TINJAUAN PUSTAKA Strategi Pengelolaan Sumberdaya Air Berkelanjutan Sumberdaya air adalah bagian dari sistem daerah aliran sungai (DAS) yang antara lain terdiri dari sub sistem sumberdaya lahan, sumberdaya hutan, sumberdaya sosekbud, dan sumberdaya air itu sendiri. Pengelolaan sumberdaya air tidak terlepas dari pengelolaan DAS, dengan demikian strategi pengelolaan DAS yang baik akan menghasilkan sumberdaya air yang baik pula. DAS adalah suatu wilayah atau kawasan yang menampung, menyimpan dan mengalirkan air hujan ke sungai, baik dalam bentuk aliran permukaan, aliran bawah permukaan dan aliran air di bawah tanah. Wilayah ini dipisahkan dengan wilayah lainnya oleh pemisah topografi, yaitu punggung bukit dan keadaan geologi terutama formasi batuan (Linsley et al., 1982). Arsyad et al. (1985), menyebutkan bahwa secara operasional DAS didefinisikan sebagai wilayah yang terletak di atas suatu titik pada suatu sungai yang oleh batas-batas topografi mengalirkan air yang jatuh diatasnya ke dalam sungai yang sama pada sungai tersebut. UU No.7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, menyatakan bahwa DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografi dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Kartodihardjo et al., (2004) menyatakan DAS dapat dipandang sebagai sumberdaya alam yang berupa stock dengan ragam pemilikan (private, common, state property) dan berfungsi sebagai penghasil barang dan jasa, baik bagi individu dan atau kelompok masyarakat maupun bagi publik secara luas serta menyebabkan interdependensi antar pihak, individu dan atau kelompok masyarakat. Pengelolaan DAS adalah upaya penggunaan sumberdaya alam di dalam DAS secara rasional untuk mendapatkan produksi maksimum dalam waktu yang tidak terbatas dan menekan bahaya kerusakan (degradasi) seminimal mungkin, serta diperoleh water yield yang merata sepanjang tahun (Sinukaban, 1999). Di dalam pengelolaan DAS, DAS harus dipandang sebagai satu kesatuan antara wilayah hulu dan hilir, karena adanya interdependensi. Pada umunya bagian hulu DAS merupakan daerah tangkapan dan pengisian (recharge) dan merupakan sumber air bagi daerah hilirnya, maka perhatian yang lebih serius terhadap wilayah hulu sangat diperlukan. Penutupan lahan di bagian hulu DAS umumnya berupa kawasan hutan, sehingga apabila hutan rusak maka fungsi hidrologis DAS juga akan mengalami kerusakan. Berkaitan dengan fungsi dan karakteristik DAS bagian hulu tersebut, maka pengelolaan bagian hulu DAS lebih dimanifestasikan dengan pengelolaan hutan. Pengelolaan DAS sebagai bagian integral dari pembangunan wilayah, saat ini masih menghadapi berbagai masalah yang kompleks dan saling terkait. Masalah-masalah tersebut antara lain : erosi dan sedimentasi, banjir dan kekeringan, pencemaran air sungai, pengelolaan tidak terpadu, koordinasi yang lemah, institusi belum mantap, konflik antar sektor/kegiatan dan peraturan yang tumpang tindih (Dephut, 2001; Brooks et al., 1990; Easter et al., 1986). Kondisi ini menyebabkan kerusakan DAS semakin meningkat setiap tahunnya, meskipun pengelolaan DAS terus dilakukan. Prayogo et al. (2008), menyatakan bahwa perubahan penggunaan lahan dari lahan hutan menjadi lahan pertanian di bagian hulu DAS Brantas menyebabkan penurunan fungsi resapan air, peningkatan aliran permukaan, erosi, penurunan debit sungai. Akibat selanjutnya adalah penurunan kualitas lahan yang dapat menyebabkan penurunan produktivitas pertanian. Selain itu, akan menyebabkan kekurangan air pada musim hujan dan banjir dimusim hujan. Kompleksnya permasalahan dalam pengelolaan DAS tersebut di atas mengharuskan berbagai pihak yang terlibat (stakeholders) untuk melakukan langkah-langkah strategis dalam pengelolaan DAS secara utuh, menyeluruh dan terpadu dengan pendekatan one river one plan one management. Sinukaban (1994), menyatakan bahwa tujuan pengelolaan DAS adalah adanya keberlanjutan (sustainability) yang diukur dari pendapatan, produksi, teknologi, dan erosi. Teknologi yang dimaksud adalah teknologi yang dapat diterima (acceptable) dan dapat dilakukan oleh petani dengan pengetahuan yang dimilikinya tanpa intervensi dari pihak luar, dan teknologi tersebut dapat direplikasi (replicable) berdasarkan 15 faktor-faktor sosial budaya itu sendiri. Salah satu upaya agar penggunaan sumberdaya lahan dapat dilakukan secara berkelanjutan adalah menerapkan sistem pertanian konservasi. Sistem pertanian konservasi dimaksud adalah sistem pertanian yang mengintegrasikan teknik konservasi tanah dan air ke dalam sistem usahatani yang sedang dilakukan dengan tujuan utama untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani sekaligus menekan bahaya erosi. Erosi yang terjadi harus lebih kecil atau sama dengan erosi yang dapat ditoleransikan (tolerable soil loss), sehingga sistem pertanian tersebut dapat dilakukan secara berkesinambungan tanpa batas waktu. Selanjutnya Sinukaban (1994) menyatakan bahwa sistem pertanian konservasi dicirikan oleh : 1) Produksi pertanian tinggi sehingga petani tetap bergairah melanjutkan usahanya. 2) Pendapatan petani cukup tinggi sehingga petani dapat merancang/mendisain masa depan keluarganya dari hasil pendapatan usahatani yang dilakukan. 3) Teknologi yang diterapkan sesuai dengan kemampuan petani setempat (acceptable dan replicable). 4) Komoditas pertanian yang diusahakan beragam dan sesuai dengan kondisi biofisik daerah, dapat diterima petani, dan laku di pasar. 5) Laju erosi lebih kecil dari erosi yang dapat ditoleransikan, sehingga produksi yang cukup tinggi tetap dapat dipertahankan/ditingkatkan secara lestari, dan fungsi hidrologis terpelihara dengan baik. 6) Sistem penguasaan dan pemilikan lahan dapat menjamin keamanan investasi jangka panjang (longterm investment security) dan menggairahkan petani untuk terus berusahatani. Sistem pertanian konservasi merupakan sistem pertanian yang bersifat spesifik lokasi sehingga tidak dapat dipaksakan untuk diterapkan di tempat lain jika tidak sesuai. Penentuan alternatif pengelolaan lahan dirancang berdasarkan pada data tanah, data iklim, bentuk lahan, dan kondisi fisik lingkungan lainnya. Persyaratan penggunaan lahan dan persyaratan tumbuh tanaman menjadi penting, karena penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya lahan harus sesuai dengan daya dukungnya agar dapat tercipta suatu pengelolaan lahan yang lestari. Menurut Sinukaban (1994), perencanaan pengelolaan DAS yang baik diharapkan dapat 16 meningkatkan produktivitas lahan di suatu DAS yang tidak mengabaikan keberlanjutan daya dukung dan kualitas lingkungan serta memanfaatkan dan mengembangkan sumberdaya yang ada sesuai karakteristik DAS yang dikelola. Dalam praktiknya, pengelolaan suatu DAS harus berorientasi pada kaidahkaidah konservasi tanah dan air dengan mengembangkan pola usahatani yang sudah ada sambil mengintroduksi teknologi secara perlahan-lahan yang sesuai dengan kondisi sosial dan budaya masyarakat setempat, agar diperoleh suatu model usahatani yang spesifik lokasi. Model usahatani konservasi yang dilakukan diharapkan dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani, selain itu erosi yang terjadi harus lebih kecil atau sama dengan erosi yang dapat ditoleransikan (tolerable soil loss), sehingga sistem pertanian tersebut dapat dilakukan secara berkesinambungan tanpa batas waktu (sustainable). Untuk merancang atau mengembangkan kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam di dalam DAS yang mempunyai tujuan keberlanjutan, maka diperlukan informasi berikut: (1) kondisi biofisik DAS, (2) evaluasi kemampuan dan kesesuaian lahan, (3) ekonomi (pasar), (4) agroteknologi yang menjamin erosi rendah, dan (5) pengetahuan orang di dalam DAS dan sumberdaya lokal (Sinukaban, 1995). Aliran Permukaan Aliran permukaan adalah bagian dari curah hujan yang mengalir di permukaan tanah atau bawah permukaan tanah, yang mengalir ke tempat yang lebih rendah seperti sungai, danau atau laut (Schwab et al., 1981). Berdasarkan UU No.7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air dikatakan bahwa air permukan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah. Sedangkan menurut Arsyad (2006), aliran permukaaan (run off) adalah air yang mengalir diatas permukaan tanah. Aliran permukaan inilah yang dapat menyebabkan erosi tanah, karena mampu mengangkut bagian-bagian tanah yang terdispersi oleh butir hujan. Dalam pengertian ini run-off adalah aliran di atas permukaan tanah sebelum air itu sampai ke dalam saluran atau sungai. Faktorfaktor yang mempengaruhi sifat-sifat aliran permukaan (Arsyad, 2006) sebagai berikut: 17 1) Curah hujan : jumlah, laju dan distribusi 2) Temperatur 3) Tanah : jenis/tipe, substratum, dan topografi 4) Luas daerah aliran 5) Vegetasi penutup tanah : jenis/tipe, jumlah dan kerapatan 6) Sistem pengelolaan tanah Pengendalian aliran permukaan akan berdampak secara langsung terhadap terjadinya erosi lahan, dimana pada gilirannya akan dapat mempengaruhi ketersediaan air pada musim kemarau dan pencegahan banjir pada musim hujan. Pendugaan volume aliran permukaan pada suatu DAS dapat menggunakan model hubungan hujan-limpasan yaitu metode U.S. Soil Conservation Services. Besarnya volume aliran permukaan (Q) tergantung pada curah hujan (P) dan volume simpanan yang tersedia untuk menahan air (S). Persamaan yang digunakan adalah : (P – 0,2S)2 Q = --------------P + 0,8S ………………………………... (1) Q = Jumlah aliran permukaan (mm) P = Curah hujan (mm) S = Retensi air potensial maksimum (mm) Berdasarkan persamaan empirik nilai S diduga dengan menggunakan persamaan : 25400 S = --------- - 254 CN …………………………………(2) S = Retensi air potensial maksimum (mm) CN = bilangan kurva (runoff curve number) Besaran nilai bilangan kurva (runoff curve number) tergantung dari sifatsifat tanah, penggunaan tanah dan kondisi hidrologi serta keadaan air sebelumnya. Nilai CN ditentukan berdasarkan pada jenis tanah, penggunaan lahan, infiltrasi, dan kondisi hidrologi tanah (kondisi kandungan air tanah sebelumnya). Volume aliran permukaan yang berlebihan dapat berpotensi menimbulkan banjir di bagian hilir. Hal ini sesuai dengan pendapat Irianto (2003), bahwa curah hujan tahunan yang terakumulasi pada waktu yang pendek (Desember-Februari) 18 menyebabkan tanah tidak mampu menampung semua volume air hujan. Akibatnya sebagian besar air hujan menjadi aliran permukaan, hal ini diperburuk dengan meningkatnya alih fungsi hutan menjadi pengunaan lain seperti pertanian, permukiman, industri dan sawah. Hal ini berpotensi menimbulkan banjir yang cukup besar di wilayah hilir. Selanjutnya dikatakan bahwa besarnya aliran permukaan juga akan menimbulkan erosi yang berlebihan, sehingga secara langsung akan menurunkan kesuburan tanah. Penurunan kesuburan tanah akan menyebabkan makin berkurangnya vegetasi yang mampu tumbuh dengan baik, sehingga tutupan lahan semakin berkurang. Hal ini akan menyebabkan berkurangnya pengisian (recharging) cadangan air di bagian hulu yang berakibat timbulnya kekeringan pada saat musim kemarau. Erosi Erosi adalah proses berpindahnya atau terangkutnya tanah atau bagianbagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami. Pada peristiwa erosi, tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat/lokasi terkikis dan terangkut kemudian diendapkan di suatu tempat lain. Beasley (1972) dan Hudson (1976) berpendapat, bahwa erosi adalah proses kerja fisika yang keseluruhan prosesnya menggunakan energi. Energi ini digunakan untuk menghancurkan agregat tanah (detachment), memercikan partikel tanah (splash), menyebabkan gejolak (turbulence) pada limpasan permukaan, serta menghanyutkan partikel tanah. Proses erosi terjadi melalui penghancuran, pengangkutan, dan pengendapan (Meyer et al., 1991; Utomo, 1987; Foth, 1978). Di alam terdapat dua penyebab utama yang aktif dalam proses ini yakni angin dan air. Pada daerah iklim tropika basah seperti Indonesia, air merupakan penyebab utama terjadinya erosi, sedangkan angin tidak mempunyai pengaruh berarti (Arsyad, 2006) Erosi tanah (soil erosion) terjadi melalui dua proses yakni proses penghancuran partikel-partikel tanah (detachment) dan proses pengangkutan (transport) partikel-partikel tanah yang sudah dihancurkan. Kedua proses ini terjadi akibat hujan (rain) dan aliran permukaan (run off) yang dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain curah hujan (intensitas, diameter, lama dan jumlah hujan), karakteristik tanah (sifat fisik), penutupan lahan (land cover), kemiringan 19 lereng, panjang lereng dan sebagainya (Wischmeier dan Smith, 1978). Faktorfaktor tersebut satu sama lain bekerja secara simultan dalam mempengaruhi erosi. Kehilangan tanah hanya akan terjadi jika kedua proses tersebut di atas berjalan. Tanpa proses penghancuran partikel-partikel tanah, maka erosi tidak akan terjadi, tanpa proses pengangkutan, maka erosi akan sangat terbatas. Kedua proses tersebut di atas dibedakan menjadi empat sub proses yakni: (1) penghancuran oleh curah hujan; (2) pengangkutan oleh curah hujan; (3) penghancuran (scour) oleh aliran permukaan; dan (4) pengangkutan oleh aliran permukaan. Jika butir hujan mencapai permukaan tanah, maka partikel-partikel tanah dengan berbagai ukuran akan terpercik (splashed) ke segala arah, menyebabkan terjadinya penghancuran dan pengangkutan partikel-partikel tanah. Jika aliran permukaan tidak terjadi (seluruh curah hujan terinfiltrasi), maka seluruh partikel-partikel yang terpercik akibat curah hujan akan terdeposisi di permukaan tanah. Selanjutnya jika aliran permukaan terjadi, maka partikel- partikel yang terdeposisi tersebut akan diangkut ke lereng bagian bawah. Beberapa kemungkinan yang dapat terjadi sehubungan dengan empat sub proses di atas, yakni : (1) penghancuran oleh curah hujan dan aliran permukaan lebih kecil dari proses pengangkutan oleh curah hujan dan aliran permukaan; (2) penghancuran oleh curah hujan dan aliran permukaan lebih besar dari proses pengangkutan oleh curah hujan dan aliran permukaan; dan (3) penghancuran oleh curah hujan dan aliran permukaan sama dengan proses pengangkutan oleh curah hujan dan aliran permukaan. Morgan dan Rickson (1995) menjelaskan bahwa kemungkinan- kemungkinan tersebut dapat terjadi sebagai berikut: kemungkinan pertama; penghancuran oleh curah hujan dan aliran permukaan lebih kecil dari proses pengangkutan oleh curah hujan dan aliran permukaan (proses 1 + 3 < proses 2 + 4). Kemungkinan ini berarti bahwa jumlah material yang tererosi lebih rendah dari kapasitas angkut (carrying capacity) hujan dan aliran permukaan, akibatnya semua material yang tererosi akan terangkut ke tempat lain. Kemungkinan ini terjadi karena beberapa faktor : (1) kepekaan tanah terhadap erosi (KE) tinggi; (2) permukaan tanah miring (berlereng), (3) kapasitas infiltrasi tanah rendah sehingga aliran permukaan besar; (4) partikel tanah yang dihancurkan berukuran kecil 20 sehingga walaupun aliran permukaan besar, tetapi kemampuannya untuk menggerus (scour) rendah. Kemungkinan kedua; penghancuran oleh curah hujan dan aliran permukaan lebih besar dari proses pengangkutan oleh curah hujan dan aliran permukaan (proses 1 + 3 > proses 2 + 4). Kemungkinan ini berarti bahwa jumlah material yang tererosi melebihi kapasitas angkut (carrying capacity) hujan dan aliran permukaan, akibatnya sebagian dari material yang tererosi akan terangkut ke tempat lain sebagian lagi akan terdeposisi di permukaan tanah. Kemungkinan ini terjadi karena beberapa faktor : (1) kepekaan tanah terhadap erosi (KE) rendah, (2) permukaan tanah datar, (3) kapasitas infiltrasi tanah besar sehingga aliran permukaan kecil; (4) partikel tanah yang dihancurkan berukuran besar sehingga kemampuan aliran permukaan untuk melakukan proses penggerusan juga besar. Kemungkinan ketiga; penghancuran oleh curah hujan dan aliran permukaan sama dengan proses pengangkutan oleh curah hujan dan aliran permukaan (proses 1 + 3 = proses 2 + 4). Kemungkinan ini berarti bahwa jumlah material yang dihancurkan sama dengan kapasitas angkut (carrying capacity) hujan dan aliran permukaan, sehingga material tersebut semuanya akan terangkut walaupun proses pengangkutannya akan berjalan relatif lebih lambat jika dibandingkan dengan kemungkinan pertama. Kemungkinan ketiga ini secara alamiah mencerminkan suatu kondisi keseimbangan (equilibrium) antara proses penghancuran dan proses pengangkutan baik oleh curah hujan maupun aliran permukaan. Selanjutnya Arsyad (2006) menjelaskan bahwa di daerah beriklim tropika basah, air merupakan penyebab utama terjadinya erosi tanah. Proses erosi oleh air merupakan kombinasi dua sub proses yaitu : (1) menghancuran struktur tanah menjadi butir-butir primer oleh energi tumbuk butir-butir hujan yang menimpa tanah (D h ) dan perendaman oleh air yang tergenang (proses dispersi), dan pemindahan (pengangkutan) butir-butir tanah oleh percikan hujan (T h ); dan (2) penghancuran struktur tanah (D i ) diikuti pengangkutan butir-butir tanah tersebut (T i ) oleh air yang mengalir di permukaan tanah. terjadinya erosi disajikan pada Gambar 2. 21 Secara skematis proses Air hujan yang menimpa tanah-tanah terbuka akan menyebabkan tanah terdispersi. Sebagian dari air hujan tersebut akan mengalir di atas permukaan tanah. Banyaknya air yang mengalir di atas permukaan tanah tergantung dari hubungan antara jumlah dan intensitas hujan dengan kapasitas infiltrasi tanah dan kapasitas tanah menyimpan air. Kekuatan perusak air yang mengalir di atas permukaan tanah akan semakin besar dengan semakin curam dan makin panjangnya lereng permukaan tanah. Pada tanah-tanah berlereng, lebih dari separuh partikel tanah yang mengalami proses penghancuran oleh butir-butir hujan akan terangkut ke bawah bukit (downhill). Pada sebagian besar daerah, erosi percikan (splash) dan erosi lembar merupakan bentuk erosi yang dominan. Jika terjadi curah hujan tinggi dan aliran permukaan besar, maka bentuk erosi yang dominan adalah erosi parit (gully) dengan kedalaman berkisar antara 1–100 m. Pada kondisi seperti ini maka air dan tanah dalam jumlah yang banyak akan hilang. Tumbuh-tumbuhan di atas permukaan tanah dapat memperbaiki kemampuan tanah menyerap air dan memperkecil kekuatan perusak butir-butir hujan yang jatuh, dan daya dispersi serta daya angkut aliran air di atas permukaan tanah. Perlakuan atau tindakan yang diberikan manusia terhadap tanah dan tumbuh-tumbuhan diatasnya akan menentukan apakah tanah akan menjadi baik dan produktif atau menjadi rusak. Dh Th Di Butir-Butir Tanah yg terlepas Ti Kapasitas Angkut Air (Dh + Di) < atau > (Th + Ti) l Tanah Tererosi Gambar 2. Skema proses terjadinya erosi tanah (Arsyad, 2006) Meningkatnya aliran permukaan, karena berkurangnya kapasitas infiltrasi tanah. Jumlah aliran permukaan yang meningkat akan mengurangi kandungan air 22 tersedia dalam tanah yang mengakibatkan pertumbuhan tanaman menjadi kurang baik. Berkurangnya pertumbuhan berarti berkurangnya sisa-sisa tanaman yang kembali ke tanah, akibatnya erosi akan semakin besar. Oleh karena erosi berkaitan dengan aliran permukaan, maka dengan meningkatnya aliran permukaan, erosi juga meningkat (Arsyad, 2006). Banyak faktor yang mempengaruhi laju erosi tanah. Morgan (1979) mengemukakan bahwa terjadinya erosi tanah dipengaruhi oleh : curah hujan, limpasan permukaan (aliran permukaan), jenis tanah, lereng, penutup tanah, jumlah penduduk, dan ada atau tidaknya tindakan konservasi tanah. Secara ringkas Baver (1959) dan Aryad (2006), menyatakan bahwa erosi merupakan hasil interaksi kerja antara faktor-faktor iklim, topografi, vegetasi, tanah, dan tindakan manusia, yang dapat dinyatakan dalam suatu persamaan deskriptif berikut : E = f ( i, r, v, t, m ) ........................................................(3) dimana, E : Erosi, yang merupakan fungsi dari faktor, i : iklim, r : relief atau topografi, v : vegetasi, t : tanah, dan m : manusia (m). Secara keseluruhan faktorfaktor ini bersama-sama menentukan besar atau laju erosi yang akan terjadi. Tanah yang tererosi dari lokasi asalnya akan selalu diendapkan pada tempat lain, yang kemudian menutup permukaan tempat pengendapan. Jarak tempuh partikel tanah yang tererosi tergantung pada ukuran, berat, bentuk, dan kecepatan alirannya (Morgan, 1979). Tanah yang tererosi diendapkan di tempattempat yang kecepatan alirannya melambat atau tenang airnya, baik di sungai, saluran irigasi, waduk ataupun danau. Besarnya erosi dapat diukur langsung di lapangan diantaranya dengan menggunakan petak kecil atau diprediksi dengan menggunakan model. Model prediksi erosi yang umum digunakan saat ini adalah model parametrik. Model parametrik untuk memprediksi erosi dari suatu bidang tanah telah dikembangkan oleh Weischmeier dan Smith (1978) yang dikenal dengan The Universal Soil Loss Equation (USLE). USLE memungkinkan perencana menduga laju rata-rata erosi suatu tanah tertentu pada suatu kecuraman lereng dengan pola hujan tertentu untuk setiap macam pertanaman dan tindakan pengelolaan (tindakan konservasi tanah) yang mungkin dilakukan atau 23 yang sedang dipergunakan. Persamaan yang dipergunakan mengelompokan berbagai parameter fisik dan pengelolaan yang mempengaruhi laju erosi kedalam enam variabel utama yang nilainya untuk setiap tempat dapat dinyatakan secara numerik. USLE dikembangkan di National Run Off and Soil Loss Data Centre yang didirikan pada tahun 1954 oleh The science and education administration Amerika Serikat yang bekerjasama dengan Universitas Purdue (Weischmeier dan Smith, 1978). Persamaan USLE adalah : A = R K L S C P ...............................................(4) dimana : A = Tanah yang tererosi (ton/hektar/tahun) R = Faktor indeks (erosivitas) hujan. K = Faktor erodibilitas tanah L = Faktor panjang lereng S = Faktor kecuraman lereng C = Faktor vegetasi penutup tanah dan pengelolaan tanaman P = Faktor tindakan-tindakan khusus konservasi tanah USLE mempunyai keunggulan karena mudah diaplikasikan, dapat diterapkan dimana saja (universal) dengan penetapan nilai setiap faktor secara tepat dan dapat memprediksi erosi dalam jangka panjang pada penggunaan lahan yang berbeda-beda. Model USLE dapat pula digunakan untuk memilih agroteknologi dalam menyusun rencana strategi perencanaan pengelolaan sumberdaya air yang berbasis pada sistem DAS. Penilaian (Valuasi) Ekonomi Sumberdaya Alam (SDA) Pengelolaan Sumberdaya Alam (SDA), adalah suatu kegiatan yang ditujukan untuk memperoleh manfaat, baik manfaat nyata (tangible benefits) maupun manfaat tidak nyata (intangible benefits). Untuk memahami manfaat sumberdaya alam maka perlu dilakukan penilaian terhadap semua manfaat yang dihasilkan sumberdaya alam tersebut. Nilai barang atau jasa tersebut sangat membantu seseorang individu, masyarakat atau organisasi dalam mengambil suatu keputusan. Nilai (value), merupakan persepsi manusia tentang makna suatu obyek, bagi orang tertentu, pada waktu dan tempat tertentu. Persepsi tersebut berpadu 24 dengan harapan dan ataupun norma-norma kehidupan yang melekat pada individu atau masyarakat tersebut. Penilaian (valuation), merupakan upaya untuk menentukan nilai atau manfaat dari suatu barang atau jasa untuk kepentingan tertentu manusia atau masyarakat. Untuk mengetahui seberapa besar nilai sumberdaya alam sangat tergantung pada banyak faktor, antara lain: 1) apa yang dinilai, 2) kapan dinilainya, 3) bagaimana menilainya dan 4) siapa yang menjadi penilai. Faktorfaktor tersebut di atas akan menentukan besarnya nilai suatu sumberdaya alam. Penentuan nilai ekonomi sumberdaya alam merupakan hal yang sangat penting sebagai bahan pertimbangan dalam mengalokasikan sumberdaya alam yang semakin langka (Kramer et al., 1994 dalam Setiawan, 2000). Penilaian kontribusi fungsi ekosistem bagi kesejahteraan masyarakat merupakan hal yang sangat kompleks, mencakup faktor-faktor nilai sosial politik (Munasinghe, 1993 dalam Sanim, 2003) Berdasarkan konsep ekonomi, nilai ekonomi mencakup konsepsi kegunaan, kepuasan atau kesenangan yang diperoleh individu atau masyarakat tidak terbatas kepada barang dan jasa yang diperoleh dari jual beli, tetapi semua barang dan jasa yang dapat memberikan manfaat untuk kesejahteraan manusia. Dapat dikatakan bahwa baik barang publik maupun barang privat akan memberikan manfaat bagi masyarakat. Manfaat ekologis seperti keberadaan air pada hakekatnya juga merupakan manfaat ekonomi karena jika fungsi ekologis terganggu maka akan menimbulkan ketidakmanfaatan (disutility) atau terjadi kerugian akibat terjadinya bencana atau kerusakan. Keterkaitan Sumberdaya Alam (SDA) dan Pembangunan Ekonomi Pembangunan ekonomi tidak dapat dilepaskan dengan ketersediaan SDA, karena secara garis besar peningkatan pembangunan ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan (kesejahteraan) membutuhkan masukan (input) yang antara lain berasal dari sumberdaya alam (SDA). Untuk itu, pengelolaan lingkungan (environmental management) sebagai salah satu alat untuk mempertahankan ketersediaan SDA sangat dibutuhkan dan harus dilaksanakan dengan sebaik mungkin. Karena apabila ketersediaan SDA habis maka dengan sendirinya pembangunan lingkungan juga akan terhenti. 25 Hal ini seperti diungkapkan oleh Bank Dunia dan beberapa pakar ekonomi dunia bahwa ”pembangunan ekonomi (economic development) dan manajemen lingkungan adalah dua hal yang berseberangan, mempunyai hubungan bersifat kompetitif ”. Tetapi apabila kedua hal tersebut dikelola menurut paradigma baru pembangunan berkelanjutan, keduanya mempunyai hubungan baru yang harmonis, bersifat komplementer dan suplementer, sebagai berikut: 1) Pembangunan ekonomi dan pengelolaan lingkungan merupakan aspek yang saling melengkapi. 2) Tanpa perlindungan lingkungan pembangunan akan mengalami kegagalan, selain itu tanpa pembangunan maka perlindungan lingkungan juga akan gagal. 3) Pembangunan dan lingkungan adalah suatu dikotomi yang keliru/salah. Hubungan harmonis antara manajemen lingkungan dan pembangunan ekonomi dimungkinkan oleh karena adanya pergeseran dan perubahan paradigma (paradigm shift/change), sebagai berikut: 1) Pendekatan analisis ekonomi menuju analisis ekonomi serta lingkungan (economic cum environment). Hal ini berarti bahwa kelayakan suatu proyek pembangunan bukan semata-mata berdasarkan pertimbangan ekonomi tetapi juga berdasarkan pertimbangan kelayakan lingkungan yang dilakukan secara integral dan holistik. 2) Pendekatan pembangunan tak berkelanjutan (unsustainable development) menjadi pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Pembangunan berkelanjutan pada dasarnya adalah mengacu pada upaya memelihara/mempertahankan kegiatan pembangunan (development) secara terus menerus. Pembangunan selalu memiliki implikasi ekonomi, pada kenyataannya pembangunan memiliki dimensi sosial dan politik yang kental. Pembangunan, dapat dikatakan sebagai vektor dari tujuan sosial pada suatu masyarakat (society), dimana tujuan tersebut merupakan atribut dari apa yang ingin dicapai atau dimaksimalkan oleh masyarakat tersebut. Munasinghe (1993, dalam Sanim (2003), menyatakan bahwa pem- bangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi persyaratan: (a) memiliki tiga tujuan, dimana melalui public decision harus disepakati proporsinya, 26 yaitu economic objective, social objective and ecological objective (Gambar 3), dan (b) sesuai dengan perkembangan ekonomi masyarakat. Gambar 3, secara jelas memperlihatkan bahwa untuk melaksanakan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development), dimana sumberdaya alam dianggap sebagai input utama dalam pembangunan ekonomi namun tidak terlepas dari manajemen lingkungan yang baik. Berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjtan ketersediaan sumberdaya alam akan terjaga untuk waktu kini dan masa yang akan datang serta terus terjadi peningkatan pembangunan ekonomi yang pada akhirnya akan tertuju pada peningkatan pendapatan (kesejahteraan). Adanya pembangunan berkelanjutan maka, tujuan ekonomi seperti efisiensi dan pertumbuhan akan tercapai, tujuan sosial akan tercapai antara lain mengurangi kemiskinan dan pemerataan pendapatan serta tujuan ekologi juga akan tercapai (perlindungan sumberdaya alam). ECONOMIC OBJECTIVE EFFICIENCY/GROWTH • Income distribution • Employment • Targeted Assistance • Environmental Assessment • Valuation • Internalization SOCIAL OBJECTIVE POVERTY/EQUITY ECOLOGICAL OBJECTIVE NATURAL RESOURCES • Popular Participation • Consultation • Pluralism Gambar 3. Hubungan tiga tujuan pembangunan berkelanjutan (Munasinghe, 1993 dalam Sanim, 2003) Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, SDA dan pembangunan ekonomi serta manajemen lingkungan guna mencapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan bukanlah hal yang harus dipisahkan, namum merupakan satu kesatuan yang saling terkait satu sama lain. Untuk itu, pemerintah harus melakukan berbagai langkah dalam bentuk kebijakan untuk melindungi SDA sekaligus dapat 27 memacu pembangunan ekonomi. Secara umum kebijakan perlindungan lingkungan yang dapat dilakukan pemerintah terbagi menjadi dua kelompok, yaitu (a) Atur dan Awasi (ADA) dan (b) Atur Diri Sendiri (ADS) (Soemarwoto, 2001). (1) Atur dan Awasi (command and control based =CAC-based) bersifat "top down", otoriter dan birokratis. Kebijakan ini, kurang memberi keleluasaan pada manajemen bagi masyarakat, antara lain membelenggu penggunaan teknologi yang lebih baik dan ramah lingkungan. Kebijakan tipe ini lebih bersifat "regulating” dari pada "facilitating". (2) Atur Diri Sendiri (Economic Instrument based = EI-based). Pemerintah memberikan pedoman yang ingin dicapai dan menyerahkan pada masyarakat untuk menentukan sikapnya dalam pengambilan keputusan. Pendekatan Penilaian (Valuasi) Ekonomi SDA Pendekatan penilaian ekonomi sumberdaya alam (Hufschmidt et al., 1983; Garrod dan Willis, 1998; Sanim, 2003) : (1) Pendekatan kurva permintaan (Marshallian atau Hicksian), berupa pendekatan yang berdasarkan pada kurva permintaan, pendekatan ini dapat dibedakan dalam 2 (dua) tipe : a. Permintaan diturunkan dari pernyataan preferensi (stated preference) individu untuk barang lingkungan, pada umumnya diperoleh dengan metode survey menggunakan kuesioner (Expressed Preference Method). Metode ini sering digunakan untuk menilai pilihan atau keberadaan suatu fungsi sumberdaya alam (SDA). Teknik penilaian yang dilakukan dengan wawancara untuk menanyakan kesediaan pengguna SDA untuk menerima atau WTA (Willingness To Accepts) dan kesediaan untuk membayar atau WTP (Willingness To Pay) terhadap sumberdaya alam agar tetap terpelihara secara lestari. Metode ini juga disebut metode valuasi kontingensi (Contingent Valuation Method) b. Permintaan yang terungkap (reveable) dari menganalisis pembelian barang tertentu di pasar, yang memungkinkan dapat dinikmati jasa lingkungan tertentu secara bersamaan (Revealed Preference Methods). Sebagai contoh adalah nilai rekreasi suatu kawasan konservasi diperoleh dari besarnya biaya yang dikeluarkan oleh seluruh orang yang 28 berkunjung ke tempat rekreasi tersebut. Metode ini disebut Metode Biaya Perjalanan (Travel Cost Method) (2) Pendekatan yang tidak mendasarkan pada kurva permintaan dan tidak memberikan penilaian ekonomi yang sejati, tetapi tetap sangat berguna dalam aplikasi, pendekatan ini terdiri dari : a. Metode Dosis-Respon; menentukan data yang menghubungkan antara respon manusia atau non manusia dengan berbagai tingkat cemaran lingkungan. Metode ini didasarkan pada gagasan bahwa bagi kebanyakan aktivitas, kualitas lingkungan dianggap sebagai faktor produksi. Metode ini mengestimasikan hubungan dosis - respon yaitu antara tingkat pencemaran/polusi dan dampaknya terhadap bahan-bahan tertentu. Sebagai contoh dampak kualitas air terhadap produktivitas pertanian, perikanan, industri, dan sebagainya. b. Metode Biaya Pengganti (Replacement Cost Method); Dengan mengestimasi biaya untuk menggantikan atau memulihkan asset lingkungan yang mengalami degradasi sehingga hilang jasa-jasanya, digunakan sebagai ukuran manfaat restorasi. Penilaian didasarkan kepada biaya penggantian atau memulihkan asset yang mengalami degradasi. Sebagai contoh, nilai ekonomi kerugian akbibat erosi tanah didekati dengan biaya untuk pembuatan bangunan pencegah erosi. c. Metode berdasarkan pada prilaku Mitigasi (menghindar); Mendasarkan pada biaya yang diperlukan untuk menghindari misalnya pengaruh pencemaran udara. Sebagai contoh ialah biaya untuk mengisolasi rumah dari kebisingan dan pencemaran kualitas udara bagi orang yang tinggal di sekitar bandara. d. Metode berdasarkan pada Opportunity Cost; metode ini sebenarnya tidak melakukan penilaian manfaat lingkungan. Misalnya dilakukan konversi wetland menjadi lahan pertanian intensif, maka nilai ekonomi yang diperoleh dari pertanian digunakan sebagai suatu benchmark, suatu konversi wetland dikatakan tidak bermanfaat jika hanya menghasilkan manfaat yang kurang dari nilai benchmark tersebut. 29 Manfaat Penilaian (Valuasi) Ekonomi SDA Manfaat penilaian (valuasi) ekonomi suatu sumberdaya alam baik secara langsung maupun tidak langsung, antara lain: a) Sebagai bahan pertimbangan bagi pengambil keputusan dalam mengalokasikan sumberdaya alam yang semakin langka sehingga akan tercapai harapan pengelolaan dengan tetap memperhatikan kelestarian sumberdaya alam bersangkutan. b) Sebagai dasar dalam menentukan rekomendasi tertentu pada kegiatan perencanaan, pengelolaan dan lain sebagainya pada suatu sumberdaya alam. c) Untuk menggambarkan hubungan timbal balik antara ekonomi dan lingkungan yang diperlukan untuk pengelolaan sumberdaya alam yang baik, dan menggambarkan keuntungan atau kerugian yang berkaitan dengan berbagai pilihan kebijakan dan program pengelolaan sumberdaya alam, sekaligus bermanfaat dan menciptakan keadilan dalam distribusi manfaat sumberdaya alam tersebut. d) Untuk penerapan pada kawasan konservasi hasil valuasi ekonomi dapat digunakan sebagai dasar dalam kegiatan perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan. e) Untuk mengetahui nilai ekonomi total (NET) suatu sumberdaya alam. Nilai Ekonomi Total (NET) SDA Nilai Ekonomi Total (NET) suatu sumberdaya alam adalah penjumlahan seluruh net benefits dari semua kegunaan yang dapat dinilai (use values) dan kegunaan yang tidak dapat dinilai (non-use values). NET atau total use value (TUV) dapat ditulis dalam persamaan matematis sebagai berikut (CSERGE, 1994 dalam Sanim, 2003; Askary dan Wijayanti, 2001; Suparmoko, 2006) : TEV= UV+NUV=(DUV+IUV+OV) +(XV+BV)................................(5) dimana : TEV UV NUV DUV = Total economic value (Nilai Ekonomi Total) = Use Value (Nilai Penggunaan) = Non-use value (Nilai Non Penggunaan) = Direct use value (Nilai Penggunaan Langsung) 30 IUV OV XV BV = Indirect use value (Nilai Penggunaan Tidak Langsung) = Option value (Nilai Pilihan) = Existance value (Nilai Keberadaan) = Bequest value (Nilai warisan). Persamaan di atas diilustrasikan dalam diagram pada Gambar 4, beberapa hal yang dapat dijelaskan dari diagram tersebut yaitu: Nilai penggunaan sumberdaya alam Nilai penggunaan langsung adalah nilai atau manfaat sumberdaya alam dan ekosistem kawasan konservasi yang diperoleh secara langsung melalui konsumsi atau produksinya. Contohnya : (1) fungsi hidrologi kawasan konservasi memberikan manfaat ekonomi air yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan air rumah tangga, air pertanian dan air untuk perikanan, serta untuk dikomersialkan (misalnya produk air minum dalam kemasan); dan (2) sumberdaya alam hayati serta jasa lingkungan kawasan konservasi memberikan manfaat ekonomi dengan adanya pengembangan kegiatan wisata alam atau ekowisata. Nilai pengggunaan tidak langsung adalah nilai atau manfaat yang diperoleh secara tidak langsung dari sumberdaya kawasan konservasi yang memberikan jasa pada aktivitas ekonomi atau mendukung kehidupan manusia. Contoh: (1) proses-proses ekologi kawasan konservasi secara terus menerus memberikan manfaat ekonomi, antara lain : a) perlindungan tanah dan pengendalian banjir; dan b) stabilnya iklim mikro dan produksi O 2 yang dapat mendukung kesehatan masyarakat, dan dapat mengurangi ancaman pemanasan global; dan (2) pelestarian keanekaragaman hayati tumbuhan dan satwa akan memberikan manfaat, antara lain : a) perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ramah lingkungan; dan b) terjaminnya ketersediaan sumberdaya alam hayati untuk mendukung proses-proses produksi dalam kegiatan pembangunan ekonomi. Nilai pilihan adalah nilai ekonomi yang didasarkan atas potensi nilai manfaat sumberdaya alam hayati kawasan konservasi di masa yang akan datang, sedangkan saat ini, karena keterbatasan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka nilai manfaat ekonominya belum ada. Atau dapat dikatakan, 31 nilai pilihan adalah nilai ekonomi yang masih tersimpan. Contohnya : banyak sekali jenis tumbuhan, satwa, dan berbagai sumber plasma nutfah yang ada di dalam kawasan konservasi yang saat ini belum diketahui nilai ekonominya, akan tetapi diyakini dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka pada suatu saat sumberdaya alam hayati dan plasma nutfah tersebut akan ada nilai ekonominya, misalnya untuk kepentingan industri farmasi, bioteknologi, dan lain-lain. Nilai non-penggunaan sumberdaya alam Nilai Warisan adalah nilai yang didasarkan pada suatu keinginan individu atau masyarakat untuk mewariskan kawasan konservasi kepada generasi yang akan datang. Nilai warisan adalah pengorbanan yang diberikan masyarakat yang hidup saat ini untuk menjaga kelestarian kawasan konservasi agar tetap utuh untuk diberikan pada generasi yang akan datang. Contoh kasus, misalnya seseorang atau masyarakat yang bersedia membayar untuk upaya konservasi elang jawa (Spizaetus bartelsi) dan ekosistemnya agar anak cucunya nanti masih bisa memanfaatkan elang jawa untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Nilai Keberadaan adalah nilai yang diberikan individu atau masyarakat terhadap keberadaan kawasan konservasi. Nilai yang diberikan tidak berkaitan dengan fungsi perlindungan aset produktif atau proses produksi secara langsung maupun tidak langsung, namun lebih didasarkan pada pertimbangan etika atau norma tertentu mengingat keberadaan kawasan konservasi secara intrinsik akan dapat memberikan manfaat spiritual, estetika, dan kultural. Bebebarapa contoh nilai non penggunaan SDA, sebagai berikut (Sanim, 2003): (1) Keberadaan ekosistem kawasan konservasi memberikan manfaat spiritual, misalnya : a) kekayaan dan keindahan alam kawasan konservasi dapat membangkitkan naluri rasa syukur manusia akan kebesaran Sang Pencipta atas ciptaan-Nya; b) keharmonisan hubungan unsur ekosistem kawasan konservasi dapat melahirkan keakraban manusia dengan manusia, alam seisinya serta Penciptanya; dan c) tingginya 32 keanekaragaman hayati dan keaslian ekosistem kawasan konservasi mengilhami manusia untuk terus menerus menggali misteri tentang ilmu biologi konservasi, di samping dapat mengilhami manusia dalam bidang karya seni. (2) Keberadaan kawasan konservasi memberikan manfaat estetika, dapat ditunjukkan dari keindahan, antara lain : a) lansekap hutan pegunungan dan gunung yang selalu nampak berkabut; b) jenis-jenis tanaman hias; dan c) atraksi satwa liar, misalnya burung dari jenis raptor (burung pemangsa). (3) Keberadaan kawasan konservasi memberikan manfaat kultural atau budaya, antara lain : a) ekowisata yang dikembangkan di suatu kawasan konservasi berpengaruh terhadap tata nilai budaya masyarakat, mereka lebih terbuka, komunikatif dan memiliki keterampilan membuat kerajinan tangan; dan b) banyak sumber air bersih yang berasal dari kawasan konservasi dan mengalir ke desa-desa sekitarnya menjadikan masyarakat memiliki budaya bercocok tanam padi atau memelihara ikan di kolam. Pembayaran Jasa Lingkungan atas Pemanfatan Sumberdaya Air Ekosistem hutan alam (kawasan konservasi) pada umumnya dikenal sebagai wilayah yang memiliki peran dalam melindungi sumber-sumber air. Ekosistem hutan secara langsung memiliki pengaturan fungsi hidrologis dan secara tidak langsung memelihara keberlanjutan aliran sungai (debit). Oleh karena itu, melalui upaya pengelolaan dan konservasi, hutan akan mampu menjaga atau meningkatkan potensi sumbedaya air secara berkelanjutan. Namun kenyataannya di lapangan menunjukkan bahwa pemanfaatan air yang berasal dari kawasan hutan baik kawasan konservasi maupun non konservasi telah lama berjalan walaupun tanpa perizinan dari pengelola kawasan konservasi. Sampai saat ini kurang lebih terdapat 85 pengguna air dari kawasan konservasi yang berpotensi diikat dengan kerjasama untuk mengatur penetapan hak dan kewajiban masing-masing pihak. Hal ini untuk menjamin pengguna air memperoleh kepastian ketersediaan/pasokan air dan kawasan konservasi memperoleh biaya rehabilitasi. 33 TEV (Total Economic Value) Use Value Direct Use Non- use Value Indirect Use Option Value Bequest Value Pemanfaatan Konsumtif Manfaat Fungsional Nilai langsung dan tak langsung pada masa yang akan datang Use & non use value pada warisan lingkungan Nilai dari pengetahuan eksistensi selanjutnya Makanan, Biomasa, Rekreasi, Kesehatan Pengawasan aliran, perlindungan badai, dan banjir Keragaman hayati, konservasi habitat Habitat, upaya preventif dari perubahan yang tak dapat diperbaharui Habitat, spesies dan ekosistem genetis Gambar 4. Nilai ekonomi total (NET) sumberdaya alam (CSERGE, 1994 dalam Sanim 2003) Existence Value Sebagai contoh, PT. Aqua Golden Missisipi di Babakan Pari yang mengambil sumber air baku sebanyak 3.168 m3/hari dari Taman Nasional Gunung Halimun, membayar pajak kepada Dinas Pertambangan sebesar Rp.3.000,-/m3, sehingga pajak yang dibayarkan sebesar Rp.285.120.000,-/bulan. Apabila dengan asumsi 15 % dari pajak yang dibayarkan dapat dikembalikan kepada pengelola kawasan konservasi maka akan tersedia dana yang cukup besar untuk memelihara dan menjaga kelestarian kawasan tersebut dan secara tidak langsung akan menjaga kelestarian pasokan air yang dibutuhkan oleh pihak perusahaan (Dirjen PHKA, 2005). Pemanfaatan air yang berasal dari kawasan konservasi dapat dilakukan, namun pelaksanaannya harus berlandaskan pada azas kelestarian. Hal ini disebabkan karena upaya-upaya konservasi dan rehabilitasi yang dilakukan di DAS tersebut memerlukan suatu pembiayaan. Untuk itu, prinsip penerima manfaat harus membayar (beneficiaries pay principle) dapat diterapkan terhadap pembayaran pemanfaatan air dari kawasan konservasi. Adanya ketersediaan dana tersebut menjadikan pengelola kawasan konservasi dapat memelihara dan menjaga DAS yang memberi manfaat air untuk keberlanjutan pasokan air bagi penggunanya. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah RI No.6 tahun 2007, bahwa biaya rehabilitasi DAS dapat diambil dari jasa lingkungan yang dihasilkan oleh kawasan konservasi, termasuk didalamnya adalah pemanfaatan sumberdaya air. Mengingat pentingnya potensi nilai ekonomi sumberdaya air dan peranan jasa lingkungan air serta permasalahan yang ada, maka diperlukan pemikiranpemikiran atau konsep pengaturan pemanfaatan sumberdaya air. Hal ini disebabkan karena fakta yang ada dilapangan menunjukkan bahwa pemanfaatan sumberdaya air dari kawasan konservasi telah terjadi, namun belum dilengkapi instrumen-instrumen yang mengaturnya. Kondisi demikian menyebabkan potensi dana yang dapat digunakan untuk kegiatan pemeliharaan atau rehabilitasi kawasan konservasi belum sepenuhnya dapat dimanfaatkan. Studi Terdahulu Penilaian Ekonomi Sumberdaya Alam Kajian penilaian ekonomi terhadap perubahan pengelolaan sumberdaya alam telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Hal ini seperti diungkapkan oleh Sihite (2004), yang menyatakan bahwa perubahan penggunaan lahan di DAS Way 35 Besai dari hutan menjadi budidaya kopi monokultur menyebabkan peningkatan erosi dari 12,1 ton/ha/tahun menjadi 26,9 ton/ha/tahun hingga 49,9 ton/ha/tahun. Dampak erosi secara langung (on site) adalah menurunkan produktivitas tanaman kopi dan dampak tidak langsung (off site) menyebabkan sedimentasi di waduk Way Besai. Waduk Way Besai selain berfungsi untuk irigasi juga digunakan sebagai pembangkit listrik (PLTA Besai). Meningkatnya sedimentasi menyebabkan penurunan debit aliran Way Besai, akibat selanjutnya adalah menurunkan kapasitas produksi PLTA Besai. Hal ini menyebabkan timbulnya kerugian ekonomi PLTA Besai sebesar Rp.16,5 Milyar/tahun (1975-1981) dan meningkat menjadi Rp.63,5 Milyar/tahun (1996-1998). Dwiastuti (2005), menyatakan bahwa biaya off site penaggulangan erosi di hulu (daerah tangkapan) bendungan Sutami dan Sengguruh dapat dipergunakan untuk menghitung biaya eksternalitas erosi pada setiap penggunaan lahan. Besarnya biaya eksternalitas erosi/ha/tahun ditentukan oleh beberapa variabel teknis, antara lain berat jenis sedimen, rasio transport sedimen (SDR) serta besarnya erosi ton/ha/tahun dari setiap penggunaan lahan. Pendekatan penghitungan eksteranalitas dapat dilakukan dengan menghitung besarnya biaya untuk menerapkan tindakan konservasi tanah dan air (agroteknologi) di kawasan hulu sehingga kawasan hilir akan terhindar dari dampak off site erosi dari bagian hulu. Hal ini sering disebut juga sebagai pendekatan perilaku untuk menghindar (averting or mitigation behavior) dari bahaya erosi (Garrod and Willis, 1999). Ramdan (2006), menyatakan bahwa konflik hulu-hilir dalam pemanfaatan air dapat diatasi dengan membangun komitmen bersama antar kedua wilayah (Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon). Kabupaten Kuningan sebagai kawasan hulu yang memasok air untuk Kota Cirebon diberi kewajiban untuk memelihara kawasan hulu, sedangkan Kota Cirebon sebagai pemanfaat air harus memberikan kontribusi dana ke Kabupaten Kuningan. Mekanisme hulu-hilir ini diperkuat oleh perda, dimana kedua wilayah tersebut akan saling menjaga komitmen masingmasing. Kota Cirebon sebagai pengguna air memberikan kontribusi biaya pemeliharaan kawasan hulu sebesar Rp.1,7 Milyar/tahun kepada Kabupaten Kuningan. 36 Proses untuk membangun komitmen antar dua kawasan (hulu-hilir) membutuhkan waktu yang tidak sebentar, masing-masing pihak harus difasilitasi agar bersedia mengadakan dialog untuk membangun komitmenya masing-masing. Untuk menentukan besarnya kontribusi dana yang harus diberikan oleh Kota Cirebon kepada Kabupaten Kuningan, digunakan pendekatan Willingness To Pay (WTP). Untuk masyarakat hulu (Kabupaten Kuningan) dinilai berapa biaya yang dibutuhkan untuk melakukan rehabilitasi/pemeliharaan sumber mata air, dan untuk daerah hilir (Kota Cirebon) dihitung berapa nilai air yang dimanfaatkan secara langsung. Studi mengenai penilaian ekonomi suatu sumberdaya alam telah dilakukan oleh beberapa peneliti, beberapa jenis sumberdaya alam telah diteliti nilai ekonominya dengan berbagai metode dan pendekatan. Studi penilaian ekonomi sumberdaya alam yang pernah dilakukan di Indonesia secara rinci disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Studi penilaian ekonomi sumberdaya alam yang pernah dilakukan di Indonesia No 1 2 3 4 5 Studi Tujuan Studi Manfaat Hidrologis TN Gn. Gede Pangrango di Jawa Barat (Darusman, 1992) Penilaian ekonomi perlindungan daerah tangkapan air di kawasan konsesi yang berbatasan dengan TN Kerinci Sebelat (Ridwansyah dan Indrizal, 2001) Nilai manfaat hidrologis Gunung Ciremai untuk sektor rumah tangga (Ramdan et al., 2003) Nilai ekonomi total TN. Gn. Halimun (Widada, 2004) Nilai air untuk rumah tangga Nilai kontribusi hidrologis hutan lindung Gn. Sahendaruman, Kab. Sangihe, Prov. Sulut. (Ridwansyah, 2002) Nilai guna air secara langsung Metode Pendekatan Hasil Studi Rp.4,3 Milyar/tahun Nilai guna tidak langsung Travel Cost, Contingensi Valuation Change of productivity Nilai air untuk rumah tangga Biaya pengadaan, Demand curve Rp.3,3 Milyar/tahun Penilaian Nilai Ekonomi Total Biaya perjalanan, Biaya pengadaan, Harga pasar karbon, Metode kontingensi. Pendekatan Non Kurva permintaan Rp.439,3 Milyar/tahun Rp.80,6 Milyar/tahun Rp1,8 Milyar/tahun Sumber : Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 16-17, Kementerian Negara LH (2005). 37 Hasil-hasil penelitian tersebut di atas menunjukkan bahwa nilai ekonomi suatu sumberdaya alam sangat beragam tergantung pada metode pengukuran dan paremeter sumberdaya alam yang dinilai, serta kapan sumberdaya alam tersebut dinilai. Program Tujuan Ganda (Multiple Goal Programming) Program tujuan ganda adalah salah satu instrumen yang dapat digunakan untuk mengambil keputusan terhadap berbagai tujuan yang dibatasi oleh kendala tertentu. Tujuan satu dengan yang lainnya kemungkinan terjadi kontradiksi atau berlawanan, program ini membantu pengambil keputusan untuk menentukan pilihan/alternatif yang terbaik dari berbagai pilihan/alternatif yang telah dirancang. Program ini dapat digunakan juga untuk memberikan solusi alokasi sumberdaya alam secara optimal dengan berbagai fungsi tujuan. Pada beberapa kasus tujuan-tujuan yang diharapkan kemungkinan bertentangan satu dengan yang lain. Untuk itu, diperlukan kompromi antar fungsi tujuan untuk mencapai sasaran yang diharapkan. Program tujuan ganda (multiple goal programming/goal programming) merupakan pengembangan dari linear programming yang diperkenalkan oleh Charnes dan Cooper pada awal tahun 60-an. Perbedaan utama antara program tujuan ganda dengan linear programming terletak pada struktur dan penggunaan fungsi tujuan. Menurut Mulyono (1991), dalam program tujuan ganda ini semua tujuan (satu atau lebih) digabung dalam sebuah fungsi tujuan. Ini dapat dilakukan dengan mengekspresikan tujuan itu dalam bentuk sebuah kendala (goal constraint), memasukkan suatu variabel simpangan dalam kendala tersebut untuk mencerminkan seberapa jauh tujuan tercapai dan menggabung variabel simpangan (deviasi) dalam fungsi tujuan. Linear programming tujuannya bisa maksimisasi atau minimisasi, sedangkan program tujuan ganda tujuannya adalah meminimumkan penyimpangan dari tujuan tertentu. Nasendi dan Anwar (1985), menyatakan bahwa tujuan ganda merupakan salah satu teknik penyelesaian masalah (penarikan keputusan) multikriteria. 38 Semua asumsi dalam linear programming berlaku pula dalam program tujuan ganda, yaitu linearitas, aditivitas, divisibilitas dan deterministik. Model optimalisasi ini dirumuskan melalui program tujuan ganda dengan alat bantu program komputer LINDO (Linear Interactive Discreate Optimizer) (Siswanto, 1990). Program tujuan ganda telah digunakan secara luas dalam berbagai bidang, termasuk pada bidang pengelolaan DAS. Ruslan (1989) menerapkan program tujuan ganda untuk studi penggunaan lahan berdasarkan kondisi fisik dan sosial ekonomi di DAS Peusangan Aceh. Selanjutnya, Widianingsih (1991) melakukan studi optimasi penggunaan lahan agroforestri di DAS Cimanuk dengan kendala tujuan adalah luas lahan rata-rata per petani, erosi tanah, produksi minimum yang dikonsumsi petani, pendapatan selama setahun, modal dan tenaga kerja yang dimiliki petani. Dwiprabowo et al. (2001) menggunakan program tujuan ganda untuk menentukan luas optimal hutan pada DAS Citanduy. Alternatif penggunaan lahan optimal ditentukan berdasarkan pada kondisi tata air, erosi, hasil pertanian, hasil perkebunan dan hasil hutan. Basuki (2000) menggunakan program tujuan ganda untuk melakukan optimasi pola usaha tani tumpangsari di dalam areal tanaman pinus. Tujuan penelitian tersebut adalah meningkatkan pertumbuhan tanaman pinus dan meningkatkan pendapatan usaha tani tumpang sari dengan kendala sasaran adalah luas lahan, tenaga kerja dan substitusi makanan pokok. Hasil penelitian menunjukkan dari berbagai pola tumpang sari, terpilih pola tumpang sari yang mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman pinus dan mampu meningkatkan pendapatan petani. 39