perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB V PEMBAHASAN A

advertisement
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V
PEMBAHASAN
A. Karakteristik Responden
1. Umur
Berdasarkan tabel 4.1 distribusi frekuensi ibu berdasarkan
karakteristik umur saat bersalin di RSUD Sukoharjo didapatkan hasil ibu
bersalin umur 20-35 sebanyak 32 ibu bersalin (80%). Ibu yang hamil dan
melahirkan pada usia < 20 tahun dan > 35 tahun mempunyai risiko
kehamilan sebagai penyebab tidak langsung terhadap kejadian kematian
neonatal dini (Wiknjosastro, 2007).
Menurut Damayanti dalam penelitiannya yang berjudul Faktor-
Muhammadiyah Yogyakarta
menyebutkan bahwa umur ibu bersifat
netral yaitu tidak menyebabkan kejadian asfiksia neonatorum. Persalinan
yang baik ialah pada usia reproduktif yaitu usia 20-35 tahun sehingga
secara psikologis telah siap, alat reproduksi secara biologis telah matang
sehingga dapat mengurangi terjadinya resiko apabila seorang wanita
hamil dan pertumbuhan janin pun berlangsung baik. Ibu yang memiliki
umur berisiko (< 20 tahun dan > 35 tahun) mampu melahirkan bayi lahir
normal dikarenakan memiliki faktor fisik, psikis, sosial dan spiritual yang
optimal (Damayanti, 2008).
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Jurnal Prabamurti (2008)
20 tahun
meningkatkan risiko kematian neonatal. Karena kondisi fisiologis ibu
yang belum matang, sedangkan usia > 35 tahun kemampuan ibu untuk
mengejan pada saat persalinan berkurang. Salah satu penyebab kematian
neonatal ialah gangguan pernafasan pada neonatal atau asfiksia.
2. Paritas
Berdasarkan tabel 4.2 menunjukkan bahwa ibu bersalin primipara
sebanyak 16 ibu bersalin (40%) dan ibu bersalin multipara yaitu
sebanyak 24 ibu bersalin (60%).
Primipara ialah wanita yang pernah hamil sekali dengan janin
mencapai titik mampu bertahan hidup. Multipara adalah seorang wanita
yang telah mengalami dua kehamilan atau lebih dengan janin mencapai
titik mampu bertahan hidup (Varney, 2006). Pada hasil penelitian ini
didapatkan paling banyak terdapat ibu bersalin multipara.
Jurnal Prabamurti (2008)
Analisis Faktor Risiko Status
Kematian Neonatal menyebutkan bahwa bayi yang dilahirkan dari ibu
primipara dan grandemultipara memiliki risiko kematian neonatal karena
komplikasi neonatal sebesar 8,25 kali lebih besar dibanding bayi yang
dilahirkan dari ibu dengan paritas. Hal ini juga didukung oleh penelitian
Dwi Mardiyaningrum, menyebutkan bahwa kejadian asfiksia neonatorum
dapat disebabkan oleh ibu multipara sebesar 61,9% (Mardiyaningrum,
2005). Paritas tinggi merupakan faktor presdiposisi terjadinya gangguan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pada fungsi plasenta, dalam keadaan infark dapat mempengaruhi asupan
nutrisi dari ibu ke janin. Plasenta berfungsi sebagai transportasi nutrisi
dan oksigen dari ibu ke janin, jika terjadi gangguan pada plasenta maka
asupan nutrisi atau oksigen dari ibu berkurang ke janin (Bobak, 2005).
3. Pendidikan
Berdasarkan tabel 4.3 menunjukkan bahwa ibu bersalin tingkat
pendidikan SD sebanyak 11 ibu (27,5%), SMP sebanyak 7 ibu (17,5%),
SMA sebanyak 16 ibu (40%), diploma sebanyak 2 ibu (5%), dan tidak
sekolah sebanyak 4 ibu (10%).
Menurut Jurnal Risk Factors for Neonatal Mortality due to Birth
Asphyxia in Southern Nepal menyebutkan bahwa tingkat pendidikan dan
budaya setempat dapat mempengaruhi kejadian asfiksia neonatorum.
Dengan tingkat pendidikan ibu yang rendah maka pengetahuan yang di
dapat ibu selama masa kehamilan dianggap kurang dan ibu kurang
melakukan perawatan kehamilan ke pelayanan kesehatan. Semakin tinggi
tingkat pendidikan ibu maka akan semakin tinggi pula pengetahuan ibu.
Tingkat
pengetahuan
ibu
dapat
mempengaruhi
perilaku
dalam
pemenuhan kebutuhan nutrisi, perawatan selama kehamilan dan akses ke
pelayanan kesehatan (Anne, 2008).
Menurut penelitian Djaja
-Demografi,
Biologi dan Pelayanan Kesehatan terhadap Kesakitan dan Kematian
aitu bayi neonatal yang ibunya tidak berpendidikan atau
tidak tamat SD mempunyai risiko 2,8 kali untuk meninggal dibandingkan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bayi neonatal yang ibunya berpendidikan SMA ke atas. Bayi neonatal
yang mempunyai ibu berpendidikan SD-SMP mempunyai risiko 1,8 kali
untuk meninggal dibandingkan bayi neonatal yang mempunyai ibu
berpendidikan SMA ke atas (Djaja, 2009).
B. Kejadian Anemia Dalam Kehamilan
Berdasarkan tabel 4.4 didapatkan hasil ibu bersalin yang mengalami
anemia sebanyak 19 ibu (47,5%) dan yang tidak mengalami anemia sebanyak
21 ibu (52,5%).
Menurut Manuaba (2010) anemia dapat berpengaruh terhadap
kehamilan dan janin. Sekalipun tampaknya janin mampu menyerap berbagai
kebutuhan dari ibunya, tetapi dengan anemia akan mengurangi kemampuan
metabolisme tubuh sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangan
janin dalam rahim. Anemia mengakibatkan gangguan dalam bentuk: abortus,
kematian intrauterin, persalinan prematuritas tinggi, berat badan lahir rendah,
kelahiran dengan anemia, dapat terjadi cacat bawaan, bayi mudah mendapat
infeksi sampai kematian perinatal, dan intelegensia rendah.
Menurut Asmika (2005) dalam penelitian tentang hubungan tingkat
konsumsi Fe dengan status anemia pada saat hamil trimester III menyebutkan
bahwa penyebab utama anemia defisiensi besi khususnya pada ibu hamil
disebabkan karena kurangnya ketersediaan zat besi dalam tubuhnya sehingga
diperlukan pemberian suplemen zat besi mulai awal kehamilan sampai dua
bulan setelah melahirkan. Maka dengan kurangnya pengetahuan ibu dapat
meningkatkan risiko kejadian anemia pada ibu hamil dan ibu nifas.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
C. Kejadian Asfiksia Neonatorum
Berdasarkan tabel 4.5 menunjukkan bahwa bayi baru lahir yang
mengalami asfiksia ringan sebanyak 26 bayi (65%) , asfiksia sedang sebanyak
11 bayi (27,5%), asfiksia berat sebanyak 3 bayi (7,5%). Asfiksia neonatorum
adalah kondisi dimana bayi tidak dapat bernafas spontan dan tidak teratur.
Asfiksia neonatorum menunjukkan bahwa bayi memerlukan intervensi segera
untuk meminimalkan mortalitas dan morbiditas.
Asfiksia neonatorum dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu
faktor maternal (anemia, perdarahan, paritas), faktor plasenta (plasenta previa
dan abruptio placentae), faktor funiculus umbilicalis (lilitan tali pusat), dan
faktor fetal (anomali kongenital dan prematuritas) (Oxorn, 2010).
-
penyebab asfiksia yaitu keadaan tali pusat tidak normal (lilitan tali pusat dan
tali pusat menumbung), usia kehamilan, dan letak janin.
Asfiksia berarti penimbunan CO2 dan asidosis. Bila proses ini
berlangsung terlalu jauh dapat mengakibatkan kerusakan otak atau kematian.
Asfiksia juga dapat mempengaruhi fungsi organ vital lainnya (Prawirohardjo,
2009). Asfiksia atau gagal nafas dapat menyebabkan suplai oksigen ke tubuh
menjadi terhambat, jika terlalu lama membuat bayi menjadi koma, walaupun
sadar dari koma bayi akan mengalami cacat otak. Kejadian asfiksia jika
berlangsung terlalu lama dapat menimbulkan perdarahan otak, kerusakan otak
dan kemudian keterlambatan tumbuh kembang. Asfiksia juga dapat
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menimbulkan cacat seumur hidup seperti buta, tuli, cacat otak dan kematian
(Yuliana, 2011).
D. Hubungan Antara Anemia Dalam Kehamilan Terhadap Kejadian Asfiksia
Neonatorum
Tabel 4.6 menyebutkan bahwa ibu dengan anemia melahirkan bayi
dengan asfiksia ringan sebesar 42,1%, asfiksia sedang sebesar 47,4%, dan
asfiksia berat sebesar 10,5%. Kejadian asfiksia neonatorum salah satu
penyebabnya ialah anemia. Anemia dapat berpengaruh terhadap kehamilan
dan janin. Dapat disebabkan karena gangguan transportasi nutrisi ibu ke
janin. Jumlah hemoglobin yang kurang dalam darah pada ibu hamil terjadi
pada keadaan kekurangan nutrisi besi, asam folat, dan perdarahan akibat
hemorrhoid atau perdarahan saluran pencernaan. Kekurangan nutrisi dalam
kehamilan menyebabkan hambatan dalam sintesis hemoglobin, sehingga
jumlah hemoglobin tidak bisa mengimbangi kenaikan volume plasma.
Anemia dalam kehamilan menyebabkan pengangkutan oksigen ke jaringan
dan janin terganggu. Gangguan ini dapat menyebabkan hipoksia pada janin
yang berada di dalam kandungan sehingga pada waktu kelahiran bisa
menyebabkan asfiksia neonatorum (Hasan, 2005).
Ibu bersalin dengan anemia salah satunya disebabkan oleh kurangnya
kepatuhan ibu dalam mengkonsumsi tablet besi. Selain itu karena tingkat
pendidikan ibu yang masih rendah, sehingga kurang mengetahui gizi yang
baik selama kehamilan. Anemia dalam kehamilan merupakan anemia karena
defisiensi zat besi. Pengobatan yang mudah dan murah untuk jenis anemia
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dalam kehamilan. Pengobatan dapat dilakukan dengan rutin konsumsi tablet
besi. Anemia dalam kehamilan sudah menjadi masalah nasional karena
menggambarkan nilai kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat (Manuaba,
2010).
Keterangan tersebut di atas di dukung oleh teori Budwiningtyastuti
dkk (2005) yang menyatakan bahwa anemia ibu hamil terutama anemia berat,
terjadi gangguan penyaluran oksigen dari plasenta ke janin sehingga
berpengaruh pada janin. Hasil analisis morfologi plasenta menunjukkan
adanya klasifikasi dan infark sehingga fungsi plasenta terganggu. Perubahan
plasenta ini disebabkan hipoksia akibat rendahnya kadar hemoglobin ibu.
Menurut Maryunani (2009) anemia merupakan salah satu penyebab
gangguan aliran darah uterus, mengurangnya aliran darah pada uterus akan
menyebabkan berkurangnya pengaliran oksigen ke plasenta dan ke janin.
Asfiksia janin atau neonatus akan terjadi jika terdapat gangguan pertukaran
gas atau pengangkutan transport oksigen dari ibu ke janin.
Berdasarkan tabel 4.6 menyebutkan bahwa Ibu tidak anemia
melahirkan bayi dengan asfiksia ringan sebesar 85,7%, asfiksia sedang
sebesar 9,5%, dan asfiksia berat sebesar 4,8%. Faktor-faktor yang
mempengaruhi asfiksia neonatorum dapat berasal dari faktor prenatal
meliputi faktor maternal (anemia, perdarahan, pre-eklampsi), faktor plasenta
(plasenta previa dan abruptio placentae), faktor funiculus umbilicalis (lilitan
tali pusat), dan faktor fetal (anomali kongenital dan prematuritas) (Oxorn,
2010).
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Faktor maternal salah satunya ialah pre-eklampsi. Penderita preeklampsia terjadi penurunan cardiac output akibat dari vasospasme pembuluh
darah sehingga menyebabkan terjadinya kerusakan endotel yang akan
mengakibatkan gangguan keseimbangan antar kadar hormon vasokonstriktor
(endotelin, tromboksan, angiostensin) dan vasodilator (nitritoksida dan
prostasiklin), serta gangguan pada sistem pembekuan darah. Vasokonstriksi
yang meluas menyebabkan hipertensi, bila suplai darah ke plasenta berkurang
maka janin akan mengalami hipoksia. Akibat lanjut dari hipoksia adalah
gangguan pertukaran gas antara oksigen dan karbondioksida sehingga terjadi
asfiksia pada bayi baru lahir (Sunarto, 2010).
Faktor plasenta yang menyebabkan asfiksia neonatorum diantaranya
ialah plasenta previa. Plasenta previa adalah salah satu faktor resiko kelahiran
preterm. Dalam jurnal Type and Location of Placenta Previa Affect Preterm
Delivery Risk Related to Antepartum Hemorrhage menyebutkan bahwa 45%
kelahiran preterm disebabkan oleh plasenta previa totalis (Erez, 2012).
Perdarahan antepartum akibat plasenta previa terjadi sejak kehamilan 20
minggu saat segmen bawah uterus lebih banyak mengalami perubahan.
Perdarahan tidak dapat dihindarkan karena ketidakmampuan serabut otot
segmen bawah uterus untuk berkontraksi seperti pada plasenta letak normal.
Perdarahan pada umur kehamilan muda dapat menyebabkan kelahiran
preterm, sehingga kondisi paru-paru belum matang dan dapat menyebabkan
asfiksia neonatorum.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Faktor tali pusat diketahui dapat menjadi penyebab terjadinya asfiksia
pada bayi baru lahir. Kompresi umbilikus akan mengakibatkan terganggunya
aliran darah dalam pembuluh darah umbilikus dan menghambat pertukaran
gas antara ibu dan janin. Gangguan aliran darah ini dapat ditemukan pada
keadaan tali pusat menumbung, tali pusat melilit, kompresi tali pusat antara
janin dan jalan lahir (Prawirohardjo, 2009). Hasil penelitian Suhartik
menyebutkan 68% asfiksia pada bayi baru lahir yang terjadi disebabkan oleh
keadaan tali pusat yang tidak normal. Lilitan tali pusat dan keadaan tali pusat
menumbung dapat menyebabkan terganggunya aliran darah dalam pembuluh
darah umbilikus dan menghambat pertukaran gas antara ibu dan janin
(Suhartik, 2011).
Faktor fetal, salah satunya prematuritas dapat menyebabkan asfiksia
neonatorum. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Brillianningtyas tentang
hubungan kehamilan lewat waktu dan bayi prematur dengan kejadian asfiksia
neonatorum yaitu nilai p-value=0,002 maka dapat disimpulkan ada hubungan
yang sangat signifikan antara bayi prematur dengan kejadian asfiksia
neonatorum. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori Prawirohardjo (2009)
bahwa semakin muda usia kehamilan maka tingkat kematangan fungsi organ
neonatus akan semakin rendah. Oleh sebab itu, ia mengalami lebih banyak
kesulitan
untuk
hidup diluar
uterus
ibunya. Makin
pendek masa
kehamilannya, makin kurang sempurna pertumbuhan alat-alat dalam
tubuhnya, dengan akibat makin mudahnya terjadi komplikasi dan makin
tingginya angka kematiannya. Pada bayi prematur sering terjadi gangguan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pernapasan yang disebabkan oleh kekurangan surfaktan, pertumbuhan dan
pengembangan paru yang belum sempurna, otot pernapasan yang masih
lemah, dan tulang iga yang mudah melengkung.
Menurut hasil penelitian Tika (2008) juga menyebutkan bahwa faktor
resiko terjadinya asfiksia neonatorum lainnya meliputi umur ibu, bayi kecil
untuk masa kehamilan, hipertensi dalam kehamilan dan air ketuban
bercampur mekonium. Kondisi ini dapat dialami oleh ibu bersalin tidak
anemia tetapi bayinya masih mengalami asfiksia neonatorum.
Berdasarkan hasil analisis data diperoleh nilai p-value sebesar 0,014
dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara anemia dalam kehamilan
dengan kejadian asfiksia neonatorum. Nilai korelasi dari analisis yaitu 0,420
dengan arah korelasi positif dan kekuatan korelasi yang sedang. Arah positif
menunjukkan kejadian anemia dapat meningkatkan kejadian asfiksia
neonatorum. Sehingga hasil analisis menunjukkan adanya hubungan antara
anemia dalam kehamilan terhadap kejadian asfiksia neonatorum dengan
korelasi sedang dan arah positif.
Penelitian serupa oleh Putu
Emy (2013)
tentang Hubungan
Preeklampsi Dengan Kejadian Asfiksia Pada BBL Di RSUP Sanglah
Denpasar menunjukkan ada hubungan antara pre-eklampsi dengan kejadian
asfiksia neonatorum. Preeklampsia merupakan salah satu faktor penyebab
terjadinya kejadian asfiksia pada bayi baru lahir, dimana pada kehamilan
dengan preeklampsia tidak terjadi invasi sel trofoblas di lapisan otot arteri
spiralis sehingga tetap kaku dan keras yang mengakibatkan lumen arteri
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
spiralis relatif mengalami vasokonstriksi dan terjadilah kegagalan remodeling
arteri spiralis yang menyebabkan aliran darah utero plasenta menurun dan
terjadilah iskemia plasenta dan hipoksia. Sehingga menyebabkan terjadinya
asfiksia neonatorum. Hal sama terjadi pada ibu hamil dengan anemia yaitu
terjadi gangguan aliran darah uteroplasenta sehingga menyebabkan asfiksia
neonatorum.
Penelitian Mahmudah (2010) tentang hubungan kadar hemoglobin ibu
hamil dengan kejadian asfiksia neonatorum menyebutkan ada hubungan antara
kadar hemoglobin ibu hamil dengan kejadian asfiksia dengan kekuatan
korelasi sangat lemah sebesar -0,127 dan arah negatif. Perbedaannya yaitu
pertama, pada penelitian terdahulu menggunakan data sekunder sehingga yang
diambil data responden yang telah dahulu. Kedua, tidak adanya kriteria inklusi
dan eksklusi, sampel masih dipengaruhi oleh faktor luar sehingga
mempengaruhi hasil. Ketiga, penelitian Mahmudah tidak menggunakan
kesepakatan Kappa Cohen sehingga bidan yang memberikan penilaian nilai
APGAR berbeda-beda.
E. Keterbatasan Penelitian
Penelitian yang telah dilakukan terdapat faktor
faktor pendukung
dan penghambat penelitian. Faktor pendukung dalam penelitian ini adalah
relatif mudah mencari responden ibu bersalin. Sedangkan keterbatasan dalam
penelitian ini yaitu keterbatasan waktu untuk melakukan penelitian. Hal ini
menyebabkan sampel yang digunakan untuk penelitian terbatas, masih belum
mewakili keseluruhan populasi.
Download