Jurnal SAINSTECH Politeknik Indonusa Surakarta ISSN : 2355-5009 Volume 3 Nomer 6 Desember 2016 PELANGGARAN PRINSIP KERJA SAMA DALAM PROSES PERKULIAHAN DI POLITEKNIK INDONUSA SURAKARTA Ratna Susanti, S.S.,M.Pd. Politeknik Indonusa Surakarta [email protected] ABSTRAK Penelitian ini membahas tentang pelanggaran terhadap prinsip kerja sama dalam proses perkuliahan di Politeknik Indonusa Surakarta. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui jenis-jenis pelanggaran prinsip kerja sama yang terjadi pada tuturan yang terdapat dalam tuturan antara dosen dan mahasiswa dan antara mahasiswa dengan mahasiswa dalam proses perkuliahan tersebut. Data yang dianalisis berupa tuturan yang mengandung pelanggaran prinsip kerja sama yang diucapkan oleh dosen maupun mahasiswa dalam sumber data berupa proses perkuliahan Komunikas Ilmiah Prodi D3 Komunikasi Massa semester IV. Data tersebut kemudian dianalisis dengan paradigma deskriptif kualitatif berdasarkan teori mengenai prinsip kerja sama yang dikemukakan oleh Grice. Hasil penelitian menyatakan bahwa pelanggaran terhadap prinsip kerja sama dapat terjadi pada salah satu maksim saja, tetapi juga dapat terjadi pada lebih dari satu maksim dalam satu tuturan atau informasi. Pelanggaran yang sering terjadi adalah terhadap maksim kualitas, maksim kuantitas, dan maksim relevansi. Kata Kunci: Prinsip kerja sama, Pelanggaran, Dosen, Mahasiswa Sebagai sarana komunikasi, bahasa akan menciptakan suatu kultur kehidupan yang akrab. Bahasa juga akan membawa penggunanya pada suatu kondisi yang menitikberatkan kebersamaan, kekeluargaan, dan kesetiakawanan dalam konteks sosiokultural. Salah satu cabang ilmu yang mengkaji bagaimana bahasa dimanifestasikan ke dalam dunia komunikasi dengan mengaitkannya dengan koteks dan konteks adalah pragmatik. Dalam kajiannya, pragmatik ini mengedepankan aspek kebahasaan yang berkaitan dengan aspek luar dari bahasa itu sendiri. Hal itu bisa berupa kondisi sosial, politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya yang berpengaruh terhadap penggunaan bahasa itu sendiri. Inilah yang dinamakan konteks bahasa. Kajian ini banyak ditemukan pada praktik-praktik komunikasi sehari-hari atau percakapan antara penutur dan mitra tutur. Percakapan dapat dipahami sebagai suatu praktik komunikasi antara dua orang partisipan atau lebih. Biasanya percakapan hadir dalam bentuk komunikasi lisan yang mengedepankan aspek oral. Percakapan biasanya dilakukan seiring dengan suasana komunikasi yang santai. Meskipun demikian, tidak sedikit juga sebuah proses percakapan terjadi pada suatu kondisi formal. I. PENDAHULUAN Bahasa sangat dibutuhkan untuk menjalin adanya suatu komunikasi antarindividu maupun kelompok. Sudjianto mengungkapkan bahwa “bahasa merupakan media untuk menyampaikan suatu makna kepada orang lain baik secara lisan maupun tertulis” (1996:17-18). Bahasa menjadi salah satu alat yang paling utama dan penting, terlebih karena manusia merupakan makhluk sosial dan memerlukan interaksi yang berupa komunikasi dengan orang lain. Hal tersebut menjadikan komunikasi sebagai salah satu faktor yang mendukung dalam kehidupan bermasyarakat dan sarana penyampaian informasi, sehingga agar suatu informasi atau pesan dapat tersampaikan dengan baik, maka informasi yang disampaikan harus jelas, sesuai dengan kebenaran, sesuai dengan kebutuhan, tidak mengubah pesan, dan sebagainya. Bahasa di dalam penggunaannya berfungsi sebagai sarana pikir, ekspresi, dan sarana komunikasi. Sebagai sarana pikir, bahasa akan menuntun penggunanya untuk berlaku santun dalam setiap tindak tuturnya. Sebagai sarana ekspresi, bahasa membawa penggunanya kepada taraf suasana kreatif. Hal ini bisa terlihat dari fungsi bahasa sebagai sarana untuk mengungkapkan pemikiran tentang ilmu, teknologi, dan seni. 52 Jurnal SAINSTECH Politeknik Indonusa Surakarta ISSN : 2355-5009 Volume 3 Nomer 6 Desember 2016 Levinson (dalam Rahardi: 2008) mendefinisikan bahwa pragmatik adalah studi bahasa yang mempelajari relasi bahasa dengan konteksnya. Konteks tersebut mampu tergramatisasi dan terkodifikasi sehingga tidak dapat dilepaskan dari struktur bahasanya. Selanjutnya Parker (dalam Rahardi: 2008) memberikan definisi pragmatik sebagai suatu studi atau suatu cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal. Dari definisi yang dikemukakan ini, dapat dipahami bahwa pragmatik adalah suatu cabang ilmu bahasa yang mengkaji bahasa dan penggunaannya dengan mengaitkan pada konteks kebahasaan. Sebagai sebuah lembaga pendidikan tinggi, Politeknik Indonusa Surakarta yang beralamat di Jalan KH. Samanhudi No. 31 Mangkuyudan, Surakarta (selanjutnya disebut Polinusa), pada praktiknya senantiasa menjaga agar para mahsiswa membiasakan diri untuk berucap, berperilaku, dan bertindak sesuai dengan etika. Oleh sebab itu, peran seorang dosen sangat menentukan dalam proses pembentukan karakter mahasiswa. Oleh karenanya, penting bagi seorang dosen untuk memberikan contoh kepada mahasiswa dalam hal perilaku, tindakan, dan ucapan. Kondisi formal ini telah membuat suatu praktik komunikasi antara dosen dengan mahasiswa terjalin secara hati-hati dan terjaga. Pada kenyataannya, dalam berkomunikasi antara dosen dan mahasiswa masih ditemui adanya penyampaian informasi atau komunikasi yang tidak jelas, tidak benar dan sebagainya, sehingga terkadang terjadi kesalahpahaman dalam menerima pesan atau informasi yang diberikan. Hal ini terkadang juga berkaitan dengan salah satu kebudayaan Jawa yang mengedepankan kesantunan. Sama seperti yang diungkapkan oleh Leech (1983), bahwa kesantunan berbahasa memiliki tujuan untuk menciptakan dan memelihara keharmonisan dalam berinteraksi sosial, sehingga terkadang masyarakat tidak menyampaikan suatu informasi dengan tepat karena menjunjung tinggi kesantunan dalam berbahasa. Penyampaian yang tidak sesuai ini menyebabkan munculnya pelanggaran terhadap prinsip kerjasama sehingga apa yang dikatakan oleh peserta percakapan tuturan tidak dapat menyumbang kepada tujuan wacana. Oleh karena itu, untuk mengetahui pelanggaran terhadap prinsip kerjasama yang terjadi dalam interaksi sosial atau komunikasi, penulis melakukan penelitian mengenai pelanggaran terhadap prinsip kerjasama. Dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan proses perkuliahan sebagai sumber data, karena dalam proses perkuliahan tersebut terdapat tuturan percakapan antara dosen dan mahasiswa. Berdasarkan uraian di atas, diangkat permasalahan sebagai berikut. “Bagaimana bentuk pelanggaran prinsip kerja sama pada praktik komunikasi dosen dan mahasiswa di Polinusa?” II. 1. LANDASAN TEORI Hakikat Pragmatik Definisi pragmatik telah banyak dikemukakan oleh para linguis yang menggeluti bidang ini. Levinson (dalam Rahardi: 2008) mendefinikan pragmatik sebagi studi bahasa yang mempelajari relasi bahasa dengan konteksnya. Konteks yang dimaksud tergramatisasi dan terkodifikasi sehingga tidak dapat dilepaskan dari struktur bahasanya. Kemudian Parker (dalam Rahardi: 2008) mengungkapkan bahwa pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal. Adapun yang dimaksud dengan hal itu adalah bagaimana satuan lingual tertentu digunakan dalam komunikasi yang sebenarnya. Parker telah membedakan studi pragmatik dengan studi tata bahasa internal, seperti fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Di dalam pragmatik, kita akan mengenal beberapa istilah seperti prinsip kesopanan, prinsip kerja sama, konsep wajah, dan sebagainya. Sebagai bidang baru dalam kajian kebahasaan, khususnya bahasa dalam penggunaan (language in use), kesantunan (politeness) dalam berbahasa seyogyanya mendapatkan perhatian, baik oleh pakar atau linguis maupun para pembelajar bahasa. Selain itu, penting juga bagi setiap orang untuk memahami kesantunan berbahasa ini, karena manusia yang kodratnya adalah “makhluk berbahasa” senantiasa melakukan komunikasi verbal yang sudah sepatutnya beretika. Berdasarkan uraian di atas, dapat ditegaskan bahwa pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yaitu berkaitan dengan bagaimana suatu bahasa itu digunakan dalam komunikasi. Pragmatik pada dasarnya 53 Jurnal SAINSTECH Politeknik Indonusa Surakarta ISSN : 2355-5009 Volume 3 Nomer 6 Desember 2016 menyelidiki bagaimana makna dibalik tuturan yang terikat pada konteks yang melingkupinya diluar bahasa, sehingga dasar dari pemahaman terhadap pragmatik adalah hubungan antara bahasa dengan konteks. sebenarnya merupakan usaha-usaha untuk menduga). Menduga “guessing” tergantung pada konteks, yang mencakup permasalahan, peserta pertuturan dan latar belakang penutur dan mitra tutur. Semakin dalam suatu konteks dipahami, semakin kuat dasar dugaan tersebut. Prinsip pemilihan strategi bertutur pada dasarnya menyatakan bahwa bertutur (berbicara) itu tidak ”asbun” asal bunyi saja. Bertutur memerlukan pilihan strategi, terutama dalam rangka menjaga muka mitra tutur atau peserta interaksi yang lain. Strategi bertutur langsung digunakan dengan menggunakan tipe-tipe kalimat sesuai dengan fungsi tipe kalimat itu. Apabila seorang hendak berbicara, terlebih dahulu terbentuklah suatu pesan di dalam benak orang itu. Jika saatnya telah tiba, pesan itu dilontarkan menjadi ujaran yang dapat di dengar oleh banyak orang yang diajak bicara. Pelontaran ujaran/pengkodean (encoding) ini sebetulnya dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain ialah penutur (speaker), mitra tutur (hearer), pokok pembicara (topic), tempat pembicara (setting), suasana bicara (situasion scene), dan sebagainya. Daya pragmatik merupakan kekuatan pesan atau makna tersirat yang terkandung dibalik ujaran, yang mampu menggerakkan mitra tuturnya untuk melakukan apa yang dimaksudkan penutur dibalik ujaran yang dituturkannya. Perbedaan antara makna (sense) (makna yang ditentukan secara semantis) sedangkan daya (force) (makna yang ditentukan secara semantis dan pragmatis). Ikatan yang ada antara makna dan daya juga perlu disadari. Daya mencakup makna dan secara semantis, daya sekaligus juga dapat diturunkan dari makna. Daya ilokusi tidak dapat disimpulkan dari kaidahkaidah tata bahasa tetapi melalui prinsipprinsip motivasi seperti prinsip kerjasama. 2. Hakikat Implikatur Implikatur merupakan salah satu bagian dari kajian pragmatik. Secara etimologis, implikatur berasal dari kata kerja bahasa Inggris, yakni implicate yang maknanya berarti “mengemukakan sesuatu dengan bentuk yang lain”. Berkaitan dengan pengertian implikatur, berikut akan dipaparkan beberapa pengertian implikatur yang dikemukakan oleh beberapa ahli bahasa. Menurut Rustono (dalam Ahmad, 2010: 3) implikatur percakapan adalah implikasi pragmatis yang terdapat dalam percakapan yang timbul sebagai akibat terjadinya pelanggaran prinsip percakapan. Kridalaksana (dalam Ahmad, 2010: 3) mengemukakan makna implikatur yang intinya, implikatur adalah makna yang tersirat melalui ujaran sebuah kalimat dalam suatu konteks, meskipun makna itu bukan merupakan suatu bagian atau pemenuhan dari apa yang dituturkan. Lebih lanjut Yule (2006: 69) mengemukakan bahwa istilah implikatur dipakai untuk menerangkan apa yang mungkin diartikan, disarankan, atau dimaksudkan oleh penutur yang berbeda dengan apa yang sebenarnya yang dikatakan oleh penutur. Implikatur merupakan sebuah proposisi yang diimplikasikan melalui ujaran dari sebuah kalimat dalam suatu konteks, sekalipun proposisi itu sendiri bukan merupakan bagian dari hal yang dinyatakan sebelumnya. Dari beberapa definisi yang dinyatakan oleh para ahli bahasa di atas, dapat disimpulkan bahwa implikatur percakapan adalah salah satu bagian dari kajian pragmatik yang membahas kajian pada suatu makna yang implisit dari suatu percakapan yang berbeda dengan makna harfiah dari suatu percakapan. Menurut Mey (dalam Nadar, 2009: 61), dalam rangka memahami apa yang dimaksudkan oleh seorang penutur, mitra tutur harus selalu melakukan interpretasi pada tuturan-tuturannya. Tidak jauh berbeda dengan pendapat tersebut, Leech (1983: 3031) menyebutkan bahwa interpreting an utterance is ultimately a matter of guesswork (menginterpretasikan suatu tuturan 3. Prinsip Kerja Sama Prinsip kerja sama (PK) merupakan salah satu prinsip yang dibutuhkan untuk lebih mudah dalam menjelaskan hubungan antara makna dan daya, serta untuk membantu dalam memecahkan masalah-masalah yang timbul dalam semantik yang memakai pendekatan berdasarkan kebenaran. Make your conversational contribution such as is required, at the stage at which it occurs, by the 54 Jurnal SAINSTECH Politeknik Indonusa Surakarta ISSN : 2355-5009 Volume 3 Nomer 6 Desember 2016 accepted purpose or direction of the talk exchange in which you are engaged (Grice, 1989: 26). b. Jangan mengatakan suatu yang bukti kebenarannya kurang meyakinkan. 3. Maksim Hubungan Usahakan agar perkataan Anda ada relevansinya. 4. Maksim Cara Usahakan agar mudah dimengerti, yaitu: a. Hindarilah pernyataan-pernyataan yang samar. b. Hindarilah ketaksaan. c. Usahakan agar ringkas (hindarilah pernyataan-pernyataan yang panjang lebar dan bertele-tele). d. Usahakan agar Anda berbicara dengan teratur. Berdasarkan teori Grice mengenai maksim-maksim tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam maksim kuantitas, penutur diminta untuk dapat memberikan informasi dalam jumlah yang tepat, harus seinformatif mungkin sesuai dengan yang dibutuhkan dan diharap tidak melebihi dari jumlah infomasi yang dibutuhkan, sedangkan dalam maksim kualitas, penutur diminta untuk dapat mengatakan suatu informasi yang kebenarannya meyakinkan. Dalam maksim hubungan, penutur diminta untuk menyatakan informasi yang berhubungan atau ada hubungannya dengan informasi sebelumnya, dan terakhir dalam maksim cara, penutur diminta agar dalam menyampaikan informasi tidak perlu bertele-tele dan berlebihan, tidak mengandung ambiguitas, agar mudah dimengerti oleh petutur, dan tidak menimbulkan pertanyaan atau kebingungan di pihak petutur. Grice (dalam Levinson, 1983:103) juga menyatakan bahwa pada dasarnya maksimmaksim tersebut bukan merupakan konvensi arbitrer, tetapi lebih merupakan pemikiran rasional untuk melakukan sebuah pertukaran. Grice menjelaskan empat kondisi di mana maksim tidak terpenuhi dalam suatu percakapan, yaitu pertama, salah satunya menyalahi atau melanggar maksim; kedua, menolak bekerjasama dalam ssuatu percakapan karena suatu alasan; ketiga, pertentangan maksim, di mana penutur dihadapkan pada pilihan untuk melanggar satu maksim atau yang lain; dan terakhir adalah tidak terpenuhinya maksim dengan cara mengeksploitasi suatu maksim dengan tujuan mengimplikasi informasi. Dalam kutipan di atas dijelaskan oleh Grice bahwa dalam PK usahakan agar kontribusi kita dalam percakapan sesuai dengan yang dibutuhkan, dengan tujuan atau arah pembicaraan yang berterima dalam situasi pembicaraan yang sedang terjadi. Grice (dalam Rustono, 1999:54) melontarkan sebuah pemikiran yang berhubungan dengan prinsip kerja sama, yaitu “make your conversational contribution such as is required, at the stage at it occurs, by the accepted purpose or direction of the talk exchange in which you engaged”. Artinya adalah berikan sumbangan anda pada percakapan sebagaimana diperlukan (pada tahap saat percakapan berlangsung) oleh tujuan yang diterima atau oleh arah percakapan yang sedang anda lakukan sebagai partisipan. Namun, dijelaskan oleh Leech (1993: 120) bahwa PK tidak dapat digunakan untuk menjelaskan mengapa manusia sering menggunakan cara yang tidak langsung untuk menyampaikan apa yang mereka maksud. Hal tersebut dikarenakan PK digunakan untuk memungkinkan seorang peserta percakapan untuk berkomunikasi dengan asumsi bahwa peserta yang lain bersedia bekerjasama. Dalam hal ini, PK berfungsi mengatur apa yang dikatakan oleh peserta percakapan sehingga tuturan dapat menyumbang kepada tujuan wacana. PK juga menghendaki agar bila kita memang yakin akan kebenaran informasi, maka pernyataan yang kuatlah yang harus kita pilih, sedangkan kalau kita tidak yakin akan kebenarannya, gunakan pernyataan yang lemah. Herbert Paul Grice (dalam Leech, 1993: 11-12) membagi prinsip ini menjadi 4 (empat) jenis maksim, yang meliputi: 1. Maksim Kuantitas Berikan jumlah informasi yang tepat, yaitu: a. Sumbangan informasi Anda harus seinformatif yang dibutuhkan. b. Sumbangan informasi Anda jangan melebihi yang dibutuhkan. 2. Maksim Kualitas Usahakan agar sumbangan informasi Anda benar, yaitu: a. Jangan mengatakan suatu yang Anda yakini bahwa itu tidak benar. 55 Jurnal SAINSTECH Politeknik Indonusa Surakarta ISSN : 2355-5009 Volume 3 Nomer 6 Desember 2016 METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Politeknik Indonusa Surakarta yang beralamat di Jalan KH. Samanhudi No. 31 Mangkuyudan, Surakarta. Subjek penelitian ini adalah mahasiswa Prodi D3 Komunikasi Massa semester IV Tahun Akademik 2014 Kelas Reguler dengan jumlah mahasiswa 33 orang. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan studi kasus. Sumber data dikumpulkan dari berbagai sumber, yang meliputi: transkip yaitu dokumen berupa catatan yang disampaikan dosen dalam proses perkuliahan Komunikasi Ilmiah; data yang berupa peristiwa disini adalah proses perkuliahan Komunikasi Ilmiah di kelas Reguler Prodi D3 Komunikasi Massa semester IV di Polinusa; sedangkan yang menjadi informan adalah dosen yang melakukan proses perkuliahan Komunikasi Ilmiah tersebut. Pengumpulan data dilakukan dengan analisis dokumen dan observasi. Teknik analisis data menggunakan teknik analisis interaktif yang terdiri dari reduksi data, display data, dan penarikan kesimpulan. Sedangkan prosedur penelitian yang dilakukan terdiri dari beberapa tahap yaitu proses pengumpulan data, proses penyeleksian data, proses menganalisis data yang telah diseleksi, dan terakhir membuat laporan penelitian. kontribusi yang tidak relevan dengan apa yang dibicarakan, dan (4) penutur memberikan kontribusi yang kurang jelas, ambigu, ataupun berlebih-lebihan. Berikut ini data percakapan yang mengandung pelanggaran terhadap maksim kuantitas. Data 1 O1 : Sudah diperbaiki proposalnya? O2 : Belum. Itu sedang dibawa Luki. IV. Dalam percakapan di atas tampak O1 (dosen) memberikan kontribusi yang melanggar maksim kualitas. Jawaban yang tidak mengindahkan maksim kualitas ini diutarakan sebagai reaksi terhadap jawaban O2 (Fatin/mahasiswa) yang salah. Dengan jawaban ini, sang mahasiswa (Fatin) sebagai individu yang memiliki kompetensi komunikatif (communicative competence), kemudian mencari jawaban mengapa dosennya membuat pernyataan yang salah. Mengapa kalimat dosen diutarakan dengan nada yang berbeda. Dengan bukti-bukti yang memadai, akhirnya Fatin mengetahui bahwa jawabannya terhadap pertanyaan dosennya adalah salah. Kata bagus yang diucapkan oleh dosennya tidak konvensional karena tidak digunakan seperti biasanya untuk memuji, tetapi sebaliknya untuk mengejek. III. Percakapan di atas mengalami pelanggaran maksim kuantitas. Pada saat O1 bermaksud bertanya kepada O2 menyangkut sudah atau tidaknya perbaikan proposalnya, O2 menjawab, “Belum, itu sedang dibawa Luki.” Memang benar apa yang dijawab O2, namun O1 tidak mengharapkan jawaban apakah itu dibawa oleh seseorang atau tidak, ataupun alasan lainnya. O1 mengharapkan jawaban sudah atau tidaknya proposal itu diperbaiki. Berikut ini data percakapan yang mengandung pelanggaran terhadap maksim kualitas. Data 2 O1 : Coba kamu Fatin, apa yang dimaksud dengan latar belakang masalah? O2 : Masalah yang memiliki latar belakang, Bu. O1 : Bagus, kalau begitu, adakah masalah yang memiliki latar depan? HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini menemukan data percakapan yang menunjukkan adanya pelanggaran prinsip kerja sama dalam praktik percakapan antara dosen dan mahasiswa di Politeknik Indonusa Surakarta pada perkuliahan Komunikasi Ilmiah Prodi D3 Komunikasi Massa semester IV. Suatu pertuturan akan berlangsung dengan baik apabila penutur dan mitra tutur dalam pertuturan itu menaati prinsip-prinsip kerja sama (Grice 1975:45). Dengan kata lain, jika tidak menaati atau mematuhi prinsip kerja sama tersebut, maka pertuturan atau percakapan tidak akan berjalan dengan baik. Pelanggaran terhadap maksim kerja sama dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni (1) penutur memberikan kontribusi yang berlebihan dari apa yang diharapkan mitra tutur, (2) penutur memberikan kontribusi yang tidak benar, (3) penutur memberikan 56 Jurnal SAINSTECH Politeknik Indonusa Surakarta ISSN : 2355-5009 Volume 3 Nomer 6 Desember 2016 Berikut ini data percakapan yang mengandung pelanggaran terhadap prinsip kerja sama pada maksim relevansi. Data 3: O1 : Ada tabrakan motor lawan mobil boks di pertigaan Gendengan. O2 : Yang menang apa hadiahnya? DAFTAR PUSTAKA Cummings, Louise. 2007. Pragmatik, Sebuah Perspektif Multidispliner. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Leech, Geoffrey. 1983. Prinsip-Prinsip Pragmatik (Diterjemahkan MDD Oka dan Setyadi Setyapranata). Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Nadar, FX. 2009. Pragmatik & Penelitian Pragmatik. Yogyakarta: Graha Ilmu. Rahardi, Kunjana. 2008. Pragmatik ; Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Penerbit Erlangga. Tarigan, Henry Guntur 2009. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa. Wijana, I Dewa Putu dan Muhammad Rohmadi. 2009. Analisis Wacana Pragmatik. Surakarta: Yuma Pustaka. Yule, George. 2006. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ______. 2015. Kajian Bahasa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Dialog di atas adalah percakapan antara mahasiswa O1 (Nosi) dan mahasiswa O2 (Restu). Bila O2 (Restu) sebagai peserta percakapan yang kooperatif, maka tidak selayaknyalah ia mempersamakan peristiwa kecelakaan yang dilihat temannya bernam Nosi itu dengan sebuah pertandingan atau kejuaraan. Di dalam kecelakaan itu tidak ada pemenang dan tidak ada satu pihak pun yang akan menerima hadiah. Semua pihak pasti akan menerima kerugian, bahkan ada kemungkinan salah satu atau bahkan keduanya meninggal dunia. Agaknya maksud dari pertuturan itu adalah untuk mendapatkan efek lucu (comic effect). V. PENUTUP Berdasarkan paparan dari hasil penelitian, maka dapat disimpulkan sebagai berikut. Pelanggaran prinsip kerja sama pada percakapan antara dosen dan mahasiswa maupun mahasiswa dan mahasiswa, didapati adanya beberapa pelanggaran terhadap prinsip kerja sama, yaitu maksim kuantitas, kualitas, dan relevansi. Pelanggaran terjadi karena penutur, baik dosen maupun mahasiswa memberikan informasi yang berlebihan, memberikan informasi yang tidak benar, memberikan informasi yang tidak relevan, dan memberikan informasi yang kurang jelas. Pelanggaran yang terbanyak terdapat pada maksim relevansi. Saran yang dapat diberikan adalah dilakukannya pematuhan terhadap maksimmaksim prinsi kerja sama sehingga menjadikan kualitas percakapan lebih baik, yaitu dengan cara menaati keempat maksim (maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, maksim cara). Masih banyak pelanggaran yang terjadi pada percakapan tersebut. 57