1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikterus

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ikterus neonatorum merupakan masalah yang sering dijumpai pada
perawatan bayi baru lahir normal, khususnya di Asia, yaitu munculnya warna
kuning pada kulit dan sklera karena terjadinya hiperbilirubinemia sampai bayi
usia 72 – 120 jam dan akan kembali normal setelah 7 – 10 hari. (Lin, Tsao, Hsieh,
Chen, & Chou, 2008), (Pediatrics, 2004), (Smithermen, Stark, & Bhutani, 2006)
dalam (Nursanti, 2011). Ikterus pada bayi baru lahir pada minggu pertama terjadi
pada 60% bayi cukup bulan dan 80% bayi kurang bulan. Hal ini adalah keadaan
yang fisiologis. Walaupun demikian, sebagian bayi akan mengalami ikterus yang
berat sehingga memerlukan pemeriksaan dan tata laksana yang benar untuk
mencegah kesakitan dan kematian. (Suradi & Letupeirissa, 2013). Di Amerika
Serikat, sebanyak 65 % bayi baru lahir menderita ikterus dalam minggu pertama
kehidupannya. Di Malaysia, hasil survei pada tahun 1998 di rumah sakit
pemerintah dan pusat kesehatan di bawah Departemen Kesehatan mendapatkan
75% bayi baru lahir menderita ikterus dalam minggu pertama kehidupannya,
(HTA, 2012). Di Indonesia, insidens ikterus neonatorum pada bayi cukup bulan di
beberapa RS pendidikan antara lain RSCM, RS Dr. Sardjito, RS Dr. Soetomo, RS
Dr. Kariadi bervariasi dari 13,7% hingga 85%. (Depkes, 2004).
Ikterus adalah warna kuning yang tampak pada kulit dan mukosa karena
peningkatan bilirubin. Biasanya mulai tampak pada kadar bilirubin serum > 5
mg/dL. Ikterus biasanya fisiologis, namun pada sebagian kasus dapat
menyebabkan masalah; yang paling ditakuti adalah ensefalopati bilirubin.
(Depkes, 2004). Bayi yang menderita ensefalopati bilirubin/kernicterus akan
mengalami gangguan proses pertumbuhan dan perkembangan seperti retardasi
mental, serebral palsy dan gangguan pendengaran, (Dennery, Seidman, &
Stevenson, 2001); (Depkes, 2004). Keadaan ini dapat dicegah, meliputi: 1)
Promosi dan dukungan pemberian ASI dengan intake yang memadai; 2)
melakukan penilaian sistematis kadar bilirubin; 3) tindaklanjut menurunkan kadar
bilirubin dengan fototerapi atau tranfusi tukar; dan 4) National Institutes of Health
1
2
sedang mengembangkan penelitian obat yang dapat meghambat produksi
bilirubin. (Gourley, Li, Kreamer, & Kosorok, 2005), (Nursanti, 2011).
Manajemen menyusui optimal adalah tindakan pemberian ASI pada bayi
yang memadai, meliputi: 1) inisiasi menyusu dini pada satu jam pertama; 2)
manajemen menyusui (ASI) yang optimal, setidaknya 10 – 12 kali per hari tanpa
pemberian air atau makanan tambahan lain; 3) menyusui dengan posisi yang
benar sehingga dapat dipastikan transfer ASI secara efektif; 4) mencegah
kehilangan berat lahir kurang dari 8%. (Gartner, 2001). Meskipun demikian,
menurut (Lin, Tsao, Hsieh, Chen, & Chou, 2008) masih banyak kontroversi antara
pemberian ASI dengan kejadian ikterus neonatorum, dimana dijelaskan bahwa
setelah ada peningkatan promosi ASI, terjadi peningkatan kejadian ikterus
neonatorum pada minggu pertama kelahiran. Review hasil penelitian (Yang, et al.,
2013), menjelaskan bahwa pemberian ASI yang tidak adekuat kemungkinan
menyebabkan dehidrasi, yang dipercaya sebagai penyebab ikterus neonatorum.
Menurut (Gourley, Li, Kreamer, & Kosorok, 2005), bayi baru lahir yang diberi
ASI adekuat, terbukti dapat mempercepat ekskresi bilirubin melalui meconium
dan penurunan absobsi bilirubin di usus. Mekonium yang banyak mengandung
bilirubin bila ada keterlambatan pengeluaran dapat terjadi penyerapan oleh usus
sehingga meningkatkan kadar bilirubin dalam sirkulasi enterohepatik. (Gourley,
Li, Kreamer, & Kosorok, 2005), (Nursanti, 2011).
Salah satu program pelayanan kesehatan neonatal adalah pemantauan
kejadian ikterus neonatorum. Fokus tindakan pada program ini adalah melakukan
deteksi dini dengan melihat munculnya warna kuning pada kulit bayi dan
mendorong untuk terus memberikan ASI. (Depkes, Buku Bagan Manajemen
Terpadu Balita Sakit (MTBS), 2008).
B. Perumusan Masalah
Ikterus neonatorum yaitu munculnya warna kuning pada kulit dan sklera
karena terjadinya hiperbilirubinemia sampai bayi usia 72 – 120 jam dan akan
kembali normal setelah 7 – 10 hari, (Lin, Tsao, Hsieh, Chen, & Chou, 2008),
(Pediatrics, 2004), (Smithermen, Stark, & Bhutani, 2006) dalam (Nursanti, 2011).
Ikterus neonatorum dapat menyebabkan ensefalopati bilirubin/kernicterus akan
3
mengalami gangguan proses pertumbuhan dan perkembangan seperti retardasi
mental, serebral palsy dan gangguan pendengaran, (Dennery, Seidman, &
Stevenson, 2001); (Depkes, 2004).
Ikterus neonatorum ini dapat dicegah, meliputi: 1) Promosi dan
dukungan pemberian ASI dengan intake yang memadai; 2) melakukan penilaian
sistematis kadar bilirubin; 3) tindak lanjut menurunkan kadar bilirubin dengan
fototerapi atau tranfusi tukar; dan 4) National Institutes of Health sedang
mengembangkan penelitian obat yang dapat meghambat produksi bilirubin.
(Gourley, Li, Kreamer, & Kosorok, 2005), (Nursanti, 2011). Praktik pemberian
ASI berhubungan dengan manajemen menyusui optimal, yaitu tindakan
pemberian ASI pada bayi yang memadai, meliputi: 1) inisiasi menyusu dini pada
satu jam pertama; 2) manajemen menyusui (ASI) yang optimal, setidaknya 10 –
12 kali per hari tanpa pemberian air atau makanan tambahan lain; 3) menyusui
dengan posisi yang benar sehingga dapat dipastikan transfer ASI secara efektif; 4)
mencegah kehilangan berat lahir kurang dari 8%. (Gartner, 2001). Sementara
menurut Lin, et al.
(2008), melakukan penelitian yang bertujuan untuk
mengevaluasi dampak dari promosi ASI eksklusif dengan kejadian ikterus
neonatorum, penurunan kadar bilirubin, dan lama rata – rata hari rawat inap di RS.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah program perawatan sayang bayi
dilaksanakan termasuk promosi ASI eksklusif, kejadian iketrus neonatorum
meningkat. Sehingga untuk mengetahui masalah itu perlu dilakukan penelitian
mengenai ASI dengan kejadian ikterus neonatorum. Berdasarkan uraian tersebut
maka dirumuskan masalah penelitian, apakah pemberian ASI berhubungan
dengan risiko terjadinya ikterus neonatorum?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui risiko kejadian ikterus neonatorum pada bayi yang diberi ASI
dengan susu formula di UPT Rumah Sakit Sumberglagah Mojokerto.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui pemberian ASI dan pemberian susu formula pada bayi baru
lahir.
4
b. Mengetahui kejadian ikterus neonatorum.
c. Mengetahui perbedaan kejadian ikterus neonatorum pada bayi yang diberi
ASI dengan susu formula.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah:
1.
Hasil
penelitian
ini
secara
teoritis
diharapkan
bermanfaat
dalam
pengembangan ilmu pengetahuan dan bahan acuan peneliti lain yang
berkaitan dengan pemberian ASI dan susu formula dalam upaya pencegahan
ikterus neonatorum.
2.
Secara praktis hasil penelitian diharapkan dapat menjadi sumber informasi
tentang risiko kejadian ikterus neonatorum pada bayi yang diberi ASI dengan
susu formula.
3.
Hasil penelitian ini diharapkan menambah wawasan ibu tentang risiko
kejadian ikterus neonatorum pada bayi baru lahir yang diberi ASI dan susu
formula.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian yang relevan dengan penelitian pengaruh pemberian ASI
dengan kejadian ikterus neonatorum sudah banyak dilakukan. Beberapa penelitian
tersebut berupaya untuk memperbaiki pelayanan kesehatan neonatal. Penelusuran
penelitian sehubungan dengan pemberian dan ASI dengan kejadian ikterus
neonatorum, diantaranya adalah:
1.
Yang et al. (2013), melakukan penelitian untuk mengetahui kehilangan berat
badan bayi pada 24, 48, dan 72 jam setelah lahir yang dimungkinkan sebagai
predisposisi ikterus neonatorum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kehilangan berat badan pada tiga (3) hari pertama setelah lahir dimungkinkan
sebagai predisposisi ikterus neonatorum, dan hali ini dapat berfungsi sebagai
factor klinik yang penting untuk mencegah kejadian ikterus neonatorum pada
72 jam setelah lahir.
2.
Lauer and Spector (2011), melakukan penelitian yang bertujuan untuk
menganalisis faktor – faktor yang menyebabkan iketrus neonatorum. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian
5
ikterus neonatorum adalah ASI, prematuritas, anak sebelumnya ikterus, dan
ikterus yang terjadi sebelum bayi dipulangkan dari RS berisiko terjadi ikterus
yang parah/kern ikterus. Usia neonates dalam jam – jam pertama kehidupan
digunakan untuk mengevaluasi dan menentukan manajemen pengawasan
kadar bilirubin
3.
Nursanti (2011),
melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh
kecukupan ASI dengan risiko kejadian ikterus neonatorum. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kecukupan ASI memberikan pengaruh yang besar pada
kejadian ikterus neonatorum di Yogyakarta.
4.
Maisels et al. (2009), melakukan penelitian yang bertujuan untuk
mengklarifikasi dan update penelitian sebelumnya mengenai skrening
hiperbilirubin sebelum pulang dari RS menggunakan total serum bilirubin
(TSB) atau transcutaneous bilirubin (TcB) dapat membantu menentukan
risiko hiperbilirubin berat/kernicterus. Selain 2 hal tersebut, dengan
menggunakan pendekatan majemen dan follow – up sebelum pulang dari RS
untuk TSB/TcB, peneliti menambah variabel dengan usia kehamilan dan
faktor risiko lain dari ikterus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor
risiko penting yang mempengaruhi kernicterus adalah: klasifikasi zona
TSB/TcB sebelum pulang dari RS (masuk zona risiko tinggi, atau risiko
menengah tinggi), usia kehamilan preterm, ASI eksklusif, ikterus yang
ditemukan 24 jam pertama kelahiran, isoimun atau penyakit hemolisis,
ikterus pada bayi sebelumnya, sefalhematom atau trauma kepala, dan ras asia
timur. Mengingat kernikterus dapat menyebabkan kerusakan saraf otak
permanen, sehingga bila ditemukan data yang mendukung, disarankan untuk
memanajemen ikterus neonatorum sebelum pulang dari RS.
5.
Lin et al. (2008), melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengevaluasi
dampak dari promosi ASI eksklusif dengan kejadian ikterus neonatorum,
penurunan kadar bilirubin, dan lama rata – rata hari rawat inap di RS. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa setelah program perawatan sayang bayi
dilaksanakan termasuk promosi ASI eksklusif, kejadian iketrus neonatorum
meningkat. Perubahan ini diduga berhubungan dengan penurunan berat badan
6
bayi karena menyusui yang tidak tepat. Penurunan berat badan yang tinggi
dan ASI berhubungan dengan peningkatan kejadian ikterus neonatorum pada
hari ke – 3 atau ke – 4, yang berarti meningkatkan rata – rata hari rawat inap
di RS dan tindakan fototerapi.
6.
Almeida and Draque. (2007), melakukan penelitian yang bertujuan
mengevaluasi kejadian ikterus neonatorum pada 7 hari postpartum pada tiga
(3) situasi, yaitu pada bayi baru lahir normal dengan ASI eksklusif, bayi baru
lahir hiperbilirubinemia selama 7 hari postpartum dengan pemberian ASI
inadekuat (nonfeeding jaundice), dan bayi mendapat ASI eksklusif dengan
pemanjangan fase konjugasi bilirubin (breast milk jaundice). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa nonfeeding jaundice secara signifikan berhubungan
dengan kehilangan berat badan yang lebih besar dibandingkan dengan
inadequate breastfeeding. Hal ini menjadi masalah khusus pada neonatus
yang dipulangkan dari rumah sakit pada 48 jam setelah lahir, sering kali
kembali ke rumah sakit untuk perawatan hiperbilirubin.
7.
Gourley et al. (2005), melakukan penelitian yang bertujuan untuk
membandingkan kejadian ikterus neonatorum pada bayi yang diberi ASI dan
susu formula. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok yang
diberi ASI kadar bilirubin yang diukur secara transkutan lebih rendah pada
hari ke – 3 dan ke – 7 dibanding dengan kelompok kontrol (yang diberi susu
formula). Hal ini dikarenakan bayi pada kelompok yang diberi ASI
pengeluaran bilirubin lewat ekskresi fekal lebih besar dibanding kelompok
kontrol.
8.
Gartner (2001), melakukan penelitian untuk mengetahui faktor pada ASI
yang menyebabkan ikterus (breastfeeding jaundice) dan breast – nonfeeding
jaundice.
Hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
pada
breastfeeding
jaundiceada faktor pada ASI yang dapat meningkatkan bilirubin pada
sirkulasi enterohepatik, sementara pada breast – nonfeeding jaundice bukan
karena faktor ASI. Pemberian ASI yang optimal dapat meminimalkan
penurunan berat lahir bayi dan onset peningkatan berat badan dini, dimana
keduanya ini dapat menurunkan intensitas dari breastfeeding jaundice.
7
9.
Bertini; Dani; Tronchin; and Rubaltelli. (2001), melakukan penelitian untuk
mengevaluasi perkembangan dari ikterus neonatorum pada populasi yang
besar di daerah metropolitan dengan penekanan pada hubungan antara
menyusui dengan kejadian iketrus neonatorum pada minggu pertama
kelahiran. Hasil penelitian menyatakan bahwa neonates yang ikterus
mengalami penurunan berat badan yang besar, dan bayi yang diberi ASI
mengalami penurunan berat badan yang lebih besar dibanding dengan yang
diberi susu formula. Ikterus neonatorum secara signifikan berhubungan kuat
dengan tindakan persalinan vakum ekstraksi, beberapa komplikasi perinatal
(seperti: sefalhematom, tes Coombs’ positif, dan kelainan darah simtemik),
dan ras Asia.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian – penelitian sebelumnya
adalah variabel, metode penelitian, dan lokasi penelitian.
Download