Nano partikel obat Nanopartikel protein: Sistem yang unik dalam penghantaran obat Mohsen Jahanshahi and Zahra Babaei Nanobiotechnology Research Center, Faculty of Chemical Engineering, Babol University of Technology, Iran. Accepted 8 December, 2008 Selama tiga dekade terakhir, terdapat minat penelitian yang cukup dipertimbangkan di bidang pengembangan sistem penghantaran obat (delivery system) menggunakan nanopartikel sebagai pembawa untuk molekul besar dan kecil. Sistem penghantaran bertarget (targeting delivery system) senyawa obat pada lesi-lesi penyakit merupakan salah satu aspek terpenting dalam sistem penghantaran obat. Sistem tersebut telah digunakan secara in vivo untuk melindungi entitas obat dalam sirkulasi sistemik, membatasi akses obat hanya pada lokasi yang dimaksud dan menghantarkan obat dengan laju pelepasan terkendali. Berbagai polimer telah digunakan dalam formulasi nanopartikel selama penelitian untuk meningkatkan keuntungan terapeutik, dan meminimalisir efek samping. Dalam review ini akan dibahas mengenai nanopartikel protein yang digunakan sebagai sistem penghantaran obat. Metode pembuatan, karakterisasi, loading obat pelepasan dan aplikasinya dalam penghantaran molekul obat. Kata kunci: Nanobioteknologi, nanopartikel protein, panghantaran obat, pelepasan, drug loading, karakterisasi, morfologi, aplikasi. PENDAHULUAN Teknologi penghantaran obat secara terkendali menggambarkan salah satu ilmu, yang melibatkan pendekatan multidisiplin sains, dan berkontribusi pada peningkatan kesehatan manusia. Konsep targeting obat dan penghantaran obat secara terkendali telah digunakan untuk memperbaiki index terapeutik obat dengan meningkatkan lokalisasinya terhadap organ yang spesifik, sel-sel jaringan dan dengan menurunkan potensinya untuk menyebabkan toksisitas atau efek samping pada lokasi normal yang sensitif (Dinauer et al., 2005). Pada terapi kanker, agen kemoterapi memiliki efek toksik terhadap sel tumor sebagaimana pada sel normail lainnya; penghantaran obat yang terkendali pada lokasi penyakit memungkinkan dilakukannya penambahan dosis untuk meningkatkan efiaksi terapeutiknya (Brigger et al., 2002). Penghantaran obat terkendali melibatkan gabungan antara obat dengan sistem pembawa yang akan mempengaruhi karakteristik farmakokinetik dan biodistribusinya obat tersebut. Pembawa lain yang berukuran nano, seperti nanopartikel (Leroux et al., 1995; Couvreur and Vauthier, 1991), misel polimerik (Kataoka et al., 1993), liposom (Bochot et al., 2002), nanopartikel dengan modifikasi permukaan (Arujo et al., 1999) dan nanopartikel lipid padat ( Muller et al., 2002), telang dikembangkan untuk mencapai tujuan tersebut. Walaupun liposom telah telah digunakan sebagai pembawa dengan segala kelebihannya termasuk dalam melindungi obat dari degradasi, targeting ke loka aksi dan mereduksi toksisitas/efek samping (Jahanshahi et al., 2007a), aplikasinya terbatas sehubungan dengan adanya permasalahan tertentu seperti efisiensi enkapsulasi, kebocoran untuk obat larut air dalam komponen darah dan stabilitas penyimpanan yang buruk. Di sisi lain, nanopartikel memiliki keuntungan yang lebih dibandingkan dengan liposom, seperti stabilitasnya yang lebih baik dalam penyimpanan, stabilitas in vivo setelah pemberian dan kemudahannya dalam merubah skala produksi selama pembuatan (Kreuter, 1995). Singkatnya, nanopartikel membantu meningkatkan stabilitas obat/protein dan dapat dimanfaatkan sifat pelepasan terkendalinya. Oleh karena itu, teknologi nanopartikel yang telah digunakan dewasa ini, menjanjikan adanya peningkatan efikasi obat (Kreuter, 2001; Vijayanathan et al., 2002). Nanopartikel pertama kali dikembangkan sekitar tahun 1970. Pada awalnya berupa partikel koloid berukuran sub-mikron (< 1mm) (Kreuter, 1991a), yang digunakan sebagai pembawa untuk vaksin dan obat antikanker (Couvreur et al., 1982). Nanpopartikel tersebut terdiri dari bahan makromolekular yang pada prinsipnya mengalami pelarutan, penjerapan, atau enkapsulasi, ataupun yang pada prinsipnya mengalami absorbs atau perlekatan (Kreuter, 1983). Distribusi pembawa tersebut dapat dikendalikan melalui pengaturan ukuran dan sifat permukaannya (Stayton et al., 2000). Sistem partikulat pembawa obat dikarakterisasi dengan mempertimbangkan banyaknya obat yang terjerap, sehingga efek pelepasan obat secara terkendali sama baiknya dengan efek perlindungan obat dari degradasi (Li et al., 1997). Tujuan utama dalam mendisain nanopartikel sebagai sistem penghantaran obat adalah untuk mengontrol ukuran partikel, sifat permukaan (Jahanshahi et al. 2005) dan pelepasan zat aktif untuk memperoleh aksi spesifik obat secara farmakologis pada dosis regimennya (Soppimath et al., 2001). Keuntungan dalam menggunakan nanopartikel sebagai sistem penghantaran obat meliputi (Mohanraj dan Chen, 2006): 1. Ukuran partikel dan karakteristik permukaan nanopartikel dapat dimanipulasi dengan mudah untuk memperoleh targeting obat baik aktif maupun pasif setelah pemberian parenteral. 2. Nanopartikel mengontrol dan melepaskan obat secara perlahan-lahan selama distribusi dan memodifikasi distribusi obat pada organ loka aksi,dan memperlambat klirens obat sehingga terapi obat dan meminimalkan efek samping. 3. Pelepasan terkendali dan karakteristik degradasi partikel dapat dimodulasi dengan pemilihan matrix konstituen. Loading obat relatif tinggi dan obat dapat dijerapkan ke dalam sistem tanpa reaksi kimia; hal ini merupakan faktor penting untuk menjaga aktivitas obat. 4. Targeting pada lokasi spesifik dapat diperoleh dengan melekatkan ligand pada permukaan partikel atau dengan menggunakan magnetic guidance. 5. Sistem dapat digunakan pada berbagai rute pemberian termasuk oral, nasal, parenteral, intra okular, dll. Nanopartikel dapat dibuat dari berbagai bahan seperti protein, polisakarida dan polimer sintetik. Pemilihan bahan matrix bergantung pada faktor-faktor (Kreuter, 1994): (a) ukuran partikel yang dipersyaratkan; (b) sifat inheren obat, kelarutan dan stabilitas; (c) karakteristik permukaan seperti muatan dan permeabilitas; (d) derajat biodegradabilitas, biokompatibilitas dan toksisitas; (e) profil pelepasan obat yang diinginkan; dan (f) antigenisitas produk akhir. Di antara sistem pembawa obat koloid yang tersedia, nanopartikel berbasis protein memiliki peranan yang penting (Kumar and Jain, 2007). Kebanyakan, dari serum albumin manusia atau sapi, legumin dan lain-lain, sebagaimana gelatin yang digunakan sebagai bahan awal pembuatan. Review ini akan membahas perkembangan terakhir dari sistem penghantaran obat dengan nanopartikel protein, metode pembuatnnya, karakterisasi dan aplikasinya. NANOPARTIKEL PROTEIN Keuntungan dalam sistem penghantaran obat koloidal ini adalah kemungkinan drug targeting melalui modifikasi distribusi obat dan peningkatan pengambilan sel terhadap jumlah obat (Schafer et al., 1992). Sebagai hasilnya, efek samping toksik dari obat bebas dapat dihindari, contohnya pada methotrexate (Narayani dan Rao, 1993). Sistem koloidal tersebut diantaranya berbasis protein. Protein merupakan kelas molekul alami yang mempunyai fungsionalitas unik dan aplikasi yang berpotensi dalam sistem biologis (Jahanshahi 2004; Jahanshahi et al., 2004). Nanomaterial yang diperoleh dari protein (nanopartikel protein) bersifat biodegradable, non-antigenic, dapat dimetabolisme dan dapat dengan mudah mengalami modifikasi permukaan dan berikatan kovalen antara obat dan ligan. Karena struktur primer dari protein, nanopartikel berbasis protein memungkinkan adanya modifikasi permukaan dan ikatan kovalen obat (Weber et al., 2000). Nanopartikel protein dapat digunakan untuk penghantaran obat yang ditujukan ke paru-paru atau dapat diinkorporasikan dalam biodegradable polymer microsphere/nanosphere untuk depot pelepasan terkendali atau per oral. Saat ini, penelitian difokuskan pada pembuatan nanopartikel menggunakan protein seperti albumin, gelatin, gliadin dan legumin. Gelatin Gelatin adalah salah satu bahan protein yang dapat digunakan dalam pembuatan nanopartikel. Gelatin diperoleh dari hidrolisis fibrosa, protein yang tidak larut, kolagen, yang secara luas ditemukan sebagai komponen utama dalam kulit, tulang dan jaringan ikat (Coester et al., 2006). Pada masa nanofarmasetika, gelatin sudah dipertimbangkan sebagai bahan dasar bersifat biodegradable pada perkembangan partikel (Marty et al., 1978). Hal ini dikarenakan bahwa gelatin bersifat biodegradable, non-toksik, dapat mudah berikatan silang dan dimodifikasi secara kimia. Oleh karena itu, gelatin mempunyai potensi sangat besar untuk digunakan dalam pembuatan sistem penyampaian obat koloidal seperti mikrosfer dan nanopartikel (Jahanshahi et al., 2008 b,c; Babaei et al., 2008). Keuntungan lainnya yaitu tidak mahal, dapat disterilisasi, biasanya tidak terkontaminasi dengan pirogen dan relatif mempunyai antigenisitas rendah (Schwick dan Heide, 1969). Sayangnya, formulasi yang mengandung gelatin pada lapisan terluar (kapsul gelatin keras dan lunak) cenderung berikatan silang secara inter dan intramolekular seiring dengan perubahan waktu, suhu dan kelembaban. Karena kecenderungan ini, penggunaan gelatin pada formulasi farmasetika menjadi dipertanyakan (Saxena et al., 2005). Namun, bahan ini tetap digunakan secara luas tanpa adanya pertimbangan menggantikannya dengan bahan lain (Zwiorek et al., 2004). Penambahan crosslinker seperti glutaraldehid, menghasilkan gelatin yang lebih stabil dan waktu sirkulasinya meningkat secara in vivo dibandingkan dengan yang tidak termodifikasi (Jameela dan Jayakrishnan, 1995; Jahanshahi et al., 2008b), dan pelepasan adalah fungsi dari ikatan silang dari nanopartikel ini. Perubahan struktur ini meningkatkan kinerja, sifat, dan karakteristik gelatin seperti sifat ketidaklarutan pada suhu tinggi, pengurangan swelling dalam air dan permeabilitas yang kurang pada membran sel (Levy et al., 1982). Dua jenis gelatin, A dan B dengan titik isoelektrik yang berbeda, dibentuk baik dari hidrolisis asam ataupun basa (Sawicka, 1990). Gelatin tipe A diperoleh dari kolagen yang diproses secara asam, sementara tipe B diperoleh dari kolagen yang diperoleh secara basa, yang menghasilkan perbedaan titik isoelektrik, yaitu 7-9 untuk gelatin tipe A dan 4-5 untuk gelatin tipe B. Karakteristik dari gelatin adalah kandungan tinggi asam amino glisin dan prolin (terutama sebagai hidroksipropilin) dan alanin. Molekul gelatin mengandung sekuens berulang dari triplet asam amino glisin, prolin, dan alanin, yang berperan dalam pembentukan struktur gelatin tripel heliks (Azarmi et al., 2006). Struktur primer gelatin memberikan banyak kemungkinan untuk modifikasi kimia dan pengikatan kovalen terhadap obat. Hal ini dapat dilakukan baik dalam matriks partikel atau hanya pada permukaan partikel (Jahanshahi et al., 2008c). Pada kasus pertama, modifikasi kimia dilakukan pada makromolekul gelatin sebelum nanopartikel dibentuk, sementara pada kasus lain modifikasi dilakukan pada permukaan partikelnya (Webber et al., 2005). Sifat ini yang kemudian dikombinasikan dengan potensi tinggi sistem pembawa berukuran nano, membuat nanopartikel berbasis gelatin menjadi sistem penghantaran obat yang menjanjikan. Albumin Albumin adalah pembawa molekular yang atraktif dan secara luas digunakan untuk pembuatan nanosfer dan nanokapsul. Hal ini dikarenakan ketersediaannya dalam bentuk murni, sifat biodegradabilitas, nontoksisitas dan nonimunogenesitasnya (Kratz et al., 1997). Baik Bovine Serum Albumin (BSA) dan Human Serum Albumin (HSA) telah digunakan. Sebagai protein plasma yang utama, albumin mempunyai perbedaan dibandingkan bahan lain pada pembuatan nanopartikel. Dengan kata lain, nanopartikel albumin biodegradable, mudah disiapkan dalam bentuk tertentu, dan dapat membawa kelompok senyawa reaktif (tiol, amin, dan karboksilat) pada permukaannya yang dapat digunakan untuk ikatan ligan dan/atau modifikasi permukaan lain. Nanopartikel albumin memberikan keuntungan yaitu ligan dapat dengan mudah membentuk ikatan kovalen. Obat yang terjerap dalam nanopartikel albumin dapat dicerna oleh protease dan drug loading dapat dihitung. Sejumlah studi telah menunjukkan albumin terakumulasi pada tumor (Takakura et al., 1990) yang membuatnya menjadi pembawa makromolekular yang potensial untuk obat antitumor. Gliadin dan Legumin Penggunaan nanopartikel bisa digunakan untuk tujuan bioadhesi karena bentuk sediaan farmasi ini mempunyai permukaan spesifik yang luas yang dapat berpotensi tinggi berinteraksi dengan permukaan biologis. Untuk aplikasi biologis, partikel vegetal diperoleh dari protein (Ezpeleta et al., 1996), seperti gliadin yang diekstraksi dari gluten yang berasal dari gandum dan vicillin atau legumin yang diekstraksi dari pea seeds (Pisum sativum L). Gliadin menjadi polimer yang sesuai untuk pembuatan nanopartikel mukoadhesive yang diharapkan melekat pada lapisan mukus. Gliadin digunakan sebagai bahan nanopartikel. Hal ini dikarenakan biodegradabilitas, biokompatibilitas dan sifat alaminya. Hidrofobisitas dan kelarutannya menjadi dasar rancangan nanopartikel yang mampu melindungi loaded drug dan mengontrol pelepasannya(Ezpeleta et al., 1999). Nanopartikel gliadin (GNP) telah menunjukkan tropisme untuk daerah saluran cerna bagian atas, dan keberadaannya dalam bagian lain saluran cerna sangat rendah (Arangoa et al., 2001). Kapasitasnya yang tinggi untuk berinteraksi dengan mukosa dapat dijelaskan dari komposisi gliadin. Pada kenyataannya, protein ini kaya akan residu netral dan lipofilik. Asam amino netral dapat menyebabkan interaksi ikatan hidrogen dengan mukosa sementara komponen lipofiliknya berinteraksi dengan jaringan biologis. Gliadin mempunyai sebuah amin dan disulfida pada rantai samping, sehingga memungkinkan berikatan dengan mucin gel. Legumin juga merupakan protein yang berasal dari pea seeds (Pisum Sativum L). Legumin merupakan kandungan kaya albumin yang berfungsi sebagai sumber sulfur. Molekul dari protein ini mempunyai kemampuan berikatan membentuk nanopartikel setelah agregasi dan berikatan silang dengan glutaraldehid (Mirshahi et al., 2002). METODE PEMBUATAN Banyak makromolekul yang tersedia dapat digunakan dalam pembuatan nanopartikel, seperti albumin, gelatin, legumin, vicillin dan polisakarida seperti alginate dan agarose. Senyawa tersebut memiliki fungsi yang dan digunakan secara luas dalam pembuatan biomaterial bersifat biodegradable dan biocompatible. Di antara senyawa makromolekul yang telah disebutkan, albumin dan gelatin merupakan senyawa yang telah umum digunakan. Tabel 1 menunjukkan metode utama pembuatan nanopartikel dari senyawa alamiahnya. Tabel 1. Metode utama pembuatan nanopartikel dari makromolekul (Jahanshahi, 2007). Makromolekul Prinsip Produksi Albumin Emulsi a/m Pemisahan fase dalam medium air, dengan penambahan agen desolvasi Dengan memodifikasi pH Gelatin Emulsi a/m Pemisahan fase dalam medium air, dengan penambahan agen desolvasi Dengan memodifikasi suhu Vicillin, legumin Pemisahan fase dalam medium air, dengan memodifikasi pH Terdapat dua metode dasar pembuatan nanopartikel: Metode Emulsifikasi Pada awalnya, metode ini disusun oleh Scheffel dan rekan-rekannya (1972) dalam pembuatan globul albumin nanopartikel dan kemudian dioptimasi oleh Gao dan rekan-rekannya (1995). Pada proses ini, larutan aqueous dari albumin dibuat menjadi bentuk emulsi dengan minyak nabati (cotton seed oil) pada suhu kamar. Kemudian dengan menggunakan homogenizer pada kecepatan tinggi, akan diperoleh emulsi yang homogen. Banyak partikel yang dapat terdispersi melalui metode ini. Emulsi yang diperoleh kemudian ditambahkan ke dalam pre-heated oil (lebih dari 120 oC) setetes demi setetes. Proses ini akan menguapkan air dengan cepat dan destruksi albumin secara ireversibel. Proses ini juga akan menghasilkan pembentukan nanopartikel. Tahap tersebut dijelaskan dalam Gambar 1. Kemudian suspensi yang diperoleh diletakkan dalam penangas es. Gambar 1. Pembuatan albumin nanopartikel dengan metode emulsifikasi (Jahanshahi, 2007) Metode Desolvasi Kerugian metode emulsi dalam pembuatan partikel adalah karena dibutuhkannya penggunaan pelarut organik , baik untuk mengangkat residu berminyak selama proses pembuatan maupun untuk menstabilkan emulsi (sebagai surfaktan). Oleh karena itu, sebagai metode alternatif dalam pembuatan nanopartikel protein, dikembangkanlah metode desolvasi yang merupakan kelanjutan dari metode koaservasi pada mikroenkapsulasi. Pada metode ini, partikel di dalam cairan aqueous akan dibentuk melalui proses koaservasi dan selanjutnya distabilkan dengan cross linking agent seperti glutaraldehid. Sebuah metode baru dikembangkan oleh Marty dan rekan-rekannya (1978). Dasar metode ini adalah penggunaan faktor desolvasi seperti garam atau alkohol yang ditambahkan secara perlahan-lahan pada larutan protein. Dengan penambahan faktor tersebut, struktur tersier protein akan berubah. Apabila telah tercapai tingkat desolvasi tertentu, akan terbentuk gumpalan protein. Pada tahap selanjutnya akan terbentuk nanopartikel melalui proses polimerisasi sambungsilang (cross lingkage) dengan faktor glutaraldehid (Coester et al., 2000). Agar tidak diperoleh nanopartikel dalam bentuk massa, sistem harus dihentikan sebelum partikel mulai terakumulasi. Turbiditas sistem akan meningkat sesuai dengan faktor desolvasi tesebut. Akumulasi partikel akan terbentuk dengan sendrinya dengan adanya peningkatan turbiditas sistem. Untuk mengatasi permasalahan akumulasi dan menghasilkan nanodispersi yang ideal, dapat digunakan agen resolvasi. Gambar 2 menunjukkan pembuatan albumin nanopartikel dengan menggunakan agen desolvasi. Gambar 2. Pembuatan albumin nanopartikel dengan agen desolvasi KARAKTERISASI NANOPARTIKEL PROTEIN Ukuran Partikel Telah diketahui bahwasanya ukuran partikel dan distribusi ukuran merupakan karakteristik sistem nanopatrikel yang paling utama (Jahanshahi et al., 2007). Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa nanopartikel dengan ukuran submikron memberikan lebih banyak keuntungan daripada mikropartikel pada delivery system (Panyam and Labhasetwar, 2003). Pada umumnya, nanopartikel mengalami uptake intraseluler yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan mikropartikel dan memiliki rentang availabilitas yang lebih besar dalam target biologis sehubungan dengan ukurannya yang kecil dan relatif lebih mudah terdistribusi. Sebagai contoh, sebuah penelitian mengenai distribusi obat dalam tubuh menunjukkan bahwa nanopartikel yang lebih besar dari 230 nm akan terakumulasi dalam limpa sehubungan dengan ukuran kapiler organ tersebut (Kreuter, 1991b). Pada penelitian in vitro lainnya mengindikasikan bahwa ukuran partikel juga berpengaruh pada uptake (ambilan) seluler nanopartikel tersebut (Desai et al., 1997; Zauner et al., 2001). Dilaporkan juga bahwasanya nanopartikel dapat melintasi sawar-darah-otak melalui tight junction menggunakan hiperosmotik manitol, yang dapat menciptakan efek lepas lambat senyawa terapeutik yang digunakan untuk terapi penyakit yang sulit diobati seperti tumor otak. Nanopartikel yang tersalut tween 80 dapat menembus sawardarah-otak (Kreuter et al., 2003). Pada beberapa membran sel, hanya partikel berukuran sub-mikron yang dapat mengalami ambilan secara efisien. Pelepasan obat dipengaruhi pula oleh ukuran partikel. Partikel yang lebih kecil memiliki luas permukaan total yang lebih besar. Oleh karena itu, sebagian besar obat akan berada pada sekitar permukaan partikel yang menyebabkan pelepasan obat yang lebih cepat. Sementara itu, partikel yang lebih besar memiliki inti yang luas sehingga menyebabkan obat ter-enkapsulasi dan dilepaskan secara perlahan-lahan (Redhead et al., 2001). Akan tetapi, partikel yang lebih kecil juga memiliki resiko yang lebih besar untuk mengalami agregasi selama penyimpanan dan transportasi dispersi nanopartikel. Oleh karena itu, merupakan suatu tantangan tersendiri untuk memformulasikan nanopartikel dengan ukuran partikel sekecil mungkin namun dengan stabilitas maksimum (Babaei et al., 2008). Degradasi polimer juga dapat dipengaruhi oleh ukuran partikel. Singkatnya, secara in vitro, laju degradasi polimer PLGA akan meningkat seiring dengan peningkatan ukuran partikel (dunne et al., 2000). Saat ini, metode tercepat dan yang paling umum digunakan untuk menentukan ukuran partikel adalah dengan photon-correlation spectroscopy (PCS) dan dynamic ligt scattering (DLS). PCS merupakan metode terpilih pada industri dalam menganalisis partikel berukuran sub-mikron. Sampel yang dianalisis dalam alat PCS harus merupakan partikel yang terdispersi dengan baik dalam medium cair. Pada kondisi tersebut, partikel akan mengalami gerak acak yang konstan, yang dikenal sebagai gerak Brown dan PCS akan mengukur kecepatan dengan melewatkan suatu laser. PCS akan menentukan ukuran partikel rata-rata dan Polydispersity Index (PI) yang merupakan rentang pengukuran partikel. Dengan pengukuran yang akurat partikel harus berukuran di bawah 0,7 (70%) (Jahanshahi et al., 2008a). Dynamic light scattering (DLS) merupakan teknik yang telah lebih lama digunakan untuk menentukan ukuran partikel dari beberapa nanometer sampai beberapa mikron. Konsep yang digunakan adalah bahwa partikel kecil dalam suspennsi begerak dalam pola acak. Pengamatan partikel yang lebih besar kemudian dibandingkan dengan partikel yang lebih kecil dan akan menunjukkan bahwa partikel yang lebih besar bergerak lebih lambat dibandingkan dengan yang lebih kecil dalam suhu pengamatan yang sama. Morfologi Partikel Manipulasi karakteristik fisikokimia bahan berukuran nano telah merevolusi aplikasi di bidang elektronik, diagnostik dan terapeutik. Sehubungan dengan penggunaan nanopartikel dalam skala besar, maka sangatlah penting untuk menentukan apakah terdapat sifat toksik bahan nanopartikel dibandingkan dengan bentuk bulk-nya. Perlu juga dilakukan interpretasi hasil pada kultur sel dan hewan percobaan bahwa nanomaterial terkarakterisasi secara sistematis dan dibuat hubungan antara respon toksik yang teramati dengan karakteristik fisikokima bahan. Morfologi nanopartikel dapat diuji dengan dua teknik yaitu atomic force microscopy (AFM) dan scanning electron microscopy (SEM) (Rahimnejad et al., 2006a; Rahimnejad et al., 2006). Baik AFM maupun SEM merupakan scanning probe microscope yang beresolusi tinggi, dengan menghasilkan resolusi fraksi nanopatikel hingga 1000 kali lebih baik dibandingkan difraksi optik yang terbatas. SEM merupakan suatu jenis mikrospkop elektron yang mencitrakan permukaan sampel dengan men-scan-nya menggunakan sinar elektron berenergi tinggi dengan pola scan raster. SEM dilengkapi dengan resolusi nanometer yang dipersyaratkan untuk pengukuran rentang partikel sub-mikron dan tidak dapat digunakan untuk menentukan morfologi partikel. Interaksi elektron dengan atom menjadikan partikel menghasilkan sinyal yang mengandung infromasi mengenai topografi permukaan sampel, komposisi dan karakteristik lain seperti konduktivitas elektrik. Muatan Permukaan Ketika nanopartikel diberikan secara intravena, partikel tersebut akan dengan mudah dikenali oleh sistem imun tubuh dan kemudian dibersihkan dari sirkulasi oleh fagosit (Muller and Wallis, 1993). Selain ukuran nanopartikel, hidrofobisitas permukaan juga akan menentukan jumlah komponen darah yang terabsorbsi, terutama protein (opsonin). Beberapa teknik telah dikembangkan dan digunakan untuk mempelajari modifikasi permukaan naopartikel. Efisiensi modifikasi permukaan dapat diukur baik dengan memperkirakan muatan permukaan, kerapatan (densitas) gugus fungsional, maupun dengan peningkatan hidrofilisitas. Salah satu metode yang digunakan untuk mengukur modifikasi permukaan adalah dengan menentukan zeta potensial susensi aqueous yang mengandung nanopartikel. Hasilnya akan merefleksikan potensial elektrik partikel dan dipengaruhi oleh komposisi partikel dan medium pendispersinya. Interaksi antar partikel memainkan peranan penting terhadap kestabilan koloid. Alasan utama dilakukannya pengukuran zeta potensial adalah untuk memprediksi stabilitas koloidal yang merupakan cara untuk mengukur interaksi tersebut. Zeta potensial merupakan ukuran repulsive force di antara partikel. Dan karena kebanyakan sistem koloid aqueous distabilkan oleh gaya repulsi elektrostatik, maka semakin besar repulsive force antar partikel kecenderungan untuk saling mendekat dan membentuk agregat akan semakin kecil. Nanopartikel dengan zeta potensial di atas ± 30 mV lebih stabil dalam suspensi, karena muatan pada permukaan nanopatrikel mencegah terjadinya agregasi antar partikel. Zeta potensial juga dapat digunakan untuk menentukan muatan zat aktif yang dienkapsulasi baik yang berada di tengah nanokapsul maupun yang terabsorbsi pada permukaan (Mohanraj and Chen, 2006). DRUG LOADING DAN PELEPASAN OBAT Drug Loading Obat berikatan dengan nanopartikel baik melalui: a. polimerisasi dengan adanya obat- pada kebanyakan kasus dalam bentuk terlarut (metode inkorporasi), atau b. dengan mengadsorbsi obat setelah pembentukan nanopartikel dengan cara menginkubasinya dalam larutan obat. Tergantung pada afinitas obat dengan polimer, obat akan teradsorbsi pada bagian permukaan, terdispersi pada matriks polimer partikel dalam pembentukan larutan padat (Harmin et al., 1986), atau dispersi padat, atau pada beberapa kasus, obat akan terikat secara kovalen pada polimer. Oleh karena itu, jumlah obat yang besar dapat dijerap melalui metode inkorporasi dibandingkan dengan cara adsorpsi (Breitenbach et al., 1999). Makromolekul atau protein menunjukkan efisiensi loading yang paling baik pada atau dekat titik isoelektrik yang kelarutannya rendah dan adsorpsinya maksimal. Drug loading dari nanopartikel secara umum ditentukan sebagai jumlah obat terikat per massa polimer (biasanya dalam mol obat per mg polimer atau mg obat per mg polimer), dapat juga berupa persentase basis berdasarkan polimer. Determinasi dari penjerapan obat Ikatan obat dengan nanopartikel protein diukur dengan sentrifugasi suspensi partikel.Untuk determinasi penjerapan obat, sejumlah obat yang berada dalam supernatant jernih setelah dilakukan sentrifugasi, kemudian ditentukan (w) dengan spektrofotometri UV, spektrofotometer fluoresens atau dengan metode HPLC tervalidasi. Kurva kalibrasi standard dari berbagai konsentrasi versus serapan diplot untuk perhitungan. Jumlah obat dalam supernatant kemudian dikurangi dengan total jumlah obat yang ditambahkan pada formulasi (W). Secara efektif, (W-w) akan memberikan jumlah obat yang terjerap dalam pellet. Persentase penjerapan dapat dilihat dari persamaan berikut: Penjerapan obat (%) = (W-w) x 100 W Pada akhirnya, efisiensi enkapsulasi mengacu pada rasio jumlah obat terenkapsulasi/terabsorbsi dengan total (teoritis) jumlah obat yang digunakan, dengan mempertimbangkan sistem penghantaran obat dari dispersi nanopartikel. Pelepasan Obat Profil pelepasan obat dari nanopartikel tergantung dari sistem pembawanya. Pada nanosfer, obat secara seragam didistribusikan/ dilarutkan dalam matriks. Jika difusi obat berlangsung lebih cepat dibandingkan degadasi matriks, mekanisme pelepasan obat utamanya terjadi melalui difusi. Namun jika tidak bergantung pada difusi, maka pelepasan obat bergantung pada degradasi matriks. Banyak mekanisme teoritis yang dapat dipertimbangkan untuk pelepasan obat dari nanopartikel protein: a. pelepasan disebabkan karena erosi polimer atau degradasi, b. self-diffusion melalui pori-pori, c. pelepasan obat melalui permukaan polimer, d. pembawa diinisiasi melalui aplikasi oscillating magnetic atau sonic field (Couvreur dan Puisieux, 1993). Dalam banyak kasus, beberapa dari proses ini dapat terjadi, jadi perbedaan antar mekanisme ini tidak terlalu penting. Ketika pelepasan obat terjadi karena proses selfdiffusional, drug loading minimum penting sebelum pelepasan obat dapat diamati. Hal ini dapat dijelaskan karena proses melibatkan difusi melalui aqueous channel dibentuk dari pemisahan fase dan berdasarkan disolusi obat itu sendiri. Mekanisme ini jarang terjadi pada drug loaded nanoparticles karena, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, efisiensi enkapsulasi dari obat terlalu rendah. Sehingga, pelepasan dari permukaan dan erosi atau degradasi bulk polimer biasanya menjadi proses yang sangat penting yang mempengaruhi pelepasan obat dari nanopartikel. Metode untuk penjumlahan pelepasan obat secara in vitro yaitu: a. difusi sel dengan membran buatan atau biologis; b. teknik dialisis ekuilibrium; c. teknik reverse dialysis sac; d. ultrasentrifugasi; e. ultrafiltrasi; atau f. teknik ultrafiltrasi sentrifugasi (Soppimath et al., 2001). APLIKASI POTENSIAL DARI PENGHANTARAN OBAT NANOPARTIKEL PROTEIN Aplikasi yang menjanjikan dari nanopartikel protein yaitu sebagai pembawa sediaan parenteral dari berbagai obat. Nanopartikel protein telah menunjukkan kemungkinan transport dari sejumlah obat melewati sawar darah otak yang normalnya tidak dapat dilalui setelah injeksi IV. Nanopartikel protein mengikat obat meliputi peptida, seperti hexapeptide endorphin dalargin dan dipeptide kyotorphin, dan obat-obat lain seperti loperamide, tubokurarin, doxorubicin. Sejumlah ahli telah menunjukkan kecenderungan yang dapat dijadikan pertimbangan terhadap akumulasi nanopartikel protein pada tumor tertentu. Ikatannya dengan berbagai macam obat sitostatik seperti 5-fluorourasil, paclitaxel (Lu et al., 2004) dan doxorubicin (Morimoto et al., 1981; Leo et al., 1997) terhadap nanopartikel albumin atau gelatin secara signifikan dapat meningkatkan efektivitas melawan tumor eksperimental atau tumor manusia yang ditransplantasikan pada tikus, daripada dalam bentuk bebasnya. Selain itu juga, toksisitas dari doxorubicin berkurang ketika penyampaian obatnya dilakukan melalui nanopartikel. Inkorporasi partikel magnetik dalam nanopartikel merupakan cara meningkatkan efektivitas ikatan nanopartikel dan obat antitumor. Pengurangan total tumor sarcoma Yoshida pada ekor mencit diperoleh dari pemberian dosis tunggal doxorubicin yang berikatan dengan nanopartikel albumin magnetik yang ditargetkan pada tumor (Widder et al., 1983). Antibiotik adalah contoh obat lain yang menunjukkan peningkatan efektivitas atau penurunan toksisitas setelah berikatan dengan nanopartikel protein. Amoksisilin dan ikatan amoksisilin-nanopartikel gliadin (AGNP), keduanya menunjukkan antiHelicobacter pylori, namun dosis AGNP yang dibutuhkan untuk eradikasi lengkap jauh lebih sedikit dibanding amoksisilin. AGNP mengeliminasi H. pylori dari saluran cerna lebih efektif dibandingkan amoksisilin karena perpanjangan waktu tinggal pada saluran cerna yang disebabkan kemampuan mukoadhesif dari AGNP. Bentuk sediaan antibiotik dengan teknologi nanopartikel mukoadhesif dapat digunakan untuk eradikasi H. pylori (Umamaheswari et al., 2004). Wilayah terapetik lainnya untuk nanopartikel protein adalah penggunaannya terhadap pembawa obat mata. Seperti yang telah dinyatakan sebelumnya, nanopartikel menunjukkan waktu paruh yang lebih panjang dibandingkan obat tetes mata. Ikatan pilokarpin pada nanopartikel gelatin memperpanjang reduksi tekanan intraokular pada kelinci dengan glaucoma eksperimental dibandingkan dengan larutan tetes mata pilokarpin. Karena nanopartikel protein juga melekat pada jaringan okular yang mengalami inflamasi lebih tinggi 4 kali dibandingkan pada jaringan sehat, maka partikel ini dapat dimanfaatkan melalui ikatannya dengan obat antiinflamasi untuk mengobati peradangan pada mata (Das et al., 2005). Sebagai tambahan, nanopartikel gelatin digunakan sebagai adjuvant imunologikal untuk meningkatkan baik respon humoral atau selular terhadap antigen (Nakaoka et al., 1995). Banyak peneliti telah menggunakan nanopartikel gelatin sebagai pembawa gen (Truong et al., 1999). Leong dan Candau (1982) menggunakan koaservat nanosfer gelatin-DNA sebagai pembawa gen untuk membawa CFTR-gen menuju sel epitel trakeal manusia. Sementara Kaul (2002) menggunakan nanopartikel PEG-gelatin termodifikasi untuk pengambilan interselular dalam sel kanker payudara pada manusia. Namun, tidak ada perhatian yang ditujukan terhadap respon pengaturan sitoskeletal dan perilaku adhesi sel ketika penggunaan nanopartikel gelatin dilakukan. KESIMPULAN Nanopartikel protein menjanjikan sebagai sistem penghantaran obat untuk sediaan parenteral, per oral dan ocular dan sebagai adjuvant pada vaksin. Karena stabilitasnya yang tinggi dan pembuatannya yang mudah, nanopartikel menawarkan keuntungan dibandingkan pembawa koloidal lainnya seperti liposom dan cell ghosts. Sifat fisikokimia obat memainkan peran penting pada pemilihan bahan nanopartikel yang akan digunakan. Hal lain dibutuhkan untuk mengubah konsep teknologi nanopartikel menjadi aplikasi praktis yang dapat diterapkan sehingga berfungsi sebagai sistem pembawa generasi baru. Aplikasi dari sistem penghantaran obat dalam Nanobioteknologi akan berkontribusi pada manufaktur biofarmasetika. http://www.academicjournals.org/AJB/PDF/pdf2008/29Dec/Jahanshahi%20and %20Babaei.pdf