proposal - IPB Repository

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Strategi Pengelolaan Sumberdaya Air Berkelanjutan
Sumberdaya air adalah bagian dari sistem daerah aliran sungai (DAS)
yang antara lain terdiri dari sub sistem sumberdaya lahan, sumberdaya hutan,
sumberdaya sosekbud, dan sumberdaya air itu sendiri. Pengelolaan sumberdaya
air tidak terlepas dari pengelolaan DAS, dengan demikian strategi pengelolaan
DAS yang baik akan menghasilkan sumberdaya air yang baik pula.
DAS adalah suatu wilayah atau kawasan yang menampung, menyimpan
dan mengalirkan air hujan ke sungai, baik dalam bentuk aliran permukaan, aliran
bawah permukaan dan aliran air di bawah tanah. Wilayah ini dipisahkan dengan
wilayah lainnya oleh pemisah topografi, yaitu punggung bukit dan keadaan
geologi terutama formasi batuan (Linsley et al., 1982). Arsyad et al. (1985),
menyebutkan bahwa secara operasional DAS didefinisikan sebagai wilayah yang
terletak di atas suatu titik pada suatu sungai yang oleh batas-batas topografi
mengalirkan air yang jatuh diatasnya ke dalam sungai yang sama pada sungai
tersebut. UU No.7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, menyatakan bahwa DAS
adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan
anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan
air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di
darat merupakan pemisah topografi dan batas di laut sampai dengan daerah
perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Kartodihardjo et al., (2004)
menyatakan DAS dapat dipandang sebagai sumberdaya alam yang berupa stock
dengan ragam pemilikan (private, common, state property) dan berfungsi sebagai
penghasil barang dan jasa, baik bagi individu dan atau kelompok masyarakat
maupun bagi publik secara luas serta menyebabkan interdependensi antar pihak,
individu dan atau kelompok masyarakat.
Pengelolaan DAS adalah upaya penggunaan sumberdaya alam di dalam
DAS secara rasional untuk mendapatkan produksi maksimum dalam waktu yang
tidak terbatas dan menekan bahaya kerusakan (degradasi) seminimal mungkin,
serta diperoleh water yield yang merata sepanjang tahun (Sinukaban, 1999).
Di dalam pengelolaan DAS, DAS harus dipandang sebagai satu kesatuan
antara wilayah hulu dan hilir, karena adanya interdependensi.
Pada umunya
bagian hulu DAS merupakan daerah tangkapan dan pengisian (recharge) dan
merupakan sumber air bagi daerah hilirnya, maka perhatian yang lebih serius
terhadap wilayah hulu sangat diperlukan. Penutupan lahan di bagian hulu DAS
umumnya berupa kawasan hutan, sehingga apabila hutan rusak maka fungsi
hidrologis DAS juga akan mengalami kerusakan. Berkaitan dengan fungsi dan
karakteristik DAS bagian hulu tersebut, maka pengelolaan bagian hulu DAS lebih
dimanifestasikan dengan pengelolaan hutan.
Pengelolaan DAS sebagai bagian integral dari pembangunan wilayah, saat
ini masih menghadapi berbagai masalah yang kompleks dan saling terkait.
Masalah-masalah tersebut antara lain : erosi dan sedimentasi, banjir dan
kekeringan, pencemaran air sungai, pengelolaan tidak terpadu, koordinasi yang
lemah, institusi belum mantap, konflik antar sektor/kegiatan dan peraturan yang
tumpang tindih (Dephut, 2001; Brooks et al., 1990; Easter et al., 1986). Kondisi
ini menyebabkan kerusakan DAS semakin meningkat setiap tahunnya, meskipun
pengelolaan DAS terus dilakukan.
Prayogo et al. (2008), menyatakan bahwa perubahan penggunaan lahan
dari lahan hutan menjadi lahan pertanian di bagian hulu DAS Brantas
menyebabkan penurunan fungsi resapan air, peningkatan aliran permukaan, erosi,
penurunan debit sungai. Akibat selanjutnya adalah penurunan kualitas lahan yang
dapat menyebabkan penurunan produktivitas pertanian. Selain itu, akan
menyebabkan kekurangan air pada musim hujan dan banjir dimusim hujan.
Kompleksnya permasalahan dalam pengelolaan DAS tersebut di atas
mengharuskan berbagai pihak yang terlibat (stakeholders) untuk melakukan
langkah-langkah strategis dalam pengelolaan DAS secara utuh, menyeluruh dan
terpadu dengan pendekatan one river one plan one management.
Sinukaban (1994), menyatakan bahwa tujuan pengelolaan DAS adalah adanya
keberlanjutan (sustainability) yang diukur dari pendapatan, produksi, teknologi, dan
erosi. Teknologi yang dimaksud adalah teknologi yang dapat diterima (acceptable)
dan dapat dilakukan oleh petani dengan pengetahuan yang dimilikinya tanpa intervensi
dari pihak luar, dan teknologi tersebut dapat direplikasi (replicable) berdasarkan
15
faktor-faktor sosial budaya itu sendiri. Salah satu upaya agar penggunaan sumberdaya
lahan dapat dilakukan secara berkelanjutan adalah menerapkan sistem pertanian
konservasi. Sistem pertanian konservasi dimaksud adalah sistem pertanian yang
mengintegrasikan teknik konservasi tanah dan air ke dalam sistem usahatani yang
sedang dilakukan dengan tujuan utama untuk meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan petani sekaligus menekan bahaya erosi. Erosi yang terjadi harus lebih
kecil atau sama dengan erosi yang dapat ditoleransikan (tolerable soil loss), sehingga
sistem pertanian tersebut dapat dilakukan secara berkesinambungan tanpa batas waktu.
Selanjutnya Sinukaban (1994) menyatakan bahwa sistem pertanian konservasi
dicirikan oleh :
1) Produksi pertanian tinggi sehingga petani tetap bergairah melanjutkan usahanya.
2) Pendapatan petani cukup tinggi sehingga petani dapat merancang/mendisain masa
depan keluarganya dari hasil pendapatan usahatani yang dilakukan.
3) Teknologi yang diterapkan sesuai dengan kemampuan petani setempat (acceptable
dan replicable).
4) Komoditas pertanian yang diusahakan beragam dan sesuai dengan kondisi biofisik
daerah, dapat diterima petani, dan laku di pasar.
5) Laju erosi lebih kecil dari erosi yang dapat ditoleransikan, sehingga produksi yang
cukup tinggi tetap dapat dipertahankan/ditingkatkan secara lestari, dan fungsi
hidrologis terpelihara dengan baik.
6) Sistem penguasaan dan pemilikan lahan dapat menjamin keamanan investasi
jangka panjang (longterm investment security) dan menggairahkan petani untuk
terus berusahatani.
Sistem pertanian konservasi merupakan sistem pertanian yang bersifat
spesifik lokasi sehingga tidak dapat dipaksakan untuk diterapkan di tempat lain
jika tidak sesuai.
Penentuan alternatif pengelolaan lahan dirancang berdasarkan pada data
tanah, data iklim, bentuk lahan, dan kondisi fisik lingkungan lainnya. Persyaratan
penggunaan lahan dan persyaratan tumbuh tanaman menjadi penting, karena
penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya lahan harus sesuai dengan daya
dukungnya agar dapat tercipta suatu pengelolaan lahan yang lestari. Menurut
Sinukaban (1994), perencanaan pengelolaan DAS yang baik diharapkan dapat
16
meningkatkan produktivitas lahan di suatu DAS yang tidak mengabaikan
keberlanjutan daya dukung dan kualitas lingkungan serta memanfaatkan dan
mengembangkan sumberdaya yang ada sesuai karakteristik DAS yang dikelola.
Dalam praktiknya, pengelolaan suatu DAS harus berorientasi pada kaidahkaidah konservasi tanah dan air dengan mengembangkan pola usahatani yang
sudah ada sambil mengintroduksi teknologi secara perlahan-lahan yang sesuai
dengan kondisi sosial dan budaya masyarakat setempat, agar diperoleh suatu
model usahatani yang spesifik lokasi. Model usahatani konservasi yang dilakukan
diharapkan dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani, selain itu
erosi yang terjadi harus lebih kecil atau sama dengan erosi yang dapat
ditoleransikan (tolerable soil loss), sehingga sistem pertanian tersebut dapat
dilakukan secara berkesinambungan tanpa batas waktu (sustainable).
Untuk
merancang
atau
mengembangkan
kegiatan
pemanfaatan
sumberdaya alam di dalam DAS yang mempunyai tujuan keberlanjutan, maka
diperlukan informasi berikut: (1) kondisi biofisik DAS, (2) evaluasi kemampuan
dan kesesuaian lahan, (3) ekonomi (pasar), (4) agroteknologi yang menjamin erosi
rendah, dan (5) pengetahuan orang di dalam DAS dan sumberdaya lokal
(Sinukaban, 1995).
Aliran Permukaan
Aliran permukaan adalah bagian dari curah hujan yang mengalir di
permukaan tanah atau bawah permukaan tanah, yang mengalir ke tempat yang
lebih rendah seperti sungai, danau atau laut (Schwab et al., 1981). Berdasarkan
UU No.7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air dikatakan bahwa air permukan
adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah.
Sedangkan menurut Arsyad (2006), aliran permukaaan (run off) adalah air
yang mengalir diatas permukaan tanah.
Aliran permukaan inilah yang dapat
menyebabkan erosi tanah, karena mampu mengangkut bagian-bagian tanah yang
terdispersi oleh butir hujan. Dalam pengertian ini run-off adalah aliran di atas
permukaan tanah sebelum air itu sampai ke dalam saluran atau sungai. Faktorfaktor yang mempengaruhi sifat-sifat aliran permukaan (Arsyad, 2006) sebagai
berikut:
17
1) Curah hujan : jumlah, laju dan distribusi
2) Temperatur
3) Tanah : jenis/tipe, substratum, dan topografi
4) Luas daerah aliran
5) Vegetasi penutup tanah : jenis/tipe, jumlah dan kerapatan
6) Sistem pengelolaan tanah
Pengendalian aliran permukaan akan berdampak secara langsung terhadap
terjadinya
erosi lahan, dimana pada gilirannya akan dapat mempengaruhi
ketersediaan air pada musim kemarau dan pencegahan banjir pada musim hujan.
Pendugaan volume aliran permukaan pada suatu DAS dapat menggunakan
model hubungan hujan-limpasan yaitu metode U.S. Soil Conservation Services.
Besarnya volume aliran permukaan (Q) tergantung pada curah hujan (P) dan
volume simpanan yang tersedia untuk menahan air (S).
Persamaan yang
digunakan adalah :
(P – 0,2S)2
Q = --------------P + 0,8S
………………………………... (1)
Q = Jumlah aliran permukaan (mm)
P = Curah hujan (mm)
S = Retensi air potensial maksimum (mm)
Berdasarkan persamaan empirik nilai S diduga dengan menggunakan persamaan :
25400
S = --------- - 254
CN
…………………………………(2)
S = Retensi air potensial maksimum (mm)
CN = bilangan kurva (runoff curve number)
Besaran nilai bilangan kurva (runoff curve number) tergantung dari sifatsifat tanah, penggunaan tanah dan kondisi hidrologi serta keadaan air sebelumnya.
Nilai CN ditentukan berdasarkan pada jenis tanah, penggunaan lahan, infiltrasi,
dan kondisi hidrologi tanah (kondisi kandungan air tanah sebelumnya).
Volume aliran permukaan yang berlebihan dapat berpotensi menimbulkan
banjir di bagian hilir. Hal ini sesuai dengan pendapat Irianto (2003), bahwa curah
hujan tahunan yang terakumulasi pada waktu yang pendek (Desember-Februari)
18
menyebabkan tanah tidak mampu menampung semua volume air hujan.
Akibatnya sebagian besar air hujan menjadi aliran permukaan, hal ini diperburuk
dengan meningkatnya alih fungsi hutan menjadi pengunaan lain seperti pertanian,
permukiman, industri dan sawah. Hal ini berpotensi menimbulkan banjir yang
cukup besar di wilayah hilir.
Selanjutnya dikatakan bahwa besarnya aliran
permukaan juga akan menimbulkan erosi yang berlebihan, sehingga secara
langsung akan menurunkan kesuburan tanah. Penurunan kesuburan tanah akan
menyebabkan makin berkurangnya vegetasi yang mampu tumbuh dengan baik,
sehingga tutupan lahan semakin berkurang.
Hal ini akan menyebabkan
berkurangnya pengisian (recharging) cadangan air di bagian hulu yang berakibat
timbulnya kekeringan pada saat musim kemarau.
Erosi
Erosi adalah proses berpindahnya atau terangkutnya tanah atau bagianbagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami. Pada peristiwa
erosi, tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat/lokasi terkikis dan
terangkut kemudian diendapkan di suatu tempat lain.
Beasley (1972) dan Hudson (1976) berpendapat, bahwa erosi adalah
proses kerja fisika yang keseluruhan prosesnya menggunakan energi. Energi ini
digunakan untuk menghancurkan agregat tanah (detachment), memercikan
partikel tanah (splash), menyebabkan gejolak (turbulence) pada limpasan
permukaan, serta menghanyutkan partikel tanah. Proses erosi terjadi melalui
penghancuran, pengangkutan, dan pengendapan (Meyer et al., 1991; Utomo,
1987; Foth, 1978). Di alam terdapat dua penyebab utama yang aktif dalam proses
ini yakni angin dan air. Pada daerah iklim tropika basah seperti Indonesia, air
merupakan penyebab utama terjadinya erosi, sedangkan angin tidak mempunyai
pengaruh berarti (Arsyad, 2006)
Erosi tanah (soil erosion) terjadi melalui dua proses yakni proses
penghancuran partikel-partikel tanah (detachment) dan proses pengangkutan
(transport) partikel-partikel tanah yang sudah dihancurkan. Kedua proses ini
terjadi akibat hujan (rain) dan aliran permukaan (run off) yang dipengaruhi oleh
berbagai faktor antara lain curah hujan (intensitas, diameter, lama dan jumlah
hujan), karakteristik tanah (sifat fisik), penutupan lahan (land cover), kemiringan
19
lereng, panjang lereng dan sebagainya (Wischmeier dan Smith, 1978). Faktorfaktor tersebut satu sama lain bekerja secara simultan dalam mempengaruhi erosi.
Kehilangan tanah hanya akan terjadi jika kedua proses tersebut di atas
berjalan. Tanpa proses penghancuran partikel-partikel tanah, maka erosi tidak
akan terjadi, tanpa proses pengangkutan, maka erosi akan sangat terbatas.
Kedua proses tersebut di atas dibedakan menjadi empat sub proses yakni:
(1) penghancuran oleh curah hujan; (2) pengangkutan oleh curah hujan; (3)
penghancuran (scour) oleh aliran permukaan; dan (4) pengangkutan oleh aliran
permukaan.
Jika butir hujan mencapai permukaan tanah, maka partikel-partikel
tanah dengan berbagai ukuran akan terpercik (splashed) ke segala arah,
menyebabkan terjadinya penghancuran dan pengangkutan partikel-partikel tanah.
Jika aliran permukaan tidak terjadi (seluruh curah hujan terinfiltrasi), maka
seluruh partikel-partikel yang terpercik akibat curah hujan akan terdeposisi di
permukaan tanah.
Selanjutnya jika aliran permukaan terjadi, maka partikel-
partikel yang terdeposisi tersebut akan diangkut ke lereng bagian bawah.
Beberapa kemungkinan yang dapat terjadi sehubungan dengan empat sub
proses di atas, yakni : (1) penghancuran oleh curah hujan dan aliran permukaan
lebih kecil dari proses pengangkutan oleh curah hujan dan aliran permukaan; (2)
penghancuran oleh curah hujan dan aliran permukaan lebih besar dari proses
pengangkutan oleh curah hujan dan aliran permukaan; dan (3) penghancuran oleh
curah hujan dan aliran permukaan sama dengan proses pengangkutan oleh curah
hujan dan aliran permukaan.
Morgan
dan
Rickson
(1995)
menjelaskan
bahwa
kemungkinan-
kemungkinan tersebut dapat terjadi sebagai berikut: kemungkinan pertama;
penghancuran oleh curah hujan dan aliran permukaan lebih kecil dari proses
pengangkutan oleh curah hujan dan aliran permukaan (proses 1 + 3 < proses 2 +
4). Kemungkinan ini berarti bahwa jumlah material yang tererosi lebih rendah
dari kapasitas angkut (carrying capacity) hujan dan aliran permukaan, akibatnya
semua material yang tererosi akan terangkut ke tempat lain. Kemungkinan ini
terjadi karena beberapa faktor : (1) kepekaan tanah terhadap erosi (KE) tinggi; (2)
permukaan tanah miring (berlereng), (3) kapasitas infiltrasi tanah rendah sehingga
aliran permukaan besar; (4) partikel tanah yang dihancurkan berukuran kecil
20
sehingga walaupun aliran permukaan besar, tetapi kemampuannya untuk
menggerus (scour) rendah.
Kemungkinan kedua; penghancuran oleh curah hujan dan aliran
permukaan lebih besar dari proses pengangkutan oleh curah hujan dan aliran
permukaan (proses 1 + 3 > proses 2 + 4). Kemungkinan ini berarti bahwa jumlah
material yang tererosi melebihi kapasitas angkut (carrying capacity) hujan dan
aliran permukaan, akibatnya sebagian dari material yang tererosi akan terangkut
ke tempat lain sebagian lagi akan terdeposisi di permukaan tanah. Kemungkinan
ini terjadi karena beberapa faktor : (1) kepekaan tanah terhadap erosi (KE) rendah,
(2) permukaan tanah datar, (3) kapasitas infiltrasi tanah besar sehingga aliran
permukaan kecil; (4) partikel tanah yang dihancurkan berukuran besar sehingga
kemampuan aliran permukaan untuk melakukan proses penggerusan juga besar.
Kemungkinan ketiga; penghancuran oleh curah hujan dan aliran
permukaan sama dengan proses pengangkutan oleh curah hujan dan aliran
permukaan (proses 1 + 3 = proses 2 + 4). Kemungkinan ini berarti bahwa jumlah
material yang dihancurkan sama dengan kapasitas angkut (carrying capacity)
hujan dan aliran permukaan, sehingga material tersebut semuanya akan terangkut
walaupun proses pengangkutannya akan berjalan relatif lebih lambat jika
dibandingkan dengan kemungkinan pertama.
Kemungkinan ketiga ini secara
alamiah mencerminkan suatu kondisi keseimbangan (equilibrium) antara proses
penghancuran dan proses pengangkutan baik oleh curah hujan maupun aliran
permukaan.
Selanjutnya Arsyad (2006) menjelaskan bahwa di daerah beriklim tropika
basah, air merupakan penyebab utama terjadinya erosi tanah. Proses erosi oleh air
merupakan kombinasi dua sub proses yaitu : (1) menghancuran struktur tanah
menjadi butir-butir primer oleh energi tumbuk butir-butir hujan yang menimpa
tanah (D h ) dan perendaman oleh air yang tergenang (proses dispersi), dan
pemindahan (pengangkutan) butir-butir tanah oleh percikan hujan (T h ); dan (2)
penghancuran struktur tanah (D i ) diikuti pengangkutan butir-butir tanah tersebut
(T i ) oleh air yang mengalir di permukaan tanah.
terjadinya erosi disajikan pada Gambar 2.
21
Secara skematis proses
Air hujan yang menimpa tanah-tanah terbuka akan menyebabkan tanah
terdispersi. Sebagian dari air hujan tersebut akan mengalir di atas permukaan
tanah. Banyaknya air yang mengalir di atas permukaan tanah tergantung dari
hubungan antara jumlah dan intensitas hujan dengan kapasitas infiltrasi tanah dan
kapasitas tanah menyimpan air. Kekuatan perusak air yang mengalir di atas
permukaan tanah akan semakin besar dengan semakin curam dan makin
panjangnya lereng permukaan tanah.
Pada tanah-tanah berlereng, lebih dari separuh partikel tanah yang
mengalami proses penghancuran oleh butir-butir hujan akan terangkut ke bawah
bukit (downhill). Pada sebagian besar daerah, erosi percikan (splash) dan erosi
lembar merupakan bentuk erosi yang dominan. Jika terjadi curah hujan tinggi dan
aliran permukaan besar, maka bentuk erosi yang dominan adalah erosi parit
(gully) dengan kedalaman berkisar antara 1–100 m. Pada kondisi seperti ini maka
air dan tanah dalam jumlah yang banyak akan hilang.
Tumbuh-tumbuhan
di
atas
permukaan
tanah
dapat
memperbaiki
kemampuan tanah menyerap air dan memperkecil kekuatan perusak butir-butir
hujan yang jatuh, dan daya dispersi serta daya angkut aliran air di atas permukaan
tanah.
Perlakuan atau tindakan yang diberikan manusia terhadap tanah dan
tumbuh-tumbuhan diatasnya akan menentukan apakah tanah akan menjadi baik
dan produktif atau menjadi rusak.
Dh
Th
Di
Butir-Butir
Tanah yg terlepas
Ti
Kapasitas Angkut
Air
(Dh + Di) < atau > (Th + Ti)
l
Tanah Tererosi
Gambar 2. Skema proses terjadinya erosi tanah (Arsyad, 2006)
Meningkatnya aliran permukaan, karena berkurangnya kapasitas infiltrasi
tanah. Jumlah aliran permukaan yang meningkat akan mengurangi kandungan air
22
tersedia dalam tanah yang mengakibatkan pertumbuhan tanaman menjadi kurang
baik. Berkurangnya pertumbuhan berarti berkurangnya sisa-sisa tanaman yang
kembali ke tanah, akibatnya
erosi akan semakin besar.
Oleh karena erosi
berkaitan dengan aliran permukaan, maka dengan meningkatnya aliran permukaan,
erosi juga meningkat (Arsyad, 2006).
Banyak faktor yang mempengaruhi laju erosi tanah.
Morgan (1979)
mengemukakan bahwa terjadinya erosi tanah dipengaruhi oleh : curah hujan,
limpasan permukaan (aliran permukaan), jenis tanah, lereng, penutup tanah,
jumlah penduduk, dan ada atau tidaknya tindakan konservasi tanah.
Secara
ringkas Baver (1959) dan Aryad (2006), menyatakan bahwa erosi merupakan
hasil interaksi kerja antara faktor-faktor iklim, topografi, vegetasi, tanah, dan
tindakan manusia, yang dapat dinyatakan dalam suatu persamaan deskriptif
berikut :
E = f ( i, r, v, t, m ) ........................................................(3)
dimana, E : Erosi, yang merupakan fungsi dari faktor, i : iklim, r : relief atau
topografi, v : vegetasi, t : tanah, dan m : manusia (m). Secara keseluruhan faktorfaktor ini bersama-sama menentukan besar atau laju erosi yang akan terjadi.
Tanah yang tererosi dari lokasi asalnya akan selalu diendapkan pada
tempat lain, yang kemudian menutup permukaan tempat pengendapan. Jarak
tempuh partikel tanah yang tererosi tergantung pada ukuran, berat, bentuk, dan
kecepatan alirannya (Morgan, 1979). Tanah yang tererosi diendapkan di tempattempat yang kecepatan alirannya melambat atau tenang airnya, baik di sungai,
saluran irigasi, waduk ataupun danau.
Besarnya erosi dapat diukur langsung di lapangan diantaranya dengan
menggunakan petak kecil atau diprediksi dengan menggunakan model. Model
prediksi erosi yang umum digunakan saat ini adalah model parametrik. Model
parametrik untuk memprediksi erosi dari suatu bidang tanah telah dikembangkan
oleh Weischmeier dan Smith (1978) yang dikenal dengan The Universal Soil Loss
Equation (USLE). USLE memungkinkan perencana menduga laju rata-rata erosi
suatu tanah tertentu pada suatu kecuraman lereng dengan pola hujan tertentu
untuk setiap macam pertanaman dan tindakan pengelolaan (tindakan konservasi
tanah)
yang
mungkin
dilakukan
atau
23
yang
sedang
dipergunakan.
Persamaan yang dipergunakan mengelompokan berbagai parameter fisik dan
pengelolaan yang mempengaruhi laju erosi kedalam enam variabel utama yang
nilainya untuk setiap tempat dapat dinyatakan secara numerik.
USLE dikembangkan di National Run Off and Soil Loss Data Centre yang
didirikan pada tahun 1954 oleh The science and education administration
Amerika Serikat yang bekerjasama dengan Universitas Purdue (Weischmeier dan
Smith, 1978). Persamaan USLE adalah :
A = R K L S C P ...............................................(4)
dimana :
A = Tanah yang tererosi (ton/hektar/tahun)
R = Faktor indeks (erosivitas) hujan.
K = Faktor erodibilitas tanah
L = Faktor panjang lereng
S = Faktor kecuraman lereng
C = Faktor vegetasi penutup tanah dan pengelolaan tanaman
P = Faktor tindakan-tindakan khusus konservasi tanah
USLE mempunyai keunggulan karena mudah diaplikasikan, dapat
diterapkan dimana saja (universal) dengan penetapan nilai setiap faktor secara
tepat dan dapat memprediksi erosi dalam jangka panjang pada penggunaan lahan
yang berbeda-beda. Model USLE dapat pula digunakan untuk memilih
agroteknologi dalam menyusun rencana strategi perencanaan pengelolaan
sumberdaya air yang berbasis pada sistem DAS.
Penilaian (Valuasi) Ekonomi Sumberdaya Alam (SDA)
Pengelolaan Sumberdaya Alam (SDA), adalah suatu kegiatan yang
ditujukan untuk memperoleh manfaat, baik manfaat nyata (tangible benefits)
maupun manfaat tidak nyata (intangible benefits). Untuk memahami manfaat
sumberdaya alam maka perlu dilakukan penilaian terhadap semua manfaat yang
dihasilkan sumberdaya alam tersebut.
Nilai barang atau jasa tersebut sangat
membantu seseorang individu, masyarakat atau organisasi dalam mengambil suatu
keputusan.
Nilai (value), merupakan persepsi manusia tentang makna suatu obyek,
bagi orang tertentu, pada waktu dan tempat tertentu. Persepsi tersebut berpadu
24
dengan harapan dan ataupun norma-norma kehidupan yang melekat pada individu
atau masyarakat tersebut.
Penilaian (valuation), merupakan upaya untuk menentukan nilai atau
manfaat dari suatu barang atau jasa untuk kepentingan tertentu manusia atau
masyarakat. Untuk mengetahui seberapa besar nilai sumberdaya alam sangat
tergantung pada banyak faktor, antara lain: 1) apa yang dinilai, 2) kapan
dinilainya, 3) bagaimana menilainya dan 4) siapa yang menjadi penilai. Faktorfaktor tersebut di atas akan menentukan besarnya nilai suatu sumberdaya alam.
Penentuan nilai ekonomi sumberdaya alam merupakan hal yang sangat
penting sebagai bahan pertimbangan dalam mengalokasikan sumberdaya alam
yang semakin langka (Kramer et al., 1994 dalam Setiawan, 2000). Penilaian
kontribusi fungsi ekosistem bagi kesejahteraan masyarakat merupakan hal yang
sangat kompleks, mencakup faktor-faktor nilai sosial politik (Munasinghe, 1993
dalam Sanim, 2003)
Berdasarkan konsep ekonomi, nilai ekonomi mencakup konsepsi kegunaan,
kepuasan atau kesenangan yang diperoleh individu atau masyarakat tidak terbatas
kepada barang dan jasa yang diperoleh dari jual beli, tetapi semua barang dan jasa
yang dapat memberikan manfaat untuk kesejahteraan manusia. Dapat dikatakan
bahwa baik barang publik maupun barang privat akan memberikan manfaat bagi
masyarakat.
Manfaat ekologis seperti keberadaan air pada hakekatnya juga
merupakan manfaat ekonomi karena jika fungsi ekologis terganggu maka akan
menimbulkan ketidakmanfaatan (disutility) atau terjadi kerugian akibat terjadinya
bencana atau kerusakan.
Keterkaitan Sumberdaya Alam (SDA) dan Pembangunan Ekonomi
Pembangunan ekonomi tidak dapat dilepaskan dengan ketersediaan SDA,
karena secara garis besar peningkatan pembangunan ekonomi yang bertujuan
untuk meningkatkan pendapatan (kesejahteraan) membutuhkan masukan (input)
yang antara lain berasal dari sumberdaya alam (SDA). Untuk itu, pengelolaan
lingkungan (environmental management) sebagai salah satu alat untuk
mempertahankan ketersediaan SDA sangat dibutuhkan dan harus dilaksanakan
dengan sebaik mungkin. Karena apabila ketersediaan SDA habis maka dengan
sendirinya pembangunan lingkungan juga akan terhenti.
25
Hal ini seperti diungkapkan oleh Bank Dunia dan beberapa pakar ekonomi
dunia bahwa ”pembangunan ekonomi (economic development) dan manajemen
lingkungan adalah dua hal yang berseberangan, mempunyai hubungan bersifat
kompetitif ”. Tetapi apabila kedua hal tersebut dikelola menurut paradigma baru
pembangunan berkelanjutan, keduanya mempunyai hubungan baru yang harmonis,
bersifat komplementer dan suplementer, sebagai berikut:
1) Pembangunan ekonomi dan pengelolaan lingkungan merupakan aspek yang
saling melengkapi.
2) Tanpa perlindungan lingkungan pembangunan akan mengalami kegagalan,
selain itu tanpa pembangunan maka perlindungan lingkungan juga akan gagal.
3) Pembangunan dan lingkungan adalah suatu dikotomi yang keliru/salah.
Hubungan harmonis antara manajemen lingkungan dan pembangunan
ekonomi dimungkinkan oleh karena adanya pergeseran dan perubahan paradigma
(paradigm shift/change), sebagai berikut:
1) Pendekatan analisis ekonomi menuju analisis ekonomi serta lingkungan
(economic cum environment). Hal ini berarti bahwa kelayakan suatu proyek
pembangunan bukan semata-mata berdasarkan pertimbangan ekonomi tetapi
juga berdasarkan pertimbangan kelayakan lingkungan yang dilakukan secara
integral dan holistik.
2) Pendekatan pembangunan tak berkelanjutan (unsustainable development)
menjadi pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Pembangunan berkelanjutan pada dasarnya adalah mengacu pada upaya
memelihara/mempertahankan kegiatan pembangunan (development) secara terus
menerus. Pembangunan selalu memiliki implikasi ekonomi, pada kenyataannya
pembangunan memiliki dimensi sosial dan politik yang kental. Pembangunan,
dapat dikatakan sebagai vektor dari tujuan sosial pada suatu masyarakat (society),
dimana tujuan tersebut merupakan atribut dari apa yang ingin dicapai atau
dimaksimalkan oleh masyarakat tersebut.
Munasinghe
(1993, dalam Sanim (2003),
menyatakan bahwa
pem-
bangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi persyaratan: (a)
memiliki tiga tujuan, dimana melalui public decision harus disepakati proporsinya,
26
yaitu economic objective, social objective and ecological objective (Gambar 3),
dan (b) sesuai dengan perkembangan ekonomi masyarakat.
Gambar 3, secara jelas memperlihatkan bahwa untuk melaksanakan
pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development), dimana sumberdaya
alam dianggap sebagai input utama dalam pembangunan ekonomi namun tidak
terlepas dari manajemen lingkungan yang baik. Berdasarkan prinsip pembangunan
berkelanjtan ketersediaan sumberdaya alam akan terjaga untuk waktu kini dan
masa yang akan datang serta terus terjadi peningkatan pembangunan ekonomi
yang pada akhirnya akan tertuju pada peningkatan pendapatan (kesejahteraan).
Adanya pembangunan berkelanjutan maka, tujuan ekonomi seperti efisiensi dan
pertumbuhan akan tercapai, tujuan sosial akan tercapai antara lain mengurangi
kemiskinan dan pemerataan pendapatan serta tujuan ekologi juga akan tercapai
(perlindungan sumberdaya alam).
ECONOMIC OBJECTIVE
EFFICIENCY/GROWTH
• Income distribution
• Employment
• Targeted Assistance
• Environmental Assessment
• Valuation
• Internalization
SOCIAL OBJECTIVE
POVERTY/EQUITY
ECOLOGICAL OBJECTIVE
NATURAL RESOURCES
• Popular Participation
• Consultation
• Pluralism
Gambar 3. Hubungan tiga tujuan pembangunan berkelanjutan (Munasinghe, 1993
dalam Sanim, 2003)
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, SDA dan
pembangunan ekonomi serta manajemen lingkungan guna mencapai tujuan
pembangunan yang berkelanjutan bukanlah hal yang harus dipisahkan, namum
merupakan satu kesatuan yang saling terkait satu sama lain.
Untuk itu,
pemerintah harus melakukan berbagai langkah dalam bentuk kebijakan untuk
melindungi
SDA
sekaligus
dapat
27
memacu
pembangunan
ekonomi.
Secara umum kebijakan perlindungan lingkungan yang dapat dilakukan
pemerintah terbagi menjadi dua kelompok, yaitu (a) Atur dan Awasi (ADA) dan
(b) Atur Diri Sendiri (ADS) (Soemarwoto, 2001).
(1) Atur dan Awasi (command and control based =CAC-based) bersifat "top
down", otoriter dan birokratis. Kebijakan ini, kurang memberi keleluasaan
pada manajemen bagi masyarakat, antara lain membelenggu penggunaan
teknologi yang lebih baik dan ramah lingkungan. Kebijakan tipe ini lebih
bersifat "regulating” dari pada "facilitating".
(2) Atur Diri Sendiri (Economic Instrument based = EI-based). Pemerintah
memberikan pedoman yang ingin dicapai dan menyerahkan pada masyarakat
untuk menentukan sikapnya dalam pengambilan keputusan.
Pendekatan Penilaian (Valuasi) Ekonomi SDA
Pendekatan penilaian ekonomi sumberdaya alam (Hufschmidt et al., 1983; Garrod
dan Willis, 1998; Sanim, 2003) :
(1) Pendekatan kurva permintaan (Marshallian atau Hicksian), berupa
pendekatan yang berdasarkan pada kurva permintaan, pendekatan ini dapat
dibedakan dalam 2 (dua) tipe :
a. Permintaan diturunkan dari pernyataan preferensi (stated preference)
individu untuk barang lingkungan, pada umumnya diperoleh dengan
metode survey menggunakan kuesioner (Expressed Preference Method).
Metode ini sering digunakan untuk menilai pilihan atau keberadaan suatu
fungsi sumberdaya alam (SDA).
Teknik penilaian yang dilakukan
dengan wawancara untuk menanyakan kesediaan pengguna SDA untuk
menerima atau WTA (Willingness To Accepts) dan kesediaan untuk
membayar atau WTP (Willingness To Pay) terhadap sumberdaya alam
agar tetap terpelihara secara lestari. Metode ini juga disebut metode
valuasi kontingensi (Contingent Valuation Method)
b. Permintaan yang terungkap (reveable) dari menganalisis pembelian
barang tertentu di pasar, yang memungkinkan dapat dinikmati jasa
lingkungan tertentu secara bersamaan (Revealed Preference Methods).
Sebagai contoh adalah nilai rekreasi suatu kawasan konservasi diperoleh
dari besarnya biaya yang dikeluarkan oleh seluruh orang yang
28
berkunjung ke tempat rekreasi tersebut. Metode ini
disebut Metode
Biaya Perjalanan (Travel Cost Method)
(2)
Pendekatan yang tidak mendasarkan pada kurva permintaan dan tidak
memberikan penilaian ekonomi yang sejati, tetapi tetap sangat berguna
dalam aplikasi, pendekatan ini terdiri dari :
a. Metode Dosis-Respon; menentukan data yang menghubungkan antara
respon manusia atau non manusia dengan berbagai tingkat cemaran
lingkungan. Metode ini didasarkan pada gagasan bahwa bagi kebanyakan
aktivitas, kualitas lingkungan dianggap sebagai faktor produksi. Metode
ini mengestimasikan hubungan dosis - respon yaitu antara tingkat pencemaran/polusi dan dampaknya terhadap bahan-bahan tertentu. Sebagai
contoh dampak kualitas air terhadap produktivitas pertanian, perikanan,
industri, dan sebagainya.
b. Metode Biaya
Pengganti
(Replacement Cost Method); Dengan
mengestimasi biaya untuk menggantikan atau memulihkan asset
lingkungan yang mengalami degradasi sehingga hilang jasa-jasanya,
digunakan sebagai ukuran manfaat restorasi. Penilaian didasarkan kepada
biaya penggantian atau memulihkan asset yang mengalami degradasi.
Sebagai contoh, nilai ekonomi kerugian akbibat erosi tanah didekati
dengan biaya untuk pembuatan bangunan pencegah erosi.
c. Metode berdasarkan pada prilaku Mitigasi (menghindar); Mendasarkan
pada biaya yang diperlukan untuk menghindari misalnya pengaruh
pencemaran udara. Sebagai contoh ialah biaya untuk mengisolasi rumah
dari kebisingan dan pencemaran kualitas udara bagi orang yang tinggal
di sekitar bandara.
d. Metode berdasarkan pada Opportunity Cost;
metode ini sebenarnya
tidak melakukan penilaian manfaat lingkungan.
Misalnya dilakukan
konversi wetland menjadi lahan pertanian intensif, maka nilai ekonomi
yang diperoleh dari pertanian digunakan sebagai suatu benchmark, suatu
konversi wetland dikatakan tidak bermanfaat jika hanya menghasilkan
manfaat yang kurang dari nilai benchmark tersebut.
29
Manfaat Penilaian (Valuasi) Ekonomi SDA
Manfaat penilaian (valuasi) ekonomi suatu sumberdaya alam baik secara
langsung maupun tidak langsung, antara lain:
a)
Sebagai
bahan
pertimbangan
bagi
pengambil
keputusan
dalam
mengalokasikan sumberdaya alam yang semakin langka sehingga akan
tercapai harapan pengelolaan dengan tetap memperhatikan kelestarian
sumberdaya alam bersangkutan.
b) Sebagai dasar dalam menentukan rekomendasi tertentu pada kegiatan
perencanaan, pengelolaan dan lain sebagainya pada suatu sumberdaya alam.
c)
Untuk menggambarkan hubungan timbal balik antara ekonomi dan
lingkungan yang diperlukan untuk pengelolaan sumberdaya alam yang baik,
dan menggambarkan keuntungan atau kerugian yang berkaitan dengan
berbagai pilihan kebijakan dan program pengelolaan sumberdaya alam,
sekaligus bermanfaat dan menciptakan keadilan dalam distribusi manfaat
sumberdaya alam tersebut.
d) Untuk penerapan pada kawasan konservasi hasil valuasi ekonomi dapat
digunakan sebagai dasar dalam kegiatan perlindungan, pelestarian dan
pemanfaatan.
e)
Untuk mengetahui nilai ekonomi total (NET) suatu sumberdaya alam.
Nilai Ekonomi Total (NET) SDA
Nilai Ekonomi Total (NET) suatu sumberdaya alam adalah penjumlahan
seluruh net benefits dari semua kegunaan yang dapat dinilai (use values) dan
kegunaan yang tidak dapat dinilai (non-use values).
NET atau total use value (TUV) dapat ditulis dalam persamaan matematis
sebagai berikut (CSERGE, 1994 dalam Sanim, 2003; Askary dan Wijayanti,
2001; Suparmoko, 2006) :
TEV= UV+NUV=(DUV+IUV+OV) +(XV+BV)................................(5)
dimana :
TEV
UV
NUV
DUV
= Total economic value (Nilai Ekonomi Total)
= Use Value (Nilai Penggunaan)
= Non-use value (Nilai Non Penggunaan)
= Direct use value (Nilai Penggunaan Langsung)
30
IUV
OV
XV
BV
= Indirect use value (Nilai Penggunaan Tidak Langsung)
= Option value (Nilai Pilihan)
= Existance value (Nilai Keberadaan)
= Bequest value (Nilai warisan).
Persamaan di atas diilustrasikan dalam diagram pada Gambar 4, beberapa hal
yang dapat dijelaskan dari diagram tersebut yaitu:
Nilai penggunaan sumberdaya alam
Nilai penggunaan langsung adalah nilai atau manfaat sumberdaya alam
dan ekosistem kawasan konservasi yang diperoleh secara langsung melalui
konsumsi atau produksinya. Contohnya : (1) fungsi hidrologi kawasan
konservasi memberikan manfaat ekonomi air yang dapat digunakan untuk
memenuhi kebutuhan air rumah tangga, air pertanian dan air untuk perikanan,
serta untuk dikomersialkan (misalnya produk air minum dalam kemasan); dan
(2) sumberdaya alam hayati serta jasa lingkungan kawasan konservasi
memberikan manfaat ekonomi dengan adanya pengembangan kegiatan wisata
alam atau ekowisata.
Nilai pengggunaan tidak langsung adalah nilai atau manfaat yang
diperoleh secara tidak langsung dari sumberdaya kawasan konservasi yang
memberikan jasa pada aktivitas ekonomi atau mendukung kehidupan manusia.
Contoh: (1) proses-proses ekologi kawasan konservasi secara terus menerus
memberikan manfaat ekonomi, antara lain : a) perlindungan tanah dan
pengendalian banjir; dan b) stabilnya iklim mikro dan produksi O 2 yang dapat
mendukung
kesehatan
masyarakat,
dan
dapat
mengurangi
ancaman
pemanasan global; dan (2) pelestarian keanekaragaman hayati tumbuhan
dan satwa akan memberikan manfaat, antara lain : a) perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi ramah lingkungan; dan b) terjaminnya ketersediaan
sumberdaya alam hayati untuk mendukung proses-proses produksi dalam
kegiatan pembangunan ekonomi.
Nilai pilihan adalah nilai ekonomi yang didasarkan atas potensi nilai
manfaat sumberdaya alam hayati kawasan konservasi di masa yang akan
datang, sedangkan saat ini, karena keterbatasan ilmu pengetahuan dan
teknologi, maka nilai manfaat ekonominya belum ada. Atau dapat dikatakan,
31
nilai pilihan adalah nilai ekonomi yang masih tersimpan. Contohnya : banyak
sekali jenis tumbuhan, satwa, dan berbagai sumber plasma nutfah yang ada di
dalam kawasan konservasi yang saat ini belum diketahui nilai ekonominya, akan
tetapi diyakini dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, maka pada suatu saat sumberdaya alam hayati dan plasma nutfah
tersebut akan ada nilai ekonominya, misalnya untuk kepentingan industri
farmasi, bioteknologi, dan lain-lain.
Nilai non-penggunaan sumberdaya alam
Nilai Warisan adalah nilai yang didasarkan pada suatu keinginan
individu atau masyarakat untuk mewariskan kawasan konservasi kepada
generasi yang akan datang. Nilai warisan adalah pengorbanan yang diberikan
masyarakat yang hidup saat ini untuk menjaga kelestarian kawasan
konservasi agar tetap utuh untuk diberikan pada generasi yang akan datang.
Contoh kasus, misalnya seseorang atau masyarakat yang bersedia membayar
untuk upaya konservasi elang jawa (Spizaetus bartelsi) dan ekosistemnya agar
anak cucunya nanti masih bisa memanfaatkan elang jawa untuk kepentingan
ilmu pengetahuan.
Nilai Keberadaan adalah nilai yang diberikan individu atau
masyarakat terhadap keberadaan kawasan konservasi. Nilai yang diberikan
tidak berkaitan dengan fungsi perlindungan aset produktif atau proses
produksi secara langsung maupun tidak langsung, namun lebih didasarkan
pada pertimbangan etika atau norma tertentu mengingat keberadaan
kawasan konservasi secara intrinsik akan dapat memberikan manfaat
spiritual, estetika, dan kultural.
Bebebarapa contoh nilai non penggunaan SDA, sebagai berikut (Sanim, 2003):
(1) Keberadaan ekosistem
kawasan konservasi memberikan manfaat
spiritual, misalnya : a) kekayaan dan keindahan alam kawasan
konservasi dapat membangkitkan naluri rasa syukur manusia akan
kebesaran Sang Pencipta atas ciptaan-Nya; b) keharmonisan hubungan
unsur ekosistem kawasan konservasi dapat melahirkan keakraban manusia
dengan manusia, alam seisinya serta Penciptanya; dan c) tingginya
32
keanekaragaman hayati dan keaslian ekosistem kawasan konservasi
mengilhami manusia untuk terus menerus menggali misteri tentang ilmu
biologi konservasi, di samping dapat mengilhami manusia dalam bidang
karya seni.
(2) Keberadaan kawasan konservasi memberikan manfaat estetika, dapat
ditunjukkan dari keindahan, antara lain : a) lansekap hutan pegunungan
dan gunung yang selalu nampak berkabut; b) jenis-jenis tanaman hias;
dan c) atraksi satwa liar, misalnya burung dari jenis raptor (burung
pemangsa).
(3) Keberadaan kawasan konservasi memberikan manfaat kultural atau
budaya, antara lain : a) ekowisata yang dikembangkan di suatu kawasan
konservasi berpengaruh terhadap tata nilai budaya masyarakat, mereka
lebih terbuka, komunikatif dan memiliki keterampilan membuat kerajinan
tangan; dan
b) banyak sumber air bersih yang berasal dari kawasan
konservasi dan mengalir ke desa-desa sekitarnya menjadikan masyarakat
memiliki budaya bercocok tanam padi atau memelihara ikan di kolam.
Pembayaran Jasa Lingkungan atas Pemanfatan Sumberdaya Air
Ekosistem hutan alam (kawasan konservasi) pada umumnya dikenal
sebagai wilayah yang memiliki peran dalam melindungi sumber-sumber air.
Ekosistem hutan secara langsung memiliki pengaturan fungsi hidrologis dan
secara tidak langsung memelihara keberlanjutan aliran sungai (debit).
Oleh
karena itu, melalui upaya pengelolaan dan konservasi, hutan akan mampu
menjaga atau meningkatkan potensi sumbedaya air secara berkelanjutan.
Namun kenyataannya di lapangan menunjukkan bahwa pemanfaatan air
yang berasal dari kawasan hutan baik kawasan konservasi maupun non konservasi
telah lama berjalan walaupun tanpa perizinan dari pengelola kawasan konservasi.
Sampai saat ini kurang lebih terdapat 85 pengguna air dari kawasan konservasi
yang berpotensi diikat dengan kerjasama untuk mengatur penetapan hak dan
kewajiban masing-masing pihak.
Hal ini untuk menjamin pengguna air
memperoleh kepastian ketersediaan/pasokan air dan kawasan konservasi
memperoleh biaya rehabilitasi.
33
TEV
(Total Economic Value)
Use Value
Direct
Use
Non- use Value
Indirect
Use
Option
Value
Bequest
Value
Pemanfaatan
Konsumtif
Manfaat Fungsional
Nilai langsung dan
tak langsung pada
masa yang akan
datang
Use & non use value
pada warisan
lingkungan
Nilai dari
pengetahuan
eksistensi selanjutnya
Makanan, Biomasa,
Rekreasi, Kesehatan
Pengawasan aliran,
perlindungan badai,
dan banjir
Keragaman hayati,
konservasi habitat
Habitat, upaya preventif
dari perubahan yang tak
dapat diperbaharui
Habitat, spesies dan
ekosistem genetis
Gambar 4. Nilai ekonomi total (NET) sumberdaya alam (CSERGE, 1994 dalam Sanim 2003)
Existence
Value
Sebagai contoh, PT. Aqua Golden Missisipi di Babakan Pari yang
mengambil sumber air baku sebanyak 3.168 m3/hari dari Taman Nasional Gunung
Halimun, membayar pajak kepada Dinas Pertambangan sebesar Rp.3.000,-/m3,
sehingga pajak yang dibayarkan sebesar Rp.285.120.000,-/bulan. Apabila dengan
asumsi 15 % dari pajak yang dibayarkan dapat dikembalikan kepada pengelola
kawasan konservasi
maka akan tersedia dana yang cukup besar untuk
memelihara dan menjaga kelestarian kawasan tersebut dan secara tidak langsung
akan menjaga kelestarian pasokan air yang dibutuhkan oleh pihak perusahaan
(Dirjen PHKA, 2005).
Pemanfaatan air yang berasal dari kawasan konservasi dapat dilakukan,
namun pelaksanaannya harus berlandaskan pada azas kelestarian. Hal ini
disebabkan karena upaya-upaya konservasi dan rehabilitasi yang dilakukan di
DAS tersebut memerlukan suatu pembiayaan.
Untuk itu, prinsip penerima
manfaat harus membayar (beneficiaries pay principle) dapat diterapkan terhadap
pembayaran pemanfaatan air dari kawasan konservasi. Adanya ketersediaan dana
tersebut
menjadikan pengelola kawasan konservasi dapat memelihara dan
menjaga DAS yang memberi manfaat air untuk keberlanjutan pasokan air bagi
penggunanya. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah RI No.6 tahun 2007, bahwa
biaya rehabilitasi DAS dapat diambil dari jasa lingkungan yang dihasilkan oleh
kawasan konservasi, termasuk didalamnya adalah pemanfaatan sumberdaya air.
Mengingat pentingnya potensi nilai ekonomi sumberdaya air dan peranan
jasa lingkungan air serta permasalahan yang ada, maka diperlukan pemikiranpemikiran atau konsep pengaturan
pemanfaatan sumberdaya air.
Hal ini
disebabkan karena fakta yang ada dilapangan menunjukkan bahwa pemanfaatan
sumberdaya air dari kawasan konservasi telah terjadi, namun belum dilengkapi
instrumen-instrumen yang mengaturnya. Kondisi demikian menyebabkan potensi
dana yang dapat digunakan untuk kegiatan pemeliharaan atau rehabilitasi kawasan
konservasi belum sepenuhnya dapat dimanfaatkan.
Studi Terdahulu Penilaian Ekonomi Sumberdaya Alam
Kajian penilaian ekonomi terhadap perubahan pengelolaan sumberdaya
alam telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Hal ini seperti diungkapkan oleh
Sihite (2004), yang menyatakan bahwa perubahan penggunaan lahan di DAS Way
35
Besai dari hutan menjadi budidaya kopi monokultur menyebabkan peningkatan
erosi dari 12,1 ton/ha/tahun menjadi 26,9 ton/ha/tahun hingga 49,9 ton/ha/tahun.
Dampak erosi secara langung (on site) adalah menurunkan produktivitas tanaman
kopi dan dampak tidak langsung (off site) menyebabkan sedimentasi di waduk
Way Besai. Waduk Way Besai selain berfungsi untuk irigasi juga digunakan
sebagai
pembangkit
listrik
(PLTA
Besai).
Meningkatnya
sedimentasi
menyebabkan penurunan debit aliran Way Besai, akibat selanjutnya adalah
menurunkan kapasitas produksi PLTA Besai. Hal ini menyebabkan timbulnya
kerugian ekonomi PLTA Besai sebesar Rp.16,5 Milyar/tahun (1975-1981) dan
meningkat menjadi Rp.63,5 Milyar/tahun (1996-1998).
Dwiastuti (2005), menyatakan bahwa biaya off site penaggulangan erosi di
hulu (daerah tangkapan) bendungan Sutami dan Sengguruh dapat dipergunakan
untuk
menghitung biaya eksternalitas erosi pada setiap penggunaan lahan.
Besarnya biaya eksternalitas erosi/ha/tahun ditentukan oleh beberapa variabel
teknis, antara lain berat jenis sedimen, rasio transport sedimen (SDR) serta
besarnya erosi ton/ha/tahun dari setiap penggunaan lahan.
Pendekatan
penghitungan eksteranalitas dapat dilakukan dengan menghitung besarnya biaya
untuk menerapkan tindakan konservasi tanah dan air (agroteknologi) di kawasan
hulu sehingga kawasan hilir akan terhindar dari dampak off site erosi dari bagian
hulu. Hal ini sering disebut juga sebagai pendekatan perilaku untuk menghindar
(averting or mitigation behavior) dari bahaya erosi (Garrod and Willis, 1999).
Ramdan (2006), menyatakan bahwa konflik hulu-hilir dalam pemanfaatan
air dapat diatasi dengan membangun komitmen bersama antar kedua wilayah
(Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon). Kabupaten Kuningan sebagai kawasan
hulu yang memasok air untuk Kota Cirebon diberi kewajiban untuk memelihara
kawasan hulu, sedangkan Kota Cirebon sebagai pemanfaat air harus memberikan
kontribusi dana ke Kabupaten Kuningan. Mekanisme hulu-hilir ini diperkuat oleh
perda, dimana kedua wilayah tersebut akan saling menjaga komitmen masingmasing.
Kota Cirebon sebagai pengguna air memberikan kontribusi biaya
pemeliharaan kawasan hulu sebesar Rp.1,7 Milyar/tahun kepada Kabupaten
Kuningan.
36
Proses untuk membangun komitmen antar dua kawasan (hulu-hilir)
membutuhkan waktu yang tidak sebentar, masing-masing pihak harus difasilitasi
agar bersedia mengadakan dialog untuk membangun komitmenya masing-masing.
Untuk menentukan besarnya kontribusi dana yang harus diberikan oleh Kota
Cirebon kepada Kabupaten Kuningan, digunakan pendekatan Willingness To Pay
(WTP). Untuk masyarakat hulu (Kabupaten Kuningan) dinilai berapa biaya yang
dibutuhkan untuk melakukan rehabilitasi/pemeliharaan sumber mata air, dan
untuk daerah hilir (Kota Cirebon) dihitung berapa nilai air yang dimanfaatkan
secara langsung.
Studi mengenai penilaian ekonomi suatu sumberdaya alam telah dilakukan
oleh beberapa peneliti, beberapa jenis sumberdaya alam telah diteliti nilai
ekonominya dengan berbagai metode dan pendekatan. Studi penilaian ekonomi
sumberdaya alam yang pernah dilakukan di Indonesia secara rinci disajikan pada
Tabel 1.
Tabel 1. Studi penilaian ekonomi sumberdaya alam yang pernah dilakukan di
Indonesia
No
1
2
3
4
5
Studi
Tujuan Studi
Manfaat Hidrologis TN Gn.
Gede Pangrango di Jawa
Barat (Darusman, 1992)
Penilaian ekonomi
perlindungan daerah
tangkapan air di kawasan
konsesi yang berbatasan
dengan TN Kerinci Sebelat
(Ridwansyah dan Indrizal,
2001)
Nilai manfaat hidrologis
Gunung Ciremai untuk
sektor rumah tangga
(Ramdan et al., 2003)
Nilai ekonomi total TN. Gn.
Halimun (Widada, 2004)
Nilai air untuk
rumah tangga
Nilai kontribusi hidrologis
hutan lindung Gn.
Sahendaruman, Kab.
Sangihe, Prov. Sulut.
(Ridwansyah, 2002)
Nilai guna air
secara langsung
Metode
Pendekatan
Hasil Studi
Rp.4,3
Milyar/tahun
Nilai guna
tidak langsung
Travel Cost,
Contingensi
Valuation
Change of
productivity
Nilai air untuk
rumah tangga
Biaya pengadaan,
Demand curve
Rp.3,3
Milyar/tahun
Penilaian Nilai
Ekonomi Total
Biaya perjalanan,
Biaya pengadaan,
Harga pasar
karbon, Metode
kontingensi.
Pendekatan Non
Kurva permintaan
Rp.439,3
Milyar/tahun
Rp.80,6
Milyar/tahun
Rp1,8
Milyar/tahun
Sumber : Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 16-17, Kementerian Negara LH (2005).
37
Hasil-hasil penelitian tersebut di atas menunjukkan bahwa nilai ekonomi
suatu sumberdaya alam sangat beragam tergantung pada metode pengukuran dan
paremeter sumberdaya alam yang dinilai, serta kapan sumberdaya alam tersebut
dinilai.
Program Tujuan Ganda (Multiple Goal Programming)
Program tujuan ganda adalah salah satu instrumen yang dapat digunakan
untuk mengambil keputusan terhadap berbagai tujuan yang dibatasi oleh kendala
tertentu. Tujuan satu dengan yang lainnya kemungkinan terjadi kontradiksi atau
berlawanan, program ini membantu pengambil keputusan untuk menentukan
pilihan/alternatif yang terbaik dari berbagai pilihan/alternatif yang telah
dirancang. Program ini dapat digunakan juga untuk memberikan solusi alokasi
sumberdaya alam secara optimal dengan berbagai fungsi tujuan. Pada beberapa
kasus tujuan-tujuan yang diharapkan kemungkinan bertentangan satu dengan yang
lain. Untuk itu, diperlukan kompromi antar fungsi tujuan untuk mencapai sasaran
yang diharapkan.
Program tujuan ganda (multiple goal programming/goal programming)
merupakan pengembangan dari linear programming yang diperkenalkan oleh
Charnes dan Cooper pada awal tahun 60-an. Perbedaan utama antara program
tujuan ganda dengan linear programming terletak pada struktur dan penggunaan
fungsi tujuan. Menurut Mulyono (1991), dalam program tujuan ganda ini semua
tujuan (satu atau lebih) digabung dalam sebuah fungsi tujuan. Ini dapat dilakukan
dengan mengekspresikan tujuan itu dalam bentuk sebuah kendala (goal
constraint), memasukkan suatu variabel simpangan dalam kendala tersebut untuk
mencerminkan seberapa jauh tujuan tercapai dan menggabung variabel simpangan
(deviasi) dalam fungsi tujuan. Linear programming tujuannya bisa maksimisasi
atau
minimisasi,
sedangkan
program
tujuan
ganda
tujuannya
adalah
meminimumkan penyimpangan dari tujuan tertentu.
Nasendi dan Anwar (1985), menyatakan bahwa tujuan ganda merupakan
salah satu teknik penyelesaian masalah (penarikan keputusan) multikriteria.
38
Semua asumsi dalam linear programming berlaku pula dalam program tujuan
ganda, yaitu linearitas,
aditivitas, divisibilitas dan deterministik.
Model
optimalisasi ini dirumuskan melalui program tujuan ganda dengan alat bantu
program komputer LINDO (Linear Interactive Discreate Optimizer) (Siswanto,
1990).
Program tujuan ganda telah digunakan secara luas dalam berbagai bidang,
termasuk pada bidang pengelolaan DAS. Ruslan (1989) menerapkan program
tujuan ganda untuk studi penggunaan lahan berdasarkan kondisi fisik dan sosial
ekonomi di DAS Peusangan Aceh. Selanjutnya, Widianingsih (1991) melakukan
studi optimasi penggunaan lahan agroforestri di DAS Cimanuk dengan kendala
tujuan adalah luas lahan rata-rata per petani, erosi tanah, produksi minimum yang
dikonsumsi petani, pendapatan selama setahun, modal dan tenaga kerja yang
dimiliki petani. Dwiprabowo et al. (2001) menggunakan program tujuan ganda
untuk menentukan luas optimal hutan pada DAS Citanduy.
Alternatif
penggunaan lahan optimal ditentukan berdasarkan pada kondisi tata air, erosi,
hasil pertanian, hasil perkebunan dan hasil hutan. Basuki (2000) menggunakan
program tujuan ganda untuk melakukan optimasi pola usaha tani tumpangsari di
dalam areal tanaman pinus.
Tujuan penelitian tersebut adalah meningkatkan
pertumbuhan tanaman pinus dan meningkatkan pendapatan usaha tani tumpang
sari dengan kendala sasaran adalah luas lahan, tenaga kerja dan substitusi
makanan pokok. Hasil penelitian menunjukkan dari berbagai pola tumpang sari,
terpilih pola tumpang sari yang mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman
pinus dan mampu meningkatkan pendapatan petani.
39
Download