengobatan dan/atau sesak napas lebih berat dirasakan pada malam hari atau menjelang pagi dan jika pertama kali merasakan sesak napas saat berumur < 40 tahun. 7.3.2 Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) PPOK adalah penyakit kronik saluran napas yang ditandai dengan hambatan aliran udara khususnya udara ekspirasi dan bersifat progresif lambat (semakin lama semakin memburuk), disebabkan oleh pajanan faktor risiko seperti merokok, polusi udara di dalam maupun di luar ruangan. Onset (awal terjadinya penyakit) biasanya pada usia pertengahan dan tidak hilang dengan pengobatan. Didefinisikan sebagai PPOK jika pernah mengalami sesak napas yang bertambah ketika beraktifitas dan/atau bertambah dengan meningkatnya usia disertai batuk berdahak atau pernah mengalami sesak napas disertai batuk berdahak dan nilai Indeks Brinkman ≥200. Indeks Brinkman adalah jumlah batang rokok yang diisap, dihitung sebagai lama merokok (dalam tahun) dikalikan dengan jumlah rokok yang diisap per hari. 7.3.3 Kanker Kanker atau tumor ganas adalah pertumbuhan sel/jaringan yang tidak terkendali, terus bertumbuh/bertambah, immortal (tidak dapat mati). Sel kanker dapat menyusup ke jaringan sekitar dan dapat membentuk anak sebar. Diagnosis kanker maupun jenis kanker ditegakkan berdasarkan hasil wawancara terhadap pertanyaan pernah didiagnosis menderita kanker oleh dokter. Tabel 7.3.1.1 mencakup informasi prevalensi asma, PPOK, dan kanker di DKI Jakarta masing-masing 5,2 persen, 2,7 persen, dan 1,9 per mil. Prevalensi asma tertinggi terdapat di Jakarta Selatan (7,5%), diikuti Jakarta Timur (6,2%), Jakarta Utara (4,9%), Jakarta Pusat (4,3%), Kepulauan Seribu (3,1%) dan Jakarta Barat (2,2%). Prevalensi PPOK tertinggi terdapat di Jakarta Timur (3,8%), diikuti Kepulauan Seribu (3,3%), Jakarta Utara (3,0%), Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan masing-masing 2,3 persen, terakhir Jakarta Barat (1,5%). Prevalensi PPOK lebih rendah dari kejadian sebenarnya, karena manifestasi klinis baru terlihat ketika fungsi paru sudah menurun. Prevalensi kanker tertinggi terdapat di Jakarta Selatan (3,6‰), diikuti Jakarta Utara dan Jakarta Timur masing-masing (1,7‰) dan (1,6‰), kemudian Jakarta Pusat dan Jakarta Barat masing-masing 1,3 per mil. Tabel 7.3.1. Proporsi penyakit asma, PPOK, dan kanker menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Kabupaten/Kota Asma* PPOK** Kanker (‰)*** Kepulauan Seribu 3,1 3,3 Jakarta Selatan 7,5 2,3 3,6 Jakarta Timur 6,2 3,8 1,6 Jakarta Pusat 4,3 2,3 1,3 Jakarta Barat 2,2 1,5 1,3 Jakarta Utara 4,9 3,0 1,7 DKI Jakarta 5,2 2,7 1,9 *Wawancara semua umur berdasarkangejala: **Wawancara umur > 30 tahun berdasarkan gejala; ***Wawancara semua umur menurut diagnosis dokter 37 Tabel 7.3.2 Proporsi penyakit asma, PPOK dan kanker menurut karakteristik responden, Riskesdas 2013 Karakteristik Responden Kelompok umur (tahun) <1 1- 4 5-14 15-24 25-34 35-44 45-54 55-64 65-74 75+ Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan Pendidikan Tidak Sekolah Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat PT Status Pekerjaan Tidak Bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/Nelayan/Buruh Lainnya Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas Asma* PPOK** Kanker(‰)*** 1,2 1,5 4,9 8,3 6,6 4,6 3,9 1,8 4,1 3,5 1,5 1,4 4,6 2,4 7,3 4,6 4,5 5,8 2,4 3,0 1,3 2,6 4,6 3,7 6,6 6,6 5,8 3,2 2,3 5,2 4,8 2,9 1,8 0,9 0,3 2,6 2,4 0,3 2,5 4,8 6,5 4,4 4,8 5,4 7,8 3,4 0,8 2,8 4,8 2,5 3,6 0,4 3,0 0,0 8,2 4,6 5,3 4,8 3,7 3,3 7,2 4,4 2,4 1,7 0,6 1,9 2,1 2,6 2,0 0,4 0,4 1,6 6,6 6.9 5,1 Tabel 7.3.2 memperlihatkan prevalensi asma tertinggi ada pada kelompok umur 15-24 (8,3%), PPOK ada pada kelompok umur 65-74 (7,3%), dan kanker pada kelompok umur ≥75 (4,1‰). Prevalensi asma, PPOK dan kanker pada perempuan cenderung lebih tinggi dari pada laki-laki. Prevalensi PPOK cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan pendidikan rendah dan status ekonomi terbawah. Asma cenderung lebih tinggi pada kelompok dengan kuintil indeks kepemilikan terbawah. Pada penyakit kanker, prevalensi cenderung lebih tinggi pada pendidikan tinggi dan pada kelompok dengan kuintil indeks kepemilikanmenengah atas. 38 7.3.4. Diabetes melitus (DM) Diabetes melitus adalah penyakit metabolisme yang merupakan suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang karena adanya peningkatan kadar glukosa darah di atas nilai normal. Penyakit ini disebabkan gangguan metabolisme glukosa akibat kekurangan insulin baik secara absolut maupun relatif. Ada 2 tipe diabetes melitus yaitu diabetes tipe I/diabetes juvenile yaitu diabetes yang umumnya didapat sejak masa kanak-kanak dan diabetes tipe II yaitu diabetes yang didapat setelah dewasa. Gejala diabetes antara lain: rasa haus yang berlebihan (polidipsi), sering kencing (poliuri) terutama malam hari, sering merasa lapar (poliphagi), berat badan yang turun dengan cepat, keluhan lemah, kesemutan pada tangan dan kaki, gatal-gatal, penglihatan jadi kabur, impotensi, luka sulit sembuh, keputihan, penyakit kulit akibat jamur di bawah lipatan kulit, dan pada ibu-ibu sering melahirkan bayi besar dengan berat badan > 4 Kg. Didefinisikan sebagai DM jika pernah didiagnosis menderita kencing manis oleh dokter atau belum pernah didiagnosis menderita kencing manis oleh dokter tetapi dalam 1 bulan terakhir mengalami gejala: sering lapar dan sering haus dan sering buang air kecil & jumlah banyak dan berat badan turun. 7.3.5.Penyakit Hipertiroid Penyakit hipertiroid adalah suatu keadaan ketika fungsi kelenjar gondok (tiroid) menjadi berlebihan. Kelebihan fungsi kelenjar tersebut meningkatkan produksi hormon tiroid yang mempengaruhi metabolisme tubuh. Gejala penyakit hipertiroid antara lain: jantung berdebar-debar, berkeringat banyak, penurunan berat badan, cemas, tidak tahan terhadap udara dingin, dan lain-lain. Didefinisikan sebagai hipertiroid jika pernah didiagnosis hipertiroid oleh dokter. 7.3.6. Hipertensi/Tekanan Darah Tinggi Hipertensi adalah suatu keadaan ketika tekanan darah di pembuluh darah meningkat secara kronis. Hal tersebut dapat terjadi karena jantung bekerja lebih keras memompa darah untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi tubuh. Jika dibiarkan, penyakit ini dapat mengganggu fungsi organ-organ lain, terutama organ-organ vital seperti jantung dan ginjal. Didefinisikan sebagai hipertensi jika pernah didiagnosis menderita hipertensi/penyakit tekanan darah tinggi oleh tenaga kesehatan (dokter/perawat/bidan) atau belum pernah didiagnosis menderita hipertensi tetapi saat diwawancara sedang minum obat medis untuk tekanan darah tinggi (minum obat sendiri). Kriteria hipertensi yang digunakan pada penetapan kasus merujuk pada kriteria diagnosis JNC VII 2003, yaitu hasil pengukuran tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg. Kriteria JNC VII 2003 hanya berlaku untuk umur ≥ 18 tahun, maka prevalensi hipertensi berdasarkan pengukuran tekanan darah dihitung hanya pada penduduk umur ≥ 18 tahun. Mengingat pengukuran tekanan darah dilakukan pada penduduk umur ≥ 15 tahun maka temuan kasus hipertensi pada umur 15-17 tahun sesuai kriteria JNC VII 2003 akan dilaporkan secara garis besar sebagai tambahan informasi. Tabel 7.3.3 terlihat prevalensi diabetes dan hipertiroid di Indonesia berdasar wawancara yang terdiagnosis dokter masing-masing sebesar 2,5 persen dan 0,7 persen. DM terdiagnosis dokter dan gejala sebesar 3,0 persen. Prevalensi diabetes yang terdiagnosis dokter tertinggi berturut-turut terdapat di Jakarta Selatan (3,1%), Jakarta Timur (3,0%), Kepulauan Seribu (2,5%), Jakarta Pusat (2,2%), Jakarta Utara (1,9%), dan Jakarta Barat (1,7%). Prevalensi diabetes yang terdiagnosis dokter dan gejala, tertinggi berturut-turut terdapat di Jakarta Selatan (4,0%), Jakarta Timur (3,7%), Kepulauan Seribu (2,7%), Jakarta Pusat (2,6%), Jakarta Utara (2,5%), dan Jakarta Barat 2,0%. Prevalensi hipertiroid tertinggi berturut-turut terdapat di Jakarta Timur (1,5%). 39 Tabel 7.3.3 Proporsi diabetes, hipertiroid pada umur ≥ 15 tahun dan hipertensi pada umur ≥ 18 tahun menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Hipertensi Wawancara Pengukuran D D/G D D D/O U Kepulauan Seribu 2,5 2,7 0,1 6,4 6,4 15,4 Jakarta Selatan 3,1 4,0 0,3 12,7 13,0 22,8 Jakarta Timur 3,0 3,7 1,5 11,3 11,5 21,6 Jakarta Pusat 2,2 2,6 0,5 9,3 9,3 20,0 Jakarta Barat 1,7 2,0 0,5 7,7 7,8 17,0 Jakarta Utara 1,9 2,5 0,3 8,0 8,2 18,5 DKI Jakarta 2,5 3,0 0,7 10,0 10,1 20,0 Keterangan : D = berdasarkan wawancara terdiagnosis dokter; D/G = terdiagnosis dokter dan gejala; D/O = terdiagnosis tenaga kesehatan dan minnum obat. Kabupaten/Kota Diabetes Hipertiroid Jakarta Barat masing-masing (0,5%), Jakarta Selatan dan Jakarta Utara masing-masing (0,3%), serta Kepulauan Seribu (0,1%). Prevalensi hipertensi di DKI Jakarta yang didapat melalui pengukuran pada umur ≥ 18 tahun sebesar 20,0 persen, tertinggi di Jakarta Selatan (22,8%), diikuti Jakarta Timur (21,6%), Jakarta Pusat (20,0%), Jakarta Utara (18,5%), Jakarta Barat (17,0%), dan Kepulauan Seribu (15,4%). Prevalensi hipertensi rata-rata di DKI Jakarta yang didapat melalui kuesioner terdiagnosis tenaga kesehatan sebesar 10,0 persen, yang didiagnosis tenaga kesehatan dan minum obat sebesar 10,1 persen. Dari tabel 7.3.4 terlihat prevalensi diabetes melitus berdasar diagnosis dokter dan gejala tertinggi ada pada kelompok umur 55-64 tahun (11,9%). Prevalensi hipertiroid tertinggi ada pada kelompok umur ≥75 tahun. Prevalensi hipertensi berdasarkan terdiagnosis tenaga kesehatan dan pengukuran terlihat meningkat dengan bertambahnya umur. Prevalensi DM, pada laki-laki sedikit lebih tinggi daripada perempuan, sedangkan untuk hipertiroid, dan hipertensi pada perempuan cenderung lebih tinggi dari pada laki-laki. Prevalensi DM cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah dan dengan status ekonomi dengan kuintil indeks kepemilikan tinggi. Prevalensi hipertensi cenderung lebih tinggi pada kelompok pendidikan lebih rendah dan kelompok tidak bekerja, mungkin akibat ketidaktahuan tentang pola makan yang baik. . 40 Tabel 7.3.4 Proporsi diabetes, hipertiroid, hipertensi menurut karakteristik responden, Riskesdas 2013 Karakteristik Responden Diabetes * D Kelompok umur (tahun) 15-24 0,4 25-34 0,1 35-44 1,4 45-54 5,2 55-64 11,7 65-74 8,3 75+ 9,9 Jenis Kelamin Laki-Laki 2,6 Perempuan 2,3 Pendidikan Tidak Sekolah 2,9 Tidak Tamat SD 5,0 Tamat SD 3,4 Tamat SMP 2,5 Tamat SMA 2,1 Tamat PT 1,9 Status Pekerjaan Tidak Bekerja 3,1 Pegawai 1,6 Wiraswasta 2,7 Petani/Nelayan/Buruh 1,9 Lainnya 1,6 Tempat Tinggal Perkotaan 2,5 Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah 1,2 Menengah bawah 2,5 Menengah 2,2 Menengah atas 3,0 Teratas 3,1 *Umur > 15 tahun**Umur ≥ 18 tahun Hipertiroid* Hipertensi** Wawancara Pengukuran D D/G U D/G D 1,1 0,8 1,7 6,0 11,9 8,5 9,9 0,6 0,9 0,5 0,7 0,4 0,5 1,4 2,2 3,1 9,4 18,6 26,3 32,9 30,1 2,2 3,1 9,8 18,8 26,5 35,0 30,1 6,1 9,5 21,2 31,9 45,4 60,9 50,8 3,1 3,0 0,4 1,0 8,1 11,8 8,3 12,0 18,6 21,5 3,0 7,3 4,0 2,8 2,7 1,9 0,0 0,2 1,1 0,7 1,0 17,6 19,5 16,1 10,1 7,4 8,1 17,6 19,7 16,4 10,2 7,5 8,7 36,3 33,8 29,3 19,3 16,6 16,6 3,9 1,8 3,0 2,9 2,3 0,9 0,6 0,4 0,3 1,2 13,9 5,6 9,9 5,7 10,5 14,2 5,7 10,1 6,1 10,5 24,3 14,2 22,1 18,2 13,7 3,0 0,7 10,0 10,1 20,0 2,1 3,3 2,6 3,5 3,5 0,2 0,7 0,4 1,0 1,0 7,0 11,2 10,3 10,6 9,9 7,2 11,3 10,5 10,9 10,0 17,4 21,5 19,1 20,7 20,9 7.3.7. Penyakit jantung Penyakit jantung pada orang dewasa yang sering ditemui adalah penyakit jantung koroner dan gagal jantung. Responden biasanya mengetahui penyakit jantung yang diderita sebagai penyakit jantung saja. Cara membedakannya dengan menanyakan gejala yang dialami responden. 7.3.8. Penyakit jantung koroner Penyakit jantung koroner adalah gangguan fungsi jantung akibat otot jantung kekurangan darah karena adanya penyempitan pembuluh darah koroner. Secara klinis, ditandai dengan nyeri dada atau terasa tidak nyaman didada atau dada terasa tertekan berat ketika sedang mendaki/kerja berat ataupun berjalan terburu-buru pada saat berjalan di jalan datar atau berjalan jauh. Didefinisikan sebagai PJK jika 41 pernah didiagnosis menderita PJK (angina pektoris dan/atau infark miokard) oleh dokter atau belum pernah didiagnosis menderita PJK tetapi pernah mengalami gejala/riwayat: nyeri/rasa tertekan berat/tidak nyaman di dada dan dirasakan di dada bagian tengah/dada kiri depan/menjalar ke lengan kiri ketika mendaki/naik tangga/berjalan tergesa-gesa dan hilang ketika menghentikan aktifitas/istirahat. 7.3.9. Penyakit gagal jantung Gagal Jantung/Payah Jantung (fungsi jantung lemah) adalah ketidakmampuan jantung memompa darah yang cukup ke seluruh tubuh yang ditandai dengan sesak nafas pada saat beraktifitas dan/atau saat tidur terlentang tanpa bantal, dan/atau tungkai bawah membengkak. Didefinisikan sebagai penyakit gagal jantung jika pernah didiagnosis menderita penyakit gagal jantung (decompensatio cordis) oleh dokter atau belum pernah didiagnosis menderita penyakit gagal jantung tetapi mengalami gejala/riwayat: sesak napas pada saat aktifitas dan/atau saat tidur terlentang tanpa bantal dan/atau kapasitas aktivitas fisik menurun/mudah lelah dan/atau tungkai bawah bengkak. 7.3.10. Stroke Stroke adalah penyakit pada otak berupa gangguan fungsi syaraf lokal dan/atau global, munculnya mendadak, progresif, dan cepat. Gangguan fungsi syaraf pada stroke disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak non traumatik. Gangguan syaraf tersebut menimbulkan gejala antara lain: kelumpuhan wajah atau anggota badan, bicara tidak lancar, bicara tidak jelas (pelo), mungkin perubahan kesadaran, gangguan penglihatan, dan lain-lain. Didefinisikan sebagai stroke jika pernah didiagnosis menderita penyakit stroke oleh tenaga kesehatan (dokter/perawat/bidan) atau belum pernah didiagnosis menderita penyakit stroke oleh nakes tetapi pernah mengalami secara mendadak keluhan kelumpuhan pada satu sisi tubuh dan/atau kelumpuhan pada satu sisi tubuh yang disertai kesemutan atau baal satu sisi tubuh dan/atau mulut menjadi mencong tanpa kelumpuhan otot mata dan/atau bicara pelo dan/atau sulit bicara/komunikasi dan/atau tidak mengerti pembicaraan. Tabel 7.3.5 menunjukkan prevalensi jantung koroner berdasar wawancara terdiagnosis dokter di DKI Jakarta sebesar 0,7 persen, dan berdasar terdiagnosis dokter dan gejala sebesar 1,6 persen. Prevalensi jantung koroner berdasarkan terdiagnosis dokter tertinggi berturut-turut ada di Jakarta Timur, Jakarta Pusat dan Jakarta Utara masing-masing 0,8 persen diikuti Jakarta Selatan, Jakarta Barat masing-masing 0,6 persen dan terakhir Kepulauan Seribu 0,1%. Sementara prevalensi jantung koroner menurut diagnosis dan gejala tertinggi di Jakarta Selatan (2,0%), diikuti Jakarta Timur, Jakarta Utara masingmasing 1,9%, kemudian Jakarta Pusat (1,5%), dan Kepulauan Seribu (0,6%). Tabel 7.3.5 Proporsi penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan stroke pada umur ≥ 15 tahun menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Kabupaten/Kota Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI Jakarta Jantung Koroner (infark) D 0,1 0,6 0,8 0,8 0,6 0,8 0,7 D/G 0,6 2,0 1,9 1,5 0,9 1,9 1,6 42 Gagal jantung (decompensatio) D D/G 0,1 0,1 0,3 0,5 0,0 0,2 0,1 0,3 0,1 0,2 0,3 0,4 0,2 0,3 Strok(‰) D 0,7 0,9 1,3 0,7 0,7 1,1 1,0 D/G 0,7 1,9 1,7 0,9 1,0 1,5 1,5 Prevalensi gagal jantung berdasar wawancara terdiagnosis dokter di DKI Jakarta sebesar 0,2 persen, dan yang terdiagnosis dokter dan gejala sebesar 0,3 persen. Prevalensi gagal jantung berdasarkan terdiagnosis dokter tertinggi di Jakarta Selatan dan Jakarta Utara masing-masing sebesar 0,3%, disusul Kepulauan Seribu, Jakarta Pusat dan Jakarta Barat masing-masing sebesar 0,1%. Prevalensi gagal jantung berdasarkan diagnosis dan gejala tertinggi di Jakarta Selatan (0,5%), diikuti Jakarta Utara (0,4%), sementara Jakarta Timur dan Jakarta Baratmasing-masing sebesar 0,2 persen. Terakhir Kepulauan Seribu sebesar 0,1 persen. Tabel 7.3.6 Proporsi penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan stroke kepada umur ≥ 15 tahun menurut karakteristik responden, Riskesdas 2013 Karakteristik Responden Kelompok umur (tahun) 15-24 25-34 35-44 45-54 55-64 65-74 75+ Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan Pendidikan Tidak Sekolah Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat PT Status Pekerjaan Tidak Bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/Nelayan/Buruh Lainnya Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas Jantung Koroner D D/G Gagal jantung D D/G Stroke (‰) D D/G 0,0 0,1 0,4 1,5 2,5 3,3 6,0 0,9 1,2 1,0 2,9 3,3 4,5 6,0 0,0 0,2 0,1 0,5 0,1 0,0 0,4 0,0 0,2 0,1 1,1 0,3 0,0 0,4 0,1 0,0 0,4 1,4 5,1 7,5 6,0 0,3 0,6 0,8 2,2 5,5 7,6 6,0 0,8 0,6 1,6 1,7 0,1 0,2 0,2 0,3 1,2 0,8 1,6 1,3 1,4 1,6 0,7 0,7 0,6 0,8 2,9 3,0 1,4 1,6 1,6 1,6 0,0 1,0 0,0 0,4 0,1 0,3 1,8 0,3 0,6 0,1 0,0 4,7 2,2 1,1 0,7 0,8 1,0 7,2 2,9 1,6 1,2 1,3 1,2 1,0 0,4 0,7 0,3 0,3 2,1 1,1 1,6 1,6 0,3 0,3 0,0 0,2 0,1 0,0 0,4 0,0 0,2 0,5 0,0 1,6 0,3 0,5 0,7 1,1 2,1 0,6 1,4 1,3 1,4 0,4 0,4 1,0 0,6 1,0 1,4 1,4 2,1 1,4 1,8 0,1 0,0 0,3 0,2 0,1 0,3 0,4 0,4 0,3 0,1 0,5 0,7 0,7 1,7 1,1 0,9 1,3 1,5 1,9 1,5 Prevalensi stroke di DKI Jakarta berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan sebesar 1,0 permil dan yang terdiagnosis tenaga kesehatan dan gejala sebesar 1,5 permil. Prevalensi Stroke berdasarkan diagnosis nakes tertinggi di Jakarta Timur (1,3‰), diikuti Jakarta Utara (1,1‰), Jakarta Selatan (0,9‰), kemudian Kepulauan Seribu, Jakarta Pusat, Jakarta Barat masing-masing 0,7 permil. Prevalensi Stroke berdasarkan terdiagnosis dokter dan gejala tertinggi terdapat di Jakarta Selatan (1,9‰), diikuti Jakarta 43 Timur (1,7‰), Jakarta Utara (1,5‰),Jakarta Barat (1,0‰), Jakarta Pusat (0,9‰), dan Kepulauan Seribu(0,7‰). Tabel 7.3.6 menunjukkan prevalensi penyakit jantung koroner (PJK) berdasarkan wawancara yang didiagnosis dokter serta yang didiagnosis dokter & gejala meningkat seiring dengan bertambahnya umur, tertinggi pada kelompok umur ≥ 75 tahun yaitu 6,0 persen. Prevalensi PJK lebih tinggi pada masyarakat berpendidikan rendah dan tidak bekerja. Berdasar PJK terdiagnosis dokter prevalensi lebih tinggi pada status ekonomi menengah. Prevalensi penyakit gagal jantung tertinggi pada umur 45 – 54 tahun (1,1%). Untuk yang didiagnosis dokter serta yang didiagnosis dokter & gejala prevalensi lebih tinggi pada perempuan 0,2 persen dan 0,3 persen dibanding laki-laki 0,1 persen dan 0,2 persen,. Prevalensi yang didiagnosis dokter serta yang didiagnosis dokter dan gejala lebih tinggi pada masyarakat dengan pendidikan rendah. Prevalensi yang didiagnosis dokterdan yang didiagnosis dokter & gejala lebih tinggi dengan kuintil indeks kepemilikan menengah. Prevalensi penyakit stroke pada kelompok yang didiagnosis nakes serta yang didiagnosis nakes dan gejala meningkat seiring dengan bertambahnya umur, tertinggi pada umur 65-74 tahun (7,5‰ dan 7,6‰), sedikit menurun pada umur ≥ 75 tahun (6,0‰). Prevalensi yang terdiagnosis nakes lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan, demikian juga yang didiagnosis nakes dan gejala, laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Prevalensi stroke cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan pendidikan rendah baik yang didiagnosis nakes (4,7‰) maupun diagnosis nakes dan gejala (7,2‰). Prevalensi lebih tinggi pada masyarakat yang tidak bekerja baik yang didiagnosis nakes (1,6‰) maupun yang didiagnosis nakes dan gejala (2,1‰). Prevalensi stroke yang didiagnosis nakes maupun yang didiagnosis dan gejala lebih tinggi pada kuintil indeks kepemilikan menengah atas (1,7‰ dan 1,9‰), 7.3.11. Penyakit ginjal Penyakit ginjal adalah kelainan yang mengenai organ ginjal yang timbul akibat berbagai faktor, misalnya infeksi, tumor, kelainan bawaan, penyakit metabolik atau degeneratif, dan lain-lain. Kelainan tersebut dapat mempengaruhi struktur dan fungsi ginjal dengan tingkat keparahan yang berbeda-beda. Pasien mungkin merasa nyeri, mengalami gangguan berkemih, dan lain-lain. Terkadang pasien penyakit ginjal tidak merasakan gejala sama sekali. Pada keadaan terburuk, pasien dapat terancam nyawanya jika tidak menjalani hemodialisis (cuci darah) berkala atau transplantasi ginjal untuk menggantikan organ ginjalnya yang telah rusak parah. Di Indonesia, penyakit ginjal yang cukup sering dijumpai antara lain adalah penyakit gagal ginjal dan batu ginjal. Didefinisikan sebagai gagal ginjal kronis jika pernah didiagnosis menderita penyakit gagal ginjal kronis (minimal sakit selama 3 bulan berturut-turut) oleh dokter. Didefinisikan sebagai penyakit batu ginjal jika pernah didiagnosis mengalami penyakit batu ginjal oleh dokter. 7.3.12. Penyakit sendi/rematik/encok Penyakit sendi/rematik/encok adalah suatu penyakit inflamasi sistemik kronik pada sendi-sendi tubuh. Gejala klinik penyakit sendi/ rematik berupa gangguan nyeri pada persendian yang disertai kekakuan, merah, dan pembengkakan yang bukan disebabkan karena benturan/kecelakaan dan berlangsung kronis. Gangguan terutama muncul pada waktu pagi hari. Didefinisikan sebagai penyakit sendi/rematik/ encok jika pernah didiagnosis menderita penyakit sendi/rematik/encok oleh tenaga kesehatan (dokter/perawat/bidan) ATAU ketika bangun tidur pagi hari pernah menderita salah satu gejala: sakit/nyeri atau merah atau kaku atau bengkak di persendian yang timbul bukan karena kecelakaan. 44 Tabel 7.3.7 Proporsi penyakit gagal ginjal kronis, batu ginjal, dan sendi pada umur ≥ 15 tahun menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Kabupaten/Kota Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI Jakarta Gagal Ginjal Kronis D 0,0 0,0 0,0 0,1 0,0 0,2 0,1 Batu Ginjal D 0,0 0,7 0,5 0,6 0,3 0,7 0,5 Penyakit Sendi D D/G 8,7 10,7 8,4 24,1 9,2 24,7 7,9 16,3 7,6 18,2 11,2 22,6 8,9 21,8 Tabel 7.3.7 menunjukkan prevalensi gagal ginjal kronis berdasar diagnosis dokter di DKI Jakarta sebesar 0,1 persen. Prevalensi tertinggi di Jakarta Utara sebesar 0,2 persen. Prevalensi penderita batu ginjal berdasar wawancara terdiagnosis dokter di DKI Jakarta sebesar 0,5 persen. Prevalensi tertinggi di Jakarta Utara dan Jakarta Selatan masing–masing sebesar 0,7 persen. Prevalensi penyakit sendi berdasar diagnosis nakes di DKI Jakarta 8,9 persen dan berdasar diagnosis dan gejala 21,8 persen. Prevalensi berdasarkan diagnosis nakes tertinggi di Jakarta Utara (11,2%), diikuti Jakarta Timur (9,2%), Kepulauan Seribu (8,7%) dan Jakarta Selatan (8,4%). Prevalensi penyakit sendi berdasarkan diagnosis nakes dan gejala tertinggi di Jakarta Timur (24,7%), diikuti Jakarta Selatan (24,1%) dan Jakarta Utara (22,6%). Tabel 7.3.8 menunjukkan prevalensi penyakit gagal ginjal kronis berdasarkan wawancara yang didiagnosis dokter meningkat seiring dengan bertambahnya umur, tertinggi pada kelompok umur ≥ 75 tahun (0,5%). Prevalensi pada perempuan lebih tinggi dari laki-laki. Prevalensi penyakit batu ginjal berdasarkan wawancara meningkat seiring dengan bertambahnya umur, tertinggi pada kelompok umur ≥ 75 tahun (3,4%). Prevalensi lebih tinggi pada laki-laki (0,6%) dibanding perempuan (0,4%). Prevalensi tertinggi pada masyarakat tidak tamat SD (1,1%) serta masyarakat pegawai (0,7%) dan prevalensi meningkat mulai kuintil indeks kepemilikan menengah sampai teratas. Prevalensi penyakit sendi berdasarkan wawancara yang didiagnosis nakes meningkat seiring dengan bertambahnya umur, demikian juga yang didiagnosis nakes dan gejala. Prevalensi tertinggi pada umur ≥75 tahun (32,5% dan 46,6%). Prevalensi yang didiagnosis nakes lebih tinggi pada perempuan (11,0%) dibanding laki-laki (6,8%) demikian juga yang didiagnosis nakesdan gejala pada perempuan (25,2%) lebih tinggi dari laki-laki (18,5%). Prevalensi lebih tinggi pada masyarakat tidak bersekolah baik yang didiagnosis nakes (22,5%) maupun diagnosis nakes dan gejala (42,1%). Prevalensi tertinggi pada penduduk yang tidak bekerja baik yang didiagnosis nakes (11,1%) maupun diagnosis nakes dan gejala (24,5%). Kelompok yang didiagnosis nakes, prevalensi tertinggi pada status ekonomi dengan kuintil indeks kepemilikan terbawah (10,0%) dan menengah bawah (9,5%). Demikian juga pada kelompok yang terdiagnosis nakes dan gejala, prevalensi tertinggi pada status ekonomi dengan kuintil indeks kepemilikan terbawah (25,5%) dan menengah bawah (23,6%). 45 Tabel 7.3.8 Proporsi penyakit gagal ginjal kronis, batu ginjal, dan sendi pada umur ≥ 15 tahun menurut karakteristik responden, Riskesdas 2013 Karakteristik Responden Kelompok umur (tahun) 15-24 25-34 35-44 45-54 55-64 65-74 75+ Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan Pendidikan Tidak Sekolah Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat PT Status Pekerjaan Tidak Bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/Nelayan/Buruh Lainnya Tempat Tinggal Perkotaan Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas Gagal Ginjal Kronis D Batu Ginjal D Penyakit Sendi* D D/G 0,0 0,0 0,1 0,1 0,2 0,2 0,5 0,1 0,4 0,4 1,0 1,0 0,9 3,4 0,8 4,0 9,7 18,1 21,4 25,2 32,5 8,6 15,4 24,5 36,2 38,5 42,6 46,6 0,0 0,1 0,6 0,4 6,8 11,0 18,5 25,2 0,0 0,0 0,1 0,1 0,0 0,0 0,0 1,1 0,7 0,4 0,6 0,3 22,5 19,5 16,7 8,7 6,1 4,6 42,1 39,5 32,7 22,2 18,4 11,1 0,1 0,1 0,0 0,0 0,0 0,6 0,7 0,6 0,0 0,0 11,1 5,3 10,2 7,2 7,5 24,5 16,7 24,4 22,5 17,5 0,1 0,5 8,9 21,8 0,1 0,0 0,0 0,0 0,1 0,5 0,3 0,5 0,6 0,7 10,0 9,5 8,7 9,0 7,7 25,5 23,6 21,5 21,6 18,3 7.4. PENYAKIT MENULAR Informasi mengenai penyakit menular pada Riskesdas 2013 Provinsi DKI Jakarta diperoleh dari seluruh kelompok umur dengan total sampel 13.766 jiwa di enam kabupaten/kota. Informasi yang diperoleh berupa insiden, period prevalence dan prevalensi penyakit yang digali melalui teknik wawancara yang menggunakan kuesioner baku (RKD13.IND) dan pertanyaan yang terstruktur secara klinis. Informasi laboratorium yang dianggap perlu juga dikumpulkan. Responden ditanya apakah pernah didiagnosis menderita penyakit tertentu oleh tenaga kesehatan (D: diagnosis). Responden yang menyatakan tidak pernah didiagnosis, ditanyakan lagi apakah pernah/sedang menderita gejala klinis spesifik penyakit tersebut (G). Jadi insiden, period prevalence dan prevalensi penyakit merupakan data yang didapat dari D maupun G (DG) yang ditanyakan dalam kurun waktu tertentu menurut jenis penyakit. Kurun waktu 46 untuk tiap penyakit berbeda. Misalnya, Period prevalence ISPA (DG) dihitung dari jumlah responden dan anggota rumah tangga yang didiagnosis menderita ISPA dan belum didiagnosis oleh tenaga kesehatan tetapi mempunyai gejala ISPA dalam kurun waktu satu bulan terakhir dibagi jumlah responden dan anggota rumah tangganya yang diwawancara di wilayah tertentu. Period prevalence ISPA (D) dihitung hanya pada penderita yang didiagnosis oleh tenaga kesehatan. Kejadian penyakit pneumonia yang baru untuk insiden adalah kejadian penyakit pneumonia dalam satu bulan terakhir. Prevalensi pneumonia dihitung dari kejadian penyakit selama satu tahun terakhir. Insiden, period prevalence dan prevalensi merupakan angka kesakitan yang diukur berdasarkan onset penyakit dalam kurun waktu tertentu. Insiden diukur dalam kurun waktu 2 minggu atau kurang, period prevalence dalam kurun waktu 1 bulan atau kurang dan prevalensi dalam kurun waktu 1 tahun atau kurang. Data penyakit menular yang dikumpulkan terbatas pada beberapa penyakit, yaitu penyakit yang ditularkan melalui udara (infeksi saluran pernapasan atas/ISPA, pneumonia, dan tuberkulosis), penyakit yang ditularkan oleh vektor (malaria), penyakit yang ditularkan melalui makanan, air, dan lewat penularan lainnya (diare dan hepatitis). Penyakit-penyakit tersebut berhubungan dengan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM), indikator MDG‘s dan program pengendalian hepatitis di Indonesia yang pertama kali dilakukan di dunia. 7.4.1. Penyakit Yang Ditularkan Melalui Udara Penyakit yang ditularkan melalui udara pada Riskesdas 2013 meliputi ISPA, Pneumonia, dan Tuberkulosis. Riskesdas 2007 mengumpulkan data ketiga penyakit ini. Agar hasil Riskesdas 2013 bisa dibandingkan dengan Riskesdas 2007, beberapa penyakit disesuaikan waktunya. Informasi kurun waktu tertentu seperti pneumonia ditambahkan untuk menyesuaikan kebutuhan program. 7.4.1.1. ISPA Infeksi saluran pernapasan akut disebabkan oleh virus atau bakteri. Penyakit ini diawali dengan panas disertai salah satu atau lebih gejala: tenggorokan sakit atau nyeri telan, pilek, batuk kering atau berdahak. Wilayah DKI Jakarta dengan prevalensi ISPA (DG) tertinggi berturut-turut adalah Jakarta Selatan (31,3%), Kepulauan Seribu (31,2%), Jakarta Timur (26,9%), Jakarta Pusat (23,9%), Jakarta Utara (24,3%) dan Jakarta Barat (18,9%). Pada Riskesdas 2007, Kepulauan Seribu merupakan kabupaten tertinggi dengan ISPA. Period prevalence ISPA (DG) DKI Jakarta menurut Riskesdas 2007 dan 2013 terlihat meningkat dari 22,6% menjadi 25,2% (Tabel 7.4.1). Karakteristik penduduk dengan ISPA yang tertinggi terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun (45,6%). Ditinjau menurut jenis kelamin, hampir tidak terjadi perbedaan antara laki-laki dan perempuan, dan penyakit ini lebih banyak dialami pada kelompok penduduk dengan kuintil indeks kepemilikan terbawah dan menengah bawah (Tabel 7.4.2). 7.4.1.2. Pneumonia Pneumonia adalah radang paru yang disebabkan oleh bakteri dengan gejala panas tinggi disertai batuk berdahak, napas cepat (frekuensi nafas >50 kali/menit), sesak, dan gejala lainnya (sakit kepala, gelisah dan nafsu makan berkurang). Pneumonia ditanyakan pada semua penduduk untuk kurun waktu satu bulan atau kurang dan dalam kurun waktu 12 bulan atau kurang. 47 Tabel 7.4.1 Period prevalence ISPA dan pneumonia serta prevalensi pneumonia menurut kabupaten/kota, 2013 Kabupaten/Kota Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI Jakarta Period prevalence ISPA D DG 28,1 31,2 15,9 31,3 7,4 26,9 17,3 23,9 12,1 18,9 14,5 24,3 12,5 25,2 Period prevalence Pneumonia D DG 0,3 2,9 0,1 3,1 0,2 3,1 0,0 1,5 0,2 1,8 0,2 1,9 0,2 2,4 Prevalensi pneumonia D 1,2 1,2 1,5 2,0 1,2 2,7 1,6 DG 5,0 7,0 7,1 5,0 4,3 5,5 5,9 Tabel 7.4.2. Karakteristik penduduk ISPA dan Pneumonia, Riskesdas 2013 Karakteristik Penduduk Kelompok umur (tahun) <1 1-4 5-14 15-24 25-34 35-44 45-54 55-64 65-74 ≥75 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat D1/D2/D3/PT Pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/Nelayan/Buruh Lainnya Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah Bawah Menengah Menengah Atas Teratas Period prevalence ISPA D DG Period prevalence Pneumonia D DG Prevalensi pneumonia D DG 17,8 24,8 15,1 8,9 10,7 11,6 12,1 9,6 8,5 10,4 33,5 45,6 29,9 21,2 21,5 23,2 23,3 18,8 26,7 14,6 0,5 0,2 0,2 0,3 0,3 0,0 0,1 0,2 0,3 0,0 0,5 2,3 1,5 3,3 2,9 2,5 2,7 1,2 2,1 2,3 0,0 1,9 1,7 1,0 1,6 1,9 1,9 1,2 3,9 1,3 1,4 4,9 4,3 6,6 7,0 6,0 6,9 5,1 7,5 3,6 11,8 13,2 25,4 25,1 0,2 0,2 2,3 2,5 1,6 1,7 5,5 6,4 15,4 13,7 12,5 10,3 10,4 8,0 30,3 28,8 24,6 22,0 21,8 16,4 0,5 0,2 0,1 0,1 0,3 0,0 2,0 1,5 2,5 3,5 2,8 0,3 1,4 2,0 1,6 1,3 1,6 2,4 5,4 5,0 6,8 7,4 6,2 4,0 11,2 11,1 10,0 9,3 7,8 22,9 20,6 21,7 26,8 21,4 0,1 0,4 0,0 0,1 2,7 2,1 2,3 3,7 1,5 1,7 1,6 1,1 1,8 1,8 6,7 5,3 5,2 8,4 4,5 13,4 14,3 12,4 13,8 9,0 29,6 26,7 25,6 26,0 19,7 0,3 0,2 0,2 0,3 0,1 3,6 2,9 2,5 2,4 1,1 2,1 1,9 1,5 1,3 1,6 9,0 6,6 5,7 5,2 4,3 48 Period prevalence dan prevalensi DKI Jakarta tahun 2013 adalah 2,4% dan 5,9 %. Kabupaten/kota yang mempunyai Period prevalence dan prevalensi pneumonia tertinggi untuk semua umur berturut-turut adalah Jakarta Timur (3,1% dan 7,1%), Jakarta Selatan (3,1% dan 7,0%), Jakarta Utara (1,9% dan 5,5%), Kepulauan Seribu (2,9% dan 5,0%), Jakarta Pusat (1,5% dan 5,0%), dan Jakarta Barat (1,8% dan 4,3%). Bila dilihat dari kelompok umur penduduk, gambaran pneumonia tertinggi terjadi pada kelompok umur 65-74 tahun. Pada kelompok umur 1-4 tahun (pneumonia balita, kabupaten/kota yang mempunyai Period prevalence pneumonia balita tertinggi terjadi di Kepulauan Seribu (4,2‰), selanjutnya berturut-turut adalah Jakarta Timur (3,3‰), Jakarta Utara (3,2‰), Jakarta Pusat (1,2‰), Jakarta Barat (0,8‰) dan Jakarta Selatan (0,6‰). Insidens tertinggi pneumonia balita terdapat pada kelompok umur 48-59 bulan (3,0‰). Pneumonia balita lebih banyak dialami pada kelompok penduduk dengan kuintil indeks kepemilikan terbawah (4,2‰) 7.4.1.3. Tuberkulosis Tuberkulosis (TB) yang dalam hal ini adalah TB Paru merupakan penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Gejala utamanya adalah batuk selama 2 minggu atau lebih, batuk disertai dengan gejala tambahan yaitu dahak, dahak bercampur darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam lebih dari satu bulan. Tabel 7.4.3. Diagnosis, pengobatan obat program, dan gejala TB menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Diagnosis TB dan yang diobati program Gejala TB Kabupaten/Kota Ya, ≤ 1 thn Ya, > 1 thn OAT Program Batuk ≥ 2 mgg Batuk darah Kepulauan Seribu 0,6 2,3 41,7 2,1 1,8 Jakarta Selatan 0,5 1,7 80,2 4,4 2,0 Jakarta Timur 0,5 2,0 75,0 4,8 2,6 Jakarta Pusat 0,2 2,0 45,7 3,6 1,0 Jakarta Barat 0,6 1,4 62,1 2,6 0,2 Jakarta Utara 0,7 1,9 64,5 5,4 2,6 DKI Jakarta 0,6 1,8 68,9 4,2 1,9 OAT = Obat anti Tuberkolosis Penyakit TB ditanyakan pada semua penduduk untuk kurun waktu 1 tahun atau kurang dan lebih dari 1 tahun yang diagnosisnya hanya ditegakkan oleh tenaga kesehatan baik melalui pemeriksaan dahak, foto thoraks atau ke duanya. Berbeda dengan penyakit-penyakit menular yang lain, gejala TB tidak ikut dimasukkan dalam total jumlah penduduk dengan TB. Prevalensi penduduk DKI Jakarta yang didiagnosis TB oleh tenaga kesehatan tahun 2013 adalah 0,6 persen, berbeda sedikit dengan prevalensi TB pada tahun 2007 (0,7%). Kabupaten/kota dengan TB tertinggi berturut-turut adalah Jakarta Utara (0,7%), diikuti dengan Kepulauan Seribu (0,6%) dan Jakarta Barat (0,6%), kemudian Jakarta Selatan (0,5%) dan Jakarta Timur (0,5%), terakhir Jakarta Pusat (0,2%).Dari seluruh penduduk yang didiagnosis TB oleh tenaga kesehatan, sebanyak 68,9 persen diobati dengan obat program. 49 Kabupaten/kota terbanyak yang mengobati TB adalah Jakarta Selatan (80,2%) Jakarta Timur (75,0%), Jakarta Utara (64,5%), Jakarta Barat (62,1%), Jakarta Pusat (45,7%) dan Kepulauan Seribu (41,7%). Proporsi penduduk DKI Jakarta dengan gejala TB adalah 4,2 persen. Dari 4,2 persen penduduk tersebut, 1,9% mengalami batuk berdarah. Berdasarkan karakteristik penduduk DKI Jakarta, yang paling banyak didiagnosis TB adalah penduduk diatas umur 45 tahun, laki-laki, pendidikan Tamat SD. Berdasarkan kuintil indeks kepemilikan, distribusi penduduk dengan TB tertinggi ada pada kuintil indeks kepemilikan terbawah (0,8%) (Tabel 7.4.4.) Tabel 7.4.4. Karakteristik penduduk yang didiagnosis, diobati dengan obat program, dan gejala TB, Riskesdas 2013 Diagnosis TB dan yang diobati program Karakteristik Penduduk Kelompok umur (tahun) <1 1-4 5-14 15-24 25-34 35-44 45-54 55-64 65-74 ≥75 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat D1/D2/D3/PT Pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/Nelayan/Buruh Lainnya Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah Bawah Menengah Menengah Atas Teratas Gejala TB Ya, ≤ 1 thn Ya, > 1 thn OAT Program Batuk ≥ 2 mgg Batuk darah 0,0 0,9 0,4 0,6 0,4 0,1 1,0 1,2 2,0 0,0 0,0 1,8 1,6 1,4 1,7 1,8 2,7 2,4 2,0 0,9 0,0 60,9 59,9 71,1 76,8 62,9 66,7 81,4 77,3 0,0 1,5 6,0 4,2 4,1 3,6 3,9 4,5 4,5 5,8 4,3 0,0 3,1 0,2 1,7 2,9 2,9 2,3 0,0 0,9 1,9 0,7 0,5 1,7 1,9 73,7 64,1 4,7 3,7 2,3 1,5 0,2 0,6 0,8 0,2 0,7 0,4 1,6 1,4 2,8 1,6 1,8 1,1 61,3 65,1 73,6 57,1 76,7 51,0 5,4 4,0 4,7 4,0 4,1 2,8 1,7 1,5 1,4 2,8 0,5 0,9 0,4 0,1 0,4 1,8 1,5 2,0 2,7 2,8 63,3 71,7 77,0 76,9 94,4 4,0 4,7 3,1 4,4 2,7 1,6 1,8 2,9 3,7 0,0 0,8 0,6 0,5 0,7 0,4 2,7 1,4 2,0 1,7 1,3 74,2 73,1 74,3 65,2 53,7 5,2 4,3 4,2 4,4 3,0 3,3 1,7 1,9 2,1 0,5 50 7.4.2. Penyakit yang ditularkan melalui makanan, air dan lainnya Penyakit yang ditularkan melalui makanan, air dan lainnya pada Riskesdas 2013 adalah diare dan hepatitis. Penyakit-penyakit ini juga diteliti pada Riskesdas 2007. Agar penyakit-penyakit hasil Riskesdas 2013 bisa dibandingkan dengan Riskesdas 2007, informasi kurun waktu disesuaikan. Pada diare ditambahkan untuk kurun waktu 2 minggu atau kurang yang menyesuaikan kebutuhan program. 7.4.2.1. Hepatitis Hepatitis adalah penyakit infeksi hati yang disebabkan oleh virus Hepatitis A, B, C, D atau E. Hepatitis dapat menimbulkan gejala demam, lesu, hilang nafsu makan, mual, nyeri pada perut kanan atas, disertai urin warna coklat yang kemudian diikuti dengan ikterus (warna kuning pada kulit dan/sklera mata karena tingginya bilirubin dalam darah). Hepatitis dapat pula tanpa gejala (asimptomatis). Tahun 2013 dijumpai prevalensi hepatitis lebih tinggi dibanding tahun 2007 (0,6%). Prevalensi hepatitis DKI Jakarta tahun 2013 adalah 0,8 persen. Kabupaten/kota dengan prevalensi tertinggi hepatitis berturut-turut adalah Jakarta Timur (1,0%) dan Jakarta Selatan (1,0%), Kepulauan Seribu (0,8%) dan Jakarta Barat (0,8%), Jakarta Utara (0,5%), terakhir Jakarta Pusat (0,4%). Pada Riskesdas 2007 dan 2013, Jakarta Timur masih yang terbanyak penduduk dengan hepatitis dibanding dengan kabupaten/kota lain di DKI Jakarta. (Tabel 7.4.6) Berdasarkan kuintil indeks kepemilikan, kelompok terbawah menempati prevalensi hepatitis tertinggi dibandingkan dengan kelompok lainnya dan untuk kelompok umur, prevalensi tertinggi ada pada penduduk berusia diatas 65 tahun (Tabel 7.4.5). Jenis hepatitis yang menginfeksi penduduk DKI Jakarta yang digali dari kuesioner yang paling banyak adalah: Hepatitis B (37,7%), Hepatitis A (17,1%). Hepatitis C (5,0%) dan hepatitis lainnya 3,3 persen (Tabel 7.4.5). Tabel 7.4.5 Proporsi jenis hepatitis menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Jenis Hepatitis yang Diderita Kabupaten/Kota Hepatitis A Hepatitis B Hepatitis C Hepatitis Lainnya Kepulauan Seribu 0,0 100,0 0,0 0,0 Jakarta Selatan 24,6 13,9 0,0 0,0 Jakarta Timur 18,8 41,2 4,9 4,4 Jakarta Pusat 0,0 0,0 73,1 0,0 Jakarta Barat 0,0 78,4 12,0 0,0 Jakarta Utara 15,0 41,0 0,0 7,3 DKI Jakarta 17,1 37,7 5,0 3,3 51 7.4.2.2. Diare Diare adalah gangguan buang air besar/BAB ditandai dengan BAB lebih dari 3 kali sehari dengan konsistensi tinja cair, dapat disertai dengan darah dan atau lendir. Tabel 7.4.6 Prevalensi hepatitis, insiden dan period prevalence diare menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Kabupaten/Kota Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI Jakarta Prevalensi Hepatitis D DG 0,1 0,8 0,3 1,0 0,4 1,0 0,1 0,4 0,1 0,8 0,3 0,5 0,3 0,8 Insiden Diare D 4,7 2,8 2,4 2,5 1,9 3,1 2,5 DG 5,3 4,9 5,3 4,3 2,7 4,0 4,3 Period prevalence Diare D 1,9 2,2 2,8 1,7 1,7 3,9 2,5 DG 7,6 8,6 10,6 7,6 5,9 9,5 8,6 Riskesdas Tahun 2013 mengumpulkan informasi insiden diare agar bisa dimanfaatkan program, dan period prevalens diare agar bisa dibandingkan dengan data Riskesdas 2007. Period prevalen diare pada Riskesdas 2007 adalah 8,0 persen, meningkat pada Riskesdas 2013 menjadi 8,6 persen. Insiden diare untuk seluruh kelompok umur di DKI Jakarta adalah 4,3 persen, dan period prevalence diare di DKI Jakarta adalah 8,6 persen. Kabupaten/kota dengan insiden maupun period prevalen diare tertinggi berturut-turut adalah Jakarta Timur (5,3% dan 10,6%), Jakarta Utara (4,0% dan 9,5%), Jakarta Selatan (4,9% dan 8,6%), Kepulauan Seribu (5,3% dan 7,6%), Jakarta Pusat (4,3% dan 7,6%), dan Jakarta Barat (2,7% dan 5,9%) (Tabel 7.4.5). Berdasarkan karakteristik penduduk dengan diare, kelompok usia balita mendominasi jumlah penduduk dengan diare. Berdasarkan kuintil indeks kepemilikan, yang terbawah memiliki proporsi tertinggi diare pada penduduk (12,0%). Wiraswastawan mempunyai proporsi tertinggi untuk kelompok pekerjaan penduduk (9,3%), sedangkan Jenis kelamin dan tempat tinggal menunjukkan proporsi yang tidak begitu berbeda (Tabel 7.4.6 52 Tabel 7.4.7 Karakteristik penduduk dengan hepatitis dan diare, Riskesdas 2013 Prevalensi Hepatitis Insiden Diare Period prevalence Diare Karakteristik Penduduk D DG D DG D DG Kelompok umur (tahun) <1 0,6 0,9 7,7 9,8 1,8 13,7 1-4 0,0 0,3 6,4 8,7 5,2 15,2 5-14 0,1 0,9 2,1 3,1 2,3 6,6 15-24 0,3 0,9 1,2 3,9 2,3 8,1 25-34 0,3 0,9 2,4 4,0 2,0 8,2 35-44 0,1 0,5 1,9 3,5 2,6 8,0 45-54 0,7 1,1 3,3 5,7 2,8 10,6 55-64 0,3 0,8 1,4 2,4 1,1 4,8 65-74 1,1 1,1 1,0 2,4 2,1 7,3 ≥75 0,0 0,0 4,2 8,2 0,9 11,1 Jenis Kelamin Laki-laki 0,3 0,8 2,3 4,1 2,3 8,3 Perempuan 0,3 0,8 2,6 4,5 2,7 8,9 Pendidikan Tidak sekolah 0,0 0,8 1,2 1,9 2,1 4,4 Tidak tamat SD 0,1 0,2 3,0 4,5 2,7 8,5 Tamat SD 0,3 0,9 2,4 4,4 2,3 9,1 Tamat SMP 0,3 1,0 1,8 3,9 2,5 8,5 Tamat SMA 0,4 0,9 2,0 3,8 2,2 7,9 Tamat D1/D2/D3/PT 0,3 0,7 1,7 3,2 1,0 5,7 Pekerjaan Tidak bekerja 0,4 0,9 2,2 4,5 2,3 8,6 Pegawai 0,4 0,7 1,9 3,3 1,7 6,9 Wiraswasta 0,1 1,1 2,8 4,7 2,0 9,3 Petani/Nelayan/Buruh 0,0 0,2 1,1 2,2 4,0 8,2 Lainnya 0,0 0,1 0,8 1,4 3,1 6,0 Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah 0,1 0,9 3,4 5,5 3,6 12,0 Menengah Bawah 0,2 0,7 2,0 3,7 2,3 7,8 Menengah 0,3 0,5 2,4 5,0 2,1 9,0 Menengah Atas 0,4 0,8 2,8 4,0 2,3 8,0 Teratas 0,3 1,2 2,0 3,6 2,4 7,0 Insiden diare pada kelompok usia balita di DKI Jakarta adalah 8,9%. Kabupaten/kota dengan insiden diare tertinggi berturut-turut adalah Jakarta Timur (12,2%), Kepulauan Seribu (10,7%), Jakarta Selatan (8,1%), Jakarta Barat (7,2%), Jakarta Pusat (6,9%) dan Jakarta Utara (6,2%). Karakteristik balita dengan diare tertinggi terjadi pada kelompok umur 24-35 bulan (12,1%), laki-laki (11,4%), dan kelompok kuintil indeks kepemilikan terbawah (12,5%). 7.4.3. Penyakit yang ditularkan oleh vektor (Malaria) Malaria merupakan penyakit menular yang menjadi perhatian global. Penyakit ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat karena sering menimbulkan KLB, berdampak luas terhadap kualitas hidup dan ekonomi, serta dapat mengakibatkan kematian. Penyakit ini dapat bersifat akut, laten atau kronis. Kepada responden yang menyatakan ―tidak pernah didiagnosis malaria oleh tenaga kesehatan‖ 53 ditanyakan apakah pernah menderita panas disertai menggigil atau panas naik turun secara berkala, dapat disertai sakit kepala, berkeringat, mual, muntah dalam waktu satu bulan terakhir atau satu tahun terakhir. Ditanyakan pula apakah pernah minum obat malaria dengan atau tanpa gejala panas. Untuk responden yang menyatakan ―pernah didiagnosis malaria oleh tenaga kesehatan‖ ditanyakan apakah mendapat pengobatan dengan obat program kombinasi artemisinin dalam 24 jam pertama menderita panas atau lebih dari 24 jam pertama menderita panas dan apakah habis diminum dalam waktu 3 hari. Tabel 7.4.8 Insiden dan prevalensi malaria menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Insiden Malaria Prevalensi Malaria Kabupaten/Kota D DG D DG Kepulauan Seribu 0,1 1,7 0,5 3,9 Jakarta Selatan 0,1 2,4 0,2 6,2 Jakarta Timur 0,0 2,2 0,3 7,8 Jakarta Pusat 0,0 1,2 0,7 4,8 Jakarta Barat 0,0 1,4 0,2 3,7 Jakarta Utara 0,1 2,4 0,3 5,5 DKI Jakarta 0,0 2,0 0,3 5,8 Insiden Malaria (DG) penduduk DKI Jakarta tahun 2013 adalah 2,0 persen. Prevalensi malaria (DG) tahun 2013 adalah 5,8 persen. Kabupaten/kota dengan insiden dan prevalensi tertinggi berturut-turut adalah Jakarta Timur (2,2% dan 7,8%), Jakarta Selatan (2,4% dan 6,2%), Jakarta Utara (2,4% dan 5,5%) Jakarta Pusat (1,2 dan 4,8%), Kepulauan Seribu (0,5% dan 3,9%), dan Jakarta Barat (1,4 dan 3,7%). Dari enam kabupaten/kota di DKI Jakarta, dua kabupaten/kota mempunyai prevalen malaria klinis di atas angka provinsi. Responden yang terdiagnosis sebagai malaria klinis dan mendapat pengobatan dengan obat malaria program dalam 24 jam menderita sakit adalah 31,7 persen. 54 Tabel 7.4.9 Karakteristik responden dengan malaria, Riskesdas 2013 Karakteristik Responden Kelompok umur (tahun) <1 1-4 5-14 15-24 25-34 35-44 45-54 55-64 65-74 ≥75 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat D1/D2/D3/PT Pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/Nelayan/Buruh Lainnya Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah Bawah Menengah Menengah Atas Teratas Insiden Malaria D DG Prevalen Malaria D DG 0,0 0,0 0,0 0,0 0,1 0,1 0,0 0,0 0,0 0,0 0,2 2,7 1,7 1,4 2,1 2,4 2,7 1,4 1,3 0,3 0,0 0,3 0,3 0,2 0,3 0,3 0,4 0,1 0,4 0,0 1,0 5,7 5,5 5,2 6,7 6,1 7,0 5,1 3,7 0,5 0,0 0,0 1,6 2,4 0,4 0,2 5,3 6,3 0,0 0,1 0,1 0,0 0,0 0,0 1,9 2,9 2,4 1,6 2,0 0,4 0,2 0,3 0,2 0,3 0,3 0,5 4,5 6,8 6,9 6,5 5,6 3,7 0,0 0,0 0,0 0,2 0,0 2,3 1,5 1,4 3,2 0,5 0,3 0,4 0,2 0,2 0,0 6,7 4,5 5,6 9,1 3,9 0,1 0,0 0,0 0,0 0,0 3,0 3,0 1,7 1,5 1,1 0,5 0,4 0,2 0,3 0,1 9,2 6,5 5,7 4,7 4,0 55 Tabel 7.4.10 Pengobatan malaria dengan obat program dan pengobatan responden sendiri menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Kabupaten/Kota Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI Jakarta Pengobatan penyakit malaria Mendapatkan Minum obat Mendapatkan obat ACT obat dalam 24 selama 3 program jam pertama hari 0,0 0,0 7,8 0,0 33,5 13,8 10,0 0,0 0,0 0,0 0,0 56,2 0,0 31,7 56 0,0 100,0 72,6 0,0 100,0 0,0 81,6 Minum obat anti malaria dg/ tanpa gejala khas malaria 0,6 0,5 0,8 0,4 0,2 0,6 0,5 Tabel 7.4.11 Karakteristik responden malaria dengan obat program dan pengobatan sendiri, Riskesdas 2013 Pengobatan penyakit malaria Minum obat anti malaria dengan/ Karakteristik Responden Mendapatkan obat Mendapatkan obat Minum obat tanpa gejala khas ACT program dalam 24 jam pertama selama 3 hari malaria Kelompok umur (tahun) 0,0 <1 0,4 0,0 0,0 0,0 1-4 0,0 1,2 0,0 5-14 16,2 100,0 100,0 0,4 0,0 15-24 6,7 0,6 0,0 0,0 25-34 0,0 100,0 0,5 0,0 35-44 23,0 63,8 0,5 0,0 45-54 0,0 0,2 0,0 0,0 55-64 0,0 0,4 0,0 0,0 65-74 76,7 72,6 0,3 0,0 ≥75 0,0 0,0 0,0 Jenis Kelamin 0,0 Laki-laki 6,1 0,5 0,0 0,0 Perempuan 16,6 26,6 0,5 Pendidikan Tidak sekolah 97,2 100,0 100,0 0,0 Tidak tamat SD 0,0 0,0 100,0 0,5 Tamat SD 0,0 7,8 0,0 0,3 Tamat SMP 0,0 17,9 43,0 0,7 Tamat SMA 0,0 7,6 100,0 0,5 Tamat D1/D2/D3/PT 0,0 0,0 0,5 0,0 Pekerjaan 0,0 Tidak bekerja 6,3 82,8 0,4 Pegawai 0,0 14,2 63,8 1,0 Wiraswasta 0,0 0,0 0,0 0,1 Petani/Nelayan/Buruh 0,0 0,0 0,0 0,1 Lainnya 0,0 0,0 0,0 0,0 Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah 6,3 0,0 100,0 0,4 Menengah Bawah 19,2 69,4 69,4 0,6 0,0 Menengah 21,4 62,2 0,7 0,0 0,0 0,0 Menengah Atas 0,3 0,0 0,0 0,0 Teratas 0,5 57 7.5. KESEHATAN LINGKUNGAN Faktor lingkungan berdampak besar terhadap kesehatan penduduk yang bermukim. Pengaruhnya melebihi pengaruh faktor genetika, fasilitas dan pelayanan kesehatan. Pada laporan ini disajikan faktor lingkungan yang utama, yaitu sumber air, pengelolaan sampah rumah tangga, tinja, kepadatan hunian, perumahan, dan pencegahan terhadap gigitan nyamuk. Pada Tabel. 7.5.1. tampak bahwa sumber air utama untuk keperluan rumah tangga di DKI Jakarta adalah air sumur bor/pompa dan air dari perusahaan daerah air minum (PDAM). Hal ini berbeda dengan keadaan umum yang ada di Indonesia, yaitu Sumur gali dan Sumur pompa. Palayan pemerintah daerah di Indonesia pada umumnya untuk memenuhi kebutuhan air bersih masih kecil (19,7%). Proporsi rumah tangga yang menggunakan sumber air yang sangat berisiko terhadap kesehatan (mata air, air sungai) sangat kecil. Penampungan air hujan (PAH) banyak digunakan oleh warga Kepulauan Seribu. Sumber air menurut wilayah DKI Jakarta bervariasi, bergantung pada geografis. Tabel. 7.5.1 Proporsi jenis sumber air untuk keperluan rumah tangga menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Sumur bor/ pompa Sumur gali terlindung Sumur gali tidak terlindung Mata air terlindung Mata air tidak terlindung Penampungan air hujan Air sungai/ danau/ irigasi Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI Jakarta INDONESIA Air ledeng eceran/membeli Kabupaten/ Kota Air ledeng/ PDAM Jenis sumber air untuk keperluan rumah tangga 3,2 12,4 21,5 48,8 47,5 77,8 36,3 8,2 1,5 1,6 3,6 3,3 5,7 2,8 0,7 80,7 76,0 45,1 44,4 11,7 57,1 81,6 3,7 0,7 2,0 4,4 3,8 3,0 2,3 1,7 0,0 0,6 0,4 1,0 0,7 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,2 0,0 0,0 0,0 0,0 4,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 19,7 2,0 24,1 29,2 8,1 7,5 3,4 1,5 4,3 Menurut status ekonomi berdasarkan kuintil indeks kepemilikan, air bersih untuk keperluan rumah tangga kurang diakses oleh separuh rumah tangga. Proporsi rumah tangga pada semua kelompok status ekonomi yang tampak tidak berkaitan secara linear dan masih kecil menunjukkan layanan pemerintah daerah untuk memenuhi air bersih belum optimal (Tabel.7.5.2).Kebutuhan air untuk keperluan rumah tangga terbanyak pada kelompok 100-300 L per hari (Tabel.7.5.3). 58 Tabel. 7.5.2 Proporsi jenis sumber air untuk keperluan rumah tangga menurut status ekonomi, Riskesdas 2013 air ledeng eceran /membeli sumur bor /pompa sumur gali terlindung sumur gali tidak terlindung mata air tidak terlindung Status Ekonomi air ledeng/ PDAM Jenis sumber air yang paling banyak digunakan untuk seluruh keperluan rumah tangga Total 39,0 36,4 33,0 33,2 40,8 5,0 4,1 2,4 1,1 2,1 49,3 55,2 62,3 61,4 55,0 4,4 3,9 1,6 3,8 1,8 2,3 0,5 0,4 0,5 0,3 0,0 0,0 0,2 0,0 0,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas Berbeda dengan penggunaan air untuk keperluan rumah tangga (mandi, cuci, dll), sumber air minum warga DKI Jakarta lebih banyak menggunakan air kemasan dan air isi ulang. Di Kepulauan Seribu sumber air minum adalah air kemasan, air isi ulang dan PAH. Sumber air di Kepulauan Seribu pada umumnya payau/asin, walaupun ada yang menggunakan air sumur gali tetapi sangat sedikit (Tabel. 7.5.4). Air kemasan paling banyak digunakan oleh kelompok ekonomi teratas dan menengah atas, sedang air isi ulang banyak digunakan oleh kelompok menengah ke bawah (Tabel. 7.5.5). Tabel. 7.5.3 Konsumsi air per hari menurut kabupaten/ota, Riskesdas 2013 Kabupaten/ Kota <7,5 Konsumsi Air untuk keperluan rumah tangga 7,5-19,9 20-49,9 50-99,9 100-300 >300 Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara 0,0 0,0 0,2 0,5 0,1 0,0 0,9 4,4 9,1 11,0 0,4 7,3 6,7 13,4 33,6 25,6 3,3 21,8 18,3 25,1 18,6 21,8 19,9 23,9 61,4 37,9 30,1 29,8 56,4 38,4 12,7 19,2 8,4 11,3 19,8 8,7 DKI Jakarta 0,1 5,9 19,3 21,6 39,1 13,9 59 Tabel. 7.5.4 Proporsi jenis sumber air minum menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 air ledeng air ledeng eceran/membeli sumur bor/pompa sumur gali terlindung sumur gali tak terlindung mata air terlindung penampungan air hujan air sungai/ danau/irigasi Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI Jakarta INDONESIA air isi ulang Kabupaten/Kota air kemasan Jenis sumber air utama untuk kebutuhan minum 43,1 43,6 30,3 31,2 31,9 25,0 33,2 9,7 13,0 23,0 42,4 35,8 35,8 43,1 35,6 21,0 9,0 4,2 3,1 23,2 24,3 27,6 13,8 11,9 0,4 0,2 0,0 4,5 3,0 3,7 1,7 1,6 0,0 26,4 23,9 5,1 4,4 0,4 14,7 12,8 1,3 1,9 0,3 0,2 0,5 0,3 0,7 22,5 0,0 0,7 0,0 0,0 0,0 0,0 0,2 4,9 0,0 0,0 0,0 0,0 0,1 0,0 0,0 7,6 33,2 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,1 3,2 0,0 0,1 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 2,9 Tabel. 7.5.5 Proporsi jenis sumber air minum menurut status ekonomi, Riskesdas 2013 Status Ekonomi air kemasan air isi ulang air ledeng air ledeng eceran / membeli sumur bor /pompa sumur gali terlindung sumur gali tak terlindung mata air terlindung penampungan air hujan air sungai/danau/iri gasi Jenis sumber air utama untuk kebutuhan minum Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas 15,9 25,9 7,5 44,6 69,0 45,2 37,4 45,2 32,5 19,3 17,4 17,1 19,2 9,8 6,1 5,5 1,4 1,9 0,6 0,1 13,5 15,8 26,0 12,0 5,5 1,1 2,2 0,0 0,6 0,0 1,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,1 0,0 0,0 0,0 0,4 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,1 0,0 0,0 DKI Jakarta 33,2 35,6 13,8 1,7 14,7 0,7 0,2 0,0 0,1 0,0 INDONESIA 9,7 21,0 11,9 1,6 12,8 22,5 4,9 7,6 3,2 2,9 *berdasarkan kuintil indeks kepemilikan 60 Tabel. 7.5.6 Proporsi kualitas fisik air minum menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Tidak keruh Tidak berwarna Tidak berasa Tidak berbusa Tidak berbau Baik Kualitas fisik air minum Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara 99,6 98,7 99,3 96,7 99,0 96,6 99,6 99,7 99,3 98,0 99,2 98,4 96,5 99,3 99,1 98,5 97,9 97,6 99,6 99,9 99,3 99,6 99,5 99,4 99,1 99,2 98,7 99,1 98,1 96,1 96,4 97,3 98,1 94,9 95,5 93,4 DKI Jakarta 98,4 99,1 98,6 99,6 98,3 96,3 INDONESIA 96,7 98,4 97,4 99,5 98,6 94,1 Kabupaten/ Kota 61 Tabel. 7.5.7 Proporsi kualitas fisik air minum menurut status ekonomi, Riskesdas 2013 Tidak keruh Tidak berwarna Tidak berasa Tidak berbusa Tidak berbau Baik Kualitas fisik air minum Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas 98,0 97,7 98,6 98,7 98,9 98,6 98,9 99,2 99,6 99,0 98,0 99,0 97,9 99,2 98,8 99,2 99,8 99,6 99,5 99,6 97,2 98,2 98,1 99,0 98,9 95,0 96,0 95,8 97,0 97,2 DKI Jakarta 98,4 99,1 98,6 99,6 98,3 96,3 INDONESIA 96,7 98,4 97,4 99,5 98,6 94,1 Status Ekonomi `*berdasarkan kuintil indeks kepemilikan Proporsi rumah tangga yang menilai kualitas sumber air minum dihitung dari jumlah rumah tangga di tiap kabupaten atau kelompok status ekonomi terhadap jumlah rumah tangga di tiap aspek kualitas. Secara umum kualitas fisik air minum menurut pengakuan responden adalah baik (Tabel. 7.5.6). Angka proporsi kualitas fisik air minum di DKI Jakarta sedikit lebih baik dari pada angka nasional. Kualitas air minum yang digunakan tiap kelompok status ekonomi tidak banyak berbeda, namun ada kecenderungan proporsi penggunaan kualitas air yang lebih besar pada kelompok kuintil yang semakin tinggi (Tabel.7.5.7). Sampah Sekitar delapan persen rumah tangga tidak memiliki tempat sampah. Proporsi besar di Kepulauan Seribu dan Jakarta Timur (Tabel 7.5.8). Tampaknya terdapat asosiasi antara status ekonomi dengan kepemilikan tempat sampah. Pada Tabel.7.5.9 tampak proporsi rumah tangga yang tidak memiliki tempat sampah semakin besar pada kelompok ekonomi terbawah Tabel. 7.5.8 Proporsi kepemilikan tempat sampah menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Kabupaten/ Kota Rumah tangga memiliki tempat sampah Ya, salah Ya, tertutup dan terbuka Tidak satu Total Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara 13,5 11,5 7,0 10,7 8,7 7,4 74,4 83,2 81,8 83,2 83,4 84,5 12,0 5,2 11,2 6,0 7,9 8,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 DKI Jakarta 8,9 83,1 8,0 100,0 62 Tabel. 7.5.9 Proporsi kepemilikan tempat sampah menurut status ekonomi, Riskesdas 2013 Rumah tangga memiliki tempat sampah Status Ekonomi Total Ya, tertutup dan terbuka Ya, salah satu Tidak Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas 6,7 4,3 7,8 8,5 16,8 80,2 86,8 85,1 83,8 78,7 13,1 8,9 7,1 7,7 4,5 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 DKI Jakarta 8,9 83,1 8,0 100,0 Tabel. 7.5.10 Proporsi cara pengelolaan sampah rumah tangga menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Cara pengelolaan sampah rumah tangga Kabupaten/Kota Total Diangkut petugas Ditimbun dalam tanah Dibuat kompos Dibakar Dibuang ke kali/parit/laut Dibuang sembarangan Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara 49,9 87,5 86,1 91,2 90,8 80,5 5,1 0,9 0,9 1,6 1,6 0,9 0,5 0,3 0,2 0,0 0,0 0,1 7,2 5,9 7,3 0,5 3,7 6,1 36,8 2,9 2,6 6,1 1,8 7,0 0,4 2,5 3,0 0,7 2,2 5,4 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 DKI Jakarta 87,0 1,1 0,2 5,3 3,6 2,8 100,0 INDONESIA 24,9 3,9 0,9 50,1 10,4 9,7 100,0 Sampah rumah tangga pada umumnya (87%) diangkut petugas untuk dibuang di tempat pembuangan akhir sampah (TPA) kecuali di Kepulauan Seribu, yang proporsi rumah tangga mengelola lebih dari 50 persen tidak diangkut petugas (Tabel 7.5.10). Proporsi rumah tangga yang mengelola sampah kurang baik (dibuang sembarangan dan tidak pada tempatnya) masih cukup besar terutama di Kepulauan Seribu yang membuang sampah ke laut (36,8%) (Tabel 7.5.11). Demikian pula dalam hal membuang air besar. Walaupun pada umumnya warga DKI memiliki fasilitas buang air besar (BAB), namun masih ada yang BAB sembarangan (0,4%). Proporsi rumah tangga pengguna fasilitas umum sebesar 4,5 persen. Pada Tabel.7.5.12 tampak proporsi warga yang BAB sembarangan terutama di Kepulauan Seribu (16,2%). Bagi warga dari kelompok ekonomi terbawah tampak paling banyak menggunakan fasilitas BAB milik bersama atau umum. (Tabel.7.5.12). Pembuangan akhir tinja termasuk baik, walaupun kemungkinan terjadi pencemaran lingkungan terutama 63 di tempat terbuka cukup besar terutama di Kepulauan Seribu dan Jakarta Pusat (Tabel.7.5.13). TPA Tinja kurang baik pada rumah tangga kelompok ekonomi terbawah (Tabel.7.5.14). Tabel. 7.5.11 Proporsi cara pengelolaan sampah rumah tangga menurut status ekonomi, Riskesdas 2013 Cara penanganan sampah rumah tangga Diangkut petugas Ditimbun dalam tanah Dibuat kompos Dibakar Dibuang ke kali/parit/laut Dibuang sembarangan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas 75,7 85,0 86,8 90,2 94,7 1,3 1,5 1,1 0,7 1,1 0,0 0,2 0,4 0,0 0,1 9,3 4,8 6,4 3,9 2,9 7,9 4,8 2,0 3,4 0,8 5,7 3,7 3,3 1,7 0,4 DKI Jakarta 87,0 1,1 0,2 5,3 3,6 2,8 INDONESIA 24,9 3,9 0,9 50,1 10,4 9,7 Status Ekonomi Tabel. 7.5.12 Proporsi penggunaan fasilitas buang air besar menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Pengunaan fasilitas tempat buang air besar sebagian besar anggota rumah tangga Kabupaten/ Kota Total Milik sendiri Milik bersama Umum BAB sembarangan Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara 75,0 92,9 88,7 83,0 83,4 77,5 0,0 5,1 9,2 10,3 8,9 13,3 8,8 1,9 1,6 6,3 7,4 8,8 16,2 0,1 0,5 0,3 0,3 0,4 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 DKI Jakarta 86,3 8,8 4,5 0,4 100,0 INDONESIA 76,2 6,7 4,2 12,9 100,0 64 Tabel. 7.5.13 Proporsi penggunaan fasilitas buang air besar menurut status ekonomi, Riskesdas 2013 Pengunaan fasilitas tempat buang air besar sebagian besar anggota rumah tangga Status Ekonomi Total Milik sendiri Milik bersama Umum BAB sembarangan 45,0 81,4 97,3 97,2 99,6 31,2 13,6 2,5 2,4 0,4 21,4 5,0 0,2 0,3 0,0 2,3 0,0 0,0 0,0 0,0 Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 Tabel. 7.5.14 Proporsi tempat pembuangan akhir tinja menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Tempat pembuangan akhir tinja Kabupaten/ Kota Tangki septik Kepulauan Seribu 74,3 Jakarta Selatan 96,3 Jakarta Timur 90,1 Jakarta Pusat 61,2 Jakarta Barat 91,3 Jakarta Utara 88,7 DKI Jakarta 88,8 66,0 INDONESIA SPAL = Saluran Pembuangan Air Limbah SPAL Kolam/sawah Sungai/danau/ laut 0,7 1,7 3,9 8,3 2,8 0,5 3,0 4,0 0,6 0,3 0,2 0,2 0,1 0,6 0,2 4,4 14,7 1,7 4,7 20,5 3,0 9,4 5,9 13,9 Lubang tanah 0,0 0,0 0,9 9,8 2,7 0,7 1,9 8,6 Pantai/ tanah lapang/ kebun 7,8 0,0 0,0 0,0 0,1 0,1 0,1 2,7 Tabel. 7.5.15 Proporsi tempat pembuangan akhir tinja menurut status ekonomi, Riskesdas 2013 Kabupaten/ Kota Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas Tangki septik SPAL 64,5 84,9 94,9 96,1 97,1 5,4 3,2 2,5 2,4 2,2 Tempat pembuangan akhir tinja Sungai/ Kolam/ Lubang Pantai/tanah danau/ sawah tanah lapang/kebun laut 0,7 24,0 4,7 0,4 0,0 0,0 7,8 4,2 0,0 0,3 1,2 1,0 0,0 0,1 1,0 0,3 0,0 0,2 0,2 0,3 65 Lainnya 0,3 0,0 0,0 0,0 0,0 Lainnya 0,0 0,0 0,1 0,0 0,0 0,0 0,0 0,4 Riskesdas 2013 dikumpulkan informasi perilaku pencegahan penyakit bersumber serangga (nyamuk). Proporsi warga yang melakukan pencegahan gigitan nyamuk secata sehat sekitar 50 persen. Pencegahan dengan minum obat paling sedikit dilakukan (0,27%). Penggunaan kelambu, repelen dan obat nyamuk semprot hampir sama (sekitar 31 %). Demikian juga penggunaan kasa dan obat nyamuk bakar (sekitar 20%) (Tabel.7.5.15). Sekitar sepertiga rumah tangga DKI Jakarta menghuni tempat tinggal kontrakan, sebesar 51,6 persen yang menghuni tempat tinggal milik sendiri. Kepemilikan tempat tinggal paling besar di Kepulauan Seribu (88%), selain itu sekitar 50 persen. Tabel. 7.5.16 Proporsi rumah tangga dalam berperilaku mencegahan gigitan nyamuk menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Kabupaten/Kota Kepulauan Seribu Kota Jakarta Selatan Kota Jakarta Timur Kota Jakarta Pusat Kota Jakarta Barat Kota Jakarta Utara pakai kelambua 2,45 1,10 2,62 0,67 4,19 7,65 3,17 DKI Jakarta 25,9 INDONESIA a. Tidur menggunakan kelambu b. Memakai obat nyamuk bakar/elektrik c.Ventilasi menggunakan kasa nyamuk Perilaku pencegahan gigitan nyamuk pakai obat pakai obat Ventilasi dg pakai nyamuk nyamuk kasac rapelend bakarb semprote 26,53 21,50 18,09 15,75 24,59 31,77 4,69 24,84 22,39 16,03 23,05 18,80 8,65 22,29 42,02 27,68 29,87 30,65 minum obat pencegahan f 8,65 22,29 42,02 27,68 29,87 30,65 0,00 0,28 0,32 0,43 0,18 0,21 22,25 21,91 31,25 31,25 0,27 48,4 8,0 16,9 12,2 0,7 d. Menggunakan rapelen /bahan-bahan pencegah gigitan nyamuk e. Rumah disemprot obat nyamuk/insektisida f. Minum obat pencegahan bila bermalam di daerah endemis malaria Tabel. 7.5.17 Status penguasaan bangunan tempat tinggal yang ditempati menurut Kabupaten/Kota, Riskesdas 2013 Status penguasaan bangunan tempat tinggal yang ditempati Kabupaten/ Kota Milik sendiri Kontrak Sewa Bebas sewa1 Bebas sewa2 Rumah dinas Lainnya Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara 88,0 49,6 50,8 53,7 53,4 51,7 3,1 35,2 26,2 17,6 32,0 35,4 0,0 2,1 1,7 7,2 2,1 0,6 1,5 3,1 1,6 2,2 1,2 1,1 6,9 8,5 14,0 14,6 10,6 10,8 0,4 1,2 5,5 2,2 0,6 0,3 0,0 0,4 0,2 2,5 0,1 0,1 DKI Jakarta 51,6 30,2 2,3 1,9 11,5 2,2 0,4 Bebas sewa (milik orang lain) Bebas sewa (milik orang tua/sanak/saudara 66 Pada Tabel.7.4.17 penguasaan bangunan tempat tinggal berkaitan dengan status ekonomi. Semakin besar proporsi penguasaan milik sendiri semakin tinggi tingkat kelompok ekonomi dan sebaliknya proporsi yang mengontrak semakin besar pada rumah tangga ekonomi terbawah. Tabel. 7.5.18 Status penguasaan bangunan tempat tinggal yang ditempati menurut status ekonomi, Riskesdas 2013 Status penguasaan bangunan tempat tinggal yang ditempati Status Ekonomi Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas Milik sendiri Kontrak Sewa Bebas sewa1 Bebas sewa2 Rumah dinas Lainnya 33,2 41,3 51,3 57,1 70,0 44,7 38,8 29,2 26,6 15,6 5,1 2,6 2,4 1,0 1,0 2,5 1,4 1,1 2,5 1,9 12,5 13,6 14,3 10,0 7,1 1,6 1,7 1,7 1,7 4,3 0,4 0,5 0,0 1,1 0,1 Bebas sewa1 = Bebas sewa (milik orang lain) Bebas sewa2 = Bebas sewa (milik orang tua/sanak/saudara 7.6. PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU Pengetahuan, sikap dan perilaku dikumpulkan pada penduduk kelompok umur 10 tahun atau lebih. Topik yang dikumpulkan meliputi perilaku higienis, penggunaan tembakau, aktivitas fisik, perilaku konsumsi buah, sayur, makanan berisiko (makan/minum manis, makanan asin, makanan berlemak, makanan dibakar, makanan olahan dengan pengawet, bumbu penyedap, kopi dan minuman berkafein buatan bukan kopi) dan konsumsi makanan olahan dari tepung terigu. Perilaku Higienis Perilaku higienis yang dikumpulkan meliputi kebiasaan/perilaku buang air besar (BAB) dan perilaku mencuci tangan. Perilaku BAB yang dianggap benar adalah bila penduduk melakukannya di jamban. Mencuci tangan yang benar adalah bila penduduk mencuci tangan dengan sabun sebelum menyiapkan makanan, setiapkali tangan kotor (antara lain memegang uang, binatang,berkebun), setelah buang air besar, setelah menceboki bayi/anak, setelah menggunakan pestisida/insektisida, dan sebelum menyusui bayi. (Promkes,2011) Dari Table 7.6.1, rerata provinsi DKI Jakarta proporsi perilaku cuci tangan secara benar menunjukan 59,2 persen dan 2 kota terendah adalah Kota Jakarta Pusat (39,3%) dan Jakarta Utara (48,6%). Rerata perilaku BAB di jamban untuk provinsi DKI Jakarta adalah 98,9 persen. Terendah adalah Kepulauan Seribu (85,8%). Penggunaan Tembakau Informasi perilaku penggunaan tembakau dalam Riskesdas tahun 2013 dibagi menjadi dua kelompok yaitu perilaku merokok dengan hisap dan perilaku penggunaan tembakau dengan mengunyah, karena efek samping yang ditimbulkan akibat merokok dengan hisap dan dengan metode kunyah berbeda. Perokok hisap menimbulkan polusi pada perokok pasif dan lingkungan sekitarnya, sedangkan kunyah tembakau hanya berdampak pada dirinya sendiri. 67 Tabel 7.6.1 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun yang berperilaku benar dalam buang air besar dan cuci tangan menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Berperilaku benar Berperilaku benar Kabupaten/Kota dalam hal BAB* dalam hal cuci tangan** Kepulauan Seribu 85,8 89,2 Jakarta Selatan 99,9 59,6 Jakarta Timur 99,5 56,7 Jakarta Pusat 99,5 39,3 Jakarta Barat 99,1 76,7 Jakarta Utara 95,9 48,6 DKI JAKARTA 98,9 59,2 *) Perilaku benar dalam BAB bila BAB di jamban **) Perilaku benar dalam cuci tangan bila cuci tangan pakai sabun sebelum menyiapkan makanan, setiapkali tangan kotor (antara lain memegang uang, binatang, berkebun),setelah buang air besar, setelah menceboki bayi/anak, setelah menggunakan pestisida/insektisi, sebelum menyusui bayi, dan sebelum makan. Tabel 7.6.2 Proporsi kebiasaan merokok penduduk umur ≥ 10 tahun menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Kabupaten/ Kota Perokok saat ini Perokok Perokok kadangsetiap hari kadang Tidak merokok Mantan perokok Bukan perokok Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara 29,4 23,7 24,9 21,1 21,9 22,8 2,3 4,6 5,5 6,3 7,6 5,9 2,8 8,1 7,0 5,6 4,2 4,4 65,4 63,6 62,6 67,0 66,3 66,9 DKI Jakarta 23.2 6.0 6.0 64.8 Berdasarkan tabel 7.6.2 rerata proporsi perokok saat ini di DKI Jakarta adalah 23,2 persen. Proporsi perokok saat ini terbanyak di Kepulauan Seribu dengan perokok setiap hari 29,4 persen dan kadangkadang merokok 2,3 persen. Proporsi terbanyak perokok aktif setiap hari pada umur 30-34 tahun sebesar 31,1 persen, umur 35-39 tahun 29,9 persen, sedangkan proporsi perokok setiap hari pada laki-laki lebih banyak di bandingkan perokok perempuan (44,6% banding 1,6%). Berdasarkan jenis pekerjaan, wiraswasta adalah perokok aktif setiap hari yang mempunyai proporsi terbesar (47,0%) dibandingkan kelompok pekerjaan lainnya. Proporsi perokok setiap hari tampak cenderung menurun pada kuintil indeks kepemilikan yang lebih tinggi (Tabel.7.6.3). Proporsi penduduk umur ≥ 10 tahun dengan kebiasaan mengunyah tembakau atau smokeless setiap hari di Indonesia sebesar 1,1 persen, sedangkan proporsi pengunyah tembakau terkadang sebesar 0,6 persen. Proporsi tertinggi pengunyah tembakau setiap hari yang berada diatas proporsi rata-rata provinsi 68 DKI Jakarta adalah Kepulauan Seribu (1,5%), Kota Jakarta Pusat (1,5%), Kota Jakarta Timur (1,4%), dan Kota Jakarta Barat (1,2%). Tabel 7.6.3 Proporsi kebiasaan merokok penduduk umur ≥ 10 tahun menurut karakteristik, Riskesdas 2013 Perokok saat ini Karakteristik responden Kelompok umur (tahun) 10-14 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 60-64 65+ Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat PT Pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/buruh Lain-lain Kuintil indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas Perokok setiap hari Perokok kadang-kadang 0,1 11,4 25,4 29,4 31,1 29,9 27,9 28,7 26,5 23,5 21,6 14,1 0,7 7,9 7,6 5,5 6,7 6,7 6,4 7,7 8,0 3,7 2,8 5,8 44,6 1,6 10,6 1,2 12,6 11,2 17,5 23,3 29,3 19,2 8,0 37,0 37,9 47,0 34,3 12,6 1,4 2,5 4,0 6,1 7,4 6,7 3,4 8,9 8,3 9,2 5,8 1,4 31,1 26,1 23,3 22,1 16,3 6,3 6,2 5,1 6,3 6,1 69 Tabel. 7.6.4 Rerata jumlah batang rokok yang dihisap penduduk umur ≥10 tahun menurut kabupaten/kota, Riskesdas2013 Kabupaten/ Kota Perokok Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara 17,11 11,13 12,19 10,99 11,59 11,47 DKI Jakarta 11.60 Dari Tabel 7.5.4 tampak bahwa rerata batang rokok yang dihisap perhari per orang di DKI Jakarta adalah 11,6 batang (setara satu bungkus). Jumlah rerata batang rokok terbanyak yang dihisap ditemukan di Kepulauan Seribu (17,11 batang). Tabel 7.6.5 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun yang mempunyai kebiasaan mengunyah tembakau menurut kabupaten/kota, Riskesdas2013 Pengunyah Tembakau saat ini Setiap hari Terkadang Kabupaten/ Kota Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara 1,5 0,8 1,4 1,5 1,2 0,9 0,3 0,8 0,6 0,9 0,6 0,4 DKI Jakarta 1,1 0,6 *) Kretek,putih dan linting setiap hari) Perilaku Aktifitas Fisik Aktifitas fisik secara teratur bermanfaat untuk mengatur berat badan dan menguatkan sistem jantung dan pembuluh darah. Dikumpulkan data frekuensi beraktifitas fisik dalam seminggu terakhir untuk penduduk 10 tahun ke atas. Aktifitas fisik berat adalah kegiatan yag secara terus menerus melakukan kegiatan fisik minimal 10 menit sampai meningkatnya denyut nadi dan napas lebih cepat dengan biasanya (misalnya menimba air, mendaki gunung, lari cepat, menebang pohon, mencangkul, dll.) selama minimal 3 hari dalam satu minggu dan total waktu beraktifitas ≥1500 MET minute. MET minute aktifitas fisik berat adalah lamanya waktu (menit) melakukan aktifitas dalam satu rminggu dikalikan bobot sebesar 8 kalori. Aktifitas fisik sedang apabila melakukan aktifitas fisik sedang (menyapu, mengepel, dll) minimal 5 hari atau lebih dengan total lamanya beraktifitas 150 menit dalam satu minggu. Selain dari dua kondisi tersebut termasuk dalam aktifitas fisik ringan (WHO GPAQ, 2012; WHO STEPS, 2012) 70 Dalam RISKESDAS 2013 ini kriteria aktifitas fisik "aktif" adalah individu yang melakukan aktifitas fisik berat atau sedang atau keduanya, sedangkan kriteria 'kurang aktif' adalah individu yang tidak melakukan aktifitas fisik baik sedang ataupun berat. Berikut proporsi penduduk melakukan aktifitas fisik ―aktif‖ dan ―kurang aktif‖ pada Tabel.7.6.6. Tabel 7.6.6 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun sesuai jenis aktivitas fisik menurut kabupaten/kota, Riskesdas2013 Aktifitas fisik Kabupaten/Kota Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara Aktif Kurang aktif 50,4 61,9 58,1 46,3 45,6 63,8 49,6 38,1 41,9 53,7 54,4 36,2 DKI Jakarta 55,8 *) Kurang aktif adalah tidak melakukan aktifitas fisik berat maupun sedang 44,2 Proporsi aktivitas fisik tergolong kurang aktif secara umum adalah 44,2. Ada tiga kota dengan penduduk aktivitas fisik tergolong kurang aktif berada diatas rata-rata provinsi DKI Jakarta, Tiga tertinggi adalah penduduk Jakarta Barat (54,4), Jakarta Pusat (53,7), dan Kepulauan Seribu (49,6). Perilaku sedentari adalah perilaku duduk-duduk atau berbaring dalam sehari-hari baik di tempat kerja (kerja di depan computer, membaca, dll), di rumah (nonton TV, main game, dll), di perjalanan/ transportasi (bis, kereta, motor), tetapi tidak termasuk waktu tidur. Penelitian di Amerika tentang perilaku sedentari yang menggunakan nilai cut of point <3 jam, 3- 5.9 jam, ≥ 6jam, menunjukkan bahwa pengurangan aktifitas sedentari sampai dengan < 3 jam dapat meningkatkan umur harapan hidup sebesar 2 tahun (Katzmarzyk, P & Lee, 2012). Tabel 7.6.7 Proporsi penduduk ≥ 10 tahun berdasarkan aktifitas sedentari menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 <3 jam Aktifitas sedentari 3- 5.99 jam ≥ 6 jam Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara 43,9 40,6 41,3 34,3 58,6 61,5 55,3 46,2 41,6 50,2 33,4 27,4 0,8 13,2 17,1 15,5 8,1 11,1 DKI Jakarta 48,1 39,0 12,9 Kabupaten/Kota Perilaku sedentari merupakan perilaku berisiko terhadap salah satu terjadinya penyakit penyumbatan pembuluh darah, penyakit jantung dan bahkan mepengaruhi umur harapan hidup. 71 Berdasarkan tabel 7.6.7 proporsi penduduk DKI Jakarta dengan perilaku sedentari 3-5,9 jam adalah 39,0 persen. Empat kota di atas angka rata-rata DKI Jakarta adalah Jakarta Timur (41,6%), Jakarta Selatan (46,2%), Jakarta Pusat (50,2%), dan Kepulauan Seribu (55,3%). Tabel 7.6.8 Proporsi penduduk ≥ 10 tahun berdasarkan aktivitas sedentari menurut karakteristik, Riskesdas 2013 Karakteristik Kelompok umur (tahun) 10-14 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 60-64 65+ Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Tamat D1-D3/PT Pekerjaan Tidak Bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/buruh Lainnya Kuintil indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas <3 jam Aktivitas sedentari 3- 5.9 jam ≥ 6 jam 37,6 43,4 48,6 47,8 49,7 52,8 49,2 56,4 55,3 50,2 47,4 34,0 48,4 42,4 39,7 39,8 37,7 36,1 40,0 32,2 33,2 38,0 37,0 36,7 13,9 14,2 11,7 12,4 12,6 11,1 10,9 11,4 11,5 11,8 15,6 29,3 47,9 48,3 39,0 39,1 13,1 12,7 43,3 43,6 48,3 50,2 47,4 51,4 38,7 42,9 38,8 37,8 40,0 34,1 18,0 13,5 13,0 12,0 12,6 14,5 42,5 52,9 52,4 60,5 50,7 42,2 36,8 37,0 30,4 36,5 15,4 10,3 10,5 9,1 12,8 51,3 47,3 48,4 46,1 48,2 35,6 40,6 40,4 41,3 36,1 13,1 12,0 11,3 12,5 15,7 72 Proporsi perilaku sedentari berdasarkan karakteristik kelompok umur ada kecenderungan proporsi perilaku sedentari 3-5,9 jam sehari menurun dengan semakin bertambahnya umur, namun sedikit meningkat pada umur 40-44 tahun 49,2, Tidak tampak perbedaan Proporsi perilaku sedentari 3-5,9 jam menurut jenis pekerjaan dan tingkat Kuintil indeks kepemilikan (Tabel.7.6.8). Perilaku Konsumsi Buah dan Sayur Data frekuensi dan porsi asupan sayur dan buah dikumpulkan dengan menghitung jumlah hari konsumsi dalam seminggu dan jumlah porsi rata-rata dalam sehari. Penduduk dikategorikan ‗cukup‘ konsumsi sayur dan/atau buah apabila makan sayur dan/atau buah minimal 5 porsi per hari selama 7 hari dalam seminggu. Dikategorikan ‘kurang‘ apabila konsumsi sayur dan/atau buah kurang dari ketentuan di atas. Pola Konsumsi Makanan Tertentu Perilaku mengonsumsi makanan/minuman manis, asin, berlemak, dibakar/panggang, diawetkan, berkafein, dan berpenyedap adalah perilaku berisiko penyakit degeneratif. Perilaku konsumsi makanan berisiko dikelompokkan sering apabila penduduk mengonsumsi makanan tersebut satu kali atau lebih setiap hari. Pada Tabel. 7.5.9 disajikan perilaku konsumsi berisiko responden. Tabel 7.6.9 Proporsi penduduk umur ≥ 10 tahun dengan perilaku konsumsi tertentu menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Kabupaten/Kota Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI Jakarta Manis Asin 44,9 65,7 61,5 59,5 56,9 63,0 61,4 12,4 13,0 20,1 22,2 21,7 26,8 20,3 Perilaku konsumsi tertentu ≥1 kali per hari Hewani Berlemak Dibakar Penyedap berpengawet 28,2 46,8 55,4 38,9 42,7 48,7 47,8 12,9 3,6 3,6 6,5 2,4 7,0 4,2 2,5 6,3 7,5 7,7 5,1 8,8 6,9 77,6 85,3 81,7 78,6 67,3 75,9 77,8 Kopi Kafein selain kopi 36,2 26,1 30,1 24,2 28,6 29,0 28,2 2,5 4,6 11,9 12,7 3,6 6,6 7,5 Proporsi penduduk DKI Jakarta dengan konsumsi makanan/minuman manis ≥ 1 kali dalam sehari 61,4 persen. Tiga kota tertinggi dilaporkan di Jakarta Selatan (65,7%), Jakarta Utara (63,0%), dan Jakarta Timur (61,5%). Proporsi nasional penduduk dengan perilaku konsumsi makanan berlemak, berkolesterol dan makanan gorengan ≥ 1 kali perhari 47,8 persen. Dua kota tertinggi di atas rerata provinsi adalah Jakarta Utara (48,7%) dan Jakarta Timur (55,4%) (Tabel 7.6.9). Sebesar 77,8 persen penduduk Indonesia mengonsumsi penyedap ≥ 1 kali dalam sehari (77,8%), tertinggi di Jakarta Selatan (85,3%) terendah di Jakarta Barat (67,3%). Dari Tabel 7.6.10 bahwa perilaku penduduk mengonsumsi makanan/minuman manis bervariasi antar kelompok umur. Konsumsi makanan/minuman manis lebih banyak pada laki-laki, dan penduduk di daerah perkotaan. Terdapat kecenderungan semakin tinggi tingkat pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan semakin besar proporsi penduduk mengonsumsi makanan manis. 73 Perilaku konsumsi makanan berlemak ≥ 1 kali per hari bervariasi antar kelompok umur demikian pula dengan tingkat pendidikan, pekerjaan dan kuintil indeks kepemilikan. Konsumsi makanan berlemak ≥ 1 kali per hari lebih tidak ada perbedaan pada laki-laki (47,7%) dan perempuan (47,9%). Tabel 7.6.10 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun dengan konsumsi makanan minuman tertentu menurut karakteristik, Riskesdas2013 Makanan Tertentu ≥1 kali sehari Karakteristik Hewani Kafein Manis Asin berlemak dibakar Penyedap Kopi berpengawet selain kopi Kelompok Umur (thn) 10 – 14 65,1 21,3 53,6 6,5 15,3 80,4 4,4 5,8 15 – 19 64,2 21,2 49,3 5,1 10,0 76,8 10,8 7,2 20 – 24 61,1 23,0 49,8 4,0 6,9 77,4 24,1 5,2 25 – 29 63,0 22,8 46,0 4,0 6,3 78,8 28,0 8,1 30 – 34 60,1 18,0 45,3 3,3 5,5 78,3 34,5 10,0 35 – 39 62,9 19,8 49,5 3,7 6,4 77,6 37,6 9,3 40 – 44 57,9 14,7 48,9 4,4 5,7 78,5 38,6 8,2 45 -49 59,9 19,1 50,2 3,6 3,8 80,6 41,9 7,4 50 -54 60,4 24,2 45,2 4,8 3,9 74,3 35,8 5,3 55 -59 58,7 18,3 45,9 3,3 3,9 75,4 34,4 8,7 60 -64 55,2 18,4 34,3 3,2 3,3 73,6 33,4 7,8 65 + 57,9 16,2 38,8 2,1 3,3 71,6 26,3 5,2 Jenis kelamin Laki-laki 62,8 19,4 47,7 4,5 6,4 77,0 41,8 9,1 Perempuan 59,9 21,2 47,9 3,9 7,4 78,5 14,4 5,9 Pendidikan Tidak sekolah 58,2 17,1 44,9 1,6 11,6 76,2 26,0 3,2 Tidak Tamat SD 61,6 18,8 50,0 5,8 10,5 79,6 18,6 6,1 Tamat SD 61,8 23,2 51,8 5,2 7,6 81,7 25,2 7,5 Tamat SLTP 60,2 21,2 47,8 4,5 7,4 77,5 29,1 7,6 Tamat SLTA 61,7 20,1 47,2 3,5 5,6 78,2 31,1 8,2 Tamat D1-D3/PT 62,0 15,8 41,4 3,4 5,8 67,2 27,8 5,6 Pekerjaan Tidak berkerja 60,7 20,5 47,7 4,3 8,4 78,6 16,1 6,2 Pegawai 63,0 17,4 46,4 3,3 5,6 76,1 37,4 8,4 Wiraswasta 60,6 21,7 47,7 5,8 6,2 77,3 40,7 10,1 Petani/Nelayan/Buruh 62,2 26,8 55,6 4,1 3,9 78,7 51,6 8,2 Lainnya 60,8 17,4 43,3 1,6 3,9 77,6 36,9 7,5 Kuintil indeks kepemilikan Terbawah 63,9 24,8 56,1 4,7 8,3 81,7 32,5 8,1 Menengah bawah 61,5 22,6 50,5 4,9 7,6 79,8 31,1 9,0 Menengah 61,0 18,8 49,0 2,8 6,7 81,1 28,1 7,8 Menengah atas 60,2 20,6 43,5 4,9 6,4 74,7 27,2 6,9 Teratas 61,1 16,4 42,7 3,9 5,9 72,8 23,6 6,0 Perilaku konsumsi makanan asin ≥1 kali per hari menurut kelompok umur cenderung bervariasi, berkisar antara 55,2 persen dan 65,1 persen. Menurut kuintil indeks kepemilikan, proporsi tertinggi pada kuintil terbawah dan cenderung menurun pada kuintil yang lebih tinggi, tampak cerminan yang variasi tentang 74 pola minum kopi menurut kelompok umur, tingkat pendidikan, pekerjaan dan tingkat pengeluaran rumah tangga perkapita, Laki-laki (41,8%) hampir tiga kali lebih banyak yang minum kopi dibandingkan perempuan (14,4%). Menurut usia proporsi tertinggi minum kopi terdapat pada usia 45-49 tahun (41,9%). Konsumsi Makanan Olahan dari Tepung Proporsi penduduk DKI Jakarta mengonsumsi mie instan satu kaliatau lebih per hari sebesar 12,4%. Tiga kota tertinggi yang proporsinya di atas proporsi provinsi adalah Jakarta Pusat (12,7%), Kepulauan Seribu (13,8%), dan Jakarta Utara (20,3%). Penduduk DKI Jakarta yang mengonsumsi mie basah ≥1 kaliper harisebesar 4,8 persen, roti ≥1 kali per hari 24,1 persen, dan biskuit ≥1 kali per hari 19,6%. (Tabel 7.6.11) Tabel 7.6.11 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun dengan perilaku konsumsi makanan olahan dari tepung menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Kabupaten/Kota Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI Jakarta Makanan Olahan Tepung ≥1 kali per hari Mi Instan Mi Basah Roti Biskuit 13,8 10,4 9,9 12,7 11,3 20,3 12,4 3,7 2,1 3,2 8,2 4,6 9,6 4,8 25,2 24,5 22,5 27,1 20,9 29,2 24,1 19,1 18,0 19,3 23,3 16,1 25,3 19,6 Pada Tabel 7.6.12 disajikan karakteristik perilaku konsumsi makanan olahan dari terigu. Menurut kelompok umur, terdapat kecenderungan konsumsi mie instant ≥1 kaliper hari menurun, semakin tua proporsi konsumsi mie instan semakin kecil. Konsumsi mie instan lebih banyak pada laki laki (13,1%) dibandingkan pada perempuan (11,7%). Responden Petani/Nelayan/Buruh cenderung lebih banyak mengonsumsi mie instan (19,2%) dibandingkan pekerjaan yang lain. Berdasarkan kuintil indeks kepemilikan, ada kecenderungan proporsi konsumsi mie instant menurun, tertinggi di kuintil terbawah 18,4 persen dan terendah di kuintil teratas (7,5%). Menurut kelompok umur tampaknya ada variasi perilaku konsumsi makanan yang terbuat dari mie basah ≥ 1 kali per hari menurut kelompok umur, ada kecenderungan semakin muda semakin banyak mengonsumsi mie basah. Ada kecenderungan semakin tinggi tingkat pengeluaran RT perkapita semakin rendah proporsi konsumsi mie basah. Menurut jenis pekerjaan tampak bervariasi dalam komsumsi makan mie basah. Karakteristik penduduk menurut kelompok umur tampaknya ada kecenderungan menurun perilaku konsumsi mie instant ≥ 1 kali per hari menurut kelompok umur, semakin tua kelompok umur semakin rendah proporsi konsumsi mie instant. Konsumsi mie instant lebih banyak pada laki laki (13,1%) dibandingkan pada perempuan(11,7%). Responden Petani/Nelayan/Buruh cenderung lebih banyak mengonsumsi mie instant (19,2%) dibandingkan pekerjaan yang lain. Berdasarkan kuintil indeks kepemilikan, ada kecenderungan proporsi konsumsi mie instan kecil pada kelompok status ekonomi teratas, dan semakin besar pada kelompok lebih rendah. Proporsi tertinggi di kuintil terbawah 18,4 persen dan terendah di kuintil teratas (7,5%). Berkebalikan dengan konsumsi roti dan biskuit. 75 Tabel 7.6.12 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun dengan perilaku konsumsi makanan olahan dari tepung menurut karakteristik, Riskesdas 2013 Makanan Olahan dari Tepung (≥ 1 kali sehari) Karakteristik Kelompok Umur (thn) 10 – 14 15 – 19 20 – 24 25 – 29 30 – 34 35 – 39 40 – 44 45 -49 50 -54 55 -59 60 -64 65 + Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan Tidak sekolah Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Tamat D1-D3/PT Pekerjaan Tidak berkerja Pegawai Wiraswasta Petani/Nelayan/Buruh Lainnya Tempat tinggal Perkotaan Kuintil indekskepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas Mie Instan Mie Basah Roti biskuit 18,0 18,8 14,2 14,1 11,1 11,5 11,8 7,9 8,1 9,1 4,6 3,1 6,0 5,7 5,3 6,0 5,2 5,2 5,5 2,9 3,2 3,4 1,1 1,2 28,0 21,3 22,3 23,7 25,8 25,4 22,2 24,0 24,6 24,9 20,0 23,5 26,6 18,5 17,7 18,9 22,2 18,1 17,5 18,0 20,1 16,5 15,8 21,2 13,1 11,7 5,1 4,5 22,8 25,5 17,4 21,9 12,1 16,9 12,8 13,4 12,0 12,1 2,8 5,6 4,8 5,9 4,6 3,2 22,6 26,7 20,8 22,9 23,4 33,9 18,5 22,4 18,1 18,6 18,8 26,2 12,5 11,0 11,9 19,2 8,8 4,7 4,3 5,5 7,2 3,0 24,4 24,2 25,7 21,5 19,2 21,4 17,8 18,9 16,4 17,0 12,4 4,8 24,1 19,6 18,4 15,0 12,6 10,7 7,5 6,6 5,8 5,0 3,9 3,6 21,0 20,6 23,0 24,2 30,6 17,9 15,0 19,9 21,7 22,6 76 Menurut kelompok umur tampaknya ada variasi perilaku konsumsi makanan yang terbuat dari terigu lainnya. Konsumsi mi basah ≥1 kali per hari menurut kelompok umur, ada kecenderungan semakin muda semakin banyak mengonsumsi mie basah. Ada kecenderungan semakin tinggi tingkat status ekonomi rumah tangga semakin kecil proporsi konsumsi mie basah. Menurut jenis pekerjaan tampak bervariasi dalam komsumsi makan mie basah. Menurut kelompok umur tampaknya ada kecenderungan perilaku konsumsi makanan roti ≥1 kaliper hari semakin tua kelompok umur semakin rendah proporsi konsumsi roti. Tampak perbedaan konsumsi roti menurut jenis kelamin, perempuan lebih banyak (25,2%) dibandingkan laki-laki (22,8%). Berdasarkan tingkat pengeluaran RT, konsumsi roti bervariasi antara 20,6 persen sampai dengan 30,6 persen. Berdasarkan tingkat pendidikan dan pekerjaan dalam mengonsumsi roti bervariasi. Berdasarkan tabel karakteristik diatas menurut kelompok umur, tingkat pendidikan dan pekerjaan dalam mengonsumsi biskuit bervariasi. Konsumsi makanan biskuit ≥ 1 kali per hari lebih banyak pada perempuan (21,9%) dibandingkan pada laki laki (17,4%). Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Indikator Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)1 terdiri dari sepuluh indikator yang mencakup perilaku individu dan gambaran rumah tangga. Data PHBS pada tahun 2007 mengacu pada indikator PHBS yang sudah ditetapkan tahun 2004. Pada Indikator individu meliputi pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan, bayi 0-6 bulan mendapat ASI eksklusif, kepemilikan/ketersediaan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan, penduduk tidak merokok, penduduk cukup beraktivitas fisik, dan penduduk cukup mengonsumsi sayur dan buah, Indikator Rumah tangga meliputi rumah tangga memiliki akses terhadap air bersih, akses jamban sehat, kesesuaian luas lantai dengan jumlah penghuni ( ≥ 8m2/orang), dan rumah tangga dengan lantai rumah bukan tanah, Pada PHBS tahun 2007 untuk rumah tangga dengan balita digunakan 10 indikator, sehingga nilai tertinggi adalah 10; sedangkan untuk rumah tangga tanpa balita terdiri dari 8 indikator, sehingga nilai tertinggi adalah delapan (8), PHBS diklasifikasikan ―kurang‖ apabila mendapatkan nilai kurang dari enam (6) untuk rumah tangga mempunyai balita dan nilai kurang dari lima (5) untuk rumah tangga tanpa balita. Pada tahun 2011 telah dibuat indikator PHBS yang baru dan sedikit berbeda dengan indikator PHBS ditetapkan sebelumnya. Indikator PHBS yang ditetapkan pada tahun 2011 oleh Pusat Promosi Kesehatan Kementerian Kesehatan mencakup 10 indikator yang meliputi :1) Persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan; 2) melakukan penimbangan bayi dan balita; 3) memberikan ASI ekslusif; 4) penggunaan air bersih; 5) mencuci tangan dengan air bersih dan sabun; 6) memberantas jentik nyamuk; 7) memakai jamban sehat; 8) makan buah dan sayur setiap hari; 9) melakukan aktifitas fisik setiap hari; 10) tidak merokok dalam rumah. Pada PHBS tahun 2013 untuk rumah tangga dengan balita digunakan 10 indikator, sehingga nilai tertinggi adalah 10; sedangkan untuk rumah tangga tanpa balita terdiri dari 7 indikator, sehingga nilai tertinggi adalah tujuh (7). Penilaian PHBS rumah tangga diukur dengan batasan yang sama dengan penilaian rumah tangga PHBS tahun 2007. Kriteria rumah tangga dengan PHBS baik adalah rumah tangga yang punya balita memenuhi enam indikator atau lebih untuk rumah tangga; dan untuk rumah tangga yang tidak mempunyai balita memenuhi lima indikator atau lebih, 1 Program PHBS adalah upaya untuk memberi pengalaman belajar atau menciptakan kondisi bagi perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat, dengan membuka jalur komunikasi, memberikan informasi dan melakukan edukasi, untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku hidup bersih dan sehat, melalui pendekatan pimpinan, bina suasana dan pemberdayaan masyarakat. 77 Dalam RISKESDAS 2013 indikator yang dapat digunakan untuk PHBS sesuai dengan kriteria PHBS yang ditetapkan oleh Pusat Promkes pada tahun 2011, yaitu mencakup delapan indikator individu (cuci tangan, BAB dengan jamban, konsumsi sayur dan buah, aktifitas fisik, merokok dalam rumah, memberi ASI eksklusif, menimbang balita), dan dua indikator rumah tangga (sumber air bersih dan memberantas jentik nyamuk. Indikator yang digunakan dalam PHBS RISKESDAS 2013 adalah sebagai berikut: 1. Persalinan oleh tenaga kesehatan, Data ini didapatkan dari data persalinan yang terakhir yang ditolong oleh tenaga kesehatan dari riwayat persalinan dalam tiga tahun terakhir sebelum survei (kurun waktu tahun 2010 sampai tahun 2013) 2. Melakukan penimbangan bayi dan balita, Indikator ini menggunakan variabel individu usia 0 sampai 59 bulan yang mempunyai riwayat pernah ditimbang dalam enam bulan terakhir, 3. Memberikan ASI eksklusif, Indikator ini menggunakan data dari riwayat pernah diberikan ASI eksklusif diantara individu baduta usia 0 – 23 bulan. Pengertian pemberian ASI eksklusif dalam analisa ini adalah bayi usia ≥ 6 bulan yang hanya mendapatkan ASI saja dalam 24 jam terakhir saat wawancara atau individu baduta yang pertama kali diberi minuman atau makanan berumur enam bulan atau lebih, 4. Mencuci tangan dengan air bersih dan sabun, Indikator mencuci tangan dengan benar mencakup mencuci tangan air bersih dan sabun saat sebelum menyiapkan makanan, setiap kali tangan kotor, setelah buang air besar, setelah menggunakan pestisida (bila menggunakan), setelah menceboki bayi dan sebelum menyusui bayi (bila sedang menyusui), 5. Memakai jamban sehat, Perilaku menggunakan jamban sehat diukur dari perilaku buang besar menggunakan jamban saja, 6. Melakukan aktivitas fisik setiap hari, Indikator ini diukur berdasarkan individu yang biasa melakukan aktifitas fisik berat atau sedang dalam tujuh hari seminggu, 7. Konsumsi buah dan sayur setiap hari, Perilaku konsumsi buah dan sayur diukur berdasarkan individu yang biasa konsumsi buah dan sayur selama tujuh hari dalam seminggu, 8. Tidak merokok dalam rumah, Pengertian tidak merokok di dalam rumah adalah individu yang tidak mempunyai kebiasaan merokok di dalam rumah pada saat ada anggota rumah tangga lainnya serta memperhitungkan juga rumah tangga yang tidak ada anggota rumah tangga yang merokok, 9. Penggunaan air bersih, Perilaku menggunakan air bersih didapatkan dari data rumah tangga yang menggunakan sumber air bersih dengan kategori baik untuk seluruh keperluan rumah tangga. 10. Memberantas jentik nyamuk, Rumah tangga dengan perilaku memberantas jentik nyamuk dalam indikator ini adalah rumah tangga yang menguras bak mandi satu kali atau lebih dalam seminggu atau yang tidak menggunakan bak mandi dan tidak mandi di sungai, Beberapa indikator yang digunakan dalam RISKESDAS 2013 berbeda dengan indikator yang digunakan dalam RISKESDAS 2007 sehingga tidak bisa menggambarkan kecenderungan kenaikan atau penurunan proporsi rumah tangga ber-PHBS. 78 Tabel 7.6.13 Proporsi rumah tangga yang memenuhi kriteria perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) baik menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Kabupaten/Kota PHBS Baik Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara 38,8 64,1 59,2 50,5 53,3 49,9 DKI Jakarta 56,8 Catatan: PHBS baik adalah ruta yang memenuhi kriteria ≥ enam indikator untuk rumah tangga dengan balita dan ≥ lima indikator untuk rumah tangga tidak punya balita, Tabel 7.6.13 menunjukkan bahwa proporsi rumah tangga di kabupaten/kota DKI Jakarta dengan PHBS baik adalah 56,8 persen. Proporsi tertinggi di Jakarta Selatan (64,1%) dan terendah di Kepulauan Seribu (38,8%), Terdapat 3 kota dari 6 kota di DKI Jakarta yang masih memiliki rumah tangga PHBS baik di bawah Proporsi nasional, yaitu Kepulauan Seribu, Jakarta Pusat, dan Jakarta Utara 80 70 69,2 Persen 60 50 40 56,8 51,3 45,5 55,7 59,3 30 20 10 0 Gambar.7.1 Proporsi rumah tangga memenuhi kriteria perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) baik menurut status ekonomi, Riskesdas 2013 79 Pada Gambar.7.1. disajikan proporsi rumah tangga dengan PHBS baik menurut status ekonomi. Proporsinya cenderung meningkat seiring dengan peningkatan kelompok status ekonomi. Proporsi PHBS baik terbesar pada rumah tangga dengan status ekonomi teratas (69,2%) dan terkecil pada indeks kepemilikan terbawah (45,5%) lebih tinggi pada rumah tangga dengan indeks kepemilikan (41,5%) dibandingkan di perdesaan (22,8%). 7.7. STATUS GIZI Status Gizi adalah keadaan terpenuhinya organ tubuh akan kebutuhan zat gizi sehingga dapat berfungsi secara optimal. Beberapa cara dalam menentukan status gizi yaitu secara antropometri (ukuran tubuh), biokimia darah dan konsumsi makanan. Masing-masing mempunyai parameter dan arti tersendiri. Pada Riskesdas 2013, status gizi penduduk secara antropometri dan disajikan dalam 5 (lima) bagian yang terdiri dari (1). Status Gizi anak umur di bawah lima tahun (Balita), (2). Status Gizi anak umur 5 – 18 tahun, (3). Status gizi penduduk dewasa, (4). Risiko Kurang Energi Kronis, dan (5). Wanita Hamil Risiko tinggi Dalam laporan ini ada beberapa istilahyang digunakan, yaitu: Berat Kurang Kependekan Kekurusan : : : : Istilah untuk gabungan gizi buruk dan gizi kurang (underweight) Istilah untuk gabungan sangat pendek dan pendek (Stunting) Istilah untuk gabungan sangat kurus dan kurus (Wasting) 7.7.1. Status Gizi Balita Cara Penilaian Status Gizi Balita Status gizi balita diukur berdasarkan umur, berat badan (BB) dan tinggi badan (TB). Berat badan anak ditimbang dengan menggunakan timbangan digital yang memiliki ketepatan (presisi) 0,1 kg, panjang dan tinggi badan diukur menggunakan alat ukur panjang/tinggi dengan ketepatan 0,1 cm. Indikator Status gizi balita disajikan dalam tiga bentuk, yaitu: berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Untuk menilai status gizi anak, setiap nilai berat badan dan tinggi badan balita dikonversikan ke dalam bentuk nilai terstandar (Z-score) dengan menggunakan acuan baku antropometri balita yang diterbitkan oleh WHO pada tahun 2005. Selanjutnya berdasarkan nilai Z-score dari masing-masing indikator, status gizi balita diklasifikasikan dengan batasan sebagai berikut : a. Klasifikasi Status Gizi anak balita berdasarkan indikator BB/U : Gizi Buruk : Zscore < -3,0 Gizi Kurang : Zscore >= -3,0 s/d Zscore < -2,0 Gizi Baik : Zscore >= -2,0 s/d Zscore <= 2,0 Gizi Lebih : Zscore > 2,0 b. Klasifikasi Status Gizi anak balita berdasarkan indikator TB/U: Sangat Pendek : Zscore < -3,0 Pendek : : Zscore >=- 3,0 s/d Zscore < -2,0 Normal : Zscore >= -2,0 80 c. Klasifikasi Status Gizi anak balita berdasarkan indikator BB/TB: Sangat Kurus : Zscore < -3,0 Kurus : Zscore >= -3,0 s/d Zscore < -2,0 Normal : Zscore >= -2,0 s/d Zscore <= 2,0 Gemuk : Zscore > 2,0 d. Klasifikasi Status Gizi anak balita berdasarkan gabungan indikator TB/U dan BB/TB: Pendek-Kurus : Zscore TB/U < -2,0 dan ZScore BB/TB < -2,0 Pendek-Normal : Zscore TB/U < -2,0 dan Zscore BB/TB antara -2,0 s/d 2,0 Pendek-Gemuk : Zscore >= -2,0 s/d Zscore <= 2,0 TB Normal-Kurus : Zscore TB/U > = -2,0 dan Zscore BB/TB < -2,0 TB Normal-Normal : Zscore TB/U >= -2,0 dan Zscore BB/TB antara -2,0 s/d 2,0 TB Normal-Gemuk : Zscore TB/U >= -2,0 dan Zscore BB/TB > 2,0 Perhitungan angka proporsi Status Gizi anak balita berdasarkan indikator dilakukan sebagai berikut: Berdasarkan indikator BB/U: Prevalensi gizi buruk : ( Balita gizi buruk/ Balita) x 100% Prevalensi gizi kurang : ( Balita gizi kurang/ Balita) x 100% Prevalensi gizi baik : ( Balita gizi baik/ Balita) x 100% Prevalensi gizi lebih : (Balita gizi lebih/ Balita) x 100% Berdasarkan indikator TB/U Prevalensi sangat pendek : (Balita sangat pendek/ Balita) x 100% Prevalensi pendek : (Balita pendek/ Balita) x 100% Prevalensi normal : ( Balita normal/ Balita) x 100% Berdasarkan indikator BB/TB: Prevalensi sangat kurus : ( Balita sangat kurus/ Balita) x 100% Prevalensi kurus : ( Balita kurus/ Balita) x 100% Prevalensi normal : ( Balita normal/ Balita) x 100% Prevalensi gemuk : ( Balita gemuk/ Balita) x 100% Berdasarkan gabungan indikator TB/U dan BB/TB Prevalensi pendek-kurus : ( Balita pendek-kurus/ Balita)x100% Prevalensi pendek-normal : ( Balita pendek-normal/ Balita)x100% Prevalensi pendek-gemuk : ( Balita pendek-gemuk/ Balita)x100% Prevalensi TB normal-kurus : ( Balita normal-kurus/Balita)x100% Prevalensi TB normal-normal : ( Balita normal-normal/ Balita)x100% Prevalensi TB normal-gemuk : ( Balita normal-gemuk/ Balita)x100% Indikator BB/U memberikan indikasi keadaan sesaat, yaitu saat (hari) ditimbang. Oleh karena berat badan berkorelasi positif dengan umur dan tinggi badan, maka berat badan yang ringan dapat disebabkan karena pendek (kronis) atau sedang menderita diare atau penyakit infeksi lain (akut). Indikator TB/U memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya jangka panjang sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama, misalnya: kurang makan sejak kecil bahkan sejak dalam kandungan atau menderita penyakit/kelainan metabolism dalam jangka waktu yang lama yang mengakibatkan anak 81 menjadi pendek. Indikator BB/TB dan IMT/U memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya AKUT sebagai akibat dari peristiwa yang terjadi dalam waktu yang singkat, misalnya: terjadi wabah penyakit dan kekurangan makan (kelaparan) yang mengakibatkan anak menjadi KURUS. Disamping untuk identifikasi masalah kekurusan dan indikator BB/TB dan IMT/Udapat juga memberikan indikasi kegemukan. Masalah kekurusan dan kegemukan pada umur dini dapat berakibat pada rentannya terhadap berbagai penyakit degeneratif pada saat dewasa (hipotesis Barker). Masalah Gizi Akut-Kronis adalah masalah gizi yang memiliki sifat masalah gizi AKUTdan KRONIS. Sebagai contoh adalah anak yang KURUS dan PENDEK. 7.7.1.1. Status Gizi Balita menurut indikator BB/U Pada Tabel 7.6.1. disajikan prevalensi berat kurang (underweight) menurut kabupaten/kota. Status gizi kurang dan gizi buruk pada anak berusia balita (14,0%) di DKI Jakarta tahun 2013 masih menjadi masalah walaupun lebih baik dibandingkan rerata nasional (19,6%) bahkan target pembangunan milenium 2015 (15,5%). Proporsi gizi buruk sebesar 2,8 persen mungkin bukan masalah klinis dan kesehatan masyarakat lagi, tetapi sudah merupakan masalah sosial. Argumennya adalah bahwa selama lima tahun terakhir proporsi gizi buruk relatif stagnan. Hasil Riskesdas tahun 2007 proporsi gizi buruk sebesar 2,9 persen tahun 2010 sebesar 2,6 persen dan Tahun 2013 2,8 persen (Gambar 7.2). Proporsi gizi buruk balita menurut status ekonomi tampak terbesar pada kuintil terbawah atau termiskin yaitu sebesar 7,3 persen. Tabel 7.7.1. Proporsi status gizi balita BB/U menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Status Gizi Menurut BB/U Kabupaten/Kota Gizi Buruk Gizi Kurang Gizi Baik Gizi Lebih (%) (%) (%) (%) Jumlah (%) Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara 2,2 1,8 2,4 2,5 4,3 3,5 5,3 14,1 9,2 15,3 10,9 9,5 83,9 77,7 81,9 80,4 75,9 75,0 8,7 6,4 6,5 1,7 8,8 12,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 DKI JAKARTA 2,8 11,2 78,5 7,5 100,0 INDONESIA 5,7 13,9 75,9 4,5 100,0 82 12,0 11,2 12 10,0 11,1 Persen 10 8,7 8 6,5 6 4 2 2,9 2,8 2,6 0 G. Buruk RKD 2007 G.Kurang RKD 2010 G.Lebih RKD 2013 Gambar 7.2 Status gizi anak balita BB/U hasil Riskesdas 2007, 2010 dan 2013 Upaya yang dilakukan tampak kurang efektif. Hal ini berarti penanggulangan masalah gizi buruk sudah harus didekati pada akar masalahnya yaitu penanggulangan kemiskinan keterjaminan keluarga mengakses makanan seimbang dan pelayanan kesehatan. Menurut kelompok umur, proporsi gizi buruk terbesar pada kelompok umur kurang dari enam bulan (7,3%). Bayi berusia kurang dari enam bulan seharusnya tidak mengalami gizi buruk karena air susu ibu seharusnya mencukupi. Hal ini menunjukkan rawannya status gizi ibu hamil. Janin yang mengalami kurang gizi merupakan faktor risiko kegagalan tumbuh kembang sesudah lahir. Di samping masalah gizi kurang dan gizi buruk, DKI Jakarta juga mulai menghadapi masalah gizi lebih (terutama di Jakarta Utara). Proporsi balita dengan gizi lebih sebesar 10 persen menjadi masalah kesehatan masyarakat. Proporsi gizi lebih di DKI Jakarta besar (7,5%) bahkan lebih besar dibandingkan angka nasional (4,5%). Gizi lebih banyak melanda anak balita dari kelompok ekonomi teratas. 83 Tabel, 7.7.2 Proporsi status gizi balita BB/U menurut karakteristik responden, Riskesdas 2013 Karakteristik Responden Kelompok Umur (Bulan) 0-5 bulan 6-11 bulan 12-23 bulan 24-35 bulan 36-47 bulan 48-59 bulan Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan KK Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Tamat D1-D3/PT Pekerjaan KK Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/buruh Lainnya Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah Bawah Menengah Menengah Atas Teratas Gizi Buruk (%) Status Gizi Menurut BB/U Gizi Kurang Gizi Baik Gizi Lebih (%) (%) (%) Jumlah (%) 7,3 ,6 3,3 4,9 ,9 2,2 12,3 9,3 8,4 13,7 13,3 10,2 78,7 82,9 81,7 77,4 78,2 74,0 1,7 7,1 6,6 4,0 7,6 13,7 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 6,2 5,2 14,0 13,8 75,1 76,8 4,7 4,3 100,0 100,0 3,8 6,0 4,1 1,8 3,2 11,8 14,3 8,4 10,5 12,1 9,1 88,2 79,3 83,4 78,6 79,0 71,2 2,6 2,2 6,8 7,1 16,4 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 2,5 1,8 3,3 6,2 2,6 9,6 11,2 10,7 14,3 9,3 83,5 78,0 80,3 74,6 75,0 4,3 9,0 5,8 4,9 13,1 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 7,3 ,8 2,6 2,9 1,7 10,3 18,2 11,8 8,2 7,2 79,0 74,5 76,9 82,3 79,8 3,4 6,6 8,7 6,6 11,3 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 7.7.1.2. Status Gizi Balita Berdasarkan Indikator TB/U Pada Tabel 7.7.1. disajikan proporsi kependekan (stunting) menurut kabupaten/kota. Pada Gambar 7.2. disajikan perbandingan status gizi anak balita berdasarkan tinggi menurut umur hasil Riskesdas tahun 2007, 2010 dan 2013. Proporsi kependekan DKI Jakarta tahun 2013 adalah 27,5 persen, jauh di bawah rerata nasional (37,5%). Masalah kependekan ditemukan besar terutama di kabupaten Kepulauan Seribu (41,3%) dan Jakarta Barat (37,9%). Angka kependekan kedua kabupaten/kota ini di atas angka nasional. Proporsi kependekan terdiri dari 12,1 persen sangat pendek dan 15,4 persen pendek. Tampak terdapat pergeseran status kependekan dari kategori sangat pendek ke kategori pendek. Pada tahun 2013 84 proporsi sangat pendek lebih kecil dibadingkan dengan proporsi tahun 2010 (14,3%) dan 2007 (13,7%), tetapi proporsi pendek lebih besar dibandingkan dengan hasil Riskesdas tahun 2007 (13,0%) dan tahun 2010 (12,3%). Menurut WHO 20101, prevalensi kependekan dikategorikan tinggi dalam masalah kesehatan masyarakat bila prevalensi sebesar 30–39 persen dan sangat tinggi bila 40 persen atau lebih. Tabel. 7.7.3. Proporsi status gizi balita TB/U menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Kabupaten/Kota Status Gizi Menurut TB/U Pendek Normal (%) (%) 20,2 58,7 14,4 73,7 15,1 78,1 14,7 76,2 20,0 62,2 11,1 72,1 Sangat Pendek (%) 21,1 11,9 6,8 9,1 17,9 16,7 Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara Jumlah (%) 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 DKI JAKARTA 12,1 15,4 72,5 100,0 INDONESIA 18,0 19,2 62,8 100,0 15,4 Persen 18 14,3 15 12 12,3 12,1 13,7 13,0 9 6 3 0 S. Pendek RKD 2007 RKD 2010 Pendek RKD 2013 Gambar 7.3 Status gizi anak balita TB/U hasil Riskesdas 2007, 2010 dan 2013 85 Tabel. 7.7.4. Proporsi status gizi balita TB/U menurut karakteristik responden, Riskesdas 2013 Status Gizi Menurut TB/U Karakteristik Responden Sangat Pendek Pendek Normal (%) (%) (%) Kelompok Umur (Bulan) 0-5 bulan 16,3 14,3 69,4 6-11 bulan 18,9 7,8 73,2 12-23 bulan 12,4 14,5 73,0 24-35 bulan 17,2 15,7 67,0 36-47 bulan 7,4 16,7 75,9 48-59 bulan 8,0 18,4 73,6 Jenis Kelamin Laki-laki 13,3 14,4 72,4 Perempuan 10,9 16,5 72,6 Pendidikan KK Tidak pernah sekolah 16,8 11,3 71,9 Tidak tamat SD 10,3 15,3 74,3 Tamat SD 16,8 9,5 73,7 Tamat SLTP 9,9 19,4 70,7 Tamat SLTA 10,7 15,5 73,8 Tamat D1-D3/PT 18,1 14,9 67,0 Pekerjaan KK Tidak bekerja 8,4 12,8 78,8 Pegawai 12,0 13,1 74,9 Wiraswasta 9,3 16,7 73,9 Petani/nelayan/buruh 18,4 24,5 57,1 Lainnya 17,8 14,2 68,0 Tempat Tinggal Perkotaan 12,1 15,4 72,5 Pedesaan Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah 14,3 23,7 62,0 Menengah bawah 15,1 18,2 66,7 Menengah 11,4 14,0 74,6 Menengah atas 10,8 11,9 77,3 Teratas 9,4 11,8 78,8 Jumlah (%) 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 7.7.1.3. Status Gizi Balita Berdasarkan Indikator BB/TB Kekurusan merupakan gambaran masalah gizi saat kini (current nutrition status) yang bebas dari faktor umur. Proporsi kekurusan anak berusia balita di DKI Jakarta (10,2%) lebih rendah dari rerata nasional (12,1%) (Tabel. 7.6.5.). Angka kekurusan lebih tinggi dari angka nasional terutama di Kota Jakarta Utara (19,0%) dan Jakarta Barat (12,3%). Proporsi kekurusan (10,2%) lebih kecil dibandingkan dengan proporsi hasil riskesdas tahun 2007 (17,0%) dan 2010 (11,2%). Namun, proporsi anak balita gemuk juga lebih kecil dibandingkan proporsi hasil riskesdas tahun sebelumnya (Gambar 7.4.) Hal ini berarti selama 86 dua tahun terakhir konsumsi zat gizi anak balita berkurang atau terjadi peningkatan penyakit infeksi, seperti diare, Tuberkulosis dan penyakit menular lainnya. Tabel. 7.7.5. Proporsi status gizi balita BB/TB menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Kabupaten/Kota Sangat Kurus (%) 3,5 5,8 0,7 1,8 5,3 11,0 4,4 5,3 Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI JAKARTA INDONESIA Status Gizi Menurut BB/TB Normal (%) 73,6 78,9 87,6 87,6 69,3 62,1 78,1 76,1 Kurus (%) 4,0 4,3 4,7 6,3 7,0 9,0 5,8 6,8 Gemuk (%) 18,8 10,9 7,0 4,3 18,4 17,8 11,7 11,8 Jumlah (%) 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 19,6 20 16 Persen 12,2 12 8 8,6 11,7 8,4 6,9 4,4 4,4 5,8 4 0 S.Kurus RKD 2007 Kurus RKD 2010 Gemuk RKD 2013 Gambar. 7.4. Status gizi anak balita BB/TB hasil Riskesdas 2007, 2010 dan 2013 Menurut WHO 20101 masalah kesehatan masyarakat sudah dianggap serius bila prevalensi BB/TB Kurus antara 10,0 persen - 14,0 persen, dan dianggap kritis bila 15,0 persen atau lebih. Pada tahun 2013, di DKI Jakarta, masalah kekurusan cukup serius di Jakarta Utara, Jakarta Barat dan Jakarta Selatan. Bayi berusia di bawah enam bulan sudah mengalami masalah gizi dan semakin serius pada tahun berikutnya. 87 Tabel. 7.7.6. Proporsi status gizi balita BB/TB menurut karakteristik responden, Riskesdas 2013 Karakteristik Responden Kelompok Umur (bulan) 0-5 bulan 6-11 bulan 12-23 bulan 24-35 bulan 36-47 bulan 48-59 bulan Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan KK Tidak pernah sekolah Tidak tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Tamat D1-D3/PT Pekerjaan KK Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/buruh Lainnya Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas Sangat kurus (%) Status Gizi Menurut BB/TB Kurus Normal (%) (%) 4,8 Gemuk (%) Jumlah (%) 8,5 4,0 3,6 2,7 6,1 7,0 5,4 5,2 8,7 3,2 75,7 78,9 77,9 80,0 76,4 79,2 13,4 14,1 8,1 10,9 11,3 15,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 4,8 3,9 7,2 4,5 75,3 80,9 12,7 10,7 100,0 100,0 4,9 4,9 4,7 4,4 12,9 2,2 11,6 5,1 88,2 76,2 80,6 76,1 79,5 11,8 6,1 12,3 7,6 11,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 3,1 4,7 4,2 5,4 1,7 1,1 5,0 9,2 3,9 11,4 85,9 77,1 77,8 78,4 74,3 9,9 13,3 8,8 12,3 12,5 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 3,7 2,6 8,0 4,2 2,3 6,5 10,6 3,9 6,4 1,8 80,3 78,0 74,1 78,1 81,8 9,6 8,9 14,1 11,2 14,1 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 Masalah kekurusan yang sudah dihadapi sejak bayi baru lahir, menjadi masalah pada semua tingkat ekonomi, tingkat pendidikan dan apapun jenis pekerjaan orang tua (Tabel. 7.6.6). Ketiga indikator status gizi pada anak berusia balita menunjukkan hal yang sama. Hal ini mengantarkan pada hipotesis bahwa promosi gizi dan kesehatan sangat diperlukan untuk menyertai penanggulangan masalah gizi di DKI Jakarta. 7.7.1.4. Status gizi balita berdasarkan 3 indikator Secara umum dapat dikatakan bahwa masalah gizi di DKI Jakarta adalah akut dan dialami oleh Jakarta Selatan, Jakarta Barat dan Jakarta Utara. Jakarta Barat juga menghadapi masalah gizi yang kronis. Kepulauan Seribu menghadapi masalah gizi yang kronis (Tabel.7.6.7). 88 Tabel 7.7.7 Proporsi balita menurut tiga indikator status gizi dan kabupaten/kota, Riskesdas 2013 TB/U BB/TB BB/U* Kabupaten/Kota ( Sangat Pendek+ (Sangat Kurus+ Akut* Kronis** (Buruk+Kurang) Pendek) Kurus) Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI JAKARTA INDONESIA 7,4 15,9 11,6 17,9 15,2 13,0 14,0 19,6 41,3 26,3 21,9 23,8 37,8 27,9 27,5 37,2 7,5 10,2 5,3 8,1 12,3 20,0 10,2 12,1 √ √ √ √ √ √ * Permasalahan gizi akut adalah apabila BB/TB >10 (UNHCR) **Permasalahan gizi kronis adalah apabila TB/U di atas prevalensi nasional (37,2) 7.7.2. Status Gizi Anak Usia 5 – 18 tahun Status Gizi anak umur 5-18 tahun dikelompokkan menjadi tiga kelompok umur yaitu 5-12 tahun, 13-15 tahun dan 16-18 tahun. Indikator status gizi yang digunakan untuk kelompok umur ini didasarkan pada hasil pengukuran antropometri berat badan (BB) dan tinggi badan (TB)yang disajikan dalam bentuk tinggi badan menurut umur (TB/U) dan Indeks Massa Tubuh (BB dalam Kilogram/TB dalam meter dikuadratkan = BB/TB2) menurut umur (IMT/U). Berdasarkan baku WHO Tahun 2007untuk antropometri anak 5-19 tahun, nilai Z_scoreTB/U dan IMT/U dihitung masing-masing anak. Selanjutnya berdasarkan nilai Z_score ini status gizi anak dikategorikan sebagai berikut: Berdasarkan indikator TB/U: Sangat pendek Pendek Normal : Z_score < -3, : Z_score ≥ -3,0 s/d < -2,0 dan : Z_score ≥ -2,0 Berdasarkan indikator IMT/U: Sangat kurus Kurus Normal Gemuk Obesitas : Z_score < -3,0 : Z_score ≥ -3,0 s/d < -2,0 : Z_score ≥ -2,0 s/d ≤ 1,0 : Z_score > 1,0 s/d ≤ 2,0 : Z_score > 2,0 89 7.7.2. Status Gizi Anak Usia 5 -12 Tahun 7.7.2.1. Status Gizi Anak berusia 5–12 tahun menurut Indikator TB/U dan IMT/U Proporsi kependekan anak berusia 5-12 tahun sebesar 19,2 persen jauh lebih baik daripada angka nasional (30,7%) dengan rentang 11,6 (Jakarta Timur) dan 35,2 persen (Kepulauan Seribu). Proporsi yang terdiri dari sangat pendek 12,3 dan pendek 18,4 persen (Tabel. 7.7.8). Menurut karakteristiknya, kependekan berkaitan dengan status ekonomi. Semakin bawah posisi rumah tangga berada di kelompok kuintil cenderung semakin besar proporsi kependekan anak berusia 5-12 tahun. Hal ini berarti masalah kependekan berlanjut pada kelompok usia selanjutnya. Pada kelompok anak berusia balita proporsi kependekan di Kepulauan Seribu juga yang terbesar. Mengingat masalah kependekan di DKI Jakarta sudah dimulai sejak kandungan, maka upaya perbaikan gizi dan kesehatan hendaknya difokuskan pada kesehatan ibu, bayi dan anak berusia balita, khususnya ibu hamil sejak mulai hamil. Tabel. 7.7.8. Proporsi status gizi TB/U usia 5 – 12 tahun menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Kabupaten/ Kota Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI JAKARTA INDONESIA Status gizi menurut TBU (%) sangat pendek pendek normal 16,0 19,2 64,9 3,0 15,5 81,5 2,1 9,5 88,5 10,7 6,9 82,3 9,4 14,7 75,9 14,6 10,7 74,8 7,1 12,1 80,9 12,3 18,4 69,3 Total 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 Masalah kurang berat pada anak berusia balita tampaknya berlanjut pada kelompok usia berikutnya (512 tahun) bahkan di daerah yang sama dengan pola masalah kurang berat yang sama diidentifikasi pada anak berusia balita dan anak berusia 5-12 tahun (Tabel 7.7.10.). Kepulauan Seribu dan Jakarta Barat menghadapi masalah gizi kronis pada balita; ditegaskan dengan masalah kurang berat pada kelompok anak berusia 5-12 tahun. Hal ini menjelaskan asupan makan yang kurang seimbang dan infeksi penyakit menyebabkan partumbuhan anak terganggu secara kronis. 90 Tabel. 7.7.9 Proporsi status gizi TB/U usia 5–12 tahun menurut karakteristik responden, Riskesdas 2013 Karakteristik Responden Status Gizi Menurut TB/U (%) Pendek Normal Sangat Pendek Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan KK Tidak pernah sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Tamat D1-D3/PT Pekerjaan KK Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/buruh Lainnya Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas Jumlah 7,9 6,2 11,6 12,5 80,5 81,3 100,0 100,0 5,1 8,8 8,0 10,8 5,4 6,2 6,7 30,2 15,4 10,7 11,6 6,9 88,1 61,0 76,6 78,4 83,0 87,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 7,4 6,2 6,7 10,5 6,9 9,4 10,2 14,3 16,4 9,1 83,2 83,6 79,0 73,1 84,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 7,0 8,9 5,4 5,9 8,8 17,4 12,1 10,9 13,7 7,8 75,7 79,0 83,6 80,4 83,4 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 Tabel. 7.7.10 Prevalensi status gizi IMT/U usia 5 – 12 tahun menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Kabupaten/Kota Status Gizi IMT/U (%) Normal Gemuk Sangat Kurus Kurus Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara 8,5 3,8 3,6 6,8 4,4 3,0 3,7 5,8 5,7 5,5 6,8 7,5 60,5 59,8 66,1 58,0 54,7 56,7 13,9 15,6 12,6 14,7 18,2 19,9 13,4 15,0 12,0 15,0 15,9 12,9 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 DKI JAKARTA INDONESIA 4,0 4,0 6,3 7,2 59,6 70,0 16,1 10,8 14,0 8,0 100,0 100,0 91 Obesitas Jumlah Tabel. 7.7.11 Prevalensi status gizi IMT/U usia 5 – 12 tahun menurut karakteristik responden, Riskesdas 2013 Status Gizi Menurut IMT/U Karakteristik Responden Sangat Kurus Kurus Normal Gemuk Obesitas (%) (%) (%) (%) (%) Jenis Kelamin Laki-laki 4,4 6,4 55,6 15,3 18,3 Perempuan 3,6 6,1 63,8 16,9 9,6 Pendidikan KK Tidak pernah sekolah 3,2 93,7 3,1 Tidak tamat SD 8,4 9,8 59,9 12,8 8,4 Tamat SD 5,6 5,2 63,2 15,9 5,6 Tamat SLTP 1,8 8,7 59,5 19,2 1,8 Tamat SLTA 4,2 5,7 61,1 15,1 4,2 Tamat D1-D3/PT 4,3 4,9 47,8 16,7 4,3 Pekerjaan KK Tidak bekerja 3,9 3,6 65,9 18,5 8,1 Sekolah 3,6 5,0 58,2 16,4 16,8 Pegawai 3,2 8,1 59,7 14,0 15,0 Wiraswasta 6,2 5,9 58,8 18,9 10,2 Petani/nelayan/buruh 6,6 11,6 64,1 13,2 4,3 Lainnya 3,9 3,6 65,9 18,5 8,1 Kuintil Indeks Kepemilikan 4,7 8,5 66,4 15,2 5,2 Terbawah 3,4 5,9 59,6 17,0 14,1 Menengah bawah Menengah 3,3 5,7 66,8 13,5 10,7 Menengah Atas 6,2 8,1 53,1 16,2 16,3 Teratas 2,8 3,7 51,6 19,2 22,7 Jumlah (%) 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 Di samping masalah kurang berat, masalah obesitas juga sudah mulai tampak terutama pada kelompok kuintil teratas. Proporsi obese pada kelompok anak berusia 5-12 tahun sebesar 14,0 persen lebih besar dibandingkan angka nasional (8,0%). Semua wilayah di DKI Jakarta proporsinya di atas 10 persen (Tabel 7.6.10). Anak yang obese ini kemungkinan adalah anak yang lahir pendek dan setelah berusia 512 tahun, asupan makanan tidak terkontrol terutama pada anak laki-laki. Semakin tinggi kuintil, proporsi kegemukan semakin besar (Tabel 7.7.11). 7.7.3. Status gizi remaja berusia 13 -15 tahun 7.7.3.1 Status gizi remaja berusia 13-15 tahun menurut indikator TB/U dan IMT/U Pada Tabel 7.7.12. disajikan proporsi kependekan pada remaja berusia 13-15 tahun. Proporsi kependekan pada remaja umur 13 -15 tahun di DKI Jakarta sebesar 22,8 persen yang terdiri dari 8,4 persen sangat pendek dan 14,0 persen pendek, lebih redah dari rerata nasional (35,1%; sangat pendek 8,4 dan pendek 21,3%). Proporsi kependekan terendah di kabupaten/kota Jakarta Timur yaitu 7,9 persen dan tertinggi di Kepulauan Seribu sebesar 45,4 persen. Masalah kependekan di DKI Jakarta tampak di setiap segmen usia dan tahap pertumbuhan terutama di Jakarta Utara dan Kepulauan Seribu. Semakin bertambah usia proporsi kependekan ternyata relatif sama besar. 92 Tabel. 7.7.12. Proporsi status gizi TB/U remaja berusia 13 – 15 tahun menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Kabupaten/ Kota Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI JAKARTA INDONESIA Status Gizi menurut TBU sangat pendek pendek normal 26,5 18,9 54,6 10,1 12,3 77,6 1,0 6,9 92,2 9,7 13,2 77,1 10,3 17,7 72,0 17,0 26,0 57,0 8,4 14,0 77,6 13,8 21,3 64,9 Total 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 Pada remaja berusia 13-15 tahun, tidak dijumpai perbedaan proporsi kependekan menurut jender, namun ada kecenderungan berkaitan dengan pendidikan kepala keluarga dan kuintil indeks kepemilikan (status ekonomi). Semakin rendah pendidikan atau semakin rendah kelompok kuintil, semakin besar proporsi kependekan (Tabel 7.7.13). Proporsi kekurusan pada remaja umur 13-15 tahun sebesar 9,0 persen dengan rentang terendah 6,6 persen di Jakarta Selatan dan tertinggi 13,6 persen di Jakarta Utara. Proporsi kekurusan terdiri dari 1,8 persen sangat kurus dan 7,2 persen kurus (Tabel 7.7.14). Kekurangseimbangan asupan zat gizi ada kelompok usia ini dipengaruhi banyak faktor. Misalnya, aktivitas yang tinggi, persepsi postur yang ―bagus‖ atau sering berpuasa karena keyakinan (religi). Kelompok usia ini sebagian besar telah kendor kendali pengaturan makan oleh keluarga dan mulai bebas menentukan makanan sendiri. Namun demikian, kelompok ini perlu diyakinkan bahwa status gizi seimbang lebih baik dalam penampilan fisik dan intelektual termasuk kegiatannya. Masalah obesitas pada kelompok ini belum menjadi masalah (< 10%). Proporsi obese terbesar di Jakarta Selatan (8,7%) dan terkecil di Kepulauan Seribu (2,5%) (Tabel 7.7.14). Jika masalah obesitas diantisipasi dari masalah kegemukan, maka semua kabupaten/kota sudah harus menyusun program intervensinya. Keragaman proporsi obesitas menurut karakteristik jender tampak proporsi pada laki-laki lebih besar dibandingkan perempuan, namun proporsi pendidikan dan pekerjaan kepala keluarga, serta kelompok indeks kepemilikan tidak berpola teratur atau dengan kata lain faktor-faktor tersebut tidak tampak berpengaruh (Tabel 7.7.15). 93 Tabel 7.7.13 Proporsi status gizi TB/U usia 13 – 15 tahun menurut karakteristik responden, Riskesdas 2013 Karakteristik Responden Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan KK Tidak pernah sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Tamat D1-D3/PT Pekerjaan KK Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/buruh Lainnya Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas Status Gizi Menurut TB/U Pendek Normal (%) (%) Sangat Pendek (%) Jumlah (%) 9,6 7,2 12,5 15,3 77,9 77,4 100,0 100,0 23,9 13,8 7,4 10,4 5,9 12,6 23,1 18,5 25,2 14,2 10,8 7,0 53,0 67,7 67,5 75,4 83,3 80,5 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 4,8 6,6 10,3 11,5 8,5 14,8 10,6 12,6 21,6 17,3 80,4 82,8 77,0 67,0 74,2 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 15,2 6,6 6,7 7,7 8,6 18,8 23,9 9,0 12,0 9,2 66,0 69,5 84,3 80,3 82,1 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 Tabel.7.7.14 Proporsi kekurusan IMT/U usia 13 – 15 tahun menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Kabupaten/Kota Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI JAKARTA INDONESIA Sangat Kurus (%) 2,8 1,7 1,4 1,8 1,5 3,1 1,8 3,3 Kurus (%) 5,5 4,9 7,3 5,9 7,5 10,5 7,2 7,8 94 Status Gizi IMT/U Normal (%) 71,6 78,4 73,7 71,2 78,2 76,0 75,9 78,0 Gemuk (%) 17,5 6,3 12,6 16,5 9,0 4,3 9,4 8,3 Obesitas (%) 2,5 8,7 5,1 4,7 3,8 6,2 5,7 2,5 Jumlah (%) 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 Tabel.7.7.15 Proporsi kekurusan IMT/U usia 13-15 tahun menurut karakteristik responden, Riskesdas 2013 Karakteristik Responden Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan KK Tidak pernah sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Tamat D1-D3/PT Pekerjaan KK Tidak bekerja Sekolah Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/buruh Lainnya Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah Atas Teratas Sangat Kurus Status Gizi Menurut IMT/U (%) Kurus Normal Gemuk Obesitas Jumlah 2,9 0,8 9,9 4,7 69,1 81,8 11,7 7,4 6,4 5,1 100,0 100,0 23,9 3,3 0,0 2,7 1,8 1,0 0,0 7,5 14,3 5,2 6,8 0,9 60,5 80,9 73,5 72,9 76,8 77,6 15,6 8,4 8,7 11,0 9,5 8,2 0,0 0,0 3,4 8,2 5,1 12,3 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 1,2 2,2 1,0 3,2 0,0 1,2 7,5 8,4 5,0 8,3 4,6 7,5 77,8 68,9 84,8 76,9 74,8 77,8 10,2 13,3 3,0 8,6 14,0 10,2 3,3 7,2 6,3 3,0 6,6 3,3 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 3,8 2,1 2,6 0,0 1,2 11,4 2,4 8,9 9,6 4,1 73,8 79,2 74,2 78,9 72,3 7,3 12,2 8,6 9,1 9,6 3,7 4,1 5,7 2,4 12,9 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 7.7.4.1 Status Gizi Remaja Umur 16 – 18 tahun Menurut TB/U Data yang disajikan pada Tabel 7.7.16 mengenai proporsi kependekan remaja umur 16 – 18 tahun. Proporsi kependekan sebesar 20,4 persen di bawah angka nasional (31,4%). yang terdiri dari 4,5 persen sangat pendek dan 15,9 persen pendek. Rentang proporsi adalah 11,5 (Jakarta Pusat) dan 29,7 persen (Jakarta Barat). Proporsi kependekan di DKI Jakarta tampak kronis seperti yang divisualisasikan pada grafik 7.5. Tampak bahwa proporsi kependekan selalu di atas 20 persen kecuali pada kelompok 5,0-13 tahun. Kemungkinan pada kelompok ini terjadi pertumbuhan cepat pada anak (perempuan pada usia 812 tahun; laki-laki pada usia 10-14 tahun), namun potensi tingginya belum tercapai secara makisimal. Masalah kependekan ini sangat serius karena masalah sudah terjadi sejak anak berusia di bawah enam bulan dan masalah berlanjut pada usia yang lebih tua. Hal ini menunjukkan pemenuhan kebutuhan gizi belum menjadi prioritas keluarga. 95 Tabel. 7.7.16 Proporsi status gizi TB/U usia 16 – 18 tahun menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Status gizi (TB/U) sangat pendek pendek 2,5 18,6 6,9 7,0 8,5 13,0 1,7 9,8 3,0 26,7 ,7 16,2 4,5 15,9 7,5 23,9 Kabupaten/ Kota Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI JAKARTA INDONESIA normal 78,9 86,1 78,6 88,5 70,3 83,0 79,6 68,6 Total 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 proporsi kependekan (%) 35 30 25 20 15 10 5 0 0-0,6 0,6-1 1,0-2 2,0-3 3,0-4 4,0-5 5,0-13 13,0-16 16,0-18 Kelompok umur (tahun) Gambar. 7.5 Proporsi kependekan menurut kelompok umur Kependekan pada kelompok usia ini lebih besar ditemukan pada anak laki-laki. Kemungkinan hal ini disebabkan akhir pertumbuhan anak laki-laki lebih lambat dibandingkan anak perempuan. Masalah pendidikan yang rendah (SLP atau lebih rendah), pekerjaan kepala keluarga yang tidak memperoleh pendapatan tetap (petani/ nelayan/ buruh dan wirasuasta) dan ekonomi keluarga menengah ke bawah mengkodisikan keluarga dan anggota tidak optimal mencapai akses makanan yang seimbang dan pelayanan kesehatan yang memadai. 96 7.7.4.2. Status Gizi Remaja Umur 16 – 18 tahun Menurut IMT/U Proporsi kekurusan pada remaja berusia 16 – 18 tahun seperti disajikan pada Tabel. 7.7.18 menunjukkan bahwa proporsi kekurusan di DKI sebesar 11.1 persen, terdiri dari 1,9 persen sangat kurus dan 7,5 persen kurus. Proporsi terkecil di Kepulauan Seribu (6,9%) dan terbesar di Jakarta Selatan (17,8%). Proporsi kekurusan di DKI Jakarta lebih besar dari angka nasional. Proporsi kekurusan di Jakarta Selatan dan di Jakarta barat lebih besar dari angka nasional, sedangkan Jakarta Timur sama proporsinya. Proporsi kegemukan pada remaja umur 16 – 18 tahun sebesar 11,5 persen dengan rentang proporsi terkecil sebesar 6,9 persen di Jakarta Utara dan terbesar 15,7 persen (di Jakarta Timur). Menurut Karakteristik responden (Tabel 7.7.19), Lelaki lebih banyak yang mengalami kekurusan (Lk:pr = 14,9:7,7 %), tetapi lelaki obese sama banyak dengan perempuan. Kekurusan banyak dialami orang yang berpendidikan tidak tamat SD dan orang dari keluarga ekonomi cukup (kuintil teratas). Faktor jenis pekerjaan tampaknya bukan risiko terjadinya kekurusan. Proporsi kegemukan hampir dua kali lipat dari angka nasional. Masalah kekurusan seiring dengan masalah kependekan tetapi DKI juga sudah mulai menghadapi masalah kegemukan. Hal ini lebih menegaskan masalah gizi seimbang belum membumi di masyarakat atau belum merupakan prioritas hidup/ life style keluarga. DKI Jakarta di masa yang akan datang akan menghadapi masalah penyakit sindroma metabolik terutama diabetes mellitus type II dan jantung koroner. Penyakit sindroma metabolik merupakan faktor risiko utama pada kejadian kematian. Tabel 7.7.17. Prevalensi status gizi TB/U usia 16 – 18 tahun menurut karakteristik responden, Riskesdas 2013 Karakteristik Responden Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan KK Tidak pernah sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Tamat D1-D3/PT Pekerjaan KK Tidak bekerja Sekolah Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/buruh Lainnya Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas Status Gizi Menurut TB/U Pendek Normal (%) (%) Sangat Pendek (%) Jumlah (%) 5,8 3,3 23,8 8,8 70,4 87,9 100,0 100,0 0,0 0,1 6,4 9,9 2,7 ,7 0,4 12,5 20,5 20,1 15,7 4,0 99,6 87,4 73,1 70,0 81,6 95,3 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 4,6 1,5 7,7 3,4 10,1 4,6 12,2 14,4 11,5 29,2 20,0 12,2 83,2 84,0 80,8 67,5 69,9 83,2 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 8,4 1,7 8,4 1,3 3,3 21,2 22,1 14,3 16,4 6,7 70,3 76,1 77,3 82,3 90,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 97 Tabel. 7.7.18 Prevalensi status gizi IMT/U usia 16 – 18 tahun menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Status Gizi IMT/U Normal Gemuk (%) (%) Sangat Kurus (%) Kurus (%) Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara 0,0 7,0 1,1 ,5 ,6 3,1 6,9 10,8 8,3 8,4 10,5 5,7 79,7 69,1 75,0 76,8 79,7 84,3 DKI JAKARTA 2,3 8,8 INDONESIA 1,9 7,5 Kabupaten/Kota Obesitas (%) Jumlah (%) 9,6 3,8 8,4 10,2 8,4 6,3 3,8 9,3 7,3 4,1 ,9 ,6 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 77,4 7,3 4,2 100,0 83,2 5,7 1,7 100,0 Tabel. 7.7.19 Prevalensi status gizi IMT/U usia 16 – 18 tahun menurut karakteristik responden, Riskesdas 2013 Karakteristik Responden Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan KK Tidak pernah sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Tamat D1-D3/PT Pekerjaan KK Tidak bekerja Sekolah Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/buruh Lainnya Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah Atas Teratas Status Gizi Menurut IMT/U Normal Gemuk (%) (%) Sangat Kurus (%) Kurus (%) Obesitas (%) Jumlah (%) 2,4 2,3 12,5 5,4 75,0 79,5 5,7 8,8 4,5 4,0 100,0 100,0 0,0 4,5 1,1 1,8 3,0 0,0 0,0 21,2 9,6 2,9 8,1 0,0 66,8 60,6 78,9 84,6 77,1 66,8 33,2 11,5 6,3 6,6 6,5 33,2 0,0 2,2 4,0 4,1 5,3 0,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 1,8 3,8 2,3 0,0 0,0 1,8 11,3 8,8 9,2 5,7 10,5 11,3 72,6 76,4 74,8 87,1 80,2 72,6 14,0 6,1 8,1 3,3 9,3 14,0 ,4 4,9 5,6 4,0 0,0 0,4 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 ,1 3,8 ,2 2,0 5,3 5,1 8,6 7,1 8,3 14,1 88,3 72,4 81,4 77,8 68,8 4,5 8,9 8,5 6,2 7,8 2,0 6,3 2,8 5,7 4,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 98 7.7.5.Status Gizi Dewasa Status gizi dewasa adalah penilaian status gizi penduduk diatas 18 tahun yang dinilai dengan Indeks Massa Tubuh (IMT). Rumus perhitungan IMT adalah sebagai berikut: ( ) ( ) Batasan IMT yang digunakan untuk menilai status gizi pendudukdewasa adalah sebagai berikut: Kategori kurus IMT < 18,5 Kategori normal IMT >=18,5 - 24,9 Kategori BB lebih IMT >=25,0 - 26,9 Kategori obese IMT >=27,0 7.7.5.1. Status gizi dewasa menurut indeks masa tubuh (IMT) Tabel.7.7.20 disajikan proporsi kekurusan dan kegemukan penduduk umur dewasa berusia 19 tahun atau lebih tua menurut indeks massa tubuh (IMT) yang dibedakan laki-laki dan perempuan karena batas ukuran (cut off point) yang berbeda. Masalah kurus pada laki-laki (11,5%) lebih banyak daripada perempuan (7,0%). Masalah kegemukan terutama obesitas pada perempuan lebih banyak dijumpai (40,8%). Proporsi kegemukan lebih besar dari angka nasional. Obesitas pada perempuan muncul sejak usia 20 tahun, proporsinya meningkat mencapai terbesar pada usia 55 tahun, kemudian proporsi mengecil pada usia 65 tahun atau lebih. Namun demikian, tetap bermasalah. Pada laki-laki, obesitas mulai tampak pada 25 tahun. Polanya perkembangan masalah sama seperti pada perempuan. Baik pada perempuan maupun pada laki-laki, keduanya sudah harus diwaspadai sejak usia remaja. Semua penduduk lapisan ekonomi tidak terhindar dari masalah obesitas (Tabel 7.7.21.). Masalah kegemukan terutama obesitas adalah faktor risiko terjadi tekanan darah tinggi, penyakit jantung, stroke, diabetes mellitus, bahkan kegemukan berkonstribusi terhadap risiko kematian. Masalah kegemukan pada orang dewasa terjadi di semua wilayah, tetapi tidak untuk masalah kekurusan pada laki-laki yaitu di Jakarta Timur, Jakarta Selatan dan Jakarta Utara. Tabel. 7.7.20. Proporsi status gizi penduduk dewasa (>18 tahun) berdasarkan IMT menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Kabupaten/Kota Status Gizi Menurut IMT Laki-laki Kurus Normal BB Lebih Obese (%) (%) (%) (%) Status Gizi Menurut IMT Perempuan Kurus Normal BB Lebih Obese (%) (%) (%) (%) Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara 9,9 11,1 14,3 9,6 9,4 11,2 74,3 56,7 56,2 59,1 67,1 55,5 6,3 15,8 11,7 14,9 10,7 17,1 9,4 16,5 17,7 16,4 12,7 16,2 6,5 6,9 5,6 6,2 6,4 10,5 45,0 47,7 45,6 50,8 62,7 54,6 15,1 16,8 16,2 16,0 11,2 13,4 33,4 28,7 32,6 27,0 19,7 21,5 DKI JAKARTA INDONESIA 11,5 12,1 59,2 68,2 13,5 10,0 15,8 9,6 7,0 10,1 52,3 57,0 14,6 13,0 26,2 20,0 99 Tabel. 7.7.21. Proporsi status gizi penduduk dewasa (>18 tahun) berdasarkan IMT menurut karakteristik, Riskesdas 2013 Karakteristik Responden Kelompok Umur 19 20 – 24 25 – 29 30 – 34 35 – 39 40 – 44 45 – 49 50 – 54 55 – 59 60 – 64 65 + Pendidikan Tidak pernah sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Tamat D1-D3/PT Pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/buruh Lainnya Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas Status Gizi Menurut IMT Laki-laki Kurus Normal BB Lebih Obese Status Gizi Menurut IMT Perempuan Kurus Normal BB Lebih Obese 20,5 20,2 13,7 10,6 8,6 7,5 4,7 5,7 7,1 9,0 19,2 71,0 64,2 64,0 58,5 58,2 52,0 58,0 55,9 53,5 56,6 53,2 2,6 8,2 9,3 16,1 16,0 19,2 14,5 14,4 17,9 16,7 14,5 5,9 7,4 13,0 14,7 17,2 21,2 22,8 23,9 21,6 17,6 13,1 25,5 16,7 7,7 5,4 5,0 4,3 2,3 1,8 5,4 3,2 6,2 62,5 58,4 61,2 54,5 50,0 45,8 42,0 42,3 43,8 50,9 60,8 2,5 11,0 11,4 15,2 18,2 15,2 18,1 17,1 15,9 18,9 10,7 9,6 13,8 19,7 24,9 26,8 34,7 37,6 38,7 35,0 27,0 22,4 42,6 18,0 15,5 12,9 10,9 3,7 32,4 53,4 54,4 61,1 61,2 55,9 13,4 12,3 14,4 16,0 11,6 18,6 11,7 16,2 15,7 10,0 16,3 21,7 6,7 8,1 5,6 6,0 8,4 4,4 58,7 43,9 46,4 51,7 54,1 59,6 16,6 16,1 16,3 14,9 13,6 13,3 18,0 31,8 31,6 27,3 23,8 22,7 15,7 8,8 9,8 16,7 13,1 60,7 59,3 56,7 61,8 57,9 10,7 13,9 15,8 12,4 13,1 12,9 18,1 17,7 9,1 15,8 6,7 8,6 4,1 11,2 7,1 49,4 63,1 49,5 55,2 58,5 15,0 12,5 17,7 12,2 10,4 28,9 15,8 28,7 21,5 24,1 14,5 15,2 10,9 10,5 7,2 66,0 58,2 59,0 59,7 54,7 10,0 13,4 13,8 12,9 16,6 9,4 13,2 16,2 17,0 21,4 12,0 5,9 7,1 6,0 5,5 53,9 49,8 53,7 49,0 55,0 13,6 15,0 13,3 14,8 15,9 20,5 29,4 25,9 30,2 23,6 7.7.5.2. Status gizi dewasa berdasarkan indikator lingkar perut (LP) Informasi mengenai prevalensi obesitas sentral pada orang dewasa disajikan juga dengan lingkar perut (LP) dalam centimeter di samping dengan IMT. Untuk laki-laki dengan LP di atas 90 cm dan untuk perempuan di atas 80 cm dinyatakan sebagai obesitas sentral (WHO Asia-Pasifik, 2005). Obesitas sentral dianggap sebagai faktor risiko yang erat kaitannya dengan beberapa penyakit sindroma metabolik/kronis. Proporsi obesitas sentral untuk tingkat nasional adalah 26.6 persen, di DKI Jakarta sebesar 36,3 persen dengan rentang proporsi terkecil di Kepulauan Seribu (28,1%) dan terbesar di Jakarta Selatan (42,1%) (Tabel 7.7.22). 100 Tabel. 7.7.22 Prevalensi obesitas sentral pada penduduk umur 15 tahun ke atas menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Kabupaten/Kota Obesitas Sentral (LP: L > 90, P >80)(%) Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara 28,1 42,1 40,0 34,2 31,0 32,1 DKI JAKARTA INDONESIA 36,3 26,6 Tabel. 7.7.23 Prevalensi obesitas sentral pada penduduk umur 15 tahun keatas menurut karakteristik responden, Riskesdas 2013 Karakteristik Responden Kelompok Umur 15 – 24 25 – 34 35 – 44 45 – 54 55 – 64 65 – 74 75 + Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan Tidak pernah sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Tamat D1-D3/PT Pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/buruh Lainnya Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas Obesitas Sentra(%) 16,2 32,8 42,3 52,4 54,8 45,7 38,0 20,8 51,6 50,1 44,6 42,7 33,2 33,3 41,6 42,9 28,2 40,5 22,5 31,0 26,2 37,1 35,7 37,3 42,0 101 Pola proporsi obesitas sentral menurut kelompok usia sama seperti pola obesitas dengan indeks IMT/U, yaitu dimulai pada usia muda dan besar sebelum usia 55 tahun; kemudian menurun seiring dengan bertambah usia (Tabel 7.7.23). Proporsi obesitas sentral pada perempuan (51,6%) jauh lebih besar dibanding proporsi pada laki-laki (20,8%). Di DKI Jakarta obesitas tampak tidak terkait dengan pendidikan, jenis pekerjaan dan status ekonomi. Namun demikian, proporsi obesitas sentral terbesar pada kuintil teratas. Menurut tingkat pendidikan responden, proporsi terbesar kelompok pendidikan rendah dan menurut pekerjaan, paling besar pada responden yang tidak bekerja. 7.7.6. Status Risiko Kurang Energi Kronis (KEK) pada Wanita Umur 15-49 Tahun dan Wanita Hamil (WUS) Masalah gizi untuk menggambarkan risiko kurang enegi kronis (KEK) pada wanita berusia antara 15-49 tahun dan wanita hamil (wanita usia subur, WUS) diukur berdasarkan indikator Lingkar Lengan Atas (LiLA). Wanita usia subur berisiko KEK jika LILA kurang dari 23,5 cm. Proporsi WUS yang berisiko KEK untuk yang hamil 14,8 persen. Di Kepulauan Seribu, Jakarta Pusat dan Jakarta Barat tidak dapat disajikan angka proporsinya karena responden wanita hamil terlalu kecil atau tidak terjaring. Proporsi wanita tidak hamil berisiko KEK sebesar 14,8 persen dengan rentang terkecil di Kepulauan Seribu (7,7%) dan terbesar di Jakarta Selatan (18,4%). Secara kasar tampaknya berkaitan dengan proporsi bayi berusia kurang dari enam bulan yang pendek dan kurang gizi (Tabel 7.7.24). Wanita hamil yang berisiko KEK berpendidikan SMP atau lebih tinggi, sebagian besar bekerja, dan cenderung berasal dari status ekonomi yang baik. Namun pola proporsinya menurut tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan tidak jelas. WUS tidak hamil yang berisiko KEK besar tampak pada kelompok pendidikan SMA atau lebih tinggi dan pada kelompok kuintil teratas. Pada kelompok jenis pekerjaan, risiko paling besar pada WUS yang tidak bekerja. Kelompok ―lainnya‖ tidak dapat disebut karena jenis bekerjaannya tidak terdefinisikan (Tabel 7.6.25). Tabel. 7.7.24 Proporsi Wanita Usia Subur yang berisiko Kurang Energi Kronik menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Kabupaten/Kota Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI JAKARTA INDONESIA Proporsi WUS Berisiko KEK (%) Hamil Tidak Hamil 0,0 21,3 12,8 0,0 0,0 34,6 17,6 24,2 7,7 18,4 13,1 13,9 12,2 17,6 14,8 20,8 102 Tabel. 7.7.25 Proporsi Wanita Usia Subur yang berisiko Kurang Energi Kronik menurut karateristik, Riskesdas 2013 Kabupaten/Kota KEK (LILA < 23,5 cm) Hamil(%) Tidak Hamil(%) Pendidikan Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat D1-D3/PT 0,0 0,0 13,8 23,5 18,0 13,5 14,1 11,7 16,5 16,2 Pekerjaan Tidak Bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/Nelayan/Buruh Lainnya 20,5 5,8 41,2 0,0 0,0 16,2 13,3 7,7 15,3 17,1 7,5 7,1 13,0 25,7 24,2 19,1 14,3 16,3 12,4 13,1 17,6 24,2 14,8 20,8 Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas DKI JAKARTA INDONESIA 7.7.7. Konsumsi Garam Beriodium Iodium diperlukan untuk metabolisme energi, pertumbuhan fisik dan perkembangan otak terutama untuk janin dan anak yang sedang tumbuh. Keterjaminan semua orang terpenuhi kebutuhan iodiumnya dapat diketahui bila garam yang dikonsumsi cukup iodium. Informasi tentang kualitas garam beriodium yang dikonsumsi pada Riskesdas 2013 dilakukan dengan menguji kandungan iodium secara cepat sampel garam rumah tangga yang digunakan untuk memasak. Metode tes cepat dilakukan oleh petugas pengumpul data (enumerator). Garam ditetesi (2-3 tetes) dengan menggunakan larutan tes cepat pada sampel garam. Hasil tes cepat dapat dilihat dari perubahan warna garam. Hasil tes cepat garam berwarna biru/ungu tua mengindikasikan kualitas garam mengandung cukup iodium (30 ppm KIO3). Bila; berwarna biru/ungu muda maka kualitas garam mengandung tidak cukup iodium (< 30 ppm). Bila hasil tes ternyata garam tidak berwarna maka kualitas garam tidak mengandung iodium. Atas kualitas garam tersebut, rumah tangga dinyatakan mengonsumsi cukup iodium jika hasil tes berwarna ungu; tidak cukup iodium jika hasil tes berwarna ungu muda dan tidak mengonsumsi garam beriodium bila hasil tes cepat tidak berwarna. Besar proporsi rumah tangga yang tidak mengonsumsi garam beriodium mengindikasikan besar proporsi janin dan anak tidak terlindungi terhadap kegagalan pertumbuhan dan perkembangan termasuk kecerdasan. 103 Tabel.7.7.26 Proporsi rumah tangga yang mengonsumsi garam beriodium berdasarkan hasil tes cepat di kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Kabupaten/Kota Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI Jakarta INDONESIA Iodium Garam Dikonsumsi Cukup Kurang Tidak ada 81.6 18.4 0.0 81.9 14.8 3.3 77.8 18.0 4.2 91.2 7.5 1.3 88.8 6.6 4.5 86.6 10.8 2.6 83.9 12.6 3.5 77.1 14.8 8.1 Tabel 7.7.26 memperlihatkan proporsi rumah tangga menurut kualitas garam beriodium yang dikonsumsi di tiap kabupaten/ kota di DKI Jakarta. Konsumsi garam beriodium warga DKI termasuk cukup baik. Konsumsi dikatakan baik atau kelompok rentan kurang iodium terlindungi dan terjamin jika proporsi rumah tangga yang mengonsumsi garam beriodium dengan kualitas cukup sebesar 90 persen. Hasil tes cepat di DKI menunjukkan hanya Jakarta Pusat yang sudah mencapai batas 90 persen atau mencapai target Universal Salt Iodization (USI) atau ―garam beriodium untuk semua‖. 7.8. KESEHATAN ANAK DAN IMUNISASI Topik kesehatan anak bertujuan untuk memberikan informasi berbagai indikator kesehatan anak yang meliputi status kesehatan anak dan cakupan pelayanan. Untuk status kesehatan anak meliputi prevalensi berat badan lahir rendah (BBLR), panjang badan lahir pendek, gangguan kesehatan (sakit) pada bayi umur neonatus, cacat lahir atau kecacatan pada anak balita. Sedangkan indikator yang terkait dengan cakupan pelayanan kesehatan anak meliputi perilaku perawatan tali pusar bayi baru lahir, pemeriksaan bayi baru lahir, imunisasi, kepemilikan akte kelahiran, kepemilikan buku KMS dan KIA, pemantauan pertumbuhan, pemberian kapsulvitamin A, pemberian ASI dan MPASI, inisiasi menyusu dini (IMD), pemberian kolostrum, pemberian makanan prelakteal, ASI eksklusif, dan sunat perempuan. Pengumpulan data tentang berat dan panjang badan lahir pada Riskesdas 2013 dicatat atau disalin berdasarkan dokumen/catatan yang dimiliki oleh anggota rumah tangga, seperti buku KIA, KMS, atau buku catatan kesehatan anak lainnya. Selain itu, dikumpulkan pula informasi terkait dengan jenis gangguan kesehatan (sakit) pada bayi umur neonatus dan perilaku berobat kepada tenaga kesehatan. Informasi prevalensi anak umur 24-59 bulan yang mengalami kecacatan berdasarkan semua kecacatan yang dapat diobservasi termasuk karena penyakit atau trauma/kecelakaan. Anak yang mempunyai kecacatan termasuk anak berkebutuhan khusus, seperti: tuna netra (penglihatan/buta), tuna wicara (berbicara/bisu), down syndrom, tuna daksa (tubuh/cacat anggota badan), bibir sumbing, tuna rungu (pendengaran/tuli). Sedangkan informasi tentang cara perawatan tali pusar bayi baru lahir juga dikumpulkan dalam Riskesdas 2013. Menurut standar Asuhan Persalinan Normal (APN) tali pusar yang telah dipotong dan diikat, tidak diberi apa-apa. Sebelum metode APN diterapkan, tali pusar dirawat dengan alkohol atau antiseptik 104 lainnya. Selain itu, dikumpulkan pula informasi tentang kunjungan neonatal yang meliputi kunjungan pada saat bayi saat berumur 6-48 jam (KN1), 3-7 hari (KN2), dan 8-28 hari (KN3). Cakupan imunisasi pada Riskesdas 2013 ditanyakan kepada ibu yang mempunyai balita umur 0-59 bulan. Informasi imunisasi dikumpulkan berdasarkan empat sumber informasi, yaitu wawancara kepada ibu balita atau anggota rumah tangga yang mengetahui, catatan dalam KMS, catatan dalam buku KIA, dan catatan dalam buku kesehatan anak lainnya. Apabila salah satu dari keempat sumber tersebut menyatakan bahwa anak sudah diimunisasi, disimpulkan bahwa anak tersebut sudah diimunisasi untuk jenis yang ditanyakan. Program pengembangan imunisasi mencakup satu kali HB-0, satu kali imunisasi BCG, tiga kali imunisasi DPT-HB, empat kali imunisasi polio, dan satu kali imunisasi campak. Imunisasi BCG diberikan pada bayi umur kurang dari tiga bulan; imunisasi polio pada bayi baru lahir, dan tiga dosis berikutnya diberikan dengan jarak paling cepat empat minggu; imunisasi DPT-HB pada bayi umur dua bulan, tiga bulan empat bulan dengan interval minimal empat minggu; dan imunisasi campak paling dini umur sembilan bulan. Selain setiap jenis imunisasi, anak disebut sudah mendapat imunisasi lengkap bila sudah mendapatkan semua jenis imunisasi satu kali HB-0, satu kali BCG, tiga kali DPT-HB, empat kali polio, dan satu kali imunisasi campak. Jadwal imunisasi untuk HB-0, BCG, polio, DPT-HB, dan campak berbeda, sehingga bayi umur 0-11 bulan tidak dianalisis. Analisis dilakukan pada data anak umur 12-23 bulan, yang telah melewati masa imunisasi dasar. Selanjutnya informasi tentang kepemilikan akte kelahiran dan buku KMS dan KIA pada anak umur 0-59 bulan disajikan dalam laporan ini. Pemantauan pertumbuhan anak diperoleh dari frekuensi penimbangan anak umur 6-59 bulan selama enam bulan terakhir. Idealnya dalam enam bulan anak balita ditimbang minimal enam kali. Pemantauan pertumbuhan balita sangat penting dilakukan untuk mengetahui adanya gangguan pertumbuhan (growth faltering) secara dini. Untuk mengetahui pertumbuhan tersebut, penimbangan balita setiap bulan sangat diperlukan. Penimbangan balita dapat dilakukan di berbagai tempat seperti Posyandu, Polindes, Puskesmas atau sarana pelayanan kesehatan yang lain. Informasi tentang cakupan pemberian kapsul vitamin A pada anak umur 6-59 bulan disajikan dalam laporan ini. Kapsul vitamin A diberikan setahun dua kali pada bulan Februari dan Agustus, sejak anak berumur enam bulan. Kapsul merah (dosis 100.000 IU) diberikan untuk bayi umur 6-11 bulan dan kapsul biru (dosis 200.000 IU) untuk anak umur 12-59 bulan. Data tentang pola pemberian ASI dan pola pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) pada anak umur 0-23 bulan yang meliputi: proses mulai menyusu, inisiasi menyusu dini (IMD), pemberian kolostrum, pemberian makanan prelakteal, menyusu eksklusif, dan pemberian MP-ASI. Dalam buku ini ditampilkan proses menyusui dan menyusu ekslusif. Kriteria menyusu ekslusif ditegakkan bila anak umur 0-6 bulan hanya diberi ASI saja pada 24 jam terakhir dan tidak diberi makanan prelakteal. Sedangkan informasi tentang sunat pada perempuan umur 0-11 tahun, yang meliputi riwayat pernah disunat, umur ketika disunat, orang yang menyarankan untuk disunat dan tenaga penolong yang melakukan sunat. Secara keseluruhan, dalam laporan ini disajikan informasi menurut provinsi dan karakteristik. Karakteristik meliputi kelompok umur anak, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, tempat tinggal dan kuintil indeks kepemilikan. Pendidikan dan pekerjaan merupakan gambaran dari kepala rumah tangga. Gambar 7.6 menunjukkan jumlah responden yang dianalisis sesuai indikator yang diukur. 105 Perempuan umur 0-11 tahun (N=1.327) Anak umur 0-59 bulan (N=1.059) • Sunat perempuan • Kunjungan neonatus • Berat dan panjang lahir • Perawatan tali pusar • Kepemilikan KMS dan buku KIA • Kepemilikan akte kelahiran Anak umur 6-59 bulan (N=972) • Cakupan vitamin A • Pemantauan pertumbuhan Anak umur 24-59 bulan (N=660) • Kecacatan Anak umur 0-23 bulan (N=399) • ASI dan MPASI Anak umur 12-59 bulan (N=873) • Imunisasi Gambar 7.6 Jumlah sampel dan indikator kesehatan anak di provinsi DKI Jakarta, Riskesdas 2013 7.8.1 Status Imunisasi Kementerian Kesehatan melaksanakan Program Pengembangan Imunisasi (PPI) pada anak dalam upaya menurunkan kejadian penyakit pada anak. Program imunisasi untuk penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) pada anak yang tercakup dalam PPI adalah satu kali HB-0, satu kali imunisasi BCG, tiga kali imunisasi DPT-HB, empat kali imunisasi polio, dan satu kali imunisasi campak. Imunisasi BCG diberikan pada bayi umur kurang dari tiga bulan; imunisasi polio pada bayi baru lahir, dan tiga dosis berikutnya diberikan dengan jarak paling cepat empat minggu; imunisasi DPT-HB pada bayi umur dua, tiga, empat bulan dengan interval minimal empat minggu; dan imunisasi campak paling dini umur sembilan bulan. Dalam Riskesdas, informasi tentang cakupan imunisasi ditanyakan pada ibu yang mempunyai balita umur 0-59 bulan. Informasi tentang imunisasi dikumpulkan dengan empat cara yaitu: Wawancara kepada ibu balita atau anggota rumah tangga yang mengetahui, Catatan dalam Kartu Menuju Sehat (KMS), Catatan dalam Buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), dan Catatan dalam Buku Kesehatan Anak lainnya. Bila salah satu dari keempat sumber tersebut menyatakan bahwa anak sudah diimunisasi, disimpulkan bahwa anak tersebut sudah diimunisasi untuk jenis tersebut. Selain untuk setiap jenis imunisasi, anak disebut sudah mendapat imunisasi lengkap bila sudah mendapatkan semua jenis imunisasi satu kali HB-0, satu kali BCG, tiga kali DPT-HB, empat kali polio, 106 dan satu kali imunisasi campak. Oleh karena jadwal imunisasi untuk HB-0, BCG, polio, DPT-HB, dan campak yang berbeda, bayi umur 0-11 bulan tidak dianalisis cakupan imunisasi. Hal ini disebabkan bila bayi umur 0-11 bulan dimasukkan dalam analisis, dapat memberikan interpretasi yang berbeda karena sebagian bayi belum mencapai umur untuk imunisasi tertentu, atau belum mencapai frekuensi imunisasi tiga kali. Ada beberapa alasan untuk analisis imunisasi hanya 12-23 bulan, yaitu karena imunisasi kelompok umur anak 12-23 bulan dapat mendekati perkiraan ―valid immunization‖, survei-survei lain juga menggunakan umur 12-23 bulan untuk menilai cakupan imunisasi, sehingga dapat dibandingkan dan bias karena ingatan ibu yang diwawancara pada pengumpulan data lebih rendah dibanding kelompok umur diatasnya. Namun karena ada keterbatasan sampel maka untuk menggambarkan angka kabupaten/kota, analilis dilakukan dari data usia 12-59 bulan. Data berikut ini hanya menggunakan jawaban yang valid sesuai dengan pedoman yang ditentukan. Pada saat pengolahan data terdapat jawaban responden yang missing. Hal ini disebabkan ada beberapa responden yang tidak diketahui dengan jelas status imunisasinya karena beberapa alasan seperti ibu lupa anaknya sudah diimunisasi atau belum, lupa sudah berapa kali diimunisasi, tidak tahu secara pasti jenis imunisasi, catatan dalam KMS tidak lengkap/tidak terisi, tidak dapat menunjukkan buku KIA karena hilang, responden yang diwawancara bukan ibu balita, atau ketidakakuratan pewawancara saat proses wawancara dan pencatatan. Gambar 7.7. menunjukkan kecenderungan imunisasi lengkap di Indonesia yang meningkat dari tahun 2007 sampai tahun 2013 (41,6% menjadi 59,2%). Imunisasi tidak lengkap mengalami penurunan (49,2% menjadi 32,1%). Sedangkan untuk yang tidak diimunisasi cenderung konstan (9,1% menjadi 8,7%). Gambar.7.7. Kecenderungan imunisasi lengkap pada anak umur 12-59 bulan, Indonesia tahun 2007, 2010 dan 2013 Proporsi imunisasi dasar lengkap pada anak umur 12-59 bulan menurut kota di DKI Jakarta tahun 2013 dapat dilihat pada Tabel 7.8.1. Rata – rata DKI Jakarta untuk imunisasi lengkap ( 63,4%) lebih tinggi dibandingkan yang tidak lengkap (34,3%) dan yang tidak diimunisasi dasar (2,3%). Imunisasi dasar lengkap tertinggi ada di Kepulauan Seribu (89,9%) dan terendah ada di Jakarta Barat (51,0%). Untuk imunisasi dasar tidak lengkap paling tinggi barada di Jakarta Barat (45,1%) dan tidak diimunisasi paling tinggi di Jakarta pusat (5,4%)(Tabel 7.8.1). 107 Tabel 7.8.1. Proporsi imunisasi dasar lengkap pada anak umur 12-59 bulan menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Kabupaten/Kota Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI Jakarta Kelengkapan Imunisasi Dasar Lengkap Tidak Lengkap Tidak Imunisasi 89,9 7,5 2,6 76,7 22,0 1,3 64,9 33,2 1,9 54,6 40,0 5,4 51,0 45,1 3,8 62,7 36,1 1,2 63,4 34,3 2,3 Tabel 7.8.2. Proporsi imunisasi dasar lengkap pada anak umur 12-59 bulan menurut karakteristik, Riskesdas 2013 Karakteristik Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan KK Tidak pernah sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat D1/D2/D3/PT Pekerjaan KK Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/Nelayan/Buruh Lainnya Tempat Tinggal Perkotaan Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah Atas Teratas Lengkap Kelengkapan Imunisasi Dasar Tidak Lengkap Tidak Imunisasi 61,2 65,6 37,3 31,1 1,5 3,3 84,6 59,7 44,4 62,9 65,0 69,6 15,4 40,3 53,2 31,9 33,2 27,9 0,0 0,0 2,4 5,2 1,7 2,5 69,6 65,2 65,4 49,4 55,8 28,7 32,9 32,5 47,6 37,4 1,7 1,9 2,1 3,0 6,8 63,4 34,3 2,3 59,5 53,4 64,8 68,1 70,4 37,1 45,0 32,1 30,5 27,0 3,4 1,7 3,1 1,4 2,5 108 Tabel 7.8.3 Proporsi imunisasi dasar pada anak umur 12-59 bulan menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Kabupaten/Kota Jenis Imunisasi Dasar (%) BCG DPT-HB 3 Polio 4 HB-0 Campak Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara 100,0 90,9 96,6 80,9 81,7 77,8 100,0 95,4 95,9 82,7 85,4 85,5 100,0 85,9 84,2 78,9 62,3 77,8 100,0 82,9 79,0 74,5 71,5 71,3 100,0 90,0 80,6 89,2 82,4 88,8 DKI Jakarta 87,8 90,9 79,1 76,7 85,3 INDONESIA 79,1 87,6 75,6 77,0 82,1 Tabel 7.8.4 Proporsi imunisasi dasar pada anak umur 12-59 bulan menurut karakteristik, Riskesdas2013 Karakteristik Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan KK Tidak pernah sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat D1/D2/D3/PT Pekerjaan KK Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/Nelayan/Buruh Lainnya Tempat Tinggal Perkotaan Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah Atas Teratas HB-0 Proporsi Imunisasi Dasar (%) BCG DPT-HB Polio Campak 90,3 85,5 94,5 87,5 78,1 80,0 73,8 79,5 83,5 87,0 72,8 82,3 89,1 82,2 88,5 100,0 100,0 90,2 80,9 89,5 91,4 100,0 72,8 89,6 60,5 78,4 82,2 74,5 72,8 68,2 78,4 76,2 77,7 77,5 100,0 92,2 78,0 81,6 85,5 90,7 85,7 89,0 94,2 67,1 82,2 82,1 98,0 91,3 62,7 85,3 74,3 83,8 82,2 56,7 67,9 77,8 79,9 77,7 59,7 68,7 92,7 82,9 90,0 72,8 85,3 87,8 90,9 79,1 76,7 85,3 86,9 88,4 83,4 92,6 88,4 87,1 90,1 83,8 98,9 98,0 73,6 76,6 75,4 87,4 85,1 84,9 70,8 73,1 84,4 72,7 85,4 91,3 79,0 74,7 99,0 Proporsi imunisasi dasar lengkap pada anak umur 12-59 bulan menurut karakteristik, DKI Jakarta 2013 ada pada Tabel 7.8.2. Berdasarkan Tabel 7.8.2. tidak ada perbedaan berarti untuk kelengkapan imunisasi berdasarkan jenis kelamin. Imunisasi lengkap cenderung meningkat seiring dengan tingkat 109 pendidikan. Sedangkan imunisasi tidak lengkap cenderung meningkat pada tingkat pendidikan rendah. Pekerjaan petani/nelayan/buruh merupakan pekerjaan yang memiliki nilai kelengkapan imunisasi dasar terendah (49,4%). Kelengkapan imunisasi dasar meningkat seiring dengan peningkatan kuintil indeks kepemilikan (Tabel 7.8.2). Tabel 7.8.3 menunjukkan Kepulauan Seribu menduduki urutan tertinggi menurut seluruh jenis imunisasi (100%). Rata-rata DKI Jakarta menurut jenis imunisasinya paling tinggi adalah imunisasi BCG (90,9%) dan paling rendah polio_4 (76,7%). Tabel 7.8.4 menunjukkan proporsi cakupan imunisasi dasar pada anak umur 12-59 bulan menurut karakteristik untuk provinsi DKI Jakarta tahun 2013. Pekerjaan kepala keluarga petani/nelayan/buruh selalu memiliki nilai terendah untuk seluruh jenis imunisasi yang diberikan (HB-0, BCG, DPT-HB, Polio, Campak). 7.8.2. Kunjungan Neonatal Pengumpulan data ditujukan kepada responden ibu yang mempunyai anak berusia kurang dari lima tahun. Pengumpulan data Kunjungan Neonatal (KN) bertujuan untuk memperoleh informasi tentang kunjungan/pemeriksaan neonatal (bayi baru lahir) atau kunjungan neonatal (KN1, KN2, dan KN3), bagi berumur: a. 6 – 48 jam setelah lahir (KN1) : Dalam waktu 6 – 48 jam setelah kelahiran, bayi dan ibu perlu mendapat pemeriksaan kesehatan, baik mengunjungi ataupun dikunjungi oleh petugas kesehatan ke rumah responden. Pemeriksaan bayi yang dilakukan setelah lebih dari 48 jam tidak termasuk sebagai pemeriksaan dalam kurun waktu 6-48 jam tetapi termasuk dalam kurun waktu 3-7 hari setelah lahir. Jadi pemeriksaan setelah bayi berumur lebih dari 48 jam tidak dianggap sebagai KN-1 tetapi termasuk pemeriksaan KN-2. b. 3 – 7 hari setelah lahir (KN2) : Bayi yang baru lahir dan ibu nifas perlu mendapat pelayanan kesehatan minimal satu kali, baik mengunjungi ataupun dikunjungi oleh petugas kesehatan ke rumah responden. Pemeriksaan bayi baru lahir yang termasuk pemeriksan dalam kurun waktu 3-7 hari setelah lahir adalah pemeriksaan bayi yang dilakukan setelah bayi berumur lebih dari 48 jam sampai bayi berumur 7 hari 59 menit, 59 detik, dan dianggap sebagai KN-2. c. 8 – 28 hari setelah lahir (KN3) : Bayi yang baru lahir dan ibu nifas perlu mendapat pelayanan kesehatan minimal satu kali, baik mengunjungi ataupun dikunjungi oleh petugas kesehatan ke rumah responden. Pemeriksaan bayi baru lahir yang termasuk pemeriksaan dalam kurun waktu 8-28 hari setelah lahir adalah pemeriksaan bayi yang dilakukan pada saat bayi telah berumur 8 hari sampai dengan bayi berumur 28 hari 59 menit, 59 detik, dan dianggap sebagai KN-3 Tabel 7.8.5. menunjukkan proporsi kunjungan neonatal pada anak berumur 0-59 bulan menurut karakteristik di Propinsi DKI Jakarta tahun 2013. Dari Tabel 7.8.5. dapat dilihat bahwa seluruh karakter (Jenis Kelamin, Pendidikan Kepala keluarga, Pekerjaan kepala keluarga, Kuintil Indeks Kepemilikan) memiliki kunjungan KN 1 cenderung lebih tinggi dibanding KN 2 dan paling rendah adalah KN 3. Terdapat kecenderungan semakin tinggi tingkat pendidikan dan Kuintil Indeks Kepemilikan maka semakin tinggi pula tingkat kunjungan neonatalnya (KN). Pekerjaan kepala keluarga petani/nelayan/ buruh selalu memiliki nilai terendah untuk KN1-KN3. Tabel 7.8.5. 110 Proporsi kunjungan neonatal pada anak anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik, Riskesdas 2013 Karakteristik Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan KK Tidak pernah sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat D1/D2/D3/PT Pekerjaan KK Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/Nelayan/Buruh Lainnya Tempat Tinggal Perkotaan Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah Atas Teratas KN1 (6 – 48 jam) Kunjungan Neonatal (%) KN2 (3 – 7 hari) KN3 (8 – 28 hari) 81,0 84,7 74,5 75,3 68,3 71,9 88,6 68,5 54,4 77,2 87,8 93,2 66,0 71,8 60,7 70,7 75,5 89,1 53,3 71,1 51,9 65,5 72,8 77,3 76,3 89,0 74,0 77,7 89,0 64,6 79,3 73,0 64,7 82,0 59,1 74,4 69,0 59,3 76,6 82,8 74,9 70,1 68,4 82,7 83,9 88,2 86,3 65,6 72,8 76,5 77,2 79,6 59,6 67,2 71,8 69,5 79,9 Tabel 7.8.6. menunjukkan proporsi kunjungan neonatal lengkap (KN1, KN2, KN3) pada anak anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik di provinsi DKI Jakarta tahun 2013. Untuk kelengkapan KN juga masih dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan Kuintil Indeks Kepemilikan . Dimana makin tinggi tingkat pendidikan dan Kuintil Indeks Kepemilikan cenderung semakin tinggi kelengkapan kunjungan neonatal (KN) nya. Pekerjaan kepala keluarga tidak bekerja dan Petani/Nelayan/Buruh memiliki tingkat kelengkapan KN yang paling rendah. 111 Tabel 7.8.6. Proporsi kunjungan neonatal lengkap (KN1, KN2, KN3) pada anak anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik, Riskesdas 2013 Karakteristik Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan KK Tidak pernah sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat D1/D2/D3/PT Pekerjaan KK Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/Nelayan/Buruh Lainnya Tempat Tinggal Perkotaan Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah Atas Teratas Tidak Pernah KN Kategori Kunjungan Neonatal KN Tidak Lengkap KN Lengkap 10,8 6,9 32,2 33,5 57,0 59,6 11,4 16,4 26,4 11,7 6,3 1,1 46,5 30,7 35,1 36,2 33,0 26,3 42,0 52,8 38,5 52,1 60,7 72,6 16,9 6,1 11,5 12,0 1,7 31,1 27,9 37,5 47,3 29,0 52,0 66,1 50,9 40,7 69,4 8,9 32,8 58,3 14,4 9,4 8,6 8,5 4,8 41,0 36,5 30,4 29,7 29,5 44,6 54,1 61,1 61,8 65,7 7.8.3. Perawatan Tali Pusar Pengumpulan data Riskesdas 2013 juga menyediakan informasi perawatan tali pusar yang bertujuan untuk memperoleh cara perawatan tali pusar bayi baru lahir. Pengumpulan data ditujukan kepada responden ibu yang mempunyai anak berusia kurang dari lima tahun. Menurut Asuhan Persalinan Normal ( APN), tali pusar yang telah dipotong dan diikat, tidak perlu diberi perlakuan apapun. Sebelum metode APN diterapkan, tali pusar dirawat dengan alkohol atau antiseptik lainnya. Namun, apabila persalinan ditolong oleh dukun, kemungkinan perawatan dengan cara tradisional yang aseptik masih dilakukan. Gambar 7.8 menunjukkan bahwa sudah terjadi penurunan perawatan tali pusar dengan alkohol/betadin (aseptic) sejak tahun 2010 (78,9% pada tahun 2010 menjadi 67,7% pada tahun 2013). Sedangkan pada perawatan tali pusar dengan tidak diberi perlakuan apapun mengalami peningkatan (11,6 % menjadi 22,2 %) 112 100,0 80,0 78,9 67,7 60,0 40,0 22,2 20,0 11,6 8,0 8,2 1,5 1,9 0,0 Betadine/alkohol Tidak diberi apaapa 2010 Ramuan/obat tradisional Obat tabur 2013 Gambar 7.8. Kecenderungan perawatan tali pusar bayi baru lahir Indonesia 2010 dan 2013 Tabel 7.8.7. menyajikan proporsi cara perawatan tali pusar pada anak usia 0-59 bulan menurut kota. Dari Tabel tersebut diketahui bahwa proporsi cara perawatan tali pusar pada propinsi DKI Jakarta sebagian besar rata-rata masih menggunakan betadine/alkohol (71,6%). Kota Jakarta Utara merupakan pengguna cara perawatan tali pusar tidak diberi apa-apa tertinggi yaitu 36,4%. Tabel 7.8.7. Proporsi cara perawatan tali pusar pada bayi baru lahir menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Kabupaten/Kota Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI Jakarta Tidak diberi apa-apa 23,4 20,7 30,0 28,4 22,2 36,4 27,0 Cara Perawatan Tali Pusar Diberi betadine/ Diberi alkohol obat tabur 0,0 76,6 0,0 78,9 0,0 70,0 69,8 0,8 77,8 0,0 56,2 1,3 71,6 0,3 113 Diberi ramuan/ obat tradisional 0,0 0,4 0,0 1,0 0,0 6,1 1,1 7.8.4. Pola Pemberian ASI Dalam Riskesdas 2013 dikumpulkan data tentang pola pemberian ASI dan pola pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) pada anak umur 0-23 bulan yang meliputi: proses mulai menyusu, inisiasi menyusu dini (IMD), pemberian kolostrum, pemberian makanan prelakteal, menyusui eksklusif, dan pemberian MP-ASI. Dalam buku ini ditampilkan proses menyusui dan menyusui ekslusif. Menyusui ekslusif jika anak usia 0-6 bulan hanya diberi ASI saja pada 24 jam terakhir dan tidak diberi makanan prelakteal. Menyusui sejak dini mempunyai dampak yang positif baik bagi ibu maupun bayinya. Bagi bayi, menyusui mempunyai peran penting yang fundamental pada kelangsungan hidup bayi, kolostrum yang kaya dengan zat antibodi, pertumbuhan yang baik, kesehatan, dan gizi bayi. Untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas bayi dan balita, Inisiasi menyusu dini mempunyai peran penting bagi ibu dalam merangsang kontraksi uterus sehingga mengurangi perdarahan pasca melahirkan (postpartum). Menyusui dalam jangka panjang dapat memperpanjang jarak kelahiran karena masa amenorhoe lebih panjang, pemulihan status gizi yang lebih baik sebelum kehamilan berikutnya. UNICEF dan WHO membuat rekomendasi pada ibu untuk menyusui eksklusif selama 6 bulan kepada bayinya. Sesudah usia 6 bulan bayi baru dapat diberikan makanan pendamping ASI (MP-ASI) dengan tetap memberikan ASI sampai minimal umur 2 tahun. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan juga merekomendasi kepada ibu untuk menyusui eksklusif selama 6 bulan kepada bayinya. Tabel 7.8.8. Proporsi proses mulai menyusu pada anak usia 0-23 bulan menurut kota, propinsi DKI Jakarta 2013. Berdasarkan tabel 3.13.14. proses mulai menyusu < 1 Jam (IMD) menduduki proporsi rata –rata tertinggi di propinsi DKI Jakarta yaitu 41,9%. IMD tertinggi berada di Kepulauan Seribu (85,5%) dan terendah di kota Jakarta Pusat (17,9%) Tabel 7.8.8. Proporsi proses mulai menyusu pada anak usia 0-23 bulan menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Kabupaten/Kota Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI Jakarta Kategori Proses Mulai Menyusu (%) < 1 Jam (IMD) 1-6 Jam 85,5 45,2 42,9 17,9 33,8 52,7 9,6 28,8 15,8 52,0 35,9 25,5 41,9 27,3 7-23 Jam 0,0 24-47 jam ≥ 48 jam 0,0 4,3 2,0 5,0 6,6 4,9 13,1 23,3 18,6 17,1 6,5 0,0 12,9 13,7 9,6 8,2 8,7 3,5 16,1 11,3 Proporsi proses mulai menyusui kepada bayi baru lahir menurut karakterisitik, pendidikan kepala keluarga (KK), pekerjaan KK, tempat tinggal, dan kuintil indeks kepemilikan disajikan pada Tabel 7.8.9. Proses mulai menyusui < 1 jam menurut kelompok umur dan jenis kelamin tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Demikian juga menurut tingkat pendidikan pekerjaan KK dan kuintil indeks kepemilikan tidak ada pola kecenderungan yang jelas. 114 Tabel 7.8.9. Proporsi proses mulai menyusui kepada bayi baru lahir menurut karakteristik, Riskesdas 2013 Karakteristik Kelompok Umur 0 – 5 bulan 6 – 11 bulan 12 – 23 bulan Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan KK Tidak pernah sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat D1/D2/D3/PT Pekerjaan KK Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/Nelayan/Buruh Lainnya Tempat Tinggal Perkotaan Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah Atas Teratas 7.8.5. < 1 Jam (IMD) Kategori Proses Mulai Menyusu 1-6 Jam 7-23 Jam 24-47 jam ≥ 48 jam 34,1 43,8 43,8 36,2 28,5 23,3 0,8 4,4 4,0 16,6 11,4 18,4 12,4 11,9 10,5 48,3 36,2 23,1 31,0 3,1 3,8 19,3 13,2 6,2 15,9 62,2 40,4 48,5 44,6 39,0 44,5 37,8 34,8 34,2 21,4 27,2 26,6 0,0 0,0 3,9 0,0 5,7 0,0 0,0 17,4 7,0 20,8 14,5 24,5 0,0 7,3 6,4 13,2 13,6 4,4 35,0 37,3 48,4 58,8 38,2 30,5 25,5 26,5 23,1 44,3 5,7 3,9 1,7 6,4 0,0 16,2 18,7 15,8 5,3 12,1 12,6 14,6 7,6 6,5 5,4 41,9 27,3 3,5 16,1 11,3 37,4 41,4 48,1 39,0 42,1 28,1 31,0 25,6 19,6 33,6 8,4 2,6 0,7 4,0 3,1 17,8 20,4 12,4 17,1 12,9 8,3 4,6 13,2 20,4 8,3 Sunat Perempuan Riskesdas 2013 menyajikan data atau informasi tentang kebiasaan/perilaku sunat pada anak perempuan usia 0-11 tahun. Proporsi pernah disunat pada anak perempuan usia 0 - 11 tahun menurut kota disajikan pada Tabel 7.8.10. Dari Tabel tersebut dihasilkan proporsi pernah disunat pada anak perempuan usia 0 - 11 tahun sebesar 51,2%, tertinggi di Kepulauan Seribu (97,2%) dan terendah di Jakarta Barat (56,0%). Tabel 7.8.11 menyajikan proporsi pernah disunat pada anak perempuan usia 0 - 11 tahun menurut pendidikan KK, pekerjaan KK, tempat tinggal, dan kuintil indeks kepemilikan. Terdapat kecenderungan bahwa semakin rendah tingkat pendidikan dan Kuintil Indeks Kepemilikan maka semakin tinggi nilai proporsiProporsi pernah disunat. 115 Tabel 7.8.10 Proporsi pernah disunat pada anak perempuan usia 0-11 tahun menurut kabupaten/kota, Riskesdas2013 Kabupaten/Kota Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI Jakarta Pernah disunat 97,2 71,4 77,9 71,0 56,0 62,4 68,1 Tabel 7.8.11. Proporsi pernah disunat pada anak perempuan usia 0 - 11 tahun yang menurut karakteristik Riskesdas 2013 Karakteristik Pernah disunat Pendidikan KK Tidak pernah sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat D1/D2/D3/PT Pekerjaan KK Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/Nelayan/Buruh Lainnya Tempat Tinggal Perkotaan Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah Atas Teratas 61,1 85,9 81,2 72,6 67,1 46,5 72,1 61,6 74,0 73,4 77,8 68,1 76,9 76,3 66,5 68,9 55,6 Gambar 7.9 menyajikan proporsi umur pertama ketika disunat pada anak perempuan usia 0 - 11 tahun di propinsi DKI Jakarta tahun 2013. Gambar menunjukkan bahwa usia 1-5 bulan merupakan proporsi tertinggi untuk dilakukan sunat yaitu 46,7%. Namun ada juga yang sudah melakukan sunat pada usia 0 bulan yaitu sebesar 15,5 %. 116 50 46,7 45 40 35 30 25 20 15,5 15 10 5 1,3 0,2 0,1 6-11 bulan 1-4 tahun 5-11 tahun 0 0 bulan 1-5 bulan Gambar 7.9. Proporsi umur pertama ketika disunat pada anak perempuan usia 0 - 11 tahun, Riskesdas 2013 7.9. KESEHATAN REPRODUKSI Kesehatan reproduksi (Kespro) mulai dimasukkan dalam Riskesdas 2010 yang hanya memberikan gambaran nasional dan provinsi. Riskesdas 2013 menyediakan informasi kesehatan reproduksi baik tingkat nasional, provinsi, bahkan kabupaten/kota (terbatas untuk indikator tertentu), sehingga provinsi dapat menilai cakupan pelayanan kesehatan ibu berbasis komunitas sebagai komplemen dari data rutin. Blok kespro menyediakan informasi status kesehatan ibu dan beberapa isu kesehatan reproduksi pada semua perempuan umur 10-54 tahun. Informasi yang dikumpulkan meliputi: 1) kejadian kehamilan saat wawancara yang ditanyakan dalam kuesioner rumah tangga; 2) penggunaan alat/cara Keluarga Berencana (KB); 3) cakupan pelayanan kesehatan ibu dari masa kehamilan sampai masa nifas dan 4) masalah kespro lainnya. Tujuan dari blok kesehatan reproduksi adalah menyediakan informasi yang terkait dengan MDGs ke lima yaitu meningkatkan status kesehatan ibu dan isu kesehatan reproduksi. Pertanyaan blok kesehatan reproduksi terkait dengan masalah kesehatan ibu, ditanyakan kepada semua perempuan 10-54 tahun. Hasil analisis disajikan berdasarkan kabupaten/kota dan karakteristik. Jumlah sampel yang digunakan untuk analisis disajikan dalam Tabel 7.9.1. 117 Table 7.9.1 Indikator utama, unit analisis dan jumlah sampel yang digunakan Blok Kesehatan Reproduksi, Riskesdas 2013 Indikator Kejadian kehamilan Proporsi kehamilan Penggunaan KB saat ini, CPR, jenis KB yang digunakan Tenaga & tempat pelayanan KB modern Alasan utama tidak KB Pemeriksaan kehamilan: K1, K1 ideal, K4 dan ANC minimal 4 kali Tempat dan tenaga ANC Konsumsi zat besi, buku KIA Cakupan pelayanan ibu bersalin: - Proporsi linakes, - Proporsi tempat bersalin Cakupan masa nifas (KF) Cakupan KB pasca salin Unit analisis Jumlah sampel Semua anggota rumah tangga perempuan 10-54 tahun Di Pelayanan program KB WUS (15-49 tahun) berstatus kawin WUS kawin yg menggunakan KB modern WUS kawin yang tidak menggunakan KB Pelayanan kesehatan ibu Masa kehamilan: Jumlah kelahiran (LH dan LM) dari riwayat kehamilan 1 Jan 2010 sd wawancara Jumlah kelahiran (LH dan LM) periode 1 Januari 2010 sd saat wawancara, yang melakukan ANC Saat bersalin: Jumlah kelahiran (LH dan LM) periode 1 Jan 2010 sd wawancara 5.112 Masa nifas: Jumlah kelahiran (LH dan LM) periode 1 Jan 2010 sd wawancara 2.717 1.415 1.287 668kelahiran 657 kelahiran 668 kelahiran 668 kelahiran Kehamilan Informasi tentang kehamilan ini memberi gambaran proporsi warga DKI Jakarta yang sedang hamil (Tabel 7.9.2). Proporsi kehamilan umur 10-54 tahun adalah 3,6 persen. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa warga DKI Jakarta yang sedang hamil pada saat dilakukan wawancara paling banyak pada kisaran umur 20-39 tahun. Paling banyak wanita hamil pada umur 25-29 tahun yaitu sebesar 9,5%. Umur termuda wanita usia subur ditemukan pada rentang 15-19 tahun. Sedangkan umur tertua untuk wanita hamil di DKI Jakarta berada pada kisaran umur 40-44 tahun. Pada rentang umur 25 sampai 44 tahun, terjadi penurunan 2 sampai 3,5 persen angka kehamilan tiap penurunan rentang usia 4 tahun. 118 Tabel 7.9.2 Proporsi penduduk sedang hamil dari laporan rumah tangga menurut kelompok umur, Riskesdas 2013 Kelompok umur (tahun) 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 10-54 DKI Jakarta 0,4 5,4 9,5 6,0 4,0 1,2 3,6 Pelayanan program Keluarga Berencana (KB) Pelayanan KB merupakan upaya untuk mendukung kebijakan program KB nasional. Salah satu indikator program KB yaitu penggunaan KB saat ini dan CPR (Contraceptive Prevalence Rate). CPR adalah persentase penggunaan alat/cara KB oleh pasangan usia subur (PUS) yaitu WUS (umur 15-49 tahun) berstatus menikah atau hidup bersama (Rajaguguk, Omas Bulan, 2010). Pada laporan ini, informasi tentang KB dianalisis pada kelompok WUS berstatus menikah atau hidup bersama. Analisis jenis alat/cara KB yang digunakan merujuk pada alat/cara KB yang paling efektif. a. Pola penggunaan KB saat ini Tabel 7.9.3 menunjukkan proporsi penggunaan KB di DKI Jakarta pada Riskesdas 2013 (54,0%). Penggunaan KB tahun 2013 bervariasi menurut kabupaten/kota, proporsi penggunaan KB saat ini terendah di Jakarta Timur (51,3%) dan tertinggi di Kepulauan Seribu (70,5%), proporsi WUS kawin yang tidak pernah menggunakan KB tertinggi di Jakarta Pusat (20,7%) dan terendah di Kepulauan Seribu (4,9%). Penggunaan alat/cara KB terdiri dari alat KB modern dan KB cara tradisional. Penggunaan menurut alat atau cara tersebut juga mencerminkan CPR KB modern dan CPR KB tradisional. Indikator CPR modern merupakan salah satu indikator MDGs kelima dengan target peningkatan CPR modern sebesar 65 persen (Kemenkes RI, 2011). Tabel 7.9.4(a+b) menunjukkan dominasi penggunaan alat/cara KB modern (53,4%). Provinsi dengan penggunaan KB modern adalah tertinggi di Kepulauan Seribu (70,5%) dan terendah di Jakarta Timur (49,8%). 119 Tabel 7.9.3 Proporsi WUS kawin menurut penggunaan alat/cara KB saat ini dan indikator CPR menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Menggunakan alat/ cara KB* Pernah Tidak Ya KB Pernah Kepulauan Seribu 70,5 24,6 4,9 Jakarta Selatan 57,3 29,2 13,5 Jakarta Timur 51,3 29,9 18,8 Jakarta Pusat 52,7 26,6 20,7 Jakarta Barat 54,3 26,3 19,4 Jakarta Utara 53,9 26,3 19,8 DKI Jakarta 54,0 28,0 18,0 Indonesia 59,7 24,7 15,5 *CPR = Contraseptive Prevalence Rate Kabupaten/Kota Total 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 Suatu Cara 70,5 57,3 51,3 52,7 54,3 53,9 54,0 59,7 CPR* Cara Cara Modern Tradisional 70,5 0,0 57,3 0,0 49,8 1,5 52,7 0,0 54,1 0,2 53,4 0,5 53,4 0,6 59,3 0,4 Tabel 7.9.4 a Proporsi penggunaan KB cara modern menurut jenis cara/alat KB dan kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Kabupaten/Kota Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI Jakarta Indonesia Susuk/ implant Sterilp ria 2,5 0,8 0,3 2,6 1,4 1,5 1,1 3,5 0,7 0,0 0,0 0,0 0,0 0,3 0,0 0,1 Sterilis asi wanita 1,1 0,4 2,3 2,3 1,1 1,3 1,4 2,3 Cara modern IUD/ AKDR/ Suntik spiral 0,0 55,6 7,8 31,1 7,4 24,7 9,0 28,5 8,4 28,9 2,6 34,7 7,1 29,2 4,3 34,4 Pil KB 10,6 16,3 13,9 8,9 13,1 10,7 13,3 13,9 Diafragma/ kondom wanita 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,8 0,1 0,1 Kondom pria 0,0 0,9 1,2 1,2 1,1 1,5 1,1 0,7 Tabel 7.9.4 b Proporsi penggunaan KB cara tradisional menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Kabupaten/Kota MAL Kepulauan Seribu 0,0 Jakarta Selatan 0,0 Jakarta Timur 0,2 Jakarta Pusat ,0 Jakarta Barat 0,0 Jakarta Utara 0,0 DKI Jakarta 0,1 Indonesia 0,1 MAL = Metode Amenorea Laktasi Cara tradisional Pantang Senggama berkala terputus 0,0 0,0 0,0 0,0 0,3 0,7 0,0 0,0 0,2 0,0 0,4 0,1 0,2 0,2 0,2 0,1 120 Lainn ya 0,0 0,0 0,3 0,0 0,0 0,0 0,1 0,0 Pernah KB Tidak pernah Total 24,6 29,2 29,9 26,6 26,3 26,3 28,0 24,7 4,9 13,5 18,8 20,7 19,4 19,8 18,0 15,5 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 Tabel 7.9.5 Distribusi persentase WUS kawin menurut penggunaan alat/cara KB saat ini dan indikator CPR menurut karakteristik, Riskesdas 2013 Karakteristik Ya Menggunakan KB Saat ini Pernah Tidak Total KB Pernah Kelompok Umur 15-19 th 62,6 6,4 20-24 th 57,3 14,2 25-29 th 58,9 19,1 30-34 th 58,4 27,0 35-39 th 58,5 27,3 40-44 th 49,1 35,1 45-49 th 35,3 49,3 Pendidikan Tidak sekolah 49,6 27,5 Tidak tamat SD 48,2 30,3 Tamat SD 55,9 31,4 Tamat SMP 55,2 31,9 Tamat SMA 55,3 25,5 Tamat PT 44,7 24,9 Pekerjaan Tidak bekerja 55,7 27,8 Pegawai 47,9 27,5 Wiraswasta 52,7 28,3 Petani/nelayan/ 62,5 27,3 buruh Lainnya 34,7 36,4 Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah 56,0 30,4 Menengah bawah 59,2 24,8 Menengah 57,8 26,0 Menengah atas 50,3 30,1 Teratas 46,9 29,6 *CPR = Contraseptive Prevalence Rate Cara Tradisional CPR Cara Modern Total 31,0 28,5 21,9 14,7 14,3 15,8 15,4 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 0,0 0,6 0,0 1,3 0,3 0,2 1,1 62,6 56,8 58,9 57,0 58,2 48,9 34,2 62,6 57,3 58,9 58,4 58,5 49,1 35,3 22,9 21,5 12,7 12,9 19,3 30,4 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 0,0 0,0 0,8 0,0 0,9 0,3 49,6 48,2 55,1 55,2 54,4 44,4 49,6 48,2 55,9 55,2 55,3 44,7 16,5 24,6 19,0 100,0 100,0 100,0 0,5 0,9 0,6 55,2 47,0 52,1 55,7 47,9 52,7 10,2 100,0 0,9 61,6 62,5 28,9 100,0 0,0 34,7 34,7 13,6 16,0 16,1 19,6 23,5 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 0,0 0,9 0,3 0,7 0,9 56,0 58,3 57,5 49,6 46,1 56,0 59,2 57,8 50,3 46,9 Tabel 7.9.5 menunjukkan bahwa proporsi penggunaan KB saat ini terbanyak pada kelompok umur muda yaitu 15-19 tahun (62,6%), sedangkan pada kelompok umur lebih tua masih rendah yaitu pada 45-49 tahun (35,3%). Berdasarkan status ekonomi terbanyak adalah menengah bawah (59,2%). WUS kawin yang tidak pernah menggunakan KB lebih banyak pada kelompok yang Tamat PT (30,4%) dan pada kelompok umur 15-19 tahun (31,0%). Tabel 7.9.6 menunjukkan distribusi penggunaan KB saat ini menurut jenis cara/alat KB dan kabupaten/kota di Provinsi DKI Jakarta, Riskesdas 2013. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa DKI Jakarta paling banyak menggunakan KB suntik yaitu 29,2 persen. Pengguna KB suntik terbanyak di Kepulauan Seribu (55,6%). Sedangkan Untuk pengguna suntik paling sedikit di Jakarta Timur (24,7%). Metode cara modern yang paling jarang digunakan adalah steril pria (0,0%) dan kondom wanita (0,1%). Terdapat empat metode yang paling banyak digunakan yaitu : Suntik (29,2%), Pil KB (13,3%), IUD/AKDR/spiral (7,1%), dan sterilisasi wanita (1,4%). Adapun warga DKI jakarta yang menggunakan cara KB tradisional tidak terlalu banyak jumlahnya ( berkisar 0,1-0,2%). 121 Tabel 7.9.5 a Distribusi penggunaan KB saat ini menurut jenis cara/alat KB dan karakteristik, Riskesdas 2013 Cara Modern Karakteristik Kelompok umur (tahun) 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD/MI Tamat SD/MI Tamat SMP/MTS Tamat SMA/MA Tamat D1-D3/PT Pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/buruh Lainnya Tempat Tinggal Perkotaan Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas Pil KB Diafragma/ kondom wanita Kondom pria 44,5 40,2 35,6 34,6 28,5 23,8 8,7 6,4 7,8 14,2 12,6 17,4 12,7 12,2 0,0 0,0 0,2 0,3 0,1 0,0 0,0 0,0 0,0 0,8 1,2 1,6 0,9 2,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 0,0 1,3 2,0 5,1 8,3 17,0 42,0 29,3 32,6 30,9 29,4 17,4 7,5 14,0 16,0 15,5 13,1 5,3 0,0 0,0 0,0 0,0 0,2 0,3 0,0 0,0 0,0 0,9 1,2 3,9 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 1,7 0,5 1,4 0,8 0,4 6,4 12,2 7,4 1,7 2,9 31,0 19,2 29,9 36,9 21,8 13,6 11,7 12,0 21,7 8,2 0,2 0,0 0,0 0,0 0,0 1,1 2,5 0,4 0,0 0,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 0,0 1,4 7,1 29,2 13,3 0,1 1,1 100,0 0,0 0,1 1,5 0,8 1,4 1,5 2,0 2,7 5,4 5,9 7,8 12,5 37,7 33,4 33,1 24,4 19,7 13,2 16,6 14,6 13,8 7,9 0,0 0,0 0,0 0,1 0,6 0,0 0,0 1,8 1,1 2,3 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 Susuk/ implant Steril pria Steril wanita IUD/ AKD/ spiral Suntik 0,0 1,7 1,0 0,8 0,8 1,2 1,5 0,0 0,0 0,0 0,1 0,1 0,0 0,0 0,0 0,0 0,5 0,6 2,3 2,3 3,1 11,7 7,1 6,6 6,7 7,4 8,0 6,6 0,1 1,5 1,7 0,7 1,2 0,0 0,0 0,0 0,2 0,0 0,0 0,0 0,0 2,1 2,7 2,1 0,8 0,5 1,2 0,8 0,9 0,5 1,5 0,0 0,2 0,0 0,0 0,0 1,1 0,9 2,0 0,7 0,9 0,9 0,1 Total b. Penggunaan KB menurut jenis kandungan hormonal dan jangka waktu efektivitas Berdasarkan jenis alat/cara KB modern dikelompokkan lagi menurut jenis kandungan hormonal dan jangka waktu efektivitas. Kelompok KB hormonal terdiri dari KB modern jenis susuk, suntikan dan pil sedangkan kelompok non hormonal adalah sterilisasi pria, sterilisasi wanita, spiral/IUD, diafragma dan kondom. Kelompok alat/cara KB modern menurut jangka waktu efektivitas untuk MKJP (Metode Kontrasepsi Jangka Panjang) terdiri dari susuk, sterilisasi pria, sterilisasi wanita serta, spiral/IUD, sedangkan kelompok non MKJP adalah jenis suntikan, pil, diafragma dan kondom. 122 Tabel 7.9.5 b Distribusi penggunaan KB saat ini menurut jenis cara/alat KB dan karakteristik, Riskesdas 2013 Karakteristik Kelompok umur (tahun) 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD/MI Tamat SD/MI Tamat SMP/MTS Tamat SMA/MA Tamat D1-D3/PT Pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/buruh Lainnya Status Ekonomi Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas MAL = Metode Amenorea Laktasi MAL Cara Tradisional Pantang Senggam berkala a terputus Lainnya Pernah KB Tidak pernah 0,0 0,0 0,0 0,3 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,6 0,0 0,2 0,4 0,0 0,6 0,0 0,0 0,3 0,0 0,6 0,0 0,0 0,0 0,5 0,0 0,0 0,0 6,4 14,2 19,1 27,0 27,3 35,1 49,3 31,0 28,5 21,9 14,7 14,3 15,8 15,4 0,0 0,0 0,0 0,0 0,1 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,4 0,3 0,0 0,0 0,8 0,0 0,2 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,2 0,0 27,5 30,3 31,4 31,9 25,5 24,9 22,9 21,5 12,7 12,9 19,3 30,4 0,0 0,0 0,5 0,0 0,0 0,2 0,2 0,1 0,9 0,0 0,3 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,7 0,0 0,0 0,0 27,8 27,5 28,3 27,3 36,4 16,5 24,6 19,0 10,2 28,9 0,0 0,3 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,3 0,3 0,3 0,0 0,6 0,0 0,3 0,1 0,0 0,0 0,0 0,0 0,5 30,4 24,8 26,0 30,1 29,6 13,6 16,0 16,1 19,6 23,5 Tabel 7.9.5 (a+b) menyajikan data Distribusi penggunaan KB saat ini menurut jenis cara/alat KB dan karakteristik di provinsi DKI Jakarta. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa DKI Jakarta paling banyak menggunakan KB suntik yaitu kelompok umur 15-19 tahun (44,5%). Berdasarkan tingkat pendidikannya maka pengguna KB suntik terbanyak adalah responden yang tidak sekolah yaitu 42,0%. Terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi kelompok umur , tingkat pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan maka semakin sedikit responden yang menggunakan KB suntik. Sedangkan berdasarkan pekerjaannya maka responden yang bekerja sebagai petani/nelayan/buruh (36,9%) dan tidak bekerja (31,0%) adalah pengguna KB suntik terbanyak. Berbeda dengan KB suntik maka KB steril justru meningkat seiring dengan pertambahan usia dan kuintil indeks kepemilikan. Untuk responden yang tidak pernah menggunakan KB paling banyak terdapat juga pada kelompok usia 15-19 tahun (31,0%), Tamat D1D3/PT (30,4%), Pegawai (24,6%) dan kuintil indeks kepemilikan teratas (23,5%). 123 Tabel 7.9.6 Proporsi WUS kawin yang menggunakan alat/cara KB modern berdasarkan kandungan hormon dan jangka waktu efektifitas KB menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Kabupaten/Kota Cara Modern Kandungan Hormon Non Hormonal1 Hormonal2 68,7 1,8 48,2 9,0 38,9 10,9 40,1 12,6 43,5 10,6 46,9 6,5 43,6 8,5 Jangka Efektivitas MKJP3 Kepulauan Seribu 70,5 4,3 Kota Jakarta Selatan 57,3 9,0 Kota Jakarta Timur 49,8 9,9 Kota Jakarta Pusat 52,7 13,9 Kota Jakarta Barat 54,1 11,0 Kota Jakarta Utara 53,4 5,8 DKI Jakarta 53,4 9,6 Keterangan : 1) Hormonal = Jenis KB modern susuk, suntikan KB, Pil. 2) Non Hormonal = Jenis KB modern IUD, sterilisasi pria, sterilisasi wanita, diafragma/kondom. 3) MKJP (Metode Kontrasepsi Jangka Panjang) = Susuk, sterilisasi pria, sterilisasi wanita, IUD 4) Non MKJP = suntikan, pil, difragma, kondom Non MKJP4 66,2 48,3 39,9 38,7 43,1 47,6 43,8 Pada Tabel 7.9.6. memperlihatkan dominasi kelompok hormonal dan non MKJP yang sangat dipengaruhi oleh penggunaan KB suntikan yang tinggi. Tabel tersebut menunjukkan pola penggunaan alat/cara KB modern berdasarkan kandungan hormon menurut kabupaten/kota. Proporsi penggunaan KB hormonal paling tinggi di Kepulauan Seribu (68,7%) dan paling rendah di Jakarta Timur (38,9%). Sementara untuk proporsi alat KB non hormonal paling tinggi juga ditemukan di Kepulauan Seribu (66,2%) dan paling rendah di Jakarta Pusat (38,7%). Proporsi penggunaan KB non MKJP tertinggi di Kepulauan Seribu (66,2%) dan paling rendah di Jakarta Pusat (38,7%). Proporsi penggunaan KB modern kelompok hormonal menurut karakteristik paling tinggi pada kelompok umur 25-29 tahun (50,8%), tamat SD (50,3%) dan Tidak sekolah (49,6%), petani/nelayan/buruh (59,1%) dan kuintil indeks kepemilikan menengah bawah (58,2%). Proporsi penggunan KB modern berdasarkan jangka waktu efektififas menurut karakteristik, non MKJP banyak digunakan oleh kelompok umur 15-19 tahun dan 25-29 tahun, tamat SLTP, petani/nelayan/buruh dan dengan kuintil indeks kepemilikan terbawah dan menengah bawah. Pengguna jenis MKJP paling tinggi pada kelompok umur 15-19 tahun dan 40-44 tahun, tidak tamat SD, pegawai dan dengan kuintil indeks kepemilikan teratas (Tabel. 7.9.7) 124 Tabel 7.9.7 Proporsi WUS kawin yang menggunakan alat/cara KB modern berdasarkan kandungan hormon dan jangka waktu efektivitas alat KB modern menurut karakteristik, Riskesdas 2013 Karakteristik Cara Modern Kandungan Hormon Non Hormonal1 Hormonal2 Jangka Efektivitas MKJP3 Kelompok Umur 15-19 th 62,6 51,0 11,7 11,7 20-24 th 56,8 49,7 7,1 8,8 25-29 th 58,9 50,8 8,2 8,1 30-34 th 57,0 48,1 9,0 8,3 35-39 th 58,2 46,7 11,5 10,5 40-44 th 48,9 37,7 11,2 11,5 45-49 th 34,2 22,4 11,8 11,2 Pendidikan Tidak sekolah 49,6 49,6 0,0 9,3 Tidak tamat SD 48,2 44,8 3,4 13,6 Tamat SD 55,1 50,3 4,8 9,7 Tamat SMP 55,2 47,1 8,1 3,0 Tamat SMA 54,4 43,7 10,6 4,8 Tamat PT 44,4 22,7 21,7 9,3 Pekerjaan Tidak bekerja 55,2 45,7 9,4 9,3 Pegawai 47,0 31,6 15,4 13,6 Wiraswasta 52,1 42,9 9,2 9,7 Petani/nelayan/buruh 61,6 59,1 2,5 3,0 Lainnya 34,7 31,4 3,3 4,8 Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah 56,0 51,9 4,2 5,1 Menengah bawah 58,3 52,0 6,3 8,3 Menengah 57,5 48,5 9,0 8,0 Menengah atas 49,6 39,1 10,5 10,2 Teratas 46,1 28,5 17,5 15,5 1) Hormonal = Jenis KB modern susuk, suntikan KB, Pil. 2) Non Hormonal = Jenis KB modern IUD, sterilisasi pria, sterilisasi wanita, diafragma/kondom. 3) MKJP (Metode Kontrasepsi Jangka Panjang) = Susuk, sterilisasi pria, sterilisasi wanita, IUD 4) Non MKJP = suntikan, pil, difragma, kondom Non MKJP4 51,0 48,0 50,8 48,8 47,7 37,4 22,9 45,8 33,4 42,4 58,6 29,9 45,8 45,8 33,4 42,4 58,6 29,9 51,0 50,0 49,5 39,5 30,6 c. Tempat dan tenaga untuk pelayanan KB modern Informasi tempat dan tenaga pelayanan KB modern bermanfaat untuk mengevaluasi pelaksanaan program pelayanan KB. Tabel . 7.9.8 memperlihatkan penggunaan tempat dan tenaga yang memberi pelayanan KB. Terlihat bahwa praktek bidan dan bidan banyak perperan dalam pelayanan KB. Proporsi tersebut bervariasi menurut karakteristik. Tempat yang banyak dikunjungi adalah praktek bidan (46,6%) dan paling kecil adalah Praktek Perawat (0,0%) (Tabel.7.9.9). Tabel 7.9.10 menunjukkan proporsi WUS kawin berdasarkan tenaga kesehatan yang memberi pelayanan KB. Tenaga yang paling banyak memberi pelayanan KB adalah bidan (67,2%), dibandingkan tenaga kesehatan lainnya. Proporsi WUS kawin berdasarkan tempat dan tenaga pemberi pelayanan KB modern menurut kabupaten/kota dan karakteristik dapat dilihat secara lengkap pada Tabel.7.9.9 dan 7.9.11 125 Tabel 7.9.8 Distribusi persentase WUS kawin yang menggunakan alat/cara KB modern menurut tempat mendapatkan pelayanan alat kontrasepsi dan kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Kabupaten/Kota RS Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI Jakarta Indonesia 1,6 9,7 13,6 10,3 13,9 7,2 11,3 6,5 Puskes mas/ Pustu 52,7 14,3 18,1 33,3 13,4 13,1 24,2 14,3 Klinik/ BP 1,1 8,1 2,8 10,1 6,1 10,9 6,9 1,6 Tim KB/ Medis Keliling 0,0 0,0 0,8 1,0 0,2 0,2 0,4 0,8 Praktek Dokter Praktek Bidan Praktek Perawat 2,6 4,1 0,8 2,8 6,7 3,1 3,5 1,9 37,1 48,7 46,8 33,1 48,8 47,9 46,6 54,6 3,9 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 2,0 Polindes /Poskes des 0,0 0,0 0,0 0,0 0,3 0,0 0,1 4,7 Pos yandu Apotek/ Lainnya Total 0,9 0,4 0,5 1,2 0,2 1,7 0,7 1,9 0,0 14,7 16,6 8,3 10,4 15,8 13,8 11,7 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 Tabel 7.9.9 Distribusi persentase WUS kawin yang menggunakan alat/cara KB modern menurut tempat mendapatkan pelayanan alat kontrasepsi menurut karakteristik, Riskesdas 2013 Karakteristik Kelompok umur (tahun) 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD/MI Tamat SD/MI Tamat SMP/MTS Tamat SMA/MA Tamat D1-D3/PT Pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/buruh Lainnya Kuintil indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas RS Puskesmas/ Pustu Klinik/ BP Tim KB/ Medis keliling Praktek dokter Praktek bidan Praktek perawat Polindes/ Poskesdes Posyandu Apotek/ lainnya 18,6 10,0 9,8 9,4 11,5 11,8 19,9 14,4 20,4 11,1 17,5 14,8 21,4 23,9 36,8 6,8 6,8 5,1 8,7 6,1 4,2 0,0 0,0 0,3 0,4 0,0 0,0 2,7 10,5 1,3 0,0 3,7 4,4 9,2 4,5 19,7 57,5 55,0 51,5 43,9 37,8 21,6 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,1 0,0 0,0 0,3 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,8 0,4 0,9 1,4 0,0 0,0 4,1 15,9 12,0 15,9 12,3 23,1 0,0 6,0 7,9 8,1 10,4 37,2 40,0 15,6 20,7 15,8 17,1 7,0 0,0 7,5 8,3 8,0 7,0 0,4 0,0 0,0 0,6 0,0 0,6 0,0 4,1 2,3 2,8 3,3 3,2 8,0 47,2 64,5 44,9 49,0 46,7 33,9 0,0 0,1 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,1 0,0 0,0 0,0 0,1 1,7 0,5 0,0 8,7 4,0 14,6 14,0 14,3 13,5 11,4 15,3 10,7 2,6 5,9 17,2 14,6 16,0 13,3 24,9 6,3 6,3 12,9 4,8 2,2 0,4 0,0 0,1 0,9 4,2 3,3 2,5 3,1 11,2 0,8 46,6 46,2 45,0 48,7 56,1 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,5 0,0 0,0 0,0 0,6 0,0 0,0 4,7 0,0 14,1 14,5 12,2 13,7 5,9 6,0 6,4 7,1 10,0 30,5 22,0 21,0 14,9 17,4 8,8 12,0 6,9 7,9 4,5 3,6 0,3 0,1 1,1 0,2 0,0 4,2 1,5 4,3 3,0 5,0 43,9 49,7 48,6 47,9 40,6 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,4 0,0 0,0 0,0 0,0 1,4 0,6 0,5 0,9 0,0 9,9 13,9 15,6 16,1 11,5 126 Tabel 7.9.10 Proporsi tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan KB menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Tenaga pelayanan KB Kabupaten/Kota Dokter kandungan & Dokter Bidan Perawat Lainnya Total kebidanan umum Kepulauan Seribu 1,6 2,6 93,3 2,4 0,0 100,0 Kota Jakarta Selatan 12,6 8,5 64,2 0,0 14,7 100,0 Kota Jakarta Timur 10,0 1,7 71,3 0,4 16,6 100,0 Kota Jakarta Pusat 12,1 7,6 72,0 0,0 8,3 100,0 Kota Jakarta Barat 11,6 12,4 65,2 0,4 10,4 100,0 Kota Jakarta Utara 8,7 10,5 64,6 0,4 15,8 100,0 DKI JAKARTA 11,0 7,8 67,2 0,3 13,8 100,0 INDONESIA 6,0 2,8 76,5 3,0 11,7 100,0 Tabel 7.9.11 Proporsi tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan KB dan karakteristik, Riskesdas 2013 Tenaga pelayanan KB Karakteristik Dokter kandungan & Dokter Bidan Perawat Lainnya Total kebidanan umum Kelompok umur (tahun) 15-19 7,5 39,8 52,7 0,0 0,0 100,0 20-24 7,7 6,4 80,9 0,9 4,1 100,0 25-29 8,8 4,3 71,0 0,0 15,9 100,0 30-34 7,1 7,6 72,7 0,6 12,0 100,0 35-39 12,6 8,9 62,6 0,0 15,9 100,0 40-44 13,1 14,0 60,6 0,0 12,3 100,0 45-49 23,5 4,2 48,7 0,5 23,1 100,0 Pendidikan Tidak sekolah 0,0 4,1 87,2 0,0 8,7 100,0 Tidak tamat SD/MI 3,4 3,6 89,0 0,1 4,0 100,0 Tamat SD/MI 6,5 10,2 68,2 0,5 14,6 100,0 Tamat SMP/MTS 7,1 6,9 71,7 0,3 14,0 100,0 Tamat SMA/MA 10,7 8,5 66,2 0,3 14,3 100,0 Tamat D1-D3/PT 37,9 4,1 44,6 0,0 13,5 100,0 Pekerjaan Tidak bekerja 10,6 7,9 67,2 0,2 14,1 100,0 Pegawai 16,1 6,8 62,3 0,2 14,5 100,0 Wiraswasta 9,6 8,8 69,4 0,0 12,2 100,0 Petani/nelayan/buruh 7,2 7,2 69,4 2,4 13,7 100,0 Lainnya 6,0 5,5 82,6 0,0 5,9 100,0 Tempat tinggal Perkotaan 11,0 7,8 67,2 0,3 13,8 100,0 Status Ekonomi Terbawah 6,2 13,1 70,3 0,6 9,9 100,0 Menengah bawah 5,3 9,2 71,7 0,0 13,9 100,0 Menengah 8,1 6,9 69,3 0,1 15,6 100,0 Menengah atas 9,0 5,8 68,9 0,2 16,1 100,0 Teratas 29,1 5,3 53,4 0,7 11,5 100,0 DKI JAKARTA 11,0 7,8 67,2 0,3 13,8 100,0 127 d. Alasan utama tidak menggunakan alat/cara KB Pada Riskesdas 2013, responden ditanyakan alasan utama tidak menggunakan alat/cara KB. Secara umum, alasan utama terkait dengan hak setiap perempuan untuk mempunyai anak sehingga tidak menggunakan KB. Alasan tidak menggunakan KB karena masalah fertilitas dan ingin punya anak mengindikasi kelompok yang tidak memerlukan KB. Alasan lainnya seperti masalah kepercayaan, dilarang suami/keluarga, kurang pengetahuan, masalah akses alat KB, takut efek samping dan alasan tidak nyaman dapat menjadi informasi penting bagi pemerintah dalam merancang program intervensi untuk meningkatkan cakupan KB. Secara keseluruhan alasan utama tidak menggunakan alat/cara KB menurut karakteristik di provinsi DKI Jakarta dapat dilihat pada Tabel 7.9.12. Tabel 7.9.12 Proporsi WUS kawin yang beralasan tidak KB menurut karakteristik, Riskesdas 2013 Karakteristik Kelompok umur (tahun) 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD/MI Tamat SD/MI Tamat SMP/MTS Tamat SMA/MA Tamat D1-D3/PT Pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/ buruh Lainnya Status Ekonomi Terbawah Menengah bawah Menengah Alasan Tidak KB Dilarang Kepercayaan/ Kurang suami/ dilarang agama pengetahuan keluarga Fertilitas/ Infecund Ingin punya anak Responden tidak ingin Takut efek samping Masalah akses alat KB Tidak nyaman 31,3 23,9 24,3 12,0 10,3 6,8 31,3 22,6 24,8 27,1 40,6 44,3 46,0 22,6 24,8 13,8 16,2 8,4 12,2 11,4 24,8 8,5 0,2 1,8 0,3 0,6 2,0 8,5 0,0 0,9 2,6 1,4 5,0 1,6 0,0 0,2 0,0 0,0 1,4 0,0 0,0 0,2 12,3 24,9 19,4 23,7 18,6 19,9 12,3 0,0 0,0 1,2 1,1 1,1 0,8 0,0 0,2 11,5 7,3 11,1 7,8 11,5 0,2 14,0 38,6 11,2 1,0 3,9 0,5 20,3 0,9 9,7 4,7 54,9 12,0 1,4 2,8 0,0 15,4 1,4 7,4 14,4 32,7 14,1 14,0 30,3 28,8 38,5 38,6 16,7 9,5 16,8 11,2 0,6 0,0 0,3 1,0 1,8 0,0 0,5 3,9 0,2 0,0 0,0 0,5 25,4 18,6 26,6 20,3 1,8 0,0 0,0 0,9 9,0 10,4 3,2 9,7 14,0 4,7 14,4 38,6 54,9 30,3 11,2 12,0 16,7 1,0 1,4 0,6 3,9 2,8 1,8 0,5 0,0 0,2 20,3 15,4 25,4 0,9 1,4 1,8 9,7 7,4 9,0 32,7 28,8 9,5 0,0 0,0 0,0 18,6 0,0 10,4 14,1 38,5 16,8 0,3 0,5 0,0 26,6 0,0 3,2 12,6 14,9 14,3 52,3 33,9 39,3 11,2 11,1 9,6 0,1 0,6 0,2 1,1 5,4 2,7 0,4 0,4 0,9 15,8 19,9 22,4 0,3 3,7 0,4 6,1 9,9 10,2 128 10,9 37,8 12,4 1,0 1,9 0,0 27,6 0,0 Menengah atas 13,5 40,3 15,3 2,5 4,7 0,0 13,0 1,2 Teratas Terdapat empat alasan yang paling banyak dikemukakan responden pada saat wawancara yaitu responden masih menginginkan punya anak, takut efek samping KB, alasan takut menjadi tidak subur (fertilitas/infecund) dan responden memang tidak menginginkannya. Alasan tersebut merupakan informasi yang dapat menjadi masukan bagi perencana program dalam merancang intervensi untuk meningkatkan pelayanan KB di provinsi DKI Jakarta. Pelayanan kesehatan masa kehamilan, persalinan, dan nifas Setiap kehamilan dapat menimbulkan risiko kematian ibu. Pemantauan dan perawatan kesehatan yang memadai selama kehamilan sampai masa nifas sangat penting untuk kelangsungan hidup ibu dan bayinya. Dalam upaya mempercepat penurunan kematian ibu, Kementerian Kesehatan menekankan pada ketersediaan pelayanan kesehatan ibu di masyarakat. Riskesdas 2013 menanyakan kepada semua perempuan 10-54 tahun yang pernah melahirkan. Selanjutnya pada responden yang pernah melahirkan (lahir hidup dan lahir mati) pada periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara ditanyakan lebih lanjut tentang pengalaman mendapat pelayanan kesehatan selama periode hamil sampai masa nifas. Analisis dilakukan terhadap 668 kelahiran untuk mendapat gambaran indikator pelayanan kehamilan, persalinan sampai masa nifas. Terdapat dua indikator MDGs yang diperoleh dari bagian ini yaitu cakupan ANC minimal satu kali dan ANC minimal 4 kali serta proporsi penolong persalinan oleh tenaga kesehatan yang kompeten. Definisi operasional indikator ANC K1 atau ANC minimal 1 kali adalah proporsi kelahiran yang mendapat pelayanan kesehatan ibu hamil minimal 1 kali tanpa memperhitungkan periode waktu pemeriksaan. K1 ideal adalah proporsi kelahiran yang mendapat pelayanan kesehatan ibu hamil pertama kali pada trimester 1. K4 adalah proporsi kelahiran yang mendapat pelayanan kesehatan ibu hamil selama 4 kali dan memenuhi kriteria 1-1-2 yaitu minimal 1 kali pada trimester 1, minimal 1 kali pada trimester 2 dan minimal 2 kali pada trimester 3. ANC minimal 4 kali adalah proporsi kelahiran yang mendapat pelayanan kesehatan ibu hamil minimal 4 kali tanpa memperhitungkan periode waktu pemeriksaan. a. Pelayanan kesehatan ibu hamil dan indikator cakupan ANC Antenatal Care (ANC) adalah pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan untuk ibu selama kehamilannya dan dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan yang ditetapkan dalam Standar Pelayanan Kebidanan/SPK (Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Kemenkes RI, 2010). Tenaga kesehatan yang dimaksud di atas adalah dokter spesialis kebidanan dan kandungan, dokter umum, bidan dan perawat. Pada laporan ini disajikan indikator ANC yang sesuai dengan MDGs (K1 dan ANC minimal 4 kali) maupun indikator ANC untuk evaluasi program pelayanan kesehatan ibu di Indonesia seperti cakupan K1 ideal dan K4. Tabel 7.9.13 menyajikan cakupan K1 ideal dan K4. Indikator K1 ideal dan K4 adalah indikator untuk melihat frekuensi yang merujuk pada periode trimester saat melakukan pemeriksaan kehamilan. Kementerian Kesehatan menetapkan K4 sebagai salah satu indikator ANC (Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Kemkes RI, 2010). Indikator K1 ideal dan K4 yang merujuk pada frekuensi dan periode trimester 129 8,4 9,6 saat dilakukan ANC menunjukkan adanya keberlangsungan pemeriksaan kesehatan semasa hamil. Setiap ibu hamil yang menerima ANC pada trimester 1 (K1 ideal) seharusnya mendapat pelayanan ibu hamil secara berkelanjutan dari trimester 1 hingga trimester 3. Tabel 7.9.13 menunjukkan bahwa 97,9 persen dari kelahiran mendapat ANC (K1). Cakupan K1 bervariasi dengan rentang antara 96,5 persen (Jakarta Selatan) dan 100,0 persen (Kepulauan Seribu). Namun untuk cakupan ANC K1 ideal (86,9%) yang dilakukan di DKI Jakarta masih berada dibawah angka K1 yaitu 97,9 persen (K1 atau ANC minimal 1 kali adalah proporsi kelahiran yang mendapat pelayanan kesehatan ibu hamil minimal 1 kali tanpa memperhitungkan periode waktu pemeriksaan). Selisih antara K1 ideal dan K1 menunjukkan adanya pemeriksaan kehamilan yang tidak optimal mendapat pelayanan ANC. Data dalam tabel 7.9.13 juga menunjukkan bahwa di DKI Jakarta kunjungan K4 nya masih berada di bawah K1 ideal, namun K4 minimal 4 kali mengalami kenaikan. Keadaan ini menunjukkan bahwa pelaksanaan kunjungan ANC masih belum memenuhi kriteria standar program nasional (K4 adalah proporsi kelahiran yang mendapat pelayanan kesehatan ibu hamil selama 4 kali dan memenuhi kriteria 1-1-2 yaitu minimal 1 kali pada trimester 1, minimal 1 kali pada trimester 2 dan minimal 2 kali pada trimester 3). Cakupan K1 ideal DKI Jakarta adalah 86,9 persen dengan cakupan terendah di Kepulauan Seribu (74,1%) dan tertinggi di Jakarta Pusat (89,4%). Cakupan K4 DKI Jakarta adalah 78,3 persen dengan cakupan terendah adalah Kepulauan Seribu (70,6%) dan tertinggi di Jakarta Barat (80,3 %). Berdasarkan penjelasan di atas, selisih dari cakupan K1 ideal dan K4 DKI Jakarta memperlihatkan bahwa terdapat 8,6 persen dari ibu yang menerima K1 ideal tidak melanjutkan ANC sesuai standar minimal (K4). Cakupan ANC di DKI Jakarta menurut karakteristik menunjukkan bahwa K1 dan K4 minimal 4x untuk kelompok risiko tinggi (umur <20 tahun dan ≥35 tahun) memiliki angka yang lebih tinggi dibanding kelompok umur non risiko tinggi ( umur 20-34 tahun). Sayangnya hal tersebut tidak diikuti dengan pemeriksaan K1 ideal dan K4 (program Kemenkes) dimana justru yang paling banyak melakukan kunjungan K1 ideal dan K4 adalah kelompok umur non risiko tinggi. Tabel 7.9.13 Proporsi melakukan dan cakupan ANC menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Kabupaten/Kota Melakukan ANC K1 Tidak Cakupan ANC Total K1 ideal1 ANC K42 ANC min 4x3 96,5 94,1 93,9 87,9 86,8 87,9 91,1 83,5 Kepulauan Seribu 100,0 0,0 100,0 74,1 70,6 Jakarta Selatan 96,5 3,5 100,0 84,5 79,9 Jakarta Timur 99,0 1,0 100,0 87,0 77,0 Jakarta Pusat 98,7 1,3 100,0 89,4 77,5 Jakarta Barat 97,1 2,9 100,0 89,1 80,3 Jakarta Utara 98,1 1,9 100,0 86,6 76,3 DKI Jakarta 97,9 2,1 100,0 86,9 78,3 INDONESIA 95,4 4,6 100,0 81,6 70,4 Keterangan : 1) ANC K1 ideal = ANC pertama kali pada trimester 1 2) ANC K4 = ANC 1-1-2 yaitu frekuensi ANC minimal 1 kali pada trimester satu, minimal 1 kali pada trimester dua dan minimal dua kali pada trimester tiga. 3) ANC min 4 kali = Frekuensi ANC sebanyak minimal empat kali selama kehamilan tanpa memperhatikan periode umur kandungan. 130 Tabel 7.9.14 menunjukkan bahwa yang paling banyak melakukan K1 ideal dan K 4 (sesuai program Kemkes) adalah kelompok umur 20-34 tahun, tidak sekolah, pegawai dan kuintil indeks kepemilikan teratas. Adapun karakteristik responden yang tidak melakukan ANC paling banyak adalah umur 20-34 tahun, tidak tamat SD/MI, wiraswasta dan kuintil indeks kepemilikan terbawah (Tabel.7.9.14). Tabel 7.9.14 Proporsi melakukan dan cakupan ANC menurut karakteristik, Riskesdas 2013 Karakteristik Umur saat bersalin (tahun)* <20 20-34 ≥35 Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD/MI Tamat SD/MI Tamat SLTP Tamat SLTA Tamat D1-D3/PT Pekerjaan Tidak berkerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/buruh Lainnya Kuintil indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas DKI Jakarta Melakukan ANC Ya (K1) Tidak Total K1 ideal Cakupan ANC ANC K4 ANC minimal 4x 100,0 97,6 99,0 0,0 2,4 1,0 100,0 100,0 100,0 83,1 88,2 78,5 74,6 79,3 72,7 95,0 90,7 91,8 100,0 96,1 96,4 97,6 97,9 100,0 0,0 3,9 3,6 2,4 2,1 0,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 61,7 85,6 86,4 88,1 85,7 100,0 61,7 76,6 77,1 78,9 79,8 100,0 96,1 86,8 88,0 92,0 95,3 97,5 100,0 96,3 100,0 100,0 2,5 0,0 3,7 0,0 0,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 86,5 94,4 88,9 86,8 48,0 77,3 87,0 80,8 80,8 48,0 91,3 96,6 86,2 88,8 67,8 93,1 98,0 97,4 100,0 100,0 97,9 6,9 2,0 2,6 0,0 0,0 2,1 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 83,4 85,0 87,9 88,6 88,7 86,9 73,1 73,4 82,2 76,7 84,7 78,3 88,4 89,1 93,2 87,2 97,2 91,1 b. Tenaga dan tempat pemeriksaan kehamilan Tenaga kesehatan yang kompeten memberi pelayanan pemeriksaan kesehatan ibu hamil adalah dokter kebidanan dan kandungan, dokter umum, bidan dan perawat (Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Kemkes RI, 2009). Fasilitas kesehatan disediakan untuk meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan ibu hamil dari rumah sakit hingga posyandu. Tabel 7.9.15 dan Tabel 7.9.17 adalah proporsi pelayanan ANC menurut tenaga dan tempat melakukan ANC di provinsi DKI Jakarta. Bidan merupakan tenaga kesehatan yang paling berperan (77,8%) dalam memberikan pelayanan kesehatan ibu hamil. Sedangkan fasilitas kesehatan yang paling banyak dimanfaatkan ibu hamil adalah praktek bidan (46,0%), Puskesmas/Pustu (23,9%) dan rumah sakit (17,8%). Pengguna jasa dokter spesialis kebidanan dan kandungan yang paling banyak berada di Jakarta Selatan (26,8%). Sedangkan di Kepulauan Seribu 100 persen menggunakan jasa bidan dan tidak ada yang menggunakan jasa dokter spesialis kebidanan dan kandungan. 131 Tabel 7.9.15 Proporsi tenaga kesehatan pemberi layanan ANC menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Tenaga yang memberi pelayanan ANC Kabupaten/Kota Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI JAKARTA Dokter kebidanan& kandungan Dr umum Bidan Perawat 0,0 26,8 20,8 15,6 18,7 20,1 21,3 0,0 0,0 0,0 6,0 1,4 0,7 0,9 100,0 73,2 79,2 78,3 79,4 79,2 77,8 0,0 0,0 0,0 0,0 0,4 0,0 0,1 Total 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 Tabel 7.9.16 Proporsi tenaga kesehatan pemberi layanan ANC menurut karakteristik, Riskesdas 2013 Kabupaten/Kota Umur saat bersalin (tahun)* <20 20-34 ≥35 Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD/MI Tamat SD/MI Tamat SLTP Tamat SLTA Tamat D1-D3/PT Pekerjaan Tidak berkerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/buruh Lainnya Kuintil indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas DKI JAKARTA Tenaga yang memberi pelayanan ANC Dokter kebidanan & Dr Bidan kandungan umum Perawat Total 9,4 21,4 26,7 2,4 0,6 2,5 88,1 77,9 70,8 0,0 0,1 0,0 100,0 100,0 100,0 3,3 0,0 8,8 6,9 21,4 64,7 0,0 0,0 0,5 1,3 0,6 2,5 96,7 100,0 90,7 91,8 77,9 32,8 0,0 0,0 0,0 0,0 0,1 0,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 19,3 36,4 14,6 6,0 22,5 0,6 2,2 0,0 8,0 0,0 80,0 61,4 85,4 86,0 77,5 0,1 0,0 0,0 0,0 0,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 5,2 12,9 16,3 20,8 49,6 21,3 1,6 0,0 0,0 1,4 1,8 0,9 93,3 87,1 83,3 77,8 48,5 77,8 0,0 0,0 0,3 0,0 0,0 0,1 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 132 Tabel 7.9.17 Proporsi tempat pemberian layanan ANC menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Kabupaten/Kota Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI Jakarta INDONESIA Rumah Sakit 0,0 17,9 18,1 21,2 18,5 14,4 17,8 Rumah Bersalin 0,0 12,8 6,7 7,5 4,6 5,6 7,7 6,5 3,5 Puskesm as/pustu 82,7 24,5 20,2 41,5 15,9 29,4 23,9 16,6 Tempat Pelayanan ANC Praktek Praktek Poskesdes/ dr/ klinik bidan polindes 0,0 17,3 0,0 3,0 40,4 0,0 7,9 46,6 0,5 2,2 27,5 0,0 0,8 59,0 0,0 2,4 46,0 0,0 3,9 45,6 0,2 4,3 52,5 6,0 Posyandu Lainnya Total 0,0 1,5 0,0 0,0 0,0 2,1 0,7 0,0 0,0 0,0 0,0 1,2 0,0 0,2 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 10,0 0,6 100,0 Posyandu Lainnya Total Tabel.7.9.18 Proporsi tempat pemberi layanan ANC menurut karakteristik, Riskesdas 2013 Karakteristik Umur saat bersalin (tahun)* <20 20-34 ≥35 Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD/MI Tamat SD/MI Tamat SLTP Tamat SLTA Tamat D1-D3/PT Pekerjaan Tidak berkerja Pegawai Wiraswasta Petani/Nelayan/Buruh Lainnya Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas DKI Jakarta Tempat Pelayanan ANC Praktek PoskesPraktek dokter des/ bidan /klinik polindes RS RB Puskesmas/ pustu 13,2 17,2 24,4 15,7 7,4 5,3 16,8 24,2 25,2 3,5 3,7 6,2 50,8 46,1 38,8 0,0 0,2 0,0 0,0 0,9 0,0 0,0 0,3 0,0 100,0 100,0 100,0 3,3 0,0 4,3 8,9 19,6 42,4 25,5 23,1 8,0 5,9 6,1 14,8 21,0 23,1 29,7 25,4 25,1 9,4 0,0 0,0 2,6 4,2 2,3 14,1 50,2 53,8 55,4 52,7 46,0 19,3 0,0 0,0 0,0 0,0 0,3 0,0 0,0 0,0 0,0 1,8 0,6 0,0 0,0 0,0 0,0 1,1 0,0 0,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 15,5 32,6 14,5 0,0 22,5 7,7 7,3 4,8 0,0 24,4 24,7 18,0 17,5 66,2 23,0 4,1 4,4 2,1 6,0 0,0 46,6 37,7 61,0 27,8 30,2 0,2 0,0 0,0 0,0 0,0 0,9 0,0 0,0 0,0 0,0 0,3 0,0 0,0 0,0 0,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 4,9 11,4 10,9 18,5 42,4 17,8 8,9 7,0 6,2 8,1 8,8 7,7 41,8 24,6 26,3 23,1 6,8 23,9 0,0 1,4 2,4 5,3 10,0 3,9 38,2 55,6 54,1 45,0 31,1 45,6 0,0 0,0 0,0 0,0 0,9 0,2 4,7 0,0 0,0 0,0 0,0 0,7 1,5 0,0 0,0 0,0 0,0 0,2 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 Tabel 7.9.16 menyajikan data tentang distribusi persentase kelahiran periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara yang melakukan pemeriksaan ANC menurut tenaga kesehatan yang memberi pelayanan ANC dan karakteristik di Provinsi DKI Jakarta. Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan dan status ekonomi maka pengguna 133 jasa dokter spesialis kebidanan dan kandungan semakin banyak. Hal ini berbanding terbalik dengan pengguna jasa bidan dimana terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan dan status ekonomi maka pengguna jasa bidan semakin sedikit (Tabel. 7.9.17). Tabel 7.9.18 merupakan data distribusi persentase kelahiran periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara yang melakukan pemeriksaan kehamilan menurut tempat saat menerima pelayanan ANC dan karakteristik di provinsi DKI Jakarta. Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa responden yang melakukan ANC di tempat praktek bidan sebagian besar adalah berumur < 20 tahun, tamat SD/MI, wiraswasta dan berada pada kuintil indeks kepemilikan menengah bawah. Sedangkan untuk responden yang melakukan ANC di rumah sakit sebagian besar berumur risiko tinggi (≥35 tahun), tamat D1-D3/PT, pegawai dan memiliki kuintil indeks kepemilikan teratas. Sedangkan untuk responden yang melakukan ANC di puskesmas/pustu sebagian besar berumur ≥ 35, tamat SD/MI, petani/nelayan/buruh dan memiliki kuintil indeks kepemilikan terbawah. c. Konsumsi pil zat besi Zat besi sangat dibutuhkan oleh ibu hamil untuk mencegah terjadinya anemia dan menjaga pertumbuhan janin secara optimal. Kementerian Kesehatan menganjurkan agar ibu hamil mengonsumsi paling sedikit 90 pil zat besi/ tambah darah selama kehamilan (Depkes RI, 2001). Pada Riskesdas 2013 ditanyakan konsumsi pil zat besi dan jumlah hari selama hamil. Zat besi yang dimaksud adalah semua kemasan yang mengandung zat besi yang dikonsumsi selama masa kehamilan termasuk yang dijual bebas maupun multivitamin yang mengandung zat besi. Tabel 7.9.19 menunjukkan responden yang mengonsumsi zat besi dan variasi jumlah asupan zat besi selama hamil di DKI Jakarta sebesar 90,5 persen. Di antara yang mengonsumsi zat besi tersebut, terdapat 43,7 persen mengonsumsi minimal 90 hari selama kehamilannya. Untuk jumlah hari mengonsumsi zat besi di DKI Jakarta (43,7%) masih berada diatas angka nasional (33,3%). Provinsi dengan asupan zat besi minimal 90 hari tertinggi di Jakarta Timur (61,7%) dan terendah di Kepulauan Seribu (5,5 %). Tabel 7.9.19 Proporsi ibu hamil yang mengonsumsi pil zat besi dan jumlah hari mengonsumsi menurut kabupaten/ kota, Riskesdas 2013 Kabupaten/Kota Mengonsumsi zat besi Ya Tidak Total 100,0 0,0 100,0 86,0 14,0 100,0 91,2 8,8 100,0 99,5 0,5 100,0 90,4 9,6 100,0 91,3 8,7 100,0 90,5 9,5 100,0 89,1 10,9 100,0 Jumlah hari mengonsumsi1) 90+ < 90 Lupa 5,5 34,1 60,4 45,0 16,5 24,6 61,7 14,3 15,3 28,3 34,7 36,4 28,1 22,7 39,5 34,4 37,4 19,6 43,7 22,0 24,8 33,3 34,4 21,4 Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI Jakarta INDONESIA Keterangan : Kolom jumlah hari mengonsumsi (90+, <90 dan lupa) pada Tabel 7.9.20 dan 7.9.21 merujuk pada jawaban responden yang mengonsumsi zat besi (kolom ‘Ya’) Proporsi semua responden yang melahirkan dalam periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara 134 Konsumsi zat besi menurut karakteristik pada Tabel 7.9.20 menunjukkan bahwa jumlah responden yang paling sedikit mengonsumsi zat besi minimal 90 hari berdasarkan umur adalah pada kelompok umur < 20 tahun. Terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan, maka semakin besar persentase cakupan konsumsi zat besi. Sedangkan untuk responden yang mengonsumsi zat besi minimal 90 hari paling jarang ditemukan pada pekerjaan petani/nelayan/buruh. Tabel 7.9.20 Proporsi ibu hamil yang mengonsumsi pil zat besi dan jumlah hari mengonsumsi menurut karakteristik, Riskesdas 2013 Jumlah hari mengonsumsi1) Mengonsumsi zat besi Karakteristik Ya Tidak Total 90+ < 90 Lupa Umur saat bersalin (tahun)* <20 81,1 18,9 100,0 32,0 27,1 22,0 20-34 90,7 9,3 100,0 45,2 20,3 25,2 ≥35 94,2 5,8 100,0 39,3 31,9 22,9 Pendidikan Tidak sekolah 100,0 0,0 100,0 12,2 46,5 41,3 Tidak tamat SD/MI 73,9 26,1 100,0 15,7 20,4 37,8 Tamat SD/MI 92,7 7,3 100,0 38,6 23,3 30,7 Tamat SLTP 84,9 15,1 100,0 31,0 30,3 23,6 Tamat SLTA 91,2 8,8 100,0 49,3 20,3 21,7 Tamat D1-D3/PT 97,2 2,8 100,0 52,1 11,5 33,7 Pekerjaan Tidak berkerja 90,2 9,8 100,0 41,6 22,2 26,3 Pegawai 93,5 6,5 100,0 53,4 17,9 22,3 Wiraswasta 92,6 7,4 100,0 55,9 21,7 15,0 Petani/nelayan/buruh 94,0 6,0 100,0 28,0 38,3 27,7 Lainnya 72,7 27,3 100,0 27,1 29,3 16,3 Kuintil indeks kepemilikan Terbawah 92,0 8,0 100,0 38,9 28,5 24,6 Menengah bawah 88,4 11,6 100,0 40,7 20,8 27,0 Menengah 90,9 9,1 100,0 53,7 15,8 21,4 Menengah atas 91,8 8,2 100,0 40,1 25,1 26,6 Teratas 89,5 10,5 100,0 42,4 22,1 25,0 DKI Jakarta 90,5 9,5 100,0 43,7 22,0 24,8 d. Kepemilikan buku KIA dan pelaksanaan P4K Buku Kesehatan Ibu dan Anak (Buku KIA) telah dirintis sejak 1997 dengan dukungan dari JICA (Japan International Cooperation Agency). Buku KIA berisi catatan kesehatan ibu (hamil, bersalin dan nifas) dan anak (bayi baru lahir, bayi dan anak balita). Buku KIA juga memuat informasi tentang cara memelihara dan merawat kesehatan ibu dan anak. Setiap kehamilan mendapat 1 buku KIA. Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) merupakan program terobosan Kementerian Kesehatan dalam pemberdayaan masyarakat tentang kesehatan ibu sebagai upaya untuk menurunkan kematian ibu (Factsheet Ditjen Bina Kesehatan Ibu). P4K adalah kegiatan pemberdayaan masyarakat yang difasilitasi oleh tenaga kesehatan, kader, tokoh agama/tokoh masyarakat untuk 135 meningkatkan peran aktif suami, keluarga dan masyarakat dalam perencanaan persalinan, persiapan menghadapi komplikasi kehamilan/persalinan, perencanaan penggunaan kontrasepsi pasca persalinan bagi setiap ibu hamil dengan menggunakan media stiker sebagai penanda. Wujud penerapan P4K tersebut juga dituliskan pada Buku KIA dalam lembar ‗Amanat Persalinan‘. Setiap kehamilan yang mendapat buku KIA dan membuat perencanaan persalinan dituliskan pada lembar tersebut (Kementerian Kesehatan, 1997). Pada Riskesdas 2013, enumerator menanyakan kepemilikan Buku KIA. Apabila responden bisa menunjukkan buku KIA, maka dilanjutkan dengan observasi 5 komponen P4K terhadap lembar Amanat Persalinan yang terkait dengan perencanaan persalinan, persiapan kegawatdaruratan dan perencanaan KB yaitu : 1. Penolong persalinan (nama-nama tenaga kesehatan yang akan menangani saat bersalin). 2. Dana persalinan (rencana sumber pembiayaan yang akan digunakan untuk biaya persalinan). 3. Kendaraan/ambulans desa (kendaraan yang disiapkan untuk membawa ibu hamil menuju tempat bersalin jika sewaktu-waktu akan melahirkan/perlu rujukan). 4. Metode KB (rencana jenis KB yang akan dipilih setelah melahirkan), dan 5. Sumbangan darah (nama-nama calon donor darah apabila sewaktu-waktu terjadi kasus perdarahan/komplikasi lain yang memerlukan sumbangan darah). Tabel 7.9.21 menunjukkan bahwa 71,9 persen responden mempunyai buku KIA, namun yang bisa menunjukkan hanya 29,5 persen. Variasi kepemilikan buku KIA dan bisa menunjukkan buku KIA menurut kabupaten/kota antara cakupan terendah di Jakarta Barat (24,7%) dan tertinggi di Jakarta Selatan (36,3%). Untuk cakupan angka kepemilikan buku KIA DKI Jakarta (71,9%) masih berada di bawah angka nasional (80,8%). Tabel 7.9.21 juga menunjukkan hasil observasi buku KIA terhadap 5 komponen P4K di DKI Jakarta menunjukkan bahwa isian penolong persalinan sebesar 32,8 persen, dana persalinan sebesar 17,8 persen, kendaraan/ambulans desa sebesar 15,9 persen, metode KB pasca salin sebesar 21,3 persen dan 13,6 persen untuk isian sumbangan darah. Kelengkapan isian pada semua komponen sebesar 12,9 persen dan 65,5 persen tidak ada isian. Hal tersebut dapat dijadikan bahan evaluasi agar kelengkapan isian P4K dapat lebih diperhatikan. Karena kelengkapan isian P4K dapat mencerminkan perencanaan persalinan dan pencegahan komplikasi persalinan yang lebih baik. Kepemilikan buku KIA dan isian 5 komponen hasil observasi menurut provinsi dan karakteristik dapat dilihat pada Tabel 7.9.22. Berdasarkan karakteristik dapat dilihat bahwa semakin muda usia maka semakin banyak responden yang dapat menunjukkan buku KIA. Sedangkan berdasarkan tingkat pendidikan maka terdapat kecenderungan semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin tinggi pula jumlah responden yang dapat menunjukkan buku KIA kecuali pada tingkat pendidikan Tamat D1-D3/PT jumlahnya mengalami penurunan. Berdasarkan pekerjaannya maka petani/nelayan/buruh merupakan kelompok yang paling sedikit yang dapat menunjukkan buku KIA. Berdasarkan kuintil indeks kepemilikan maka dapat dilihat bahwa semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan maka semakin banyak responden yang dapat menunjukkan buku KIA. Namun pada tingkat kuintil menengah atas sampai teratas terjadi penurunan. Sedangkan buku KIA yang tidak ada isian P4K nya terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan maka buku KIA yang tidak ada isian P4K cenderung semakin meningkat. 136 Tabel 7.9.21 Proporsi kepemilikan dan observasi isian buku KIA menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Kabupaten/Kota Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI Jakarta INDONESIA Ya, menunj ukkan 35,8 36,3 27,5 34,4 24,7 26,3 29,5 40,4 Memiliki buku KIA Ya,tidak Tidak menunjuk punya kan 50,1 14,1 35,8 28,0 38,1 34,4 38,1 27,4 49,1 26,2 55,1 18,6 42,4 28,0 40,4 19,2 Total Penolong persalinan 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 79,7 32,5 28,1 38,8 29,7 41,0 32,8 35,4 Hasil observasi isian buku KIA Meto Dana Kendar Donor de persalinan aan darah KB 51,0 57,0 52,5 57,0 13,2 12,9 21,1 12,9 13,5 11,6 17,7 9,8 22,3 14,6 24,9 10,6 19,5 16,3 17,6 11,5 30,1 30,1 30,1 26,2 17,8 15,9 21,3 13,6 17,3 14,4 19,2 12,1 Isian lengka p 32,3 12,9 7,6 10,6 11,5 26,2 12,9 10,7 Tidak adaisia n 20,4 67,5 71,3 54,9 64,2 59,0 65,5 64,0 Tabel 7.9.22 Proporsi kepemilikan dan observasi isian buku KIA menurut karakteristik, Riskesdas 2013 Karakteristik Ya, menunjuk kan Umur saat bersalin (tahun)* <20 20-34 ≥35 Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD/MI Tamat SD/MI Tamat SLTP Tamat SLTA Tamat D1-D3/PT Pekerjaan Tidak berkerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/buruh Lainnya Kuintil indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas DKI Jakarta Memiliki Buku KIA Ya, tidak Tidak menunjupunya kkan Hasil observasi isian buku KIA Total Penolong persalinan Dana persalinan Kendaraan Metode KB Donor darah Isian lengkap Tidak ada isian 41,6 40,6 39,7 41,4 40,4 40,0 17,0 19,0 20,3 100,0 100,0 100,0 52,1 30,8 36,5 44,2 16,5 13,0 44,2 14,2 13,0 31,7 21,0 18,2 31,7 12,9 9,4 31,7 12,0 9,4 47,9 67,8 58,3 28,8 36,4 40,8 43,8 40,2 36,0 34,7 37,7 38,6 40,2 42,4 43,6 36,5 25,9 20,7 16,0 17,4 20,4 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 36,8 38,9 17,6 38,9 36,1 13,7 0,0 0,0 5,0 17,8 22,4 7,8 0,0 0,0 5,2 19,8 18,7 6,4 0,0 0,0 9,2 26,3 24,9 7,8 0,0 0,0 9,4 12,6 16,4 6,4 0,0 0,0 3,4 12,5 16,4 6,4 63,2 61,1 80,9 58,7 62,0 86,3 41,6 38,3 40,5 36,0 38,9 39,4 43,6 45,0 40,0 43,9 19,0 18,1 14,5 24,0 17,1 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 34,3 11,9 40,9 74,3 15,6 11,5 53,7 65,3 10,3 14,6 5,9 40,9 65,3 10,3 19,9 11,5 53,7 65,3 10,3 12,6 0,0 40,9 65,3 10,3 11,9 0,0 40,9 65,3 64,4 88,1 46,3 25,7 89,7 36,9 39,0 39,5 41,2 44,2 42,4 29,5 18,1 14,3 17,1 20,7 28,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 47,2 35,6 30,2 23,1 20,5 32,8 30,1 19,8 12,9 10,3 12,0 17,8 28,4 17,9 10,6 7,6 11,1 15,9 28,7 23,5 19,3 18,9 12,0 21,3 27,2 8,9 10,0 7,6 11,1 13,6 25,0 8,9 9,3 7,5 11,1 12,9 52,8 59,1 69,2 74,1 79,5 65,5 33,6 43,0 46,2 41,8 35,1 29,5 137 e. Cara persalinan Masa bersalin merupakan periode kritis bagi seorang ibu hamil. Masalah komplikasi atau adanya faktor penyulit menjadi faktor risiko terjadinya kematian ibu sehingga perlu dilakukan tindakan medis sebagai upaya untuk menyelamatkan ibu dan anak. Tabel. 7.9.23 Proporsi cara persalinan menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Kabupaten/Kota Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI Jakarta Indonesia Normal Vakum Forcep 94,0 78,3 73,8 84,1 81,5 85,5 82,9 89,2 0,0 1,0 1,5 0,9 0,0 0,0 0,6 0,9 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,6 0,1 0,1 Operasi perut/ sesar 6,0 20,6 24,8 15,0 18,5 13,8 15,5 9,8 Total 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 Tabel 7.9.24 Proporsi cara persalinan menurut karakteristik, Riskesdas 2013 Karakteristik Umur saat bersalin (tahun)* <20 20-34 ≥35 Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD/MI Tamat SD/MI Tamat SLTP Tamat SLTA Tamat D1-D3/PT Pekerjaan Tidak berkerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/buruh Lainnya Kuintil indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas DKI Jakarta Normal Vakum Forcep Operasi perut/sesar Total 86,7 80,0 69,2 0,0 0,9 0,0 0,0 0,1 0,0 13,3 19,0 30,8 100,0 100,0 100,0 36,5 96,1 88,5 85,9 77,4 67,5 0,0 0,0 2,1 0,0 1,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,5 0,0 0,0 63,5 3,9 9,5 13,6 21,6 32,5 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 80,3 68,4 83,0 80,7 96,4 0,7 1,8 0,0 0,0 0,0 0,1 0,0 0,0 0,0 0,0 18,9 29,7 17,0 19,3 3,6 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 78,8 89,7 83,4 77,7 64,5 79,2 0,5 1,3 0,0 2,2 0,0 0,8 0,0 0,5 0,0 0,0 0,0 0,1 20,7 8,5 16,6 20,1 35,5 19,9 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 Di Indonesia, bedah sesar hanya dilakukan atas dasar indikasi medis tertentu dan kehamilan dengan komplikasi (Depkes, 2001c). Pada Riskesdas 2013 menanyakan proses persalinan yang dialami. Tabel 7.9.23 menyajikan proporsi persalinan dengan bedah sesar menurut kabupaten/kota di Provinsi DKI 138 Jakarta dan Tabel 7.9.24 menurut karakteristik. Hasil Riskesdas 2013 menunjukkan kelahiran bedah sesar di DKI Jakarta sebesar 19,9 persen dengan proporsi tertinggi di Jakarta Timur (24,8%) dan terendah di Kepulauan Seribu (6,0%) dan secara umum pola persalinan melalui bedah sesar menurut karakteristik menunjukkan proporsi tertinggi pada kuintil indeks kepemilikan teratas (35,5%), tinggal di perkotaan (13,8%), pekerjaan sebagai pegawai (29,7%) dan pendidikan tinggi/lulus PT (32,5%) dan berumur ≥ 35 tahun. f. Penolong persalinan Penolong persalinan oleh tenaga kesehatan yang kompeten merupakan salah satu indikator MDGs target kelima. Tenaga kesehatan yang kompeten sebagai penolong persalinan (linakes) menurut PWSKIA adalah dokter spesialis kebidanan dan kandungan, dokter umum dan bidan. Kementerian Kesehatan menetapkan target 90 persen persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan pada tahun 2012 (Depkes, 2000c). Untuk mengukur kemajuan dalam mencapai target ini, responden ditanya mengenai siapa saja yang menolong selama proses persalinan. Dalam analisis Riskesdas, penolong persalinan dinyatakan dalam penolong persalinan kualifikasi tertinggi dan kualifikasi terendah. Penolong persalinan dengan kualifikasi tertinggi apabila lebih dari satu penolong maka dipilih yang paling tinggi. Penolong persalinan dengan kualifikasi terendah apabila lebih dari satu penolong maka dipilih tenaga dengan kualifikasi yang paling rendah. Tabel 7.9.25 Proporsi kualifikasi tertinggi penolong persalinan menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Kabupaten/Kota Dokterkebidanan& kandungan 8,3 37,9 41,8 34,0 29,3 29,6 35,7 18,0 Penolong persalinan kualifikasi tertinggi1 Dokter Keluarga/ Bidan Perawat Dukun umum lainnya 0,0 87,8 0,0 3,9 0,0 0,0 62,1 0,0 0,0 0,0 0,0 55,0 1,1 1,5 0,0 0,0 66,0 0,0 0,0 0,0 0,6 68,7 0,0 1,4 0,0 0,0 63,4 0,0 6,6 0,0 0,1 61,8 0,4 1,8 0,0 0,5 68,6 0,3 10,9 0,9 Kepulauan Seribu Kota Jakarta Selatan Kota Jakarta Timur Kota Jakarta Pusat Kota Jakarta Barat Kota Jakarta Utara DKI Jakarta Indonesia Keterangan : 1) Jika penolong persalinan >1, maka dipilih penolong dengan kualifikasi tertinggi Tidak ada penolong 0,0 0,0 0,5 0,0 0,0 0,5 0,2 0,8 Total 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 Tabel 7.9.25 menunjukkan bahwa pada persalinan kualifikasi tertinggi dan kualifikasi terendah, sebagian besar persalinan ditolong oleh bidan (61,8% dan 64,7%). Sedangkan penolong linakes (dokter atau bidan) untuk kualifikasi tertinggi sebesar 97,6 persen dan kualifikasi terendah adalah 93,8 persen. DI Jakarta Timur dan Jakarta Selatan merupakan kota dengan proporsi penolong persalinan kualifikasi tertinggi oleh dokter spesialis yang tinggi dibandingkan kota lainnya yaitu masing-masing 41,8 persen dan 37,9 persen. Pola penolong persalinan menurut kabupaten/kota untuk kualifikasi tertinggi dengan proporsi penolong linakes terendah di Jakarta Utara (92,9%) . Sedangkan untuk kualifikasi tertinggi dengan proporsi penolong linakes tertinggi di Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat (100,0%). 139 Tabel 7.9.26 Proporsi kualifikasi tertinggi penolong persalinan menurut karakteristik, Riskesdas 2013 Penolong persalinan kualifikasi tertinggi1 Karakteristik Dokterkebidanan kandungan Dokter umum Bidan Perawat Dukun Umur saat bersalin (tahun)* <20 33,2 0,0 66,8 0,0 0,0 20-34 34,5 0,1 62,5 0,4 2,1 ≥35 46,3 0,0 52,8 0,0 1,0 Pendidikan Tidak sekolah 28,8 0,0 71,2 0,0 0,0 Tidak tamat SD/MI 31,5 0,0 68,5 0,0 0,0 Tamat SD/MI 16,7 0,0 78,4 0,0 4,9 Tamat SLTP 27,4 0,0 70,8 0,0 1,4 Tamat SLTA 36,5 0,2 60,6 0,6 1,8 Tamat D1-D3/PT 68,4 0,0 31,6 0,0 0,0 Pekerjaan Tidak berkerja 34,5 0,1 62,4 0,5 2,2 Pegawai 51,7 0,0 46,9 0,0 1,3 Wiraswasta 21,4 0,0 78,6 0,0 0,0 Petani/nelayan/buruh 25,3 0,0 74,7 0,0 0,0 Lainnya 28,2 0,0 71,8 0,0 0,0 Status Ekonomi Terbawah 29,7 0,0 64,3 0,0 5,9 Menengah bawah 27,5 0,0 69,7 0,0 2,9 Menengah 26,9 0,5 69,9 1,5 1,2 Menengah atas 38,1 0,0 60,7 0,0 0,0 Teratas 58,4 0,0 41,6 0,0 0,0 DKI Jakarta 35,7 0,1 61,8 0,4 1,8 Keterangan : 1) Jika penolong persalinan > 1, maka dipilih penolong dengan kualifikasi tertinggi 140 Keluarga/ lainnya Tidak ada penolong Total Dokter/ bidan 0,0 0,0 0,0 0,0 0,3 0,0 100,0 100,0 100,0 100,0 97,2 99,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,4 0,3 0,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 95,1 98,2 97,3 100,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,3 0,0 0,0 0,0 0,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 97,0 98,6 100,0 100,0 100,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 1,1 0,0 0,2 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 94,0 97,1 97,3 98,9 100,0 97,6 Tabel 7.9.27 Proporsi kualifikasi terendah penolong persalinan menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Penolong persalinan kualifikasi terendah1 Dokter Keluarga/ kebidanan&k Bidan Perawat Dukun lainnya andungan Kepulauan Seribu 0,0 52,9 43,2 3,9 0,0 Jakarta Selatan 32,3 63,8 3,9 0,0 0,0 Jakarta Timur 28,7 62,8 5,1 1,5 1,4 Jakarta Pusat 32,3 66,0 1,7 0,0 0,0 Jakarta Barat 26,9 68,2 0,6 1,4 2,9 Jakarta Utara 26,3 65,2 1,4 6,6 0,0 DKI Jakarta 29,1 64,7 3,1 1,8 1,0 Indonesia 13,9 66,6 2,1 13,4 2,9 1) Apabila penolong persalinan > 1 penolong maka dipilih yang kualifikasi terendah Kabupaten/Kota Tidak ada penolong Total Dokter/ bidan 0,0 0,0 0,5 0,0 0,0 0,5 0,2 0,8 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 52,9 96,1 91,5 98,3 95,0 91,5 93,8 80,9 Tabel.7.9.28 Proporsi kualifikasi tertinggi penolong persalinan menurut karakteristik, Riskesdas 2013 Penolong persalinan kualifikasi terendah1 Tidak Keluarga/ Perawat Dukun ada lainnya penolong Dokter kebidanan- Bidan kandungan Umur saat bersalin (tahun)* <20 33,2 66,8 0,0 0,0 0,0 20-34 27,7 65,4 3,5 2,1 1,0 ≥35 37,2 58,3 2,2 1,0 1,4 Pendidikan Tidak sekolah 25,5 71,2 3,3 0,0 0,0 Tidak tamat SD/MI 31,5 68,5 0,0 0,0 0,0 Tamat SD/MI 11,7 82,1 1,3 4,9 0,0 Tamat SLTP 21,8 71,5 3,1 1,4 1,7 Tamat SLTA 31,0 62,0 3,7 1,8 1,1 Tamat D1-D3/PT 50,7 46,8 2,4 0,0 0,0 Pekerjaan Tidak berkerja 28,1 65,3 2,8 2,2 1,3 Pegawai 39,8 52,9 5,9 1,3 0,0 Wiraswasta 20,0 80,0 0,0 0,0 0,0 Petani/nelayan/buruh 25,3 74,7 0,0 0,0 0,0 Lainnya 26,1 65,5 8,4 0,0 0,0 Kuintil indeks kepemilikan Terbawah 25,7 65,6 2,7 5,9 0,0 Menengah bawah 18,5 74,2 2,4 2,9 2,1 Menengah 20,2 72,3 4,5 1,2 1,7 Menengah atas 33,9 62,8 1,4 0,0 0,7 Teratas 49,4 46,0 4,5 0,0 0,0 DKI Jakarta 29,1 64,7 3,1 1,8 1,0 1) Apabila penolong persalinan > 1 penolong maka dipilih yang kualifikasi terendah Karakteristik Total Dokter/ bidan 0,0 0,3 0,0 100,0 100,0 100,0 100,0 93,1 95,5 0,0 0,0 0,0 0,4 0,3 0,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 96,7 100,0 93,8 93,3 93,0 97,6 0,3 0,0 0,0 0,0 0,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 93,4 92,7 100,0 100,0 91,6 0,0 0,0 0,0 1,1 0,0 0,2 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 91,3 92,6 92,5 96,8 95,5 93,8 Pola penolong persalinan menurut karakteristik memperlihatkan bahwa terdapat kecenderungan semakin tinggi umur, tingkat pendidikan ibu dan kwintil indeks kepemilikan maka persentase penolong persalinan 141 dokter spesialis kebidanan dan kandungan semakin besar baik kualifikasi tertinggi maupun terendah (Tabel 7.9.26 dan Tabel 7.9.28). Demikian juga untuk ibu yang bekerja sebagai pegawai (51,7% dan 39,8%) juga mendominasi untuk pengguna penolong persalinan dokter spesialis kebidanan dan kandungan di kualifikasi tertinggi dan terendah. Sebaliknya penggunaan dukun sebagai tenaga penolong persalinan lebih besar pada kelahiran dari ibu yang mempunyai pendidikan rendah (Tamat SD/MI), Tidak berkerja dan kuintil indeks kepemilikan terbawah. Informasi pola penolong persalinan dengan kualifikasi tertinggi menurut provinsi dan karakteristik dapat dilihat pada Tabel 7.9.25 dan Tabel 7.9.26 sedangkan kualifikasi terendah menurut provinsi dan karakteristik dapat dilihat pada Tabel 7.9.27 dan Tabel 7.9.28. g. Tempat persalinan Tempat persalinan yang ideal adalah di rumah sakit karena apabila sewaktu-waktu memerlukan penanganan kegawatdaruratan tersedia fasilitas yang dibutuhkan atau minimal bersalin di fasilitas kesehatan lainnya sehingga apabila perlu rujukan dapat segera dilakukan. Sebaliknya jika melahirkan di rumah dan sewaktu-waktu membutuhkan penanganan medis darurat maka tidak dapat segera ditangani. Tabel 7.9.29 menunjukkan bahwa di DKI Jakarta persen tertinggi kelahiran pada periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara terjadi di fasilitas rumah bersalin, klinik, praktek dokter/praktek bidan (47,2%) dan terendah di Puskesmas pembantu (1,0%). Namun masih terdapat 4,1 persen yang melahirkan di rumah/lainnya. Kepulauan Seribu merupakan tempat ditemukannya persentase melahirkan di rumah yang paling tinggi yaitu 46,1 persen. Tabel 7.9.29 Proporsi tempat bersalin menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Kabupaten/Kota Kepulauan Seribu Kota Jakarta Selatan Kota Jakarta Timur Kota Jakarta Pusat Kota Jakarta Barat Kota Jakarta Utara DKI Jakarta Indonesia RS 13,6 30,7 39,9 38,5 32,4 25,3 33,6 21,4 RB/klinik/ praktek nakes 7,1 49,5 48,4 33,7 51,7 43,5 47,2 38,0 Tempat bersalin Puskesmas Puskesmas Pembantu 33,2 0,0 16,7 0,0 9,6 0,6 23,5 2,7 11,9 0,0 15,8 3,8 14,0 1,0 7,3 3,7 Rumah/ Lainnya 46,1 3,1 1,5 1,6 3,9 11,6 4,1 29,6 Total 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 Tabel 7.9.30 menyajikan proporsi tempat bersalin di fasilitas kesehatan (RS, RB/klinik/praktek nakes, puskesmas/pustu) dan di rumah menurut karakteristik. Kelompok umur tidak berisiko tinggi (20-34 tahun) lebih banyak melahirkan di rumah yaitu sebanyak 4,5 persen. Untuk tingkat pendidikan terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan maka jumlah ibu yang melahirkan di rumah sakit semakin banyak. Hal tersebut berbanding terbalik dengan ibu yang melahirkan di RB/klinik/praktek nakes. Ibu dengan tingkat pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan teratas dan bekerja sebagai pegawai paling banyak melahirkan di rumah sakit. Sedangkan ibu yang melahirkan di RB/klinik/praktek nakes paling banyak berpendidikan tamat SD/MI, wiraswasta dan memiliki kwintil indeks kepemilikan menengah. Adapun ibu dengan pendidikan rendah (tamat SLTA), tidak berkerja dan memiliki kuintil indeks kepemilikan terbawah lebih banyak memilih melahirkan di rumah. 142 Tabel 7.9.30 Proporsi tempat bersalin menurut karakteristik, Riskesdas 2013 Karakteristik RS Umur saat bersalin (tahun)* <20 38,8 20-34 31,3 ≥35 48,7 Pendidikan Tidak sekolah 28,8 Tidak tamat SD/MI 31,5 Tamat SD/MI 19,2 Tamat SLTP 27,5 Tamat SLTA 35,2 Tamat D1-D3/PT 52,3 Pekerjaan Tidak berkerja 32,8 Pegawai 38,6 Wiraswasta 37,2 Petani/nelayan/buruh 19,3 Lainnya 28,2 Status ekonomi Terbawah 35,1 Menengah bawah 27,7 Menengah 22,6 Menengah atas 35,5 Teratas 50,8 DKI Jakarta 33,6 RB/klinik/ praktek nakes Tempat bersalin Puskesmas Puskesmas Pembantu Rumah/ lainnya Total 55,3 48,1 35,8 1,5 15,1 13,0 0,0 1,1 1,5 4,4 4,5 1,1 100,0 100,0 100,0 50,2 49,5 55,7 51,4 45,2 39,9 21,0 6,3 19,1 12,6 15,5 4,5 0,0 0,0 0,6 1,9 0,4 3,3 0,0 0,0 0,0 0,0 3,6 0,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 46,3 46,1 57,8 33,0 61,2 15,1 10,3 4,1 47,7 10,6 1,1 1,1 1,0 0,0 0,0 4,8 3,9 0,0 0,0 0,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 31,4 46,7 57,9 50,8 43,3 47,2 21,1 15,3 17,3 12,8 3,9 14,0 2,4 2,3 0,0 0,0 1,1 1,0 10,1 8,1 2,2 0,9 0,9 4,1 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 h. Pelayanan kesehatan masa nifas Masa nifas masih merupakan masa yang rentan bagi kelangsungan hidup ibu baru bersalin. Menurut Studi Tindak Lanjut Kematian Ibu Sensus Penduduk 2010 (Afifah dkk, 2011), sebagian besar kematian ibu terjadi pada masa nifas sehingga pelayanan kesehatan masa nifas berperan penting dalam upaya menurunkan angka kematian ibu. Pelayanan masa nifas adalah pelayanan kesehatan yang diberikan pada ibu selama periode 6 jam sampai 42 hari setelah melahirkan. Kementerian Kesehatan menetapkan program pelayanan atau kontak ibu nifas yang dinyatakan dalam indikator: 1) KF1, kontak ibu nifas pada periode 6 jam sampai 3 hari setelah melahirkan 2) KF2, kontak ibu nifas pada periode 7-28 hari setelah melahirkan dan 3) KF3, kontak ibu nifas pada periode 29-42 hari setelah melahirkan 143 Tabel 7.9.31 Proporsi responden yang mendapat pelayanan kesehatan ibu nifas dari riwayat kelahiran menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Kabupaten/Kota Periode mendapat pelayanan kesehatan masa nifas (KF) 6 jam-3 hr 7-28 hr 29-42 hr 97,9 81,7 60,3 96,7 82,1 70,7 83,9 72,4 62,5 97,8 79,9 70,6 91,8 76,8 68,1 87,1 74,5 75,0 90,3 76,7 68,3 81,9 51,8 43,4 KF lengkap Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI Jakarta Indonesia Keterangan : 1) KF lengkap = Menerima KF 1 (6 jam – 3 hari), KF 2 (7 – 28 hari) dan KF 3 (29 – 42 hari) 58,1 62,1 45,5 64,9 56,3 58,7 55,5 32,1 Tabel 7.9.32 Proporsi responden yang mendapat pelayanan kesehatan ibu nifas menurut karakteristik, Riskesdas 2013 Karakteristik Periode mendapat pelayanan kesehatan masa nifas (KF) 6 jam-3 hr (KF1) 7-28 hr (KF2) 29-42 hr(KF3) KF lengkap (KF1,2,3) Umur saat bersalin (tahun)* <20 92,6 89,4 88,0 74,0 20-34 89,3 75,3 66,6 54,0 ≥35 97,0 79,8 70,2 56,3 Pendidikan Tidak sekolah 79,0 87,8 3,3 3,3 Tidak tamat SD/MI 100,0 77,9 80,4 65,2 Tamat SD/MI 83,6 64,4 54,0 38,6 Tamat SLTP 89,4 74,6 68,5 58,0 Tamat SLTA 90,6 79,6 71,0 57,6 Tamat D1-D3/PT 96,5 76,8 72,6 59,5 Pekerjaan Tidak berkerja 88,7 76,0 68,0 53,0 Pegawai 97,1 79,7 68,0 61,5 Wiraswasta 92,9 79,5 72,7 67,1 Petani/nelayan/buruh 83,6 55,4 40,1 28,0 Lainnya 100,0 85,6 87,3 83,4 Status Ekonomi Terbawah 91,1 70,6 56,5 47,7 Menengah bawah 85,5 74,5 66,6 51,9 Menengah 88,4 73,4 66,6 52,2 Menengah atas 91,7 78,0 74,7 61,8 Teratas 95,8 86,8 75,4 63,1 DKI Jakarta 90,3 76,7 68,3 55,5 Keterangan : 1) KF lengkap = Menerima KF 1 (6 jam – 3 hari), KF 2 (7 – 28 hari) dan KF 3 (29 – 42 hari) 144 Tabel 7.9.31 memperlihatkan bahwa cakupan pelayanan kesehatan masa nifas seiring dengan periode waktu setelah bersalin proporsinya semakin menurun. Kelahiran yang mendapat pelayanan kesehatan masa nifas secara lengkap yang meliputi KF1, KF2 dan KF3 hanya 55,5 persen. Periode masa nifas yang berisiko terhadap komplikasi pasca persalinan terutama terjadi pada periode 3 hari pertama setelah melahirkan. Cakupan pelayanan kesehatan masa nifas periode 3 hari pertama setelah melahirkan bervariasi menurut kabupaten/kota (Tabel 7.9.31) yaitu tertinggi di Kepulauan Seribu (97,9%) dan terendah di Jakarta Timur (83,9%) Cakupan KF1 menurut karakteristik pada Tabel 7.9.32 memperlihatkan bahwa untuk umur risiko tinggi (< 20 tahun dan ≥ 35 tahun) KF1nya lebih tinggi dibandingkan non risiko tinggi (20-34 tahun ). Semakin tinggi pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan cakupan KF1 cenderung semakin besar. Berdasarkan jenis pekerjaan responden petani/nelayan/buruh merupakan kelompok yang KF1 nya paling rendah (83,6%). Rincian data cakupan pelayanan KF menurut kabupaten/kota dan karakteristik dapat dilihat pada Tabel 7.9.31 dan Tabel 7.9.32. 7.10. KESEHATAN GIGI DAN MULUT Survei kesehatan gigi pertama kali dilaksanakan oleh Badan Penelitian Pengembangan Kesehatan melalui Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986, selanjutnya secara periodik dilaksanakan melalui Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995, SKRT 2001, SKRT 2004, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, dan Riskesdas 2013. (Kristanti, 1986, SKRT,1995, WHO, 1995, SKRT,2001, Riskesdas, 2007) Riskesdas 2013 mengumpulkan data kesehatan gigi secara komprehensif yang meliputi indikator status kesehatan gigi, indikator jangkauan pelayanan dan perilaku kesehatan gigi. Pengumpulan data melalui wawancara maupun pemeriksaan gigi dan mulut. Wawancara dilakukan terhadap responden semua umur. Pertanyaan perilaku ditanyakan kepada kelompok umur ≥ 10 tahun. Pemeriksaan gigi dan mulut dilakukan pada kelompok umur ≥ 12 tahun. Hasil ini dapat dibandingkan dengan Riskesdas 2007 sebagai evaluasi keberhasilan intervensi berbagai program perbaikan derajat kesehatan gigi dan mulut penduduk Indonesia. (hasil lengkap di buku Riskesdas 2013 dalam Angka) (Riskesdas, 2007) Effective Medical Demand (Kristanti dkk, 2012) Effective Medical Demand (EMD) didefinisikan sebagai proporsi penduduk yang bermasalah dengan gigi dan mulut dalam 12 bulan terakhir x proporsi penduduk yang menerima perawatan atau pengobatan gigi dari tenaga medis. Berdasarkan hasil wawancara sebesar 25,9 persen penduduk Indonesia mempunyai masalah gigi dan mulut dalam 12 bulan terakhir (potential demand). Diantara mereka, terdapat 31,1 persen yang menerima perawatan dan pengobatan dari tenaga medis (perawat gigi, dokter gigi atau dokter gigi spesialis), sementara 68,9 persen lainnya tidak dilakukan perawatan. Secara keseluruhan keterjangkauan/kemampuan untuk mendapatkan pelayanan dari tenaga medis gigi/EMD hanya 8,1 persen (lihat gambar 7.10). 145 Gambar 7.10 Proporsi penduduk semua umur yang bermasalah gigi dan mulut serta mendapat perawatan, dan EMD, Indonesia 2013 Tabel 7.10.1 Proporsi warga yang bermasalah gigi dan mulut dalam 12 bulan terakhir sesuai effective medical demand menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Kabupaten /Kota Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI Jakarta Bermasalah Gigi dan mulut (%) 20,2 33,0 36,0 26,7 18,8 28,4 29,1 Menerima perawatan dari Effective medical tenaga medis gigi (%) Demand(%) 40,0 8,1 29,9 9,9 28,6 10,3 38,5 10,3 30,9 5,8 35,3 10,0 31,2 9,1 Tabel 7.10.1 menggambarkan proporsi warga dengan masalah gigi dan mulut yang menerima perawatan dari tenaga medis gigi dalam 12 bulan terakhir menurut Kabupaten kota. Kota Jakarta Timur mempunyai masalah gigi dan mulut yang paling tinggi (36,0 %), kemudian tertinggi kedua adalah kota Jakarta Selatan (33,0 %) dan yang terendah adalah kota Jakarta barat (18,8 %) dengan masing – masing EMD 10,3 persen, 9,9 persen, dan 8,1 persen. 146 Tabel 7.10.2 Proporsi warga bermasalah gigi dan mulut dalam 12 bulan terakhir menurut karakteristik, Riskesdas 2013 Karakteristik Indeks Umur (WHO) 12 15 18 35-44 45-54 55-64 65+ Kelompok Umur 0 1-4 5-9 10-14 15-24 25-34 35-44 45-54 55-64 65+ Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Tamat PT Pekerjaan Tidak Bekerja Karyawan Wiraswasta Petani/nelayan/buruh Lainnya Status Ekonomi Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas Bermasalah gigi dan mulut (%) Menerima perawatan dari tenaga medis gigi (%) Effective medical demand (%) 29,8 26,5 29,2 32,1 31,7 28,9 22,4 36,1 31,4 24,7 28,6 34,6 28,2 38,8 10,8 8,3 7,2 9,2 11,0 8,2 8,7 2,1 12,7 85,5 19,2 31,5 28,6 32,9 32,1 31,7 28,9 22,4 30,3 26,7 31,1 28,6 34,6 28,2 38,8 1,8 2,4 14,5 9,6 7,6 10,2 9,2 11,0 8,2 8,7 26,8 31,4 25,9 35,8 6,9 11,3 28,7 31,5 31,2 30,8 31,5 28,4 40,1 35,1 26,2 31,6 29,9 39,4 11,5 11,1 8,2 9,7 9,4 11,2 31,4 28,5 32,6 31,7 33,5 31,6 31,3 26,4 25,6 28,4 9,9 8,9 8,6 8,1 9,5 32,7 30,5 27,9 30,3 25,3 26,7 28,6 32,2 32,7 35,0 8,7 8,7 9,0 9,9 8,9 Tabel 7.10.2 menunjukkan proporsi warga dengan masalah gigi dan mulut (potential demand) menurut karakteristik. Proporsi tertinggi pada usia produktif 35 – 44 tahun sebesar 32,1 persen. Demikian pula proporsi EMD masing – masing 9,2 persen. Proporsi EMD pada perempuan (11,3%) lebih tinggi dibanding laki-laki (6,9%). Proporsi EMD pada jenis pendidikan tertinggi adalah kelompok penduduk tidak 147 sekolah (11,5 %) dan terendah pada kelompok penduduk tamat SD. Berdasarkan jenis pekerjaan, kelompok tidak bekerja mempunyai EMD terbesar (9,9%). dan EMD tertinggi berdasarkan indeks kuintil kepemilikan adalah pada kuintil indeks kepemilikan yang tinggi (9,9). Tabel.7.10.3 memperlihatkan proporsi penduduk berobat gigi berdasarkan jenis tenaga pelayanan menurut provinsi. Proporsi penduduk yang berobat ke dokter gigi spesialis terbanyak di Jakarta Timur (15,6%). Responden yang berobat ke dokter gigi lebih banyak di Jakarta Utara (82,1%). Pemanfaatan pelayanan dokter gigi terendah di Jakarta Pusat (1,6 %). Pemanfaatan pelayanan perawat gigi terbanyak di Kepulauan Seribu (52,7%) dan terendah di Jakarta Pusat (4,9%). Proporsi penduduk berobat gigi berdasarkan jenis tenaga pelayanan menurut karakteristik dapat dilihat pada buku Riskesdas 2013 dalam Angka. Tabel.7.10.3 Proporsi penduduk berobat gigi berdasarkan jenis tenaga pelayanan menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Kabupaten/ Kota Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI Jakarta Dokter gigi spesialis 1,9 14,1 15,6 12,1 4,6 6,2 11,4 Dokter gigi Perawat gigi 36,7 79,4 69,7 74,1 80,1 82,1 76,3 52,7 5,9 5,3 4,9 5,6 6,8 5,8 Paramedik lainnya 12,0 4,0 7,0 1,6 6,5 3,3 5,0 Tukang gigi Lainnya 1,3 1,9 1,0 0,0 3,8 1,2 1,6 0,0 3,7 6,9 7,2 4,3 2,2 4,9 Perilaku menyikat gigi penduduk umur ≥10 tahun Setiap orang perlu menjaga kesehatan gigi dan mulut dengan cara menyikat gigi dengan benar untuk mencegah terjadinya karies gigi. Pertanyaan tentang perilaku menyikat gigi dalam Riskesdas 2013 bertujuan untuk mengetahui kebiasaan dan waktu menyikat gigi. Definisi berperilaku benar dalam menyikat gigi adalah kebiasaan menyikat gigi setiap hari sesudah makan pagi dan sebelum tidur malam. Tabel 3.7.4 menunjukkan proporsi penduduk umur ≥10 tahun sebesar 98,1 persen penduduk menyikat gigi setiap hari, proporsi tertinggi adalah Kepulauan Seribu Jakarta (99,1%) dan terendah Jakarta Pusat (97,8%) Sebagian besar penduduk DKI Jakarta (94,2) menyikat gigi pada saat mandi pagi, dengan urutan tertinggi adalah Kepulauan Seribu sebesar 98,9 persen. Sebagian besar penduduk juga menyikat gigi pada saat mandi sore, yaitu sebesar 79,7 persen dengan urutan tertinggi di Kepulauan seribu sebesar 88,7 persen, dan yang terendah di Jakarta Timur sebesar 72,1 persen. Kebiasaan benar menyikat gigi penduduk DKI Jakarta hanya 2,3 persen. Kota tertinggi untuk perilaku menyikat gigi dengan benar adalah Jakarta Barat yaitu 6,3 persen, sedangkan yang terendah adalah Jakarta pusat dan Jakarta Utara 1,4 persen (Tabel. 7.10.4). Tabel 7.10.4 148 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun menyikat gigi setiap hari dan berperilaku benar menyikat gigi menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Kabupaten/ Kota Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Kota Jakarta Utara DKI jakarta Sikat Gigi Setiap Hari 99,1 98,3 97,9 97,8 98,3 97,9 98,1 Sikat Gigi Setiap Hari Mandi Pagi Mandi Sore Sesudah Makan Pagi 98,9 92,9 92,7 96,7 95,7 97,6 94,7 88,7 62,4 72,1 76,2 76,2 84,3 73,5 4,4 5,3 4,5 3,4 6,9 3,0 4,9 Sesudah Bangun Pagi Sebelum Tidur Malam Sesudah makan siang 2,8 7,1 6,0 5,5 3,2 4,0 5,2 29,0 50,8 43,7 39,8 44,5 33,6 43,4 3,9 7,9 7,7 3,0 3,0 3,7 5,5 Mandi Pagi dan sore 88,3 59,5 69,5 75,1 74,3 83,5 71,4 Menyikat gigi dengan benar 1,7 3,5 3,2 1,4 6,3 1,4 3,5 Tabel. 7.9.5 menggambarkan proporsi penduduk umur ≥ 10 tahun menyikat gigi setiap hari dan berperilaku benar menurut karakteristik. Menurut Kelompok umur, dengan semakin tinggi usia semakin baik perilaku menyikat gigi dengan benar. Responden di perkotaan lebih banyak berperilaku menyikat gigi benar dibandingkan perdesaan. Laki-laki (2,0%) lebih rendah dibandingkan perempuan (2,5%). Demikian pula semakin tinggi pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan, maka semakin baik perilaku menyikat gigi dengan benar. Berdasarkan jenis pekerjaan, kelompok pegawai lebih banyak berperilaku menyikat gigi dengan benar. (Pokok-Pokok Riskesdas Indonesia, 2013) 149 Tabel.7.10.5 Proporsi penduduk umur ≥ 10 tahun menyikat gigi setiap hari dan berperilaku benar menyikat gigi menurut karakteristik, Riskesdas 2013 Karakteristik Sikat Gigi Setiap Hari Kelompok Umur ( thn ) 10 – 14 98,3 15 – 24 99,2 25 – 34 98,8 35 – 44 99,5 45 – 54 98,6 55 – 64 93,8 65 + 83,8 Kelompok Umur 12 Th (WHO) 12 99,1 15 100,0 18 100,0 35-44 99,5 45-64 98,6 55-64 93,8 ≥65 83,8 Jenis Kelamin Laki – laki 97,7 Perempuan 98,5 Pendidikan Tidak Sekolah 88,4 Tidak Tamat SD 95,5 Tamat SD 97,6 Tamat SLTP 98,1 Tamat SLTA 99,1 Tamat PT 98,7 Pekerjaan Tidak Kerja 97,9 Pegawai 99,3 Wiraswasta 98,1 Petani/Nelayan/ 96,5 Buruh Lainnya 95,8 Tempat Tinggal Perkotaan 98,1 Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah 96,3 Menengah 98,1 Bawah Menengah 98,4 Menengah Atas 98,4 Teratas 98,6 Waktu Menyikat Gigi Mandi Pagi Mandi Sore Sesudah Makan Pagi Sesudah Bangun Pagi Sebelum Tidur Malam Sesudah makan siang Mandi Pagi dan sore Menyikat gigi benar 95,9 95,2 95,1 95,4 92,7 92,6 92,0 80,5 75,3 72,0 74,5 72,3 66,8 61,2 4,4 4,0 5,0 4,5 5,0 6,3 9,6 1,9 4,2 5,8 5,0 7,2 7,2 6,6 31,5 44,9 47,7 45,4 40,5 41,2 43,9 3,3 3,7 6,4 5,5 6,8 7,5 7,5 77,9 72,7 70,8 72,3 69,6 65,0 59,8 2,6 2,9 3,8 3,5 3,8 4,1 7,3 97,2 90,7 93,5 95,4 92,7 92,6 92,0 74,0 79,5 78,2 74,5 72,3 66,8 61,2 5,4 4,2 4,4 4,5 5,0 6,3 9,6 1,9 6,2 3,7 5,0 7,2 7,2 6,6 39,5 46,2 49,6 45,4 40,5 41,2 43,9 1,2 5,3 4,2 5,5 6,8 7,5 7,5 73,1 72,2 75,5 72,3 69,6 65,0 59,8 3,7 3,2 3,3 3,5 3,8 4,1 7,3 95,1 94,3 72,0 75,0 4,6 5,2 4,5 5,9 37,9 48,8 4,6 6,4 70,2 72,5 3,1 4,0 96,5 94,8 95,2 94,6 95,0 91,7 76,4 80,2 79,8 76,6 70,3 63,1 2,1 4,1 3,4 4,9 4,5 10,5 4,7 4,2 4,2 5,5 5,0 8,3 30,5 30,8 32,2 39,7 47,3 67,3 2,8 5,4 5,8 6,1 5,0 6,7 74,9 78,1 77,0 73,9 68,8 60,9 1,6 2,6 1,8 3,1 3,5 9,0 94,1 94,9 95,9 74,8 69,3 72,5 4,6 6,1 4,7 5,5 4,7 5,9 42,5 51,5 38,8 5,8 5,2 5,4 72,4 67,8 70,9 3,3 5,0 2,7 96,5 79,7 2,3 3,1 27,3 4,1 77,5 1,2 93,0 74,5 5,7 5,8 47,6 6,7 71,3 4,6 94,7 73,5 4,9 5,2 43,4 5,5 71,4 3,5 95,9 78,7 4,9 4,9 32,9 6,2 76,7 2,8 95,5 75,4 3,1 4,7 36,0 4,4 72,9 1,7 94,3 95,2 93,1 74,4 72,7 68,0 4,1 5,6 6,5 5,9 4,6 5,7 40,2 45,0 58,5 6,1 5,3 5,5 72,5 71,0 65,8 2,9 4,0 5,8 150 Indeks DMF-T dan Komponen D-T, M-T, F-T Indeks DMF-T menggambarkan tingkat keparahan kerusakan gigi permanen. Indeks DMF-TDKI Jakarta sebesar 3,82 dengan nilai masing-masing : D-T = 1,09; M-T = 2,49; F-T = 0,32; yang berarti kerusakan gigi penduduk DKI Jakarta 400 buah gigi per 100 orang. Tabel 7.10.6 Komponen D, M, F dan Index DMF-T menurut karakteristik, Riskesdas 2013 Karakteristik D–T (X) M–T (X) Kelompok Umur ( Th) 12-14 0,3 0,3 15-24 0,6 0,2 25-34 1,5 0,4 35-44 2,9 0,4 45-54 5,1 0,3 55-64 10,8 0,4 ≥65 16,0 0,3 Kelompok Umur (WHO) 12 0,9 0,3 15 1,0 0,4 18 0,9 0,5 35 – 44 1,3 2,9 45 – 54 1,6 5,1 55 – 64 1,3 10,8 65 + 1,1 16,0 Jenis Kelamin Laki – laki 2,1 0,2 Perempuan 2,9 0,4 Pendidikan Tidak Sekolah 2,1 6,5 Tidak tamat SD 1,3 4,2 Tamat SD 1,3 2,7 Tamat SLTP 1,0 2,1 Tamat SLTA 1,0 2,4 Tamat PT 1,0 1,8 Pekerjaan Tidak bekerja 0,9 2,4 Pegawai 1,1 1,6 Wiraswasta 1,4 3,9 Petani / Nelayan/ Buruh 1,8 3,4 Lainnya 1,3 3,0 Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah 1,3 2,8 Menengah Terbawah 1,4 2,9 Menengah 1,0 2,3 Menengah Atas 0,9 2,4 Teratas 1,1 2,3 X adalah rata-rata dari D, rata-rata M, rata-rata F dan rata-rata DF . 151 F–T (X) DF-T (X) DMF – T (X) 0,1 0,0 0,1 0,1 0,0 0,1 0,0 1,4 1,5 3,0 4,6 6,9 12,4 17,5 0,3 0,6 1,5 2,9 5,1 10,8 16,0 0,5 0,3 0,2 0,4 0,3 0,4 0,3 0,3 0,0 0,1 0,1 0,0 0,1 0,0 1,4 1,7 1,4 4,6 6,9 12,4 17,5 0,1 0,1 3,4 4,3 2,1 2,9 0,0 0,2 0,2 0,3 0,3 1,0 0,0 0,1 0,1 0,1 0,1 0,2 8,6 5,6 4,1 3,4 3,6 3,6 0,3 0,5 0,3 0,2 0,2 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 3,6 3,1 5,5 5,4 4,5 0,1 0,1 0,4 0,3 0,6 0,0 0,0 0,1 0,1 0,1 4,1 4,3 3,5 3,5 3,9 Indeks DMF-T merupakan penjumlahan dari komponen D-T, M-T, dan F-T yang menunjukkan banyaknya kerusakan gigi yang pernah dialami seseorang, baik berupa Decay/D (merupakan jumlah gigi permanen yang mengalami karies dan belum diobati atau ditambal), Missing/M (jumlah gigi permanen yang dicabut atau masih berupa sisa akar), dan Filling/F adalah jumlah gigi permanen yang telah dilakukan penumpatan atau ditambal. Tabel 7.9.7, menunjukkan indeks DMF-T menurut karakteristik. Index DMF-T meningkat seiring dengan bertambahnya umur yaitu sebesar 0,3 pada kelompok umur 12 tahun, kemudian 0,6 pada umur 15 tahun, 1,5 pada umur 18 tahun, 2,9 pada umur 34-44 tahun, 5,1 pada umur 45-54 tahun, 10,8 pada umur 55-64 tahun dan 16,0 pada umur 65 tahun keatas. Namun untuk kuintil indeks kepemilikan, semakin tinggi kuintil indeks, semakin rendah nilai DMF-T, hal ini terlihat pada kuintil indeks kepemilikan terbawah nilai DMF-T nya 4,1 sedang untuk yang teratas nilai DMF-T nya lebih rendah yaitu 3,9. 7.11 CEDERA Cedera merupakan kerusakan fisik pada tubuh manusia yang diakibatkan oleh kekuatan yang tidak dapat ditoleransi dan tidak dapat diduga sebelumnya (WHO, 2004). Kasus cedera diperoleh berdasarkan wawancara. Cedera yang ditanyakan adalah peristiwa yang dialami responden selama 12 bulan terakhir untuk semua umur. Yang dimaksud dengan cedera dalam Riskesdas adalah kejadian atau peristiwa yang mengalami cedera yang menyebabkan aktivitas sehari-hari terganggu. Untuk kasus cedera yang kejadiannya lebih dari 1 kali dalam 12 bulan, kasus cedera yang ditanyakan adalah cedera yang paling parah menurut pengakuan responden. 7.11.1 Proporsi Cedera dan penyebabnya Penyebab terjadinya cedera meliputi penyebab yang disengaja (intentional injury), penyebab yang tidak disengaja (unintentional injury) dan penyebab yang tidak bisa ditentukan (undeterminated intent) (WHO, 2004). Penyebab cedera yang disengaja meliputi bunuh diri, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) seperti dipukul orang tua/suami/istri/anak), penyerangan, tindakan kekerasan/pelecehan dan lain-lain. Penyebab cedera yang tidak disengaja antara lain : terbakar/tersiram air panas/bahan kimia, jatuh dari ketinggian, digigit/diserang binatang, kecelakaan transportasi darat/laut/udara, kecelakaan akibat kerja, terluka karena benda tajam/tumpul/mesin, kejatuhan benda, keracunan, bencana alam, radiasi, terbakar dan lainnya. Penyebab cedera yang tidak dapat ditentukan (undeterminated intent) yaitu penyebab cedera yang sulit untuk dimasukkan kedalam kelompok penyebab yang disengaja atau tidak disengaja. Penyebab cedera yang dituliskan dalam laporan ini adalah penyebab yang tidak disengaja. Prevalensi dan proporsi cedera menurut provinsi disajikan pada Tabel 7.11.1. 152 Tabel 7.11.1. Prevalensi cedera dan penyebabnya menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Kabupaten/ Kota Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI Jakarta Prevalensi Cedera Sepeda motor 3,7 9,4 13,4 5,7 7,4 9,2 9,7 17,4 35,9 44,4 52,5 53,0 45,1 44,7 Trans darat lain 5,3 10,6 4,0 9,1 4,4 4,7 5,9 Penyebab cedera Benda TerJatuh tajam/ bakar tumpul 62,5 10,5 0,0 44,8 7,6 0,3 41,0 3,8 1,6 32,0 0,9 0,0 36,3 3,9 0,0 43,4 3,8 0,8 40,9 4,5 0,8 Gigitan hewan 0,0 0,0 0,3 0,0 0,3 0,0 0,2 Kejatuhan 0,0 0,8 2,8 3,7 2,1 2,1 2,2 Lainnya 0,0 4,2 2,1 1,7 0,0 0,9 Proporsi cedera di DKI Jakarta sebesar 9,7 persen, proporsi terbesar ditemukan di Jakarta Timur (13,4%) dan terkecil di Kepulauan Seribu (3,7%). Penyebab cedera terbanyak yaitu sepeda motor (44,7%) dan jatuh (40,9%). Adapun penyebab cedera meliputi transportasi darat lain (5,9 %) terkena benda tajam/tumpul (4,5%), kejatuhan (2,2 %) terbakar (0,8 %) dan gigitan hewan (0,2%). Penyebab cedera transportasi sepeda motor tertinggi ditemukan pada Jakarta Barat (53,0%) dan terendah di Kepulauan Seribu (17,4 %). Adapun untuk transportasi darat lain proporsi tertinggi terdapat di Jakarta Selatan (10,6%) dan terendah ditemukan di Jakarta Timur (4,0%). Proporsi jatuh tertinggi di Kepulauan Seribu (62,5%) dan terendah di Jakarta Pusat (32,0%). Proporsi tertinggi terkena benda tajam/tumpul terdapat di Kepualuan Seribu (10,5%) dan terendah di Jakarta Pusat (0,9%). Penyebab cedera karena terbakar ditemukan proporsi tertinggi di Jakarta Timur (1,6%) dan terendah (tanpa kasus) di Jakarta Pusat dan Jakarta Barat. Untuk penyebab cedera karena gigitan hewan terdapat di Jakarta Timur dan Jakarta Barat (0,3%) dan terendah (tanpa kasus) di terdapat di Kepulauan Seribu, Jakarta Selatan, Jakarta Pusat dan Jakarta Utara (0,0%). Proporsi kejatuhan tertinggi ditemukan di Jakarta Pusat (3,7%) dan terendah (tanpa kasus) di Kepulauan Seribu (0,0%). Proporsi cedera tertinggi berdasarkan karakteristik responden yaitu pada kelompok umur 15-24 tahun (12,8%), laki-laki (11,5 %), pendidikan Tidak tamat SD/MI (10,5%), yang bekerja sebagai Petani/nelayan/ buruh (11,5%), bertempat tinggal di perkotaan (9,7%) dan pada Indeks kuintil kepemilikan menengah terbawah (11,0%). Ditinjau dari penyebab cederanya, proporsi tertinggi adalah cedera karena sepeda motor (44,7%) pada kelompok umur 35-44 tahun (67,4%), laki-laki (49,0%), Tamat Diploma/PT (66,8 %), Pegawai (69,4%), tinggal di perkotaan (44,7%) dan kuintil teratas (48,1%). Selain itu penyebab cedera karena jatuh (40,9 persen) menempati peringkat kedua menunjukkan proporsi tertinggi yaitu 94,7 persen pada kelompok umur 75+ tahun, perempuan (47,3%), tingkat pendidikan tidak sekolah (71,6%), tidak bekerja (41,2%), tinggal di perkotaan (40,9%) dan kuintil menengah bawah (46,2 %). Sedangkan penyebab cedera transportasi darat lain proporsi tertinggi didapatkan pada umur 5-14 tahun (13,1%), laki-laki (6,7%), tidak tamat SD (14,4 %), tidak bekerja (7,0 %), bertempat tinggal di perkotaan (5,9%) dan kuintil terbawah masing-masing 7,6 persen. 153 Adapun untuk gambaran prevalensi cedera dan penyebabnya menurut karakteristik responden disajikan pada Tabel 7.11.2 Tabel 7.11.2 Proporsi cedera dan penyebabnya menurut karakteristik, Riskesdas 2013 Karakteristik Kelompok umur (th) <1 1–4 5 – 14 15 – 24 25 – 34 35 – 44 45 – 54 55 – 64 65 – 74 75+ Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD/MI Tamat SD/MI Tamat SMP/MTS Tamat SMA/MA Tamat Diploma/PT Status pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/ buruh Lainnya Tempat tinggal Perkotaan Kuintil Indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas Cedera Sepeda motor Trans darat lain Penyebab Cedera Benda TerbaJatuh tajam/ kar tumpul 1,1 11,2 12,6 12,8 9,7 7,4 6,7 5,0 7,0 9,0 35,8 10,3 17,5 56,7 63,8 67,4 52,1 25,8 23,1 5,3 0,0 3,9 13,1 3,7 4,2 3,9 2,2 3,6 9,5 0,0 64,2 77,5 59,8 32,2 23,9 21,0 36,9 58,3 43,3 94,7 0,0 0,5 6,0 4,6 4,1 5,5 3,9 7,7 0,0 0,0 11,5 7,8 49,0 38,3 6,7 4,5 36,6 47,3 10,0 10,5 9,6 10,2 9,7 6,4 17,1 19,2 34,8 55,3 62,8 66,8 1,6 14,4 7,9 3,5 3,8 4,9 9,8 8,5 8,2 11,5 11,2 41,0 69,4 63,8 53,5 61,2 9,7 11,0 10,4 10,2 9,6 7,6 Gigitan Hewan KeJatuhan Lainnya 0,0 0,8 2,0 0,8 0,4 0,0 0,4 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,2 0,0 0,0 1,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 7,0 1,3 1,3 ,3 1,2 3,6 4,7 8,6 0,0 0,0 0,0 0,5 2,3 0,0 0,8 0,0 15,5 0,0 0,0 3,8 5,4 0,3 1,7 0,3 0,0 2,1 2,3 1,2 0,5 71,6 59,1 47,9 28,1 26,3 23,0 6,1 1,9 7,0 9,0 3,1 5,2 0,0 3,0 0,0 0,0 0,9 0,0 0,0 0,4 0,0 0,0 0,3 0,0 1,2 2,0 1,2 1,8 2,1 0,0 2,4 7,0 4,7 4,4 3,5 0,0 41,2 21,2 26,9 30,6 30,8 7,0 2,0 2,9 3,3 5,0 1,0 0,5 0,4 0,0 0,0 0,0 0,6 0,0 0,0 0,0 1,6 1,5 1,6 3,4 2,9 1,2 0,0 0,0 5,6 0,0 44,7 5,9 40,9 4,5 0,8 0,2 2,2 0,9 45,5 40,2 43,0 47,9 48,1 7,6 4,9 5,7 6,4 4,9 38,5 46,2 41,2 39,5 37,9 2,0 7,0 5,0 3,0 4,9 0,4 0,3 0,9 1,5 0,9 1,0 0,0 0,0 0,0 0,0 2,6 1,5 3,0 1,2 2,7 2,5 0,0 1,2 0,6 0,5 154 1,2 2,3 0,7 0,0 Gambar 7.11 Kecenderungan prevalensi cedera dan proporsi penyebabnya, Indonesia 2007 dan 2013 7.11.2 Jenis Cedera Jenis cedera merupakan jenis atau macam luka akibat trauma yang telah dialami yang dapat menyebabkan terganggunya aktifitas sehari-hari. Seseorang yang cedera bisa mengalami minimal 1 jenis (multiple injuries). Gambaran proporsi jenis cedera yang dialami penduduk menurut provinsi disajikan pada Tabel 7.11.3 Proporsi jenis cedera di DKI Jakarta didominasi oleh luka lecet/memar sebesar 75,5 persen, terbanyak terdapat di Jakarta Utara 82,4 persen dan yang terendah di Jakarta pusat yaitu 68,4 persen. Jenis cedera terbanyak ke dua adalah terkilir, rata-rata 28,4 persen. Ditemukan terkilir terbanyak di Kepulauan Seribu sebesar 40,1 persen. Luka robek (18,1 persen) menduduki urutan ketiga jenis cedera terbanyak, jenis luka ini tertinggi ditemukan di Jakarta Selatan sekitar 20,4 persen dan terendah di Kepulauan Seribu 10,3 persen. Jenis cedera lainnya proporsinya kecil, patah tulang 5,7 persen, anggota tubuh terputus, cedera mata dan gegar otak masing-masing proporsinya di Indonesia 0,0 persen, 0,3 persen dan 0,4 persen. Gambaran proporsi jenis cedera menurut karakteristik responden disajikan pada Tabel 7.11.2. Proporsi jenis luka yang menunjukkan 3 urutan proporsi tertinggi adalah luka lecet/memar, terkilir dan luka robek. Berdasarkan kelompok umur, proporsi lecet/memar menunjukkan pola tinggi di usia muda kemudian menurun dengan bertambahnya usia. Proporsi patah tulang meningkat di usia muda sampai dengan umur 45-54 (13,0%) dan menurun di usia lanjut. Luka robek pada umur 75+ tahun (29,0 %), patah tulang pada umur 35-44 tahun keatas (13,0 %), terkilir pada umur 25 – 34 dan 75+ tahun (42,4 %), cedera mata pada umur 1 – 4 dan 45 – 54 tahun sekitar 0,9 persen, gegar otak pada umur 25 – 34 tahun (0,7 %) dan jenis cedera lainnya pada umur 35 – 44 tahun keatas (6,4 %). 155 Tabel 7.11.3 Proporsi jenis cedera menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Jenis Cedera Kabupaten / Kota Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI Jakarta Lecet/ Memar 71,2 72,2 74,5 68,4 77,6 82,4 75,5 Luka robek 10,3 20,4 19,6 17,1 16,0 14,6 18,1 Patah Tulang 4,5 5,3 6,6 2,2 5,5 5,2 5,7 Terkilir 40,1 34,5 27,4 31,8 25,8 24,3 28,4 Cedera Mata 0,0 0,0 0,2 0,5 0,0 0,9 0,3 Gegar otak 0,0 0,0 0,0 4,8 0,0 0,8 0,4 Lainnya 4,2 0,7 6,1 2,7 2,1 1,6 3,3 Tabel 7.11.4 Proporsi jenis cedera menurut karakteristik responden, Riskesdas 2013 Jenis Cedera Karakteristik Kelompok umur (th) <1 1–4 5 – 14 15 – 24 25 – 34 35 – 44 45 – 54 55 – 64 65 – 74 75+ Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD/MI Tamat SD/MI Tamat SMP/MTS Tamat SMA/MA Tamat Diploma/PT Status pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/ buruh Lainnya Status Ekonomi Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas Lecet/ Memar Luka robek Patah Tulang Terkilir Cedera Mata Gegar otak Lainnya 100,0 83,1 80,2 77,2 72,7 75,4 64,2 65,2 62,7 60,6 0,0 12,0 16,6 20,6 17,2 25,4 16,2 7,2 27,8 29,0 0,0 0,0 4,6 3,7 7,0 7,8 13,0 8,3 5,7 1,5 0,0 13,4 13,9 31,3 42,4 24,2 37,2 38,2 40,9 42,4 0,0 0,9 0,0 0,4 0,0 0,2 0,9 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,6 0,5 0,7 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 1,2 3,7 4,3 1,5 6,4 3,1 0,0 5,7 3,8 74,4 77,2 19,8 15,7 5,3 6,2 27,3 30,0 0,1 0,6 0,6 0,0 3,3 3,4 89,0 79,2 76,6 71,1 73,1 79,0 7,1 22,3 14,9 23,1 18,9 14,5 2,5 3,5 5,3 6,5 6,6 14,3 21,9 16,1 29,1 37,8 32,0 35,6 0,0 0,0 0,5 0,0 0,3 0,0 0,0 1,1 0,0 0,0 0,3 2,9 3,1 3,8 2,1 4,2 4,0 1,5 74,9 71,1 75,3 76,7 72,9 16,3 19,2 26,6 16,0 24,4 6,6 8,1 3,0 5,4 5,8 33,2 32,9 26,9 25,7 48,5 0,2 0,0 0,0 0,3 2,5 0,0 0,0 1,5 1,5 0,0 3,8 2,2 2,3 5,3 6,4 79,4 73,1 77,6 73,0 74,5 20,2 25,2 12,4 18,4 15,7 5,1 2,9 9,0 3,1 7,8 30,7 33,0 27,1 25,7 25,7 1,0 0,4 0,0 0,1 0,0 0,6 0,7 0,0 0,7 0,0 0,0 2,0 4,5 7,0 1,8 156 *Responden biasanya mempunyai lebih dari 1 jenis cedera (multiple injuries) Berdasarkan jenis kelamin, sebagian besar proporsi jenis cedera menunjukkan angka proporsi yang lebih tinggi pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki, kecuali pada jenis cedera luka robek dan gegar otak. Adapun jika berdasarkan pada pendidikan, proporsi jenis cedera patah tulang dan gegar otak menunjukkan pola meningkat seiring dengan kenaikan tingkat pendidikan yaitu ada kecenderungan proporsi jenis cedera meningkat sejalan dengan tingkat pendidikan semakin tinggi. Sedangkan menurut status pekerjaan, proporsi jenis cedera tidak menunjukkan pola tertentu. Menurut kuintil indeks kepemilikan tampak tidak menunjukkan pola tertentu. 7.11.3 Tempat Terjadinya Cedera Tempat terjadinya cedera adalah lokasi atau area dimana peristiwa atau kejadian yang mengakibatkan cedera terjadi atau disebut juga dengan istilah TKP (Tempat Kejadian Perkara). Tempat kejadian cedera hanya menginformasikan data tentang lokasi/tempat tanpa disertai keterangan aktivitas yang sedang dilakukan responden pada saat kejadin cedera di lokasi tersebut. Keterangan tempat rumah dan sekolah termasuk lingkungan sekitarnya (indoor dan outdoor). Ruang lingkup pertanian termasuk perkebunan dan sejenisnya. Gambaran tentang tempat terjadinya cedera menurut kabupaten/kota disajikan pada Tabel 7.11.5 Tabel 7.11.5 Proporsi tempat terjadinya cedera menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Kabupaten/Kota Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI Jakarta Rumah Sekolah 51,0 43,6 36,2 26,1 35,1 36,8 37,1 10,9 5,2 7,6 2,5 5,1 11,5 7,0 Olah raga 3,0 5,2 6,4 0,7 1,4 2,2 4,2 Tempat terjadinya cedera Jalan Tempat Industri raya umum 0,0 11,0 13,1 0,0 42,0 4,0 44,2 4,2 0,4 68,4 1,6 0,7 0,0 55,0 2,0 42,8 4,0 1,7 46,7 3,6 0,5 Pertanian Lainnya 0,0 0,0 0,5 0,0 0,0 0,3 0,3 11,0 0,0 0,6 0,0 1,5 0,6 0,6 Cedera yang terjadi di DKI Jakarta, cedera yang terjadi paling banyak terjadi di jalan raya yaitu 46,7 persen selanjutnya di rumah (37,1 %), area sekolah (7,0 %) olah raga (4,2 %). Kabupaten yang memilki angka proporsi tempat cedera di lingkungan rumah dan sekitanya tertinggi adalah Kepulauan Seribu (51,0 %) dan terendah di Jakarta Pusat (26,1 %). Adapun untuk proporsi tempat cedera di sekolah tertinggi di Jakarta Utara (11,5 %) dan terendah di Jakarta Pusat (2,5 %). Tempat kejadian cedera di jalan raya mempunyai proporsi paling tinggi dibandingkan dengan tempat yang lain. Adapun proporsi kejadian cedera di jalan raya terbanyak di Jakarta Pusat (68,4 %) dan terendah di Kepulauan Seribu (11,0 %). Proporsi kejadian cedera di tempat umum, terbanyak di Kepulauan Seribu (13,1 %) dan terendah di Jakarta Pusat (1,6 %) Adapun untuk tempat kejadian cedera di industri dan pertanian proporsinya tampak lebih kecil dibandingkan tempat lain. 157 Tabel 7.11.6 menggambarkan proporsi tempat kejadian cedera berdasarkan karakterikstik responden. Menurut kelompok umur tampak bahwa rumah menunjukkan proporsi tinggi terjadi pada kelompok umur Balita (100,0 %) dan Lanjut usia (80,8 %). Adapun tempat kejadian cedera di sekolah kebanyakan terjadi pada kelompok umur anak 5 – 15 tahun (18,1 %) demikian juga dengan tempat kejadian cedera di area olahraga usia 15 – 24 (8,7 %). Adapun jalan raya merupakan tempat kejadian cedera yang banyak terjadi pada umur produktif dan tampak tertinggi khusus pada umur 25 – 34 yaitu 67,0 persen. Tempat umum 45 – 54 (6,6%), industri 25 – 34 (0,9%) dan area pertanian 35 – 44 (0,5%) Menurut jenis kelamin, proporsi tempat kejadian cedera hampir berimbang antara laki-laki dan perempuan. Adapun berdasarkan pendidikan yang menunjukkan pola negatif yaitu semakin tinggi pendidikan proporsi cedera semakin rendah terjadi di rumah. Sedangkan proporsi menunjukkan pola positif dengan semakin tinggi tingkat pendidikan semakin tinggi proporsi cedera ditunjukkan pada tempat kejadian cedera di jalan raya dan industri. Adapun untuk gambaran proporsi tempat terjadinya cedera menurut karakteristik responden disajikan pada Tabel 7.11.6. Tabel 7.11.6 Proporsi tempat terjadinya cedera menurut karakteristik, Riskesdas 2013 Karakteristik Kelompok umur (th) <1 1–4 5 – 14 15 – 24 25 – 34 35 – 44 45 – 54 55 – 64 65 – 74 75+ Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD/MI Tamat SD/MI Tamat SMP/MTS Tamat SMA/MA Tamat Diploma/PT Status pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/ buruh Lainnya Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Tempat terjadinya cedera Jalan Tempat raya umum Rumah Sekolah Olahraga Industri Pertanian Lainnya 100,0 78,7 56,1 19,6 23,3 22,7 30,3 64,3 50,6 80,8 0,0 4,6 18,1 6,7 2,3 5,5 0,0 0,0 0,2 0,0 0,0 0,0 6,2 8,7 1,0 4,5 0,0 4,8 0,0 0,0 0,0 14,7 18,8 58,1 67,0 60,7 60,8 29,2 46,2 15,0 0,0 0,0 0,7 5,9 4,6 4,1 6,6 0,4 2,8 4,1 0,0 0,0 0,0 0,5 0,9 1,0 0,0 1,3 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 1,0 0,5 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 2,0 0,0 0,5 0,0 1,0 2,3 0,0 0,2 0,0 30,8 46,6 6,2 8,2 6,3 1,0 51,6 39,5 3,3 4,0 0,7 0,1 0,1 0,5 0,9 0,1 67,0 59,5 37,7 25,1 20,3 21,1 10,8 12,4 13,9 8,0 3,1 3,9 5,8 3,4 4,7 6,2 4,7 2,9 15,4 22,5 40,9 56,4 63,5 66,2 0,9 1,0 2,3 3,8 6,1 4,6 0,0 0,0 0,4 0,2 1,0 0,0 0,0 0,4 0,0 0,0 0,6 0,1 0,8 0,0 0,1 0,7 1,3 37,0 13,9 19,8 29,8 20,1 12,1 0,9 3,9 0,1 10,9 6,7 1,7 3,5 8,0 40,6 73,9 69,8 57,8 55,2 2,8 7,4 2,5 7,8 4,6 0,0 1,2 0,0 2,9 1,1 0,5 0,0 0,5 0,0 0,0 0,3 1,0 0,0 1,6 0,0 37,7 38,2 39,2 38,3 7,7 3,9 7,3 6,8 0,9 6,0 4,0 2,0 48,6 45,4 45,0 48,7 1,6 5,1 4,3 3,3 1,2 0,0 0,2 0,0 0,3 1,0 0,0 0,0 2,0 0,4 0,0 0,9 158 Teratas 30,5 10,0 8,6 46,6 2,9 1,3 0,0 0,0 7.12. GANGGUAN JIWA BERAT DALAM KELUARGA Indikator kesehatan jiwa penduduk Indonesia yang dinilai pada Riskesdas 2013 adalah gangguan jiwa berat, gangguan mental emosional serta cakupan pengobatannya. Gangguan jiwa berat adalah gangguan jiwa yang ditandai oleh terganggunya kemampuan menilai realitas atau tilikan (insight) yang buruk. Gejala yang menyertai gangguan ini antara lain gangguan persepsi berupa halusinasi, ilusi, gangguan isi pikiran berupa waham dan gangguan proses pikir, kemampuan berpikir, serta adanya tingkah laku yang menyimpang baik agresivitas atau katatonik .Gangguan jiwa berat dikenal dengan sebutan psikosis, diantaranya adalah skizofrenia. Gangguan jiwa berat menimbulkan beban bagi pemerintah, keluarga serta masyarakat oleh karena besarnya produktivitas yang hilang pada pasien serta keluarga dan berdampak pada beban biaya yang besar. Gangguan ini menghabiskan biaya pengeluaran kesehatan jiwa dan juga biaya pengeluaran kesehatan yang besar. Di Indonesia, masih terdapat pemasungan serta perlakuan salah pada pasien gangguan jiwa berat akibat minimnya pengobatan dan akses ke pelayanan kesehatan jiwa belum memadai. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah melalui Kementerian Kesehatan adalah menjadikan Indonesia bebas pasung oleh karena tindakan pemasungan dan perlakukan salah merupakan tindakan yang melanggar hak asasi manusia. Disamping gangguan jiwa berat, Riskesdas 2013 juga melakukan penilaian gangguan mental emosional pada penduduk Indonesia seperti pada Riskesdas 2007. Gangguan mental emosional adalah istilah yang sama dengan distres psikologik. Kondisi ini adalah keadaan yang mengindikasikan seseorang sedang mengalami perubahan psikologis. Berbeda dengan gangguan jiwa berat seperti psikosis dan skizofrenia, gangguan mental emosiional adalah gangguan yang dapat dialami semua orang pada keadaan tertentu, tetapi dapat pulih seperti semula. Gangguan ini dapat berlanjut menjadi gangguan yang lebih serius apabila tidak berhasil diatasi. Prevalensi gangguan mental emosional penduduk Indonesia berdasarkan Riskesdas 2007 adalah 11,6 persen dan bervariasi di antara provinsi dan kabupaten/kota. Pada Riskesdas tahun 2013, dinilai kembali dengan menggunakan alat ukur serta metode yang sama. Gangguan mental emosional diharapkan tidak berkembang menjadi lebih serius apabila orang yang mengalaminya dapat mengatasi atau melakukan pengobatan sedini mungkin ke pusat pelayanan kesehatan atau pergi ke petugas kesehatan. Cakupan pengobatan ditanyakan melalui kunjungan terhadap pelayanan kesehatan dan petugas kesehatan termasuk dikunjungi oleh petugas kesehatan. 159 Gangguan Jiwa Berat Gangguan jiwa berat dinilai melalui serangkaian pertanyaan yang ditanyakan oleh petugas wawancara kepada kepala rumah tangga atau salah seorang pengganti kepala rumah tangga. Inti pertanyaan adalah mengenai ada tidaknya anggota rumah tangga (tanpa melihat umur) yang mengalami gangguan jiwa berat (psikosis atau skizofrenia) pada rumah tangga tersebut. Angka prevalensi yang diperoleh merupakan prevalensi gangguan jiwa berat seumur hidup (life time prevalence). Untuk ART yang mengalami gangguan jiwa, ditanyakan mengenai ada tidaknya riwayat pemasungan selama hidup ART tersebut. Petugas wawancara terlah dilatih mengenai cara melakukan wawancara serta pengetahuan singkat mengenai ciri-ciri gangguan jiwa. Dengan pelatihan singkat tersebut, petugas wawancara diajarkan cara melakukan klarifikasi atau verifikasi terhadap jawaban yang diberikan oleh kepala rumah tangga atau wakilnya. Keterbatasan pengumpulan data dengan cara yang disebutkan di atas adalah kemungkinan adanya kasus yang tidak dilaporkan serta kemungkinan diagnosis yang kurang tepat mengenai gangguan jiwa berat. Upaya untuk mengatasi kelemahan ini dilakukan dengan cara menetapkan batasan operasional bahwa yang dinilai pada Riskesdas ini adalah gangguan jiwa berat (psikosis atau skizofrenia) yang dapat diidentifikasi oleh masyarakat umum sehingga gangguan jiwa berat yang memiliki diagnosis tertentu dan memerlukan kemampuan diagnostik tinggi misalnya diagnosis dokter spesialis jiwa akan tidak terdata pada Riskesdas 2013. Tabel 7.12.1. Prevalensi gangguan jiwa berat menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Kabupaten/Kota Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI Jakarta Gangguan Jiwa Berat (psikosis/skizofrenia) (per1 000) 1,5 0,2 2,2 0,0 1,0 1,2 1,1 Pada Tabel 7.12.1, terlihat bahwa psikosis terbanyak terdapat di kota Jakarta Pusat memiliki angka yang terendah (0,0), sedangkan secara nasional prevalensi adalah 0,8 per mil. Angka prevalensi seumur hidup skizofrenia di dunia bervariasi berkisar 1 sampai dengan 18 per mil. Beberapa kepustakaan menyebutkan secara umum angka prevalensi skizofrenia sebesar 1 persen penduduk. Gangguan Mental Emosional Gangguan mental emosional dinilai dengan Self Reporting Questionnaire (SRQ) yang terdiri dari 20 butir pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan SRQ diberikan kepada anggota rumah tangga (ART) yang berusia ≥ 15 tahun. Ke-20 butir pertanyaan ini mempunyai pilihan jawaban ―ya‖ dan ―tidak‖. Nilai batas pisah yang ditetapkan pada survei ini adalah 6 yang berarti apabila responden menjawab minimal 6 atau lebih jawaban ―ya‖, maka responden tersebut diindikasikan mengalami gangguan mental emosional. Nilai batas pisah tersebut sesuai penelitian uji validitas yang pernah dilakukan (Hartono, Badan Litbangkes, 1995). 160 SRQ memiliki keterbatasan karena hanya mengungkap status emosional individu sesaat (± 30 hari) dan tidak dirancang untuk diagnostik gangguan jiwa secara spesifik. Dalam Riskesdas 2013 pertanyaan dibacakan petugas wawancara kepada seluruh responden. Jumlah tersebut merupakan responden yang menjawab langsung atas pertanyaan yang dibacakan petugas wawancara. Jawaban yang diberikan oleh ART yang diwakili atau didampingi oleh keluarganya tidak dianalisis pada laporan ini. Alasan ART terpaksa diwakili atau didampingi oleh keluarganya oleh karena menderita gangguan jiwa berat dengan kemampuan komunikasi sangat buruk, menderita penyakit fisik berat atau disabilitas lainnya yang menyebabkan ketidakmampuan menjawab pertanyaan yang diberikan. Tabel 7.12.2 Prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk berumur 15 tahun ke atas (berdasarkan Self Reporting Questionnaire-20)* menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Kabupaten/Kota Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI Jakarta Gangguan Mental Emosional (%) 1,0 4,5 6,4 3,4 2,7 4,1 4,4 *Nilai Batas Pisah (Cut off Point) ≥ 6 Proporsi orang yang mengalami gangguan mental emosional DKI Jakarta adalah 4,4% (Tabel 7.12.2). Kabupaten/kota yang proporsi tertinggi dalam jumlah orang yang mengalami gangguan mental emosional adalah Jakarta Timur (6,4 %), terendah adalah Kepulauan Seribu (1,0 %). 7. 13. DISABILITAS Status disabilitas Bahasan disabilitas bertujuan mendapatkan pemahaman seutuhnya tentang pengalaman hidup warga karena kondisi kesehatan termasuk penyakit atau cedera yang dialami. Setiap orang memiliki peran tertentu, seperti bekerja dan melaksanakan kegiatan/aktivitas rutin yang diperlukan. Kuesioner disabilitas dikembangkan oleh WHO untuk mendapatkan informasi sejauhmana seseorang dapat memenuhi perannya di rumah, tempat kerja, sekolah atau area sosial lain, hal yang tidak mampu dilakukan atau kesulitan melakukan aktivitas rutin (WHO 2010). Informasi besaran masalah disabillitas dapat dimanfaatkan untuk menyusun prioritas dan mengevaluasi efektivitas dan kinerja program kesehatan. 161 Tabel 7.13.1 Proporsi tingkat kesulitan menurut komponen disabilitas, Indonesia 2013 Komponen Disabilitas 1. 2. Sulit berdiri dalam waktu lama misalnya 30 menit? Sulit mengerjakan kegiatan rumah tangga yang menjadi tanggung jawabnya 3. Sulit mempelajari/ mengerjakan hal-hal baru, seperti untuk menemukan tempat/alamat baru, mempelajarai permainan, resep baru 4. Sulit dapat berperan serta dalam kegiatan kemasyarakatan (misalnya dalam kegiatan keagamaan, sosial) 5. Seberapa besar masalah kesehatan yang dialami mempengaruhi keadaan emosi? 6. Seberapa sulit memusatkan pikiran dalam melakukan sesuatu selama 10 menit? 7. Seberapa sulit dapat berjalan jarak jauh misalnya 1 kilometer? 8. Seberapa sulit membersihkan seluruh tubuh? 9. Seberapa sulit mengenakan pakaian? 10. Seberapa sulit berinteraksi/ bergaul dengan orang yang belum dikenal sebelumnya? 11. Seberapa sulit memelihara persahabatan? 12. Seberapa sulit mengerjakan pekerjaan sehari-hari? Tidak ada 88,9 5,3 1,8 1,2 Sangat berat 0,3 90,1 5,3 1,4 0,9 0,2 94,5 4,9 1,6 0,9 0,3 95,2 2,4 1,2 0,8 0,3 92,8 4,3 2,2 0,6 0,2 94,4 3,3 1,6 0,5 0,2 92,9 3,0 1,9 1,6 0,5 97,2 97,4 1,7 1,6 0,7 0,6 0,2 0,2 0,2 0,2 96,4 2,3 0,8 0,4 0,2 97,0 96,1 2,1 2,1 0,5 0,8 0,2 0,6 0,2 0,3 Ringan Sedang Berat Tabel 7.13.2 Indikator disabilitas menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Kabupaten/Kota % disabiltas sedangsangat berat Rerata hari produktif hilang per orang Tidak Masih Total mampu mampu Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara 7,00 8,50 8,10 9,90 5,30 9,90 4,24 3,26 10,3 3,86 5,08 5,54 2,96 0,72 2,44 0,48 1,44 1,24 1,28 2,54 7,85 3,37 3,64 4,3 DKI JAKARTA 8,00 6,07 1,4 4,66 Tabel 7.13.2 menunjukkan proporsi disabilitas, dan rerata hari produktif hilang. Proporsi disabilitas sedang sampai sangat berat di DKI sebesar delapan persen, bervariasi dari yang tertinggi di Jakarta Pusat dan Jakarta Utara (9,9%) dan yang terendah di Kepulauan Seribu(7,0 %). Rerata hari produktif hilang adalah rerata lama hari seseorang tidak dapat berfungsi optimal dalam satu bulan, karena disabilitas. Rerata hari produktif warga DKI Jakarta tidak dapat berfungsi optimal selama 6,07 hari dengan rentang terendah 3,26 hari (di Jakarta Selatan) dan tertinggi 10,30 hari (di Jakarta Timur). Walaupun mengalami disabilitas, hampir 5 hari yang dapat digunakan untuk berkegiatan. 162 Tabel 7.13.3 Indikator disabilitas menurut karakteristik, Riskesdas 2013 Karakteristik Kelompok umur 15-24 tahun 25-34 tahun 35-44 tahun 45-54 tahun 55-64 tahun 65-74 tahun 75+ tahun Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan Tidak sekolah Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Tamat D1-D3/PT Pekerjaan Tidak berkerja Pegawai Wiraswasta Petani/Nelayan/Buruh Lainnya Status Ekonomi Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas Prevalensi Rerata skor Rerata hari tidak mampu Tidak Masih Total mampu mampu 5,0 6,7 5,0 9,3 15,2 27,9 47,7 7,27 9,90 9,64 10,99 12,81 21,41 13,35 4,90 6,19 6,73 6,95 10,30 15,31 11,04 2,37 3,71 2,91 4,04 2,51 6,10 2,30 7,1 9,0 11,06 11,53 8,26 7,76 2,81 3,78 22,8 13,2 14,0 7,8 6,1 4,3 18,97 15,17 12,01 10,88 9,66 12,86 13,66 7,95 7,61 8,10 7,09 10,55 5,31 7,22 4,39 2,77 2,57 2,31 10,6 4,2 7,2 7,8 8,9 13,48 7,86 8,11 9,88 6,55 9,88 4,13 5,85 7,15 3,75 3,60 3,73 2,26 2,72 2,80 11,5 9,1 7,4 7,5 5,7 9,83 9,56 11,79 11,43 14,74 7,41 6,47 8,48 7,10 11,35 2,42 3,10 3,31 4,33 3,40 Kelompok umur 75 tahun atau lebih merupakan kelompok dengan indikator disabilitas tertinggi. Lebih tingginya hari produktif hilang kelompok umur 65–74 tahun dapat disebabkan tingginya populasi kelompok ini dibanding kelompok usia 75 tahun atau lebih. Perempuan cenderung lebih rentan mengalami disabilitas daripada laki-laki pada semua indikator disabilitas. Fenomena serupa terjadi untuk kelompok tidak sekolah dan kelompok kuintil terbawah. Walaupun merupakan kelompok dengan prevalensi terendah, tingginya jumlah hari produktif hilang pada kelompok tidak bekerja disebabkan tingginya rerata hari produktif hilang. 163 7.14. KESEHATAN INDERA Sistem indera merupakan salah satu sistem yang sangat berperan dalam mengoptimalkan proses perkembangan setiap individu. Sejak bayi sistem indera merupakan alat utama manusia untuk mengumpulkan berbagai informasi visual, audio, olfaktoris, rasa, dan fisik. Informasi visual ditangkap oleh mata (indera penglihatan), informasi audio ditangkap oleh telinga (indera pendengaran), informasi olfaktoris diterima oleh hidung (indera penciuman), informasi rasa ditangkap oleh lidah (indera perasa) dan informasi fisik diterima melalui permukaan kulit (indera peraba). Sekitar 90 persen informasi berupa informasi visual dan audio, yang dikumpulkan melalui indera penglihatan dan pendengaran. Pengukuran fungsi indera yang lazim dilakukan secara objektif adalah pengukuran fungsi penglihatan (tajam penglihatan/visus) dan fungsi pendengaran (tajam pendengaran). Data nasional yang menggambarkan besaran masalah gangguan indera penglihatan dan pendengaran terakhir dikumpulkan antara tahun 1993-1997 dan belum diperbarui hingga saat ini. Riskesdas 2007 bermaksud menyediakan data tentang prevalensi kebutaan yang lebih mutakhir, tetapi karena metoda pengumpulan data masih dianggap tidak adekuat oleh organisasi profesi, maka data angka kebutaan yang dihasilkan dari Riskesdas 2007 juga dinilai kontroversial. Pada Riskesdas 2007, data termutakhir untuk prevalensi gangguan pendengaran masyarakat tidak dikumpulkan. Riskesdas 2013 kembali mengumpulkan data prevalensi kebutaan dengan metoda yang serupa dengan Riskesdas 2007, tetapi sudah disempurnakan dan merupakan hasil diskusi dengan organisasi profesi. Organisasi profesi Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia (PERDAMI) dan Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung Tenggorok Indonesia (PERHATI) juga melengkapi Riskesdas dengan studi validasi yang akan dilaksanakan segera setelah semua data Riskesdas 2013 terkumpul. Studi validasi tersebut dimaksudkan untuk memperkuat reliabilitas pengukuran prevalensi kebutaan dan ketulian dalam survei nasional berbasis komunitas. 7.14.1 Kesehatan Mata Data yang dikumpulkan untuk mengetahui indikator kesehatan mata pada Riskesdas 2013 meliputi pengukuran tajam penglihatan menggunakan kartu tumbling-E (dengan dan tanpa pin-hole) pada responden umur 6 tahun keatas serta pemeriksaan segmen anterior mata terhadap responden semua umur. Pemeriksaan visus dan observasi morbiditas permukaan mata dilakukan di luar ruangan dengan sumber cahaya matahari, tetapi pemeriksaan lensa dilakukan dalam ruangan redup dengan bantuan pen-light. Pemeriksaan visus dilakukan dengan jarak pengukuran 6 atau 3 meter, dengan kartu E yang dapat diputar ke segala arah (tumbling E) disesuaikan dengan tinggi mata responden yang diperiksa. Responden yang sakit berat dan tidak memungkinkan untuk duduk dan diperiksa visus dieksklusi dalam penghitungan prevalensi kebutaan, begitu pula responden yang menolak atau tidak dapat bekerja sama dengan tim enumerator. Prevalensi low vision dan kebutaan dihitung berdasarkan hasil pengukuran visus dengan atau tanpa kaca mata/lensa kontak koreksi. Kebutaan didefinisikan sebagai visus pada mata terbaik < 3/60 atau dengan kata lain buta bilateral. Severe low vision didefinisikan sebagai visus pada mata terbaik < 6/603/60 atau mencakup severe low vision bilateral dan buta unilateral yang disertai severe low vision unilateral. Prevalensi pterygium, kekeruhan kornea, dan katarak dihitung berdasarkan hasil pemeriksaan dan observasi nakes pada semua responden tanpa batasan umur. Keterbatasan pengumpulan data visus adalah tidak dilakukannya koreksi visus, tetapi dilakukan pemeriksaan visus tanpa pin-hole dan jika visus tidak normal (kurang dari 6/6 atau 20/20) dilanjutkan 164 dengan pemeriksaan dengan pin-hole, seperti yang dilakukan saat Riskesdas 2007. Keterbatasan pengumpulan data prevalensi morbiditas permukaan mata dan lensa adalah kemampuan klinis pengumpul data (surveior) yang bervariasi dalam menilai permukaan mata dan lensa menggunakan alat bantu pen-light, sehingga prevalensi tersebut cenderung kurang valid. Prevalensi Kebutaan Alat yang dipergunakan untuk pemeriksaan visus adalah tali pengukur jarak sepanjang 6 meter, satu set kartu tumbling E (ukuran besar untuk visus 6/60, sedang untuk visus 6/18, dan kecil untuk visus 6/6), serta penutup mata dengan pin-hole. Disediakan 6 pilihan jawaban untuk kategori visus, yaitu: 1. Dapat melihat E kecil (jarak 6m) 2. Tidak dapat melihat E kecil, tetapi dapat melihat E sedang (jarak 6m) 3. Tidak dapat melihat E sedang, tetapi dapat melihat E besar (jarak 6m) 4. Tidak dapat melihat E besar (jarak 6m), tetapi dapat melihat E besar (jarak 3m) 5. Tidak dapat melihat E besar pada jarak 3m 6. TIDAK DIPERIKSA Interpretasi kode visus tiap mata adalah sebagai berikut: kode 1 berarti visus normal (6/6), kode 2 berarti gangguan visus ringan (visus kurang dari 6/6 sampai 6/18), kode 3 berarti low vision (visus kurang dari 6/18 sampai 6/60), kode 4 berarti severe low vision (kurang dari 6/60 sampai 3/60) dan kode 5 berarti buta(kurang dari 3/60). Visus tidak diperiksa jika responden berumur 6 tahun keatas, tetapi tidak kooperatif, atau tidak memungkinkan untuk diperiksa visusnya, seperti responden dengan kelainan jiwa berat atau mereka yang mengalami kelumpuhan total. Responden umur 6 tahun keatas yang memenuhi kriteria untuk dianalisis berjumlah 924.780 orang. 3,0 2,6 2,5 2,0 1,5 1,0 0,9 1,1 0,5 - 0,4 Tahun 2007 Tahun 2013 Gambar 7.12 Prevalensi kebutaan pada responden umur ≥ 6 tahun tanpa/dengan koreksi optimal menurut provinsi, Indonesia 2007-2013. 165 Gambar 7.14. menunjukkan bahwa prevalensi kebutaan pada Riskesdas 2013 cenderung lebih rendah dibandingkan prevalensi kebutaan tahun 2007. Prevalensi kebutaan penduduk umur 6 tahun keatas tertinggi ditemukan di Gorontalo (1,1%) diikuti Nusa Tenggara Timur (1,0%), Sulawesi Selatan, dan Bangka Belitung (masing-masing 0,8%). Pada Riskesdas 2007 prevalensi kebutaan tertinggi ditemukan di Sulawesi Selatan (2,6%) diikuti Nusa Tenggara Timur (1,4%) dan Bengkulu (1,3%). Terdapat perbedaan metoda pengukuran tajam penglihatan/visus antara Riskesdas 2007 yang menggunakan Snellen chart dan Riskesdas 2013 yang menggunakan tumbling E, peraga yang lebih sederhana daripada Snellen chart dan mempunyai keterbatasan mengidentifikasi visus dengan rentang tertentu, bukan visus satu nilai seperti Snellen chart. Tumbling E lebih mudah digunakan dan dilaporkan cukup spesifik mengidentifikasi adanya gangguan penglihatan (Limburg, 2002). Prevalensi kebutaan terendah ditemukan di Papua (0,1%) diikuti Nusa Tenggara Barat dan DI Yogyakarta (masing-masing 0,2%). Response rate Papua rendah, sehingga angka kebutaan untuk Papua diragukan validitasnya, seperti juga saat Riskesdas 2007 (prevalensi kebutaan 0,4%) dan diperkirakan tidak mewakili keadaan sebenarnya untuk wilayah Papua. Tabel 7.14.1 Prevalensi ketersediaan koreksi refraksi, kebutaan, dan severe low vision pada responden ≥ 6 tahun tanpa/dengan koreksi optimal menurut kota DKI Jakarta. Proporsi ketersediaan kaca mata atau lensa kontak di DKI Jakarta paling tinggi ditemukan di Jakarta Timur (28,6%). Severe Low vision dan kebutaan paling banyak di paling banyak di Jakarta timur (1,1% dan 0,8%) 166 Tabel 7.14.1 Proporsi koreksi refraksi, kebutaan, dan severe low vision pada responden ≥6 tahun tanpa/dengan koreksi optimal menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Kabupaten/Kota Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI Jakarta Pakai Kacamata/ Lensa kontak 9,8 24,2 28,6 27,8 21,7 24,7 25,2 Severe Low vision Kebutaan 0,6 0,2 1,1 1,0 0,4 0,5 0,6 0,0 0,1 0,8 0,0 0,5 0,1 0,4 Tabel 7.14.2. Proporsi katarak dan tiga alasan utama belum menjalani operasi katarak pada responden semua umur menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Kabupaten/Kota Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI Jakarta Katarak 1,2 0,8 1,3 1,2 0,7 0,5 0,9 Tidak tahu kalau katarak 55,6 33,4 22,1 37,0 40,6 26,7 29,9 Alasan Belum Operasi Tidak mampu Takut Operasi membiayai 8,4 0,0 16,5 8,3 23,7 7,3 22,9 25,7 31,4 2,8 24,4 22,6 24,0 10,3 Tabel 7.14.2 Prevalensi Katarak dan Tiga Alasan Utama Belum Menjalani Operasi Katarak pada Responden Semua Umur Menurut Kota, menunjukkan bahwa prevalensi tertinggi katarak juga ada di Jakarta Timur (1,3%). Sedangkan alasan tidak melakukan operasi katarak yang paling banyak disebabkan oleh ketidaktahuan kalau responden menderita katarak (29,9%). 7.14.2 Kesehatan Telinga Data yang dikumpulkan terkait status kesehatan telinga meliputi anatomi liang telinga, kelainan pada telinga tengah dan daerah retroaurikular, keutuhan gendang telinga, serta adanya gangguan fungsi pendengaran. Pengumpulan data dilakukan dengan cara pemeriksaan fisik oleh nakes terlatih pada responden berumur 2 tahun keatas dan untuk fungsi pendengaran dilakukan tes konversasi bagi responden yang kooperatif dan tidak tuna wicara. Keterbatasan pengumpulan data terkait kesehatan telinga adalah kemampuan klinis nakes yang sangat bervariasi dalam mengenali kelainan telinga dan retroaurikular. Keterbatasan untuk pengukuran tajam pendengaran adalah tidak tersedianya alat audiometer di lapangan, sehingga hanya dilakukan uji/tes konversasi. 167 Prevalensi Ketulian Pada survei ini interpretasi dari skor yang digunakan adalah sebagai berikut: Pemeriksa membisikkan kalimat sederhana dan responden diminta mengulanginya. Jika responden dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, maka skor responden adalah “0”. Jika responden tidak dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, pemeriksa akan mengucapkan satu kalimat dengan volume suara normal dan responden kembali diminta mengulanginya. Jika responden dapatmengikuti kata-kata pemeriksa, maka skor responden adalah “1” pendengaran NORMAL. Jika responden tidak dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, pemeriksa akan mengucapkan satu kalimat dengan volume suara yang lebih keras dan responden kembali diminta mengulanginya dan jika responden dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, maka skor responden adalah “2” gangguan pendengaran ringan. Jika responden tidak dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, pemeriksa akan meneriakkan satu kalimat pada telinga dengan fungsi pendengaran lebih baik dan responden kembali diminta mengulanginya dan Jika responden dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, maka skor responden adalah “3 gangguan pendengaran sedang. Jika responden tidak dapat mengikuti teriakan kata-kata pemeriksa, maka skor responden adalah “4” ketulian. Tabel 7.14.3 menyajikan Prevalensi Gangguan Pendengaran dan Ketulian Responden Umur 5 Tahun Keatas Sesuai Tes Konversasi Menurut Kota. Berdasarkan data yang ada dapat dilihat bahwa gangguan pendengaran lebih tinggi prevalensinya daripada ketulian. Gangguan pendengaran tertinggi prevalensinya di Jakarta utara (1,5%) . Tabel 7.14.3 Prevalensi gangguan pendengaran dan ketulian responden umur 5 tahun keatas sesuai tes konversasi menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Kabupaten/Kota Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI Jakarta Gangguan Pendengaran Ketulian 0,9 1,2 1,2 1,6 0,5 1,5 1,1 0,3 0,1 0,1 0,0 0,1 0,0 0,1 168 7.15. PEMBIAYAAN KESEHATAN Salah satu tujuan sistem kesehatan adalah meningkatkan derajat kesehatan (health status), ketanggapan (responsiveness), dan keadilan dalam pembiayaan pelayanan kesehatan (fairness of financing) (WHO, 2000). Pada topik ini dikumpulkan informasi tentang jenis kepemilikan dan penggunaan jaminan kesehatan, pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan, dan sumber pembiayaan yang paling sering dimanfaatkan penduduk beserta besaran biaya yang dikeluarkannya. Pembiayaan kesehatan adalah besarnya dana yang harus disediakan untuk menyelenggarakan dan atau memanfaatkan upaya kesehatan/memperbaiki keadaan kesehatan yang diperlukan oleh perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat. Jaminan kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah (Perpres no 12 tahun 2013) Menurut UU No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan Pasal 130 bahwa pembiayaan kesehatan bertujuan untuk penyediaan pembiayaan kesehatan yang berkesinambungan dengan jumlah yang mencukupi, teralokasi secara adil, dan termanfaatkan secara berhasil guna dan berdaya guna untuk menjamin terselenggaranya pembangunan kesehatan agar meningkatkan derajat kesehatan masyarakat setinggitingginya. Unsur-unsur pembiayaan terdiri atas sumber pembiayaan, alokasi, dan pemanfaatan. Sumber pembiayaan kesehatan berasal dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat, swasta, dan sumber lain. Syarat pokok pembiayaan kesehatan meliputi: (1) jumlah harus memadai untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan dan tidak menyulitkan masyarakat yang memanfaatkan; (2) distribusinya harus sesuai dengan kebutuhan untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan dan masyarakat; serta (3) pemanfaatannya harus diatur setepat mungkin agar tercapai efektivitas dan efisiensi dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang optimal (UU No. 36, 2009). Pada Riskesdas 2013, analisis pembiayaan kesehatan meliputi kepemilikan dan penggunaan jaminan kesehatan serta pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan rawat jalan dan rawat inap berikut sumber dan besaran biayanya. Sumber biaya dibedakan menjadi Biaya sendiri, Asuransi Kesehatan Sosial (meliputi Askes PNS, Pensiun, Veteran, TNI/Polri), Jamsostek (Jaminan Sosial Tenaga Kerja), Asuransi kesehatan Swasta, Tunjangan kesehatan dari Perusahaan, Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), dan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Kepemilikan dan Pemanfaatan Jaminan Kesehatan Hasil analisis memberikan informasi tentang proporsi penduduk yang telah tercakup maupun yang tidak tercakup jaminan kesehatan. Jenis jaminan kesehatan terdiri dari; asuransi kesehatan (PNS, veteran, pensiunan PNS, pensiunan TNI/Polri), ASABRI (TNI/Polri aktif, staf Kementrian Hukum dan Keamanan), JPK Jamsostek, asuransi kesehatan swasta, tunjangan kesehatan dari perusahaan, Jamkesmas dan Jamkesda. Untuk kepentingan analisis Askes dan ASABRI dimasukkan dalam satu kelompok dikarenakan pemerintah juga membayar sebagian dari iuran jaminan tersebut. 169 Tabel 7.15.1 Proporsi kepemilikan jaminan kesehatan menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Kabupaten/Kota Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI Jakarta Askes/ ASABRI 9,5 5,0 7,9 3,9 2,6 2,6 4,8 Jamsostek 1,3 8,4 13,9 7,1 9,7 8,3 10,1 Jenis Jaminan Kesehatan Askes PerusaJamkesSwasta haan mas 0,2 0,3 0,1 6,4 5,9 1,2 6,2 6,3 3,6 4,2 4,3 5,1 8,2 2,9 3,4 4,4 3,2 5,2 6,2 4,7 3,4 Jamkesda 86,9 5,2 6,2 12,8 4,1 6,4 6,3 Tidak punya 2,6 72,4 61,9 66,2 73,4 73,1 69,1 Tabel 7.15.1 menunjukkan 69,1 persen penduduk DKI Jakarta belum memiliki jaminan kesehatan. Kepemilikan jaminan didominasi oleh Jamsostek (10,1%). Askes/ ASABRI dimiliki oleh sekitar 5 persen penduduk, asuransi kesehatan swasta dan tunjangan kesehatan perusahaan masing-masing sebesar 6,2 persen dan 4,7 persen. Walaupun DKI Jakarta diketahui tidak masuk dalam kuota program Jamkesmas, namun terdapat 3,4 persen penduduk yang menyatakan memiliki Jamkesmas. Diantara kota-kota di DKI Jakarta hanya Kepulauan Seribu yang memiliki cakupan kepemilikan jaminan kesehatan yang tinggi diantara kota lain, yaitu sekitar 97,4 persen penduduk atau hanya 2,6 persen yang tidak punya jaminan apapun. Sebaliknya kota-kota yang lain sekitar 60-70 persen penduduknya tidak punya jaminan. 170 Tabel 7.15.2 Proporsi kepemilikan jaminan kesehatan menurut karakteristik, Riskesdas 2013 Jenis Jaminan Kesehatan Karakteristik Kelompok umur (tahun) 0-4 5-14 15-24 25-34 35-44 45-54 55-64 65-74 75+ Pekerjaan Tidak berkerja Pegawai Wiraswasta Petani/Nelayan/Buruh Lainnya Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas Askes/ ASABRI Jamsostek Askes Swasta Perusahaan Jamkes Jamkesda mas Tidak punya 2,9 3,0 3,7 3,1 3,0 6,7 16,0 19,5 15,4 8,4 5,6 11,4 17,1 11,7 6,8 3,2 0,7 3,5 6,4 5,1 4,4 8,5 7,6 5,8 5,1 2,3 1,7 3,7 3,9 4,8 6,6 5,2 4,0 2,1 3,4 0,2 2,8 3,6 3,9 2,0 3,8 4,4 4,4 4,2 7,6 4,5 7,2 6,0 5,0 6,7 8,2 8,3 5,1 1,9 74,5 74,0 70,2 64,8 66,8 69,1 64,9 68,8 70,8 6,2 6,7 2,2 0,5 2,6 5,9 25,4 4,0 6,8 7,9 4,4 12,0 6,0 0,9 4,2 3,4 10,8 2,0 1,8 1,9 3,5 2,6 3,9 5,7 3,6 7,3 4,9 6,2 7,8 3,2 72,3 49,5 78,2 77,8 79,4 4,6 4,9 12,1 8,2 6,8 5,7 5,3 4,1 3,5 3,4 5,7 6,9 67,5 70,7 0,2 1,5 3,4 5,6 11,6 5,3 8,9 11,1 11,4 12,3 1,2 2,9 3,4 5,5 16,8 0,9 2,9 4,1 5,3 8,9 6,1 6,0 2,5 3,1 0,6 8,5 7,3 7,4 5,3 3,7 78,8 73,8 71,5 68,3 56,0 Tabel 7.15.2 menggambarkan kepemilikan jaminan menurut karakteristik penduduk meliputi kelompok umur, pekerjaan, tempat tinggal, dan kuintil indeks kepemilikan jaminan kesehatan. Kondisi kepemilikan jaminan menurut kelompok umur pada penduduk di DKI Jakarta berkisar antara 65 - 75 persen. Kelompok umur di bawah 5 tahun adalah kelompok tertinggi yang tidak memiliki jaminan (74,5%), sedangkan kelompok umur lainnya juga masih tinggi atau di atas 64 persen yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Kepemilikan jaminan kesehatan menurut status pekerjaan menunjukkan kelompok tertinggi yang memiliki jaminan adalah kelompok pegawai (50,5%) kelompok pegawai terdiri dari pegawai formal ataupun non formal. Menurut kuintil indeks kepemilikan, Jamkesda dimiliki oleh kelompok penduduk terbawah, menengah bawah dan menengah, masing-masing sebesar 8,5 persen, 7,3 persen dan 7,4 persen. Akan tetapi Jamkesda dimiliki juga pada penduduk menengah atas (5,3%) dan teratas (3,7%). Askes/ASABRI, Jamsostek, Askes swasta, dan Perusahaan dimiliki oleh penduduk dengan kuintil indeks kepemilikan teratas, masing-masing 11,6 persen, 12,3 persen, dan 16,8 persen. 171 Mengobati Sendiri, Pemanfaatan Rawat Jalan dan Rawat Inap Pola pencarian pengobatan seseorang dikategorikan dalam mengobati sendiri, memanfaatkan rawat jalan, dan memanfaatkan rawat inap. Informasi mengobati sendiri didapatkan dengan mengetahui perilaku seseorang yang pernah mengobati sendiri dengan cara membeli obat di apotik atau toko obat tanpa resep dalam satu bulan terakhir. Analisis pemanfaatan rawat jalan merupakan pemanfaatan fasilitas kesehatan oleh seseorang dalam satu bulan terakhir untuk mengatasi gangguan kesehatan dirinya. Rawat Inap menurut Azwar Azrul (1996:73) suatu bentuk pelayanan kesehatan kedokteran intensif (hospitalization) yang diselenggarakan oleh rumah sakit, rumah sakit bersalin, maupun rumah bersalin. Pemanfaatan rawat inap ditanyakan dalam kurun waktu satu tahun terakhir. Tabel 7.15.3 Proporsi penduduk yang mengobati sendiri sebulan terakhir dan besaran median biaya menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara % 19,8 36,7 43,6 26,4 22,9 25,6 Mengobati sendiri Rp 1.500 5.000 5.000 10.000 8.000 5.000 DKI Jakarta 32,5 5.000 Kabupaten/Kota Tabel 7.15.3 menggambarkan proporsi penduduk Indonesia yang mengobati diri sendiri dengan membeli obat ke toko obat atau ke warung tanpa resep dokter adalah 32,5 persen dengan median mengeluarkan uang sebanyak Rp. 5.000 pada satu bulan terakhir. Jakarta Timur merupakan kota tertinggi yang mengobati sendiri (43,6%), dengan pengeluaran sebesar Rp.2.000. Jakarta Pusat merupakan kota dengan pengeluaran terbesar untuk mengobati sendiri (Rp.10.000) dalam satu bulan terakhir. Kepulauan Seribu merupakan kota dengan proporsi terendah untuk mengobati diri sendiri (19,8%). 172 Tabel 7.15.4 Proporsi penduduk yang mengobati sendiri sebulan terakhir dan besaran median biaya menurut status ekonomi, Riskesdas 2013 Status Ekonomi % Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas Mengobati diri sendiri Rp 32,6 32,9 35,3 32,4 29,2 4.000 5.000 5.000 7.000 10.000 Menurut kuintil indeks kepemilikan, dari Tabel 3.11.4. dapat dilihat bahwa kelompok teratas merupakan kelompok yang terbawah untuk mengobati sendiri (29,2%) namun dari sisi biaya yang dikeluarkan adalah terbesar diantara kota lainnya yaitu Rp.10.000 Tabel 7.14.5 menggambarkan 9,3 persen penduduk Indonesia dalam satu bulan terakhir melakukan rawat jalan dan median biaya yang dikeluarkan sebesar Rp.75.000. Penduduk Kepulauan Seribu merupakan kota tertinggi yang melakukan rawat jalan (21,1%) dengan median biaya sebesar Rp. 30.000 dalam satu bulan terakhir. Penduduk Jakarta Utara merupakan yang terendah dalam pemanfaatkan fasilitas rawat jalan (5,7%) dengan pengeluaran median biaya sebesar Rp.60.000. Di Jakarta Timur, 13.4 persen penduduknya memanfaatkan rawat jalan dengan median biaya sebesar Rp. 100.000 yang merupakan pengeluaran tertinggi dalam satu bulan terakhir, jika dibandingkan dengan kota lainnya. Tabel. 7.15.5 Proporsi pemanfaatan rawat jalan dan rawat inap beserta biaya median yang dikeluarkan menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Kabupaten/Kota Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI Jakarta % 21,1 10,0 13,4 6,5 7,5 5,7 9,3 Rawat Jalan Rp 30.000 75.000 100.000 30.000 60.000 60.000 75.000 % 0,8 3,2 2,9 2,2 1,6 1,3 2,3 Rawat Inap Rp 13.000.000 5.000.000 5.000.000 4.000.000 5.000.000 5.000.000 5.000.000 Dalam satu tahun terakhir, 2,3 persen penduduk DKI Jakarta melakukan rawat inap dengan median biaya sebesar Rp. 5.000.000. Penduduk Kepulauan Seribu merupakan kota dengan pemanfaatan rawat inap paling rendah yaitu sebesar 0,8 persen dengan median biaya dalam satu tahun terakhir tertinggi diantara kota lain yaitu sebesar Rp.13.000.000. 173 Tabel 7.15.6 Proporsi pemanfaatan rawat jalan dan rawat inap beserta median biaya yang dikeluarkan menurut karakteristik, Riskesdas 2013 Karakteristik Kel umur 0-4 tahun 5-14 tahun 15-24 tahun 25-34 tahun 35-44 tahun 45-54 tahun 55-64 tahun 65-74 tahun 75+ tahun Status ekonomi Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas % Rawat Jalan Rp % Rawat Inap Rp 15,5 9,2 6,3 7,2 7,7 11,7 12,6 17,1 18,4 50.000 50.000 50.000 100.000 80.000 120.000 150.000 150.000 450.000 2,6 1,1 1,8 2,9 2,2 2,1 4,4 5,6 2,6 3.000.000 3.500.000 4.000.000 5.000.000 7.000.000 6.700.000 3.800.000 13.000.000 3.000.000 8,4 9,7 9,4 9,8 9,1 45.000 50.000 60.000 90.000 200.000 1,9 2,2 1,8 2,8 2,7 2.000.000 2.815.600 5.350.000 6.000.000 6.500.000 Tabel 7.15.6. menggambarkan semakin bertambah umur, penduduk semakin banyak yang memanfaatkan rawat jalan dan median biayanya pun cenderung makin besar. Kelompok umur di atas 75 tahun merupakan kelompok proporsi tertinggi yang melakukan rawat jalan sebesar 18,4 persen dengan biaya rerata juga tertinggi diantara kelompok umur lainnya yaitu sebesar Rp. 450.000 pada satu bulan terakhir, sedangkan kelompok 15-24 tahun adalah pemanfaat terendah (6,3%). Sebanyak 5,6 persen kelompok 65-74 tahun memanfaatkan rawat inap dan jumlah tersebut lebih tinggi daripada angka provinsi (2,3%). Biaya yang dikeluarkan dalam satu tahun terakhir untuk rawat inap pada kelompok umur tersebut juga tertinggi diantara kelompok umur lainnya yaitu sebesar Rp. 13.000.000. Menurut kuintil indeks kepemilikan, pengeluaran untuk rawat jalan dan rawat inap paling tinggi pada kelompok penduduk kuintil teratas. Pemanfaatan tertinggi rawat jalan dan pemanfaatan rawat inap terbanyak terdapat pada kuintil menengah teratas. Sumber Pembiayaan Sumber biaya kesehatan menurut SKN terdiri dari biaya pemerintah dan masyarakat. Riskesdas 2013 memberikan informasi tentang proporsi sumber biaya kesehatan penduduk yang memanfaatkan rawat jalan dalam satu bulan terakhir dan atau rawat inap dalam satu tahun terakhir. Sumber biaya dikelompokkan menjadi: biaya sendiri, asuransi kesehatan (PNS, veteran, pensiunan PNS, pensiunan TNI/Polri), ASABRI (TNI/Polri aktif, staf Kementerian Hukum dan Keamanan), JPK Jamsostek, asuransi kesehatan swasta, tunjangan kesehatan dari perusahaan, Jamkesmas dan Jamkesda. Pada Riskesdas 2013, penduduk diminta menyebutkan total biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan rawat jalan (satu bulan terakhir) dan rawat inap (satu tahun terakhir). Hasil analisis besar biaya merupakan rerata total besar biaya dalam sebulan terakhir (rawat jalan) atau satu tahun terakhir (rawat inap) dengan menggunakan median. 174 Tabel 7.15.7 menggambarkan bahwa sumber pembiayaan rawat jalan secara keseluruhan untuk DKI Jakarta masih didominasi (59,9%) pembiayaan yang dibayar oleh pasien sendiri atau keluarga (out of pocket). Pembiayaan ditanggung oleh pasien sendiri atau keluarga tertinggi adalah di Jakarta Selatan (71,7%) dan pembiayaan out of pocket terendah adalah Kepulauan Seribu (7,2%). Tertinggi kedua pembiayaan oleh Jamkesmas/Jamkesda (17,3%), dan terendah adalah pembiayaan oleh asuransi swasta (1,8%). Jamkesmas dan Jamkesda diperhitungkan sebagai ‗sejenis asuransi kesehatan‘, maka sekitar 20 persen penduduk yang pernah rawat jalan dalam kurun waktu 1 bulan terakhir telah mempunyai ‗sejenis asuransi kesehatan‘. Tabel 7.15.7 Proporsi sumber biaya untuk rawat jalan menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013 Kabupaten/Kota Kepulauan Seribu Kota Jakarta Selatan Kota Jakarta Timur Kota Jakarta Pusat Kota Jakarta Barat Kota Jakarta Utara DKI Jakarta Biaya Sendiri 7,2 71,7 56,3 51,1 59,2 55,8 59,9 Askes/ ASABRI 2,2 5,0 3,5 0,8 1,9 4,5 3,4 Jamsostek 1,1 3,1 2,6 1,6 3,5 2,8 2,8 Sumber Biaya Rawat Jalan Asuransi Jamkesma/ Swasta Jamkesda 0,6 88,9 2,1 10,0 1,4 14,1 0,7 30,4 2,4 21,7 2,1 26,8 1,8 17,3 Perusahaan 0,0 4,7 4,2 1,2 2,5 2,8 3,6 Sumber Lainnya 0,0 2,4 14,4 11,1 8,5 4,7 9,1 Lebih dr 1 Sumber 0,0 1,1 3,5 3,1 0,4 0,6 2,0 Tabel 7.15.8 Proporsi sumber biaya untuk rawat jalan menurut status ekonomi, Riskesdas 2013 Status Ekonomi Biaya Sendiri Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah 58,8 Menengah bawah 54,9 Menengah 56,4 Menengah atas 59,2 Teratas 70,2 Askes/ ASABRI 0,5 1,0 1,9 5,8 6,8 Sumber Biaya Rawat Jalan Asuransi Jamkesma/ Sumber Jamsostek Perusahaan Swasta Jamkesda Lainnya 0,9 2,7 4,5 3,6 1,3 0,0 0,0 1,1 2,3 4,8 25,7 24,3 23,6 13,2 2,6 0,0 1,3 2,0 4,7 8,8 12,3 14,4 10,5 7,7 2,1 Lebih dr 1 Sumber 1,8 1,4 0,1 3,5 3,3 Tabel 7.15.8 memperlihatkan bahwa menurut kuintil indeks kepemilikan, sumber biaya rawat jalan untuk semua jenis fasilitas kesehatan yang berasal dari biaya sendiri pada semua kelompok penduduk mempunyai proporsi lebih dari 54 persen. Pada penduduk kuintil terbawah didapati 58,8 persen melakukan rawat jalan dengan biaya sendiri atau tanpa jaminan kesehatan apapun dan pada penduduk teratas terdapat 70,2 persen. Sumber biaya rawat jalan dari Jamkesmas/Jamkesda yang tertinggi adalah pada penduduk kuintil terbawah (25,7%), sebaliknya pada penduduk kuintil teratas ada 2,6 persen yang menggunakannya. Proporsi dan pemanfaatan sumber biaya rawat jalan dari Askes, 175 ASABRI, asuransi kesehatan swasta, dan tunjangan kesehatan perusahaan cenderung meningkat pada kuintil indeks kepemilikan yang semakin tinggi. Tabel 7.15.9 Sumber biaya yang dipakai untuk pengobatan rawat inap menurut kabupaten/kota, Riskesdas2013 Kabupaten/Kota Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI Jakarta Biaya Sendiri 24,1 35,0 34,8 28,4 55,4 34,9 37,5 Askes/ ASABRI 0,0 6,7 2,6 6,9 0,0 14,9 5,0 Sumber Biaya Rawat inap Semua Fasilitas JamsosAsuransi Jamkesmas/ Perusatek Swasta Jamkesda haan 0,0 0,0 48,2 0,0 0,7 5,7 16,9 23,7 1,7 1,5 13,9 3,5 9,4 8,2 23,9 8,3 6,4 8,2 12,4 7,8 4,2 9,5 31,5 0,9 3,0 5,2 17,1 10,5 Sumber Lainnya 27,6 6,0 21,3 7,1 7,3 4,1 11,6 Lebih dr 1 Sumber 0,0 5,3 20,6 7,9 2,4 0,0 10,0 Tabel 7.15.9 memperlihatkan bahwa sumber biaya yang dipakai untuk rawat inap pada semua fasilitas kesehatan di DKI Jakarta masih didominasi oleh biaya sendiri (out of pocket), yaitu sekitar 37,5 persen. Kondisi ini dimungkinkan karena masih sekitar 50,5 persen penduduk Indonesia belum memiliki jaminan kesehatan. Pola pemanfaatan jaminan kesehatan sebagai sumber biaya untuk rawat jalan dan rawat inap tidak berbeda. Sumber biaya yang paling banyak digunakan untuk rawat inap berturut-turut adalah Jamkesmas/Jamkesda 17,1 persen, Sumber lainnya 11,6 persen, Jaminan Perusahaan 10,5 persen, dan lebih dari satu sumber biaya 10,0 persen. Asuransi kesehatan swasta 5,2 persen, Askes/ASABRI 5,0 persen, dan sebanyak 3,0 persen penduduk indonesia yang rawat inap menggunakan Jamsostek. Gambaran dari berbagai kota menunjukkan kecenderungan yang tidak berbeda dimana dominasi pembiayaan rawat inap bersumber dari biaya sendiri, kecuali untuk Kepulauan Seribu. Di Kepulauan Seribu , sumber biaya kesehatan rawat inap paling banyak berasal dari Jamkesmas atau Jamkesda. 176 Tabel 7.15.10 Sumber biaya yang dipakai untuk pengobatan rawat inap menurut status ekonomi, Indonesia 2013 Status Ekonomi Biaya Sendiri Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah 30,9 Menengah bawah 44,5 Menengah 28,4 Menengah atas 34,4 Teratas 45,3 Askes/ ASABRI 2,6 0,5 4,1 10,1 4,8 Sumber Biaya Rawat inap Semua Fasilitas JamsosAsuransi Jamkesmas/ Perusatek Swasta Jamkesda haan 0,0 0,2 2,6 6,4 3,4 3,7 1,1 2,5 5,2 10,8 2,5 28,0 28,2 17,7 7,4 11,8 3,0 2,3 18,0 14,0 Sumber Lainnya Lebih dr 1 Sumber 40,3 13,2 11,0 2,8 6,3 8,2 9,4 20,8 5,5 8,1 Proporsi sumber biaya rawat inap dari jaminan kesehatan menurut indeks kuintil kepemilikan, bervariasi. ASKES ASABRI, Jamsostek, dan Jaminan Perusahaan tertinggi terdapat pada kelompok menengah atas. Penggunaan asuransi kesehatan swasta sebagai sumber biaya rawat inap tertinggi terdapat pada kelompok kuintil teratas (10,8%) dan terendah pada kuintil menengah bawah (1,1%) . Sumber biaya rawat inap untuk semua jenis fasilitas kesehatan yang berasal dari biaya sendiri pada semua kelompok penduduk mempunyai proporsi lebih dari 28 persen. Pada penduduk kuintil terbawah didapati 30,9 persen melakukan rawat inap dengan biaya sendiri atau tanpa jaminan kesehatan apapun dan pada penduduk teratas didapatkan 45,3 persen. Sumber biaya rawat inap dari Jamkesmas/Jamkesda yang tertinggi adalah pada penduduk kuintil menengah bawah (28,0%) dan menengah (28,2%), sedangkan terendah pada penduduk terbawah hanya 2,5 persen yang menggunakannya. 177 KEPUSTAKAAN Kementerian Kesehatan. Visi Misi dan Strategi Renstra Kementrian Kesehatan 2010 – 2014. Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 877/Menkes/SK/XI/2006, tanggal 3 Nopember 2006, tentang Tim Riset Kesehatan Dasar Tahun 2006 – 2008. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar RISKESDAS Indonesia dan 33 Provinsi – Tahun 2007. World Health Organization 2003. Health System Responsiveness: Concepts, Domains and Operationalization. In : Health System Performance Assessment: Debates, methods and empirics. WHO: Geneva. Blum.M.D. Hendrick L. Planning for Health,Second Edition.New York: Human Science Press 1974. Laporan Riskesdas 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Depkes R.I. Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) CKD Work Group. KDIGO 2012 Clinical Practice Guideline for the Evaluation and Management of Chronic Kidney Disease. Kidney inter., Suppl. 2013; 3: 1—150. National Heart, Lung, and Blood Institute, National Institute of Health, US. 2004. The seventh report of the Joint Committee on prevention, detection, evaluation, and treatment of high blood pressure. NIH Publication No. 04-5230, August 2004. (cited 2007 Nov 2). Available from: http://www.nhlbi.nih.gov/guidelines/hypertension/jnc7full.pdf. Report of WHO. Definition and diagnosis of diabetes mellitus and intermediate hyperglycaemia. Geneva: WHO; 2006. P.9—43. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2010, Riset Kesehatan Dasar Tahun 2010, Jakarta Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Kemkes RI, 2010, Pedoman Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak, Jakarta. Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Factsheet Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi, Jakarta, diunduh dari www.kesehatanibu.depkes.go.id/wpcontent/.../download.php?id=59 Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Factsheet Pelayanan KB Pasca Salin, www.kesehatanibu.depkes.go.id/wp-content/.../download.php?id=56 Kemenkes RI, 2011. ―Petunjuk Teknis Jaminan Persalinan‖, Jakarta. Kementerian Kesehatan, 1997, Buku Kesehatan Ibu dan Anak, Jakarta, cetakan tahun 2012. Rajagukguk, Omas Bulan, 2010, Keluarga Berencana dalam Dasar-Dasar Demografi, Salemba Empat, Jakarta. Republik DKI JAKARTA, 2002, Undang-Undang RI No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Jakarta Kementrian Kesehatan. 2011. Pedoman Pembinaan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pusat promosi Kesehatan, departemen Kesehatan RI, 2009.Rumah tangga berperilaku hidup bersih dan sehat Katzmarzyk,Peter T 2012. Sedentari Behaviour and Life Expectancy in the USA: A Cause Deleted Life Table Analysis, Digital Access to Scholarship at Harvard, diunduh 14 Nopember 2013 www.dash.harvard.edu/bitstream/handle/1/10445571/3400064.pdf?sequence=1 178 Katzmarzyk PT, Lee I-M. Sedentari behaviour and life expectancy in the USA: a cause-deleted life table analysis. BMJ Open 2012;2: e000828. doi:10.1136/ bmjopen-2012-000828. World Heatlh Organization. 2012. Global Physical Activity Questionnaire (GPAC) Analysis Guide. Surveillance and Population-based Prevention. Department of Chronic Diseases and Health Promotion,Geneva. www.who.int/chp/steps World Heatlh Organization. 2012. WHO STEPS Instrument Question-by Question Guide (core and expanded). Surveillance and Population-based Prevention. Department of Chronic Diseases and Health Promotion, Geneva. www.who.int/chp/steps Kristanti, Ch M, Budiarso, Ratna. Persepsi dan Motivasi Masyarakat Untuk berobat Gigi, Survei Kesehatan Rumaht Tangga. Jakarta Prosiding Seminar SKRT 1986. Depkes RI. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan 1997. Status Kesehatan Gigi 1995. Seri SKRT 1995. Seri Survei Kesehatan Rumah Tangga no 7. Depkes RI. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan 1997. Statistik Kesehatan Gigi 1995. Seri SKRT 1995. Seri Survei Kesehatan Rumah Tangga no 13. WHO, 1995. Oral Health Care, Needs of the Community. A. Public Health Report. Depkes RI. Profil Kesehatan Gigi dan mulut. Jakarta 1999 Depkes RI. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan 2002. Status Kesehatan Gigi dan Mulut di Indonesia 2001. Analisis Data Survei Kesehatan Rumah Tangga. Jakarta 2001. Depkes RI. Hasil Riskesdas Indonesia 2007. Jakarta 2008. Kristanti Ch M dkk. Pemetaan Status Kesehatan Gigi dan Mulut di indonesia. Jakarta 2012. Kemenkes RI. Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Indonesia 2013. Jakarta 2013. Riskesdas 2013 Dalam Angka. Jakarta , 2013. 179